Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Pembahasan kasus Ny. G, G1P0A0 akan dilakukan mengikuti perjalanan penyakit dan
tindakan serta kondisi pasien. Pada awalnya pasien, G1P0A0, hamil imatur (gestasi 27 minggu)
ini menderita pre ekamsia berat dan impending eclamsia dengan komplikasi. Komplikasi yang
dialami adalah Foetal Distress yang dilanjutkan dengan persalinan spontan dengan demikian
terjadi primipara. Komplikasi berikutnya adalah retensi plasenta dan perdarahan sehingga perlu
ditindaklanjuti dengan kuretase emergency. Setelah kuretase emergency, dan pada terapi
selanjutnya, oedem pulmo mengalami perbaikan sehingga pasien dirawat di HCU.
Pre eklamsia diawali dengan eklamsia ringan yang berlanjut menjadi pre eklamsia berat
dan jika terjadi kenaikan progresif tekanan darah akan berkembang menjadi impending
eclampsia, yang kemudian dapat berlanjut ke kondisi eklamsia. Pre eklampsia sendiri merupakan
suatu kondisi spesifik pada kehamilan maupun persalinan, di mana hipertensi terjadi setelah
minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Kelainan seperti ini
secara internasional dikenal sebagai pregnancy induced hypertension atau kehamilan yang
menginduksi tekanan darah. Pre eklampsia diperkirakan secara luas menyerang 3 - 5%
kehamilan atau satu dari sepuluh kehamilan dan menyumbang sekitar 15% dari semua kelahiran
prematur. Kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama. Insiden pre eklampsia
berat sendiri mencapai 4% (Cunningham, 2003). Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7
sampai 10 persen) jika dibandingkan dengan wanita multipara. Pre eklampsia seringkali terjadi
pada kehamilan pertama, terutama pada ibu yang berusia belasan tahun. Catatan statistik

menunjukkan dari seluruh insidensi dunia, dari 5%-8% pre-eklampsia dari semua kehamilan,
terdapat 12% lebih dikarenakan oleh primigravida.
WHO menyatakan bahwa penyebab kematian ibu terbanyak adalah pre-eklamsia dan
eklamsia (28.76%), baru kemudian perdarahan (22.42%) dan infeksi (3.54%). Frekuensi
eklamsia di negara-negara berkembang berkisar antara 0,3% sampai 0,7% lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara maju dimana frekuensi eklamsia hanya berkisar antara
0,05% sampai 0,1%. WHO juga mencatat angka kejadian pre eklamsia berat berkisar antara
0,51% sampai 38,4% dan angka kejadian pre eklamsia berat di Indonesia berkisar antara 310%. Sebagai contoh, selama periode 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2007 di RSUP DR.
M. Djamil Padang didapatkan pre eklamsia berat sebanyak 220 kasus (4,99%) dan eklamsia
sebanyak 47 orang (1,07%) dari 4407 persalinan.
Pre eklamsia ditandai dengan adanya hipertensi, edema, hemokonsentrasi dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan. Tanda dan gejala tersebut timbul hanya selama masa hamil dan
menghilang dengan cepat setelah janin dan plasenta lahir. Sampai sekarang etiologi pasti pre
eklampsia masih belum diketahui dan tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita
yang akan menderita pre eklampsia tetapi mungkin terkait dengan perubahan dalam status
elektrolit. Elektrolit seperti Kalsium (Ca 2+), Magnesium (Mg2+), Natrium (Na+), dan Kalium
(K+) memainkan peran penting dalam pre eklamsia ringan, pre eklamsia berat dan eklamsia
karena mereka memberikan kontribusi yang signifikan dalam fungsi otot polos vaskular.
Sedangkan ion natrium dan kalium merupakan ion utama dalam pembentukan potensial aksi
dalam serat otot yang akan menimbulkan kontraksi otot (Guyton & Hall. 1997). Hipokalemia,
yang bisa terjadi akibat pemberian diuretik untuk menangani oedem, dapat menjebabkan

kelemahan otot rangka (muskuloskeletal) sampai menimbulkan kelemahan atau paralisis otototot respirasi, bahkan total paralisis (Kasper, dkk. 2015).
Beberapa faktor risiko tertentu yang berkaitan dengan perjalanan klinis pre eklamsia,
antara lain : primigravida (terutama primigravida muda), multigravida, janin besar, kehamilan
dengan janin lebih dari satu, dan obesitas. Faktor-faktor lain meliputi usia, kelainan vaskular
plasenta, kelainan imunologik, genetik (riwayat keluarga pernah menderita pre eklamsia atau
eklamsia), defisiensi kalsium dan psikologi ibu seperti cemas, stres, panik hingga depresi. Ketika
stres, sinyal otak memicu pelepasan berbagai bahan kimia alami pada otak, termasuk adrenalin
dan kortisol. Tingginya bahan kimia tersebut dapat mengganggu ingatan dan menimbulkan risiko
depresi yang sangat besar. Misalnya, kortisol yang meningkat dapat menyebabkan retensi
natrium dan pembuangan kalium yang dapat menyebabkan edema, hipokalemia dan alkalosis
metabolik. Faktor-faktor risiko dapat menyebabkan kerusakan organ dalam yang kemungkinan
diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia (Cunningham, 2003; Saifuddin, 2008).

Mortalitas maternal pada pre eklampsia disebabkan oleh karena akibat komplikasi dari
pre eklampsia dan eklampsianya seperti: HELLP syndrome (hemolisis, elevated liver enzyme,
low platelets), solusio plasenta, trombositopenia, hipofibrigonemia, hemolisis, perdarahan otak,
gagal ginjal, dekompensasi kordis dengan oedema pulmo dan nekrosis hati. Oedema paru yang
dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar,
dan menurunnya diuresis. Edema paru merupakan sebab utama kematian penderita preeklampsia
dan eklampsia. Mortalitas perinatal pada pre eklampsia dan eklampsia disebabkan asfiksia intra
uterin, prematuritas, dismaturitas, dan pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine Growth
Restriction / IUGR), foetal distress serta kematian janin intrauterin atau IUFD. Kasus IUFD

disebabkan karena insufisiensi plasenta, sehingga suplai darah ke janin berkurang, dan terjadi
hipoksia yang lama sebagaimana pada ibu yang mengalami pre-eklamsi berat dan hipertensi
kronis. Di Indonesia pre eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian
perinatal, oleh karena itu perlu dilakukan penilaian kesejahteraan janin (kardiotokografi).
Pasien juga mengalami anemia dengan kadar hemoglobin 8,5 g/dL. Kriteria Anemia
dalam Kehamilan Menurut WHO: tidak anemia : 11 g/dL, anemia ringan : 10-10,9 g/dL,
anemia sedang 7,9-9 g/dL, dan anemia berat >7-7,8 g/dL.
Pre eklamsia bisa mendadak berkembang menjadi Pre Eklamsia Berat (PEB) jika usia
kehamilan 20 minggu (hamil imatur, sebagaimana pasien) atau lebih dan ditemukan hal-hal
antara lain : tekanan darah 160/110 atau lebih, proteinuria 5 gr atau lebih, oliguri 400 cc atau
kurang, gangguan cerebral yang antara lain manifes sebagai gangguan penglihatan dan hiper
refleksi, edema paru yang tampak sebagai sianosis, trombositopenia berat, HELLP syndrome,
sakit kepala hebat, mengantuk, gangguan mental, nyeri epigastrium serta mual dan muntah.
Preeklampsia berat yang disertai dengan gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat,
gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah
disebut sebagai impending eclampsia.
Pada kasus ini, kemudian pasien mengalami persalinan spontan yaitu persalinan yang
lahir melalui vagina tanpa bantuan peralatan khusus, sepenuhnya mengandalkan tenaga dan
usaha ibu. Dengan demikian Ny. G. dikatakan primipara, yaitu telah satu kali melahirkan bayi
yang lahir hidup atau meninggal dengan perkiraan lama gestasi 20 minggu atau lebih.
Sebelumnya pasien dalam keadaan hamil imatur yaitu kehamilan yang usianya 27 minggu.
Setelah partus spontan, pasien mengalami retensio plasenta dan perdarahan Retensio plasenta
adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi. Sewaktu

suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi
secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa
ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
Untuk mengatasi keadaan ini dilakukan kuretase emergency. Setelah kuretase emergency,
pasien diberi terapi, antara lain : infus Dextrose 10%, yaitu cairan hipertonik yang memiliki
osmolaritas lebih tinggi dibanding dengan serum, sehingga mampu menarik cairan dan elektrolit
dari jaringan ke dalam pembuluh darah. Penanganan ini berhasil menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urine, serta mengurangi edema, termasuk oedem paru sehingga pasien
dipindah dari ICU ke HCU.

Daftar Pustaka
1. Cunningham G, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstap L, Wenstrom K. 2003. Dalam
Obstetri Williams (Edisi Keduapuluhsatu). Jakarta: EGC, 2005.
2. Guyton, AC dan Hall, JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran.
EGC. Jakarta.
3. Kasper, dkk. 2012. Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi ke 19.
4. Manuaba, dr. I. A. Chandranita, Sp.OG. 2008. Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi &
Obstetri-Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta : EGC.
5. Mochtar, Prof. Dr. Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC
6. Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
7. Rayburn, William F. 2001. Obstetri & Ginekologi. Jakarta : Widya Medika.
8. Saifuddin, AB. 2008. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Bina Pustaka.

HCU mawar 1/2E Ny Giyarni, P1A0, 27 tahun. Dx: oedem pulmo perbaikan, ..., IUFD
(intra uterine foetal death), PEB (Pre Eklamsi Berat), post kuretase emergency a.i. ...
pd primipara h. imatur + hipokalemia

Anda mungkin juga menyukai