Anda di halaman 1dari 13

HALAMAN PENGESAHAN

Yang tersebut di bawah ini:


Nama

: Muh. Ilham Hidayat

Stambuk

: 110207102

Adalah benar telah menyelesaikan tugas referat dengan judul Episkleritis


dan Skleritis pada Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia dan telah didiskusikan dengan pembimbing.

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hj. Munjia Assagaf, Sp.M

Episkleritis dan Skleritis


ANATOMI MATA
Bola mata
Setiap bola mata merupakan organ kistik yang tetap menggembung oleh
tekanan di ruang bagian dalam. Walaupun , secara umum menunjukkan sebagai
sebuah benda yang bulat, bola mata bukan merupakan sesuatu yang bulat namun
sebuah benda yang agak bulat. Titik pusat kesembungan maksimal dari lengkung
anterior dan posterior disebut kutub anterior dan posterior, secara berurutan. Garis
ekuator bola mata terletak pada bidang pertengahan antara dua kutub.1
Lapisan bola mata
Bola mata terdiri dari tiga lapisan: lapisan luar (lapisan fisbrosa), lapisan
tengah (lapisan vaskular), dan lapisan dalam (lapisan saraf).1
1. Lapisan fibrosa. Merupakan sebuah dinding dengan densitas yang kuat yang
melindungi isi intraokular. 1/6 anterior lapisan fibrosa ini transparan dan
disebut kornea. 5/6 posterior bagian yang buram disebut sklera. Kornea
dihubungkan dengan sklera seperti kaca arloji. Persimpangan korena dan
sklera disebut limbus. Konjungtiva melekat kuat pada limbus.1
2. Lapisan vaskular (jaringan uvea). Menyokong nutrisi ke berbagai struktur
bola mata. Yang terdiri dari tiga bagian dari anterior ke posterior yaitu: iris,
korpus silisris, dan koroid.1
3. Lapisan saraf (retina). Berhubungan dengan fungsi visual.1

Gambar 1. Anatomi luar bola mata1

Anatomi sklera
Sklera membentuk bagian buram lima per enam posterior bagian luar
lapisan fibrosa bola mata. Seluruh permukaan luar dilapisi oleh kapsula Tenon.
Pada bagian anterior juga dilapisi oleh konjungtiva bulbi. Permukaan dalam
melekat dengan koroid dengan sebuah ruang suprakoroid potensial di antaranya.
Bagian terluar dekat dengan limbus ada sebuah celah yang menutupi kanal
Schlemm.1
Ketebalan sklera sangat berbeda setiap individu dan usia individu tersebut.
Secara umum lebih tipis pada anak-anak daripada orang dewasa dan pada
perempuan daripada laki-laki. Sklera paling tebal pada bagian posterior (1mm)
dan secara berurutan menjadi tipis menuju ke depan. Paling tipis pada insersi
muskulus ekstraokular. (0,3 mm). Lamina kribrosa merupakan sklera seperti
anyaman di mana serat nervus optik lewat. 1
Apertura (lubang). Sklera ditembus dengan tiga buah lubang (Gambar 2): 1
1. Lubang posterior berada di sekitar saraf optik dan menyalurkan nervus dan
vaskular siliaris longus dan brevis.
2. Lubang tengah (terdiri atas empat) berada sedikit di bagian posterior
ekuator; dilewati dengan empat vena vortex (vena verticosae).

3. Lubang anterior berada pada 3 sampai 4 mm dari limbus. Vaskular siliaris


anterior lewat melalui lubang ini.
Struktur mikroskopik. Secara histologi, sklera terdiri dari tiga lapisan yaitu: 1
1. Jaringan episklera. Merupakan lapisan jaringan ikat yang tipis
tervaskularisasi padat yang menyelimuti sklera sejati. Baik fibroblas,
makrofag dan limfosit juga ada di lapisan ini.
2. Sklera sejati. Merupakan struktur avaskular yang terdiri dari gumpalan
padat serat kolagen. Kumpulan jaringan kolagen yang saling melewati satu
sama lain di semua arah.
3. Lamina fusca. Merupakan bagian paling dalam sklera yang bercampur
dengan lamina suprakoroid dan suprasiliaris traktus uvea. Yang berwarna
kecokelatan karena adanya sel terpigmentasi.
Persarafan. Sklera dipersarafi oleh cabang dari nervus siliaris longus yang
menembus 2-4 mm dari limbus untuk membentuk pleksus.1

Gambar 2. Apertura pada sklera. (tampak posterior) untuk:


SCN. Short ciliary nerve; SPCA, short posterior ciliary arteri;
LPCA, long posterior ciliary artery; VC, vena verticosa1

DEFINISI
Episkleritis adalah peradangan lokal jaringan ikat vaskular penutup sklera
yang relatif sering dijumpai, termasuk di atas kapsul Tenon tapi tidak di bawah
sklera.1,2

Skleritis adalah suatu kelainan yang jarang, yang ditandai dengan infiltrasi
selular, destruksi kolagen, dan remodelling vaskular. Skleritis merupakan suatu
inflamasi kronik sklera. Ini termasuk penyakit serius yang dapat menyebabkan
kelainan visus bahkan hilangnya mata jika penanganan tidak memadai.1,2
EPIDEMIOLOGI
Episkleritis cenderung mengenai orang muda, khususnya pada dekade
ketiga atau keempat kehidupan; mengenai perempuan tiga kali lebih sering
dibandingkan pria; bersifat unilateral pada dua per tiga kasus. Kekambuhan sering
terjadi dan penyebabnya tidak diketahui. Kelainan lokal atau sistemik terkait,
misalnya rosacea okular, atopi, gout, infeksi, atau penyakit kolagen-vaskular
dijumpai pada sepertiga populasi pasien. 2
Insidensi skleritis kurang dari episkleritis. Skleritis terjadi bilateral pada
sepertiga kasus; wanita lebih banyak yang terkena dibandingkan pria; khasnya
timbul pada dekade kelima atau keenam kehidupan.1,2
ETIOLOGI
Etiologi episkleritis pasti belum diketahui. Ditemukan bahwa ada hubungan
dengan gout, rosacea dan psoriasis. Dianggap pula sebuah reaksi hipersensitivitas
terhadap toksin endogen tuberkulosis dan streptokokus.1
Skleritis ditemukan ada hubungan dengan beberapa kondisi di antaranya
gangguan kolagen khususnya rematoid artritis, granulomatosis Wegener,
poliarteritis nodosa (PAN), sistemik lupus eritematosa (SLE), dan spondilitis
ankilosis. Gangguan metabolik seperti gout dan tirotoksikosis. Infeksi terutama
oftalmikus herpes zoster, infeksi Stafilokokus dan Streptokokus kronik,
Toksoplasma, dan jamur. Penyakit granulomatosis seperti tuberkulosis, sifilis,
sarkoidosis, lepra. Keadaan lain seperti iradiasi, luka bakar kimia, sindrom VogtKoyanagi-Harada, penyakit Behcet, dan rosacea. Skelritis induksi bedah terjadi
dalam 6 bulan pasca operasi. Dalam banyak kasus penyebab skleritis tidak
diketahui (idiopati).1,3,4

PATOMEKANISME
Perubahan-perubahan yang disebutkan mungkin terjadi karena diperantarai
oleh proses imunologis atau, lebih jarang, sebagai akibat infeksi. Adanya trauma
lokal dapat mencetuskan terjadinya proses peradangan (Tabel 1).2
Secara histologi, episkleritis terjadi infiltrasi limfositik terlokalisasi jaringan
episklera yang berhubungan dengan edema dan kongesti di atas kapsul Tenon dan
konjungtiva.1
Perkembangan skleritis mungkin memerlukan interaksi antara mekanisme
kontrol genetik dengan faktor lingkungan (agen infeksius) atau substansi endogen.
Interaksi ini meningkatkan proses autoimun yang menghacurkan kapiler perforasi
episklera dan sklera dan vena pasca kapiler menyebabkan mikroangiopati
inflamasi melalui deposisi pembuluh darah komplek imun, selanjutnya aktivasi
komplemen dan pelepasan enzim neutrofil (hipersensitivitas tipe III) (Gambar 3) .
Kerusakan imunologi persisten menyebabkan respon granulomatosa kronik
(hipersensitivitas tipe IV) (Gambar 4) yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel,
sel raksasa multinukleus, terutama Th1. Interaksi makroangiopati inflamasi dan
reaksi granulomatosa sebagai bagian aktivasi jaringan imun pada skleritis yang
dapat menyebabkan destruksi sklera.5

Gambar 3. Reaksi hpersensitivitas tipe III terhadap komplek antigen-antibodi 6

Gambar IV. Reaksi hipersensitivitas tipe IV 6

DIAGNOSIS
Gejala-gejala episkleritis adalah kemerahan dan iritasi ringan atau rasa tidak
nyaman yang digambarkan seperti berpasir, rasa terbakar atau sensasi benda asing.
Dapat terjadi fotofobia ringan dan lakrimasi namun jarang. Pemeriksaan mata
memperlihatkan injeksi episklera, yang bisa nodular, sektoral, atau difus (Gambar
5 dan 6). Tidak tampak peradangan atau edema pada sklera di bawahnya; keratitis
dan uveitis jarang menyertai. Diagnosis konjungtivitis disingkirkan dengan tidak
adanya injeksi konjungtiva palpebralis ataupun sekret.1,2
Pada episklerisis nodular, nodul rata merah jambu atau ungu di sekitar oleh
injeksi terlihat, biasanya berada 2-3 mm jarak dari limbus. Nodul kokoh, lunak,
dan terletak di bawah konjungtiva bergerak bebas. Sedangkan episkleritis difus,
walaupun seluruh bola mata dapat diliputi, inflamasi maksimal terbatas pada satu
atau dua kuadran.1
Tabel 1. Penyebab skleritis2

Penyakit autoimun
Artritis reumatoid
Poliarteritis nodosa
Polikondritis berulang
Granulomatosis Wegener
Lupus eritematosus sistemik
Pioderma gangrenosum
Kolitis ulserativa Nefropati IgA
Artritis psoriatika
Penyakit granulomatosa dan infeksiosa

Tuberkulosis
Sifilis
Sarkoidosis
Toksoplasmosis Herpes simpleks
Herpes zoster
Infeksi pseudomonas
Infeksi streptokokus
Infeksi stafilokokus Aspergilosis
Lepra
Lain-lain
7

Fisik (radiasi, luka bakar termal)


Kimia (luka bakar asam atau basa)
Penyebab mekanis (trauma tembus, pembedahan)
Limfoma
Rosacea
Tidak diketahui
Pasien skleritis hampir selalu mengeluh nyeri, yang biasanya berat, konstan
dan tumpul, dan membuat pasien terbangun di malam hari. Bola mata sering
terasa nyeri. Ketajaman penglihatan biasanya sedikit berkurang, dan tekanan
intraokuler dapat sedikit meningkat. Pada sepertiga kasus, skleritis dapat disertai
dengan keratitis atau uveitis.2
Tanda klinis utama skleritis adalah bola mata yang berwarna ungu gelap
akibat dilatasi pleksus vaskular profunda di sklera dan episklera, yang mungkin
nodular, sektoral, atau difus (Gambar 7). Slitlamp dengan filter bebas-merah akan
menegaskan kelainan vaskular yang terjadi. Biasanya timbul daerah-daerah
avaskular sebagai akibat vaskulitis oklusif dan ini mengisyaratkan prognosis yang
buruk. Penipisan sklera sering mengikuti proses peradangan. Nekrosis sklera pada
ketiadaan peradangan dinyatakan sebagai skleromalasia perforans dan nyaris
hanya dijumpai pada pasien rheumatoid arthritis.2
Skleritis posterior biasanya bermanifestasi sebagai nyeri yang disertai
penurunan penglihatan, dengan sedikit atau tanpa kemerahan. Pada kelainan ini,
dapat timbul vitritis ringan, edema caput nervi optici, ablation retinae serosa, atau
lipatan koroid. Diagnosis didasarkan pada deteksi penebalan sklera posterior dan
koroid dengan ultrasonografi atau CT scan. Penebalan setempat yang terdeteksi
pada ultrasonografi dapat dikelirukan dengan tumor koroid.2
Pemeriksaan

laboratorium

pada

skleritis

sering

bermanfaat

untuk

mengidentifikasi penyakit sistemik terkait, yang terdapat pada dua pertiga


populasi pasien (Tabel 2).2

Gambar 5. Episkleritis nodular, mata


kanan1

Gambar 6. Episkleritis difus, mata kanan1

Gambar 7. Skleritis nodular, mata kiri,


berkaitan dengan artriris reumatoid 2

Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium untuk skleritis2,7


Hitung darah lengkap dan laju endap darah
Faktor rheumatoid serum (RF)
Antibodi antinukleus serum (ANA)
Antibodi sitoplasmik antineutrofil serum (ANCA)
PPD, Roentgen toraks
FTA-ABS, VDRL serum
Kadar asam urat serum
Urinalisis

PENATALAKSANAAN
Kelainan ini bersifat jinak, dan perjalanan penyakit biasanya sembuh sendiri
dalam 1-2 minggu. Tanpa adanya penyakit sistemik, terapi yang diberikan berupa
air mata buatan penyejuk setiap 4-6 jam hingga kemerahan mereda. Namun pada

kasus-kasus yang didasari oleh kelainan lokal atau sistemik, dibutuhkan terapi
yang lebih spesifik, contohnya, doxycycline 100 mg dua kali sehari untuk rosacea;
terapi antimikroba untuk tuberkulosis, sifilis, atau infeksi herpesvirus, obat antiinflamasi nonsteroid lokal atau sistemik atau kortikosteroid untuk penyakit
kolagen vaskular.2,8
Terapi awal skleritis adalah dengan obat anti-inflamasi nonsteroid sistemik.
Obat pilihannya, yaitu indometasin 100 mg selama satu hari kemudian 75 mg per
hari sampai inflamasi teratasi, atau ibuprofen 600 mg per hari. Pada sebagian
besar kasus, nyeri segera berkurang dan diikuti dengan peredaan peradangan.
Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu, atau jika penyumbatan maupun
ketiadaan perfusi pembuluh-pembuluh besar di substansia propria atau episklera
yang tampak secara klinis menjadi lebih jelas, terapi prednison oral, 0,5-1,5
mg/kg/hari harus segera dimulai. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan
terapi pulsasi intravena dengan methylprednisolone 1 g. dapat juga digunakan
obat-obat imunosupresif lain. Cyclophosphamide khususnya bermanfaat bila
terdapat ancaman perforasi. Terapi topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat
menjadi tambahan untuk terapi sistemik, terutama bila terdapat uveitis. Terapi
antimikroba spesifik harus diberikan jika diketahui terdapat penyebab infeksi.
Pembedahan mungkin diperlukan untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Pada skleromalasia perforans, perforasi jarang terjadi, kecuali bila
terdapat trauma atau glaukoma. Intervensi bedah memperbaiki hasil anatomi
tetapi tidak mengubah hasil visus.1,2,9
KOMPLIKASI
Berbagai penyakit yang telah dijelaskan berkaitan dengan episkleritis juga
berkaitan dengan skleritis; penyakit-penyakit itu lebih sering dan lebih parah pada
skleritis. Kegagalan mengendalikan peradangan sklera dapat menimbulkan
perforasi (jika peradangannya parah).2
Keratitis stroma infiltrasi akut dapat terlokalisasi atau difus. Keratitis
sklerosis ditandai dengan penipisan kronik dan opasifikasi di mana kornea perifer
berbatasan dengan lokasi skleritis menyerupai sklera. Keratitis ulseratif perifer

10

ditandai dengan lelehan progresif dan ulserasi. Uveitis, glaukoma, hipotoni, dan
perforasi sklera dapat menjadi komplikasi skleritis.10

11

DAFTAR PUSTAKA
1.

Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. India: New Age


International. 2007. Pp. 3-4; 127-131.

2.

Cunningham ET, Shetlar DJ. Traktus uvealis & sklera. dalam: Riorda-Eva P,
Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. Hal. 150-168.

3.

Kamath YS, Rathinam SR, Kawali A. Ocular toxoplasmosis associated with


scleritis. in: Indian J Ophthalmol. 2013. Pp. 295-297.

4.

Sahu SK, Das S, Sahani D, Sharma S. Fungal scleritis masquerading as


surgically induced necritizing scleritis: a case report. in: Journal of Medical
Case Reports. 2013. Pp. 288.

5.

Maza MSdl. Scleritis immunopathology and therapy. in: Pleyer U, Zierhut


M, Behrens-Bauman W. Immuno-Ophthalmology. Vol. 30. Basel: Karger.
1999. Pp. 84-90.

6.

Silbernagl S. Blood. in: Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of


Pathophysiology. Stuttgart: Thieme. 2000. Pp. 28-65.

7.

Pavan-Langston D. Cornea and eternal disease. in: Pavan-Langston D.


Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 5th Ed. USA: Lippincott,
Williams & Wilkins. 2002.

8.

Lang GK. Sclera. in: Lang GK. Ophthalmology. Stuttgart: Thieme. 2000.
Pp. 157-161.

9.

Pradhan ZS, Jacob P. Infectious scleritis: Clinical spectrum and management


outcomes in India. in: Indian J Ophthalmol. 2013. Pp. 590-593.

10.

Bowling B. Episclera and sclera. in: Bowling B. Kanskis Clinical


Ophthalmology A Systematic Approach. 8th Ed. Australia: Elsevier. 2016.
Pp. 254-267.

12

Anda mungkin juga menyukai