B. Klasifikasi
Secara klasik malnutrisi telah terbagi menjadi dua bentuk dasar yaitu gizi buruk
terhadap kekurangan protein kalori atau marasmus, dan defisiensi protein atau
kwarshiorkor. Walaupun kondisi ini paling lazim di negara-negara ketiga dunia,
marasmus dan kwarshiorkor juga dapat bermanifestasi pada pasien yang dirawat di
rumah sakit. Salah satu contoh klinis yang paling umum dari pasien marasmus adalah
pasien yang tidak mendapatkan diet yang adekuat selama beberapa hari sampai
beberapa bulan. Pasien seperti itu, jika mengakui dan kehilangan dukungan gizi buruk,
akan mulai memanfaatkan otot somatik yang tersisa untuk mendukung glukoneogenesis
(pembentukan glukosa dari sumber noncarbohydrate)5.
Penyakit
Klinis
Waktu
Gejala klinis
Laboratorium
Perjalanan
klinis
mortalitas
Marasmus
Kurangnya
intake
kalori
Bulan
atau
tahun
Kemungkinan
albumin dan
transferin
normal
Bertahan dalam
stress jangka
pendek
kwarshiorkor
Kurangnya
intake
protein
selama
stress
Minggu
Tampilan seperti
kelaparan, berat
badan < 80%
dari berat badan
biasa, TSF <
3mm, MAMC
<15 cm
Tampak seperti
gizi baik,
rambut mudah
tercabut dan
edema
Albumin dan
transferin
rendah
Penyembuhan
luka yang buruk,
ulkus dekubitus
dan kerusakan
kulit
Rendah,
kecuali yang
berhubungan
dengan
penyakit
yang
mendasari.
Tinggi
badan dan tinggi badan yang tidak dilaksanakan, penyimpangan tanggung jawab
petugas gizi dalam tata laksana gizi, penggunaan parenteral nutrisi yang terlalu lama,
kegagalan petugas dalam mengamati asupan makanan, sering memuasakan pasien untuk
tujuan tes diagnostik merupakan penyebab menurunnya status gizi. Hal lain yang juga
mempengaruhi adalah sarana dan keterampilan yang belum memadai sehingga
perhatian dalam pemberian makanan masih kurang3.
Studi melaporkan bahwa hingga 40% dari pasien mengalami kekurangan gizi
ketika masuk ke rumah sakit dan mayoritas terus mengalami penurunan status gizi
selama masa pasien di rumah sakit. Secara umum, penyebab operasi yang berhubungan
dengan malnutrisi adalah hiperkatabolisme, puasa setelah operasi, ileus yang
berkepanjangan, fistula, syndrom malabsorpsi, obstruksi usus, dan atonia gaster4.
Pasien yang menjalani operasi gastrointestinal beresiko deplesi nutrisi dari asupan
nutrisi yang tidak memadai, baik sebelum operasi dan pasca operasi, stres operasi dan
peningkatan metabolisme. Jika seorang pasien kanker pencernaan memerlukan operasi
selama pengobatan, kondisi metabolik mereka harus optimal pada saat intervensi6.
Beberapa faktor predisposisi pasien yang menjalani operasi untuk saluran cerna
bagian atas dan kanker kolorektal menjadi kekurangan gizi yaitu termasuk efek
katabolik kanker serta efek samping dari saluran pencernaan yaitu mual, muntah,
anoreksia, diare dan, dalam beberapa kasus, disfagia dan malabsorpsi6.
D. Patofisiologi
Respon yang kompleks terhadap stres fisik akibat pembedahan dan injury,
dimediasi oleh perubahan hormonal dan sistem saraf simpatis, salah satunya
adalah hipermetabolisme dan katabolisme.2
Respon neuroendokrin merupakan refleks neurofisiologis yang dirangsang oleh
proses cedera. Aktivasi susunan saraf autonom merangsang kenaikan aktivitas simpatis.
Kadar katekolamin plasma meningkat serta besar dan lama peningkatan ini sebanding
dengan keparahan cedera atau stres. Aktivitas hormon thyroidea menyebabkan
berkurangnya kadar Triiodothyronine (T3) serta kenaikan T3 reverse. Kadar tiroxin
(T4) biasanya dalam batas normal, seperti kadar TSH. Perubahan aktivitas thyroidea ini
dianggap ikut berperan dalam perubahan laju metabolisme. Namun perlu diingat bahwa
peranan hormon thyroidea, hormon luteinisasi, hormon perangsang folikel, prolaktin
dan testosteron mungkin bermakna kecil atas respon metabolik terhadap stress.7
Terdapat retensi garam dan air yang bermakna akibat sistem renin angiotensinaldosteron juga menjadi aktif selama stres. Pada cedera yang berat, kadar renin plasma
meningkat sepuluh kali lipat. Akibat kenaikan sekresi aldosteron ini, tubulus ginjal akan
menahan natrium dan air dengan mengorbankan kalium. Serta peningkatan
basal
Kelaparan
+
Luka
+
(%)
Pertukaran protein tubuh
Sintesis protein tubuh
Katabolisme protein
tubuh
Glukoneogenesis dari
alanin
Ket : : penurunan bermakna, : kenaikan bermakna, : tidak ada perubahan atau
kecenderungan tak bermakna. Untuk anoreksia, + menunjukkan kehadirannya.
Tabel 2. Akibat gizi dan metabolik kelaparan dan cedera.[dikutip dari kepustakaan 7]
Kebutuhan tenaga umumnya meningkat selama stres. Perubahan keseimbangan
tenaga timbul pada berbagai tipe stres.
Vo2
Pembuanga
n N2
Setara
kehilangan kehilangan
protein
kelaparan
Operasi
Trauma
Luka bakar
Sepsis
Setara
jaringan
Kehilangan
cairan dan
elektrolit
(g/hari)
(g/hari)
40 %
3-10
19-36
84-280
+ 5%
10-12
63-75
280-350
+ 20%
10-15
75-94
350-420
+
+50%
15 +
94 +
420 +
++
+50%
20 +
125+
560 +
++
Tabel 3. Akibat metabolik dari stres. [dikutip dari kepustakaan 7]
Lemak (jaringan adiposa) yaitu oksidasi trigliserida ditandai pada pasien pasca
bedah dianggap meningkat dan cadangan protein ( lean muscle mass) dimobilisasi untuk
memenuhi kebutuhan sintesis glukosa dan protein yang menghasilkan penurunan
BB.7
Secara umum, respon katabolik meningkatkan kebutuhan energi dan protein,
besar dan durasinya tergantung dari lama pembedahan. Studi terbaru mengatakan
bahwa respon katabolik terhadap pembedahan dapat dicegah dengan intake yang
adekuat.2
Intake energi dan protein adekuat penting untuk membatasi kehilangan
protein dan lemak. Namun, kebanyakan pasien tidak dapat makan dengan cukup
untuk memenuhi peningkatan dan/atau mencegah penurunan BB setelah pembedahan.
Masalah yang sering terjadi seperti nyeri, mual, mulut kering, rasa tidak nyaman di
lambung dan distensi, puasa, prosedur tidak menyenangkan, anxietas, makanan yang
tidak familiar dan rutinitas di rumah sakit semuanya berpotensi menurunkan nafsu
makan dan intake. Pasien yang tidak makan atau tidak cukup makan, cadangan
protein dan lemaknya akan berkurang dengan cepat. Hal ini mendatangkan konsekuensi
klinis yang signifikan, khususnya bagi mereka dengan gizi kurang sebelum operasi.2
Pasien dengan berat kurang dari 70% dari berat badan ideal atau kurang dari 80% dari
berat badan mereka biasa dianggap malnutrisi berat.8,10
Status malnutrisi
% berat badan ideal
% berat badan biasa
Ringan
80-90%
90-95%
Sedang
70-79%
80-89%
Berat
<70%
<80%
Tabel 2. Tingkat malnutrisi : berat badan sekarang vs berat badan ideal dan biasa. [dikutip
dari kepustakaan 8]
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat mendeteksi masalah gizi pada fase awal sebelum
tanda dan gejala fisik kelihatan. Umumnya, pemeriksaan rutin menunjukkan
informasi mengenai kalori-protein , dengan serum albumin sebagai pemeriksaan
yang paling umum digunakan untuk mendeteksi masalah gizi. Pemeriksaan
dilakukan
untuk
menentukan kecukupan
simpanan
protein.
Ada
juga
menunjukkan
kadar
protein
dalam
tubuh. Albumin
membentuk lebih dari 50% total protein dalam darah dan berpengaruh
terhadap sistem kardiovaskuler, karena albumin membantu mempertahankan
tekanan osmotik. Perlu diingat bahwa produksi albumin berkaitan
dengan
dalam
mengkaji
kapasitas
(leukosit)
jawab
menghancurkan
merupakan
terhadap
organisme
sel
infeksi
darah
putih,
bakteri.
sebagaimana
sel
Leukosit
fagositosis,
utama
yang
bertugas untuk
yang terjadi
pada
perbaikan seluler. 2
Kejadian
malnutrisi
menurunkan
jumlah
limfosit
total,
mengganggu
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Jumlah limfosit total digunakan untuk
mengevaluasi sistem imun, dan membantu evaluasi simpanan protein. Jumlah
limfosit total dapat juga terpengaruh oleh banyak kondisi medis, sehingga nilainya
terbatas. 2
d. Transferin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam
mengkaji status protein visceral. Serum transferin ini dihitung dengan
menggunakan kapasitas total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakan
rumus : transferin serum = (8 x TIBC) - 43.2
Albumin (g/dL)
Transferrin (g/dL)
Normal
3,5-5,0
200-400
Malnutrisi ringan
2,8 3,4
150-199
Malnutrisi sedang
2,1-2,7
100-149
Malnutrisi berat
<21
<100
Tabel 3. Menentukan tingkat malnutrisi menggunakan penilaian protein viseral.
[dikutip dari kepustakaan 8]
F. Penatalaksanaan
Pemberian nutrisi tambahan bertujuan untuk meningkatkan status gizi dari pada
pasien dengan keadaan status gizi yang menurun. Penelitian dari pemberian nutrisi
tambahan pada pasien pasca operasi menunjukkan penurunan morbiditas dan
menurunkan waktu rawat inap pasien di rumah sakit. Selain itu pemberian nutrisi
tambahan pada pasien malnutrisi efektif dalam hal biaya yaitu mengurangi biaya yang
diakibatkan dari lama rawat inap pasien di rumah sakit. Dan meningkatkan kualitas
hidup. Tapi penting untuk mengetahui dan untuk mempertimbangkan cara yang paling
klinis yang tepat dan bermanfaat untuk memberikan dukungan nutrisi pada pasien
bedah.11
Sokongan gizi untuk pasien stress dan bedah dapat dilakukan parenteral atau
enteral. Biasanya jalur parenteral dianggap sentral (zat gizi dimasukkan ke vena besar
atau beraliran tinggi, sehingga dapat bersifat hipertonik dan memberikan semua
kebutuhan) atau perifer ( vena perifer digunakan, yang mengangkut larutan kurang
pekat yang memberikan formulasi kurang lengkap). Namun sebagian besar pasien
bedah dapat disokong dengan menggunakan traktus gastrointestinalis (jalur enteral),
dengan pemberian makan parenteral yang dicadangkan untuk pasien yang traktus gastro
intestinalisnya tidak tersedia karna satu atau alasan lainnya.7
1. Nutrisi enteral
Bila traktus gastrointestinalis berfungsi dengan baik, maka lebih disukai jalur ini.
Jalur enteral adalah yang paling baik untuk memberikan nutrisi, dengan demikian,
diktum bila usus bekerja, gunakan usus tersebut. Berikut ini adalah jalur-jalur
untuk memasukkan nutrisi ke dalam GastroIntestinal Track.7,12
a. Pemberian makanan melalui nasogastric yaitu bila mana pengosongan lambung
berlangsung normal dan pasien tidak mungkin atau dikontraindikasikan untuk
menelan, pemasangan pipa nasogastrik (pipa ryle) dapat digunakan untuk
memberikan nutrisi.12
b. Pemberian makanan melalui nasojejunum yaitu pada statis lambung pemberian
makanan dapat dilakukan melalui pipa nasojejunum yang dimasukkan secara
membuta (blindly) atau di bawah paduan radiologik atau endoskopik untuk
meletakkan ujungnya dalam jejunum (post pilorik).12
c. Pemberian makanan melalui gastrostomi yaitu dengan metode terbuka atau
dengan gastrostomi endoskopik perkutaneus (PEG) bilamana pemasangan pipa
ryle atau pipa nasojejunum tidak mungkin dilakukan.12
10
11
kemudian
dicapai.
Pendekatan
standar
adalah dengan
12
G. Komplikasi
Malnutrisi sering dihubungkan dengan komplikasi yang terjadi pada tindakan
pembedahan. Meskipun masih sulit menyatakan hubungan penyebabnya, telah diketahui
bahwa malnutrisi dapat menghambat penyembuhan luka operasi, daya tahan tubuh
13
(imunokompetens),
penurunan
fungsi
otot
jantung.15
Malnutrisi
juga
dapat
terjadi
dalam beberapa
hari bukan
beberapa minggu, jika intake tidak memenuhi kebutuhan, khususnya protein dan
energi. Konsekuensi signifikan semi-starvasi pada orang sehat diringkas dalam
Tabel 4 dibawah ini.
No
1.
Semi Starvasi
Penurunan berat badan
Gizi kurang
Peningkatan infeksi pada
2.
pembedahan
Terhambatnya penyembuhan
3.
Depresi
luka
Penurunan kualitas hidup
4.
Apatis, malaise
5.
6.
jantung, pernafasan)
Penurunan fungsi termoregulasi
kardiovaskuler
Peningkatan komplikasi
14
7.
Rusaknya Imunitas
(pneumonia)
Peningkatan waktu pemulihan
8.
9.
Peningkatan readmission
10.
11.
Penurunan konsentrasi
Peningkatan mortalitas
12.
Peningkatan biaya
13.
Terhambatnya pertumbuhan
Tabel 4. Variabel yang dihubungkan dengan Semi-Starvasi dan Gizi Kurang pada
Orang Sehat dan Pasien Bedah. [dikutip dari kepustakaan 2]
Masalah ini juga lazim terjadi setelah pembedahan, kelihatannya gizi kurang
yang berhubungan dengan pembedahan, menunjang hasil yang buruk pada pasien
bedah.
15