Anda di halaman 1dari 20

PEMANTAUAN SUHU DAN GANGGUANNYA

1. Dimana tempat yang cocok untuk pemantauan suhu?


Pemantauan suhu merupakan pelayanan standar pada anestesi. Tempat untuk
pengukuran suhu selama prosedur anestesi berlangsung bergantung dari
prosedur bedah yang dilakukan, jenis anestesi, dan alasan untuk pemantauan
suhu:
1) Kulit, mungkin tidak mewakili suhu inti (suhunya lebih rendah 3-4oC).
2) Aksila, suhu dipantau pada arteri brachialis dengan lengan adduksi,
dimana suhunya kira-kira 1oC dibawah suhu inti tubuh.
3) Rektum, tidak mewakili perubahan suhu dengan cepat; perforasi rektal
merupakan salah satu komplikasi, namun jarang.
4) Esophagus, sebuah probe diletakkan pada 1/3 bawah esophagus yang
secara akurat mengukur suhu inti tubuh dan suhu darah; dikombinasikan
dengan stetoskop esophageal, probe suhu ini juga berguna untuk
auskultasi.
5) Nasofaring, mewakili suhu otak karena ujungnya terletak pada arteri
carotid internal; komplikasinya termasuk mimisan (epistaksis), terutama
jika pasiennya hamil atau memiliki penyakit koagulopati; pemasangannya
dikontraindikasikan pada kasus trauma kepala atau pada kondisi rinorea
dengan cairan serebrospinal.
6) Meatus akustikus eksternal, karena membran timpani terletak dekat arteri
karotis interna, yang mewakili suhu inti tubuh dengan baik; perforasi
membran timpani merupakan salah satu komplikasi.
7) Kateter vesika urinari, pemeriksaanya mewakili suhu inti tubuh ketika
aliran urine sedang tinggi.
8) Kateter arteri pulmoner; pengukuran suhu inti tubuh ini sangat akurat
namun bersifat invasif dan mahal.
2. Definisikan hipotermia
Hipotermia adalah kondisi klinis dimana suhu tubuh abnormal dimana tubuh
tidak mampu menghasilkan panas yang cukup untuk melakukan fungsi tubuh.
Suhu inti tubuh yaitu 35oC (95oF), merupakan batas atas dari hipotermia.
Sinyal dingin dibawah ke hipotalamus melalui serabut delta melintasi traktus
spinotalamikus pada medulla spinalis anterior. Pada kondisi daman suhu

bawah 35oC, menggigil dan respon otonom dan endokrin tidak mampu
mengkompensasi secara menyeluruh tanpa adanya bantuan penghangat.
3. Bagaimana anestesi mempengaruhi hipotermia?
Hilangnya panas sering terjadi pada pasien selama anestesi umum, karena
agen anestesi mengubah pusat termoregulasi pada hipotalamus dan juga
menyebabkan vasodilatasi secara langsung. Barbiturate menyebabkan
vasodilatasi perifer. Relaksan otot menurunkan tonus otot dan mencegah
thermogenesis seperti menggigil. Anesthesia regional juga menyebabkan
hambatan simpatis, relaksan otot, dan blokade sensoris pada reseptor termal,
sehingga menghambat respon kompensasi tubuh.
4. Apa tanda klinis hipotermia?
Menggigil, keringat berkurang, dan vasokonstriksi merupakan tanda awal
hipotermia. Jika hipotermia berlangsung lama, pasien dapat mengalami
perubahan status mental dan kelemahan otot. Pasien yang teranestesi disebut
sebagai poikilotermal, merefleksikan suhu lingkungan eksternal. Penurunan
aktivitas motorik merupakan manifestasi awal dari suatu hipotermia.
Efek fisiologi hipotermia tergantung dari derajat penurunan suhu. Pada
hipotermia ringan (32-35oC, 90-95oF) mungkin terjadi depresi sistem saraf
pusat, penurunan laju metabolisme basal, takikardia, dan menggigil. Pasien
juga bisa mengalami disartria, amnesia, ataksia, dan apati. Hipotermia sedang
(27-32oC, 80-90oF) meliputi penurunan derajat kesadaran lanjut, penurunan
tanda vital ringan, aritmia, dan diuresis dingin. Pada hipotermia berat (<27 oC,
80oF), pasien dapat mengalami koma dan arefleks dan mengalami penurunan
tanda vital yang signifikan.
5. Pasien apa saja yang berisiko mengalami hipotermia?
Pasien yang berisiko termasuk pasien usia tua, yang memiliki kontrol
vaskular otonom yang menurun; bayi, yang memiliki luas permukaan tubuh
yang luas dibandingkan massa tubuhnya. Pasien dengan luka bakar, trauma
medulla spinalis, yang menyebabkan disfungsi otonom dan abnormalitas
endokrin.
6. Apa fungsi menggigil?
Menggigil (shivering) merupakan kontraksi otot skeletal secara spontan,
asinkron dan random, sebagai usaha untuk meningkatkan laju metabolisme
basal. Shivering dimodulasi di hipotalamus dan dapat meningkatkan produksi

panas tubuh, sekitar 300% terutama pada pasien muda. Shivering


meningkatkan komsumsi oksigen dan produksi karbondioksida. Efek ini
mungkin tidak diharapkan terutama pada pasien dengan penyakit arteri
koroner dan insufisiensi pulmoner.
Thermogenesis non-shivering (tanpa menggigil) meningkatkan produksi
panas metabolik tanpa menyebabkan kerja mekanis otot. Bayi usia kurang
dari 3 bulan tidak mampu menggigil dan mendapatkan respon kalorik dengan
thermogenesis non-shivering. Otot skeletal dan jaringan lemak coklat
merupakan sumber energi utama pada proses ini, dimana tidak terjadi pada
pasien dewasa yang mengalami anestesi.
7. Bagaimana patofisiologi efek dari hipotermia?
1) Vaskular, vasokonstriksi menyebabkan hipoperfusi jaringan perifer dan
menyebabkan hipoksia jaringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan
vena sentral meningkat; realibilitas pada pemantauan pulsasi oksimetri
dan tekanan intra-arterial menjadi menurun.
2) Jantung, menggigil meningkatkan komsumsi oksigen sekitar 300%,
sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen miokardial. Ketika hipotermia
memburuk, frekuensi jantung, cardiac output, dan komsumsi oksigen
menurun. Gejala selanjutnya berupa aritmia ventricular dan depresi
miokardial lanjut.
3) Pulmoner, resistensi vaskular pulmoner meningkat dan vasokontriksi
pulmoner hipoksia menurun, menyebabkan peningkatan mismatch
(ketidakcocokan) ventilasi-perfusi dan hipoksemia. Tonus bronkomotorik
berkurang,

sehingga

terjadi

peningkatan

ruang

rugi

anatomis.

Karbondioksida yang terdapat dalam darah menurun 50% per penurunan


suhu tiap 8oC; sehingga hanya terdapat stimulus sedikit untuk bernafas.
Solubilitas karbondioksida dan oksigen meningkat dengan suhu dingin.
pH gas darah arterial meningkat 0,015 unit per centigrade penurunan
suhu. Aturan yang disetujui yaitu suhu tubuh dalam centigrade harus
kurang lebih sama dengan tekanan parsial gas karbondioksida arterial
(PaCO2).
4) Ginjal, aliran darah ginjal menurun, filtrasi glomerular menurun dan
katabolisme protein dan diuresis meningkat, dengan nitrogen urin

meningkat. Diuresis dingin diakibatkan oleh gangguan reabsorpsi natrium


yang menyebabkan hipovolemia. Kemampuan untuk memekatkan atau
dilusi urine berkurang.
5) Hepatik, aliran darah hepar menurun dan fungsi metabolik serta ekskresi
hepar berkurang.
6) Sistem saraf pusat, aliran darah otak menurun, dan resistensi vaskular
otak meningkat. Komsumsi oksigen metabolik otak menurun 7% per
centigrade penurunan suhu. Potensi motorik dan somatosensori meningkat
seiring terjadinya hipotermia. Pada suhu 33oC sedasi terjadi, pada suhu
30oC dapat menyebabkan narkosis dingin. Konsentrasi alveolar minimal
agen volatile menurun, menyebabkan kesadaran menurun seperti
kebingungan.
7) Hematologi - fungsi platelet menurun, sekuestrasi visceral dan agregasi
platelet menurun menyebabkan trombositopenia. Komsumsi oksigen
metabolik serebral menurun 7% per centigrade penurunan suhu. Aktivitas
faktor

pembekuan

menurun,

menyebabkan

gangguan

koagulasi,

sedangkan fibrinolisis meningkat. Leukosit juga mengalami sekuestrasi.


Viskositas darah meningkat sekitar 3% setiap penurunan centrigrade suhu.
Peningkatan hematokrit (2-3% setiap penurunan centrigrade suhu) juga
berhubungan dengan pembentukan rouleaux. Kurva disosiasi oksigenhemoglobin bergeser ke kiri, dan afinitas hemoglobin ke oksigen
meningkat sekitar 6% setiap penurunan centrigrade suhu. Volume plasma
menurun sekitar 25% setiap penurunan suhu 11oC akibat diuresis darah
dan gangguan resorpsi natrium.
8) Metabolik, laju metabolisme basal dan perfusi jaringan menurun,
menyebabkan

terjadinya

asidosis

metabolik.

Hiperkalemia

akut

merupakan risiko. Hiperglikemia sedang dapat disebabkan oleh respon


katekolamine, penurunan kadar dan respon insulin. Komsumsi oksigen
dan produksi karbondioksida menurun sekitar 8% setiap penurunan
centigrade suhu.
9) Tekanan intraokular, menurun karena penurunan produksi humor aquous
dan vasokonstriksi.

10) Penyembuhan, hipotermia dapat menyebabkan infeksi luka yang secara


langsung menganggu sistem imun dan menyebabkan vasokonstriksi
termoregulasi yang menurunkan kadar oksigen yang dibawa ke luka.
8. Gambarkan manifestasi hipotermia pada EKG?
Hipotermia ringan berhubungan dengan adanya sinus bradikardia. Hipotermia
sedang menyebabkan interval PR memanjang, kompleks QRS melebar dan
interval QT memanjang. Dibawah suhu 32 oC, terjadi elevasi kompleks QRS
dan segmen ST yang disebut sebagai hipotermia kritis (hypothermic hump)
atau Osborne atau gelombang J mungkin terlihat. Ukurannya meningkat
dengan penurunan suhu; biasanya terlihat pada lead II dan V6 dan dapat
mencapai lead V3 dan V4. Gelombang J tidak spesifik untuk hipotermia,
namun juga terlihat pada kasus lesi hipotalamik dan iskemia jantung. Ritme
nodus atrial sering terjadi pada suhu dibawah 30 oC. Pada suhu dibawah 28oC,
dapat terjadi kontraksi ventricular prematur, blok atrioventrikular dan atrial
dan ventrikel fibrilasi dapat terjadi. Ventrikel fibrilasi atau asistol dibawah
suhu 28oC secara relatif tidak berespon terhadap atropine atau alat kejut
defibrilasi. Upaya resusitatif harus tetap dilakukan hingga pasien kembali
pada suhu yang optimal.
9. Bagaimana efek farmakologi dari hipotermia?
Efek obat memanjang akibat penurunan aliran darah hepatik dan
metabolisme, dan penurunan aliran darah ginjal dan klirensnya. Ikatan protein
meningkat ketika terjadi penurunan suhu tubuh. Konsentrasi alveolar minimal
(MAC) dari agen inhalasi menurun sekitar 5-7% per setiap penurunan
centrigrade suhu inti tubuh, tapi penurunan cardiac output dan peningkatan
solubilitas darah tidak menyebabkan perubahan kecepatan pada induksi
inhalasi. Hipotermia dapat memperpanjang durasi kerja agen penghambat
neuromuscular

akibat

penurunan

metabolisme.

Pemantauan

fungsi

neuromuscular juga dapat mengalami gangguan. Hipotermia menunda fase


pemulihan dari pelayanan post anestetik dan dapat memperpanjang kebutuhan
ventilasi mekanik.
10. Gambarkan mekanisme dari kehilangan panas

1) Radiasi, (misalnya hilangnya panas akibat lingkungan yang lebih dingin),


dapat mengakibatkan kehilangan panas sekitar 60%, bergantung terhadap
aliran darah kutaneus dan luas area permukaan tubuh.
2) Evaporasi, dapat mengakibatkan kehilangan panas sekitar 20% akibat
vaporisasi panas yang tidak diketahui, dimana energi dibutuhkan untuk
proses vaporisasi cairan dari permukaan serosa dan mukosal. Evaporasi
bergantung terhadap luas area permukaan tubuh dan kelembaban udara.
3) Konveksi, dapat mengakibatkan kehilangan panas sekitar 15% dan
bergantung terhadap aliran udara pada permukaan area tubuh yang
terpapar.
4) Konduksi, bergantung terhadap pindahnya panas antara permukaan yang
saling berdekatan, dan mengakibatkan kehilangan panas sekitar 5%.
Derajat

hilangnya

panas

merupakan

fungsi

gradien

suhu

dan

konduktivitas termal.
11. Apa penyebab tersering dari kehilangan panas di ruangan operasi?
Ruangan yang dingin, cairan intravena yang dingin dll yang terpapar pada
pasien dapat menyebabkan terjadinya hipotermia. Satu unit darah dengan
suhu dingin atau 1 liter cairan kristaloid suhu kamar dapat menurunkan suhu
tubuh sekitar 0,25oC. Kehilangan panas lewat kulit yang terpapar langsung
dapat menyebabkan kehilangan panas sekitar 90%. Anestesi umum juga
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan produksi panas. Akibatnya,
hilangnya

respon

hipotalamik

akibat

anestesi

volatil

menyebabkan

ketidakmampuan untuk mencapai respon kalorik dalam kondisi penurunan


suhu tubuh. Agen penghambat neuromuskular, mencegah produksi panas otot
dengan menggigil. Kurang dari 10% hilangnya panas juga terjadinya melalui
traktus respiratori.
12. Penyakit apa yang berhubungan dengan hipotermia?
Hipotiroidisme dan lesi hipotalamik dapat menjadi predisposisi pada pasien
intraoperative mengalami hipotermia. Kesulitan dalam mempertahankan
keadaan normotermi selama anestesi umum dipengaruhi oleh usia pasien.
Pasien usia lebih tua dan sangat muda memiliki risiko yang lebih tinggi
mengalami hipotermia karena regulasi suhu kurang baik. Laju metabolisme
basal menurun sekitar 1% per tahun setelah usia 30 tahun. Bayi juga dapat

mengalami hipotermia lebih mudah karena kemampuan untuk menggigil


masih kurang.
13. Jelaskan mengenai metode rewarming (mengembalikan suhu menjadi hangat)
Pasif rewarming, dimana menggunakan kemampuan tubuh untuk
menyediakan panas yang dibutuhkan jika terjadi kehilangan panas yang
berlanjut dengan menyelimuti area yang terpapar suhu dingin. Karena pasif
rewarming ini juga berupa shivering (menggigil) untuk termogenesisnya,
mekanisme hipotalamik harus baik dan simpanan glikogen harus cukup
tersedia.
Aktif rewarming, termasuk metode yang harus dipersiapkan dalam ruang
operasi, termasuk pemberian cairan intravena yang dihangatkan terlebih
dahulu, dan penggunaan lampu radian panas dan selimut penghangat,
terutama pada keadaan aliran udara dapat terpapar pada permukaan kulit.
Rewarming jalan nafas (airway rewarming) tidak begitu efektif, karena
kandungan panas dalam gas sangat sedikit. Pemberian cairan irigasi hangat
juga bisa diberikan dengan lavage peritoneal atau instilasi buli-buli dan
rewarming ekstrakorporeal dengan bypass kardiopulmoner. Suhu inti tubuh
setelah turun (penurunan suhu inti tubuh sekunder setelah rewarming) dapat
terjadi akibat aliran balik darah yang dingin dari perifer.
14. Gambarkan cara untuk mencegah terjadinya hipotermia pada pasien
pembedahan
Ruangan operasi biasanya dingin. Penggunaan alat penghangat pasif dan alat
(artificial nose) dapat berguna. Humidifikasi gas respirasi juga penting dalam
mencegah berkurangnya kelembaban jalur nafas dan mempertahankan fungsi
siliar secara normal, namun ini bukan merupakan metode tersering untuk
rewarming. Beberapa langkah termasuk dibawah ini:
1) Naikkan suhu lingkungan dalam ruangan operasi; seluruh pasien dapat
mengalami hipotermia akibat suhu lingkungan operasi yang biasanya
dingin.
2) Selimuti area kulit pasien yang mungkin terpapar untuk mengurangi
kehilangan panas secara konduksi dan konveksi.
3) Gunakan penghangat cairan intravena ketika memasukkan cairan
intravena dan pada saat transfusi darah. bergantung dari kecepatan infus,
cairan dapat hangat pada suhu 40-42oC.

4) Gunakan alat pelembab udara panas pada sitkuit anestetik untuk


meminimalkan terjadinya kehilangan panas secara evaporasi dan untuk
menghangatkan gas.
5) Pertahankan jarak sirkuit untuk mengurangi kehilangan panas secara
evaporasi.
6) Gunakan jaket/selimut penghangat untuk transfer panas secara konduksi.
7) Gunakan penghangat radiant dan lampu penghangat, terutama pada pasien
pediatric, yang memiliki area permukaan tubuh yang lebih banyak
dibandingkan berat badannya, dan yang tidak mampu mendapatkan
respon kalorik.
8) Lakukan irigasi dengan larutan hangat jika perlu.
15. Definisikan hipertermia
Hipertermia adalah suhu tubuh meningkat 2oC per jam. Karena jarang terjadi
pada ruang operasi, penyebabnya harus dicari. Penyebab biasanya adalah
sepsis atau demam. Lesi hipotalamik dan hipertiroidisme merupakan
penyebab tersering. Hipertermia maligna, peningkatan respon katekolamine
dan produksi bakterimia pada tindakan pembedahan dapat menyebabkan
peningkatan suhu tubuh. Adakalanya teknik rewarming yang terlalu
berlebihan, terutama pada saat melakukan prosedur bedah perifer, dapat
menyebabkan keadaan hipertermia.
16. Jelaskan manifestasi dari hipertermia
Pada pasien sadar dapat memperlihatkan gejala malaise, nausea, pusing, dan
takikardia, yang diikuti dengan berkeringat, vasodilatasi dan peningkatan laju
metabolisme basal. Dengan keadaan hipertermia yang lama, pasien dapat
menunjukkan gejala kelelahan akibat panas atau bahkan stroke akibat panas.
Pada pasien yang teranestesi, tanda dan gejalanya termasuk takikardia,
hipertensi,

peningkatan

volume

tidal

karbondioksida,

peningkatan

metabolisme obat dan kemungkinan terjadi dehidrasi, yang dapat diketahui


melalui output urine dan penurunan turgor kulit. Hipertermia merupakan
kondisi hipermetabolik dengan peningkatan komsumsi oksigen, peningkatan
ventilasi menit, berkeringat dan vasodilatasi. Volume intravascular dan aliran
vena kembali menurun. Frekuensi jantung meningkat sekitar 10 kali per
menit per peningkatan centrigrade suhu tubuh.
17. Kondisi apa saja yang berhubungan dengan hipertermia?

1) Hipertermia maligna mungkin merupakan penyebab pada pasien dengan


predisposisi genetic. Bagaimanapun, manifestasinya dapat berupa
takikardia, hiperkapnia, kekakuan otot, takiaritmia, kesulitan ventilasi dan
asidosis metabolic. Penanganannya terdiri atas menghentikan penggunaan
agen pencetus, memberikan dantrolene, mendinginkan pasien dan
memastikan output ginjal adekuat. Gas darah harus diperiksa dan asidosis
metabolik harus dikoreksi.
2) Kondisi hipermetabolik, termasuk sepsis, infeksi (pirogen endogen),
tirotoksikosis dan feokromositoma.
3) Lesi hipotalamik sekunder seperti pada karena trauma, anoksia atau
tumor.
4) Sindrom Neuroleptik Maligna
5) Reaksi transfusi
6) Medikasi
18. Apakah terdapat obat yang dapat meningkatkan risiko hipertermia
Obat simpatomimetik, inhibitor monoamide oksidase, kokaine, amphetamines
dan antidepresan trisiklik meningkatkan laju metabolisme basal dan produksi
panas. Antikolinergik dan antihistamin dapat meningkatkan suhu dengan
menghambat berkeringat.
19. Bagaimana efek farmakologik dari hipertermia?
Meningkatnya laju metabolisme basal dan metabolisme hepatik menurunkan
waktu paruh obat anestetik. Kebutuhan anestetik mungkin meningkat.
20. Bagaimana penanganan pasien hipertermia di ruang operasi?
Paparan pada permukaan kulit mungkin berguna, dengan jaket dingin dan
cairan intravena dingin. Pemberian antipiretik harus dilakukan hati-hati.
Penyebab dari hiperpireksia harus dicari.

PENANGANAN DAN KOMPLIKASI POST ANESTESI


1. Pasien apa saja yang harus ditangani pada unit pelayanan post anestesi
(PACU)?
Pelayanan perioperatif harus dilanjutkan di ruangan PACU untuk semua
pasien yang membutuhkan waktu stabilisasi fisiologik. Periode pelayanan di
unit pelayanan intensif untuk setiap pasien post operatif mutlak diperlukan.
Pelayanan PACU dibagi menjadi beberapa fase: Fase 1, ketika rasio

pemantauan dan staf harus sama pada pelayanan ICU; Fase 2, ketika transisi
dibuat dari observasi intensif untuk stabilisasi pada pelayanan di bangsal atau
di rumah. Setelah anestesi umum, banyak pasien yang menunjukkan
hemodinamika stabil dan fungsi kognitif yang baik, dan dapat dilakukan
pelayanan fase 2. Banyak pasien yang dipantau memiliki sedasi atau yang
menjalani anestesi regional ekstremitas harus dilakukan pelayanan fase 2
yang sesuai. Setelah anestesi regional neuroaksis, periode pelayanan fase 1
harus dilakukan. Penyakit yang ada sebelumnya, prosedur bedah dan
implikasi farmakologik agen anestetik perioperatif menentukan rangkaian
pelayanan post operatif yang paling tepat pada setiap pasien. Perubahan
status preoperatif selama pemulihan post operatif dapat disebabkan oleh agen
anestetik dan prosedur yang lebih intens namun biasanya durasinya lebih
pendek dibandingkan dengan perubahan akibat penyakit sistemik.
2. Berapa lama seharusnya pasien dirawat di PACU?
Tidak terdapat periode spesifik untuk pelayanan selama di PACU. Pada saat
masuk, sebuah laporan diberikan oleh anesthesiologist atau perawat anestesi
ke perawat PACU mengenai status pasien, prosedur pembedahan, kejadian
saat intraoperatif, dan tindakan anestesi yang dilakukan. Teknik anestesi, jenis
agen anestesi dan cara pemberian harus dimasukkan dalam laporan. Penilaian
awal pasien oleh perawat PACU termasuk status kesadaran, ventilasi, nyeri
dan tanda vital. Tanda vital awal di PACU menjadi masukan akhir pada
catatan anestetik intraoperatif. Observasi oleh perawat PACU dicatat dalam
lembaran kerja. Beberapa sistem skor digunakan termasuk dengan skor
numerik pada observasi subjektif sebagai indikator perkembangan keadaan
pasien. Sistem skor Aldrete menilai 5 hal dalam observasinya termasuk:
aktivitas, upaya respiratori, sirkulasi, kesadaran dan oksigenasi. Skala mulai
dari 0-2 dan total skor yaitu 8-10 mengindikasikan pasien siap untuk
dipindahkan pada fase pelayanan selanjutnya.
SKOR ALDRETE
Aktivitas

Mampu mengerakkan 4 ekstremitas


2
Mampu menggerakan 2 ekstremitas
1
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas secara 0

Respirasi
Sirkulasi
Kesadaran
Saturasi O2

sadar atau dengan perintah


Mampu bernafas spontan dan batuk
Dispneu atau kesulitan bernafas
Apneu
TD 20% dari level preanestetik
TD 21-49% dari level preanestetik
TD 50% dari level preanestetik
Sadar penuh
Bangun ketika dipanggil
Tidak respon
Saturasi O2 >92% bertahan pada suhu ruangan
Membutuhkan O2 untuk mempertahankan saturasi

2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1

>90%
Saturasi O2 <90% meskipun dengan pemberian O2

3. Masalah apa saja yang harus diselesaikan selama pelayanan post anestetik?
1) Upaya nafas yang jelek: pasien harus bernafas dengan mudah dan mampu
untuk batuk jika diperintah dan dilakukan oksigenasi untuk level
preanestetik.
2) Instabilitas hemodinamika: tekanan darah harus kurang lebih 20% dari
pengukuran preanestetik dengan frekuensi dan ritme jantung yang stabil.
3) Sensorium yang lemah: pasien harus sadar penuh dan mampu
menggerakkan keempat ekstremitasnya.
4) Nyeri post operatif: manajemen nyeri harus dilakukan sesegera mungkin
selama dilakukan intervensi perawatan.
4. Gambarkan manifestasi timbulnya hambatan neuromuskular residual.
Pasien mungkin terkulai dengan koordinasi yang buruk dan aktivitas otot
abdominal dan otot interkostalis yang belum efektif bekerja. Pasien yang
dapat mengeluh secara verbal dan akan mengeluhkan nafasnya terbatas dan
pemasangan oksigen mungkin seperti terasa mencekik (sufokasi). Meskipun
sebagian besar pasien akan merespon dengan perintah, pasien mungkin tidak
mampu untuk mengangkat kepala atau tidak mampu menggenggam tangan.
Pada kasus yang lebih berat, kelemahan otot faring dapat menyebabkan
kolaps saluran nafas atas dan mungkin terjadi obstruksi pernafasan setelah
ekstubasi. Respon yang baik atau ventilasi ritmik mungkin belum bisa

diperlihatkan oleh pasien sebelum ekstubasi dilepaskan akibat adanya suatu


hambatan neuromuskular residual.
5. Bagaimana opioid bekerja dan anestetik volatile residual mempengaruhi
pernafasan?
Pernafasan dengan ritme yang lambat atau apneu menyebabkan pasien sulit
untuk bangun dengan asumsi terdapat suatu narkosis residual. Berbeda
dengan pasien dengan relaksasi otot residual, pasien yang mengalami
narkosis sering tidak berespon terhadap ventilasi meskipun terdapat hipoksia.
Karena pemakaian analgesia dan agen narkotik dengan ventilasi bergantung
dosis, pasien mungkin masih memperlihatkan kenyamanan. Karena ventilasi
narkotik diberikan dengan lambat, rute eliminasi agen inhalasi juga lambat
dieliminasi. Adanya anestetik volatile residual dapat mengurangi volume tidal
dan menekan upaya bernafas. Hal ini dapat menyebabkan hipoventilasi post
operatif yang signifikan. Hiperkapnia dapat ditemukan, bahkan pada pasien
dengan pulsasi oksimetri dengan nilai normal.
6. Bagaimana hipoventilasi dapat ditangani?
Hipoventilasi disebabkan oleh adanya hambatan neuromuskular residulal dan
harus ditangani dengan cepat dan tepat. Agen reversal tambahan mungkin
diberikan dengan dosis terbagi mendekati dosis yang biasa diberikan. Efek
kolinergik dari agen ini bekerja pada nodus sinoatrial yang mungkin dapat
menyebabkan bradikardia yang signifikan.
Keputusan untuk penanganan narkosis residual terbukti menyebabkan
masalah baru. Antagonis opioid untuk memperbaiki ventilasi justru
menghilangkan efek analgesia. Obat agonis/antagonis analgesik jarang
menghasilkan perkembangan ventilasi yang baik ketika digunakan sebagai
reversal dan justru memberiksan efek yang kurang baik ke pasien. Biasanya,
alternatif terbaik yaitu dengan upaya pemasangan jalur nafas pendukung
melalui nasal atau oral dan melakukan stimulasi taktil dan verbal terus
dilakukan sampai efek klinis dari ventilasi opioid menghilang dan kesadaran
kembali. Pendukung lainnya termasuk meningkatkan kadar suplemen O2
dengan mengganti kanul nasal dengan sungkup.
Agen anestetik volatile di eliminasi melalui ekshalasi. Seluruh agen yang
digunakan saat ini memiliki koefisien partisi gas darah yang rendah, sehingga

harus dieliminasi dengan efektif selama di ruang PACU. Pada keadaan


depresi pernafasan berat akibat berbagai penyebab, reintubasi dan
pemasangan ventilasi mekanik mungkin dapat dilakukan sebagai intervensi.
MASALAH VENTILASI DI RUANG PACU
Masalah
Tanda/Gejala
Penanganan
Tidak
adekuatnya Tidak adanya koordinasi, Neostigmine
0.05
penghentian (reversal) upaya respirasi yang tidak mg/kg intravena
hambatan

efektif

neuromuskular
Narkosis

Ventilasi lambat, sedasi Pendukung respirasi,


atau tidak sadar

Anestesi

Nalokson

inhalasi Tidur, nafas dangkal

yang residual

0.04-0.40

mg intravena
Menyarankan

untuk

bernafas lebih dalam,


stimulasi taktil

7. Masalah

lain

apa

yang

mungkin

terjadi

dimana

ventilasi

harus

dipertimbangkan di ruangan PACU?


Meskipun efek residual obat anestetik menurunkan upaya bernafas, kejadian
intraoperatif lainnya dapat menganggu pertukaran gas. Aspirasi isi gaster atau
adanya penyakit pada saluran nafas yang reaktif menyebabkan obstruksi pada
bronkus segmental yang dapat menyebabkan wheezing, fase ekspirasi yang
memanjang dan hipoksia. Benda asing pada bronkus dan pneumotoraks dapat
muncul dengan tanda seperti suara nafas yang asimetris dan hipoksia tapi
dapat dipastikan dengan pemeriksaan radiografi thoraks post operatif.
Obstruksi

supraglotis

dapat

menyebabkan

stridor

dan

hipercabia

dibandingkan terjadinya hipoksia. Pada pasien yang berisiko (cardiac output


yang jelek, fungsi ginjal yang menurun dan hipoproteinemia), adanya
overload cairan dapat menyebabkan edema pulmoner dengan hipoksia.
Adanya kondisi ini menyebabkan rentetan fisiologi saluran nafas menjadi
terganggu yang menyebabkan mismatch (ketidaksesuaian) ventilasi-perfusi.
Efek fisiologi sekunder yaitu respon hipertensif akibat adanya hipercabia atau
hipoksia. Review prosedur pembedahan dan catatan anestetik intraoperatif

mungkin dapat menjelaskan penyebabnya. Riwayat medis terdahulu seperti


merokok, asma atau adanya penyakit paru obstruksi kronik juga menjadi
pertimbangan pasien dengan risiko terjadinya obstruksi saluran nafas.
8. Apa yang dimaksud dengan tekanan negatif edema pulmoner?
Fenomena unik dapat terjadi periode post ekstubasi dan mengharuskan pasien
harus dirawat di PACU yaitu tekanan negatif edema pulmoner. Temuan yang
bisa didapatkan termasuk suara nafas ronki kasar dan adanya produksi
sputum berbusa berwarna pink, seperti yang terjadi pada penyebab edema
pulmoner lainnya, namun hipoksia dan hipertensi mendahului tanda fisik.
Penyebab edema yaitu pasien melakukan upaya nafas dengan paksa untuk
melawan adanya penutupan glottis atau adakalanya akibat pipa endotrakeal
kecil yang terpasang. Manifestasi klinis muncul dengan cepat, biasanya
pasien mengalami intoksikasi pada saat induksi dilakukan. Fenomena ini
harus diantisipasi pada individu muda tetapi dapat juga terjadi pada beberapa
pasien dengan derajat laringospasme setelah ekstubasi. Ketika terjadi
obstruksi yang mendahului terjadi, obat antagonis opioid (reversal) perlu
diberikan untuk mendapatkan kesadaran kembali setelah ekstubasi.
Pemeriksaan radiografi toraks dapat mengkonfirmasi adanya ukuran jantung
normal dan jarang menunjukkan adanya perubahan parenkim paru kecuali
infiltrate alveolar. Edema biasanya berespon dengan penanganan pendukung
dan diuretik minimal. Observasi di PACU atau periode hospitalisasi
diperpanjang pada pasien-pasien ini.
9. Gambarkan pendekatan yang tepat mengenai penanganan darurat kasus
respiratori di PACU
1) Pemberian oksigen dengan memastikan patensi jalur nafas:
- Dengan chin lift, ekstensi leher, ventilasi dengan tekanan positif
dengan sungkup harus dilakukan untuk mengatasi obstruksi
-

supraglotis.
Adakalanya inhalasi nebulizer dengan epinefrin atau steroid intravena

dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan mukosal.


2) Pemberian agonis B-adrenergik secara subkutan atau inhalasi (misalnya
albuterol) jika terdapat kesulitan bernafas yang berhubungan dengan
adanya bronkokonstriksi distal:

Rute

inhalasi

kurang

menyebabkan

terjadinya

hipertensi

dibandingkan penyebab lain.


Jika bronkokontriksi merupakan bagian dari episode anafilaktif, dapat

dilakukan pendekatan yang lebih agresif bila perlu.


3) Penyebab mekanik obstruksi saluran nafas bawah, jika dicurigai, harus
dilakukan investigasi dengan cermat dengan pemeriksaan radiografi dada
dan bronkoskopi dan lakukan penanganan. Bagaimanapun, sebagian besar
hipoksia yang terjadi pada PACU disebabkan oleh atelectasis sederhana,
dimana ditangani dengan pemberian suplemen oksigen dan instruksi
untuk bernafas dalam dan batuk. Spirometri intensif tidak digunakan di
PACU.
4) Maksimalkan penanganan nyeri post operatif.
5) Hindari penanganan hipertensi dan takikardia dengan obat sampai
hipercarbia dan hipoventilasi sudah diatasi.
Sistem
Kanul nasal
Kanul nasal
Sungkup wajah
Sungkup rebreathing parsial
Sungkup rebreathing parsial

Kecepatan Aliran
2 L/ menit
4 L/ menit
6 L/menit
6 L/ menit
8 L/menit

FiO2 Prediksi
0.28
0.36
0.50
0.60
0.80

10. Gambarkan pendekatan evaluasi hipertensi dan takikardi post operatif


Fase hiperdinamik post operatif merupakan fase yang tidak sering terjadi.
Karena penyebabnya beragam, harus diingat kemungkinan diagnosis banding
lain. Observasi lebih sering dan menangani penyebab termasuk nyeri,
hipotermia dengan shivering, distensi buli-buli dan hipertensi esensial harus
dilakukan. Juga pertimbangkan adanya hipoksemia, hipercarbia, demam dan
penyebabnya, anemia, hipoglikemia, takidisritmia, sindrom putus alkohol,
iskemia miokardial, pengobatan yang digunakan, riwayat medis terdahulu,
prosedur pembedahan dan kejadian intraoperatif. Kondisi hiperdinamik dapat
disebabkan oleh hipertiroidisme, feokromositoma, dan hipertermia maligna
meskipun jarang terjadi.
Terlepas dari penanganan sesuai penyebab, pasien harus membutuhkan terapi
antihipertensi. Berikut merupakan daftar pemilihan obat, dosis, dan
keuntungan dan efek sampingnya. Tekanan darah yang meningkat sekitar

20% biasanya kembali normal dengan spontan saat fase pemulihan pasien
berlangsung.
Penanganan Hipertensi (Sediaan Intravena)
Keuntungan
Antagonis
b- Sediaan dengan
adrenergik
aksi cepat (short
(cardioselektif)
acting) tersedia;
frekuensi jantung
tidak cepat
Calcium channel Efeknya
sedikit
bloker
pada kontraktilitas
jantung

Efek Samping
Bradikardia,
penurunan
kontraktilitas
jantung

Sediaan
Esmolol,*
0.3
mg/kg intravena

Tidak
diberikan Labetalol,
5-50
dengan bolus
mg/kg intravena
Nicardipine infus,
0.1
mg/ml;
tingkatkan sampai
5 mg tiap 1 jam
AngiotensinEfeknya
sangat Efek long acting Enalapril 1.25-2.5
converting enzyme sedikit
pada (+)
mg intravena
inhibitor
kontraktilitas
jantung
Vasodilator
Pemberian dengan Poten;
Natrium
langsung
infus
membutuhkan
nitropruside 0.2-8
pemantauan yang ug/kg/menit
terus menerus
*Bolus dapat dilanjutkan dengan infus.
11. Apa yang mungkin menjadi penyebab hipotensi pada fase post operatif?
Kemunculan dari anestesi inhalasi ditandai dengan adanya vasodilatasi,
peningkatan tonus otot dan tonus simpatis, dimana biasanya menyebabnya
ekspansi volume darah dan meningkatkan tekanan darah sementara pada
akhir prosedur operasi. Ketika pasien mulai dihangatkan dan kontrol nyeri
dilakukan di PACU, tonus simpatis berkurang dan volume darah terdistribusi
ke perifer. Efek hilangnya darah dari prosedur operasi, sekuestrasi 1/3 cairan,
perdarahan yang sedang berlangsung dan penggantian volume cairan yang
tidak adekuat bermanifestasi sebagai hipotensi. Gagal jantung dapat muncul
bersamaan dengan hipotensi namun jarang. Disritmia dan penyakit iskemia
jantung yang telah ada sebelumnya, dapat menjadi penyebab. Sepsis atau
anafilaksis dapat menyebabkan ekspansi kapiler darah perifer.
12. Kapan seharusnya hipotensi ditangani?

Penanganan harus dilakukan dengan cepat dan agresif. Volume ekspansi


dengan kristaloid merupakan lini terapi pertama. Menaikkan posisi kaki lebih
atas dan menempatkan pasien pada posisi Trendelenburg. Keadaan tertentu
membutuhkan pemberian koloid (bukan albumin, karena mahal) atau bahkan
dengan paket sel darah merah (PRC). Review data kembali yang tersedia
untuk mengetahui diagnosis banding. Pertimbangkan prosedur bedah,
kejadian intraoperatif, medikasi dan riwayat medis terdahulu. Evaluasi jumlah
darah yang hilang dan output urine. Review juga dapat melalui pemeriksaan
EKG melalui 12 lead. Jika volume ekspansi tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan dengan pemberian kristaloid, vasopressor atau inotropik bisa
diberikan, termasuk efedrin, neosinefrine, epinephrine dan dobutamine.
13. Pada kondisi apa pasien lambat sadar?
Hampir semua pasien tidak mendapatkan kesadaran penuh selama di PACU
karena fungsi memori jangka pendek masih terganggu. Bagaimanapun,
mereka dapat disebut sadar jika orientasi waktu, tempat dan orang baik dan
respon pada pembicaraan sesuai. Pasien mungkin lambat sadar ketika reflex
saluran nafas protektifnya belum bekerja dengan baik dan kesadarannya
masih sangat minimal. Beberapa pasien mungkin mengalami perkembangan
ingatan sementara untuk mengingat kembali pada tingkat kesadaran yang
masih kurang.
Asumpsi klinis yang diterima seperti pada pasien yang masih menunjukkan
efek obat residual. Penurunan kesadaran seperti ini harus di observasi, dan
mencari kemungkinan penyebab dari ventilasi, metabolik, dan dari sistem
saraf pusat harus dipertimbangkan. Analisis gas darah akan menunjukkan
hipoksemia dan hipercarbia. Hiponatremia dan nilai serum glukosa yang
ekstrim dapat menjadi penyebab. Iskemia sistem saraf pusat dapat disebabkan
oleh penurunan perfusi akibat fenomena emboli udara harus dipertimbangkan.
Apakah pasien memiliki riwayat kejadian iskemia sistem saraf pusat atau
stroke sebelumnya? Apakah pasien memiliki riwayat kejang?dan sekali lagi,
harus mereview prosedur bedah dan kejadian intraoperatif. Kesulitan saat
prosedur bedah saraf dan bypass kardiopulmoner juga sangat berhubungan
dengan lambatnya kesadaran.

14. Kapan evaluasi agresif dilakukan pada pasien dengan kesadaran lambat
pulih?
Pasien yang dilakukan endarterektomi karotis atau kraniotomi harus
membutuhkan evaluasi radiografik (CT scan atau angiografi) jika kesadaran
lambat pulih. Koreksi melalui pembedahan menyebabkan tekanan intracranial
meningkat, perdarahan intracranial, dan oklusi vascular otak yang besar,
dimana komplikasi ini tidak dapat dibedakan melalui pemeriksaan klinis pada
saat pasien di ruang PACU. Pasien yang lambat sadar namun tidak menjalani
pembedahan, biasanya memiliki gangguan mikrosirkulasi batang otak dan
membutuhkan waktu yang lebih untuk pemulihannya.
15. Bagaimana pemilihan obat analgesik dilakukan di ruang PACU?
1) Pertimbangkan riwayat alergi dan reaksi samping obat
- Nausea dengan satu jenis opioid mungkin memperlihatkan reaksi yang
-

sama dengan lainnya


Adanya riwayat reaksi alergi yang tercatat mungkin dapat mencegah
pemilihan obat yang salah, dengan memilih obat yang berbeda secara

struktural.
2) Hindari pemakaian obat dengan dosis bergantung pada opioid dengan
menambah obat NSAID untuk analgesia non narkotik, ketorolac (Toradol)
dapat diberikan secara parenteral jika terdapat kontraindikasi (insufisiensi
ginjal, penyakit ulkus peptic, dan gangguan platelet.
3) Koordinasikan terapi analgesik inisial dengan modalitas manajemen nyeri
yang lebih lama, seperti dengan infus epidural atau pasien dengan kontrol
analgesia (PAC).
4) Pertimbangkan apakah pasien bisa dirawat dirumah post operatif atau
pasien yang diberikan sumplementasi oksigen dan dilakukan observasi
lebih ketat.
5) Review riwayat pasien dengan penggunaan opioid preoperatif, dimana
memprediksikan tolerasi yang lebih besar apabila dibandingkan dengan
penggunaan analgesia post operatif.
16. Diskusikan keadaan nausea dan vomit post operatif (PONV).
PONV merupakan masalah post anestesi yang sering didapatkan. Hal ini
menyebabkan pasien lambat keluar dari PACU, pasien kembali masuk rumah
sakit, dan menjadi penyebab ketidakpuasan pasien. Prosedur bedah dan
pemberian agen anestetik dapat menjadi faktor. Wanita, pasien dengan

riwayat PON, dan anak, memiliki risiko. Bedah laparoskopik dan bedah pada
genitalia internal wanita atau masalah telinga tengah merupakan masalah
yang sering terkait. Agen anestetik berhubungan dengan PONV termasuk
opioid dan nitrous okside. Propofol memiliki insidensi yang lebih rendah
dibandingkan agen induksi lainnya. Antiemetic profilaksis dapat diberikan
untuk mendapatkan terapi yang lebih efektif. Pengobatan yang disarankan
dijelaskan pada BAB 65.
17. Apakah pasien yang dapat berjalan (ambulatory) ditangani secara berbeda di
ruang PACU?
Tujuan pelayanan post anestetik pada pasien ambulatory yaitu untuk
membuat pasien siap berjalan. Nausea dan vomit harus ditangani secara
agresif, menghindari penggunaan butirofenones (missal droperidol), yang
dapat menyebabkan sedasi berlebihan. Jika mungkin, nyeri harus diterapi
dengan agen short acting seperti Fentanyl. Agen non narkotik harus
digunakan jika mungkin. Analgetik oral harus diberikan pada fase 2
pemulihan seperti pada pelayanan post operatif. Setelah anestesi regional
dilakukan, ekstremitas harus dijaga ketika pasien dimobilisasi, dan ambulasi
harus dilakukan jika terdapat parestesia segmental sementara sehingga
menyebabkan pergerakan belum dapat dilakukan. Pasien tanpa menjalani
bedah ambulatory harus dikeluarkan dari ruang PACU setelah menerima
medikasi sedasi dan memastikan transportasi yang aman untuk kembali ke
rumah.
18. Bagaimana pedoman yang aman untuk mengeluarkan pasien dari ruang
PACU sehingga dapat kembali kerumah setelah bedah ambulatory?
Pada keadaan dimana pasien masuk dalam fase 2, dimana telah tercapai
stabilitas kardiovaskular, orientasi kesadaran baik dan ventilasi terjaga.
Resolusi nausea dan nyeri post operatif dapat berkembang sampai fase 2,
namun penggunaan agen intravena lanjutan jarang dilakukan. Pasien harus
mampu berdiri dan berjalan beberapa langkah (atau bangun dari pembaringan
apabila prosedur bedah tidak membolehkan pasien berdiri). Pasien harus
minum sedikit-sedikit dan buang air kecil. Pasien harus menggunakan
manajemen terapi post operatif dan melakukan follow up sesuai instruksi.

Preskripsi terapi post operatif harus diberikan pasien dirumah pada fase 2
pemulihan sehingga salinan farmasi tidak diperlukan. Semua kondisi yang
mengharuskan adanya intervensi lanjut harus ditangani dengan pemberian
obat oral. Pasien dan rekannya disediakan nomor telepon untuk dapat
menghubungi fasilitas penyedia pelayanan kesehatan jika terdapat kejadian
post operatif yang tidak diinginkan. Lebih baik yaitu dengan melakukan
follow up melalui telepon PACU setelah 24 jam pasien keluar untuk
mereview perkembangan keadaan post operatif dan kepuasan pasien.

Anda mungkin juga menyukai