Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID

Disusun oleh :

MUKHAMAD RIF'AN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL


2012
BAB I
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus,
pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng
Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala,
kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari
limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
B. PENYEBAB
Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam,
toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk.
2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A,
S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)

C. PATOFISIOLOGIS
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses
dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan,
susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat
terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang
berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang
andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60
hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi
penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
PATHWAYS
Salmonella typhosa
Saluran pencernaan
Diserap oleh usus halus
Bakteri memasuki aliran darah sistemik
Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin
usus halus
Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam
Pendarahan dan Nyeri perabaan
perforasi Mual/tidak nafsu makan
Perubahan nutrisi
Resiko kurang volume cairan
(Suriadi & Rita Y, 2001)
D. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan
dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi,
tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan
saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan
gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri

kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang
meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai
gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering,
dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih
kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran
anak tangga. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik.
(Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
- Nyeri kepala (frontal) 100%
- Kurang enak di perut 50%
- Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
- Berak-berak 50%
- Muntah 50%
Gejala:
- Demam 100%
- Nyeri tekan perut 75%
- Bronkitis 75%
- Toksik 60%
- Letargik 60%
- Lidah tifus (kotor) 40%
(Sjamsuhidayat,1998)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT


SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella
typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka
penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:

Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri

Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri

Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)
F. TERAPI
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat
diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc,
diberikan selama jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
6. Golongan Fluorokuinolon

Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari

Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari

7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu


seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah
terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)
G. KOMPLIKASI
Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati,
bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita
demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan
umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan
denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi
seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella.
Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi
pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada
penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)
H. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID
1. PENGKAJIAN
1. Identitas.
Menurut T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz diperkirakan insiden demam tifoid pada
tahun 1985 di Indonesia adalah sebagai berikut umur 0-4 tahun 25,32 %, umur 5-9
tahun 35,59 % dan umur 10-14 tahun 39,09%. Namun menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak merupakan hal yang tidak mudah mengingat tanda dan
gejala klinis yang tidak khas terutama pada penderita di bawah usia 5 tahun.
Insiden penyakit ini tidak berbeda antara anak laki dan anak perempuan,
tergantung pada status gizi dan status imunologis penderita.
2. Riwayat Keperawatan.
1. Keluhan utama.
Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apatis sampai somnolen, dan
gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada
perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa
lendir, anoreksia dan muntah.
2. Riwayat penyakit sekarang.
Ingesti makanan yang tidak dimasak misalnya daging, telur, atau terkontaminasi
dengan minuman.
3. Riwayat penyakit dahulu.

Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.


4. Riwayat kesehatan keluarga.
Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid
dan menularkan kepada janin melalui darah. Umumnya bersifat fatal.
5. Riwayat kesehatan lingkungan.
Demam tifoid saat ini terutama ditemukan di negara sedang berkembang dengan
kepadatan penduduk tinggi serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan. Pengaruh cuaca terutama pada musim hujan sedangkan dari
kepustakaan barat dilaporkan terutama pada musim panas.
6. Imunisasi.
Pada tifoid kongenital dapat lahir hidup sampai beberapa hari dengan gejala tidak
khas serta menyerupai sepsis neonatorium.
7. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
8. Nutrisi.
Gizi buruk atau meteorismus
3. Pemeriksaan fisik.
1. Sistem kardiovaskuler.
Takikardi, hipotensi dan shock jika perdarahan, infeksi sekunder atau septikemia.
2. Sistem pernapasan.
Batuk nonproduktif, sesak napas.
3. Sistem pencernaan.
Umumnya konstipasi daripada diare, perut tegang, pembesaran limpa dan hati,
nyeri perut pada perabaan, bising usus melemah atau hilang, muntah, lidah tifoid
dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, mulut bau, bibir kering dan pecahpecah.
4. Sistem genitourinarius.
Distensi kandung kemih, retensi urine.
5. Sistem saraf.
Demam, nyeri kepala, kesadaran menurun : delirium hingga stupor, gangguan
kepribadian, katatonia, aphasia, kejang.

6. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Nyeri sendi
7. Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
8. Sistem integumen.
Rose spot dimana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada dan perut, turgor
kulit menurun, membran mukosa kering.
9. Sistem pendengaran.
Tuli ringan atau otitis media.
1. Sistem penciuman.
2. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
1. Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.
2. Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fosfat alkali
meningkat.
3. Minggu pertama biakan darah S. Typhi positif, dalam minggu
berikutnya menurun.
4. Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.
5. Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang
memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H
meningkat sejak minggu kedua. Titer reaksi widal diatas 1 : 200
menyokong diagnosis.
1. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada
malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis,
penurunan kesadaran
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
ada nafsu makan, mual, dan kembung
3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake
cairan, dan peningkatan suhu tubuh

3. PERENCANAAN
1. Dx : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan : Mempertahankan suhu dalam batas normal
Kriteria Hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal
Nadi dan RR dalam rentang normal
Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
merasa nyaman
Intervensi :

Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia

Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan

Beri minum yang cukup

Berikan kompres air biasa

Lakukan tepid sponge (seka)

Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat

Pemberian obat antipireksia

Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat

2. Dx : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung
Tujuan : Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan
Kriteria Hasil : Adanya peningkatan BB sesuai dengan tujuan
BB ideal sesuai dengan TB
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan BB yang berarti
Intervensi :

Menilai status nutrisi anak

Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak,


rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak
meningkat.

Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan


kualitas intake nutrisi

Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik


porsi kecil tetapi sering

Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan
skala yang sama

Mempertahankan kebersihan mulut anak

Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan


penyakit

Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian


makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak

3. Dx : Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake


cairan, dan peningkatan suhu tubuh
Tujuan : Mencegah kurangnya volume cairan
Kriteria Hasil : Mempertahankan urine output sesuai dengan usia, BB,BJ
urine normal, HT normal
TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik,membran mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang
berlebihan
Intervensi :

Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam

Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis,


ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir
pecah-pecah

Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan
dengan skala yang sama

Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam

Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL)


dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge

Memberikan antibiotik sesuai program

(Suriadi & Rita Y, 2001)


I. DISCHARGE PLANNING
1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan
3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
4. Penderita memerlukan istirahat
5. Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat
(Samsuridjal D dan Heru S, 2003)
6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
7. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
8. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus
dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut
9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.
(Suriadi & Rita Y, 2001)
DAFTAR PUSTAKA
1. Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta
Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.
2. Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
3. Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar
& Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
4. Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih
bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997.
5. Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi
pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.

6. Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta.


2003.
7. Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.
8. Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan
Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta. 2002.
9. Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan
Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
10.Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.
11.http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/02/03brk
MAKANAN/MINUMAN TERKONTAMINASI
KUMAN MASUK KEDLM PEREDARAN DARAH MLL JARINGAN LIMFOID DI FARING
MLL BARIER ASAM LAMBUNG, MIKROORGANISME SAMPAI DI USUS HALUS
DI USUS HALUS ORGANISME MENGINVASI SEL EPITEL DAN TINGGAL DI LAMINA
PROPIA SERTA MELEPASKAN ENDOTOKSIN
MIKROORGANISME MENGALAMI FAGOSITOSIS & BERADA DLM SEL MONONUKLEAR
MASUK KE FOLIKEL LIMFOID INTESTIN/NODUS PEYER SERTA MENGADAKAN
MULTIPLIKASI
SEL TERINFEKSI MLL NODUS LIMFE INTESTINAL REGIONAL DAN DUKTUS
THORASIKUS MENUJU SISTEM SIRKULASI SISTEMIK & MENYEBAR SHG MENGINFEKSI
SISTEM RETIKULOENDOTELIAL DI HATI & LIMPA MENYBBKAN PROLIFERASI SEL
ENDOTEL DR SEL RES

Anda mungkin juga menyukai