Anda di halaman 1dari 33

A.

Penatalaksanaan
1. Penegakan Diagnosis
a. Pemeriksaan Klinis
i.

Anamnesis

ii.

Pemeriksaan Fisik

b. Pemeriksaan Radiodiagnostik/Imaging
i.

Foto Schedel ( untuk melihat invasi tumor yang menyebabkan


kerusakan pada dasar otak)

ii.

Foto Thorak (untuk melihat metastasis dalam paru-paru)

iii.

CT-Scan Kepala dan Leher

iv.

MRI

v.

USG Hepar

vi.

Bone Scintigraphy

vii.

MPC-stream

viii.

Positrom

Emission

Tommography

(PET)

(untuk

melihat

metastasis ke seluruh tubuh)


c. Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy Sitologi
Dilakukan pada lesi yang secara klinis dan radiologik curiga
ganas. Catatan : belum merupakan Gold Standard. Bila mampu,
dianjurkan untuk diperiksa TRIPLE DIAGNOSTIC.
d. Pemeriksaan Histopatologi
e. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan kimia darah
sesuai dengan perkiraan metastasis (Ramli M et al, 2003; Mulyarjo,
2002).
2. Skrining
Beberapa jenis kanker dapat ditemukan sebelum menunjukkan
gejala. Memeriksa untuk kanker (atau untuk kondisi yang dapat
menyebabkan kanker) pada orang yang tidak memiliki gejala disebut
screening. Skrining dapat membantu dokter menemukan dan mengobati
beberapa jenis kanker yang ditemukan lebih awal sehingga lebih efektif.

Namun, tidak semua jenis kanker memiliki tes skrining dan beberapa tes
hanya untuk orang-orang dengan risiko genetik yang spesifik (Harrison,
Tinsley R, 2008; Nolodewo A, 2007).
Pemeriksaan skrining kanker nasofaring secara massal bisa
dilakukan dengan pemeriksaan di laboratorium (serologi) yaitu untuk
mendeteksi adanya antibodi IgA untuk virus Epstein Barr. Titer IgA anti
VCA sangat sensitif untuk kanker nasofaring tetapi kurang spesifik.
Sebaliknya IgA anti EA sangat spesifik untuk kanker nasofaring tetapi
kurang sensitif. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengevaluasi
penderita pasca pengobatan untuk mengetahui kemungkinan berulangnya
kanker tersebut. Pada daerah endemik, pemeriksaan ini menjadi petunjuk
bagi dokter untuk merujuk penderita ke rumah sakit yang mempunyai
fasilitas pemeriksaan lebih lanjut (Lin HS et al, 2003).
3. Prosedur Terapi
Penatalaksanaan kanker nasofaring dilakukan dengan serangkaian
pengobatan meliputi radioterapi, kemoterapi, kombinasi radioterapi dan
kemoterapi, implantasi biji Iodium 125, i . Pengobatan ini ditujukan untuk
memusnahkan kanker atau membatasi perkembangan penyakit serta
menghilangkan

gejala-gejalanya.

Keberagaman

jenis

terapi

ini

mengharuskan terapi dilakukan secara individual (Harrison, Tinsley R,


2008). Terapi yang harus dilakukan terhadap pasien positif karsinoma
nasofaring harus disesuaikan dengan stadium karsinoma nasofaring yang
dialami. Untuk stadium awal cukup dilakukan radioterapi pada daerah
tumor primer dan pada seluruh leher, sedangkan untuk stadium lanjut
dibutuhkan kombinasi antara radioterapi dan kemoterapi. Kanker
nasofaring bersifat radiosensitif. Umumnya penanganan kanker nasofaring
adalah dengan penyinaran dan pemberian obat kanker. Tindakan operasi
jarang diperlukan, apalagi secara anatomis rongga nasofaring sulit
dijangkau dan sangat berdekatan dengan struktur vital seperti dasar
tengkorak, otak, mata dan arteri besar (karotis interna) sehingga

mempersulit tindakan pembedahan. Namun, tanpa adanya operasi menjadi


tidak ada persoalan karena pemberian terapi penyinaran dan obat-obatan
bisa menimbulkan permasalahan tersendiri. Efek sampingnya dapat
menimbulkan mual, muntah serta sering terjadi radang mukosa mulut yang
menimbulkan gejala seperti mulut kering dan timbul luka-luka kecil pada
penderita. Selain itu, dapat terjadi karies pada gigi, gangguan
pendengaran, kesukaran membuka mulut pada tahap lanjut. Bagaimanapun
mencegah lebih baik daripada mengobati.
a. Pemilihan Terapi Kanker
Faktor yang perlu diperhatikan :
i. Jenis kanker, ada 2:
(a)

Kanker Hemopoitik dan Limfapoitik


Umumnya merupakan kanker sistemik. Yang termasuk
dalam jenis kanker ini adalah kanker darah (leukemia),
limfoma maligna dan sumsum tulang (myeloma). Terapi
utama kanker hematologi adalah kemoterapi, sedangkan
operasi dan radioterapi sebagai adjuvan.

(b)

Kanker Padat (solid)


Kanker padat bisa lokal, menyebar ke regional dan atau
sistemik ke organ-organ lain. Kanker jenis ini termasuk
kanker diluar hematologi. Terapi utama kanker ini adalah
operasi dan atau radioterapi, sedangkan kemoterapi baru
diberikan pada stadium lanjut sebagai adjuvan.

ii. Kemosensitifitas dan radiosensitifitas kanker


Sensitifitas kanker terhadap kemoterapi biasanya ada sejak awal
mulanya dan dapat pula timbul dalam perjalanan pengobatan
kanker. Sensitifitas tumor terhadap obat anti-kanker tidak sama,
sehingga terbagi menjadi 3 macam:
(a) Sensitif (Kemosensitif dan Radiosensitif)
(b) Responsif (Kemoresponsif dan Radioresponsif)
(c) Resisten (Kemoresisten dan Radioresisten)

Karena farmakokinetik obat tersebut (perubahan absorbsi,


perubahan

distribusi,

perubahan

metabolism

serta

perbuahan eksresi).
Beberapa jenis obat dan keadaan yang dapat menambah
sensitifitas radioterapi : Oksigenasi, Hipertermi, Levamisol,
beberapa sitostatika.
iii. Imunitas Tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi
yang kita berikan.
iv. Efek samping terapi yang diberikan
b. Modalitas terapi
i. Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit
maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk
mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara
jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan
terlalu berat. Kanker nasofaring bersifat radiosensitive dan
kemoresponsif sehingga terapi utama karsinoma nasofaring yang
masih terbatas pada daerah kepala dan leher adalah radioterapi.
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan
elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler,
sehingga timbul ion H dan OH yang sangat reaktif. Ion itu dapat
bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat
terjadi : rantai ganda DNA pecah, perubahan cross-linkage dalam
rantai DNA serta perubahan base yang menyebabkan degenerasi
atau kematian sel. Dasar untuk radioterapi pada kanker adalah
dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel
kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi
sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak
dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan
hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-

sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan


lebih cepat dari sel kanker (White Mc et al, 1998 ; Chao SS,
2003).
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka
sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi,
pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum
radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan
informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang
mulut dan gigi secara benar.
Perkembangan

teknologi,

metode

IMRT

(Intensified

Modulated Radiation Therapy) telah digunakan di beberapa


negara maju telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat
terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek
samping sedikit mungkin.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons
terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor.
Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk
stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan
terapi radiasi.
Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan
respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%.
Angka

ketahanan

hidup

penderita

karsinoma

nasofaring

tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah


stadium penyakit. Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup
rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi radiasi
adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV
(Asroel HA, 2007).
(a) Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi (penentuan
stadium klinik, diagnosis histopatologis, penentuan tujuan
radiasi

(kuratif/paliatif),

pemeriksaan

fisik

dan

laboratorium, pasien dipersiapkan mental dan fisik, inform

consent pada keluarga). Sebagai tolok ukur, keadaan umum


pasien yang akan diradioterapi, kadar Hb tidak boleh
kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari
3000 per mm dan trombosit 100.000 per uL (Boon NA et
al, 2007).
(b) Penentuan batas-batas lapangan radiasi (merupakan salah
satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya
suatu radioterapi). Lapangan penyinaran meliputi daerah
tumor

primer

dan

sekitarnya

potensi

penjalaran

perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening


regional.

Secara

garis

besar,

batas-batas

lapangan

penyinaran adalah :
(i)

Batas atas

basis

kranii,

sella tursika masuk dalam lapangan


radiasi.
(ii)

Batas depan

terletak

dibelakang bola mata dan koana


(iii)

Batas belakang :
dibelakang
eksterna,

tepat
meatus

kecuali

bila

akustikus
terdapat

pembesaran kelenjar maka batas


belakang harus terletak 1 cm di
belakang kelenjar yang teraba.
(iv)

Batas bawah

terletak

pada

tepi atas kartilago tiroidea, batas ini


berubah bila didapatkan pembesaran
kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih
rendah dari

kelenjar yang teraba.

Lapangan ini mendapat radiasi dari


kiri dan kanan penderita(Rachman Y
et al, 2007).

Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar


sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka
radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang.
Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah
adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah
Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah
mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan
radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi
untuk tumor primer (Budianto A et al, 2005 ; Kartika H,
2008).
(c) Sinar untuk radioterapi
(i)

Sinar Alfa (sinar korpuskuler atau partikel dari inti


atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron) yang
tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai
dalam radioterapi.

(ii)

Sinar Beta (sinar electron) yang dipancarkan oleh zat


radioaktif yang mempunyai energi rendah. Daya
tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan
untuk terapi lesi yang superfisial.

(iii)

Sinar Gamma (sinar elektromagnetik atau foton) yang


dapat menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung
dari besar energi yang menimbulkan sinar itu. Makin
tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya, makin
besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis
maksimalnya.

(d) Radioisotop
(i) Sinar gamma
(ii) Cobalt
(iii) Radium
(iv)sinar alfa, beta, gamma
(e) Teknik Radioterapi

Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :


(i)

Radiasi Eksterna / Teleterapi dapat digunakan


sebagai:
pengobatan efektif pada tumor primer tanpa
pembesaran kelenjar getah bening
pembesaran tumor primer dengan pembesaran
kelenjar getah bening
Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post
operatif pada neck dissection
Radioterapi dimana sumber sinar berupa aparat sinarX atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh.
Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi.
Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional
dengan dosis 150-250 rad per kali, dalam 2-3 seri.
Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu
untuk

pemulihan

keadaan

penderita

sehingga

radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu. Radiasi


ini dapat menggunakan pesawat kobalt (Co60) atau
dengan akselerator linier (Linear Accelerator atau
Linac) (Susworo R, 2004). Radiasi ini ditujukan pada
kanker primer di daerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening
leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah
getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan
preventif

sekalipun

kelenjar.

Metode

tidak

dijumpai

brakhiterapi,

pembesaran

yakni

dengan

memasukkan sumber radiasi ke dalam rongga


nasofaring

saat

ini

banyak

digunakan

guna

memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi

tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan


sehat di sekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada
kasus kasus yang telah memperoleh dosis radiasi
eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa
jaringan kanker atau pada kasus kambuh local
(Susworo R, 2004).
(ii)

Radiasi Interna / Brachiterapi bisa digunakan sebagai:


Menambah kekurangan dosis pada tumor
primer dan untuk menghindari terlalu banyak
jaringan sehat yang terkena radiasi.
Sebagai booster bila masih ditemukan residu
tumor
Pengobatan kasus kambuh.
Teknik yang digunakan dimana sumber energi ditaruh
di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di
dalam rongga tubuh. Ada beberapa jenis radiasi
interna :
Interstitial Radioisotop yang berupa jarum
ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum
radium atau jarum irridium.
Intracavitair

Pemberian

radiasi

dilakukan dengan : - After loading

dapat
Suatu

aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga


tubuh ke tempat

tumor. Setelah aplikator

letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop


ke dalam aplikator itu. - Instalasi

Larutan

radioisotop disuntikkan ke dalam rongga


tubuh, misal : pleura atau peritoneum.
Intravena Larutan radioisotop disuntikkan ke
dalam vena. Misalnya I yang disuntikkan IV

akan diserap oleh tiroid untuk mengobati


kanker tiroid (Harrison et al, 2008).
(f) Dosis radiasi
Ada 2 jenis radiasi, yaitu :
(i) Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali
pada penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi
adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular.
Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad
dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu.
Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan
setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular
dikeluarkan.
(ii) Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan
kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk metastasis
tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu.
Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas
pada daerah kambuh.
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per
fraksi 200 cGy yang diberikan 5 x dalam seminggu untuk
tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai
4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu,
pada akhir istirahat dilakukan penilaian respon terhadap
tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi
dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes.
Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk
tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy.
Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional maka
radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular
cukup sampai 4000 cGy (Soepardi EA, 2001).

Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan,


radiasi diberikan secara bertahap dengan dosis 200 cGy
dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB
leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan
menggunakan pesawat megavoltage dan menggunakan
radioisotop Cobalt.

Di bagian Radiologi RS. Elisabet

Medan, radiasi diberikan dengan menggunakan radioisotop


Cessium. , mula-mula diberikan dengan dosis rendah mulai
300 cGy 6000 cGy dalam waktu 4 atau 5 minggu.
(g) Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa
respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan
kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria
WHO :
(i)

Complete Response (menghilangkan seluruh kelenjar


getah bening yang besar)

(ii)

Partial Response (pengecilan kelenjar getah bening


sampai 50% atau lebih)

(iii)

No Change (ukuran kelenjar getah bening yang


menetap)

(iv)

Progressive Disease (ukuran kelenjar getah bening


membesar 25% atau lebih)

(h) Pengaruh Terapi Radiasi Terhadap Sistem Imun


Segera setelah pemberian radiasi terjadi gangguan terhadap
sel limfosit T yang akibatnya memudahkan timbulnya
berbagai macam infeksi. Pasien dengan tumor primer di
leher dimana drainase limfatiknya juga di leher ,setelah
diberikan radiasi mengakibatkan berkurangnya limfosit
darah tepi secara signifikan. Jumlah limfosit T CD4+
menurun lebih bermakna dibandingkan penurunan jumlah

sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat radiasi tidak hanya


mempengaruhi

jumlah

sel

limfosit

T namun

juga

mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan


fungsi dibuktikan dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada
percobaan invitro. Penelitian menunjukkan bahwa ada
kecenderungan normalisasi sel limfosit T CD4+ setelah 3-4
minggu pasca radiasi (Kartika H, 2008).
(i) Komplikasi radioterapi.
Komplikasi dini, biasanya terjadi selama atau beberapa
minggu setelah radioterapi, seperti: Xerostomia, Mualmuntah, Mukositis, Anoreksi, Dermatitis, Eritema, kronis:
Kontraktur, Gangguan pertumbuhan , dan lain-lain. Hal ini
terjadi karena radiasi pada daerah kepala dan leher
khususnya nasofaring akan mengikutsertakan sebagian
besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya dalam
keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut
berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri telan,
mulut kering dan hilangnya cita rasa (taste). Keadaan ini
seringkali diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada
mukosa lidah serta palatum. Setelah radiasi selesai maka
efek samping akut di atas akan menghilang dengan
pengobatan simptomatik. Akibat kelenjar parotis terkena
radiasi dosis tinggi terjadilah disfungsi berupa menurunnya
alir saliva yang akan diikuti dengan kekeringan pada
mukosa mulut (xerostomia). Bila saliva yang mempunyai
fungsi antara lain mempertahankan pH mulut di angka
netral dan ikut serta dalam membersihkan sisa sisa
makanan ini berkurang, karies gigi akan lebih mudah
terjadi.
ai. Kemoterapi

Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat


menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel
kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi
tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa
kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik
terhadap sel kanker (Wulandari N et al, 2007). Selain itu sel-sel
yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap
obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek
samping menurun.
Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien
dari penyakit tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk
mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor
apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi
jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima
kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel
skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.
Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA
(Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah
kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5fluorouracil,

Bleomycin,

Hydroxyurea,

Doxorubicin,

Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan


Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine
untuk keganasan didaerah kepala dan leher (Pignon JP et al,
2000).
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma
nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap
radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3
memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring
WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk. Adanya
perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan
(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel

(cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika.


Hampir

semua

sitostatika

mempengaruhi

proses

yang

berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA.


Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih
sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel
kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus ( Cell Cycle non
Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan
sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang
hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle
phase spesific ). Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada
fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan
obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase
termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang
tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU,
obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara
menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini
memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga
mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin
(fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S,
M). Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa
mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obatobat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen
tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan,
dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda (Quinn FB et
al, 2003).
Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis
bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim
maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam

nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang


berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut:
(a)

Antimetabolit
Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin.
Contoh: MTX (menghambat pembentukan folat tereduksi
yang dibutuhkan untuk sintesis timidin)

(b)

Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul


DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide)
mengubah struktur DNA sehingga menahan replikasi sel.
Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian
nukleotid

molekul

DNA

dan

dengan

demikian

menghambat produksi mRNA.


(c)

Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka. Contohnya


vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel
dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis (Kentjono WA, 2002).

Cara Pemberian Kemoterapi


Secara umum mempunyai 4 cara kerja yaitu :
(a) Sebagai

neoadjuvan

yaitu

pemberian

kemoterapi

mendahului pembedahan dan radiasi.


(b) Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan
bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium
lanjut.
(c) Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska
pembedahan dan atau radiasi
(d) Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan
pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan
pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma).

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki


indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang
maksimal ternyata:
kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun
tidak ada bukti secara makroskopis.
ada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena
tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor
ganas kepala leher dibagi menjadi:
(a) neoadjuvant atau induction chemotherapy
(b) concurrent,

simultaneous

atau

concomitant

chemoradiotherapy
(c)

post definitive chemotherapy (Yusmawan W, 2007).

Efek Samping Kemoterapi


Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi
juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut,
sumsum tulang dan Sel pada traktus gastrointestinal. Akibat
yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang
yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro
intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi
saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan
kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat
proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa
saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika (Chan
TC et al, 2002).
Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika
dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker (Guyton et
al, 1997).

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah


toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG
dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.
Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan
sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya.
Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping
pemberian kemoterapi. Untuk menghindari efek samping
intolerable, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya
dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan
tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat
badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah
keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan
biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus
sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak,
dll), status penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status
gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung,
paru dan lain sebagainya (Arina A, 2004)

Penderita yang

tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi,


pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal
organ penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan
obat lain yang efek samping terhadap organ tersebut lebih
minimal (CDK, 2004; Price et al, 2006).
Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh :
Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik
terhadap organ tubuh tertentu.
Dosis.
Jadwal pemberian.
Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek
toksisitas pada organ tertentu.
Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi

Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan


kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi
untolerable side effect.
(a) Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology
Group (ECOG) yaitu status penampilan <= 2
(b) Jumlah lekosit >=3000/ml
(c) Jumlah trombosit>=120.0000/ul
(d) Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
(e) Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes
Faal Ginjal )
(f) Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal
( Tes Faal Hepar ).
(g) Elektrolit dalam batas normal.
(h) Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak
diberikan pada usia diatas 70 tahun.
Obat kemoterapi digunakan baik pada tahap awal ataupun tahap
lanjut penyakit (tidak dapat lagi dilakukan pembedahan). Obat
kemoterapi bisa digunakan secara tunggal atau dikombinasikan.
Salah satu diantaranya adalah Capecitabine dari Roche, obat
anti kanker oral yang diaktivasi oleh enzim yang ada pada sel
kanker, sehingga hanya menyerang sel kanker saja. Kemoterapi
dilakukan sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring,
terutama pada penderita stadium lanjut yang tidak memberikan
respon yang memuaskan terhadap radioterapi atau pada
penderita yang mengalami kekambuhan. Tujuan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi dapat meningkatkan hasil terapi.
Metode yang digunakan adalah metode sandwich yaitu
kemotherapi-radiasi-kemoterapi.

Pemberian

single

drug

dilaporkan dapat berhasil, tetapi pemberian multiple drug lebih


dianjurkan untuk dapat menghasilkan efek maksimal dengan
dampak minimal. Karena umumnya kanker nasofaring adalah

karsinoma

sel

skuamosa

diferensiasi

buruk

atau

tidak

berdiferensiasi, derajat keganasan tinggi, cepat pertumbuhannya,


maka sering kali lebih peka terhadap kemoterapi dibandingkan
karsinoma sefaloservikal lain (Kartika H, 2008)
iii.

Kemoterapi dengan Kateterisasi Arteri Setempat


Kemoterapi

yang

dilakukan

melalui

arteri

temporalis

superfisialis dilakukan kateterisasi retrograd menginfuskan obat


kemoterapi dapat mencapai konsentrasi obat setempat yang
tinggi untuk membasmi kanker. Ini sesuai terutama pada kanker
lokal yang tidak remisi pasca radioterapi, atau pada rekurensi
lokal menginfiltrasi parafaring dan basis kranial.
iv.

Kemoradioterapi
Kemoradioterapi

kombinasi

adalah

pemberian

kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam


rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan
meningkatkan
mengatasi

survival

sel

kanker

pasien
secara

dengan

cara

sistemik

lewat

mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang


digunakan dalam kemoradioterapi ini sehingga
sampai

saat

ini

belum

didapatkan

standar

kemoradioterapi yang definitive (Boon NA et al, 2007).


Manfaat Kemoradioterapi
(a) Mengecilkan

massa

tumor,

karena

dengan

mengecilkan tumor akan memberikan hasil


terapi

radiasi

lebih

efektif.

Telah

diketahui

bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan


radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor

akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah


sel hipoksia.
(b) Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol
mikrometastase.
(c) Modifikasi

melekul

menyebabkan

sel

DNA
lebih

oleh

kemoterapi

sensitive

terhadap

radiasi yang diberikan (radiosensitiser) (Heriady


Y, 2005).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel
tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga
untuk

menghambat

tumor

yang

(Darmaniah

pertumbuhan

sudah

N,

sempat

2007).

kembali

terpapar

Kemoterapi

sel

radiasi

neoajuvan

dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor


sebelum

radioterapi.

Pemberian

kemoterapi

neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular


bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat
menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi

yang

memberantas

diberikan

sejak

mikrometastasis

dini

sistemik

dapat
seawal

mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan


kepala leher stadium II IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR (
Complete Response
neoadjuvan

yang

sekitar 50%. Kemoterapi


diberikan

sebelum

terapi

definitive berupa radiasi dapat mempertahankan


fungsi

organ

pada

tempat

tumbuhnya

tumor

(organ preservation).
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin
mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA

akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan


Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam
keadaan

fase

Kemoterapi

sensitif

yang

terhadap

diberikan

secara

radiasi.

12

bersamaan

dengan radioterapi (concurrent or concomitant


chemoradiotherapy

dimaksud

untuk

mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara


ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang
sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel
kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif
terhadap
adalah

radiasi.

Keuntungan

keduanya

bekerja

kemoradioterapi
sinergistik

yaitu

mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel


kanker yang hipoksik dan menghambat recovery
DNA pada sel kanker yang sublethal (Susworo R, 2004
; Yusmawan W et al, 2007).
Kelemahan Kemoradioterapi
Meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang
terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara
radioterapi.

Toksisitas

Kemoradioterapi

dapat

begitu besar sehingga berakibat fatal (Arsyad ES,


2007).
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian
kemoterapi

secara

bersamaan

dengan

radiasi

dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan


jadwal

pemberian

sebaiknya

gunakan

sederhana

sesuai

tidak

diperpanjang,

regimen
jadwal

kemoterapi
pemberian.

maka
yang
Untuk

mengurangi efek samping dari kemoradioterapi


diberikan

kemoterapi

tunggal

(single

agent

chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus


untuk

meningkatkan

sensitivitas

sel

kanker

terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika


yang

sering

digunakan

adalah

Cisplatin,

5-

Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%47%. Kombinasi pengobatan dengan kemoterapi diperlukan
apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga
menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian
kemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan
tumor terhadap radiasi serta membunuh sel sel kanker (Silor PA,
2007; Yusmawan W et al, 2007).
v.

Terapi Bedah/ Operasi


Operasi bukan pilihan pertama pada karsinoma nasofaring,
umumnya hanya digunakan terhadap lesi yang tersisa pasca
kemoterapi atau radioterapi. Terapi bedah jarang dilakukan
karena tidak mempunyai peranan pada kanker nasofaring akibat
lokasi tumor yang melekat erat pada mukosa dasar tengkorak..
Operasi dilakukan jika tumor primer sudah menghilang
sedangkan kelenjar leher masih tersisa yang dilakukan dengan
diseksi leher pasca radioterapi. Syarat lainnya adalah tidak ada
metastase jauh. Diseksi leher radikal dilakukan bila benjolan di
leher tidak menghilang dengan radiasi atau timbul kembali,
dengan syarat tumor induknya sudah hilang (Asroel HA, 2007;
Yusmawan W et al, 2007).

vi.

Immunoterapi
Cara terapinya adalah dari pasien karsinoma nasofaring
dikeluarkan darah tepinya, dipisahkan sel mononukleusnya,
ditambahkan interleukin-2 dan diinkubasi ekstrakorporal untuk
menginduksi produksi sel dendritik. Kemudian dari pasien
karsinoma nasofaring dikeluarkan sel kankernya, dinonaktifkan,

diinkubasikan bersama sel dendritik selama 7-10 hari, dapat


dihasilkan vaksen sel dendritik anti karsinoma nasofaring.
Vaksin ini lalu diinfuskan intravena atau diinjeksikan subkutis
atau ke dalam kelenjar limfe metastasis.
vii.

Terapi Fotodinamik
Sel kanker dapat secara khusus mengikat zat fotosensitif, mulamula disuntikkan zat fotosensitif, 48 jam kemudian dimasukkan
serat optic hingga ke tepi kanker nasofaring, disalurkan laser
merah 630nm. Di bawah penyinaran laser, zat fotosensitif
mengatalisis molekul oksigen (O2) menjadi oksigen tunggal
yang berefek sitotoksik hingga membasmi sel kanker. Metode
ini terutama sesuai bagi kanker yang tersisa di rongga
nasofaring atau kasus yang sudah menginfiltrasi basis kranial.
Kami dengan metode ini telah menerapi 14 kasus karsinoma
nasofaring stadium lanjut, semuanya efektif. Untuk pasien yang
kambuh setelah terapi konvensional, metode ini dapat menjadi
pilihan utama (Yusmawan W et al, 2007).
Kelebihan : Relatif selektif pada jaringan yang ada sel
tumornya. Dapat digunakan untuk semua tumor. Toksisitasnya
rendah, keamanannya terjamin, tidak menekan daya tahan tubuh
maupun sumsum tulang. Tidak ada dampak buruk bersama cara
pengobatan

lain

seperti

pembedahan,radioterapi

maupun

kemoterapi

Waktu terapinya Singkat. Efek terapi utamanya

dalam 48 s/d 72 jam (Kartika H, 2008 ; Susworo R, 2004.).


viii.

Terapi Implantasi Biji Iodium-125


Dilakukan terhadap lesi yang tertinggal atau rekuren (Arina,
2004; Kartika, 2008) : di bawah panduan CT atau endoskop,
terhadap lesi yang tertinggal atau rekuren, ditanamkan biji
iodium-125. Biji itu dapat melepaskan sinar gama jarak pendek
yang menyinari secara kontinu jaringan kanker sekitarnya.
Metode ini sederhana, efek sampingnya kecil (Kartika H, 2008).

ix.

Terapi Gen p53


Terapi Gen p53 yang paling banyak digunakan adalah adeno
virus / retrovirus sebagai vektor yang menghantarkan gen
P53.Virus diberikan secara intratumoral (Kartika H, 2008).

x.

Pemberian Tetrasiklin

xi.

Pemberian Interferon

xii.

Pemberian faktor transfer (Kartika H, 2008).

4. Rehabilitasi dan Follow Up


Penilaian

hasil

pengobatan

dengan

kemoterapi,

baik

tunggal maupun kombinasi dengan pembedahan atau


radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Hasil
kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau
hilangnya kanker (response rate) dan angka ketahanan
hidup penderita (survival rate) (Arsyad ES, 2007). Dari aspek
hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan
istilah-istilah yang lazim dipakai yaitu :
a. Sembuh ( cured )
b. Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua
tumor menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4
minggu
c. Respons parsial ( partial response/ PR ) : semua
tumor mengecil sedikitnya 50% dan tidak ada tumor
baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4
minggu.
d. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil
kuran dari 50 % atau membesar kurang dari 25 %
e. Penyakit Progresif ( progresive disese/PD ) : tumor
makin membesar 25 % atau lebih atau timbul tumor
baru yang dulu tidak diketahui adanya.

f. Disamping

itu,

dikenal

suatu

periode

penderita

terbebas dari penyakitnya (disease free survival ).


g. Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya
dapat dipantau berdasarkan kadar tumor marker.
Pola Regresi Tumor
Terdapat perbedaan pola regresi antara tumor perimer dan kelenjar getah
bening leher. Terjadi Complete Respons pada akhir dari radioterapi (62%)
dan meningkat menjadi 80 % pada 2 bulan pasca radioterapi, sedangkan
pada kelenjar getah bening leher hanya CR 32 % pada akhir radioterapi
dan meningkat menjadi 76 % pada 2 bulan setelah radioterapi. Jadi biopsi
sebaiknya dilakukan 2 bulan setelah radioterapi (Kartika H, 2008; Boon
NA et al, 2007; Arsyad ES, 2007).
Daftar Pustaka:
Arina, A. 2004. Paralisis Saraf Kranial Multiple Pada Karsinoma Nasofaring.
http://library.usu.ac.id/download/fk/D0400193.pdf

(diakses

tanggal

14

September 2011)
Kartika,

H.

2008.

Penatalaksanaan

Karsinoma

Nasofaring.

http://hennykartika.wordpress.com/2008/02/24/penatalaksanaankarsinoma-nasofaring/ (diakses tanggal 14 September 2011)


Susworo, R. 2004. Kanker Nasofaring Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir.
144_09KankerNasofaring.pdf (diakses tanggal 14 September 2011).
Pignon, JP., Bourhis, J., Domenge, C. 2000. Chemotherapy added to locoregional
treatment for head and neck squamous-cell carcinoma, The Lancet ; Vol
355: 949-55
Chao, SS. 2003. Modalities of surveillance in treated nasopharyngeal cancer;
Otolaryngol Head Neck Surg; 129 :61-4
Kentjono, WA. 2002. Kemoterapi pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher
PendidikanKedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok-Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr.
Soetomo, Surabaya November ,108- 21

Chan, TC., Teo, PM. 2002. Nasopharyngeal Carcinoma : Review; Annals of


Oncology. 13; 1007-15
Quinn, FB., Ryan,WM. 2003. Chemotherapy for Head and Neck Cancer; Grand
Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology; April 16, 2003
CDK. 2004.THT. ISSN:0125-913X
Mulyarjo. 2002. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok- Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr.
Soetomo, Surabaya : 38-47
Lin,

HS.,

Fee,

WE.

2003.

Malignant

Nasopharygeal

Tumors.

http://www.emedicine.com.
Darmaniah, N., Hartanto, H., Wulandari, N. (eds). 2007. Buku Ajar Patologi
Robbins Volume 1 Edisi 7. Jakarta : EGC. pp: 186
Heriady, Y. 2005. Kanker Nasofaring (1) Telinga Berdengung, Lendir Darah dari
Hidung.http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?
Berita=Konsultasi&id=83673 (diakses tanggal 14 september 2011)
Nolodewo, A., Yuslam, dan Muyassaroh. 2007. Paparan Formaldehid sebagai
Faktor Risiko Kanker Nasofaring Kajian pada Penderita Karsinoma
Nasofaring di RS. Dr. Kariadi Semarang, dalam Cermin Dunia
Kedokteran Volume 34 No. 155. Jakarta : Grup PT. Kalbe Farma Tbk. pp:
96-99.
Soepardi, E.A., dan Iskandar, N. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala
dan Leher. Jakarta : FKUI.
Wulandari, N., Hartanto, H., Darmaniah, N.(eds). 2007. Buku Ajar Patologi
Robbins Volume 2 Edisi 7. Jakarta : EGC. pp: 568-569
Yusmawan, W., dan Amriyatun. 2007. Hubungan antara Densitas Mikrovaskuler
dengan Respon Klinik Penderita Karsinoma Nasofaring WHO 2 dan
WHO 3

terhadap Terapi Radiasi, dalam Cermin Dunia Kedokteran

Volume 34 No. 155. Jakarta : Grup PT. Kalbe Farma Tbk. pp: 100-103.
Guyton, Arthur C dan John E Hall; alih bahasa Setiawan. 1997. Buku ajar
Fisiologi kedokteran, edisi ke-9. Jakarta : EGC

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi II : Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.
Arsyad, E. S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Asroel, H.A. 2007. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring.
Medan: FK USU (http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf.)
Rachman, Y. L., Hartanto, H., Novrianti, A., Wulandari, N. (eds). 2007. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Susworo, R. 2004. Kanker Nasofaring: Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir.
Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 144
White, M.C. and Neal, H.B. 1998. Nasopharyngeal Carcinoma 2nd Edition. New
York: In Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology
Budianto, A., Azizi, M. Syahrir. 2005. Guidance to Anatomy III (Revisi).
Surakarta:

Keluarga

Besar

Asisten

Anatomi

Fakultas

Kedokteran

Universitas Sebelas Maret. pp: 58.


Silor,

PA.

2007.

Karsinoma

Nasofaring.

http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/paulus-febrianto-silor078114130.pdf
Harrison, Tinsley R. 2008. Harrisons PhPrinciples of Internal Medicine. 17th ed.
Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Boon NA et al.2007. Davidsons Principle and Practice of Medicine. 20th ed.
(http://www.studentconsult.com/content/default.cfm?
ISBN=9780443100574&ID=P1).

LAMPIRAN 1
Skema dasar molekular kanker:

Perbaikan

Mutasi herediter pada :


Gen-gen yang mempengaruhi perbaikan DNA.
Gen-gen yang mempengaruhi pertumbuhan atau
DNA berhasil

Mutasi pada genom sel somatik

Perbaikan
DNA Gagal

Pengaktifan onkogen pendoro

Ekspansi klonal
Mutasi tambahan (progresi)
Heterogenitas
Sumber : Hartanto, 2007

LAMPIRAN

Stadium klinis kanker nasofaring dengan system TNM menurut UICC (1997):
T

: Tumor Primer

T1 : Tumor terbatas pada nasofaring


T2 : tumor meluas ke jaringan orofaring dan/atau ke fossa nasalis
T2a : tanpa perluasan ke parafaringeal
T2b : dengan perluasan ke parafaringeal
T3 : tumor invasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : tumor dengan perluasan ke intrakranial dan/atau melibatkan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring.
N

: pembesaran kelenjar getah bening regional.

N1 : pembesaran unilateral, s 6 cm, di atas fossa supraclavicular


N2 : pembesaran bilateral, <_ 6 cm di atas fossa supraclavicular
N3 : metastase pada kelenjar getah bening
N3a : 6 cm
N3b: perluasan ke fosca supraclavicular
M : metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh
N1 : Terdapat metastasis jauh
Stadium I

: N0, Mo

Stadium IIA : T2a, No, Mo


Stadium IIB :T1, N1 Mo
T2, N1, Mo
T2a, N1, Mo
T2b, No, N1 Mo
Stadium III : T1, N2, Mo

T2b, N2, Mo
T3, NoN1N2, Mo
Stadium IVA : T4, NoN1N2, Mo
Stadium IVB :

T1-4, N3, Mo

Stadium IVC :

T1-4, N0-3, M1
(Arina, 2004)

LAMPIRAN

(Arina, 2004)

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai