Anda di halaman 1dari 7

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit kusta atau lepra (Morbus Hansen) merupakan infeksi kronis
granulomatous yang mengenai kulit, syaraf tepi dan jaringan tubuh lainnya
disebabkan

oleh

organisme

obligat

intraselluler

Mycobacterium leprae

(Oentari, 2014). Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan di


masyarakat oleh karena pemahaman tentang penyakit kusta masih kurang
sehingga banyak pasien kusta yang datang untuk mendapat pengobatan sudah
dalam keadaan cacat. (Depkes RI, 2007).
Laporan resmi yang diterima dari 115 negara dan wilayah, jumlah
kasus terdaftar kusta di dunia pada awal tahun 2013 mencapai 189.018 kasus
(0,33%). Jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara
sebanyak 125.167 kasus (0,68%), diikuti regional Afrika sebanyak 17.540
kasus (0,26%), regional Amerika sebanyak 33.926 kasus (0,39%) dan sisanya
di regional lain di dunia. Sedangkan, tahun 2012 sebanyak 232.857 kasus dan
tahun 2011 sebanyak 226.626 kasus (WHO, 2013).
Indonesia merupakan negara peringkat ke-3 di dunia sebagai
penyumbang penderita baru kusta. Jumlah kasus baru pada tahun 2010
ditemukan sebanyak 17.012 kasus baru kusta, sedangkan pada tahun 2011
terjadi peningkatan kasus menjadi 20.023 kasus baru kusta, dan pada tahun
2012 terjadi penurunan kasus menjadi 18.994 kasus (Depkes, 2012). Situasi
penderita kusta di Sulawesi Selatan hampir sama dengan pola nasional, jumlah
penderita dan prevalensi rate per 10.000 penduduk mengalami penurunan yang
tidak signifikan dari tahun ke tahun. Jumlah penderita kusta baru di Sulawesi
Selatan pada tahun 2013 sebanyak 746 penderita dan tahun 2012 sebesar 1.236
1

penderita, sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 1.258 orang.

Gambar 1.1. Prevalensi Lepra di Dunia (WHO, 2013)

Wilayah Kota Makassar, pada tahun 2013 terjadi penurunan kasus


baru kusta menjadi 36 penderita kusta dibandingkan pada tahun 2012 jumlah
penderita kusta yang terdaftar sebanyak 130 kasus yang terdiri dari 16 kasus
tipe Paubasiler dan 114 tipe Multibasiler dengan angka prevalensi per 10.000
penduduk yaitu 0,9 dan pada tahun 2011 jumlah penderita kusta yang terdaftar
sebanyak 146 orang yaitu penderita PB sebanyak 33 dan penderita MB
sebanyak 113 orang, angka prevalensi kusta sebesar 1,1% (PLKN, 2005).
Rumah Sakit Dr. Tadjuddin Chalid Makassar merupakan rumah sakit
khusus pusat rujukan rehabilitasi cacat kusta untuk wilayah timur Indonesia
yang bertempat di Makassar untuk penanganan lanjut penderita kusta. Jumlah
kunjungan penderita kusta rawat jalan di Rumah Sakit Dr. Tadjuddin Chalid
Makassar pada tahun 2013 sebanyak 3.630 penderita kusta, tahun 2012
sebanyak 3.896 penderita kusta dan pada tahun 2011 sebanyak 4.452 penderita

kusta (Saogi SF, 2014).


Cacat kusta dapat berdampak kepada pasien
keluarganya, diakibatkan
aktivitas kehidupan

adanya

sehari-hari.

kusta sendiri maupun

keterbatasan

fisik

untuk melakukan

Pasien cacat

kusta

sering mendapat

diskriminasi sosial di masyarakat sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat


kualitas hidup. Kecacatan yang terjadi pada pasien kusta dapat dihindari dengan
mendiagnosis penyakit kusta lebih dini secara tepat

serta memberikan

penanganan yang juga tepat, adekuat dan teratur sesuai dengan ketentuan
yang telah ada (Lubis, 2012).
Cacat kusta terdiri dari dua kelompok yaitu cacat primer yang
disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit terutama kerusakan akibat respon
jaringan terhadap M.leprae dan cacat sekunder yang disebabkan oleh cacat
primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf sensorik, motorik dan otonom
(Wisnu dkk, 2000). World Health Organization (WHO) membagi tingkatan
keparahan cacat pada tangan dan kaki pasien kusta yaitu cacat yang paling berat
adalah cacat tingkat 2 ditandai dengan ditemukannya kelainan anatomis seperti
ulkus, deformitas akibat kelemahan otot seperti drop foot, claw hand, kehilangan
jaringan dan resorption dari jari tangan/kaki sebagian atau seluruhnya. Pada
tahun 2010, WHO secara global melaporkan proporsi kasus baru kecacatan
tingkat 2/100.000 populasi adalah 0,23 dan >13.000 kasus baru kecacatan tingkat
2 telah dideteksi di seluruh dunia sedangkan di Indonesia penemuan kasus baru
kecacatan tingkat 2 adalah sebanyak 1822 kasus. Kerusakan

syaraf

menimbulkan gangguan sensibilitas pada fungsi sensorik (anestesi), motorik


(kelumpuhan otot) dan otonom (hilangnya fungsi kelenjar keringat dan kelenjar

lemak kulit) dari syaraf tepi. Kerusakan syaraf sensorik, motorik serta otonom
pada daerah kaki dapat menyebabkan anestesi, jari kaki kiting (claw toes), kaki
lunglai (foot drop), kulit kering, pecah-pecah, elastisitas berkurang sehingga
mudah terjadi luka (ILEP, 2006). Anestesi pada telapak kaki disertai perubahan
bentuk kaki, tekanan yang berlebihan dan adanya trauma akan menyebabkan
terbentuknya callus, bula dan ulkus plantaris (Srinivasan, 2004). Drop foot lepra
merupakan kecacatan primer yang sering terjadi pada kasus kusta yang terabaikan
(neglected leprosy). Pada cacat drop foot, penderita tidak mampu mengangkat
bagian depan kaki ketika akan melangkahkan kakinya ke depan, akibatnya
penderita harus menyeret jari kakinya di lantai, mengangkat lutut tinggi-tinggi
untuk menghindari gesekan kaki, kakinya inversi, berat tubuh tertumpu disisi
lateral kaki dan jari IV dan V, sehingga terjadi disfungsi pada kaki yang
terkinfeksi (Liliyani, 1998).
WHO pada pertemuannya di Geneva Swiss tahun 2014 telah menetapkan
rencana kerja yang disebut sebagai The Global Disability Action Plan 2014-2021
of the World Health Organization : Better health for all people with disabilities.
Rencana kerja ini mempunyai 3 tujuan yaitu meniadakan hambatan dan
memperbaiki aksesibilitas difabel (orang dengan disabilitas) ke pelayanan dan
program kesehatan; memperkuat dan memperluas rehabilitasi, habilitasi,
penunjang tehnologi, bantuan dan penunjang pelayanan serta rehabilitasi berbasis
masyarakat; memperkuat pengumpulan data disabilitas yang relevan dan dapat
dibandingkan secara internasional serta menunjang penelitian terhadap disabilitas
dan pelayanan terkait. (WHO, 2014)
Dari uraian diatas, diketahui betapa pentingnya fungsi kaki dan

kompleksnya penyebab serta akibat yang ditimbulkan oleh drop foot pada pasien
kusta sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Informasi dan
data yang terakhir tentang fungsi kaki pada kecacatan kaki pasien kusta yang di
dalamnya tercakup penelitian tentang karakteristik status demografis, drop foot
dan ulkus plantaris elah dilakukan di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Belawan Sumatera Utara pada tahun 2006 (Sukasihati, 2006). Sehingga pada
saat

sekarang

ini

sudah

perlu

dilakukan

evaluasi

untuk

melihat

perkembangannya. Keadaan diatas mendorong peneliti untuk melakukan


penelitian khusus tentang hubungan karakteristik dan penatalaksanaan rehabilitasi
terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di Rumah Sakit dr. Tadjuddin
Chalid Makassar yang dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2015.
1.2

Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang dinyatakan

sebagai pertanyaan penelitian : Bagaimanakah Hubungan Karakteristik dan


Penatalaksanaan Rehabilitasi terhadap Gambaran Klinis Fungsi Ambulasi
Penderita Drop Foot Lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid Makassar ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan

karakteristik

dan penatalaksanaan

rehabilitasi terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan karakteristik umur terhadap fungsi
ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid

Makassar
2. Untuk mengetahui hubungan karakteristik jenis kelamin terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
3. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pendidikan terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
4. Untuk mengetahui hubungan karakteristik penghasilan terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
5. Untuk mengetahui hubungan gambaran klinis berat badan
terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
6. Untuk mengetahui hubungan gambaran klinis lokasi drop foot
terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
7. Untuk mengetahui hubungan gambaran klinis tipe kusta terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
8. Untuk mengetahui hubungan

gambaran

klinis

onset

kusta

terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.


Tadjuddin Chalid Makassar
9. Untuk mengetahui hubungan penatalaksanaan rehabilitasi bedah
terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
10. Untuk mengetahui hubungan

penatalaksanaan

rehabilitasi

fisioterapi terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS.


dr. Tadjuddin Chalid Makassar
11. Untuk mengetahui hubungan penatalaksanaan rehabilitasi terapi

okupasi terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
12. Untuk mengetahui hubungan

penatalaksanaan

rehabilitasi

ortotik-prostetik terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra


di RS. dr. Tadjuddin Chalid Makassar
1.4

Manfaat Penelitian
1. Mendidik pasien drop foot lepra agar mengetahui langkah-langkah
yang harus diambil untuk melakukan pencegahan agar tidak timbul drop
foot lepra dan keparahan kecacatan kusta atau dapat melakukan
perawatan drop foot lepra dengan benar sehingga tidak akan berulang
dan tidak berkembang menjadi ulkus plantaris yang kronik atau
mengalami komplikasi.
2. Informasi dan data yang diperoleh dari pasien drop foot lepra dapat
menambah keilmuan melalui studi tentang penyakit kusta khususnya
mengenai drop foot.

Anda mungkin juga menyukai