Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan
antar manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna
karena merupakan metode utama dalam mengimplementasikan proses
keperawatan.
Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan
kepedulian sosial yang besar (Abdalati, 1989). Untuk itu perawat memerlukan
kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang mencakup keterampilan
intelektual, tehnical dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring
atau kasih sayang/cinta (Johnson, 1989) dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja
akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah
terjadinya masalah legal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan
keperawatan dan meningkatkan citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit
(Achir Yani), tetapi yang paling penting adalah mengamalkan ilmunya untuk
memberikan pertolongan terhadap sesama manusia.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian komunikasi termasuk Konsep
Komunikasi Terapeutik pada Keadaan Pre dan Post Operasi untuk praktek
keperawatan, sikap dan teknik serta dimensi hubungan dari komunikasi
terapeutik.

1.2 Tujuan Masalah


Tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul Konsep Komunikasi Terapeutik
pada Keadaan Pre dan Post Operasi yaitu :
1.

Mengetahui pengertian komunikasi

2.

Memahami teknik komunikasi terapeutik

3.

Mengetahui fase fase terapeutik

4.

Mengetahui sikap komunikasi terapeutik

5.

Mengetahui cara berkomunikasi dengan klien pre dan post operatif

1.3 Rumusan Masalah


1.

Apa yang dimaksud dengan komunikasi?

2.

Bagaimana teknik komunikasi terapeutik?

3.

Apa saja yang termasuk fase fase komunikasi terapeutik?

4.

Bagaimana sikap komunikasi terapeutik yang baik?

5.

Bagaimana cara berkomunikasi dengan klien pre dan post operatif?

1.4 Metode
Metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini dengan
menggunakan studi pustaka dan situs web untuk mempermudah dalam
penyusunan makalah ini.

1.4 Sistematika Penulisan


Sistematika dalam pembuatan makalah ini adalah :
Bab I

: Pendahuluan

Bab II : Konsep Komunikasi Terapeutik pada Keadaan Pre dan Post Operasi
Bab III : Roleplay
Bab IV : Kesimpulan dan Saran

BAB II
KONSEP KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA KEADAAN PRE DAN POST
OPERATIF

2.1 Pengertian dan Jenis Komunikasi

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan


memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia
sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga
tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Makalah ini difokuskan
pada komunikasi interpersonal yang terapeutik.

Komunikasi interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara sedikitnya dua


orang atau dalam kelompok kecil, terutama dalam keperawatan. Komunikasi
interpersonal yang sehat memungkinkan penyelesaian masalah, berbagai ide,
pengambilan keputusan, dan pertumbuhan personal.
Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984) dan Tappen
(1995) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal yang
dimanifestasikan secara terapeutik.
2.2 Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan


klien (Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi
terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada
klien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik
tolak saling memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan
yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya rasa saling membutuhkan
antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi
pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima
bantuan.
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik
diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :
a
diri.
b

Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap


Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.

c
Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan
saling tergantung dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
d
Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta
mencapai tujuan personal yang realistik.
2.2.1 Komponen Komunikasi Terapeutik
Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen fungsional
berikut (Hamid,1998) :
a)

Pengirim : yang menjadi asal dari pesan.

b)
Pesan : suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada
penerima.
c)
Penerima : yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi
oleh pesan.
d)

Umpan balik : respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan.

e)

Konteks tatanan di mana komunikasi terjadi.

Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan menggunakan lima


elemen struktur ini maka masalah masalah yang spesifik atau kesalahan yang
potensial dapat diidentifikasi. Menurut Roger, terdapat beberapa karakteristik
dari seorang perawat yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang
terapeutik.

Karakteristik tersebut antara lain : (Suryani, 2005)


a.

Kejujuran (Trustworthy)

Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang


bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling
percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi
yang benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat dipercaya.
b.

Tidak Membingungkan dan Cukup Ekspresif

Dalam berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan katakata yang mudah


dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi
verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi
bingung.
c.

Bersikap Positif

Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian
dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan
terapeutik adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap
positif.
d.

Empati Bukan Simpati

Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan karena dengan sikap
ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti
yang dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat
memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien karena meskipun dia turut
merasakan permasalahan yang dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam
masalah tersebut sehingga perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi
klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat tidak mampu melihat
permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut
didalamnya.
e.

Mampu Melihat Permasalah Klien dari Kacamata Klien

Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien


(Taylor dkk, 1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar dapat membantu
memecahkan masalah klien perawat harus memandang permasalahan tersebut
dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus menggunakan teknik active

listening dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat


menyimpulkan secara tergesagesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan
ungkapan klien akibatnya dapat fatal karena dapat saja diagnosa yang
dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan
yang diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
f.

Menerima Klien Apa Adanya

Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan aman
dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau
mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan
bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya.
g.

Sensitif Terhadap Perasaan Klien

Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan baik,
karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas,
privasi dan menyinggung perasaan klien.

h.
Tidak Mudah Terpengaruh oleh Masa Lalu Klien ataupun Diri Perawat
Sendiri.
Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa
lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi
perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan
ketidakpuasan dalam hidupnya.
2.3 Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik
Struktur dalam komunikasi terapeutik menurut Stuart G.W.,1998, terdiri dari
empat fase yaitu :
1.

Fase Preinteraksi

Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien.
Tugas perawat pada fase ini yaitu :
a)

Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya.

b)
Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan
terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika
merasa tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi teman kelompok.
c)
Mengumpulkan data tentang klien sebagai dasar dalam membuat rencana
interaksi.
d)
Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di
implementasikan saat bertemu dengan klien.

2.

Fase Orientasi

Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat
pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan
dengan klien dan merupakan langkah awal dalam membina hubungan saling
percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini adalah memberikan situasi
lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan serta membantu klien
dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Tugas-tugas perawat pada
tahap ini antara lain :
a)
Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan
komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus
bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien apa adanya, menepati janji, dan
menghargai klien.

b)
Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga
kelangsungan sebuah interaksi. Kontrak yang harus disetujui bersama dengan
klien yaitu tempat, waktu dan topik pertemuan.

c)
Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk
mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka teknik yang digunakan
adalah pertanyaan terbuka.

d)
Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien
teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada
keseluruhan interaksi (Stuart,G.W,1998 dikutip dari Suryani,2005). Hal yang
perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :
i.
Memberikan salam terapeutik disertai
mengulurkan tangan jabatan tangan.
ii.

Memperkenalkan diri perawat.

iii.
Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan
dengan kesediaan klien untuk berkomunikasi, topik, tempat, dan lamanya
pertemuan.
iv.
Melengkapi kontrak. Pada pertemuan
pertama perawat perlu melengkapi penjelasan tentang identitas serta tujuan
interaksi agar klien percaya kepada perawat.
v.
Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian
keluhan utama, alasan atau kejadian yang membuat klien meminta bantuan.
Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan fokus pengkajian lebih lanjut,

kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan utama. Pada
pertemuan lanjutan evaluasi atau validasi digunakan untuk mengetahui kondisi
dan kemajuan klien hasil interaksi sebelumnya.
vi.
Menyepakati masalah. Dengan teknik
memfokuskan perawat bersama klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
klien.
Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi.
Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat
dengan keadaan klien saat ini dan mengevaluasi tindakan pertemuan
sebelumnya.
3.

Fase Kerja

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Tahap
ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien. Perawat dan
klien mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri
dengan menghubungkan persepsi, perasaan dan perilaku klien. Tahap ini
berkaitan dengan pelaksanaan rencana asuhan yang telah ditetapkan. Teknik
komunikasi terapeutik yang sering digunakan perawat antara lain
mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi,
memfokuskan dan menyimpulkan (Geldard, D, 1996. dikutip dari Suryani, 2005).
4.

Fase Terminasi

Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya
sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya
merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas
pada unit tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien bersama
sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian
tujuan. Untuk melalui fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat
menggunakan konsep kehilangan.
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:
a)

Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;

b)
Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses
keperawatan secara menyeluruh.
Tugas perawat pada fase ini adalah :
a)
Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan. Evaluasi
ini disebut evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa
meminta klien menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan atau respon
objektif setelah tindakan dilakukan sangat berguna pada tahap terminasi
(Suryani, 2005).
b)
Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan
klien setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu.

c)
Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini
sering disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan
harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan
pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut klien tidak akan pernah
kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam.
d)
Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu
disepakati yaitu topik, waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi
sementara dan terminasi akhir adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu
mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai selama interaksi.
2.4 Sikap Komunikasi Terapeutik
Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat
memfasilitasi komunikasi yang terapeutik menurut Egan, yaitu :
1.

Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah Saya siap untuk anda.

2.
Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3.
Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengar sesuatu.
4.
Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan
menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
5.
Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi dalam memberi respon kepada klien. Selain hal hal di atas sikap
terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non verbal.
Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori komunikasi non
verbal, yaitu :
1.
Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara
non verbal misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan
bicara.
2.
Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan
sikap tubuh.
3.
Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak
sengaja oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
4.
Ruang, memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua
orang. Hal ini didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki.
5.
Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non
verbal yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat
dipengaruhi oleh tatanan dan latar belakang budaya, jenis hubungan, jenis
kelamin, usia dan harapan.

2.5 Teknik Komunikasi Terapeutik


Ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi yang efektif (Stuart dan Sundeen,
1998) yaitu :
1.
Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan.
2.
Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan lebih
dahulu sebelum memberikan saran, informasi maupun masukan.
Hubungan kerjasama Perawat Klien yang ditandai tukar menukar perilaku,
perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang
terapeutik. Jarak yang baik untuk komunikasi terapeutik adalah 50 120 cm,
tidak dibatasi oleh meja.
Stuart dan Sundeen, (1998) mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik
sebagai berikut :
1.

Mendengarkan dengan penuh perhatian

Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa
yang disampaikan klien. Mendengar merupakan dasar utama dalam komunikasi.
Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih
banyak pada klien untuk berbicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.

2.

Menunjukkan penerimaan

Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk


mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
3.

Menanyakan pertanyaan yang berkaitan

Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik


mengenai apa yang disampaikan oleh klien.
4.

Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata kata sendiri

Melalui pengulangan kembali kata kata klien, perawat memberikan umpan


balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.
5.

Mengklasifikasi

Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata kata
ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh klien.
6.

Memfokuskan

Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan


menjadi lebih spesifik dan dimengerti.
7.

Menyatakan hasil observasi

Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non
verbal klien.
8.

Menawarkan informasi

Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan


untuk klien yang bertujuan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.
9.

Diam

Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk


mengorganisir. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya
sendiri, mengorganisir pikiran dan memproses informasi.
10. Meringkas
Meringkas pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat.
11. Memberi penghargaan
Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan
sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi untuk mendapatkan
pujian dan persetujuan atas perbuatannya.
12. Memberi kesempatan klien untuk memulai pembicaraan
Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik
pembicaraan.
13. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir
seluruh pembicaraan.
14. Menempatkan kejadian secara berurutan
Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk
melihatnya dalam suatu perspektif.
15. Memberikan kesempatan klien untuk menguraikan persepsinya.
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat harus melihat segala
sesuatunya dari perspektif klien
16. Refleksi
Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan
menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.

2.6 Hambatan Dalam Berkomunikasi


1)

Resisten

Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab
ansietas yang dialaminya. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan
klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku
resisten biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini
sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah.
2)

Transferens

Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan
sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam
kehidupannya di masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan
respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan
pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi
bermusuhan dan tergantung.
3)

Kontertransferens

Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien.
Kontertransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat
terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik
atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah
satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau
membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon
terhadap resisten klien.
Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk
mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan
perawat klien (Hamid, 1998). Awalnya, perawat harus mempunyai
pengetahuan tentang hambatan komunikasi terapeutik dan mengenali perilaku
yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Latar belakang perilaku digali
baik klien atau perawat bertanggung jawab terhadap hambatan terapeutik dan
dampak negative pada proses terapeutik.
2.7 Tolak Ukur Keberhasilan Komunikasi
1)

Kepercayaan penerima pasien

2)

Daya tarik pesan dan kesesuaian kebutuhan

3)

Pemahaman yang sama

4)

Kemampuan komunikan menafsirkan pesan

5)

Setting komunikasi yang kondusif

6)

Metode dan media penyampaian yang sesuai

2.8 Tinjauan Tentang Kecemasan

2.8.1 Pengertian
Kecemasan (anxietas) merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang
tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan
sehari hari. Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang
sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi
yang akan membahayakan pasien. Maka tak heran jika sering kali pasien dan
keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan yang
mereka alami. Kecemasan yang mereka alami biasanya terkait dengan segala
macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap
keselamatan jiwa akibat prosedur pembedahan dan pembiusan.

2.8.2 Penyebab Kecemasan


1. Faktor Predisposisi
a)

Teori Psikoanalitik

Menurut Freud, struktur kepribadian terdiri dari tiga elemen yaitu id, ego, dan
super ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego
mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma norma
budaya seseorang, sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara
tuntutan dari id dan super ego. Kecemasan merupakan konflik emosional antara
id dan super ego yang berfungsi untuk memperingatkan ego tentang suatu
bahaya yang perlu diatasi.
b)

Teori Interpersonal

Kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan interpersonal, hal ini juga
dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan seperti kehilangan,
perpisahan yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berhahaya. Individu
yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami
kecemasan.
c)

Teori Perilaku

Kecemasan merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang mengganggu


kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan para ahli perilaku
menganggap kecemasan merupakan suatu dorongan yang dipelajari
berdasarkan dorongan, keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini
meyakini bahwa manusia yang pada awal kehidupanya dihadapkan pada rasa
takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan kecemasan yang berat
pada kehidupan yang berat dan pada kehidupan masa dewasanya.
d)

Teori Biologis

Dari penyelidikan penyelidikan telah dibuktikan bahwa kemampuan untuk


mengalami suatu emosi tidak hanya tergantung dari kadar adrenalin yang
meningkat tetapi jenis emosi yang dialami dan diperhatikan tergantung dari
faktor faktor dan stimulus dalam lingkungan.
2. Faktor Presipitasi
a

Ancaman Integritas Diri

Meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar.


Hal ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi
infeksi virus dan bakteri, polusi lingkungan, sampah. rumah dan makanan juga
pakaian dan trauma fisik. Faktor internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologi
seperti sistem kekebalan, pengaturan suhu dan jantung, serta perubahan
biologis.
b

Ancaman Sistem Diri

Meliputi ancaman terhadap identitas diri, harga diri dan hubungan interpersonal,
kehilangan serta perubahan status atau peran. Faktor eksternal yang
mempengaruhi harga diri adalah kehilangan, dilematik, tekanan dalam kelompok
sosial maupun budaya.
3. Karakteristik Tingkat Kecemasan
A.

Kecemasan Ringan

Fisik
: Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat,
gejala ringan berkeringat.

Kognitif : Lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsang


kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah aktual.

Perilaku dan emosi


: Tidak dapat duduk dengan tenang, tremor
halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.
B.

Kecemasan Sedang

Fisik
: Sering nafas pendek, nadi ekstra sistole, tekanan darah
meningkat, mulut kering, anoreksia, diare atau kontipasi, dan gelisah.

Kognitif : Lapang persepsi meningkat, tidak mampu menerima rangsang


lagi, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

Perilaku dan emosi


: Gerakan tersentak sentak, meremas tangan,
bicara lebih banyak dan cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.
C.

Kecemasan Berat

Fisik
: Nafas pendek nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat
dan sakit kepala, penglihatan kabur dan ketegangan.


Kognitif : Lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu
menyelesaikan masalah.

Perilaku dan emosi


cepat.
D.

: Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi

Panik

Fisik
: Nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi sakit dada, pucat,
hipotensi, koordinasi motorik rendah.

Kognitif : Lapang persepsi sangat menyempit tidak dapat berpikir logis.

Perilaku dan emosi: Agitasi, mengamuk, marah ketakutan, berteriak,


blocking, kehilangan kontrol diri, persepsi datar.
4. Ukuran Skala Kecemasan
Ukuran skala kecemasan rentang respon kecemasan dapat ditentukan dengan
gejala yang ada dengan menggunakan Hamilton anxietas rating scale (Stuart &
Sundeen, 1991) dengan skala HARS terdiri dari 14 Komponen yaitu :
a)

Perasaan cemas meliputi takut, mudah tersinggung dan firasat buruk.

b)
Ketegangan meliputi lesu, tidur tidak tenang, gemetar, gelisah, mudah
terkejut dan mudah menangis.
c)
Ketakutan meliputi akan gelap, ditinggal sendiri, orang asing, binatang
besar, keramaian lalu lintas, kerumunan orang banyak.
d)
Gangguan tidur meliputi sukar tidur, terbangun malam hari, tidak puas,
bangun lesu, sering mimpi buruk dan mimpi menakutkan.
e)

Gangguan kecerdasan meliputi daya ingat buruk.

f)
Perasaan depresi meliputi kehilangan minat , sedih, bangun dini hari,
berkurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah ubah sepanjang hari.
g)
Gejala somatic meliputi nyeri otot kaki, kedutan otot, gigi gemertak, suara
tidak stabil.
h)
Gejala sensorik meliputi tinnitus, penglihatan kabur, muka merah dan
pucat, merasa lemas, perasaan di tusuk tusuk.
i)
Gejala kardiovakuler meliputi tachicardi , berdebar debar, nyeri dada,
denyut nadi mengeras, rasa lemas seperti mau pingsan, detak jantung hilang
sekejap.
j)
Gejala pernapasan meliputi rasa tertekan di dada, perasaan tercekik,
merasa napas pendek atau sesak, sering menarik napas panjang.
k)
Gejala saluran pencernaan makanan meliputi sulit menelan, mual, muntah,
eneg, konstipasi, perut melilit, defekasi lembek, gangguan pemcernaan, nyeri

lambung sebelum dan sesudah makan, rasa panas di perut, berat badan
menurun, perut terasa panas atau kembung.
l)

Gejala urogenital meliputi sering kencing, tidak dapat menahan kencing.

m) Gejala vegetatif atau otonom meliputi mulut kering, muka kering, mudah
berkeringat, sering pusing atau sakit kepala, bulu roma berdiri.
n)
Perilaku sewaktu wawancara meliputi gelisah, tidak tenang, jari gemetar,
mengerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat, napas
pendek dan cepat, muka merah.

2.9
1.

Landasan Teoritis Keperawatan Perioperatif


Definisi

Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan


keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman
pembedahan pasien. Kata perioperatif adalah gabungan dari tiga fase
pengalaman pembedahan yaitu : pre operatif, intra operatif dan post operatif.
2.

Etiologi

Pembedahan dilakukan untuk berbagai alasan (Buku ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner dan Suddarth ) seperti :
a.

Diagnostik, seperti dilakukan biopsi atau laparatomi eksplorasi

b.
Kuratif, seperti ketika mengeksisi masa tumor atau mengangkat apendiks
yang inflamasi
c.

Reparatif, seperti memperbaiki luka yang multipek

d.

Rekonstruktif atau Kosmetik, seperti perbaikan wajah

e.
Paliatif, seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki
masalah, contoh ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi
terhadap kemampuan untuk menelan makanan.

3.
1.

Tahap dalam Keperawatan Perioperatif


Fase Pre operatif

Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang
dimulai ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika
pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat
mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun rumah,

wawancara pre operatif dan menyiapkan pasien untuk anasthesi yang diberikan
pada saat pembedahan.
Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi persiapan
psikologi baik pasien maupun keluarga dan persiapan fisiologi (khusus pasien).
a.

Persiapan Psikologi

Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi emosinya tidak
stabil. Hal ini dapat disebabkan karena takut akan perasaan sakit, narcosa atau
hasilnya dan keadaan sosial ekonomi dari keluarga. Maka hal ini dapat diatasi
dengan memberikan penyuluhan untuk mengurangi kecemasan pasien. Meliputi
penjelasan tentang peristiwa operasi, pemeriksaan sebelum operasi (alasan
persiapan), alat khusus yang diperlukan, pengiriman ke ruang bedah, ruang
pemulihan, kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi, bernafas
dalam dan latihan batuk, latihan kaki, mobilitas dan membantu kenyamanan.

b.

Persiapan Fisiologi, meliputi :

1)
Diet (puasa) : pada operasi dengan anaesthesi umum, 8 jam menjelang
operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi pasien tidak
diperbolehkan minum. Pada operasai dengan anaesthesi lokal/spinal anaesthesi
makanan ringan diperbolehkan. Tujuannya supaya tidak aspirasi pada saat
pembedahan, mengotori meja operasi dan mengganggu jalannya operasi.
2)
Persiapan Perut : Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan
pada bedah saluran pencernaan atau pelvis daerah periferal. Tujuannya
mencegah cidera kolon, mencegah konstipasi dan mencegah infeksi.
3)

Persiapan Kulit : Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut.

4)
lain.

Hasil Pemeriksaan : Hasil laboratorium, foto rontgen, ECG, USG dan lain-

5)
Persetujuan Operasi/Informed Consent : Izin tertulis dari pasien/keluarga
harus tersedia.

2.

Fase Intra operatif

Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke instalasi
bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath,
pemberian medikasi intravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien.
Contoh : memberikan dukungan psikologis selama induksi anestesi, bertindak
sebagai perawat scrub, atau membantu mengatur posisi pasien di atas meja
operasi dengan menggunakan prinsip - prinsip dasar kesimetrisan tubuh.

Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi yaitu pengaturan


posisi karena posisi yang diberikan perawat akan mempengaruhi rasa nyaman
pasien dan keadaan psikologis pasien.
a.
Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam pengaturan posisi pasien
adalah :
1.

Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.

2.

Umur dan ukuran tubuh pasien.

3.

Tipe anaesthesia yang digunakan.

4.

Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan (arthritis).

b.

Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien :

Atur posisi pasien dalam posisi yang nyaman dan sedapat mungkin jaga privasi
pasien, buka area yang akan dibedah dan kakinya ditutup dengan duk.
Anggota tim asuhan pasien intra operatif biasanya di bagi dalam dua bagian.
Berdasarkan kategori kecil terdiri dari anggota steril dan tidak steril :
Anggota steril, terdiri dari : ahli bedah utama / operator, asisten ahli
bedah, Scrub Nurse / Perawat Instrumen
Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : ahli atau pelaksana
anaesthesi, perawat sirkulasi dan anggota lain (teknisi yang mengoperasikan
alat-alat pemantau yang rumit).

3. Fase Post operatif


Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre operatif dan
intra operatif yang dimulai ketika klien diterima di ruang pemulihan (recovery
room)/pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan
klinik atau di rumah.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas yang
luas selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen
anaestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk
penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.

Fase post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah


:
a)
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anaestesi
(recovery room).
b)
Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus diantaranya adalah
letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Pasien diposisikan
sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang
drainase. Selama perjalanan transportasi dari kamar operasi ke ruang pemulihan
pasien diselimuti, jaga keamanan dan kenyamanan pasien dengan diberikan
pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk mencegah
terjadi resiko injury. Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab perawat
sirkuler dan perawat anaestesi dengan koordinasi dari dokter anaestesi yang
bertanggung jawab.
c)
Perawatan post anaestesi di ruang pemulihan atau unit perawatan pasca
anaestesi
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di ruang
pulih sadar (recovery room : RR) atau unit perawatan pasca anaestesi (PACU:
post anaesthesia care unit) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami
komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan
(bangsal perawatan).
PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini
disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk :
a.
Perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat
anaestesi)
b.

Ahli anaestesi dan ahli bedah

c.

Alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.

4.

Klasifikasi Perawatan Perioperatif

Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan, maka tindakan pembedahan


dapat diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan, yaitu :
a.
Kedaruratan/Emergency : Pasien membutuhkan perhatian segera,
gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi dilakukan pembedahan tanpa di
tunda. Contoh : perdarahan hebat, obstruksi kandung kemih atau usus, fraktur
tulang tengkorak, luka tembak atau tusuk, luka bakar sangat luas.
b.
Urgen : Pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan dapat
dilakukan dalam 24-30 jam. Contoh : infeksi kandung kemih akut, batu ginjal
atau batu pada uretra.

c.
Diperlukan : Pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan dapat
direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan. Contoh : Hiperplasia prostat
tanpa obstruksi kandung kemih. Gangguan tyroid, katarak.
d.
Elektif : Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi pembedahan, bila
tidak dilakukan pembedahan maka tidak terlalu membahayakan. Contoh :
perbaikan Scar, hernia sederhana, perbaikan vaginal.
e.
Pilihan : Keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan
sepenuhnya pada pasien. Indikasi pembedahan merupakan pilihan pribadi dan
biasanya terkait dengan estetika. Contoh : bedah kosmetik.
Sedangkan menurut faktor resikonya, tindakan pembedahan di bagi menjadi :
a.
Minor : Menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan
yang minim. Contoh : incisi dan drainage kandung kemih, sirkumsisi
b.
Mayor : Menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat
serius. Contoh : Total abdominal histerektomi, reseksi colon, dan lain-lain.

5.
a.

Komplikasi Post Operatif dan Penatalaksanaanya


Syok

Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok hipovolemik. Tandatanda syok adalah : Pucat, kulit dingin, basah, pernafasan cepat, sianosis pada
bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah dan bergetar, penurunan tekanan darah,
urine pekat.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter
terkait dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi obat, terapi
pernafasan, memberikan dukungan psikologis, pembatasan penggunaan energi,
memantau reaksi pasien terhadap pengobatan, dan peningkatan periode
istirahat.

b.

Perdarahan

Penatalaksanaannya pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai


kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijaga
tetap lurus. Kaji penyebab perdarahan, luka bedah harus selalu diinspeksi
terhadap perdarahan.
c.

Trombosis vena profunda

Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah
vena bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme
pulmonari dan sindrom pasca flebitis.
d.

Retensi urin

Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus
dan vagina. Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan kateter untuk
membantu mengeluarkan urine dari kandung kemih.
e.

Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)

Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi
pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan.
Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai
indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril.
f.

Sepsis

Sepsis merupakan komplikasi serius akibat infeksi dimana kuman berkembang


biak. Sepsis dapat menyebabkan kematian karena dapat menyebabkan
kegagalan multi organ.
g.

Embolisme Pulmonal

Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak)
yang terlepas dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Embolus
ini bisa menyumbat arteri pulmonal yang akan mengakibatkan pasien merasa
nyeri seperti ditusuk-tusuk dan sesak nafas, cemas dan sianosis. Intervensi
keperawatan seperti ambulatori pasca operatif dini dapat mengurangi resiko
embolus pulmonal.
h.

Komplikasi Gastrointestinal

Komplikasi pada gastrointestinal sering terjadi pada pasien yang mengalami


pembedahan abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal,
nyeri dan distensi abdomen
Daftar pustakahttp://yulianasari123.blogspot.co.id/2014_06_01_archive.html

Anda mungkin juga menyukai