Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan adat dan budaya yang beragam, serta
memiliki beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua suku
bangsa yang ada di Indonesia. Sebagai salah satu contohnya adalah masyarakat suku Bajo.
Berdasarkan sejarahnya, masyarakat suku Bajo merupakan suatu komunitas yang hidup di
atas perahu, dan biasa disebut dengan manusia perahu. Masyarakat suku bajo selalu
membudayakan hal ini, sehingga kehidupan mereka selalu berpindah pindah. Setelah
memanfaatkan satu daerah maka mereka akan berpidah pada daerah yang lain, barulah kemudian
dimanfaatkan, dan begitu seterusnya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka.
Masyarakat suku bajo percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka. laut adalah
ombok lao, atau raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada penggolongan manusia dalam
suku Bajo. Suku Bajo, dalam menempatkan orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu
Sama dan Bagai. Sama adalah sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo
sementara Bagai adalah suku di luar Bajo. Penggolongan tersebut telah memperlihatkan kehatihatian dari suku Bajo untuk menerima orang baru. Mereka tidak mudah percaya sama pendatang
baru.
Masyarakat suku bajo memiliki suatu filosofis Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina,
kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana, artinya Tuhan telah memberikan
dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai manusia yang memikirkan bagaimana cara
memperoleh dan mempergunakannya. Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti
kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo.
Walaupun suku Bajo selalu tinggal di daerah pinggiran laut dan jauh dari pengaruh
kehidupan masyarakat modern pada umumnya karena terpisah dari komunitas masyarakat
lainnya, bukan berarti suku Bajo tidak memiliki dan menjunjung tinggi hukum dan adat mereka,
seperti yang terjadi pada masyarakat suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebuah desa yang di huni mayoritas suku Bajo.
B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1.

Apakah dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe,

Provinsi Sulawesi Tenggara masih terdapat hukum adat yang berlaku universal?
2. Bagaimana hubungan hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi atau bidang antropologi
lain dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe,
Provinsi Sulawesi Tenggara?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Antropologi
Hukum, juga bertujuan:
1.

Untuk mengetahui hukum yang berlaku universal dalam masyarakat Bajo Desa Bokori,

2.

Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara.


Untuk mengetahui hubungan hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi atau bidang
antropologi lain dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara.

D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini telah menambah referensi pengetahuan dan teori tentang
antropologi hukum. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan rekomendasi
kepada berbagai pihak dalam rangka melakukan upaya pemberdayaan bagi komunitas adat suku
Bajo. Demikian pula secara tidak langsung penelitian ini memberi sumbangan pemikiran kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan komunitas adat suku Bajo,
baik pemerintah, swasta / dunia usaha, dan civil society.
E.

Metode Penelitian
Analisis atau metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif yaitu gambaran penganalisaan data yang diperolah dari studi
lapangan dan kepustakaan dengan cara menjelaskan dan menerangkan kenyataan objektif
penelitian yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara di lapangan serta menggambarkan
perilaku masyarakat sampai membentuk hukum. Sehingga diperoleh data yang akurat, baik yang
bersifat teoritis kepustakaan maupun yang bersifat praktik yang diperoleh melalui studi lapangan.

BAB II
KERANGKA TEORI
A. NAMA DAN BAHASA
Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat
juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan
dari Bajo.
Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain menguasai bahasa daerah
setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan
bahasa Bugis Sulawesi Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka
diwajibkan menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama warga
penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di gunung. Bajo, identik
dengan air laut, perahu, dan permukiman dia atas air laut. Bajo artinya mendayung perahu
dengan alat yang disebut bajo.
Konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka adalah keturunan orangorang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang melarikan diri. Orang-orang
tersebut diperintahkan mencari ke segala penjuru negeri hingga pulau Sulawesi. Menurut cerita,
sang puteri memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya lambat laun
memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon menurut satu versi, sang puteri yang
menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang
bernama Bajoe. dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Orang
Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, kendati tradisinya sendiri
tetap berjalan.
Dari segi bahasa, kendati orang Bajo mempunyai satu bahasa. Namun dialek mereka
terpengaruh dengan bahasa-bahasa daerah tempat mereka bermukim. Seperti di kabupaten
Lembata, mereka hanya berbahasa Bajo dengan kaumnya, sementara itu mereka berbahasa
Lamaholot bila bertemu di pasar atau berinteraksi dengan penduduk luar kelompoknya. Dan
bahasa bajo sudah mengalami perbedaan yang sangat jauh sebagai akibat pengaruh bahasabahasa lainnya.
Dalam masyarakat suku Bajo, untuk penyebutan orang yang lebih tua laki-laki disebut Puto,
sementara untuk penyebutan orang yang lebih tua perempuan disebut Aya. Dan untuk orang
atau pemuka adat disebut Lolo Bajo.

B.

LOKASI MASYARAKAT SUKU BAJO


Dahulu kala masyarakat Bajo kerap berpindah-pindah dari satu tempat ke temat
lainnya mencari sumber kehidupan seperti masyarakat gipsy atau nomaden. Namun saat ini
meskipun masih ada yang meneruskan tradisi berpindah tempat, sebagian lainnya memilih
menetap di lokasi tertentu dengan pola hidup yang sangat sederhana. Salah satu lokasi menetap
yang dipilih suku ini ada di Pulau Bokori yang sekarang dipindahkan ke daratan Bajo yang
berada di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe sekitar Tahun 1986.
Belum lagi budaya masyarakat Suku Bajo, seperti perkawinan dan acara
selamatan. Adat Perkawinan masyarakat Suku Bajo, saat malam pertama, biasanya pasangan
suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka menghabiskan malam pertama di atas

perahu. Ini merupakan tradisi yang sangat unik.


C. DEMOGRAFI MASYARAKAT SUKU BAJO
Suku Bajo (Bajau) tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, selain di pulau
Kabaena populasi suku Bajo terdapat juga di pulau Bokori yang sekarang berada di daratan
Soropia.
Sejak lama, masyarakat suku Bajo telah menempati wilayah pesisir pulau Bokori ini,
hidup dengan kearifan dan budaya mereka sendiri. Laut adalah tumpuan utama mereka dalam
memenuhi kebutuhan hidup ratusan orang anggota komunitas mereka dari tahun ke tahun.
Walaupun suku Bajo tersebar di beberapa pulau sekitarnya, tapi hampir tidak terdapat
perbedaan dengan suku-suku bajo di daerah lain, masyarakat Bajo di wilayah ini hidup
berdampingan dalam satu komunitas mereka dan menempati wilayah yang sedikit terpisah
dengan komunitas lain, meskipun mereka secara administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan
dengan penduduk asli masyarakat Kecamatan Soropia di desa ini. Rumah-rumah yang mereka
huni secara keseluruhan berada di atas laut sehingga membuat komunitas suku lain agak sulit
melakukan interaksi dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Belum bisa dipastikan apa
yang menyebabkan mereka sedikit menutup diri dengan komunitas lain.
D. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian utama suku Bajo adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang
tradisional, seperti memancing, memanah, dan menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual
kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau terdekat. Kehidupan Suku Bajo memang masih
terbilang sangat sederhana. Mendirikan pemukiman tetap pun mungkin tak terpikir oleh mereka
apabila tidak dihimbau oleh Pemerintah setempat.

Kegiatan melaut untuk mencari ikan adalah rutinitas utama mereka setiap harinya. Dari
subuh mereka telah berangkat melaut untuk mencari ikan sampai pada siang hari, sehingga
apabila pagi hari pemukiman mereka terlihat sepi, hanya anak-anak yang berada di rumah.
pemukiman ini nanti terlihat ramai ketika siang hari sampai sore hari, kerana mereka telah
kembali dari melaut.
Beberapa suku Bajo bahkan sudah mengenal teknik budidaya produk laut tertentu,
misalnya lobster, ikan kerapu, udang, dan lain sebagainya. Mereka menyebut tempat budidaya
sebagai tambak terapung yang biasanya terletak tak jauh dari pemukiman. Sebagian kecil
masyarakat suku Bajo bahkan sudah membuat rumah permanen dengan menggunakan semen
dan berjendela kaca. Anak-anak Suku Bajo juga sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada yang
sampai perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka tentang pentingnya
pendidikan sudah mulai terbangun.

BAB III
EKSISTENSI HUKUM MASYARAKAT SUKU BAJO BOKORI
A.

Hukum Yang Berlaku Sacara Universal bagi Masyarakat Suku Bajo Bokori
Masyarakat suku Bajo Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi
Tenggara adalah masyarakat yang terbuka akan segala perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Namun, bukan berarti masyarakat tersebut sudah tidak memiliki nilai-nilai tradisi serta hukum
adat yang dijunjung tinggi.
Dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe,
Provinsi Sulawesi Tenggara, dikenal sebuah tradisi yang bernama Pasipupukang, yang artinya
perkumpulan masyarakat suku Bajo atau tradisi berkumpul masyarakat Bajo untuk mencari
solusi-solusi dari permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Apabila terdapat masalah
diantara masyarakat adat tersebut, maka diadakanlah Pasipupukang untuk penyelesaiannya.
Pasipupukang ini biasanya dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
Apabila terjadi kasus perkelahian diantara sesama masyarakat Bajo, diadakanlah
pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah tokoh adat atau di balai pertemuan di Desa.
Pertemuan ini dinamakan Pasipupukang, dengan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berseteru,
tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa. Pembicaraannya dilakukan dengan cara musyawarah
untuk mencari titik terang. Sedangkan apabila kasus perkelahian tersebut melibatkan pihak lain
yang berasal dari kampong lain atau masyarakat adat lain, penyelesaiannya tetap sama dengan
diadakan pertemuan atau perkumpulan (Pasipupukang) namun, dihadiri oleh masing-masing
ketua atau tokoh adat dari kedua masyarakat adat. Lalu dilakukan musyawarah, apabila ada
kerugian yang ditimbulkan, maka ada namanya pemberian Passala atau biasa dikenal dengan
denda. Setelah dilakukan Pasipupukang, namun masalahnya tetap berlanjut dan tidak menemui
titik terang, maka diserahkan ke pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti.
Untuk mengetahui apakah dalam masyarakat suku Bajo Bokori memiliki hukum yang
berlaku secara universal atau tidak, sebelumnya perlu diketahui apa itu yang dimaksud dengan

1.
2.
3.
4.

universal. Adapun unsur-unsur dari hukum yang bersifat universal disini adalah sebagai berikut:
Aturan tertulis dan tidak tertulis
Bersifat mengatur dan mengikat
Mempunyai sanksi
Memiliki efek jera.

Yang pertama mengenai aturan. Dalam masyarakat suku Bajo Bokori terdapat aturan tidak
tertulis yang mereka yakini secara turun temurun yang dikenal dengan Pemali dan
Pasipupukang. Hal ini ditaati dan berlaku bagi seluruh masyarakat Bajo secara keseluruhan.
Kedua, bersifat mengatur dan mengikat. Aturan-aturan dalam suku Bajo Bokori bersifat
mengikat bagi semua masyarakat suku bajo serta orang-orang diluar suku Bajo yang terdapat di
wilayah suku Bajo. Misalnya, ketika terjadi perkelahian di wilayah Bajo yang melibatkan orangorang didaerah Bajo dan orang setempat. Diberlakukan aturan yang berlaku di daerah Bajo,
dengan diadakannya musyawarah atau Pasipupukang antara kedua belah pihak.
Selanjutnya, mempunyai sanksi. Ketika terjadi kasus atau masalah di antara mereka, tidak
serta merta dibawa langsung ke pihak berwajib. Namun, diselesaikan secara adat dulu misalnya
musyawarah, kalau sudah tidak ada titik temu barulah dibawa ke pihak yang berwajib. Namun
mengenai sanksi yang diberikan ada yang namanya Passala atau denda. Mengenai efek jera
dalam masyarakat suku Bajo tidak terlalu berpengaruh besar, karena dalam setiap penyelesaian
masalah dan kasus yang terjadi selalu diselesaikan dengan system kekeluargaan dan
musyawarah.
Misalnya kalau tentang muda-mudinya itu, dalam mereka menjalin hubungan jika tidak
direstui oleh salah satu orang tua calon pemelai wanita baik pria, itu mereka menyelesaikannya
juga dengan adat yang mereka yakini dan dipimpin juga oleh kepala adat melakukan
Pasipupukang dengan cara:
Ningkolo (duduk) sebagai simbol untuk mohon izin kepada keluarga calon mempelai yang
tidak menyetujui pernikahan tersebut, kenapa suku Bajo memilih adat ningkolo, karna ningkolo
itu seperti memberi kehormatan, kesopanan saat akan meminta izin dan sifat kekeluargaan. Pada
upacara ini kepala adatnya yang akan menjadi penengah di antara dua keluarga tersebut. Dan di
situ calon mempelai laki-laki menawarkan jumlah uang sebagai mas kawin untuk disetujui,
jumlah nya itu Rp50.000, dan ditambah lagi pula untuk uang biaya pesta perkawinan, akan terus
terjadi tawar-menawar sampai ada kesepakatan di antara dua keluarga tersebut. Kalo dilihat lihat
upacara adatnya agak matrelialistis, tapi sebenarnya uang yang ada di upacara adat tersebut tidak
terlalu penting, karena yang mereka maksud ialah adanya pertemuan kedua keluarga untuk
mengenal satu sama lain keharusan untuk berbicara memberi alasan kenapa pernikahannya tidak
disetujui, sekaligus memberi toleransi.

Dan apabila ada seorang gadis yang hamil di luar nikah, maka laki-laki yang menghamili
harus membayar denda sebesar Rp 10.000 diikuti dengan berlakunya hukum adat dan instansi
agama yang mengharuskan mereka buat nikah. Bukan hanya itu saja, jika ada seorang pemuda
dan gadis yang ditemuin ngobroll di malam hari, mereka diharuskan untuk menikah, ketatnya
peraturan suku bajo dalam hal pergaulan pemuda pemudi nya, itu wujud betapa sakral nya nilai
sebuah kehormatan keluarga.

BAB IV
HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN ASPEK KEBUDAYAAN DAN
ORGANISASI SOSIAL DALAM MASYARAKAT SUKU BAJO BOKORI
A. Aspek Budaya
Budaya dalam suku Bajo diantaranya:
1)
Rumah Bajo
Rumah Panggung yang berdiri diatas tonggak tonggak kayu diatas laut yang saling
berhubungan. Rumah orang orang bajo sangat jarang dipenuhi perabot furniture seperti kursi
meja kecuali memang mereka orang terpandang seperti kepala desa, pemilik warung atau
pedagang. Umumnya mereka duduk di lantai kayu yang tidak terlalu rapat sehingga kita bisa
melihat air laut dan segala kehidupannya di bawah sana.
Orang-orang Bajo enggan membangun rumah di darat karena banyak tradisi dan
ritual hidup yang harus dilakukan di laut. Sejak dulu, setiap bayi orang Bajo harus dicelupkan ke
laut untuk mengakrabkan mereka dengan laut yang dianggap sebagai saudara.
Nilai-nilai konservasi dalam Tradisi Suku Bajo
-

Duata Sangal : Ritual mengambil beberapa jenis ikan kecil yang terancam punah dan
melepaskannya ke laut , ikan yang dilepas itu diharapkan bisa mengundang ikan-ikan lainnya

untuk berkumpul dan hidup bersama.


- Parika : yaitu memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak serta membatasi
penangkapan berdasarkan ketentuan waktu tertentu yang disepakati oleh pemuka adat dan tokoh
-

komunitas.
Pamali : Daerah terlarang yang ditetapkan ketua adat Bajo untuk menangkap ikan di suatu

kawasan. Biasanya disertai sanksi tertentu bagi yang melanggar.


Maduai Pinah : Ritual yang dilakukan saat nelayan Bajo akan turun kembali melaut di lokasi
pamali.

2)

Kategori Melaut dalam tradisi Bajo


Kegiatan melaut dibagi dalam empat kategori , yakni :

1)
2)
3)
4)
5)

Palilibu : melaut jarak dekat dalam sehari


Pongka : melaut agak jauh dengan waktu 1-2 minggu
Sakai : Melaut jauh dengan lama waktu minimal sebulan
Lama : melaut sangat jauh hingga berbulan-bulan dan biasanya melintasi negeri asing.
Duata
Sejumlah wanita berpakaian adat khas suku bajo menggelar tarian di atas perahu disertai
dengan membuang berbagai sesajen di tengah laut. Tarian ini sebagai rangkaian prosesi tradisi

Duata, sebuah tradisi pengobatan tradisional suku Bajo. Dalam keyakinan masyarakat Bajo,
Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma menjadi sosok manusia. Tradisi Duata
adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku bajo, ini dilakukan jika ada salah
satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain
6)
1.

termasuk pengobatan medis.


Perkawinan
Dalam masyarakat suku bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan, yakni :
Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro)
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Suku Bajo yang
bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya
dari tata cara pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan
upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan
secara sederhana.
2. Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari)
Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah
pihak melakukan mufakat untuk lari rumah penghulu atau kepala kampung untuk mendapat
perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan diri untuk dinikahkan)
adalah perbuatan yang mengakibatkan pakayya bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa
semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut nggai ia selalu berusaha untuk menegakkan
harga diri atau pakayya dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya
(anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah
anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau
anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.
Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan
untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak
perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya).
Bahkan orang tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu
telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya. Apa bila hal ini terjadi maka jalan
lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim.
3.
Perkawinan yang Dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Suku Bajo melarang perkawinan
antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat,
seperti :

Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui

ayah maupun ibu.


Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/cucu/cicit)
termasuk keturunan anak wanita.
- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung /
anak dari saudara kandung).
- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung
ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu).
4.
Perkawinan Duduk ( Sitingkoloang )
Perkawinan ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki atau pihak perempuan
pergi kerumah orangtua laki-laki atau perempuan guna menyerahkan dirinya kepada keluarga
laki-laki atau perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta sehingga dia
memberanikan diri untuk menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat sayang.Untuk maksud
ini dari pihak orangtua memberikan saran agar masing-masing pihak dapat meluangkan
waktunya untuk musyawarah (sitummu).Perkawinan ini masih berlaku di Masyarakat Bajo.
7)

Upacara Sangal
Upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan spesies laut lainnya. Pada
upacara tersebut, mereka akan melepas spesies yang populasinya tengah menurun di saat
bersamaan. Misalnya: melepas penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna
berkurang, dll. Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil hasil laut..
Di dalam masyarakat Bajo tumbuh suatu keyakinan terhadap adanya suatu mantra yang memberi
peranan penting dalam kehidupan mereka, keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kegiatan
mereka sebagai nelayan.
Tantangan yang dihadapi oleh Suku Bajo cukup banyak, antara lain: kurangnya akses
menuju pendidikan, hak atas tempat tinggal, angka kematian pada ibu yang melahirkan dan bayi,
kemiskinan, kelaparan, dan diskriminasi di beberapa lokasi tertentu. Selain itu, perubahan alam

8)

pun menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh suku pengembara laut ini.
Tarian
Umumnya tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama dengan tarian suku
bugis,buton,mandar dan toraja.Ada dua tarian yang lumrah di kalangan Suku Bajo yakni :
1. Tarian Manca
Tarian Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan masyarakat Bajo.Tarian
ini dilakukan pada saat ada pesta pernikahan yang resmi (Massuro). Biasanya tarian ini

dibawakan oleh sepasang pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang masing-masing
saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah merupakan turun temurun dari nenek
moyang mereka.Si pamanca sudah terlatih sejak kecil,sehingga gerak badannya sangat lentur
sesuai dengan irama sarroni/sulleh (seruling) dan gandah (gendang). Manca bagi masyarakat
suku bajo melambangkan kesatriaan sejati karena tarian ini dianggap sebagai bekal untuk
menjaga diri. Para pamanca saling bergantian pabila salah satu dari sipamanca lelah yang lain
dapat (nyamboh) istilahnya menyambung tarian. Umumnya manca dipentaskan saat pengantin
laki-laki diantar kerumah wanita (lekka). Nah setelah pengantin laki-laki tiba dirumah
perempuan,di depan pintu sudah berdiri salah satu anggota keluarga yang sudah dekat atau akrab
dengan pengantin laki-laki atau perempuan istilah ini disebut nyambo'. Kalau pengantin laki-laki
disebut nyambo' lille sedangkan pengantin perempuan disebut nyambo' dinde. Manca diiringi
dengan alat musik seruling (sarroni),goh (gong),dan gandah (gendang).
2. Sile' kampoh ( silat kampung )
Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo. Ini bersinambungan dengan manca
artinya semua jurus-jurus yang didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca. Silat
kampung ini tidak sembarangan orang untuk mempelajarinya. Syaratnya harus sudah cukup
umur. Untuk mempelajari silat ini dibutuhkan empat minggu ini sudah sempurna. Prinsipnya silat
adalah jalan hidup yang meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia.
Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri. Ada sebuah ungkapan yang menyatakan "Bukan
orang Bajo yang meninggal dibunuh tanpa melawan". Makanya setiap pemuda yang
berkeinginan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh
orangtuanya sebelum dia mempelajari silat.
9)

Religi
Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun
seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak
masyarakat Bajo berpindah agama. Begitu pula dengan Masyarakat suku Bajo Bokori sekarang
beragama Islam. Ini terbukti dengan banyaknya bangunan Mesjid disekitar kampong Bajo serta
masyarakatnya semakin paham mengenai ajaran Islam bahkan kebudayaannya sering dikaitkan

dan mempunyai hubungan dengan ajaran agama Islam.


10) Sistem Pengetahuan
Masyarakat Bajo Bokori memiliki pengetahuan alamiah-kontekstual yang dibangun dari
dan atas dasar pengalaman alamiah-kontekstual sehari-hari. Hal ini bermanfaat dalam menjalani

kehidupan mereka sehari-hari sebagai nelayan. Beberapa pengetahuan itu, seperti peredaran
bulan, musim dan peristiwa pasang surut air laut, termasuk ilmu perbintangan secara tradisional
dan sistem penanggalan qamariah (yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi
bumi) dan penanggalam syamsiah (yang dihitung berdasarkan peredaran bumi mengelilingi
matahari).
Pengetahuan masyarakat Bajo Bokori dilihat dari perspektif sosial/budaya antara lain
direfleksikan dalam sebuah pandangan yang sejalan dengan teori dan fenomena sosial dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu sama dan bagai. Selain itu, orang Bajo dapat diidentifikasi dari
bahasanya, yaitu baong sama (bahasa Bajo) yang dapat menyatukan mereka dalam suatu
komunitas besar masyarakat Bajo meskipun asal dan tempat tinggalnya berbada-beda daerah.
Dahulu, masyarakat Bajo Bokori kurang memperhatikan pendidikan. Mereka hanya
berorientasi di laut. Mereka menganggap sekolah itu tidak penting, tetapi apa gunanya sekolah
sampai ke jenjang yang tinggi kalau toh harus kembali ke laut untuk mencari ikan. Selain itu,
mereka menganggap nenek moyang mereka hanya mengenal bagaimana caranya mencari ikan
saja, mereka tidak tahu bagaimana caranya jika harus mencari rejeki selain melaut. Namun,
seiring perkembangan zaman, masyarakat Bajo yang awalnya tertutup akan pendidikan tersebut,
sekarang sudah mulai terbuka dengan perubahan serta perkembangan yang ada terutama di
bidang pendidikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya generasi muda masyarakat Suku Bajo
yang berhasil menempuh pendidikan bahkan sudah ada yang sarjana, bidan, tentara dan polisi.
11)

Organisasi Sosial
Dalam masyarakat suku Bajo Bokori, ada persatuan pemuda Bajo yang namanya Kekar Bajo
yang dilaksanakan setiap setahun sekali. Semua masyarakat Bajo berkumpul dan merayakannya
di salah satu daerah pilihan.
B.
Kaitan Antara Hukum dengan Aspek Kebudayaan dan
Organisasi Sosial dalam Masyarakat Bajo Bokori
Dalam proses penyelenggaraan dan penegakan hukum, tidak terlepas dari keterkaitan
Antara hukum dengan aspek kebudayaan serta organisasi social. Namun, apakah dalam
masyarakat adat tertentu antara hukum dengan kebudayaan dan organisasi social merupakan tiga
hal yang saling berkaitan, atau tidak ataukah juga saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan atau
keterkaitan diantara ketigatiga unsur tersebut
Bicara tentang kebudayaan dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori jika dikaitkan dengan
hukum mempunyai kaitan yang erat, namun dengan organisasi social tidak terlalu mempunyai

kaitan, karena tidak adanya fungsi organisasi social dalam mengawasi serta membantu
penyelesaian masalah hukum yang terjadi. Organisasi social hanya berperan dalam kegiatankegiatan atau hubungan-hubungan yang terjadi antara komunitas suku Bajo didaerah lain atau
komunitas masyarakat lain.
Dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori memiliki hukum yang tidak tertulis yang mereka
yakini secara turun-temurun. Setiap penyelesaian selalu melibatkan tokoh adat dan pihak-pihak
terkait tanpa adanya peran dari organisasi social. Dimana tampak dalam setiap penyelesaian
masalah hukum yang terjadi di masyarakat selalu diselesaikan dengan cara musyawarah dan
system kekeluargaan seperti dalam tradisi pasipupukang yang didalamnya terdapat tradisi
Ningkolo dan Passala. Budaya musyawarah dan kekeluargaan dalam Pasipupukang yang
membentuk hukum dalam kehidupan masyarakat adat Suku Bajo Bokori.
Selain itu, unsur kebudayaan dalam penggunaan bendera adat Bajo dapat dilihat pada saat
adanya perayaan perkawinan, ataupun acara-acara resepsi lainnya. Tidak semua masyarakat
keturunan suku Bajo menggunakan acara pengibaran bendera adat Bajo ini, karena terdapat
tatacara tertentu yang harus dipenuhi.
Penggunaan simbol bendera adat Bajo itu sendiri memiliki kandungan asas persatuan,
dalam hal ini mempersatukan anggota masyarakat suku Bajo ke dalam tradisi adat mereka;
mengandung juga asas kedaulatan, dimana penggunaan bendera adat tersebut menunjukkan
kedaulatan adat Bajo yang masih mendarah daging pada masyarakat adat Bajo yang masih
menggunakan adat tersebut; mengandung juga asas kehormatan, dimana penggunaan bendera
adat tersebut adalah sebagai jati diri yang menunjukkan eksistensi harga diri, dan kebesaran adat
masyarakat Bajo; asas kebangsaan, disini berarti penggunaan bendera mencerminkan sifat
patriotisme, kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada adat istiadat
Suku Bajo; asas ketertiban, berarti bahwa penggunaan bendera harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam penggunaannya; asas kepastian hukum, berarti bahwa penggunaan bendera
harus dapat memberikan kepastian hukum dalam penggunaannya; asas keseimbangan, berarti
bahwa penggunaan bendera harus mencerminkan keseimbangan dalam hal pengadaan,
penetapan, dan penggunaannya; asas keserasian berarti bahwa penggunaan bendera harus
mencerminkan keserasian dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya; dan asas
keselarasan berarti bahwa penggunaan bendera harus mencerminkan keselarasan dalam hal
pengadaan, penetapan, dan penggunaannya. simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong
masyarakat Bajo.

Dengan adanya aspek kebudayaan dan kepercayaan masyarakat adat suku Bajo Bokori
melalui symbol penggunaan bendera adat Bajo tersebut dengan nilai-nilai filosofis yang dimiliki
menunjukkan bahwa sebagian besar hukum adat dalam masyarakat suku Bajo Bokori lahir dari
kebudayaan-kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam masyarakat suku Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe masih terdapat hukum
adat yang berlaku secara Universal, hal ini dapat dilihat dengan adanya hukum adat tidak tertulis
serta yang diyakini seluruh masyarakat adat Bajo secara turun-temurun oleh masyarakat
setempat, seperti misalnya Pasipupukang dalam setiap penyelesaian masalah hukum dengan
2.

tradisi Ningkolo dan Passala/denda sebagai sanksi apabila terjadi kasus atau masalah.
Hubungan Antara hukum masyarakat suku Bajo dengan aspek kebudayaan masih sangat erat,
Dilihat dari tradisi pasipupukang dalam masyarakat tersebut serta dengan system musyawarah
dan kekeluargaan yang erat dalam setiap penyelesaian masalah. Selain itu, dengan adanya tradisi
bendera symbol masyarakat adat suku Bajo yang mengandung berbagai nilai-nilai dan asas-asas
dalam kehidupan. Hal ini sangat berkaitan dengan hukum yang berlaku. Namun Antara hukum
dengan organisasi social yang ada dalam masyarakat Bajo Bokori tidak memiliki kaitan yang
sangat erat. Setiap ada permasalahan hanya melibatkan tokoh adat dan pihak bersangkutan untuk
musyawarah mencari jalan keluar tanpa ada organisasi social yang terlibat. Artinya, antara
hukum dan organisasi social berdiri sendiri tanpa ada hubungan.

B.

Saran
Makalah ini dibuat sebagai bahan belajar pembaca khususnya mahasiswa dan memperluas
wawasan mengenai masyarakat suku Bajo, khususnya suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe. Oleh karena itu sebaiknya makalah ini digunakan sebagaimana
fungsi seharusnya.

DAFTAR PUSTAKA
Aslan, La Ode Muhamad dan Nadia, La Ode Abdul Rajak. 2009. Potret Masyarakat Pesisir
Sulawesi Tenggara. Kendari : Unhalu Press.
http://dombaungu.blogspot.com/2012/05/alat-tangkap-ikan-suku-bajo-yang-telah.html
http://tipswisatamurah.blogspot.com/2012/02/uniknya-tradisi-masyarakat-bajo.html
http://unj-pariwisata.blogspot.com/2012/05/kearifan-lokal-suku-bajo-uas.html
http://gunawansugiyanto.wordpress.com/2008/06/12/kearifan-lokal-yang-tidak-tertulis/
http://ahmilanakwajo.blogspot.com/2010/03/jenis-perkawinan-suku-bajo.html

Anda mungkin juga menyukai