PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit kusta atau lepra (Morbus Hansen) merupakan infeksi kronis
granulomatous yang mengenai kulit, syaraf tepi dan jaringan tubuh lainnya
disebabkan
oleh
organisme
obligat
intraselluler
Mycobacterium leprae
adanya
sehari-hari.
keterbatasan
fisik
untuk melakukan
Pasien cacat
kusta
sering mendapat
serta memberikan
penanganan yang juga tepat, adekuat dan teratur sesuai dengan ketentuan
yang telah ada (Lubis, 2012).
Cacat kusta terdiri dari dua kelompok yaitu cacat primer yang
disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit terutama kerusakan akibat respon
jaringan terhadap M.leprae dan cacat sekunder yang disebabkan oleh cacat
primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf sensorik, motorik dan otonom
(Wisnu dkk, 2000). World Health Organization (WHO) membagi tingkatan
keparahan cacat pada tangan dan kaki pasien kusta yaitu cacat yang paling berat
adalah cacat tingkat 2 ditandai dengan ditemukannya kelainan anatomis seperti
ulkus, deformitas akibat kelemahan otot seperti drop foot, claw hand, kehilangan
jaringan dan resorption dari jari tangan/kaki sebagian atau seluruhnya. Pada
tahun 2010, WHO secara global melaporkan proporsi kasus baru kecacatan
tingkat 2/100.000 populasi adalah 0,23 dan >13.000 kasus baru kecacatan tingkat
2 telah dideteksi di seluruh dunia sedangkan di Indonesia penemuan kasus baru
kecacatan tingkat 2 adalah sebanyak 1822 kasus. Kerusakan
syaraf
lemak kulit) dari syaraf tepi. Kerusakan syaraf sensorik, motorik serta otonom
pada daerah kaki dapat menyebabkan anestesi, jari kaki kiting (claw toes), kaki
lunglai (foot drop), kulit kering, pecah-pecah, elastisitas berkurang sehingga
mudah terjadi luka (ILEP, 2006). Anestesi pada telapak kaki disertai perubahan
bentuk kaki, tekanan yang berlebihan dan adanya trauma akan menyebabkan
terbentuknya callus, bula dan ulkus plantaris (Srinivasan, 2004). Drop foot lepra
merupakan kecacatan primer yang sering terjadi pada kasus kusta yang terabaikan
(neglected leprosy). Pada cacat drop foot, penderita tidak mampu mengangkat
bagian depan kaki ketika akan melangkahkan kakinya ke depan, akibatnya
penderita harus menyeret jari kakinya di lantai, mengangkat lutut tinggi-tinggi
untuk menghindari gesekan kaki, kakinya inversi, berat tubuh tertumpu disisi
lateral kaki dan jari IV dan V, sehingga terjadi disfungsi pada kaki yang
terkinfeksi (Liliyani, 1998).
WHO pada pertemuannya di Geneva Swiss tahun 2014 telah menetapkan
rencana kerja yang disebut sebagai The Global Disability Action Plan 2014-2021
of the World Health Organization : Better health for all people with disabilities.
Rencana kerja ini mempunyai 3 tujuan yaitu meniadakan hambatan dan
memperbaiki aksesibilitas difabel (orang dengan disabilitas) ke pelayanan dan
program kesehatan; memperkuat dan memperluas rehabilitasi, habilitasi,
penunjang tehnologi, bantuan dan penunjang pelayanan serta rehabilitasi berbasis
masyarakat; memperkuat pengumpulan data disabilitas yang relevan dan dapat
dibandingkan secara internasional serta menunjang penelitian terhadap disabilitas
dan pelayanan terkait. (WHO, 2014)
Dari uraian diatas, diketahui betapa pentingnya fungsi kaki dan
kompleksnya penyebab serta akibat yang ditimbulkan oleh drop foot pada pasien
kusta sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Informasi dan
data yang terakhir tentang fungsi kaki pada kecacatan kaki pasien kusta yang di
dalamnya tercakup penelitian tentang karakteristik status demografis, drop foot
dan ulkus plantaris elah dilakukan di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Belawan Sumatera Utara pada tahun 2006 (Sukasihati, 2006). Sehingga pada
saat
sekarang
ini
sudah
perlu
dilakukan
evaluasi
untuk
melihat
Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang dinyatakan
karakteristik
dan penatalaksanaan
rehabilitasi terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan karakteristik umur terhadap fungsi
ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
2. Untuk mengetahui hubungan karakteristik jenis kelamin terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
3. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pendidikan terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
4. Untuk mengetahui hubungan karakteristik penghasilan terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
5. Untuk mengetahui hubungan gambaran klinis berat badan
terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
6. Untuk mengetahui hubungan gambaran klinis lokasi drop foot
terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
7. Untuk mengetahui hubungan gambaran klinis tipe kusta terhadap
fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr. Tadjuddin Chalid
Makassar
8. Untuk mengetahui hubungan
gambaran
klinis
onset
kusta
penatalaksanaan
rehabilitasi
okupasi terhadap fungsi ambulasi penderita drop foot lepra di RS. dr.
Tadjuddin Chalid Makassar
12. Untuk mengetahui hubungan
penatalaksanaan
rehabilitasi
Manfaat Penelitian
1. Mendidik pasien drop foot lepra agar mengetahui langkah-langkah
yang harus diambil untuk melakukan pencegahan agar tidak timbul drop
foot lepra dan keparahan kecacatan kusta atau dapat melakukan
perawatan drop foot lepra dengan benar sehingga tidak akan berulang
dan tidak berkembang menjadi ulkus plantaris yang kronik atau
mengalami komplikasi.
2. Informasi dan data yang diperoleh dari pasien drop foot lepra dapat
menambah keilmuan melalui studi tentang penyakit kusta khususnya
mengenai drop foot.