REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
JULI 2016
Oleh:
Rita Mariana
10542015310
Pembimbing:
dr. H. Umar Malinta, Sp.OG
BAB I
PENDAHULUAN
Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun sesudah
persalinan. Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika
Serikat diperkirakan 7 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika
Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di
negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas penyebab
kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara berkembang
angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO
menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan
diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.7,8
Perdarahan post partum secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih besar
dari atau sama dengan 500 ml dalam waktu 24 jam setelah lahir. Sebagian besar kasus
morbiditas dan mortalitas akibat Perdarahan post partum terjadi dalam 24 jam pertama setelah
persalinan dan ini dianggap sebagai PPH primer sedangkan pendarahan abnormal atau
berlebihan dari jalan lahir yang terjadi antara 24 jam dan 12 minggu postnatal dianggap sebagai
PPH sekunder.1,2,3,4,5,6
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S.
Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju
maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka
tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 60 %), sisa plasenta (23 24
%), retensio plasenta (16 17 %), laserasi jalan lahir (4 5 %), kelainan darah (0,5 0,8 %).1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24
jam setelah anak lahir. 1,2,3,4,5,6,7,8
b. Klasifikasi
Menurut waktu kejadiannya dibagi atas dua bagian :
a. Perdarahan postpartum primer ( early postpartum hemorrhage ) yang terjadi dalam 24
jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder ( late postpartum hemorrhage ) yang terjadi setelah
24 jam. 1,2,3,4,5,6,7,8
c. Faktor predisposisi dan Etiologi
Beberapa faktor predisposisi dan etiologi perdarahan pascapersalinan, antara lain
bisa disebabkan beberapa hal :
a
c
d
perdarahan yang cepat dan masif yang dapat berlanjut pada hipovolemik syok.
Uterus yang terlalu meregang baik absolut maupun relatif, adalah faktor resiko
mayor untuk atonia uteri. Hal ini dapat diakibatkan oleh gestasi multifetal, makrosomia,
polihidramnion atau abnormalitas janin ( misalnya hidrosefalus berat), struktur uteri yang
abnormal, gangguan pengeluaran plasenta dan distensi uterus dengan perdarahan sebelum
plasenta dilahirkan.
Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan hal-hal sebagai berikut :
o Kelelahan akibat persalinan yang lama atau induksi persalinan
o Hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS,
MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin.
o Penyebab lain, seperti plasenta letak rendah, toksin bakteri, hipoksia, dan
hipotermia
plasenta yang lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh
darah yang optimal. Retensio plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus
aksesoris. Setelah plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus
diperiksa apakah plasenta lengkap dan tidak ada bagian yang terlepas.
Plasenta memiliki kecenderungan untuk menjadi retensi pada kondisi kehamilan
preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi.
Ini harus dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka
spontan ataupun diinduksi.
Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan signifikan
yang terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan adanya
akreta sebagian. Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal,
atau masuk lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), mungkin tidak menyebabkan
perdarahan masif secara langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha yang lebih
agresif untuk melepaskan plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika
plasenta terimplantasi pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika
dihubungkan dengan plasenta previa. Semua pasien dengan plasenta previa harus
diinformasikan risiko terjadinya perdarahan post partum yang berat,
termasuk
menahan untuk tidak mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang
eksplorasi manual atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks.
Sangat jarang, serviks sengaja diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk
mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada persalinan sungsang (insisi Dhrssen).
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif,
tetapi hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan
kepala. Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina
letak rendah terjadi baik secara spontan maupun karena episiotomi.
Ruptur uteri lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat sectio sesarea
sebelumnya. Uterus yang pernah menjalani sectio caesaria memiliki risiko terjadinya
ruptur pada kehamilan berikutnya.
Trombin - Koagulopati
Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada saat
kala II atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif. Pada awal periode
postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu mengakibatkan
perdarahan yang masif, hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang mencegah
terjadinya perdarahan.
Faktor pembekuan darah pada pembuluh darah berperan pada saat postpartum.
Bila ada
postpartum tipe lambat. Abnormalitas faktor pembekuan darah dapat terjadi sebelumnya
atau didapat. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai,
seperti ITP atau HELLP sindrom (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan
platelet), solutio plasenta, DIC, atau sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan
meskipun tidak didiagnosa sebelumnya. 1,2,3,4,5,6,7,8
Rest Plasenta
a. Definisi
merupakan tertinggalnya bagian plasenta (satu atau lebih lobus), sehingga uterus
tidak dapat berkontraksi secara efektif dan dapat menimbulkan perdarahan post
partum primer atau perdarahan post partum sekunder. 1,2,3,4
b. Anatomi Plasenta
Istilah plasenta mulai diperkenalkan pada zaman Renaissance oleh Realdus
Columbus pada tahun 1559. Plasenta diambil dari istilah Latin yang memberi arti flat
cake. Plasenta adalah struktur yang berfungsi sebagai media penyambung/penghubung
antara organ fetus dan jaringan maternal agar pertukaran fisiologi dapat terjadi.5,10
Pada persalinan aterm, plasenta yang dilahirkan berbentuk cakram dengan ukurannya
dapat mencapai diameter 22 cm, tebal 2,5 cm, dan berat sekitar 450-500 gram 5,10
Plasenta mempunyai dua permukaan, yaitu bagian maternal dan fetal. Pada bagian
maternal, permukaan plasenta lebih kasar dan agak lunak, dan mempunyai struktur
poligonal yang disebut sebagai kotiledon. Setiap kotiledon terbentuk berdasarkan
penyebaran cabang dari pembuluh darah fetal yang akan menvaskularisasi stem vili dan
cabang-cabangnya. Permukaan plasenta bagian maternal berwarna merah tua dan terdapat
sisa dari desidua basalis yang ikut tertempel keluar.5,10
BAGIAN
FETAL
BAGIAN
GAMBAR 1: Skema potongan melintang
sirkulasi plasenta yang aterm.
Dikutip dari kepustakaan 3
Selaput korion akan tersebar menjadi lapisan luar untuk 2 membran, yaitu yang
menutupi plat korion pada plasenta bagian fetal dan cairan amnion. Amnion merupakan
lapisan membran yang tipis dan avaskuler yang membungkus fetus, dapat dipisahkan dari
korion setelah lahir. . Di bawah lapisan amnion, pembuluh darah korion bersambungan
dengan pembuluh darah fetus membentuk struktur yang dinamakan tali pusat. Biasanya
panjang tali pusat dapat mencapai 30 90 sentimeter dan berinsersi pada tengah
permukaan plasenta, tetapi ada juga yang berinsersi di pinggir plasenta. Tali pusat berisi 2
arteri, 1 vena umbilikalis dan massa mukopolisakarida yang disebut jeli Wharton. Vena
berisi darah penuh oksigen sedangkan arteri yang kembali dari janin berisi darah kotor.
Pembuluh darah tali pusat berkembang dan berbentuk seperti heliks agar terdapat
fleksibilitas.5,10
Struktur plasenta hampir keseluruhannya dibentuk oleh vili korion yang
memanjang dan menyebar didalam rongga intervili yang berisi darah. Oleh itu plasenta
sebagai organ yang mempunyai fungsi sebenarnya adalah rongga yang beisi darah ibu,
yang pada sisi maternal tertempel pada plat desidua, dan pada sisi fetal ditutupi oleh plat
korion dengan vili-vili korion yang bercabang ke dalam takungan darah ibu.5
Rongga intervili adalah kolam yang berisi takungan darah ibu yang keluar dari
pembuluh darah yang ada pada lapisan desidua. Terdapat sinus-sinus arteri dan vena yang
tersebar pada plat desidua yang berfungsi untuk mensuplai dan aliran keluar darah dari
rongga ini.5
Sebelum plasenta terbentuk dengan sempurna dan sanggup untuk memelihara
janin, fungsinya dilakukan oleh korpus luteum gravidarum yang dikonversi dari korpus
luteum normal akibat pengaruh hormon korionik gonadotropin (hCG) yang dihasilkan
setelah beberapa jam berlakunya proses implantasi.5
GAMBAR 2:
(a) Plasenta manusia berbentuk
discoidal
(b) Kapilari
yang
menghubungkan
fetomaternal tersusun dalam
bentuk pohonan vili yang
terapung
di
dalam
bendungan darah ibu.
(c) Barier feto-maternal pada
plasenta tipe hemokorion
terdiri dari vili dari trofoblas
yang berkontak langsung
dengan bendungan darah
ibu.
Perkembngan Plasenta
a) Perkembangan Trofoblas
Setelah nidasi, trofoblas terdiri atas 2 lapis, yaitu sitotrofoblas dan sinsiotrofblas.
Endometrium atau sel desidua di mana terjadi nidasi menjadi pucat dan besar disebut
sebagai reaksi desidua yang berfungsi sebagai pasokan makanan. Sebagian lapisan
desidua mengalami fagositosis oleh sel trofoblas.5,10
b) Stadium Pre- Lakuna
Pada hari ke-7-8 setelah konsepsi, blastosis tertanam sepenuhnya di dalam endometrium.
Embrio yang terbentuk telah dikelilingi oleh plasenta yang sedang berkembang, dimana
pada stadium ini terdiri daripada dua subtipe asas trofoblas, yaitu sinsiotrofoblas yang
berhubungan langsung dengan jaringan tisu ibu serta sitotrofoblas yang akan berkembang
menjadi vili.5
c) Stadium Lakuna
Pada hari ke 8-9 pasca-konsepsi, vakuola kecil berisi cairan muncul dalam lapisan
sinsitiotrofoblas, dan merupakan awal lacunar stage. Vakuola tumbuh dengan cepat dan
bergabung membentuk satu lakuna, yang merupakan prekursor pembentukan ruang
intervillosa. Lakuna dipisahkan oleh pita trabekula, dimana dari trabekula inilah nantinya
villi berkembang. Pembentukan lakuna membagi trofoblas kedalam 3 lapisan, yaitu: (1)
Plat korion primer (sebelah dalam), (2) sistim lakuna yang akan membentuk ruang
intervillosa bersama trabekula yang akan menjadi anchoring villi serta perkembangan
cabang yang akan membentuk floating villi, dan (3) plasenta bagian maternal yang terdiri
dari trofoblas yang akan membentuk plat basal. Aktifitas invasif lapisan sinsitiotrofoblas
menyebabkan disintegrasi pembuluh darah endometrium (kapiler, arteriole dan arteria
spiralis). Kalau invasi terus berlanjut maka pembuluh darah pembuluh darah ini
dilubangi, sehingga lakuna segera dipenuhi oleh darah ibu. Pada perkembangan
selanjutnya lakuna yang baru terbentuk bergabung dengan lakuna yang telah ada dan
dengan demikian terjadi sirkulasi intervillosa primitif. Peristiwa ini menandai
terbentuknya hemochorial placenta, dimana darah ibu secara langsung meliputi
trofoblas.5,10
d) Stadium Villi
Stadium ini bermula dari hari ke-12 setelah konsepsi dan merupakan stadium
pembentukan vili yang telah diterangkan dengan jelas pada pendahuluan referat ini.5,10
Pada awalnya, trofoblas endovaskular memasuki lumen arteri spiralis membentuk plak.
Kemudian, ia merusakkan endotelium vaskular secara mekanisme apoptosis, menginvasi
dan melakukan modifikasi pada media pembuluh darah. Akhirnya, menyebabkan fibrin
menggantikan otot polos dan jaringan tisu melapisi vaskular. Proses invasi ini melibatkan
dua fase, pertama berlaku sebelum minggu ke-12 setelah fertilisasi yang hanya
melibatkan setinggi batas desidua dan miometrium, dan fase kedua berlaku diantara
minggu ke 12-16 dan melibatkan invasi segmen intramiometrium arteri spiralis. Proses
ini mengubah lumen ateri yang sempit, dan berotot kepada pembuluh darah uteroplasenta yang lebih berdilatasi dan kurang resistensi.5,10
yang mulai berkembang sejak awal setelah implantasi, maka plak yang terbentuk lebih
senang untuk dipenetrasi oleh sel darah. Pada stadium ini, vili plasenta akan
berdegenerasi menjadi lebih luas dan krion menjadi lebih licin. Regresi ini kemudian
menyebabkan pembentukan membran fetus atau korion leave dan bagian selebihnya
menjadi korion frondosum- yaitu bentuk definit cakera plasenta.5
massa yang melibatkan sejumlah villi disebut dengan white infarct, berukuran dari
beberapa milimeter sampai satu sentimeter atau lebih. Klasifikasi atau bahkan
pembentukan kista dapat terjadi daerah ini. Dapat juga terjadi deposit fibrin yang tidak
menetap yang disebut Rohrs stria pada dasar ruang intervillus dan disekitar villi.2
c. Etiologi dan Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel
miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum
uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai
mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya
menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan
plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara
serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini
menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit
serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala
tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1.Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta,
namun
dinding
uterus
tempat
plasenta
melekat
masih
tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan
kurang
dari
cm
menjadi
>
cm).
pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi
permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam
rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih
merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh
lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
d. patofisiologi
Kala tiga dapat dibagi ke dalam 4 fase yaitu :
1
Fase laten
Fase laten ditandai dengan menebalnya dinding uterus yang bebas tempat palsenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
Fase kontraksi
Fase kontraksi ditandai dengan menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat
( dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm ).
Fase pengeluaran
Pada fase ini plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah
pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga
rahim. Lama kala III pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi.
Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala III, 89% plasenta lepas dalam waktu
satu menit dari tempat implantasinya.
Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan
dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada
perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim, yaitu
perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim.
Pemeriksaan USG : Pada pemeriksaan USG akan terlihat adanya sisa plasenta.
g. Diagnosis
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak,
uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah
abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang
keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan
yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian
bawah rahim atau atas vagina.
Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan interabdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat
mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk
menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan
menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat
Untuk mengetahui plasenta sudah lepas dari tempatnya dapat dipakai beberapa perasat,
yaitu :
Perasat Kustner : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri menekan daerah
diatas simfisis. Bila tali pusat masuk kembali kedalam vagina, berarti tali pusat belum
lepas.
Perasat Strassman : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri mengetok
fundus uterus. Bila terasa pada tali pusat yang diregangkan berarti tali pusat belum
terlepas.
Perasat Klein : pasien disuruh mengedan, tali pusat tampak turun ke bawah. Bila
pengedanannya berhenti dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina, berarti
lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan
Perbaiki keadaan umum dengan memasang infus Rl atau cairan Nacl 0,9 %
Ambil darah untuk pemeriksaan hemoglobin, golongan darah dan Cross match.
Bila kadar Hb < 8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. Pada kasus syok parah, dapat gunakan plasma
ekspander. Plasma expender diberikan karena cairan ini dapat meresap ke jaringan dan
cairan ini dapat menarik cairan lain dari jaringan ke pembuluh darah.
Jika ada indikasi terjadi infeksi yang diikuti dengan demam, menggigil, rabas vagina
berbau busuk, segera berikan antibiotika spectrum luas. Antibiotik yang dapat diberikan :
a
setiap 8 jam.
Ampisilin 1 g IV diikuti 500 mg secara IM setiap 6 jam+metronidazol 400 mg
Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan.
Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan
AMV atau dilatasi dan kuretase.
Kuretase oleh Dokter. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena
Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
500mg iv
Pasang sarung DTT
Jepit tali pusat dengan krokher dan tegangan sejajar lantai
Masukan tangan secara obstetrik dengan menelusuri bagian bawah tali pusat Tangan
sebelah menyusuri tali pusat masuk kedalam kavum uteri,sementara itu tangan yang
sebelah lagi menahan fundus uteri,sekaligus untuk mencegah inversio uteri Dengan
baguan lateral jari-jari tangan dicari insersi pingggir plasenta
Buka tangan obstetri menjadi seperti memberi salam,jari-jari dirapatkan
Tentukan implantasi plasenta ,temukan tepi plasenta yang paling bawah
Gerakkan tangan kanan ke kri dan kanan sambil menggeser ke kranial sehingga semua
permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan
Jika plasenta tidak dapat dilepaskan dari permukaan uterus,kemungkinan plasenta
akreta,dan siapkan laparatomi untuk histerektomi spravaginal
Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta
Pindahkan plasenta tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat plasenta
dikeluarkan
Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding
uterus
Beri oksitosin 10 IU dalam 500 ml cairan IV (garam fisiologis atau RL) 60 gtt/menit dan
masase uterus untuk merangsang kontraksi
Jika masih berdarah banyak,beri ergometrin 0,2 mg IM atau prostaglandin
Periksa apakah plasenta lengkap atau tidak,jika tidak eksplorasi kedalam kavum uteri
Periksa dan perbaiki robeka servik.vagina.atau episiotomi
Kuretase
Pilihan utama bagi evakuasi uterus adalah aspirasi vakum manual, dilatasi dan kuretase
dianjurkan apabila aspirasi vakum manual tidak tersedia.
Cara kerja kuretase adalah :
DAFTAR PUSTAKA
1. Manuaba ida bagus, Perdarahan Postpartum dalam kapita selekta penatalaksanaan rutin
obstetric.: Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. 2001.
2. Mochtar rustam, Perdarahan Postpartum dalam synopsis obstetric: Penerbit buku
kedokteran EGC, Jakarta.2011.
3. Morgan geri, Perdarahan Pascapartum dalam Obstetri dan Genekologi: Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta.2009.
4. Manuada ida bagus, Perdarahan Postpartum dalam Panduan Kepaniteraan Klinik Obstetri
dan Genekologi: Penerbit buku kedokteran EGC,Jakarta.2003.
5. Raybun William, Perdarahan Postpartu dalam Obstetri dan Ginekologi: Jakarta.2001.
6. Llewellyn Derek, Plasenta dan Perdarahan Postpartum: Jakarta.2001.
7. Smith jhon, Postpartum Hemorrhage. 2016. Diakses pada : www.Perdarahan
postpartum.com
8. WHO. Guidelines for the management of postpartum haemorrhageand retained
placenta.2009.
9. Fransica . Perdarahan Postpartum.
10. Rachimhadji T., Wiknjosastro G.H., Ilmu Kebidanan: Pembuahan, Nidasi dan Plasentasi,
Plasenta dan Cairan Amnion, 4th ed, 2008, Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, pg 143-155