Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN

PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS BERINGIN RAYA
KOTA BENGKULU

Latar Belakang Masalah


Peningkatan pertumbuhan penduduk lansia yang sangat cepat terjadi pada
abad 21. Pada tahun 2000 jumlah penduduk lansia di seluruh dunia sekitar 68%
total populasi atau mencapai 426 juta, jumlah ini akan bertambah menjadi 2 kali
lipat pada tahun 2025, (Bustan, 2003). Sedangkan menurut Wirakusumah, (2000)
pada tahun 2000 jumlah lansia (>65 tahun) di seluruh dunia diperkirakan sekitar
1,5 1,5 miliar dimana 1 miliar berada di negara berkembang termasuk Indonesia
(Bustan, 2003).
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2005) dalam Bustan (2003)
Lembaga Demografi Universitas Indonesia tahun 1985 memperkirakan jumlah
lansia di Indonesia dewasa ini mencapai 15 juta jiwa atau sekitar 7,5% dari jumlah
penduduk. Jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas pada tahun 2005
diperkirakan akan mencapai 19,9 juta jiwa atau sekitar 8,48% dari jumlah
penduduk. Jumlah ini akan meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 28,8 juta jiwa
atau sekitar 11,34% dari seluruh populasi. Peningkatan jumlah usia lanjut
diperkirakan dikuti dengan peningkatan usia harapan hidup dari 59,8 tahun pada
tahun 1990 menjadi 71,1 tahun pada tahun 2020 (Depkes, 2003).
Peningkatan jumlah lansia ini terjadi baik di negara maju maupun negara
berkembang, namun secara relatif peningkatan penduduk lansia di negara maju
tampak lebih cepat bila dibandingkan dengan di negara berkembang (Busman,
2003).
Peningkatan jumlah lansia berjalan terbalik dengan peningkatan jumlah
balita. Jika pada saat ini jumlah balita lebih banyak dari lansia, maka pada tahuntahun mendatang jumlah lansia akan lebih banyak dari balita. Masalah balita

berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan sedangkan masalah lansia


berhubungan dengan ketuaan/kejompoan dan kematian (Bustan, 2003).
Menurut Darmojo (2002) akan adanya berbagai konsekuensi dari
peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menyangkut masalah kesehatan,
ekonomi, serta sosial budaya yang cukup dari pola penyakit sehubungan dengan
proses penuaan, seperti penyakit degeneratif, penyakit metabolic dan gangguan
psiko-sosial.
Terjadi perubahan struktur dan fungsi tubuh akibat adanya proses
degeneratif pada lanjut usia. Misalnya perubahan pada Gastrointestinal yang
menyebabkan penurunan efektivitas utilisasi zat-zat gizi, sehingga akan
mengakibatkan permasalahan gizi yang khas. Dua pertiga dari macam penyakit
pada lansia berhubungan erat dengan gizi, misalnya kanker, kardiovaskuler,
diabetes mellitus dan penyakit degeneratif lainnya. Para ahli gerontologi-geriatri
mengemukakan bahwa 30-50% faktor gizi berperan penting bagi kesehatan yang
optimal pada lansia (Rumawes, 1993) dalam Bustan (2003).
Menurut Edmon (1997) dalam Darmojo (2002) faktor-faktor yang
mempengaruhi keadaan gizi lansia yaitu status kesehatan, gigi geligi,
mental/status kognitif, pendidikan dan pengetahuan, pendapatan, konsumsi
makanan, kebiasaan makan, umur dan jenis kelamin, faktor genetik, tingkat
hormonal dan penyakit, gaya hidup, aktivitas fisik, stress, dan kebiasaan merokok.
Masalah gizi yang terjadi pada lanjut usia adalah kurang protein yang
ditandai oleh indeks massa tubuh (IMT) < 18,5. Pada lansia kurang protein
merupakan interaksi adanya penyakit kronik, kemiskinan, malabsorpsi maupun
faktor-faktor psikososial yang dapat mempunyai dampak buruk antara lain anemia
gizi, penurunan imunitas, gangguan penyembuhan luka, dan mudah terjatuh
(Davies, 1990 dan Vellas, Baumgartner 1992).
Hasil 20 studi terhadap populasi wanita di Eropa mulai tahun 1949 sampai
1988 diperoleh hasil bahwa 16 studi diantaranya menunjukkan adanya hubungan
antara tingkat pendapatan dengan gizi lebih, sedangkan dari 33 studi pada
populasi pria, terdapat 7 studiyang menunjukkan adanya hubungan yang positif
antara tingkat pendapatan dan gizi lebih, 5 studi menunjukkan tidak adanya

hubungan antara keduanya, sedangkan 21 studi lainnya menunjukkan hubungan


yang terbalik antara tingkat pendapatan dengan gizi lebih (WHO, 1995).
Selain itu kerentanan yang dialami lanjut usia ditunjang oleh gaya hidup
mayarakat yang berbeda (mengalami perubahan) dibanding zaman dahulu. Baik
soal bekerja hingga aktivitas sehari-hari, dimana masyarakat sekarang terutama
para lansia kurang melakukan aktivitas bila dibandingkan orang zaman dahulu.
Kemajuan teknologi turut membantu kerentanan tersebut. Dalam hal pola makan
dan kebiasaan beristirahat pun demiian mengalami perubahan. Namun tidak perlu
menghindari pada satu jenis makanan tertentu. Sepanjang orang tersebut dalam
keadaan sehat atau tidak menderita suatu penyakit. Terpenting adalah selalu
menerapkan pola hidup maupun pola makan yang sehat.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS


BAKTERIOLOGIS AIR SUMUR GALI
DI KELURAHAN RAWA MAKMUR
KOTA BENGKULU

Latar Belakang Masalah


Untuk mewujudkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, maka
Departemen Kesehatan melaksanakan Penyehatan Lingkungan dan salah satu dari
program penyehatan lingkungan adalah melaksanakan program Penyehatan Air
yang bertujuan untuk meningkatkan pengamanan kualitas air dan pengamanan
dampak limbah terhadap kebutuhan masyarakat pengguna, baik di pedesaan dan
di perkotaan, sehingga kebutuhan akan air terpenuhi dan memenuhi persyaratan
kesehatan.
Bagi manusia, air sangat diperlukan dalam kehidupannya, seperti minum,
keperluan industri, pertanian dan sebagainya. Dari berbagai macam keperluan
akan air tersebut, kebutuhan yang paling mendasar adalah sebagai air minum.
Seiring dengan perkembangan kehidupan, kebutuhan akan air untuk berbagai
keperluan juga cenderung mengalami peningkatan. Kebutuhan akan air meningkat
karena pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pertanian, industri,
pertambangan, meluasnya tempat pemukiman dan lain lain.
Selain sebagai kebutuhan manusia, air juga dapat menjadi sarana
penularan penyakit. Penularan penyakit: kholera, penyakit diare, penyakit
typhoid, penyakit hepatitis infeksiosa, penyakit disentri basiler.
Menurut Sutrisno (2006) bahwa dalam standar persyaratan fisik air minum
tampak adanya lima unsur persyaratan meliputi: suhu, warna, bau, rasa dan
kekeruhan. Sedangkan menurut Depkes RI (2002) parameter fisik air meliputi
bau, warna, total zat padat terlarut, kekeruhan, rasa dan bau.
Menurut Permenkes 416 tahun 1990, Air bersih adalah air yang digunakan
untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan

dapat diminum apabila telah dimasak. Kualitas mikrobiologis untuk air bersih
menurut Permenkes No. 416 tahun 1990 adalah air harus terbebas dari Total
koliform (MPN) dan kaliform tinja.
Menurut Permenkes No. 492 tahun 2010, air minum adalah air yang
melalui proses pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat yang
langsung dapat diminum. Kualitas air minum merupakan salah satu hal penting
yang harus diperhatikan, sehingga aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AIR


MINUM SECARA BAKTERIOLOGIS
PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG
DI KELURAHAN RAWA MAKMUR
KOTA BENGKULU

Latar Belakang Masalah


Air dan kesehatan merupakan dua hal yang saling berhubungan. Kualitas
air yang dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat
tersebut, khususnya untuk air minum dan makan. Persoalannya saat ini kualitas air
minum di kota-kota besar di Indonesia masih memprihatinkan. Kepadatan
penduduk, tata ruang yang salah dan tingginya eksploitasi sumber daya air sangat
berpengaruh pada kualitas air. Sebagai akibat penggunaan air yang tidak
memenuhi syarat kesehatan, di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan lebih dari
3,5 juta anak dibawah usia tiga tahun terserang penyakit saluran pencernaan dan
diare dengan jumlah kematian 3% atau sekitar 105.000 jiwa. Survey Demografi
tahun 2003, 19% atau 100.000 anak balita meninggal karena diare. Menurut
World Health Organization (WHO), 94% kasus diare yang diakibatkan oleh
bakteri Escherichia Coli (E. Coli), dapat dicegah dengan meningkatkan akses air
bersih, sanitasi, perilaku higienis dan pengolahan air minum skala rumah tangga.
Banyak dijumpai masyarakat mengalami keracunan air minum karena adanya
senyawa kimia dalam air minum melebihi ambang batas konsentrasi yang
diizinkan. Selain itu dapat menimbulkan penyakit dan gangguan fungsi organ
tubuh seperti fungsi ginjal, hati, otak, gigi bahkan kelainan mental. Senyawa
kimia ini bisa secara alamiah maupun akibat kegiatan manusia mencemari air
minum. Beberapa zat kimia yang bersifat racun terhadap tubuh manusia adalah
logam berat, pestisida, senyawa polutan hidrokarbon, zat-zat radioaktif alami atau
buatan dan sebagainya.

Menimbang dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,


perlu dilaksanakan berbagai upaya kesehatan termasuk pengawasan kualitas air
minum yang dikonsumsi masyarakat. Selan itu agar air minum yang dikonsumsi
masyarakat tidak menimbulkan gangguan kesehatan maka perlu ditetapkan
persyaratan kualitas air minum. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No 907/Menkes/SK/VII/2002
tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Syarat air minum sesuai
Permenkes itu harus bebas dari bahan-bahan anorganik dan organik yakni bebas
bakteri, zat kimia, racun, limbah berbahay dan lain sebagainya.
Kecenderungan penggunaan air minum isi ulang oleh masyarakat d
perkotaan semakin meningkat. Buruknya kondisi lingkungan membuat mereka
khawatir untuk mengkonsumsi air tanah, bahkan air ledeng yang disediakan
pemerintah. Namun sayangnya tidak semua air minum isi ulang (AMIU) dikelola
dengan baik sesuai persyaratan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002.

Anda mungkin juga menyukai