Anda di halaman 1dari 15

MALNUTRISI POST OPERATIF

Zurezki Yuana Yafie, Faruly Wijaya S. Limba


A. Pendahuluan
Status gizi pada pasien dewasa dan usia lanjut di rumah sakit telah dibahas selama
bertahun-tahun. Tingkat malnutrisi dalam populasi ini biasanya tergantung pada kriteria
penyakit dan penilaian yang bervariasi dari 10% menjadi 50%. Namun, risiko
kekurangan gizi bervariasi dari 19% sampai 60% menurut sebuah penelitian di Inggris.
Menurut penelitian di Jerman sebesar 27,4% dan 46% menurut penelitian di Kanada.1
Malnutrisi adalah suatu istilah umum yang merujuk pada kondisi medis yang
disebabkan oleh diet yang tak tepat atau tak cukup2 atau malnutrisi adalah suatu
keadaan tidak terpenuhinya energi, protein atau keduanya dari asupan makanan 3.
Walaupun seringkali disamakan dengan kurang gizi yang disebabkan oleh kurangnya
konsumsi, buruknya absorpsi, atau kehilangan besar nutrisi atau gizi, istilah ini
sebenarnya juga mencakup kelebihan gizi (overnutrition) yang disebabkan oleh
makanan berlebihan atau masuknya nutrien spesifik secara berlebihan ke dalam tubuh2.
Malnutrisi adalah masalah yang sering bersama dengan pasien bedah. Studi telah
melaporkan 40% -50% dari pasien bedah akan kekurangan gizi pada saat masuk ke
rumah sakit. Ada insiden yang tinggi malnutrisi pada pasien rawat inap yang menjalani
operasi gastrointestinal. Pasien dengan masalah pencernaan, terutama dengan
keganasan, beresiko tinggi terkena gizi buruk, dan stres bedah juga dapat menonjolkan
masalah katabolik ini4.
Penelitian di Jakarta menunjukkan sekitar 20 %-60% pasien rawat inap di
rumah sakit umum dalam kondisi malnutrisi saat masuk perawatan dan 69% cenderung
menurun status gizinya selama rawat inap di rumah Sakit. Penelitian di rumah sakit
Ciptomangunkusumo Jakarta tahun 2009 mencatat prevalensi pasien dengan malnutrisi
di bagian bedah digestif, sebesar 45,9% .

B. Klasifikasi
Secara klasik malnutrisi telah terbagi menjadi dua bentuk dasar yaitu gizi buruk
terhadap kekurangan protein kalori atau marasmus, dan defisiensi protein atau
kwarshiorkor. Walaupun kondisi ini paling lazim di negara-negara ketiga dunia,
marasmus dan kwarshiorkor juga dapat bermanifestasi pada pasien yang dirawat di
rumah sakit. Salah satu contoh klinis yang paling umum dari pasien marasmus adalah
pasien yang tidak mendapatkan diet yang adekuat selama beberapa hari sampai
beberapa bulan. Pasien seperti itu, jika mengakui dan kehilangan dukungan gizi buruk,
akan mulai memanfaatkan otot somatik yang tersisa untuk mendukung glukoneogenesis
(pembentukan glukosa dari sumber noncarbohydrate)5.
Penyakit

Klinis

Waktu

Gejala klinis

Laboratorium

Perjalanan
klinis

mortalitas

Marasmus

Kurangnya
intake
kalori

Bulan
atau
tahun

Kemungkinan
albumin dan
transferin
normal

Bertahan dalam
stress jangka
pendek

kwarshiorkor

Kurangnya
intake
protein
selama
stress

Minggu

Tampilan seperti
kelaparan, berat
badan < 80%
dari berat badan
biasa, TSF <
3mm, MAMC
<15 cm
Tampak seperti
gizi baik,
rambut mudah
tercabut dan
edema

Albumin dan
transferin
rendah

Penyembuhan
luka yang buruk,
ulkus dekubitus
dan kerusakan
kulit

Rendah,
kecuali yang
berhubungan
dengan
penyakit
yang
mendasari.
Tinggi

Tabel 1. Perbandingan marasmus dan kwarshiorkor.[dikutip dari kepustakaan 5]


C. Etiologi
Malnutrisi pada pasien bisa terjadi karena dua hal yaitu 1) proses penyakit yang
dideritanya yang bisa mempengaruhi asupan makanan, meningkatkan kebutuhan,
merubah metabolisme dan bisa terjadi malabsorpsi. 2) tidak adekuatnya asupan
kalori makanan yang dikonsumsi oleh pasien. Umumnya kedua hal ini secara
bersama -sama menyebabkan malnutrisi pada pasien selama dirawat di rumah sakit2.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya malnutrisi di rumah Sakit adalah
koordinasi yang kurang antar tim kesehatan, seperti monitoring dan pencatatan berat
2

badan dan tinggi badan yang tidak dilaksanakan, penyimpangan tanggung jawab
petugas gizi dalam tata laksana gizi, penggunaan parenteral nutrisi yang terlalu lama,
kegagalan petugas dalam mengamati asupan makanan, sering memuasakan pasien untuk
tujuan tes diagnostik merupakan penyebab menurunnya status gizi. Hal lain yang juga
mempengaruhi adalah sarana dan keterampilan yang belum memadai sehingga
perhatian dalam pemberian makanan masih kurang3.
Studi melaporkan bahwa hingga 40% dari pasien mengalami kekurangan gizi
ketika masuk ke rumah sakit dan mayoritas terus mengalami penurunan status gizi
selama masa pasien di rumah sakit. Secara umum, penyebab operasi yang berhubungan
dengan malnutrisi adalah hiperkatabolisme, puasa setelah operasi, ileus yang
berkepanjangan, fistula, syndrom malabsorpsi, obstruksi usus, dan atonia gaster4.
Pasien yang menjalani operasi gastrointestinal beresiko deplesi nutrisi dari asupan
nutrisi yang tidak memadai, baik sebelum operasi dan pasca operasi, stres operasi dan
peningkatan metabolisme. Jika seorang pasien kanker pencernaan memerlukan operasi
selama pengobatan, kondisi metabolik mereka harus optimal pada saat intervensi6.
Beberapa faktor predisposisi pasien yang menjalani operasi untuk saluran cerna
bagian atas dan kanker kolorektal menjadi kekurangan gizi yaitu termasuk efek
katabolik kanker serta efek samping dari saluran pencernaan yaitu mual, muntah,
anoreksia, diare dan, dalam beberapa kasus, disfagia dan malabsorpsi6.
D. Patofisiologi
Respon yang kompleks terhadap stres fisik akibat pembedahan dan injury,
dimediasi oleh perubahan hormonal dan sistem saraf simpatis, salah satunya
adalah hipermetabolisme dan katabolisme.2
Respon neuroendokrin merupakan refleks neurofisiologis yang dirangsang oleh
proses cedera. Aktivasi susunan saraf autonom merangsang kenaikan aktivitas simpatis.
Kadar katekolamin plasma meningkat serta besar dan lama peningkatan ini sebanding
dengan keparahan cedera atau stres. Aktivitas hormon thyroidea menyebabkan
berkurangnya kadar Triiodothyronine (T3) serta kenaikan T3 reverse. Kadar tiroxin

(T4) biasanya dalam batas normal, seperti kadar TSH. Perubahan aktivitas thyroidea ini
dianggap ikut berperan dalam perubahan laju metabolisme. Namun perlu diingat bahwa
peranan hormon thyroidea, hormon luteinisasi, hormon perangsang folikel, prolaktin
dan testosteron mungkin bermakna kecil atas respon metabolik terhadap stress.7
Terdapat retensi garam dan air yang bermakna akibat sistem renin angiotensinaldosteron juga menjadi aktif selama stres. Pada cedera yang berat, kadar renin plasma
meningkat sepuluh kali lipat. Akibat kenaikan sekresi aldosteron ini, tubulus ginjal akan
menahan natrium dan air dengan mengorbankan kalium. Serta peningkatan

basal

metabolik rate dan produksi glukosa hepatic. Penyembuhan luka meningkatkan


produksi glukosa sebanyak 80% dan juga membutuhkan sintesis protein.2,7
Dalam responnya terhadap cedera, timbul perubahan hebat pada komposisi tubuh.
Terjadi Kenaikan jumlah air tubuh total yang merupakan akibat kenaikan air ekstrasel,
dengan volume air intrasel sebenarnya berkurang. Akibat metabolik dan gizi dari
kelaparan dan cedera.
Kategori
Anoreksia
Berat badan
Laju metabolisme basal
Glukosa darah
Insulin serum
Glukagon plasma
Asam amino plasma total
Ekskresi nitrogen urin
Kecepatan pertukaran
Daur ulang glukosa tubuh

Kelaparan
+

Luka
+

(%)
Pertukaran protein tubuh
Sintesis protein tubuh
Katabolisme protein

tubuh
Glukoneogenesis dari

alanin
Ket : : penurunan bermakna, : kenaikan bermakna, : tidak ada perubahan atau
kecenderungan tak bermakna. Untuk anoreksia, + menunjukkan kehadirannya.

Tabel 2. Akibat gizi dan metabolik kelaparan dan cedera.[dikutip dari kepustakaan 7]
Kebutuhan tenaga umumnya meningkat selama stres. Perubahan keseimbangan
tenaga timbul pada berbagai tipe stres.
Vo2

Pembuanga
n N2

Setara

kehilangan kehilangan
protein

kelaparan
Operasi
Trauma
Luka bakar
Sepsis

Setara
jaringan

Kehilangan
cairan dan
elektrolit

(g/hari)
(g/hari)
40 %
3-10
19-36
84-280

+ 5%
10-12
63-75
280-350

+ 20%
10-15
75-94
350-420
+
+50%
15 +
94 +
420 +
++
+50%
20 +
125+
560 +
++
Tabel 3. Akibat metabolik dari stres. [dikutip dari kepustakaan 7]

Lemak (jaringan adiposa) yaitu oksidasi trigliserida ditandai pada pasien pasca
bedah dianggap meningkat dan cadangan protein ( lean muscle mass) dimobilisasi untuk
memenuhi kebutuhan sintesis glukosa dan protein yang menghasilkan penurunan
BB.7
Secara umum, respon katabolik meningkatkan kebutuhan energi dan protein,
besar dan durasinya tergantung dari lama pembedahan. Studi terbaru mengatakan
bahwa respon katabolik terhadap pembedahan dapat dicegah dengan intake yang
adekuat.2
Intake energi dan protein adekuat penting untuk membatasi kehilangan
protein dan lemak. Namun, kebanyakan pasien tidak dapat makan dengan cukup
untuk memenuhi peningkatan dan/atau mencegah penurunan BB setelah pembedahan.
Masalah yang sering terjadi seperti nyeri, mual, mulut kering, rasa tidak nyaman di
lambung dan distensi, puasa, prosedur tidak menyenangkan, anxietas, makanan yang
tidak familiar dan rutinitas di rumah sakit semuanya berpotensi menurunkan nafsu
makan dan intake. Pasien yang tidak makan atau tidak cukup makan, cadangan
protein dan lemaknya akan berkurang dengan cepat. Hal ini mendatangkan konsekuensi
klinis yang signifikan, khususnya bagi mereka dengan gizi kurang sebelum operasi.2

E. Menilai status gizi


Sebuah penilaian gizi yang komprehensif sangat penting sebelum operasi, karena
membantu dalam memperkirakan risiko bedah dan dalam menentukan apakah seorang
pasien merupakan kandidat untuk diberikan nutrisi tambahan. Penilaian ini menentukan
apakah pasien kurang gizi dan jika demikian, untuk apa status gizi seorang pasien
tersebut. Umumnya, tingkat keparahan kekurangan gizi sebanding dengan tingkat risiko
bedah8.
Karena tidak ada tes tunggal yang dapat menentukan status gizi secara akurat,
dokter harus melihat beberapa tanda. Tes laboratorium seperti albumin serum dan
pengukuran antropometri seperti berat badan digunakan secara tradisional untuk menilai
status gizi. Sayangnya, tanda tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non
nutritional seperti disfungsi hati, edema, atau ascites8.
1. Penilaian gizi prognostik
Penilaian gizi prognostik dikembangkan untuk memprediksi prospektif risiko
komplikasi pasca operasi pada pasien bedah yang ditentukan bukan hanya atas dasar
parameter gizi saja. Tapi menggunakan kombinasi penanda gizi atau beberapa
insufisiensi gizi yaitu serum albumin dan transferrin serum. Ini pada awalnya
divalidasi dalam studi pasien bedah gastrointestinal dan sejak itu telah terbukti
berguna dalam banyak pasien bedah lainnya. Namun, tidak banyak digunakan dalam
praktek klinis7,8.
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada kenyataannya, hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat lebih
bermakna dari penanda objektif status gizi. Anamnesis pasien harus fokus pada berat
badan (ideal, biasa, dan saat ini berat badan, dan penurunan berat badan baru-baru
ini), perubahan kebiasaan makan dan fungsi pencernaan, sifat dan tingkat keparahan
penyakit yang mendasari, dan setiap pola makan yang tidak biasa misalnya kebiasaan
diet atau pembatasan makanan8,9.

Penilaian fisik dapat mencakup penampilan umum pasien, memperhatikan edema,


ascites, cachexia, obesitas, perubahan kulit, membran mukosa yang kering, peteki
atau ekimosis, penyembuhan luka yang buruk, dan glositis, stomatitis, atau cheilosis.
Selain itu, sistem muskuloskeletal pasien harus diperiksa dan diraba, asimetri dapat
terjadi dengan gangguan neurologis yang sudah ada sebelumnya seperti stroke dan
ukuran otot tergantung latihan. Otot-otot temporalis, otot deltoid, otot supraskapula
dan infrascapula, massa dan tonus otot bisep, trisep, dan femoralis anterior, dan otototot interosseus dari tangan harus menjadi bagian bagian yang diperhatikan.9
Klinisi sering dengan mudah mengidentifikasi hilangnya lemak subkutan dan otot
pada pasien dengan penyakit berat yang mendasari atau pasien yang terbaring di
tempat tidur. Penilaian fisik juga dapat membantu mengidentifikasi kekurangan
nutrisi tertentu. Ini harus difokuskan pada area tubuh dengan perubahan yang nyata,
seperti hair-bearing area, mukosa mulut, gravity-dependent areas, dan sensasi perifer
di tangan dan kaki.9
3. Pemeriksaan antropometrik
Pemeriksaan antropometrik termasuk didalamnya pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, indeks massa tubuh dan lingkar lengan atas yang digunakan untuk mengukur
status gizi seseorang, pemeriksaan antropometrik dikombinasikan dengan hasil dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik.8,10
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri ini sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya
terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak,
otot dan jumlah air dalam tubuh.8,10
Kehilangan berat badan lebih dari 10% dari berat badan biasanya dalam waktu 6
bulan dianggap parah dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas, seperti 7,5% dalam 3 bulan, 5% dalam 1 bulan, atau 2% dalam 1 minggu.

Pasien dengan berat kurang dari 70% dari berat badan ideal atau kurang dari 80% dari
berat badan mereka biasa dianggap malnutrisi berat.8,10
Status malnutrisi
% berat badan ideal
% berat badan biasa
Ringan
80-90%
90-95%
Sedang
70-79%
80-89%
Berat
<70%
<80%
Tabel 2. Tingkat malnutrisi : berat badan sekarang vs berat badan ideal dan biasa. [dikutip
dari kepustakaan 8]

4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat mendeteksi masalah gizi pada fase awal sebelum
tanda dan gejala fisik kelihatan. Umumnya, pemeriksaan rutin menunjukkan
informasi mengenai kalori-protein , dengan serum albumin sebagai pemeriksaan
yang paling umum digunakan untuk mendeteksi masalah gizi. Pemeriksaan
dilakukan

untuk

menentukan kecukupan

simpanan

protein.

Ada

juga

pemeriksaan yang mengukur produk hasil katabolisme protein (seperti kreatinin),


dan pemeriksaan yang lain mengukur produk anabolisme protein (seperti kadar
albumin, transferin, hemoglobin, hematokrit, prealbumin, retinol binding protein,
dan jumlah limfosit total)2,8
a. Albumin
Kadar albumin

menunjukkan

kadar

protein

dalam

tubuh. Albumin

membentuk lebih dari 50% total protein dalam darah dan berpengaruh
terhadap sistem kardiovaskuler, karena albumin membantu mempertahankan
tekanan osmotik. Perlu diingat bahwa produksi albumin berkaitan

dengan

metabolisme di hati dan suplai asam amino yang adekuat. 2,8


b. Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan komponen utama dari dari sel darah merah
yang mentranspor oksigen. Pembentukan hemoglobin membutuhkan suplai
protein yang adekuat dalam membentuk asam amino. Nilai hemoglobin
membantu

dalam

mengkaji

kapasitas

oksigen darah dan berguna untuk

diagnose anemia, defisiensi protein, dan status hidrasi. 2,8

c. Jumlah limfosit total


Limfosit
bertanggung

(leukosit)
jawab

menghancurkan

merupakan
terhadap

organisme

sel

infeksi

darah

putih,

bakteri.

sebagaimana

sel

Leukosit

fagositosis,

utama

yang

bertugas untuk

yang terjadi

pada

perbaikan seluler. 2
Kejadian

malnutrisi

menurunkan

jumlah

limfosit

total,

mengganggu

kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Jumlah limfosit total digunakan untuk
mengevaluasi sistem imun, dan membantu evaluasi simpanan protein. Jumlah
limfosit total dapat juga terpengaruh oleh banyak kondisi medis, sehingga nilainya
terbatas. 2
d. Transferin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam
mengkaji status protein visceral. Serum transferin ini dihitung dengan
menggunakan kapasitas total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakan
rumus : transferin serum = (8 x TIBC) - 43.2

Albumin (g/dL)
Transferrin (g/dL)
Normal
3,5-5,0
200-400
Malnutrisi ringan
2,8 3,4
150-199
Malnutrisi sedang
2,1-2,7
100-149
Malnutrisi berat
<21
<100
Tabel 3. Menentukan tingkat malnutrisi menggunakan penilaian protein viseral.
[dikutip dari kepustakaan 8]

F. Penatalaksanaan
Pemberian nutrisi tambahan bertujuan untuk meningkatkan status gizi dari pada
pasien dengan keadaan status gizi yang menurun. Penelitian dari pemberian nutrisi
tambahan pada pasien pasca operasi menunjukkan penurunan morbiditas dan
menurunkan waktu rawat inap pasien di rumah sakit. Selain itu pemberian nutrisi

tambahan pada pasien malnutrisi efektif dalam hal biaya yaitu mengurangi biaya yang
diakibatkan dari lama rawat inap pasien di rumah sakit. Dan meningkatkan kualitas
hidup. Tapi penting untuk mengetahui dan untuk mempertimbangkan cara yang paling
klinis yang tepat dan bermanfaat untuk memberikan dukungan nutrisi pada pasien
bedah.11
Sokongan gizi untuk pasien stress dan bedah dapat dilakukan parenteral atau
enteral. Biasanya jalur parenteral dianggap sentral (zat gizi dimasukkan ke vena besar
atau beraliran tinggi, sehingga dapat bersifat hipertonik dan memberikan semua
kebutuhan) atau perifer ( vena perifer digunakan, yang mengangkut larutan kurang
pekat yang memberikan formulasi kurang lengkap). Namun sebagian besar pasien
bedah dapat disokong dengan menggunakan traktus gastrointestinalis (jalur enteral),
dengan pemberian makan parenteral yang dicadangkan untuk pasien yang traktus gastro
intestinalisnya tidak tersedia karna satu atau alasan lainnya.7
1. Nutrisi enteral
Bila traktus gastrointestinalis berfungsi dengan baik, maka lebih disukai jalur ini.
Jalur enteral adalah yang paling baik untuk memberikan nutrisi, dengan demikian,
diktum bila usus bekerja, gunakan usus tersebut. Berikut ini adalah jalur-jalur
untuk memasukkan nutrisi ke dalam GastroIntestinal Track.7,12
a. Pemberian makanan melalui nasogastric yaitu bila mana pengosongan lambung
berlangsung normal dan pasien tidak mungkin atau dikontraindikasikan untuk
menelan, pemasangan pipa nasogastrik (pipa ryle) dapat digunakan untuk
memberikan nutrisi.12
b. Pemberian makanan melalui nasojejunum yaitu pada statis lambung pemberian
makanan dapat dilakukan melalui pipa nasojejunum yang dimasukkan secara
membuta (blindly) atau di bawah paduan radiologik atau endoskopik untuk
meletakkan ujungnya dalam jejunum (post pilorik).12
c. Pemberian makanan melalui gastrostomi yaitu dengan metode terbuka atau
dengan gastrostomi endoskopik perkutaneus (PEG) bilamana pemasangan pipa
ryle atau pipa nasojejunum tidak mungkin dilakukan.12

10

d. Gastrostomi endoskopik perkutaneus (PEG), dengan bantuan endoskop, pipa


gastrostomi diletakkan secara retrograde dan di bawah melalui insisi kulit.
Metode ini secara teknik sangat mudah dan dapat dilakukan menggunakan
anastesi lokal.12
e. Jejunostomi untuk pemberian makanan yaitu setelah prosedur operasi mayor/
kompleks pada esophagus, lambung dan pankreas, jejunostomi untuk
pemberian makanan seringkali dibentuk.12

Gambar 1. Jalur pemberian makanan enteral. [dikutip dari kepustakaan 13]


2. Nutrisi parenteral
Bilamana nutrisi enteral tidak mungkin diberikan selama lebih dari beberapa hari,
nutrisi parenteral (PN) mungkin perlu dipertimbangkan. Bilamana semua nutrisi
diberikan melalui jalur parenteral, hal ini dikenal dengan nutrisi parenteral total.
Nutrisi parenteral parsial mungkin diberikan untuk suplementasi nutrisi enteral yang
tidak memadai12. Jalur pemberian nutisi parenteral yaitu :12
a. Vena perifer yaitu larutan yang kurang dari 800 mOsm/L dapat diberikan
melalui vena perifer. Vena perifer ini cocok untuk PN jangka pendek. 12
b. Vena sentral yaitu vena jugularis interna atau vena subclavia dapat
dikanulasi. Larutan PN dengan osmolalitas yang lebih tinggi harus diberikan
melalui vena sentral. 12
c. Kateter vena sentral yang dipasang perifer yaitu jalur ini juga dapat
digunakan untuk tujuan jangka pendek. 12
d. Port kateter vena sentral yang diimplentasikan atau diletakkan subkutaneus
cocok digunakan terutama untuk PN rawat jalan atau jangka panjang. 12
Ada sedikit bukti bahwa nutrisi parenteral lebih efektif daripada enteral,
namun tentu saja lebih mahal dan dikaitkan dengan resiko lebih tinggi komplikasi
serius, khususnya infeksi. Ada bukti bahwa enteral feeding (dalam 24 jam) memiliki

11

manfaat signifikan dibandingkan parenteral feeding dan enteral yang terlambat.


Memanjangnya ketiadaan nutrisi di saluran cerna mempengaruhi flora saluran cerna
dan dapat berdampak pada metabolisme asam amino. Juga mengubah dan mengurangi
struktur dan fungsi mukosa2. Nutrisi enteral juga merupakan pilihan yang efektif pada
pasien gizi buruk dengan kanker gastrointestinal dan berhubungan dengan komplikasi
yang lebih sedikit, perawatan pasca-operasi di rumah sakit lebih singkat dan
mengurangi biaya dibandingkan dengan total parenteral nutrition (TPN), tapi jika rute
enteral tidak akan tersedia untuk lebih dari satu minggu administrasi awal tetap harus
dipertimbangkan11.
Nutrisi parenteral bermanfaat dalam situasi berikut: pada pasien yang kekurangan
gizi di antaranya nutrisi enteral tidak layak atau tidak ditoleransi, pada pasien dengan
komplikasi pasca operasi merusak fungsi pencernaan yang tidak mampu menerima dan
menyerap jumlah makanan enteral minimal 7 hari.14
Pada pasien yang membutuhkan nutrisi buatan pasca operasi, makanan enteral
atau kombinasi enteral dan tambahan nutrisi parenteral adalah pilihan pertama.
Kombinasi nutrisi enteral dan parenteral harus dipertimbangkan pada pasien yang ada
indikasi untuk dukungan nutrisi dan diantaranya >60% dari kebutuhan energi tidak
dapat dipenuhi melalui rute enteral, misalnya output tinggi enterocutaneous fistula atau
pada pasien yang sebagian menghalangi lesi gastrointestinal jinak atau ganas tidak
mengizinkan refeeding enteral.14
Operasi pasien dengan penyakit obstruksi saluran cerna tidak boleh ditunda
karena risiko aspirasi atau distensi usus yang parah dapat menyebabkan peritonitis. Pada
pasien dengan gagal gastrointestinal berkepanjangan, parenteral menyelamatkan
nyawa.14
Intervensi nutrisi hanya bisa efektif jika kebutuhan energi secara akurat
diperhitungkan

kemudian

dicapai.

Pendekatan

standar

adalah dengan

memperkirakan kebutuhan energi dari basal energi expenditure, menggunakan


regression equations dan faktor stres dan aktivitas (lihat rumus di bawah).
Kebutuhan energi berkisar antara 85-150 kJ/kg.2

12

Kebutuhan protein biasanya diset antara 7-8 % kebutuhan energi, meskipun


pasien yang sakit parah atau injury mungkin membutuhkan 15-20% energi mereka
dalam bentuk protein. Ini sekitar 1.5-2.0 g protein/kg BB. Penelitian lebih lanjut
dibutuhkan pasien. Ini juga menjamin bahwa pasien menerima dukungan nutrisi
pada tingkat yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.2

Estimasi Basal Energy Expenditure dan Total Energy Requiretment :2

G. Komplikasi
Malnutrisi sering dihubungkan dengan komplikasi yang terjadi pada tindakan
pembedahan. Meskipun masih sulit menyatakan hubungan penyebabnya, telah diketahui
bahwa malnutrisi dapat menghambat penyembuhan luka operasi, daya tahan tubuh

13

(imunokompetens),

penurunan

fungsi

otot

jantung.15

Malnutrisi

juga

dapat

menyebabkan peningkatan risiko gangguan pernapasan, seperti atelektasis dan


pneumonia, komplikasi sekunder berupa penurunan kekuatan otot pernafasan dan
ketidakmampuan untuk batuk.5 Lebih jauh lagi pasien malnutrisi akan mempunyai
risiko morbiditas lebih tinggi sebanding dengan lama rawat yang lebih panjang, apabila
dibandingkan dengan pasien bergizi baik15. Malnutrisi juga berpotensi menyebabkan
gangguan anastomosis usus serta dehiscence luka dan infeksi.5
Nutrisi yang optimum merupakan kunci utama untuk pemeliharaan seluruh fase
penyembuhan luka. Terdapat dua proses yang dapat melengkapi penyembuhan luka
yaitu aktivasi respon stres pada fase akut terhadap luka serta malnutrisi energi dan
protein yang terjadi.15 Malnutrisi berhubungan dengan toleransi yang buruk terhadap
pengobatan, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan biaya kesehatan.
Hasil positif dari pembedahan sangat tergantung pada mekanisme imun yang
adekuat dan penyembuhan luka. Keduanya bergantung dari peningkatan sintesis
protein baru, yang secara signifikan membatasi keseimbangan nitrogen negatif dan
keseimbangan

energi. Semi-starvasi akan

terjadi

dalam beberapa

hari bukan

beberapa minggu, jika intake tidak memenuhi kebutuhan, khususnya protein dan
energi. Konsekuensi signifikan semi-starvasi pada orang sehat diringkas dalam
Tabel 4 dibawah ini.
No
1.

Semi Starvasi
Penurunan berat badan

Gizi kurang
Peningkatan infeksi pada

2.

Anxietas dan mudah marah

pembedahan
Terhambatnya penyembuhan

3.

Depresi

luka
Penurunan kualitas hidup

4.

Apatis, malaise

Penurunan fungsi pencernaan

5.

Penurunan fungsi organ (pencernaan,

Penurunan fungsi respirasi dan

6.

jantung, pernafasan)
Penurunan fungsi termoregulasi

kardiovaskuler
Peningkatan komplikasi

14

7.

Rusaknya Imunitas

(pneumonia)
Peningkatan waktu pemulihan

8.

Penurunan resistensi terhadap infeksi

Peningkatan lama rawat

9.

Penyembuhan luka buruk

Peningkatan readmission

10.

Penurunan fungsi intelektual

Penurunan waktu di rumah

11.

Penurunan konsentrasi

Peningkatan mortalitas

12.

Penurunan kapasitas kerja

Peningkatan biaya

13.

Terhambatnya pertumbuhan

Tabel 4. Variabel yang dihubungkan dengan Semi-Starvasi dan Gizi Kurang pada
Orang Sehat dan Pasien Bedah. [dikutip dari kepustakaan 2]

Masalah ini juga lazim terjadi setelah pembedahan, kelihatannya gizi kurang
yang berhubungan dengan pembedahan, menunjang hasil yang buruk pada pasien
bedah.

15

Anda mungkin juga menyukai