bawah 35oC, menggigil dan respon otonom dan endokrin tidak mampu
mengkompensasi secara menyeluruh tanpa adanya bantuan penghangat.
3. Bagaimana anestesi mempengaruhi hipotermia?
Hilangnya panas sering terjadi pada pasien selama anestesi umum, karena
agen anestesi mengubah pusat termoregulasi pada hipotalamus dan juga
menyebabkan vasodilatasi secara langsung. Barbiturate menyebabkan
vasodilatasi perifer. Relaksan otot menurunkan tonus otot dan mencegah
thermogenesis seperti menggigil. Anesthesia regional juga menyebabkan
hambatan simpatis, relaksan otot, dan blokade sensoris pada reseptor termal,
sehingga menghambat respon kompensasi tubuh.
4. Apa tanda klinis hipotermia?
Menggigil, keringat berkurang, dan vasokonstriksi merupakan tanda awal
hipotermia. Jika hipotermia berlangsung lama, pasien dapat mengalami
perubahan status mental dan kelemahan otot. Pasien yang teranestesi disebut
sebagai poikilotermal, merefleksikan suhu lingkungan eksternal. Penurunan
aktivitas motorik merupakan manifestasi awal dari suatu hipotermia.
Efek fisiologi hipotermia tergantung dari derajat penurunan suhu. Pada
hipotermia ringan (32-35oC, 90-95oF) mungkin terjadi depresi sistem saraf
pusat, penurunan laju metabolisme basal, takikardia, dan menggigil. Pasien
juga bisa mengalami disartria, amnesia, ataksia, dan apati. Hipotermia sedang
(27-32oC, 80-90oF) meliputi penurunan derajat kesadaran lanjut, penurunan
tanda vital ringan, aritmia, dan diuresis dingin. Pada hipotermia berat (<27 oC,
80oF), pasien dapat mengalami koma dan arefleks dan mengalami penurunan
tanda vital yang signifikan.
5. Pasien apa saja yang berisiko mengalami hipotermia?
Pasien yang berisiko termasuk pasien usia tua, yang memiliki kontrol
vaskular otonom yang menurun; bayi, yang memiliki luas permukaan tubuh
yang luas dibandingkan massa tubuhnya. Pasien dengan luka bakar, trauma
medulla spinalis, yang menyebabkan disfungsi otonom dan abnormalitas
endokrin.
6. Apa fungsi menggigil?
Menggigil (shivering) merupakan kontraksi otot skeletal secara spontan,
asinkron dan random, sebagai usaha untuk meningkatkan laju metabolisme
basal. Shivering dimodulasi di hipotalamus dan dapat meningkatkan produksi
sehingga
terjadi
peningkatan
ruang
rugi
anatomis.
pembekuan
menurun,
menyebabkan
gangguan
koagulasi,
terjadinya
asidosis
metabolik.
Hiperkalemia
akut
akibat
penurunan
metabolisme.
Pemantauan
fungsi
hilangnya
panas
merupakan
fungsi
gradien
suhu
dan
konduktivitas termal.
11. Apa penyebab tersering dari kehilangan panas di ruangan operasi?
Ruangan yang dingin, cairan intravena yang dingin dll yang terpapar pada
pasien dapat menyebabkan terjadinya hipotermia. Satu unit darah dengan
suhu dingin atau 1 liter cairan kristaloid suhu kamar dapat menurunkan suhu
tubuh sekitar 0,25oC. Kehilangan panas lewat kulit yang terpapar langsung
dapat menyebabkan kehilangan panas sekitar 90%. Anestesi umum juga
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan produksi panas. Akibatnya,
hilangnya
respon
hipotalamik
akibat
anestesi
volatil
menyebabkan
peningkatan
volume
tidal
karbondioksida,
peningkatan
pemantauan dan staf harus sama pada pelayanan ICU; Fase 2, ketika transisi
dibuat dari observasi intensif untuk stabilisasi pada pelayanan di bangsal atau
di rumah. Setelah anestesi umum, banyak pasien yang menunjukkan
hemodinamika stabil dan fungsi kognitif yang baik, dan dapat dilakukan
pelayanan fase 2. Banyak pasien yang dipantau memiliki sedasi atau yang
menjalani anestesi regional ekstremitas harus dilakukan pelayanan fase 2
yang sesuai. Setelah anestesi regional neuroaksis, periode pelayanan fase 1
harus dilakukan. Penyakit yang ada sebelumnya, prosedur bedah dan
implikasi farmakologik agen anestetik perioperatif menentukan rangkaian
pelayanan post operatif yang paling tepat pada setiap pasien. Perubahan
status preoperatif selama pemulihan post operatif dapat disebabkan oleh agen
anestetik dan prosedur yang lebih intens namun biasanya durasinya lebih
pendek dibandingkan dengan perubahan akibat penyakit sistemik.
2. Berapa lama seharusnya pasien dirawat di PACU?
Tidak terdapat periode spesifik untuk pelayanan selama di PACU. Pada saat
masuk, sebuah laporan diberikan oleh anesthesiologist atau perawat anestesi
ke perawat PACU mengenai status pasien, prosedur pembedahan, kejadian
saat intraoperatif, dan tindakan anestesi yang dilakukan. Teknik anestesi, jenis
agen anestesi dan cara pemberian harus dimasukkan dalam laporan. Penilaian
awal pasien oleh perawat PACU termasuk status kesadaran, ventilasi, nyeri
dan tanda vital. Tanda vital awal di PACU menjadi masukan akhir pada
catatan anestetik intraoperatif. Observasi oleh perawat PACU dicatat dalam
lembaran kerja. Beberapa sistem skor digunakan termasuk dengan skor
numerik pada observasi subjektif sebagai indikator perkembangan keadaan
pasien. Sistem skor Aldrete menilai 5 hal dalam observasinya termasuk:
aktivitas, upaya respiratori, sirkulasi, kesadaran dan oksigenasi. Skala mulai
dari 0-2 dan total skor yaitu 8-10 mengindikasikan pasien siap untuk
dipindahkan pada fase pelayanan selanjutnya.
SKOR ALDRETE
Aktivitas
Respirasi
Sirkulasi
Kesadaran
Saturasi O2
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
>90%
Saturasi O2 <90% meskipun dengan pemberian O2
3. Masalah apa saja yang harus diselesaikan selama pelayanan post anestetik?
1) Upaya nafas yang jelek: pasien harus bernafas dengan mudah dan mampu
untuk batuk jika diperintah dan dilakukan oksigenasi untuk level
preanestetik.
2) Instabilitas hemodinamika: tekanan darah harus kurang lebih 20% dari
pengukuran preanestetik dengan frekuensi dan ritme jantung yang stabil.
3) Sensorium yang lemah: pasien harus sadar penuh dan mampu
menggerakkan keempat ekstremitasnya.
4) Nyeri post operatif: manajemen nyeri harus dilakukan sesegera mungkin
selama dilakukan intervensi perawatan.
4. Gambarkan manifestasi timbulnya hambatan neuromuskular residual.
Pasien mungkin terkulai dengan koordinasi yang buruk dan aktivitas otot
abdominal dan otot interkostalis yang belum efektif bekerja. Pasien yang
dapat mengeluh secara verbal dan akan mengeluhkan nafasnya terbatas dan
pemasangan oksigen mungkin seperti terasa mencekik (sufokasi). Meskipun
sebagian besar pasien akan merespon dengan perintah, pasien mungkin tidak
mampu untuk mengangkat kepala atau tidak mampu menggenggam tangan.
Pada kasus yang lebih berat, kelemahan otot faring dapat menyebabkan
kolaps saluran nafas atas dan mungkin terjadi obstruksi pernafasan setelah
ekstubasi. Respon yang baik atau ventilasi ritmik mungkin belum bisa
efektif
neuromuskular
Narkosis
Anestesi
Nalokson
yang residual
0.04-0.40
mg intravena
Menyarankan
untuk
7. Masalah
lain
apa
yang
mungkin
terjadi
dimana
ventilasi
harus
supraglotis
dapat
menyebabkan
stridor
dan
hipercabia
supraglotis.
Adakalanya inhalasi nebulizer dengan epinefrin atau steroid intravena
Rute
inhalasi
kurang
menyebabkan
terjadinya
hipertensi
Kecepatan Aliran
2 L/ menit
4 L/ menit
6 L/menit
6 L/ menit
8 L/menit
FiO2 Prediksi
0.28
0.36
0.50
0.60
0.80
20% biasanya kembali normal dengan spontan saat fase pemulihan pasien
berlangsung.
Penanganan Hipertensi (Sediaan Intravena)
Keuntungan
Antagonis
b- Sediaan dengan
adrenergik
aksi cepat (short
(cardioselektif)
acting) tersedia;
frekuensi jantung
tidak cepat
Calcium channel Efeknya
sedikit
bloker
pada kontraktilitas
jantung
Efek Samping
Bradikardia,
penurunan
kontraktilitas
jantung
Sediaan
Esmolol,*
0.3
mg/kg intravena
Tidak
diberikan Labetalol,
5-50
dengan bolus
mg/kg intravena
Nicardipine infus,
0.1
mg/ml;
tingkatkan sampai
5 mg tiap 1 jam
AngiotensinEfeknya
sangat Efek long acting Enalapril 1.25-2.5
converting enzyme sedikit
pada (+)
mg intravena
inhibitor
kontraktilitas
jantung
Vasodilator
Pemberian dengan Poten;
Natrium
langsung
infus
membutuhkan
nitropruside 0.2-8
pemantauan yang ug/kg/menit
terus menerus
*Bolus dapat dilanjutkan dengan infus.
11. Apa yang mungkin menjadi penyebab hipotensi pada fase post operatif?
Kemunculan dari anestesi inhalasi ditandai dengan adanya vasodilatasi,
peningkatan tonus otot dan tonus simpatis, dimana biasanya menyebabnya
ekspansi volume darah dan meningkatkan tekanan darah sementara pada
akhir prosedur operasi. Ketika pasien mulai dihangatkan dan kontrol nyeri
dilakukan di PACU, tonus simpatis berkurang dan volume darah terdistribusi
ke perifer. Efek hilangnya darah dari prosedur operasi, sekuestrasi 1/3 cairan,
perdarahan yang sedang berlangsung dan penggantian volume cairan yang
tidak adekuat bermanifestasi sebagai hipotensi. Gagal jantung dapat muncul
bersamaan dengan hipotensi namun jarang. Disritmia dan penyakit iskemia
jantung yang telah ada sebelumnya, dapat menjadi penyebab. Sepsis atau
anafilaksis dapat menyebabkan ekspansi kapiler darah perifer.
12. Kapan seharusnya hipotensi ditangani?
14. Kapan evaluasi agresif dilakukan pada pasien dengan kesadaran lambat
pulih?
Pasien yang dilakukan endarterektomi karotis atau kraniotomi harus
membutuhkan evaluasi radiografik (CT scan atau angiografi) jika kesadaran
lambat pulih. Koreksi melalui pembedahan menyebabkan tekanan intracranial
meningkat, perdarahan intracranial, dan oklusi vascular otak yang besar,
dimana komplikasi ini tidak dapat dibedakan melalui pemeriksaan klinis pada
saat pasien di ruang PACU. Pasien yang lambat sadar namun tidak menjalani
pembedahan, biasanya memiliki gangguan mikrosirkulasi batang otak dan
membutuhkan waktu yang lebih untuk pemulihannya.
15. Bagaimana pemilihan obat analgesik dilakukan di ruang PACU?
1) Pertimbangkan riwayat alergi dan reaksi samping obat
- Nausea dengan satu jenis opioid mungkin memperlihatkan reaksi yang
-
struktural.
2) Hindari pemakaian obat dengan dosis bergantung pada opioid dengan
menambah obat NSAID untuk analgesia non narkotik, ketorolac (Toradol)
dapat diberikan secara parenteral jika terdapat kontraindikasi (insufisiensi
ginjal, penyakit ulkus peptic, dan gangguan platelet.
3) Koordinasikan terapi analgesik inisial dengan modalitas manajemen nyeri
yang lebih lama, seperti dengan infus epidural atau pasien dengan kontrol
analgesia (PAC).
4) Pertimbangkan apakah pasien bisa dirawat dirumah post operatif atau
pasien yang diberikan sumplementasi oksigen dan dilakukan observasi
lebih ketat.
5) Review riwayat pasien dengan penggunaan opioid preoperatif, dimana
memprediksikan tolerasi yang lebih besar apabila dibandingkan dengan
penggunaan analgesia post operatif.
16. Diskusikan keadaan nausea dan vomit post operatif (PONV).
PONV merupakan masalah post anestesi yang sering didapatkan. Hal ini
menyebabkan pasien lambat keluar dari PACU, pasien kembali masuk rumah
sakit, dan menjadi penyebab ketidakpuasan pasien. Prosedur bedah dan
pemberian agen anestetik dapat menjadi faktor. Wanita, pasien dengan
riwayat PON, dan anak, memiliki risiko. Bedah laparoskopik dan bedah pada
genitalia internal wanita atau masalah telinga tengah merupakan masalah
yang sering terkait. Agen anestetik berhubungan dengan PONV termasuk
opioid dan nitrous okside. Propofol memiliki insidensi yang lebih rendah
dibandingkan agen induksi lainnya. Antiemetic profilaksis dapat diberikan
untuk mendapatkan terapi yang lebih efektif. Pengobatan yang disarankan
dijelaskan pada BAB 65.
17. Apakah pasien yang dapat berjalan (ambulatory) ditangani secara berbeda di
ruang PACU?
Tujuan pelayanan post anestetik pada pasien ambulatory yaitu untuk
membuat pasien siap berjalan. Nausea dan vomit harus ditangani secara
agresif, menghindari penggunaan butirofenones (missal droperidol), yang
dapat menyebabkan sedasi berlebihan. Jika mungkin, nyeri harus diterapi
dengan agen short acting seperti Fentanyl. Agen non narkotik harus
digunakan jika mungkin. Analgetik oral harus diberikan pada fase 2
pemulihan seperti pada pelayanan post operatif. Setelah anestesi regional
dilakukan, ekstremitas harus dijaga ketika pasien dimobilisasi, dan ambulasi
harus dilakukan jika terdapat parestesia segmental sementara sehingga
menyebabkan pergerakan belum dapat dilakukan. Pasien tanpa menjalani
bedah ambulatory harus dikeluarkan dari ruang PACU setelah menerima
medikasi sedasi dan memastikan transportasi yang aman untuk kembali ke
rumah.
18. Bagaimana pedoman yang aman untuk mengeluarkan pasien dari ruang
PACU sehingga dapat kembali kerumah setelah bedah ambulatory?
Pada keadaan dimana pasien masuk dalam fase 2, dimana telah tercapai
stabilitas kardiovaskular, orientasi kesadaran baik dan ventilasi terjaga.
Resolusi nausea dan nyeri post operatif dapat berkembang sampai fase 2,
namun penggunaan agen intravena lanjutan jarang dilakukan. Pasien harus
mampu berdiri dan berjalan beberapa langkah (atau bangun dari pembaringan
apabila prosedur bedah tidak membolehkan pasien berdiri). Pasien harus
minum sedikit-sedikit dan buang air kecil. Pasien harus menggunakan
manajemen terapi post operatif dan melakukan follow up sesuai instruksi.
Preskripsi terapi post operatif harus diberikan pasien dirumah pada fase 2
pemulihan sehingga salinan farmasi tidak diperlukan. Semua kondisi yang
mengharuskan adanya intervensi lanjut harus ditangani dengan pemberian
obat oral. Pasien dan rekannya disediakan nomor telepon untuk dapat
menghubungi fasilitas penyedia pelayanan kesehatan jika terdapat kejadian
post operatif yang tidak diinginkan. Lebih baik yaitu dengan melakukan
follow up melalui telepon PACU setelah 24 jam pasien keluar untuk
mereview perkembangan keadaan post operatif dan kepuasan pasien.