Anda di halaman 1dari 92

Gangguan Mood/Suasana Perasaan

12.1Depresi Berat dan Gangguan Bipolar


Gangguan mood meliputisekelompok
patologis serta

besar gangguan. denganmood

gangguan yang terkait mood yang mendominasi gambaran

klinisnya. Istilah gangguan mood, yang dalam edisi Diagnostic and Statistical
Manual of Menial Disorders (DSM) sebelumnya dikenal sebagai gangguan
afektif. saat ini lebih disukai karena istilah ini mengacu pada keadaan emosi yang
menetap, bukan hanya ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional
sementara. Gangguan mood paling baik dianggap sebagai sindrom (bukannya
penyakit terpisah), yang terdiri atasse-kelompok tanda dan gejalayang bertahan
selamaberminggu-minggu

hingga

berbulan - bulan,

yang menunjukkan

penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang serta kecenderungan untuk


kambuh. sering dalam bentuk periodik atau siklik. Mood dapat normal,
meningkat, atau menurun. Orang normal mengalami berbagai variasi mood yang
luas dan memiliki berbagai ekspresi afektif yang sama besarnya; mereka kuranglebih merasa di bawah kendali mood dan afek. Pada gangguan mood,
pengendalian hilang dan terdapat pengalaman subjektif akan adanya penderitaan
yang berat.
Pasien dengan mood meningkat

menunjukkan adanya ekspan-sivitasi

flingof ideas, tidur berkurang, harga diri meningkat. serta gagasan kebesaran.
Pasien dengan mood menurun menunjukkan hilangnya energi dan minat. rasa
bersalah. sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan. serta pikiran mengenai
kematian atau bunuh diri. Gejala atau tanda lain mencakup perubahan tingkat
aktivitas, kemampuan kognitif, pembicaraan. serta fungsi vegetatif (cth.. tidur.
nafsu makan, aktivitas seksual, serta ritme biologis lainnya). Gangguan ini
hampirselalu menimbulkan gangguan fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan.
Pasien yang hanya menderita episode depresif berat dikatakan memiliki
gangguan depresif berat atau depresi unipolar. Pasien dengan episode manik
maupun depresifatau pasien dengan episode manik saja dikatakan memiliki
gangguan bipolar. Istilah mania unipolar, mania murni, atau mania euforik
kadang-kadang digunakan untuk pasien bipolar yang tidak memiliki episode

depresif. Hipomania merupakan episode gejala manik yang tidak memenuhi


keseluruhan (criteria revisi teks DSM edisi keempat (DSM-1V-TR) untuk episode
manik.
Bidang psikiatri memisahkan depresi berat dan gangguan bipolar sebagai
gangguan yang berbeda terutama 20 tahun terakhir ini. Meskipundemikian,
pertimbangan kembali telah dilakukan baru-baru ini terhadap kemungkinan
bahwa gangguan bipolar sebenarnya adalah ekspresi depresi berat yang lebih
parah. Banyak pasien yang didiagnosis memiliki gangguan depresif berat, pada
pemeriksaan yang teliti menunjukkan adanya episode manik atau perilaku
hipomanik di masa lampau yang hilang tanpa terdeteksi. Di samping itu, depresi
biasanya menyebabkan rasa penderitaan yang hebat untuk pasien daripada mania,
sehingga pasien lebih cenderung mencari bantuan. Untuk alasan ini, diperkirakan
bahwa terdapat diagnosis yang relatif berlebihan pada gangguan depresifberat
unipolar
KLASIFIKASI GANGGUAN MOOD DSM-IV-TR
Menurut DSM-IV-TR, gangguan depresifberat (juga dikenal sebagai
depresi unipolar) terjadi tanpa riwayat episode manik, campuran, atau hipomanik.
Episode depresif berat harus ada setidaknya 2 minggu dan seseorang yang
didiagnosis memiliki episode depresif berat terutamajuga harus mengalami
setidaknya empat gejala dari daftar yang mencakup perubahan berat badan dan
nafsu makan, perubahan tidur dan aktivitas. tidak ada energi. rasa bersalah,
masalah dalam berpikir dan membuat keputusan. serta pikiran berulang mengenai
kematian dan bunuh diri.
Episode manik adalah suatu periode khas mood abnormal, terus
meningkat, ekspansif, atau iritabel setidaknya selama I minggu atau kurang jika
pasien dirawat inap. Episode hipomanik memiliki durasi setidaknya 4 hari dan
menyerupai episode manik kecuali bahwa pada hipomanik. gangguan tidak cukup
berat untuk menimbulkan hendaya fungsi sosial atau pekerjaan serta tidak ada ciri
psikotik. Baik mania maupun hipomania dihubungkan dengan meningkatnya
harga diri, berkurangnya keinginan tidur, perhatian mudah teralih. aktivitas fisik
dan mental yang hebat, serta perilaku bersenang-senang yang berlebihan.

Menurut DSM-IV-TR, gangguan bipolar I didefinisikan sebagai gangguan dengan


perjalanan klinis satu atau lebih episode manik dan kadang-kadang episode
depresif berat. Episode campuran adalah suatu periode selama setidaknya 1
minggu dengan episode manik maupun episode depresif berat yang terjadi hampir
setiap hari. Suatu varian gangguan bipolar ditandai dengan episode hipomania
dan bukannya mania dikenal sebagai gangguan bipolar II.
Dua gangguan mood tambahan lainnya, yaitu gangguan distimik dan
siklotimik (Iihat Bagian 12.2), juga telah dikenal secara klinis selama beberapa
waktu. Gangguan distimik dan siklotimik ditandai dengan adanya gejala yang
lebih ringan daripada gejala gangguan depresif berat dan gangguan bipolar I.
DSM-IV-TR mendefinisikan gangguan distimik sebagai gangguanyangditandai
dengan mood yang menurun yang tidak cukup berat untuk dapat dimasukkan ke
dalam diagnosis episode depresif berat. Gangguan siklotimik ditandai dengan
gejala hipomanik yang sering terjadi selama setidaknya 2 tahun dan tidak sesuai
dengan diagnosis episode manik serta gejala dcpresi yang tidak sesuai dengan
diagnosis episode depresif berat.
DSM-IV-TR memasukkan tiga kategori gangguan mood berdasarkan
penelitian (gangguan depresif minor, gangguan depresif singkat rekuren. dan
gangguan disforik premenstrual). Diagnosis DSM-IV-TR lainnya adalah
gangguan mood akibat kondisi medis umum serta gangguan moodterinduksi zat.
Kategori ini dirancang untuk memperluas pengenalan diagnosis gangguan mood,
menjelaskan gejala gangguan mood secara lebih terperinci dibandingkan
sebelumnya, serta memudahkan diagnosis banding gangguan mood. Akhirnya.
DSM-IV-TR mencakup tiga gangguan redisualgangguan bipolar yang tidak
tergolongkan, gangguan depresif yang tidak tergolongkan. dan gangguan mood
yang tidak tergolongkan

EPIDEMIOLOGI

Insiden dan Prevalen


Gangguan depresif berat adalah gangguan yang lazim ditemukan dengan
prevalensi seumur hidup sekitar 15%, pada perempuan mungkin 25%. Insiden
gangguan depresif berat 10% pada pasien yang berobat di fasilitas kesehatan
primer dan 15% di tempat rawat inap. Gangguan bipolar I lebih jarang daripada
gangguan depresif berat. dengan prevalensi seumur hidup sekitar 1%, serupa
dengan gambaran skizofrcnia. Tabel 12.1-1 mencantumkan prevalensi seumur
hidup gangguan mood.
Seks
Dari suatu observasi yang hatnpir universal tanpa melihat negara atau
kebudayaan. prevalensi gangguan depresif berat dua kali lebih besar pada
perempuan daripada laki-laki. Alasan perbedaan ini yang telah dihipotesiskan
antara lain perbedaan hormonal, pengaruh kelahiran anak. stressor psikososial
yang

berbeda

antara

laki-laki

dan

perempuan.

serta

model

perilaku

ketergantungan yang dipelajari. Perlawanan dengan gangguan depresif berat.


gangguan bipolar I memiliki prevalensi yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan. Episode manik lebih sering terjadi pada laki-laki dan episode depresif
lebih sering terjadi pada perempuan. Bila episode manik terjadi pada perempuan.
lebih mungkin ditemukan gambaran campuran dibandingkan laki-lakimisalnya.
mania dan depresi. Perempuan juga memiliki angka yang lebih tinggi untuk
terjadinya siklus cepat. yaitu mengalami empat atau lebih episode manik dalam
waktu 1 tahun.
Usia
Awitan gangguan bipolar I lebih dim daripada gangguan depresi berat.
Awitan usia gangguan bipolar I berkisar dari masa kanak-kanak (5 atau 6 tahun)
sampai 50 tahun ataubahkan lebih tua pada kasus jarang. dengan usia rerata 30
tahun. Usia rerata awitan gangguan depresi berat sekitar 40 tahun. dengan 50%
pasien memiliki
12.1-1
Prevalensi Seumur Hidup Beberapa Gangguan
Mood DSM-IV-TR
Gangguan mood
Prevalensi seumur hidup

Gangguan depresif
Gangguan depresif berat (MDD, Major
Defresif Disorder)
Rekuren dengan episode
pulih sempurna, bersama
dengan gangguan distimk
Rekuren, tanpa episode pulih sempurna
bersama gangguan distimik (defresi ganda)
Gangguan distimik

10-25% untuk perempuan; 5-12 % untuk


laki-laki
Sekitar 3%orang dengan MDD

Sekitar 20-25% orang dengan MDD


Sekitar 6%

Gangguan bipolar
Gangguan bipolar I
0,4 %,6%
Gangguan bipolar II
Sekitar 0,5%
Gangguan bipolar I atau Bipolar II,
5-15% dengan gangguan bipolar
dengan siklus cepat
Gangguan siklotimik
0,4-1,0%
Data dari American Psychiatric Association Diagnostic arid Statistical
Mariual of Mental Disorders. 4thed text rev. Washington DC
American Psychiatric Association; topyrigth 2000, dengan ijin.
awitan antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat dapat juga dimulai
pada masa kanak-kanak atau usia tua. Data epidemiologis terkini mengesankan
bahwa insiden gangguan depresif mayor mungkin meningkat di antara orang
berusia di bawah 20 tahun. Hal ini mungkin berkaitan dengan meningkatnya
pengguna-an alkohol serta penyalahgunaan obat pada kelompok usia ini.
Status Pernikahan
Gangguan depresif berat paling sering terjadi pada orang tanpa hubungan
antarpersonal yang dekat atau pada orang yang mengalami perceraian atau
perpisahan. Gangguan bipolar I lebih lazim terjadi pada orang lajang dan orang
yang bercerai daripada yang menikah. tetapi perbedaan ini dapat mencerminkan
awitan dini serta karakteristik akibat perpecahan perkawinan pada gangguan
Faktor Sosioekonomi dan Kebudayaan
Tidak ada hubungan yang ditemukan antara status sosioekonomi dan
gangguan depresif berat. Insiden yang lebih besar rata-rata pada gangguan bipolar

I ditemukan pada kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi, tetapi hal ini dapat
disebabkan praktik diagnosis yang bias karena gangguan bipolar didiagnosis
berlebihan. Depresi lebih lazim di daerah pedesaan daripada daerah perkotaan.
Gangguan bipolar I lebih lazim pada orang yang tidak lulus akademi daripada
lulusan akademi. suatu bukti yang dapat jugamenunjukkan awitan usia yang
relatif dini pada gangguan ini. Prevalensi gangguan mood tidak berbeda antar-ras.
Meskipun demikian. terdapat kecenderungan pemeriksa kurang mendiagnosis
gangguan mood serta mendiagnosis berlebihan skizofrenia pada pasien yang
memiliki ras atau latar belakang budaya yang berbeda dengan pemeriksa itu
sendiri.
ETIOLOGI
Faktor Biologis
Banyak

penelitian

melaporkan

abnormalitas

metabolil

amin

biogenicseperti asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilal (HVA).


dan 3-metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) di dalam darah, urine, dan cairan
serebrospinalis pasien dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten
dengan hipoicsis bahwa gangguan mood disebabkan oleh disregulasi heterogen
amin biogenic

Amin Biogenik. Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin adalah


dua neurotransmiter yang paling terkait di dalam patofisiologi gangguan mood.

NOREPINEFRIN. Hubungan yang diajukan oleh penelitian ilmu


pengetahuan dasar antara downregulation reseptor (3-adrenergik dan respons
antidepresan klinis mungkin adalah satu potongan data yang paling menakjubkan
yang menunjukkan peranan langsung terhadap sistem noradrenergik pada depresi.
Bukti lain adanya keterlibatan reseptorprasinaps B2-adrenergik pada depresi.
aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan jumlah norepinefrin yang
dilepaskan. Reseptor prasinaps p2-adrencrgik juga terletak pada neuron
serotonergik serta mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Obat antidepresan
yang secara klinis efektif dengan efek noradrenergikcontohnya. sertralin
(Effexor)merupakan dukungan lebih lanjut terhadap peranan norepinefrin di
dalam patofisiologi setidaknya padabeberapa gejala depresi.

SEROTONIN. Dengan pengaruh besaryangdihasilkan inhibitor reuptake


serotonin selektif (SSRI. selective serotonin reuptake inhibitors) pada terapi
depresicontohnya fluoxetin (Prozac) serotonin telah menjadi neurotransmiter
amin biogenik yang paling lazim dikaitkan dengan depresi. ldentifikasi banyak
subtipe reseptor serotonin juga telah meningkatkan kegairahan di dalam
komunitas riset mengenai perkembangan terapi depresi yang bahkan lebih
spesifik. Selain fakta bahwa SSRI dan antidepresan serotonergik lainnya efektif di
dalam terapi depresi, data lain menunjukkan bahwa serotonin terlibat di dalam
patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat menceluskan depresi dan
beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit
serotonin yang rendah di dalam cairan serebrospinal serta konsentrasi tempat
uptake serotonin yang rendah pada trombosit.
DOPAMIN. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik
yang paling sering dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga pernah
diteorikan memiliki peranan. Data yang mendukung bahwa aktivitas dopamin
berkurang pada depresidan meningkat pada mania. Penemuan subtipe baru
reseptor dopamin serta meningkatnya pemahaman mengenai regulasi prasinaps
dan pascasinaps pada fungsi dopamin lebih lanjut telah memperkaya riset
mengenai hubungan antara dopamin dan gangguan mood. Obat yang mengurangi
konsentrasi dopamincontohnya reserpin (Serpasil)dan penyakit yang
mengurangi konsentrasi dopamin (seperti penyakit Parkinson) menyebabkan
gejala depresif. Sebaliknya, obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti
tirosin, amfetamin, dan bupropion (Welbutrin), akan mengurangi gejala depresif.
Dua teori terkini mengenai dopamin dan depresi adalah bahwa jarak dopamin
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor
dopamin D, mungkin hipoaktif pada depresi.
Faktor

Ncurokimia

Lain.

Walaupun

data

belum

meyakinkan,

neurotransmiter asam amino (terutama asam -aminobutirat) dan peptida


neuroaktif (terutama vasopresin dan opiat endogen) telah dilibatkan di dalam
patofisiologi gangguan mood. Sejumlah peneliti telah mengajukan bahwa sistem
messenger kedua seperti regulasi kalsium, adenilat siklase. dan fosfatidi I

inositoldapat menjadi penyebab. Asam amino glutamat danglisin tampaknya


menjadi neurotransmiter eksitasi utama pada sistem saraf pusat. Glutamat dan
glisin berikatan dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), jika berlebihan,
dapat memiliki efek neurotoksik. Hipokampus memiliki konsentrasi reseptor
NMDA yang tinggi; sehingga mungkin jika glutamat bersama dengan
hiperkortisolemia memerantarai efek neurokognitif pada stres kronis. Terdapat
bukti yang baru muncul bahwa obat yang menjadi antagonis reseptor NMDA
memiliki efek antidepresan.
Regulasi Neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan
aksis neuroendokrin dan juga menerima berbagai input saraf melalui
neurotransmiter amin biogenik. Berbagai disregulasi neuroendokrin dilaporkan
pada pasien dengan gangguan mood sehingga regulasi aksis neuroendokrin yang
abnormal merupakan akibat fungsi neuron yang mengandung amin biogenik yang
abnormal pula. Walaupun secara teoretis disregulasi aksis neuroendokrin secara
khusus (seperti aksis adrenal atau tiroid) mungkin menyebabkan gangguan mood,
disregulasi lebih cenderung merupakan cerminan adanya gangguan otak
fundamental yang mendasari. Aksis neuroendokrin utama yang dimaksud di sini
adalah aksis adrenal, tiroid. serta hormon perlumbuhan. Kelainan neuroendokrin
lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood mencakup
berkurangnya sekresi melatonin nokturnal, pelepasan prolaktin pada pemberian
triptofan. kadar basal follicle stimulating hormone (PSI1) dan luteinizing
hormone (LH). serta kadar testosteron pada laki-laki.
Aksis Adrenal Reran Kortisol. Hubungan antara hipersekresi kortisol dan
depresi merupakan salah satu penelitian terlama di bidang psikiatri biologis. Riset
dasar dan klinis mengenai hubungan ini menghasilkan pemahaman tentang
bagaimana pelepasan kortisol diatur pada seseorang dengan atau tanpa depresi.
Sekitar 50% pasien yang mengalami depresi memiliki tingkat kortikal yang
meningkat. Neuron di dalam nukleus paravenlrikular melepaskanhormon pelepas
kortikotropin (CRH) yang merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTM) dari hipofisis anterior. ACTH dilepaskan bersama dengan -endorfin
dan -lipotropin. yaitu dua peptida yang disintesis dari protein sintesis asal pre-

kursoryangsama dengan ACTH. Selanjutnya, ACTHmerangsang pelepasan


kortisol dari korteks adrenal. Umpan balik kortisol pada lingkaran bekerja melalui
setidaknya dua mekanisme. Mekanisme umpan balik cepat, yang sensitif terhadap
laju peningkatan konsentrasi kortisol, bekerja melalui reseptor kortisol pada
hipokampus dan menyebabkan berkurangnya pelepasan ACTH. Mekanisme
umpan balik lambat sensitif terhadap konsentrasi kortisol yang cenderung stabil.
diperkirakan bekerja melalui reseptor hipofisis dan adrenal.
Uji Supresi Deksametason. Deksametason (Decadron) adalah analog
sintelik kortisol. Banyak peneliti mencatat bahwa suatu proporsi yang bermakna,
mungkin 50%, pasien depresi tidak memiliki respons supresi kortisol yang
normal terhadap dosis tunggal deksametason. Walaupun uji supresi deksametason
(DST, dexa-melhasone suppression test) awalnya dianggap berguna secara
diagnostik. banyak pasien dengan gangguan psikiatri lainnya juga menunjukkan
hasil positif (tanpa supresi kortisol); dengan demikian. uji ini tidak seluruhnya
valid untuk menunjukkan gangguan mood. Meskipun demikian, data baru
menunjukkan bahwa DST dapat berhubungan dengan kemungkinan relaps:
Pasien depresi dengan DST yang tidak menjadi normal pada respons klinis
terhadap terapi lebih cenderung relaps daripada pasien depresi dengan DST
normal.
Aksis Tiroid. Pada sekitar 5-10% orang dengan depresi, gangguan tiroid
sering ditemukan. Satu implikasi klinis langsung hubungan ini sangat penting
untuk menguji semua pasien yang mengalami gangguan afek untuk menentukan
status tiroidnya. Sekitar sepertiga pasien dengan gangguan depresif berat yang
tidak memiliki aksis tiroid normal ditemukan rnemiliki respon tirotropin dan
hormon perangsang tiroid (TSH) yang tumpul, terhadap infusprotirelin, hormon
pelepastirotropin(TRH). Meskipun demikian. abnormalitas yang sama ini telah
dilaporkan di dalam kisaran luas diagnosis psikiatri, sehingga kegunaan uji ini
untuk diagnostik dibatasi. Lebih jauh lagi, upaya untuk membuat subtipe pasien
depresi berdasarkan hasil uji TRH telah menjadi kontradiksi.
Hormon Pertumbuhan. Beberapa studi menunjukkan ada-nya perbedaan
statistik antara pasien depresi dan pasien lain dalam regulasi pelepasan hormon

pertumbuhan. Pasien depresi memiliki respon stimulasi pelepasan hormon


pertumbuhan oleh tidur yang tumpul. Oleh karena kelainan tidur merupakan
gejala depresi yang lazim. penanda neuroendokrin terkait tidur merupakan
kesempaian bagi penelitian. Studi juga menemukan bahwa pasien depresi
memiliki

respons

yang

tumpul

terhadap

peningkatan

sekresi

hormon

pertumbuhan yang diinduksi klonidin (Catapres).


Somatostatin. Selain inhibisi hormon pertumbuhan dan pelepasan CRH,
somatostatin menghambat asam y-aminobutirat. ACTH. dan TSH. Kadar
somatostatin dalam cairan serebrospinal lebih rendah pada orang dengan depresi
dibandingkan denganorang dengan skizofrenia atau normal, serta kadar yang
meningkat telah diamati pada mania.
Prolaktin. Pelepasan prolaktin dari hipofisis dirangsang serotonin dan
dihambat dopamin. Sebagian hesar studi tidak menemukan kelainan bermakna
pada sekresi prolaktin basal atau sirkadian pada depresi.
Kelainan Tidur. Masalah tidurinsomnia inisial dan terminal, sering
terbangun. Hypersomnia adalah gejala yang lazim dan klasik pada depresi, dan
penurunan kebutuhan untuk tidur merupakan gejala klasik mania. Para peneliti
telah lama mengenali bahwa elektroensefaiogram tidur (EEG) pada banyak orang
dengan depresi menunjukkan kelainan. Kelainan yang lazim adalah awitan tidur
yang tertunda. pemendekan latensi rapid eye movement movement (REM) (waktu
antara jatuh tertidur dan periode REM pertama), peningkatan lama periode REM
pertama, serta tidur delta abnormal. Beberapa peneliti berupaya menggunakan
EEG tidur di dalam pengkajian diagnostik pada pasien dengan gangguan mood.
Irama Sirkadian. Kelainan struktur tidur pada depresi dan perbaikan
klinis sementara oleh karena kekurangan tidur telah menghasilkan teori bahwa
pada depresi terdapat pengaturan irama sirkadian yang abnormal. Beberapa studi
eksperimental terhadap hewan menunjukkan bahwa banyak terapi standar antidepresi yang efektif mengubah pengaturan jam biologis internal (zeitgebers
endogen).
Kindling. Kindling adalah proses elektrofisiologis saat stimulasi berulang
neuron di bawah ambang yang akhirnya menghasilkan aksi potensial. Pada

tingkat organ, stimulasi berulang di bawah ambang di suatu daerah otak


menyebabkan kejang. Observasi klinis bahwa antikonvulsanseperti karbamazepin
(Tegretol) dan asam valproat (Depakene)berguna dalam terapi gangguan mood,
terutarna gangguan bipolar I. memunculkan teori bahwa patofisiologi gangguan
mood dapat melibatkan kindling di lobus temporalis. Walaupun ditemukan pada
hewan laboratorium. kindling tidak pernah secara meyakinkan tcrjadi pada
manusia. dan efek menakjubkan antikonvulsan pada gangguan bipolar dapat
terjadi akibat perubahan elektrokimia yang tidak terkait epilepsi.
Regulasi Neuroimun. Para peneliti telah melaporkan kelainan imunologis
pada orang depresif dan orang yang berduka karena kehilangan kerabat,
pasangan, atau teman dekat. Disregulasi aksis kortisol dapat memengaruhi status
imun; mungkin terdapat pengaturan hipotalamus yang abnormal pada sistem
imun. Kemungkinan yang lebih sedikit adalah pada beberapa pasien. proses
patofisiologi primer yang melibatkan sistem imun akan menyebabkan gejala
psikiatri gangguan mood.
Pencitraan Otak. Studi pencitraan struktur otak dengan computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MR1) telah menghasilkan
data yang menarik. Walaupun studi tersebut belum melaporkan temuan yang
konsistcn, data menunjukkan hal berikut: Temuan bermakna pada pasien
gangguan bipolar I; terutarna laki-laki. memiliki ventrikel serebri yang
membesar:

pembesaran

venlrikcl

lebih

jarang

pada

pasien

dengan

gangguandepresif berat daripada pasien dengan gangguan bipolar 1, kecuali


padapasien gangguan depresif berat dengan ciri psikotik, mereka cenderung juga
memiliki ventrikel serebri yang membesar. Studi MRI juga menunjukkan bahwa
pasien gangguan depresif berat memiliki nukleus kaudatus dan lobus frontalis
yang lebih kecil dibandingkar. subjek kontrol, dan pasien depresi juga memiliki
waktu relaksasi Tl hipokampus yang abnormal dibandingkan dengan subjek
kontrol. Setidaknya satu studi MRI melaporkan bahwa pasien dengan gangguan
bipolar I memiliki jumlah lesi substantia alba profunda yang meningkat dengan
signifikan dibandingkan dengan subjek kontrol.
Banyak laporan di dalam literatur memperhatikan aliran darah otak di

dalam gangguan mood, yang biasanya diukur meng-gunakan single photon


emission computed tomography (SPECT) atau positron emission tomography
(PET). Mayoritas studi menunjukkan berkurangnya aliran darah umumnya terjadi
pada korteks serebri dan khususnya area korteks frontal. Sebaliknya, para peneliti
pada satu studi menemukan adanya peningkatan aliran darah otak pada pasien
gangguan depresi berat. Mereka menemukan peningkatan yang bergantung
keadaan di korteks, ganglia basalis, serta talamus medial, dengan kesan
peningkatan bergantung ciri bawaan di amigdala. Diperlukan studi lebih lanjut
mengenai hal ini.
Teknik pencitraan otak lain yang sedang diterapkan secara luas untuk
gangguan mental adalah magnetic resonance spectroscopy (MRS). Studi MRS
pasien dengan gangguan bipolar I lelah menghasilkan data konsisten dengan
hipotesis bahwa pato-fisiologi gangguan ini mungkin melibatkan pengaturan
abnormal metabolisme fosfolipid membran. 7Li MRS juga digunakan untuk
mempelajari konsentrasi lithium pada otak dan plasma pada pasien dengan
gangguan bipolar I.
Pertimbangan Neuroanatomis. Baik gejala gangguan mood maupun
temuan riset biologis menyokong hipotesis bahwa gangguan mood melibatkan
patologi sistem limbik, ganglia basalis, dan hipotalamus. Orang dengan gangguan
neurologis ganglia basalis dan sistem limbik (terutama lesi eksitasi pada hemisfer
non-dominan) cenderung menunjukkan gejala depresif. Sistem limbik dan ganglia
basalis berhubungan sangat erat, serta sistem limbik dapat memainkan peranan
penting dalam menghasilkan emosi. Perubahan tidur, nafsu makan, dan perilaku
seksual serta perubahan biologis menurut pengukuran endokrin, imunologis. dan
kronobiologis pada pasien depresi mengesankan adanya disfungsi hipotalamus.
Postur bungkuk, kelambatan motorik, dan hendaya kognitif ringan pada pasien
depresi, senipa dengan tanda gangguan ganglia basalis. misalnya penyakit
Parkinson dan demensia subkortikal lain.
Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi polapewarisan genetik

terjadi melalui mekanismeyang kompteks. Tidakhanyamustahil menyingkirkan


pengaruh psikososial, tetapi faktor nongenetik mungkin memiliki peranan
kausatif di dalam timbulnya gangguan mood pada setidaknya beberapa orang.
Komponen genetik memainkan peranan yang lebih bermakna didalam
menurunkan gangguan bipolar I daripadagangguan depresif berat.
Studi Keluarga
Studi keluarga berulang kali menemukan bahwa keluarga derajat pertama
proban (orang di dalam keluarga yang pertama kali diidentifikasi sakit) gangguan
bipolar 1, lebih cenderung mengalami gangguan yang sama sebesar 8 sampai 18
kali daripada keluarga derajat pertama subjek kontrol, dan 2 sampai 10 kali
cenderung mengalami gangguan depresif berat. Studi keluarga juga menemukan
bahwa keluarga derajat pertama proban dengan gangguan depresif berat lebih
cenderung mengalami gangguan bipolar I sebesar 1,5 sampai 2,5 kali daripada
keluarga derajat pertama subjek kontrol yang normal, dan 2 sampai 3 kali lebih
cenderung mengalami gangguan depresif berat. Kemungkinan mengalami
gangguan mood berkurangjika derajat hubungan keluarga menjauh. Contohnya,
keluarga derajat kedua, misalnya sepupu, lebih kecil kemungkinannya terkena
daripada keluarga derajat pertama, misalnya saudara laki-laki. Pewarisan
gangguan bipolar I juga tampak di dalam fakta bahwa sekitar 50% pasien
gangguan bipolar 1 setidaknya memiliki satu orang tua dengan gangguan mood,
paling sering gangguan depresif berat. Jika salah satu orang tua memiliki
gangguan bipolar I, terdapat 25% kemungkinan bahwa setiap anaknya juga
memiliki gangguan mood; jika kedua orang tua memiliki gangguan bipolar 1,
terdapat 50 sampai 75% kemungkinan anaknya memiliki gangguan mood.
Studi Adopsi
Dua dari tiga studi adopsi menemukan satu komponen genetik yang kuat
untuk pewarisan gangguan depresif berat; satu-satunya studi adopsi untuk
gangguan bipolar I juga menunjukkan adanyadasar genetik. Studi adopsi ini
menunjukkan bahwa anak biologis dari orang tua yang mengalami gangguan akan
tetap memiliki peningkatan risiko terkena gangguan mood, bahkan jika mereka
diasuh di dalam keluarga adopsi yang tidak memiliki gangguan mi. Studi tersebut

juga menunjukkan bahwa orang tua biologis anak adopsi yang memiliki
gangguan mood memiliki prevalensi gangguan mood yang serupa dengan
prevalensi orang tua anak bukan adopsi yang memiliki gangguan mood.
Prevalensi gangguan mood pada orang tua adopsi serupa dengan prevalensi dasar
pada populasi umum.
Studi Anak Kembar
Studi anak kembar menunjukkan bahwa angka konkofdansi untuk
gangguan bipolar I pada kembar monozigot adalah 33 sampai 90 %, bergantung
pada studi tertentu; untuk gangguan depresif berat, angka konkordansi pada
kembar monozigot sekitar 50%. Sebaliknya, angka konkordansi pada kembar
dizigol sekitarS sampai 25 persen untuk gangguan bipolar 1 dan 10 sampai 25
persen untuk gangguan depresi berat.
Studi Keterkaitan
Ketersediaan teknik modem biologi molekular, termasuk polimorfisme
panjang fragmen restriksi, telah menghasilkan banyak studi. sebagian besar tidak
dapat diambil kesimpulan. Hubungan antara gangguan mood, terutama gangguan
bipolar I dan penanda genetik telah dilaporkan untuk kromosom 5, II, 18, dan X.
Gen reseptor D, terletak pada kromosom 5. Gen untuk tirosin hidroksilase, yaitu
enzim yang membatasi laju sintesiskatekolamin, terletak pada kromosom 11.
Pada satu studi, penanda pada kromosom 18 ditemukan di 28 keluarga inti
dengan gangguan bipolar.
KROMOSOM SEBELAS DAN GANGGUAN BIPOLAR I
Pada tahun 1987, satu studi melaporkan hubungan antaragangguan
bipolar I di antara anggota keluarga Ordo Lama Amish dan penanda genetik pada
lengan pendek kromosom 11. Dengan perluasan keturunan berikutnya dan
timbulnya gangguan bipolar I pada anggota keluarga yang sebelumnya tidak
terkena, penerapan hubungan statistik dihentikan. Peristiwa ini secara efektif
menggambarkan derajat kehati-hatian yang harus digunakan dalam melakukan
dan menginterpretasikan studi keterkaitan genetik pada gangguan jiwa.
KROMOSOM X DAN GANGGUAN BIPOLAR I
Keterkaitan telah lama diduga antara gangguan bipolar I dan regio pada

kromosom X yang berisi gen buta warna dan defisiensi glukosa-6-fosfat


dehidrogenase. Seperti pada sebagian besar studi tentang psikiatri, penerapan
teknik genetik molekular telah memberikan hasil kontradiklif; sejumlah studi
menemukan keterkaitan dan studi lainnya tidak. lnterpretasi yang paling
konservatif adalah kemungkinan bahwa gen terkait-X merupakan faktor
munculnya gangguan bipolar 1 pada sejumlah pasien dan keluarga.
Faktor Psikososial
Peristiwa Hidup dan Stres Lingkungan
Terdapat pengamatan klinis yang bertahan lama bahwa peristiwa hidup
yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode ganguan mood yang
mengikuti. Hubungan ini telah dilaporkan untuk pasien gangguan depresi berat
dan gangguan bipolar I. Sebuah teori yang diajukan untuk menerangkan
pengamatan ini adalah bahwa stres yang mengenai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di dalam biologi otak. Perubahan
yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional
berbagai neurolransmiter dan sistem pemberian sinyal intraneuron. perubahan
yang bahkan dapat mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak sinaps
yang berlebihan. Akibat-nya, seseorang memiliki risiko tinggi mengalami episode
gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stresor eksternal.
Sejumlah klinisi yakin bahwa peristiwa hidup memegang peran utama
dalam depresi; klinisi lain mengajukan bahwa peristiwa hidup hanya memegang
peran terbatas dalam awitan dan waktu depresi. Data yang paling meyakinkan
menunjukkan bahwa peristiwa hidup yang paling sering menyebabkan timbulnya
depresi di kemudian hari pada seseorang adalah kehilangan orang tua sebelum
usia 11 tahun. Stresor lingkungan yang paling sering menyebabkan awitan
episode depresi adalah kematian pasangan. Faktor risiko lain adalah PHK
seseorang yang kcluar dari pekerjaan sebanyak tiga kali lebih cenderung
memberikan laporan gejala episode depresi berat daripada orang yang bekerja.
Faktor Kepribadian
tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
merupakan predisposisi seseorang mengalami depresi; semua manusia, dengan

pola kepribadian apapun. dapat dan mengalami depresi di bawah situasi yang
sesuai. Orang dengan gangguan kepribadian tertentuobsesifkompulsif, histrionik,
dan borderline mungkinmemiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami depresi
daripada orang dengan gangguan kepribadian anlisosial atau paranoid. Gangguan
kepribadian paranoid dapat menggunakan mekanisme defensi proyeksi dan
mekanisme ekstemalisasi lainnya untuk melindungi diri mereka dari kemarahan
di dalam dirinya. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa gangguan
kepribadian tcrtentu terkait dengan timbulnya gangguan bipolar I di kemudian
hari; meskipun demikian, orang dengan gangguan distimik dan siklotimik memiliki risiko mengalami gangguan depresi berat atau gangguan bipolar I di
kemudian hari.
Faktor Psikodinamik Depresi
Pernahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan Sigmund Freud dan
dikembangkan Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik mengenai
depresi. Teori ini mcliputi 4 poin penting: (1) gangguan hubungan ibu-bayi
selama fase oral (10 sampai 18 bulan pertamakehidupan) menjadi predisposisi
kerentanan selanjutnyaterhadapdepresi; (2) depresi dapat terkait dengan
kehilangan objek yang nyata atau khayalan; (3) introyeksi objek yang meninggal
adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan untuk menghadapi penderitaan
akibat kehilangan objek; dan (4) kehilangan objek dianggap sebagai campuran
cinta dan benci sehingga rasa marah diarahkan ke dalam diri sendiri.
Melanie Klein memahami depresi melibatkan ekspresi agresi terhadap
orang-orang yang dicintai, seperti yang dikemukakan Freud. Edward Bibring
menganggap depresi sebagai fenomena yang tcrjadi ketika seseorang menyadari
ketidaksesuaian antara idealisme yang sangat tinggi dan ketidakmampuan
memenuhi tujuan tersebut. Edith Jacobson melihat keadaan depresi serupa dengan
anak yang tidak berkekuatan dan tidak berdaya yang menjadi korban penyiksaan
orang tua. Anak merasakan dirinya seperti yangdiidentifikasi sesuai dengan aspek
negatif

orang

tua

yang

menyiksa,

sedangkan

sifat

sadis

orang

tua

ditransformasikan menjadi superego yang kejam. Silvano Arieti mengamati


bahwa banyak orang dengan depresi hidup untuk orang lain bukan untuk dirinya

sendiri. Dia menyebut orang yang menjadi tujuan hidup orang yang mengalami
depresi sebagai hal lain yang dominan. dapat berupaprinsip, idealisme, atau suatu
institusi. serta individu lain. Depresi terjadi ketika pasien menyadari bahwa orang
atau idealisme yang menjadi tujuan hidup mereka tidak akan pernah membcri
respons sesuai dengan tcrpenuhinya keinginan mereka. Konsep Heinz Kohut
mengenai depresi berasal dari teori psikologis diri, bertumpu pada asumsi bahwa
diri yang sedang berkembang memiliki kebutuhan spesifik yang harus dipenuhi
orang tua untuk memberikan anak rasa harga diri dan keutuhan diri yang positif.
Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi. akan terdapat kehilangan masih harga diri
yang muncul sebagai depresi. John Bowlby meyakini bahwa kelekatan dini yang
rusak dan perpisahan traumatik di masa kanak-kanak adalah predisposisi depresiKehilangan pada orang dewasadikatakan menghidupkan kembali kehilangan
masa kanak yang traumatik sehingga mempresipitasi episode depresi saat dewasa.
Faktor Psikodinamik Mania
Sebagian besar teori mania memandang episode manik sebagai
pertahanan terhadap depresi yang mendasari. Contohnya. Karl Abraham meyakini
bahwaepisode manik dapat mencerminkan ketidakmampuan menoleransi suatu
tragedi perkembangan, misalnya kehilangan orang tua. Keadaan manik juga dapat
terjadi akibat superego yang bersifat tirani, yang menghasilkan kritik diri yang
tidak dapat ditoleransi yang kemudian digantikan kepuasan diri yang bersifat
cuforia. Bertram Lewin menganggap ego pasien manik dibanjiri impuls yang
menyenangkan seperti seks atau impuls yang ditakuti seperti agresi. Klein juga
memandang mania sebagai reaksi defensi terhadap depresi dengan menggunakan
defense manik seperti omnipoten, schingga orang tersebut memiliki waham
kebesaran.
Formulasi Lain Depresi
Teori Kognitif. Menurut teori kognitif, depresi terjadi akibat distorsi
kognitif spesifik yang terdapat pada seseorang yang rentan terhadap depresi.
Distorsi tersebut, yang disebut sebagai depressogenic schemata, merupakan
cetakan kognitif yang menerima data internal maupun eksternal dengan cara yang
diubah oleh pengalaman sebelumnya. Beck memberikan postulat trias kognitif

depresi yang terdiri atas: (l)pandangan mengenai diri aturan-diri yang negatif,
(2) mengenai lingkungankecenderungan mengalami dunia sebagai sesuatu yang
memusuhi dan menunlut, dan (3) mengenai masadepanharapan mengenai
penderitaan dan kegagalan. Terapi mencakup modifikasi distorsi ini.
Ketidakberdayaan yang Dipelajari
Teori ketidakberdayaan yang dipelajari pada depresi menghubungkan
fenomena depresif dengan pengalaman peristiwa yang tidak dapat dikendalikan.
Contohnya, ketika anjing di laboralorium terpajan syok listrik dan tidak dapat
melarikan diri, anjing tersebut akan menunjukkan perilaku yang berbeda dengan
anjing yang tidak pernah terpajan peristiwa yang tidak dapat dikendalikan
tersebut. Setelah pajanan terhadap syok listrik, anjing itu tidak akan menembus
batas

untuk

menghentikan

arus

listrik

ketika

ditempatkan

padasituasi

pembelajaranyangbaru. Menurut teori ketidakberdayaan yang dipelajari, anjing


belajar bahwa hasil tidak bergantung pada respons, jadi anjing ini memiliki defisit
motivasi kognitif (yi., anjing ini tidak akan berupaya melarikan diri dari syok
listrik) dan defisit emosi (menunjukkan penurunan reaktivitas terhadap syok).
Dalam pandangan yang diformulasikan kembali mengenai ketidakberdayaan yang
dipelajari, jikaditerapkan pada depresi manusia, penjelasan kausal internal
dianggap menyebab-kan hilangnya harga diri selelah peristiwa eksternal yang
tidak diinginkan. Ahli perilaku yang menganut teori tersebut menekan-kan bahwa
perbaikan depresi bergantung pada pembelajaran pasicn mengenai rasa kendali
dan penguasaan lingkungan.
DIAGNOSIS
Selain kriteria diagnostik gangguan depresif berat dan gangguan bipolar.
DSM-IV-TR memasukkan kriteria spesifik episode mood (label 12.1-2 sampai
12.1-5) dan kriteria keparahan ('label 12.1-6 sampai 12.1-8) untuk memenuhi
episode tcrkini.
Gangguan Depresif Berat
DSM-IV-TR menyusun kriieria episode depresif berat terpisah dari
kriieria diagnostik untuk diagnosis tcrkait depresi (Tabel12.1-2) dan juga
menyusun daftar gambaran keparahan episode depresi berat (Tabel 12.1-6).

Tabel 12.1-2 Kriteria DSM-IV-TR Episode Depresif Berat


A. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada selama periode
waktu 2 minggu dan menunjukkan perubahan fungsi
sebelumnya; setidaknya satu gejalanya adalah (1) mood
menurun atau (2) kehilangan minat atau kesenangan.
Catatan: jangan memasukkan gejala yang jelasjelasdisebabkan kondisi medis umum, atau waham atau
balusinas yang tidak kongruen mood.
(1) mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiaphari,
seperti yang ditunjukkan baik melalui laporan subjektif
(cth., perasaan sedih atau kosong) ataupengamatan orang
lain (cth., tampak bersedih), Catatan:pada anak dan
remaja, bisa berupa mood iritabel,
(2) menumnnya minat atau kesenangan yang nyata pada
semua, atau hampir semua aktivitas hampir sepanjang
hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan
laporansubjektif atau pengamatan orang lain).
(3) penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak
diet atau berat badan bertambah (cth., perubahan lebih
dari 5% berat badan dalam sebulan), atau menurun
maupun meningkatnya nafsu makan hampir setiap hari.
Catatan: pada anak, pertimbangkan adanya kegagalan
mencapai berat badan yang diharapkan.
(4) insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari
(5) agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat
diamati orang lain, tidak hanya perasaan subjektif adanya
kegelisahan atau menjadi lebih lamban).
(6) lelah atau hilangenergi hampir setiap hari
(7) perasaan tidak berarti atau rasa bersalah yang tidak sesuai
atau berlebihan (yang dapat menyerupai waham) hampir
setiap hari (tidak hanya menyalahkan diri atau rasa
bersalah karena sakit)
(8) menurunnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi,
atau keragu-raguan hampir setiap hari (balk
laporansubjektif atau diamati orang lain)
(9) pikiran berulang mengenai kematian (bukan hanya rasa
takut mati), gagasan bunuh diri berulang tanpa suatu
rencana yang spesifik, atau upaya bunuh diri atau suatu
rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
B. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran

C. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara kiln is


bermakna atau hendaya di dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau area fungsi lain.
D. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat
(cth., penyalahgunaan obat, pengobatan), atau kondisi medis
umum (cth., hipotiroidisme).
E. Gejala sebaiknya tidak disebabkan berkabung, yi., setalah
kehilangan orang yang dicintai, gejala bertahan hingga lebih
lama dari 2 bulan, atau ditandai hendaya fungsi yang
nyata,preokupasi patologis mengenai ketidakberartian,
gagasan bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi
psikomotor.
Dari. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual
of Mental -Disorder 4thed Text rev Washinglon. DC: Arnerican Psychiatric
Association; copyright 2000, dengan izin.
Gangguan Depresif Berat, Episode Tunggal. DSM-IV-TR mencntukan
kriteria diagnostik episode pertama gangguan depresif berat (Tabcl 12.1-9).
Pcmbcdaari pasien ini dengan
Tabel 12 1-3 Kriteria DSM-IV-TR Episode Manik
A. Periode terpisah mood yang secara abnormal dan persisten
meningkat, ekspansif, atau iritabel yang berlangsung hingga
setidaknya 1 minggu (atau berapa pun lama waktunya
jikamemerlukan rawat inap).
B. Selama periode gangguan mood, tiga (atau lebih) gejala berikut telah
ada (empat gejala jika mood hanya iritabel) dan signifikan:
(1) harga diri membumbung atau rasa kebesaran
(2) berkurangnya kebutuhan tidur (cth., merasa telah beristirahat
setelah tidur hanya 3 jam)
(3) lebih banyak berbicara daripada biasanya atau ada tekanan untuk
terus berbicara
(4) flight of ideas atau pengalaman subjektif bahwa pikiran-rtya
saling berlomba
(5) perhatian mudah teralih (yi., perhatian terlalu mudah ditarik ke
stimulus eksternal yang tidak penting dan tidak relevan)
(6) meningkatnya aktivitasyang berorieniasi tujuan (baik secara
sosial, di tempatkerja atau sekolah, maupun secara seksual) atau

agitasi psikomotor
(7) keterlibatan yang berlebihan di dalam aktivitas yang
menyenangkan dan berpotensi tinggi memiliki akibat
menyakitkan (cth., terlibat di dalam kegiatan berbelanja yang
tidak bisa ditahan, tindakan seksual yang tidak bijaksana, atau
investasi bisnis yang bodoh)
C. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran.
D. Gangguan mood cukup berat hingga menyebabkan hendaya nyata
fungsi pekerjaan maupun aktivitas atau hubungan sosial yang biasa
dengan orang lain, atau memerlukan rawat inapuntuk mencegah
mencelakakan diri sendiri atau orang lain,atau terdapat ciri psikotik.
E. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung suatuzat (cth.,
obat yang disalahgunakan, obat, atau terapi lain)atau kondisi medis
umum (cth., hipertiroidisme).
Catatan: Episode menyerupai manik yang secara nyata disebabkan
terapi antidepresan somatik (cth., obat, terapielektrokonvulsif, terapi
cahaya) sebaiknya tidak dimasukkanke dalam diagnosis gangguan
bipolar I.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder. 4,h ed. Text rev. Washington, DC: American
Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin.
pasien yang memiliki dua atau lebih episode gangguan depresif berat dibenarkan
karena perjalanan gangguan yang tidak jelas pada pasien yang hanya mengalami
episode tunggal. Sejumlah studi melaporkan data yang konsisten dengan dugaan
bahwa depresi berat melingkupi suatu populasi gangguan yang heterogen. Satu
tipe studi mengkaji stabilitas diagnosis depresi berat pada pasien selama beberapa
waktu. Studi tersebut menemukan bahwa 25 sampai 50% pasien kemudian
digolongkan kembali ternyata mengalami
Tabel 12.1-4 Kriteria DSM-IV-TR Episode Hipomanik
A. Periode terpisah mood yang secara persisten meningkat,ekspansif,
atau iritabel, berlangsung hingga setidaknya4 hari,yang secara nyata
berbeda dari mood nondepresi yang biasa.
B. Selama periode gangguan mood, tiga (atau Iebih) gejala berikut
telah ada (empat gejala jika mood hanya iritabel) dan
signifikan:
(1) harga diri yang membumbung atau rasa kebesaran
(2) berkurangnya kebutuhan tidur (cth., merasa telah beristirahat
setelah tidur hanya 3 jam)
(3) Iebih banyak berbicara daripada biasanya atau ada tekanan

untuk terus berbicara


(4) flight of ideas atau pengalaman subjektif bahwa
pikirannya saling berlomba
(5) perhatian mudah teralih (yi., perhatian terialu mudah ditarik ke
stimulus eksternal yang tidak penting dan tidak relevan)
(6) meningkatnya aktivitas yang berorientasi tujuan (baiksecara
sosial, di tempat kerja atau sekolah, atau secaraseksual) atau
agitasi psikomotor
(7) keterlibatan
yang
berlebihan
di
dalam
aktivitas
yangmenyenangkan
dan
berpotensi
tinggi
memiliki
akibatmenyakitkan (cth., terlibat di dalam kegiatan berbelanja
yang tidak bisa ditahan, tindakan seksual yang tidakbijaksana,
atau investasi bisnis yang bodoh)
C. Episode ini disertai perubahan jelas fungsi yang tidak khas pada
orang tersebut ketika tidak bergejala.
D. Gangguan mood dan perubahan fungsi dapat diamati orang lain.
E. Episode ini tidak cukup berat untuk menimbulkan hendaya nyata
fungsi pekerjaan dan sosial, atau memerlukan rawatinap, dan tanpa
ciri psikotik.
F. Gejala tidakdisebabkan pengaruh fisiologis langsung suatuzat (cth.,
obatyang disalahgunakan, obat, atau terapl lain)atau kondisi medis
umum (cth., hipertiroidisme).
Catalan: Episode menyerupai hipomanik yang secara
nyatadisebabkan terapi antidepresan somatik (cth., obat,
terapielektrokonvulsif, terapi cahaya) sebaiknya tidak dimasukkanke
dalam diagnosis gangguan bipolar II.
Dari American Psychiatric Associaiion. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American
Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin.
keadaan psikiatri yang berbeda atau keadaan medis nonpsikiatri yang disertai
gejala psikiatri. Tipe studi kedua mengevaluasi kerabat derajat pertama orang
yang terkena gangguan untuk menentukan keberadaan dan jenis diagnosis
psikiatri pada keluarga ini selama beberapa waktu. Kedua tipe studi menemukan
bahwa pasien depresi dengan gejala depresif yang lebih banyak, lebih cenderung
memiliki diagnosis yang stabil dari waktu ke waktu dan lebih cenderung memiliki
keluarga yangterkena gangguan daripada pasien depresi dengan gejala depresif
yang lebih sedikit. Pasien gangguan bipolar 1 dan gangguan bipolar II (episode
depresif berat berulang dengan hipomania) juga lebih cenderung memiliki
diagnosis yang stabil dari waktu ke waktu.
GangguanDepresif Berat, Berulang
Pasien yang mengalami setidaknya episode kedua depresi pada DSM-IV-

TR digolongkan memiliki gangguan depresif berat, berulang (Tabel 12.1-10).


Masalah utama dalam mendiagnosis episode gangguan depresif mayor rekuren
adalah memilih kriteria untuk menunjukkan perbaikan masing-masing periode.
Dua variabel adalah derajat gejala dan lama perbaikan. DSM-IV-TR mengharuskan bahwa episode depresi yang khas dipisahkan oleh setidaknya 2 bulan
dan pasien tidak memiliki gejala depresi yang bermakna.
Tabel 12.1-5 Kriteria DSM-IV-TR Episode Campuran
A. Kriteria memenuhi episode manik dan episode depresif berat
(kecuali lamanya) hampir sctiap hari selama periodesetidaknya
1 minggu.
B. Gangguan mood cukup berat hingga menyebabkan hendaya
nyata fungsi pekcrjaan atau aktivitas atau hubungan sosialyang
biasa dengan orang lain, atau memerlukan rawat inap untuk
mencegahmencelakakan diri sendiri atau orang Iain, ..alau
terdapatciripsikotik.
C. Gejala tidakdisebabkan pengaruh fisiologis langsung suatu zat
(cth., obatyang disalahgunakan, obat, atau terapi lain) atau
kondisi medis umum (cth., hipertiroidisme).
Catatan: Episode lir-campuran yang secara nyata disebabkan
terapi antidepresan somatik (cth., obat, terapi elektrokonvulsif,
terapi cahaya) sebaiknya ticlak dimasukkan ke dalam diagnosis
gangguan bipolar 1.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder. 4thed. Text rev.
Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright
2000, dengan izin.

Gangguan Bipolar 1
DSM-IV-TR berisi daftar kriteria terpisah episode manik (Tabel 12.1-3).
Kriteria DSM-IV-TR membutuhkan adanya suatu periode mood abnormal yang
khas dan bertahan sedikitnya selama I minggu dan mencakup diagnosis gangguan
bipolar 1 yang terpisah untuk satu episode manik dan jenis episode berulang
khusus, berdasarkan gejala episode terkini.

Sebutan gangguan bipolar I sinonim dengan yang dikenal sebagai


gangguan bipolaryaitu suatu sindrom dengan seluruh gejala mania terjadi selama
perjalanan gangguan ini. DSM-IV-TR merumuskan kriteria diagnostik gangguan
bipolar II; gangguan ini ditandai dengan episode depresif dan episode hipomanik
(Tabel 12.1-4) selama perjalanan gangguan, tetapi episode gejala lirmanik tidak
benar-benar memenuhi kriteria seluruh sindrom manik.
DSM-IV-TR secara spesifik menyatakan bahwa episode manik yang
dengan jelas dicetuskan terapi antidepresan (contoh-nya, farmakoterapi. terapi
elektokonvulsiff [ECT]) tidak me-nunjukkan adanya gangguan bipolar I.
Gangguan Bipolar I, Episode Manik Tunggal
Menurut DSM-IV-TR, pasien hams mengalami episode manik yang
pertama untuk memenuhi kriteria diagnostik gangguan bipolar I, episode manik
tunggal (Tabel 12.1-11). Persyaratan ini berdasarkan fakta bahwa pasien yang
mengalami episode pertama gangguan bipolar I depresi tidak dapat dibedakan
dengan pasien dengan gangguan depresif berat.
Gangguan Bipolar I, Berulang
Persoalan mengenai pe-nentuan akhir suatu episode depresi juga
diterapkan untuk me-nentukan akhir suatu episode mania. Dalam DSM-IV-TR,
episode dianggap terpisah jika dipisahkan selama setidaknya 2 bulan tanpa gejala
mania atau hipomaniayang bermakna. DSM-IV-TR menentukan kriteria
diagnostik gangguan bipolar 1 berulang berdasarkan gejala episode terkini:
gangguan bipolar I, episode terkini manik (Tabel 12.1-12); gangguan bipolar I,
episode terkinihipomanik (Tabel 12-13); gangguan bipolar 1. episode terkini
depresi (Tabel 12.1-14);. gangguan bipolar I, episode terkini campuran (12.1-15);
gangguan bipolar I. episode terkini tidak tergolongkan (Tabel 12.1-16).
Tabel 12.1-6 Kriteria DSM-IV-TR untuk Keparahan/Psikotik/
Remisi Episode Depresif Berat Kini (atau Terkini)
Catalan: Kode pada digit kelima. Ringan, sedang, berat tanpa ciri
psikotik, dan berat dengan ciri psikotik dapat diterapkan hanya jika
kriteria saat ini memenuhi episode depresi berat. Pada remisi parsial
dan remisi penuh dapat diterapkan untuk episode depresi berat terkini
pada gangguan depresi berat dan episode depresi berat pada gangguan
bipolar I dan II hanya jika hal ini adalah tipe episode mood terkini.

Ringan: Cejala sedikit, jika ada, lebih banyak daripada gejala yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis, dan gejala hanya
menimbulkan hendaya ringan fungsi pekerjaan atau pada aktivitas
sosial yang biasa atau hubungan dengan orang lain. Sedang: Cejala
atau hendaya fungsional di antara "ringan" dan "berat".
Berat tanpa ciri psikotik: Sejumlah gejala lebih banyak dari gejala
yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, dan gejala secara
nyata mengganggu fungsi pekerjaan atau mengganggu aktivitas sosial
yang biasa atau hubungan dengan orang lain.
Berat dengan ciri psikotik: Waham atau halusinasi. Jika mungkin,
tentukan apakah ciri psikotik kongruen mood atau tidak kongruen
mood:
Ciri psikotik kongruen mood: Waham atau halusinasi yang
seluruh isinya konsisten dengan tema depresif khas yaitu
ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian,
nihilisme, atau hukuman yang pantas.
Ciri psikotik tidak kongruen mood: Waham atau halusinasi
yang isinya tidak meliputi tema depresif khas yaitu
ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian,
nihilisme, atau hukuman yang pantas. Waham yang termasuk
adalah gejala seperti waham kejar (tidak terkait langsung
dengan tema depresi), insersi pikiran, siarpikiran, dan waham
kendali.
Dalam remisi parsial: Cejala episode depresi berat ada tetapi kriteria
tidak terpenuhi secara lengkap, atau terdapat periode tanpa gejala
episode depresi berat yang bermakna dan bertahan kurang dari 2
bulan setelah akhir episode depresif berat (jika episode depresif berat
tumpang tindih dengan gangguan distimik, hanya ditegakkan
diagnosis gangguan distimik jika semua kriteria episode depresif
berat tidak lagi terpenuhi).
Dalam remisi penuh: Selama 2 bulan terakhir, tidak ada tanda atau
gejala gangguan.
Tidak tergolongkan.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder. 4th ed. Text rev. Washington, DC:
American Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin
GangguanBipolar II
Kriteria diagnostik gangguan bipolar 11 menentukan keparahan. frekuensi,
serta

lama

gejala

hipomanik

tertentu.

Kriteria

diagnostik

episode

hipomanikdisusun terpisah dengan kriteria gangguan bipolar II Kriteria


ditetapkanuntuk menurunkan diagnosis berlebihan episode hipomanik serta
penggolongan yang tidak benar untuk pasien dengan gangguan depresif berat
sebagai gangguan bipolar II. Secara klinis, psikiater mungkin merasa sulit
membedakan eutimia dengan hipomania pada pasien depresi kronis selama
beberapa bulan atau tahun. Seperti pada gangguan bipolar I, episode hipomanik
yang di-cetuskan antidepresan tidak bersifat diagnostik untuk gangguan bipolar
II.
Poin Penentu yang Menggambarkan Episode Terkini
Di samping poin penentu keparahan/psikotik/remisi, DSM-1V-TR
mendefinisikan ciri gejala tambahan yang dapat digunakan untuk mengambarkan
pasien dengan berbagai gangguan mood. Dua ciri lintas bagian (melankolik dan
atipikal) terbatas untuk menggambarkan episode depresif. Dua ciri lain (ciri
katatonik dan dengan awitan pascamelahirkan) dapat diterapkan untuk
menggambarkan episode depresif dan manik.
Dengan Ciri Psikotik
Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan
penyakit yang parah dan merupakan indikatorprognostik yang buruk. Para klinisi
dan peneliti membedakan penyakit depresif selama terdapat gangguan psikotikneurotik.

Sebuah

tinjauan

literaturyang

membandingkan

gangguan

depresifberatnonpsikotik dengan psikotikmenunjukkan bahwa kedua keadaan


tersebut dapat berbeda patogenesisnya. Satu perbedaan adalah gangguan bipolar I
lebih lazim terjadi di dalam keluarga proban dengan depresi psikotik daripada
keluarga proban dengan depresi nonpsikotik.
Gejala psikotik sendiri umumnya dikategorikan sebagai kongruen, yaitu
moodyang konsisten dengan gangguan mood, contoh-nya"'saya pantasdihukum
karena sayajahat"; atau tidak kongruen. yaitu mood yang tidak konsisten dengan
gangguan mood. Pasien gangguan mood dengan psikosis moodyang kongruen
merupakan gangguan mood tipe psikotik; sedangkan pasien gangguan mood
dengan gejala psikotik moodyang tidak kongruen dapat merupakan gangguan
skizoafektif atau skizofrenia.

Faktor berikut ini dikaitkan dengan prognosis buruk pasien dengan


gangguan mood: durasi lama pada setiap episode, disosiasi temporal antara
gangguan mood dan gejala psikotik, serta riwayatpremorbid buruk dalam
penyesuaian sosial. Adanya ciri psikotik jiiga memiliki implikasi lerapi yang
bermakna. Pasien ini secara khas membutuhkan obat antipsikotik di samping
antidepresan dan mungkin.membutuhkan terapi elektokonvulsiff untuk mendapatkan perbaikan klinis.
Dengan Ciri Melankolik
Di dalam literatur mengenai ciri melankolik depresi, sekitar 10 sistem
telah diajukan, dengan hampir tiga kali kriteria spesifik untuk gejala dan penentu
per-jalanan gangguan. Ketika kurangnya data yang cukup dan studi perbandingan
yang adekuat untuk setiap sistem tersebut, setiap keputusan mengenai kriteria
spesifik sangat berubah-ubah. Lebih lagi, sifat berubah-ubah pada keputusan ini
belum berhasil men-cegah seringnya perubahan definisi melankolia yang secara
resmi diterima. Kepentingan potensial di dalam mengidentifikasi ciri melankolik
episode depresifberat adalah untuk mengidentifikasi sekelompok pasien dengan
sejumlah data yang menunjukkan lebih responsif terhadap farmakoterapi daripada
pasien depresi nonmelankolik. Ciri melankolik DSM-IV-TR dapat diterapkan
unluk episode depresif berat dalam gangguan depresif berat, gangguan bipolar I,
atau gangguan bipolar II
Dengan Ciri Atipikal
Pengenalan terhadap depresi dengan ciri atipikal yang telah didefinisikan
dengan resmi, adalah respons terhadap riset dan data klinis yang menunjukkan
bahwa pasien dengan ciri atipikal memiliki ciri yang spesifik dan dapat diduga
yaitu: makan berlebihan dan tidur berlebihan. Gejala ini kadang-kadang disebut
gejala vegetatifkebalikan dan pola gejala kadang-kadang disebut disforia
histeroid. Ketika pasien gangguan depresifberat dengan ciri ini dibandingkan
dengan pasien tanpa ciri tersebut, pasien dengan ciri atipikal ditemukan memiliki
awitan usia yang lebih muda, derajat perlambatan psikomotor yang lebih parah,
serta lebih sering memiliki diagnosis lain yang bersamaan yaitu gangguan panik.
penyalahgunaan atau keter-gantungan zat, serta gangguan somatisasi. Insiden

yang tinggi serta keparahan gejala ansietas pada pasien dengan ciri atipikal pada
sejumlah riset dikaitkan dengan kecenderungan salah digolongkan sebagai
gangguan ansietas bukannya gangguan mood. Pasien dengan ciri atipikal juga
dapat cenderung mengalami perjalanan gangguan yang lama, diagnosis gangguan
bipolar I, atau pola musiman pada gangguan mereka. Implikasi terapi utama pada
pasien dengan ciri atipikal adalah bahwa mereka cenderung metnberikan respons
terhadap inhibitor monoamin oksidase (MAOI) daripada obat trisiklik.
Saat ini, signifikansi ciri atipikal inasih tetap kontroversial, seperti juga
respons terapi MAOI yang lebih dipilih. Lebih lagi, tidak adanya kriteria
diagnostik spesifik membatasi kemampuan peneliti untuk mengkaji validitas
kriteria serta prevalensi gangguan serta untuk memastikan keberadaan faktor
biologis atau psiko-logis lain yang dapat membedakannya dengan polagejala lain.
Ciri atipikal DSM-IV-TR dapat diterapkan pada episode depresif berat
terkini, gangguan bipolar 1, gangguan bipolar II, atau gangguan distimik
Dengan Ciri Katatonik
Keputusan untuk memasukkan klasifikasi khusus ciri katatonik di dalam
kategori

gangguan

wooc/didorongoleh2

faktor.

Pertamakarenapengarang

bermaksud agar DSM-IV-TR berfungsi sebagai pedoman di dalam membuat


diagnosis banding gangguan jiwa, pencantuman tipe katatonik pada gangguan
mood membantu keseimbangan adanya tipe katatonik pada gangguan skizofrenia.
Sebagai suatu gejala, katatonia dapat ada pada beberapa gangguan jiwa, paling
lazim skizofrenia serta gangguan mood. Kedua, Walaupun saat ini belum tuntas
dipelajari, adanya ciri katatonik pada pasien dengan gangguan moorf mungkin
akan terlihat memiliki maknaterapi dan prognostik.
Gejala penting/khas katatoniayaitu keadaan stupor, afek tumpul,
penarikan diri yang hebat, serta retardasi psikomotor yang nyatadapat dilihat
pada skizofrenia katatonik dan non-katatonik, gangguan depresif berat (sering
dengan ciri psikotik), serta gangguan medis dan neurolpgis, tetapi gejala
katatonik murigkin paling lazim dikaitkan dengan gangguan bipolar I. Klinisi
sering tidak mengaitkan gejala katatonik dengan gangguan ini karena perbedaan
yang nyata antara gejala katatonia stupor dengan gejala klasik mania. Oleh karena

gejala katatonik merupa-kan sindrom perilaku yang muncul pada sejumlah


keadaan medisdan psikiatri, gejala katatonik tidak menunjukkan suatu diagnosis
secaralangsung. Dalam DSM-IV-TR, ciri katatonik dapat diterapkan pada episode
manik terkini atau episode depresif berat dalam gangguan depresif berat.
gangguan bipolar I. atau gangguan bipolar II.
Awitan Pascamelahirkan
DSM-IV-TR memungkinkan spesifikasi gangguan mood pascamelahirkan
jika awitan gejala terjadidalam 4 minggu pascamelahirkan (Tabel 12. l-2l).
Gangguan jiwa pascamelahirkan umumnya meliputi gejala psikotik seperti
halusinasi dan vvaham. Lihat halaman 182 untuk pem-bahasan lengkap mengenai
gangguan ini.
Kronik
DSM-IV-TR memungkinkan spesifikasi kronik untuk menggambarkan
episode depresif berat yang terjadi sebagai bagian dari gangguan depresif berat,
gangguan bipolar I, dan gangguan bipolar.
Menggambarkan Perjalanan Episode Berulang
DSM-IV-TR memasukkan kriteria untuk tiga poin penentu perjalanan
gangguan yang khas untuk gangguan mood. Salah satu penentu perjalanan
gangguan, dengan siklus cepat terbatas untuk gangguan bipolar I dan gangguan
bipolar II.
Dua poin penentu lainnya, dengan pola musiman dan dengan atau tanpa
pemulihan sempurna antarepisode dapat diterapkan untuk gangguan bipolar I,
gangguan bipolar II. dan gangguan depresif berat, berulang. Poin penentu
perjalanan gangguan dengan awitan pascamelahirkan dapat diterapkan untuk
episode depresif berat atau episode manikpada gangguan bipolar I. gangguan
bipolar II. gangguan depresif berat, serta gangguan psikotiksingkat.
Siklus Cepat. Pasien dengan gangguan bipolar I dengan siklus yang cepat
cenderung perempuan dan memiliki episodedepresif serta hipomanik. Tidak ada
data yang menunjukkan siklus yang cepat memiliki pewarisan pola familial,
sehingga faktor eksternal seperti stres atau terapi obat dapat terlibat di dalam
patogenesis siklus cepat. Kriteria DSM-IV-TR menentukan bahwa pasien harus

memiliki setidaknya empat episode dalam periode 12 bulan.


Pola musiman. Pasien gangguan mood dengan pola musiman cenderung
mengalami episode depresif selama suatu musim tertentu, paling sering musim
dingin. Pola ini telah dikenal sebagai gangguan afektif pola musiman, Walaupun
istilah ini tidak digunakan di dalam DSM-IV-TR (Tabel 12.1-24). Duajenis bukti
menunjukkan bahwa pola musiman dapat menunjukkan entitas diagnosis yang
terpisah. Pertama, pasien cenderung berespons terhadap terapi dengan terapi
cahaya, Walaupun studi yang adekuat untuk mengevaluasi terapi cahaya pada
pasien depresi tanpa pola musiman belum dilakukan. Kedua, satu studi PET
menunjukkan bahwa pasien menunjukkan aktivitas metabolik yang menurun di
korteks frontal orbital dan di lobulus parietal inferior kiri. Studi di masa
mendatang mungkin akan terpusat dalam membedakan antara pasien depresi
dengan pola musiman dan pasien depresi lain.
Poin

Penentu

Perjalanan

Longitudinal.DSM-IV-TRmemasukkan

deskripsi spesifik mengenai perjalanan longitudinal gangguan depresif berat,


gangguan bipolar I, dan gangguan bipolar II (Tabel 12.1-25). Poin penentu
perjalanan longitudinal ini memungkinkan klinisi dan peneliti mengidentifikasi
secara prospektif setiap terapi atau kebermaknaan prognostik berbagai perjalanan
longitudinal. Walaupun studi pendahuluan poin penentu perjalanan longitudinal
DSM-IV-TR menunjukkan bahwa klinisi dapat mengkaji perjalanan longitudinal,
dibutuhkan studi yang lebih banyak dan lebih besar untuk mengembangkan penghargaan yang solid terhadap pengkajian dan implikasi variasi di dalam perjalanan
longitudinal.
GAMBARAN KLINIS
Dua pola gejala dasar di dalam gangguan mood adaiah gejala yang
terdapat pada depresi dan mania. Episode depresif dapat terjadi pada gangguan
depresif berat dan gangguan bipolar I. Pada banyak studi, para peneliti berupaya
mencari perbedaan yang dapat diandalkan antara gangguan bipolar I episode
depresif dan episode gangguan depresif berat, tetapi perbedaan tersebut sukar
ditentukan. Pada suatu situasi klinis, hanya riwayat pasien, rivvayat keluarga, dan
perjalanan gangguan masa mendatang yang dapat membantu membedakan kedua

keadaan tersebut. Sejumlah pasien dengan gangguan bipolar I memiliki keadaan


campuran dengan ciri manik dan depresif, serta beberapa dari mereka tampaknya
mengalami episode singkatbeberapa menit sampai beberapa jamepisode
depresi selama episode manik.
Episode Depresif
Moodyang depresif serta hilangnya minat atau kesenangan adaiah kunci
gejala depresi. Pasien dapat mengatakan bahwa mereka merasa sedih, tidak ada
harapan, bersusah hati, atau tidak ber-harga. Untuk seorang pasien, moodyang
depresif sering memiliki kualitas yang khas yang membedakannya dengan emosi
normal kesedihan atau berkabung. Pasien sering menggambarkan gejaladepresi
sebagai satu penderitaan emosi yang sangat mendalam serta kadang-kadang
mengeluh tidak dapat menangis, gejala yang pulih ketika pasien membaik.
Sekitar duapertiga pasien depresi berpikir untuk melakukan bunuh diri,
dan 10-15 % melakukan bunuh diri. Mereka yang baru-baru ini dirawat di rumah
sakit dengan percobaan bunuh diri atau memiliki gagasan bunuh diri mamiliki
risiko seumur hidup yang lebih besar untuk berhasil melakukan bunuh diri
daripada mereka yang belum pernah dirawat di rumah sakit. Beberapa pasien
depresi kadang-kadang tampak tidak menyadari depresi yang dialami dan tidak
mengeluhkan adanya gangguan mood, Walaupun mereka menunjukkan penarikan
diri dari keluarga, teman, dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi mereka.
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh berkurangnya energi; mereka
merasa sulit menyelesaikan tugas, terganggu di sekolah dan tempat kerja, serta
memiliki motivasi yang menurun untuk menangani proyek baru. Sekitar 80
persen pasien mengeluh sulit tidur, terutama terbangun sangat dini hari (yang
merupakan insomnia terminal) serta terbangun berulang di malam hari, saat
terbangun itu pasien merenungkan masalahnya. Banyak pasien mengalami
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan, tetapi pasien lain mengalami
peningkatan nafsu makan dan ke-naikan berat badan dan tidur yang lebih lama
dari biasanya. Pasien ini digolongkan dalam DSM-IV-TR memiliki ciri atipikal.
Ansietas adalah gejala depresi yang lazim dan mengenai 90% pasien
depresi. Berbagai perubahan asupan makanan dan istirahat dapat memperburuk

penyakit medis yang telah ada, misalnya diabetes, hipertensi, penyakit paru
obstruktif kronik, dan penyakit jantung. Gejala vegetatif lainnya adalah
menstruasi abnormal dan menurunnya minat serta kinerja di dalam aktivitas
seksual. Masalah seksuai kadang-kadang dapat menyebabkan salah merujuk,
misalnya konseling pernikahan dan terapi seks, ketika klinisi gagal me-ngenali
gangguan depresif yang mendasari. Ansietas (termasuk serangan panik).
penyalahgunaan alkohol, dan keluhan somatik (misalnya konstipasi dan sakit
kepala) sering mempersulit terapi depresi. Sekitar 50% pasien menunjukkan
adanya variasi gejala diurnal yang bertambah parah di pagi hari dan berkurang di
sore hari. Gejala kognitif mencakup laporan subjektif adanya ketidak-mampuan
berkonsentrasi (84 persen pasien di satu studi) serta hendaya dalam berpikir (67
persen pasien pada studi lain).
Depresi pada Anak dan Remaja
Fobia sekolah dan me-nempel terus pada orang tua dapat merupakan
gejala depresi pada anak. Buruknya kinerja di sekolah, penyalahgunaan zat,
perilaku antisosial, berganti-ganti pasangan seksual, bolos sekolah, dan melarikan
diri dapat menjadi gejala depresi pada remaja. (Topik ini akan dibahas lebih lanjut
dalam Bab 45).
Depresi pada Orang Lanjut Usia
Depresi lebih sering ditemukan pada orang lanjut usia daripada depresi
pada populasi umum. Berbagai studi melaporkan angka prevalensi berkisar dari
25 sampai hampir 50 %, Walaupun persentase kasus ini yang disebabkan
gangguan depresif berat tidak pasti. Sejumlah studi melaporkan data yang
menunjukkan bahwa depresi pada orang lanjut usia dapat berkaitan dengan status
sosioekomoni yang rendah. kematian pasangan, penyakit fisik yang juga sedang
ada, serta isolasi sosial. Studi lain menunjukkan bahwa depresi pada orang lanjut
usia kurang terdiagnosis dan tidak diobati. Terutamamungkin oleh dokterumum.
Tidak dikenalinya depresi pada orang lanjut usia dapat terjadi karena gangguan
lebih sering muncul dengan keluhan somatik pada kelompok usia yang lebih tua
dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda. Lebih jauh lagi,
diskriminasi terhadap usia dapat memengaruhi dan membuat mereka lebih

menerima gejala depresif sebagai hal yang normal pada pasien lanjut usia.
Episode Manik
Mood yang meningkat, ekspansif, atau iritabel adalah tanda khas episode
manik. Moodyang meningkat bersifat euforik dan sering menular serta bahkan
dapat menyebabkan penyangkalan counter-transferentid penyakit tersebut oleh
klinisi yang tidak ber-pengalaman. Walaupun orang yang tidak terlibat mungkin
tidak mengenali sifat mood pasien yang tidak biasa, orang yang mengenai pasien
menyadari bahwa hal tersebut tidak normal. Sebalik-nya, mood dapat iritabel,
khususnya ketika rencana seseorang yang ambisius dengan terang-terangan
dirintangi. Pasien sering menunjukkan perubahan mood yang dominan dari
euforia pada awal perjalanan penyakit menjadi iritabilitas di kemudian hari.
Terapi pasien manik di bangsal perawatan dapat dipersulit dengan
pengujian

mereka

terhadap

batasan

peraturan

bangsal,

ke-cenderungan

mengalihkan tanggung jawab terhadap perbuatan mereka kepada orang lain,


eksploitasi terhadap kelemahan orang lain, serta kecenderungan memecah-belah
petugas. Di luar rumah sakit, pasien maniksering meminum alkohol berlebihan.
mungkin sebagai upaya mengobati diri sendiri. Sifat disinhibisi pasien dicerminkan melalui penggunaan telepon yang berlebihan, terutama interlokal pada
waktu dini hari.
Judi patoiogis. kecenderungan menanggalkan pakaian di tempat umum,
menggunakan pakaian serta perhiasan dengan warna mencolok dengan kombinasi
yang tidak biasa atau aneh, serta ketidakpedulian terhadap hal-hal kecil (misalnya
lupa menutup telepon), juga merupakan gejala khas gangguan ini. Pasien
bertindak sccara impulsif dan di waktu bersamaan dengan rasayakindanbertujuan.
Pasien manik sering mem ilikipreokupasi terhadap gagasan keagamaan, politik,
keuangan, seksual, atau ide kejar yang dapat berubah menjadi sistem waham yang
rum it. Kadang-kadang, pasien manik mengalami regresi dan bermain-main
dengan urine serta fesesnya.
Mania pada Remaja
Mania pada remaja sering salah didiag-nosis sebagai gangguan
kepribadian antisosial atau skizofrenia. Gejala mania pada remaja dapat

mencakup psikosis, penyalahgunaan alkohol atau zat lain, upaya bunuh diri,
masalah akademik, pemikiran filosofis, gejala gangguan obsesif-kompulsif,
berbagai keluhan somatik, iritabilitas yang jelas sehingga mengakibatkan
perkelahian, dan perilaku antisosial lain. Walaupun banyak gejala ini ditemukan
pada remaja normal, gejala yang berat atau terus-menerus ada harus membuat
klinisi mempertimbangkan gangguan bipolar I sebagai diagnosis banding.
Gangguan Bipolar II
Gambaran klinis gangguan bipolar II adalah gambaran klinis pada
gangguan depresif berat ditambah dengan gambaran klinis episode hipomanik.
Walaupun data terbatas, sejumlah kecil studimenunjukkan bahwa gangguan
bipolar II dikaitkan dengan gang-guan perkawinan serta dengan awitan pada usia
yang lebih dini daripada gangguan bipolar I. Bukti juga menunjukkan bahwa
pasien dengan gangguan bipolar II memiliki risiko lebih tinggi untuk berusaha
dan melaksanakan bunuh diri daripada pasien dengan gangguan bipolar I serta
gangguan depresif berat.
Gangguan yang Timbul Bersamaan
Ansietas. Pada gangguan ansietas, DSM-IV-TR mencatat adanya
gangguan campuran ansietas-depresi. Gejala ansietas yang signifikan dapat dan
sering timbul bersama dengan gejala depresi yang signifikan. Apakah pasien yang
menunjukkan gejala ansietas dan depresi bermakna dipengaruhi dua proses
penyakit yang khas atau satu proses penyakit yang mengakibatkan kedua
rangkaian gejala, belum diketahui. Kedua jenis pasien tersebut dapat merupakan
kelompok pasien dengan gangguan campuran ansietas-depresi.
Ketergantungan Alkohol. Ketergantungan alkohol sering timbul bersama
dengan gangguan mood. Pasien dengan gangguan depresif berat dan pasien
dengan gangguan bipolar I cenderung memenuhi kriteria diagnostik gangguan
penggunaan alkohol. Data yang tersedia menunjukkan bahwa ketergantungan
alkohol pada perempuan lebih terkait dengan diagnosis depresi yang juga ada
daripada ketergantungan alkohol pada laki-laki. Sebaliknya. data genetik dan
keluarga mengenai laki-laki yang mengalami gangguan mood dan ketergantungan
alkohol menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung menderita dua proses

penyakit genetik yang berbeda.


Gangguan Terkait Zat Lain. Gangguan terkait zat selain ketergantungan
alkohol juga sering dikaitkan dengan gangguan mood. Penyalahgunaan zat
mungkin terlibat dalam mencetuskan suatu episode penyakit atau, sebaliknya,
dapat menunjukkan upaya penderita mengobati sendiri penyakit mereka.
Walaupun pasien manik jarang menggunakan sedatif untuk mengurangi euforia.
pasien depresi sering menggunakan stimulan. misalnya kokain dan amfetamin,
untuk meredakan depresi.
Keadaan Medis. Depresi lazim timbul bersamaan dengan keadaan medis,
terutama pada orang lanjut usia. Ketika depresi dan keadaan medis timbul
bersamaan. klinisi harus mencoba me-nentukan apakah keadaan medis yang
mendasari secara pato-fisiologis berkaitan dengan depresi atau apakah obat yang
pasien minum untuk suatu keadaan medis menyebabkan timbulnya depresi.
Banyak studi menunjukkan bahwa terapi gangguan depresif berat yang timbul
bersamaan dapat memperbaiki per-jalanan gangguan medis yang mendasari.
termasuk kanker.
PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Episode Depresif
Cambaran Umum. Retardasi psikomotor menyeluruh merupakan gejala
yang paling lazim timbul. Walaupun agitasi juga terlihat, terutama pada pasien
lanjut usia. Meremas-remas tangan dan menarik-narik ram but merupakan gejala
tersering agitasi.
Umumnya, pasien depresi memiliki postur tubuh yang bongkok. tidak ada
gerakan spontan, serta tatapan mata menghindar dengan memandang ke bawah.
Pada pemeriksaan klinis, pasien depresi yang menunjukkan gejala nyata retardasi
psikomotor dapat serupa dengan pasien skizofrenia katatonik. Fakta ini
dimasukkan dalam DSM-IV-TR sebagai gejala yang menyer-ipai "ciri katatonik"
pada berbagai gangguan mood.
Mood, Afek, dan Perasaan. Depresi merupakan kunci gejala, Walaupun
50% pasien menyangkal perasaan depresif serta secara umum tidak tampak
depresi. Anggota keluarga atau rekan kerja sering membawa atau mengirim

pasien ini untuk ditangani karena penarikan diri secara sosial dan aktivitas umum
yang berkurang.
Pembicaraan. Banyak pasien depresi yang mengalami penurunan laju
dan volume bicara; mereka memberikanjawab-an terhadap pertanyaan yang
hanya membutuhkan satu kata dan tampak terlambat menjawab pertanyaan.
Pemeriksa dapat menunggu hingga 2 atau 3 menit sebelum pertanyaannya
dijawab.
Gangguan Persepsi. Pasien depresi dengan waham atau halusinasi
dikatakan memiliki episode depresif berat dengan gambaran psikotik. Bahkan bila
tidak ditemukan waham atau halusinasi, beberapa klinisi menggunakan istilah
depresi psikotik terhadap pasien yang secara umum mengalami depresitidak
bersuara, tidak mandi, membuang kotoran sembarangan. Pasien tersebut lebih
baik dijelaskan memiliki ciri katatonik.
Waham dan halusinasi yang sesuai dengan mood depresi dikatakan
kongruen mood. Waham yang kongruen mood pada pasien depresi mencakup rasa
bersalah, berdosa, tidak berharga, miskin, gagal, dikejar, serta mengalami
penyakit somatik terminal (seperti kanker dan otak yang ''membusuk"). Waham
dan halusinasi pada pasien dengan gangguan mood tidak kongruen tidak sesuai
dengan mood depresi. Waham yang tidak kongruen mood pada orang depresi
meliputi tema kebesaran berupa kekuatan, pengetahuan, dan rasa berharga yang
berlebihanmisalnya, ke-yakinan bahwa seseorang disiksa karena ia merupakan
seorang Juruselamat. Walaupun relatif jarang, halusinasi dapat terjadi saat episode
depresi berat dengan ciri psikotik.
Isi Pikir. Pasien depresi umttmnya memiliki pandangan negatif mengenai
dunia dan diri mereka. Isi pikir mereka biasanya mencakup pikiran berulang yang
tidak bersifat waham mengenai kehilangan, rasa bersalah, bunuh diri, dan
kematian. Sekitar 10 persen pasien depresi memiliki gejala nyata gangguan
pikiran, biasanya berupa bloking pikiran dan sangat miskin isi pikir.
Sensorium dan Kognisi
ORIENTASI. Hampir seluruh pasien depresi masih memiliki orientasi
terhadap waktu. tempat, dan orang, Walaupun beberapa pasien mungkin tidak

memiliki cukup energi atau minat untuk menjawab pertanyaan mengenai hal ini
selama wawancara.
Memori. Sekitar 50 hingga 75 persen pasien depresi memiliki hendaya
kognitif. kadang-kadang disebut dengan istilah pseudo-demensia depresif. Pasien
ini sering mengeluh konsentrasi terganggu dan mudah lupa.
Kontrol Impuls. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien depresi melakukan
bunuh diri dan sekitar dua pertiga pasien memiliki ide bunuh diri. Pasien depresi
dengan ciri psikotik sering berpikir untuk membunuh orang lain sehubungan
dengan sistem waham-nya, tapi kebanyakan pasien depresi seringnya tidak
mempunyai motivasi atau kekuatan untuk bertindak secara impulsif atau kasar.
Pasien dengan gangguan depresif berisiko lebih tinggi ter-hadap bunuh diri saat
keadaan mereka membaik dan memperoleh kembali energi yang dibutuhkan
untuk merancang dan melakukan usaha bunuh diri (bunuh diri paradoks).
Peresepan antidepresan dalam jumlah besar kepada pasien depresi merupakan
tindakan klinis yang tidak bijak. terutama obat trisiklik, saat pasien di-pulangkan
dari rumah sakit.
Daya Nilai dan Tilikan. Daya nilai pasien paling baik di-periksa dengan
memperhatikan tindakan pasien di masa lalu serta perilaku mereka saat
wavvancara. Tilikan pasien depresi terhadap kelainan yang mereka alami
biasanya berlebihan; pasien melebih-lebihkan gejala, gangguan, dan masalah
hidup mereka. Sulit untuk meyakinkan pasien bahwa dapat terjadi perbaikan.
Taraf Dapat Dipercaya. Dalam wavvancara dan pem-bicaraan, pasien
depresi melebih-lebihkan hal yang buruk dan menutupi hal yang baik. Kesalahan
klinis yang sering terjadi adalah begitu saja mempercayai pasien yang mengaku
bahwa pengobatan antidepresan sebelumnya tidak berhasil. Pernyataan mereka
mungkin salah dan mereka mencari konfirmasi dari tempat lain. Psikiater
sebaiknya tidak melihat informasi pasien yangsalah ini sebagai kebohongan yang
dibuat-buat; penyampaian informasi yang membantu mungkin mustahil pada
seseorang dengan pikiran depresi.
Skala Penilaian Objektif Depresi. Skala penilaian objek-tif depresi dapat
berguna dalam praktik klinis untuk pencalatan keadaan klinis pasien depresi.

ZUNC. Skala Penilaian Depresi Zung adalah skala pelaporan 20 hal. Nilai
normal adalah 34 ke bawah; keadaan depresi adalah 50 ke atas. Nilai ini
memberikan indeks keseluruhan intensitas gejala pasien depresif, termasuk
ekspresi afektif depresi.
RASKIN. Skala Penilaian Depresi Raskin adalah skala penilaian klinis
yang mengukur keparahan depresi pada pasien, seperti yang dilaporkan pasien
dan diamati pemeriksa, dengan skala 5 poin yang mencakup tiga dimensi: laporan
verbal, perilaku yang terlihat, dan gejala yang menyertai. Skala ini memiliki
kisaran 3 hingga 13; nilai normal adalah 3 dan nilai depresi adalah 7 ke atas.
HAMILTON. Skala Penilaian Depresi Hamilton (HAM-D) merupakan
skala depresi yang digunakan secara luas dengan 24 hal. yang masing-masing
bemilai 0 hingga 4 atau 0 hingga 2, dengan total nilai 0 hingga 76. Klinisi
mengevaluasi jawaban pasien terhadap pertanyaan mengenai rasa bersalah,
pikiran bunuh diri kebiasaan tidur, dan gejala lain depresi. Angkadidapatkan
melalui penilaian klinis.
Episode Manik
CAMBARAN UMUM. Pasien manik tereksitasi, banyak bicara," kadang
menghibur, dan seringnya hiperaktif. Pada suatu waktu, mereka secara umum
psikotik dan terdisorganisasi serta mem-butuhkan pengikatan dan suntikan
intramuskular obat sedatif.
MOOD, AFEK,

DAN

PERASAAN. Pasien manik biasanya euforik, tapi

mereka mungkin juga iritabel, khususnya ketika muncul mania. Pasien ini juga
memiliki toleransi rendah terhadap frus-trasi, yang dapat mengarahkan ke rasa
marah dan bermusuhan. Pasien manik dapat labil secara emosi, berganti dari
tertawa ke iritabilitas ke depresi dalam hitungan menit atau jam.
PEMBICARAAN. Pasien manik tidak dapat disela ketika mereka sedang
berbicara, dan mereka sering menjadi/dianggap peng-ganggu bagi orang-orang di
sekeliling mereka. Pembicaraan mereka sering terganggu. Ketika mania menjadi
lebih intens, pembicaraan menjadi semakin keras, semakin cepat, dan sulit
diartikan, kemudian diisi dengan lelucon, sajak, bermain dengan kata-kata, serta
tidak relevan ketika keadaan mania semakin meningkat. Masih pada tingkat

aktivitas yang lebih besar, asosiasi menjadi longgar, kemampuan untuk


berkonsentrasi memudar. seria/light of ideas, word salad, dan neologismetimbul.
Pada cetusan manik akut, pembicaraan dapat benar-benar inkoheren dan tidak
dapat dibedakan dengan orang dengan skizofrenia.
GANGGUAN PERSEPSI. Waham timbul pada 75% pasien manik. Waham
manik yang kongruen mood sering berkenaan dengan kemakmuran, kemampuan
yang luar biasa, atau kekuatan. Waham bizardan tidak kongruen mood dan
halusinasi juga terjadi pada mania.
PIKIRAN. Isi pikir pasien mania mencakup tema kepercayaan diri dan
membesarkan diri. Pasien manik sering mudah teralih perhatiannya, dan fungsi
kognitif pada keadaan manik ditandai dengan arus gagasan yang tidak tertahan
dan dipercepat.
Sensorium Dan Kognisi. Walaupun de'fisit kognitif pasien skizofrenia
telah banyak didiskusikan. hanya sedikit tulisan tentang defisit yang serupa pada
pasien gangguan bipolar 1, yang dapat memiliki defisit kognitif ringan. Defisit
kognitif yang telah dilaporkan dapat diartikan mencerminkan disfungsi korteks
difus; penelitian berikutnya mungkin melokalisasi daerah abnormal. Secara kasar,
orientasi dan memori masih intak, Walaupun se-jumlah pasien manik dapat
sedemikian euforik hingga mereka menjawab dengan tidak benar. Emil Kraepelin
menyebut gejala ini sebagai "delirious mania".
KENDALI IMPULS. Sekitar 75 % pasien manik bersifat me-nyerang atau
mengancam. Pasien manik berupaya bunuh diri dan membunuh. tetapi insiden
perilaku ini tidak diketahui. Pasien yang mengancam orang penting (seperti
Presiden Amerika Serikat) lebih sering adalah pasien dengan gangguan bipolar I
daripada pasien dengan skizofrenia.
PENILAIAN

DANTILIKAN.

Gangguan dalam penilaian me-rupakan tanda

khas pasien manik. Mereka dapat melanggar hukum dalam hal kartu kredit,
aktivitas seksual, serta keuangan dan kadang-kadang melibatkan keluarga mereka
di dalam ke-hancuran keuangan mereka. Pasien manik juga memiiiki sedikit
tilikan terhadap gangguan mereka.
TARAF DAPAT DIPERCAYA. Pasien manik dikenal tidak dapat dipercaya

informasinya. Oleh karenaberbohong dan menipu lazim pada mania, klinisi yang
tidak berpengalaman mungkin mengobati pasien manik dengan sikap
meremehkan yang tidak sesuai.
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Depresif Berat
Gangguan Medis. Diagnosis gangguan mood pada DSM-IV-TR karena
keadaan medis menggambarkan gangguan mood yang disebabkan keadaan medis
nonpsikiatri. Diagnosis gangguan mood yang diinduksi zat pada DSM-IV-TR
menggambarkan gangguan mood yang disebabkan suatu zat. Kedua kategori
diagnostik ini didiskusikan pada Bagian 12.3.
Kegagalan

memperoleh

riwayat

klinis

yang

baik

atau

untuk

mempertimbangkan konteks situasi kehidupan pasien saat ini dapat menimbulkan


kesalahan diagnostik. Klinisi harus memeriksa remaja depresi terhadap
mononukleosis dan pasien yang secara nyata berberat badan berlebih atau kurang
harus diperiksa terhadap disfungsi adrenal dan tiroid. Homoseksual, laki-laki
biseksual. dan orang-orang yang menyalahgunakan zat intravena harus dites
untuk acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Pasien lanjut usia harus
diperiksa untuk pneumonia virus dan keadaan medis lain.
Banyak gangguan medis dan neurologis serta agen farmako-logis dapat
menimbulkan gejala depresi (lihat Tabel 12.3-8 pada Bagian 12.3). Pasien dengan
gangguan depresif sering datang pertama kali ke dokter umum untuk keluhan
somatik. Sebagian besar penyebab medis gangguan depresif dapat dideteksi
melalui anamnesis riwayat medis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan
neurologis, serta uji urine dan darah rutin. Pemeriksaan harus mencakup tes untuk
fungsi tiroid dan adrenal karena gangguan kedua sistem endokrin ini dapat timbul
sebagai gangguan depresif. Pada gangguan mood yang diinduksi zat, peraturan
baku yang masuk akal adalah setiap obat yang diminum oleh pasien depresi harus
dianggap sebagai faktor potensial dalam gangguan mood. Obat jantung.
antihipertensif, sedatif, hipnotik, antipsikotik, anti-epileptik, obat antiparkinson,
analgesik, antibakterial, dan anti-neoplastik sering menyebabkan gejala depresif.
KEADAAN NEUROLOGIS. Masalah neurologis paling lazim yang

menunjukkan gejala depresif adalah penyakit Parkinson, penyakit dementis


(termasuk demensia tipe Alzheimer), epilepsi, penyakit serebrovaskular. dan
tumor. Sekitar 50-75 % pasien dengan penyakit Parkinson memiiiki gejala
gangguan depresif nyata yang tidak berhubungan dengan derajat disabilitas fisik,
usia, atau durasi penyakit tetapi berhubungan dengan adanya ab-normalitas yang
ditemukan pada uji neurologis. Gejala gangguan depresif dapat ditutupi dengan
gejala motorik penyakit Parkinson yang hampir identik. Gejala depresif sering
berespons terhadap obat antidepresan atau ECT. Perubahan interiktal yang
berkaitan dengan epilepsi lobus temporalis dapat menyerupai gangguan depresif,
terutama jika fokus epileptik terjadi pada sisi kanan. Depresi adalah
gambaranpenyulit penyakit serebrovaskular yang paling lazim, terutama daJam 2
tahun setelah episode. Depresi lebih lazim pada lesi otak anterior daripada lesi
otak posterior dan di kedua kasus sering memberikan respons terhadap obat antidepresan.

Tumor

regio

diensefalik

dan

temporal

khususnyacende-rung

menyebabkan gejala gangguan depresif.


PSEUDODEMENSIA.

Klinisi

biasanya

dapat

membedakan

pseudodemensia pada gangguan depresif berat dengan demensia pada suatu


penyakit, seperti demensia tipe Alzheimer, dengan dasar medis. Gejala kognitif
pada gangguan depresif berat memiiiki awitan mendadak dan gejala gangguan
lain seperti menyalahkan diri juga timbul. Variasi diurnal masalah kognitif, yang
tidak ditemukan pada demensia primer, dapat terjadi. Pasien depresi dengan
kesulitan kognitif sering tidak mencoba untuk menjawab pertanyaan ("saya tidak
tahu"), sedangkan pasien demensia mungkin akan melakukan konfabulasi. Pada
pasien depresi, memori jangkapendek lebih sering terganggu dibanding-kan
dengan memori jangka panjang. Dan, selama wawancara, pasien depresi kadangkadang dapat diajari serta disemangati untuk mengingat, yaitu suatu kemampuan
yang tidak dimiliki pasien demensia.
GANGCUAN MOOD LAINNYA. Klinisi harus mempertimbangkan bahwa
kisaran kategori diagnosis DSM-IV-TR ada sebelum mencapai diagnosis akhir.
Pertama, mereka harus me-nyingkirkan dahulu gangguan mood yang disebabkan
keadaan medis umum dan gangguan moorfyang diinduksi zat. Selanjutnya, klinisi

harus menentukan apakah pasien tersebut pernah meng-alami episode gejala


mirip mania, yang menunjukkan gangguan bipolar I (sindrom depresi dan manik
lengkap), gangguan bipolar II (episode depresif berat berulang dengan
hipomania), atau gangguan siklotimik (sindrom depresif dan manik yang tidak
lengkap). Jika gejala pasien terbatas pada gejala depresi, klinisi harus meng-kaji
keparahan dan durasi gejala untuk membedakan antara gangguan depresif berat
(sindrom depresif lengkap selama 2 minggu), gangguan depresif ringan (sindrom
depresif tidak lengkap tetapi episodik), gangguan depresif singkat berulang
(sindrom depresif lengkap tetapi kurang dari 2 minggu per episode), dan
gangguan distimik (sindrom depresif tidak lengkap tanpa episode yang jelas).
Gangguan Jiwa Lain. Gangguan terkait zat, gangguan psikotik,
gangguan penyesuaian, gangguan somatoform, dan gangguan ansietas semuanya
lazim dikaitkan dengan gejala depresif dan harus dipertimbangkan di dalam
diagnosis banding pasien dengan gejala depresif. Mungkin diagnosis banding
yang paling sulit adalah antara gangguan ansietas dengan depresi dan gangguan
depresif dengan ansietas yang nyata. Kesulitan dalam membuat pembedaan ini
tercermin

dengan

dicantumkannya

diagnosis

gangguan

depresif-ansietas

campuran dalam DSM-IV-TR. Hasil DST abnormal, adanya latensi REM pada
EEG tidur, dan hasil negatif uji infus laktat menyokong diagnosis gangguan
depresif berat pada kasus yang terutama merepotkan.
BERKABUNG TANPA PENYULIT. Berkabung tanpa penyulit tidak
dianggap sebagai gangguan jiwa, Walaupun sekitar sepertiga suami/istri yang
berkabung untuk suatu waktu memenuhi kriteria diagnostik gangguan depresif
berat. Beberapa pasien yang berkabung tanpa penyulit mengalami gangguan
depresif berat tetapi diagnosis tidak ditegakkan kecuali perbaikan rasa berduka
tidak terjadi; pembedaan didasarkan pada keparahan dan lama gejala. Pada
gangguan depresif berat, gejala lazim berkabung yang timbul yang tidak membaik
merupakan preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, gagasan bunuh diri,
perasaan bahwa seseorang telah melakukan suatu tindakan (bukan hanya
kelalaian) yang menyebabkan pasangannya meninggal, mumifikasi (menyimpan
barang-barang orang yang meninggal tetap di tempatnya), dan reaksi peringatan

tahunan tertentu yang parah, yang kadang-kadang mencakup upaya bunuh diri.

Gangguan Bipolar I
Ketika pasien dengan gangguan bipolar I memiliki episode depresif,
diagnosis bandingnya sama dengan pasien yang diper-timbangkan untuk
diagnosis gangguan depresif berat. Meskipun demikian, ketika seorang pasien
adalah pasien manik, diagnosis bandingnya mencakup gangguan bipolar I,
gangguan bipolar II, gangguan siklotimik, gangguan mood yang disebabkan
keadaan medis umum, serta gangguan mood yang diinduksi zat. Untuk gejala
manik, gangguan kepribadian ambang, narsisistik, his-trionik, dan antisosial,
memerlukan pertimbangan khusus.
Skizofrenia. Sejumlah hal penting telah dipublikasikan mengenai
kesulitan klinis dalam membedakan episode manik dengan skizofrenia. Walaupun
sulit, diagnosis banding mungkin dapat ditegakkan dengan sedikit pedoman
klinis. Keriangan, elasi, dan mood yang dapat menular lebih lazim pada episode
manik dibandingkan skizofrenia. Kombinasi mood manik, bicara cepat dan
bertekanan, serta hiperaktivitas lebih berat ke arah diagnosis episode manik.
Awitan pada episode manik sering cepat dan dirasakan sebagai perubahan nyata
perilaku pasien sebelumnya. Setengah dari pasien dengan gangguan bipolar I
memiliki riwayat keluarga dengan gangguan mood. Ciri katatonik mungkin
merupakan fase depresif gangguan bipolar 1. Ketika mengevaluasi pasien dengan
katatonia, klinisi harus teliti mencari riwayat episode manik atau depresif dan
mencari riwayat gangguan mood di dalam keluarga. Gejala manik padaorangorang dari kelompok minoritas (terutama kulit hitam serta Hispanik) sering
disalahdiagnosis sebagai gejala skizofrenik.
Keadaan Medis. Berlawanan dengan gejala depresif, yang ada pada
hampir semua gangguan psikiatri, gejala manik lebih khas, Walaupun gejala
tersebut dapat ditimbulkan oleh kisaran luas keadaan medis dan neurologis serta
zat (Tabel 12.1-5). Terapi antidepresan juga dapat dikaitkan dengan cetusan mania
pada sejumlah pasien.

Gangguan Bipolar II
Diagnosis banding pasien yang sedang dievaluasi untuk gangguan mood
harus mencakup gangguan mood lain, gangguan psikotik, serta gangguan
ambang. Pembedaan antara gangguan depresif berat dengan gangguan bipolar I
dan pada sisi lain gangguan bipolar II bertumpu pada evaluasi klinis episode lirmania. Klinisi tidak boleh keliru antara eutimia pada pasien depresi kronis dengan
episode hipomanik atau manik. Pasien gangguan kepribadian ambang sering
mengalami gangguan hidup yang berat, serupa dengan pasien ganguan bipolar II,
karera episode multipel gejala gangguan mood yang bermakna.
PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSIS
Banyak studi mengenai perjalanan gangguan dan prognosis gangguan
mood menyimpulkan secara umum bahwa gangguan mood cenderung memiliki
perjalanan gangguan yang lama dan juga pasien cenderung kambuh. Walaupun
gangguan mood sering dianggap jinak, sebaliknya dengan skizofrenia, gangguan
mood menyebabkan kerusakan mencolok pada pasien yang mengalami-nya.
Kesimpulan lazim lain studi tersebut adalah bahwa stresor kehidupan lebih sering
mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya.
Temuan ini telah diartikan untuk menunjukkan bahwa stres pikososial mungkin
memainkan peranan di dalam penyebab awal gangguan mood dan bahwa,
Walaupun episode awal dapat membaik, perubahan biologi otak yang bertahan
lama memberikan pasien risiko yang lebih tinggi untuk mengalami episode
berikutnya.
Gangguan Depresif Berat
Perjalanan Gangguan
AWITAN. Sekitar 50 % pasien yang mengalami episode pertama
gangguan depresif berat memiliki gejala depresif yang bermakna sebelum episode
pertama yang diidentifikasi. Satu impiikasi observasi ini adalah bahwa
identifikasi awal dan terapi gejala awal dapat mencegah timbulnya episode
depresif penuh. Walaupun gejala mungkin telah ada, pasien dengan gangguan
depresif berat biasanya tidak memiliki gangguan kepribadian pramorbid. Episode
depresif pertama terjadi di usia 40"pada sekitar 50 % pasien. Awitan yang lebih

lambat terkait dengan tidak adanya riwayat gangguan mood di dalam keluarga,
gangguan kepribadian, dan penyalahgunaan alkohol.
LAMA GANGGUAN. Episode depresif yang tidak diobati akan bertahan 613 bulan; sebagian besar episode yang diobati bertahan sekitar selama 3 bulan.
Putus obat antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu mengakibatkan
kekambuhan gejala. Ketika perjalanan gangguan berkembang, pasien cenderung
mengalami episode lebih sering yang bertahan lebih lama. Selama periode 20
tahun, jumlah rerata episode adalah lima atau enam.
PERKEMBANGAN EPISODE MANIK. Sekitar 5-10% pasien dengan
diagnosis awal gangguan depresif berat mengalami episode manik 6 sampai 10
tahun setelah episode depresif pertama. Usia rerata perubahan ini adalah 32 tahun
dan sering terjadi setelah dua atau empat episode depresif. Walaupun data tidak
konsisten dan kontroversial, sejumlah klinisi melaporkan bahwa depresi pada
pasien

yang

kemudian

diklasifikasikan

memiliki

gangguan

bipolar

seringditandai dengan hypersomnia, retardasi psikomotor, gejala psikotik, riwayat


episode pascamelahirkan, riwayat keluar-ga dengan gangguan bipolar I, dan
riwayat hipomania yang di-induksi obat.
Prognosis. Gangguan depresif berat bukan rnerupakan gangguan ringan.
Gangguan ini cenderung menjadi kronis dan pasien cenderung mengalami
kekambuhan. Pasien yang dirawat untuk episode pertama gangguan depresif berat
memiliki kemungkinan sekitar 50% untuk pulih pada tahun pertama. Persentase
pasien yang pulih setelah rawat inap menurun seiring waktu. Banyak pasien yang
tidak pulih tetap mengalami gangguan distimik. Kekambuhan pada episode
depresif berat juga lazim terjadi. Sekitar 25% pasien mengalami kekambuhan
pada 6 bulan pertama setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 30 sampai 50% pada
2 tahun pertama, dan sekitar 50 sampai 75 %dalam 5 tahun. Insiden kekambuhan
lebih rendah pada pasien yang meneruskan terapi farmakologis profilaksis dan
pada pasien yang hanya memiliki satu atau dua episode depresif. Umumnya,
ketika pasien mengalami episode depresif lebih sering, waktu antara episode berkurang dan keparahan masing-masing episode meningkat.
INDIKATOR PROCNOSTIK. banyak studi telah memfokuskan pada

identifikasi indikator prognostik baik dan buruk dalam perjalanan gangguan


depresif berat. Episode ringan, tanpa adanya gejala psikotik, serta lama tinggal di
rumah sakit yang singkat rnerupakan indikator prognostik yang baik. Indikator
psikososial dalam perjalanan gangguan yang baik mencakup riwayat persahabatan yang kokoh selama masa remaja, fungsi keluarga yang stabil, serta
fungsi sosial secara umum baik selama 5 tahun se-belum penyakit. Tanda
prognostik tambahan lain adalah tidak adanya gangguan psikiatri komorbid dan
tidak adanya gangguan ke-pribadian, tidak lebih dari satu kali rawat inap
sebelumnya untuk gangguan depresif berat, serta awitan usia lanjut.
Kemungkinan prognosis buruk meningkat dengan adanya gangguan distimik
yang timbul bersamaan, penyalahgunaan alkohol dan zat lainnya, gejala gangguan
ansietas, serta riwayat lebih dari satu episode depresif sebelumnya. Laki-laki
lebih cenderung mengalami perjalanan gangguan secara kronis bila dibandingkan
perempuan.
Gangguan Bipolar I
Perjalanan Gangguan. Riwayat alami gangguan bipolar I sedemikian
rupa sehingga sering berguna untuk menggambarkan gangguan pasien dan
membuatnya tetap up to date seiring berkembangnya terapi (Gambar 12.1-1).
Walaupun gangguan siklo-timik kadang-kadang didiagnosis belakangan pada
pasien dengan gangguan bipolar I, tidak ada ciri kepribadian yang teridentifikasi
yang dikaitkan dengan gangguan bipolar I.
Gangguan bipolar I sering dimulai dengan depresi (75 % pada perempuan,
67 % pada laki-laki) dan rnerupakan gangguan ber-ulang. Sebagian besar pasien
mengalami episode depresif dan manik, Walaupun 10 sampai 20% hanya
mengalami episode manik. Episode manik khususnya memiliki awitan cepat (jam
atau hari) tetapi dapat berkembang selama beberapa minggu. Episode manik yang
tidak diobati dapat bertahan sekitar selama 3 bulan; sehingga klinisi sebaiknya
tidak menghentikan obat sebelum waktu tersebut. Sembilan puluh persen orang
yang memiliki satu episode manik cenderung mengalaminya lagi. Ketika
gangguan berkembang, waktu antarepisode sering berkurang. Meskipun
demikian, setelah sekitar lima episode interval antarepisode sering menjadi stabil

antara 6 sampai 9 bulan. Lima hingga 15 persen orang dengan gangguan bipolar
memiliki empat episode atau lebih tiap tahun dan dapat diklasifikasikan sebagai
siklus cepat.
GANGGUAN BIPOLAR I PADA ANAK DAN ORANG TUA. Gangguan bipolar
I dapat terjadi baik pada orang tua atau orang yang sangat muda. Insiden
gangguan bipolar I pada anak dan remaja sekitar 1 persen dan awitan bisa terjadi
sedini 8 tahun. Diagnosis yang salah yang biasa ditegakkan adalah skizofrenia
dan gangguan defian oposisional.
Gangguan bipolar I dengan awitan yang sedemikian dini ber-kaitan
dengan prognosis buruk. Gejala manik lazim terdapat pada orang lanjut usia
Walaupun kisaran penyebabnya luas dan mencakup keadaan medis nonpsikiatri,
demensia, delirium, serta gangguan bipolar I. Data yang tersedia saat ini
menunjukkan bahwa awitan gangguan bipolar I yang sesungguhnya pada orang
lanjut usia relatif tidak lazim.
Prognosis. Pasien dengan gangguan bipolar I memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan pasien dengan gangguan depresif berat Sekitar 40
sampai 50 persen pasien gangguan bipolar I dapat mengalami episode manik
kedua dalam 2 tahun sejak episode pertama. Walaupun profilaksis litium
(Eskalith) memperbaiki perjalanan gangguan serta prognosis gangguan bipolar I,
kemungkinan hanya 50 sampai 60 % pasien memperoleh kendali bermakna
gejalanya terhadap litium. Satu studi pemantauan lanjutan 4 tahun pada pasien
dengan

gangguan

bipolar

menemukan

bahwa status pekerjaan pramorbid yang buruk, ketergantungan alkohol, ciri


psikotik, ciri depresif, ciri depresif antarepisode, serta jenis kelamin laki-laki
rnerupakan faktor yang membuat prognosis buruk. Lama episode manik yang
singkat, awitan pada usia lanjut, sedikit pikiran bunuh diri, serta sedikit masalah
medis atau psikiatri yang juga timbul bersamaan rnerupakan faktor yang
membuat
prognosis baik.
Sekitar 7 persen pasien dengan gangguan bipolar I tidak kambuh; 45
persen memiliki lebih dari satu episode dan 40 persen memiliki gangguan kronik.

Pasien dapat memiliki 2 sampai 30 episode manik Walaupun rata-rata jumlahnya


sekitar sembilan. Sekitar 40 persen pasien memiliki lebih dari sepuluh episode.
Pada pemantauan lanjutan jangka panjang, 15 persen pasien dengan gangguan
bipolar I membaik, 45 persen membaik tetapi mengalami kekambuhan beberapa
kali, 30 persen dalam remisi sebagian, dan 10 persen sakit kronis. Sepertiga
pasien dengan gangguan bipolar I memiliki gejala kronik dan bukti adanya
penurunan sosial yang bermakna.
Gangguan Bipolar II
Perjalanan gangguan dan prognosis gangguan bipolar II baru akan mulai
dipeiajari.

Meskipun

diagnosisnyastabil,

demikian,

seperti

yang

data

pendahuluan

ditunjukkan

oleh

menunjukkan

bahwa

kemungkinan

tinggi

bahwapasien dengan gangguan bipolar II akan memiliki diagnosis yang sama


sampai lima tahun kemudian. Dengan demikian, data menunjukkan bahwa
gangguan bipolar II adalah penyakit kronik yang memerlukan strategi terapi
jangka panjang.

GAMBAR 12.1-1
Gambar perjalanan gangguan mood. Prototipe suatu grafik kehidupan.
(Dengan izin Robert M, Post, M.D)
TERAPI
Terapi pasien dengan gangguan mood harus ditujukan padabebe-rapa
tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, evaluasi diagnostik
lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, rencana terapi yang ditujukan tidak
hanya pada gejala saat itu tetapi kesejahteraan pasien di masamendatang juga
harus dimulai. Walaupun terapi saat ini yang menekankan pada farmakoterapi dan
psikoterapi ditujukan pada pasien secara individual, peristiwa hidup yang penuh
tekanan juga dikaitkan dengan meningkatnya angka kekambuhan pada pasien
dengan gangguan mood. Dengan demikian, terapi harus menurunkan jumlah dan
keparahan stresor di dalam kehidupan pasien.
Secara keseluruhan, terapi gangguan mood cukup berhasil. Terapi spesifik
saat ini tersedia untuk episode depresif dan manik, dan data yang tersedia
menunjukkan bahwa terapi profilaksis juga efektif. Oleh karenaprognosis untuk
setiap episode baik, optimisme selalu dibutuhkan dan diinginkan oleh pasien
maupun keluarga pasien, bahkan jika hasil terapi awal tidak menjanjikan.
Meskipun demikian, gangguan mood adaiah gangguan kronik dan psikiater harus
memberi saran kepada pasien dan keluarganya mengenai strategi terapi di masa
mendatang.
Rawat inap
Keputusan pertama dan yang paling penting yang harus dibuat seorang
dokter adaiah apakah pasien harus dirawat di rumah sakit atau sebaiknya dicoba
terapi rawat jalan. Indikasi yang jeias untuk rawat inap adaiah kebutuhan
prosedur diagnosis, risiko bunuh diri atau membunuh,dan kemampuan pasien
yang rr.enurun drastis untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal. Riwayat
gejala yang berkembang cepat serta rusaknya sistem dukungan pasien yang biasa
juga merupakan indikasi rawat inap.
Seorang dokter dapat mengobati depresi ringan atau hipo-mania dengan
aman di tempat praktiknya jika ia dapat sering mengevaluasi pasien. Tanda klinis

berupa daya nilai terganggu, berat badan turun, atau insomnia, harus minimal.
Sistem dukungan pasien harus kuat, tidak boleh terlalu terlibat atau menjauh dari
pasien. Setiap perubahan yang merugikan terhadap gejala pasien atau perilaku
atau sikap sistem dukungan pasien mungkin cukup untuk membawa pasien pada
rawat inap.
Pasien dengan gangguan mood sering tidak ingin masuk rumah sakit
dengan sukarela dan mungkin harus dipaksa masuk. Pasien seperti ini sering tidak
mampu

membuat

keputusan

karena

pikiran

mereka

berjalan

lambat,

Weltanschauung negatif (pandangan terhadap dunia), serta keputusasaan. Pasien


maniksering sama sekali tidak memiliki tilikan terhadap gangguan mereka
sehingga rawat inap tampak sangat tidak masuk akal bagi mereka.
Terapi Psikososial
Walaupun sebagian besar studi menunjukkandan sebagian besar klinisi
serta peneliti meyakinibahwa kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah
terapi yang paling efektif untuk gangguan depresif berat, sejumlah data
mengesankan pandangan Iain; Baik farmakoterapi atau psikoterapi saja efektif,
setidaknya pada pasien dengan episode depresif berat yang ringan dan
penggunaan regular terapi kombinasi menambahkan biaya terapi serta
memajankan pasien pada efek samping yang tidak perlu.
Tigajenis psikoterapi jangka-pendek terapi kognitif, terapi interpersonal,
dan terapi perilaku telah dipelajari untuk menentu-kan efektivitasnya dalam terapi
gangguan depresif berat. Walaupun efektivitas ketiga terapi ini dalam mengobati
gangguan depresif berat belum diteliti dengan baik, psikoterapi berorientasi
psikoanalitik telah lama digunakan untuk gangguan depresif dan banyak klinisi
menggunakan teknik ini sebagai metode utama mereka. Hal yang membedakan
ketiga metode psikoterapi jangka pendek dengan metode berorientasi
psikoanalitis adalah peran aktif dan langsung terapis, tujuan yang langsung
dikenali, dan titik akhir terapi jangka pendek.
Walaupun lebih sedikit riset yang telah dilakukan dalam teori
psikodinamik depresi dibandingkan beberapa bentuk psikoterapi lainnya, bukti
yang semakin bertambah sangat menyokong efektivitas terapi dinamik. Pada uji

acak terkontrol yangmembanding-kan terapi psikodinamik dengan terapi kognitif


perilaku, hasil pasien depresi dalam studi menunjukkan tidak ada perbedaan
antara kedua terapi tersebut.
Terapi Kognitif. Terapi kognitif yang awalnya dikembang-kan Aaron
Beck, memfokuskan pada distorsi kognitif, diperkira-kan ada pada gangguan
depresif berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif terhadap aspek
negatif keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak realistis mengenai
konsekuensi. Contohnya, apati dan kurang tenaga adalah akibat pengharapan
pasien mengenai kegagalan di semuaarea. Tujuan terapi kognitif adalah
meringankan episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan membantu
pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif; mengembangkan cara
berpikir alternatif, fteksibel, dan positif; serta melatih respons perilaku dan
kognitif yang baru.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa terapi kognitif efektif dalam
penatalaksanaan gangguan depresif berat. Sebagian besar studi menunjukkan
bahwa terapi kognitif setara efektivitasnya dengan farmakoterapi dan disertai efek
samping yang lebih sedikit serta pengamatan lanjutan yang lebih baik daripada
farmakoterapi. Sejumlah studi terkontrol yang paling baik menunjukkan bahwa
kombinasi terapi kognitif dan farmakoterapi lebih efektif daripada bila hanya satu
terapi yang dilakukan, Walaupun studi lain tidak menemukan pengaruh tambahan.
Setidaknya satu studi, National Institute of Mental Health's Treatment of
Depression Collaborative Research Program, menemukan bahwa farmakoterapi,
baik sendiri atau dengan psikoterapi, mungkin merupakan terapi pilihan untuk
pasien dengan episode depresif berat yang parah.
Terapi Interpersonal. Terapi interpersonal, yang di-kembangkan Gerald
KJerman, memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien saat ini.
Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini
cenderung memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal.
Kedua, masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat di dalam mencetuskan
atau melanjutkan gejala depresif saat ini. Sejumlah uji terkontrol membandingkan
terapi interpersonal, terapi kognitif, farmakoterapi, dan kombinasi antara

farmakoterapi dengan psikoterapi. Semua uji ini menunjukkan bahwa terapi


interpersonal efektif dalam penatalaksanaan gangguan depresif berat dan, tidak
mengejutkan,

khususnya

interpersonal.

Data

mungkin

mengenai

membantu

efektivitas

menyelesaikan

terapi

masalah

interpersonal

dalam

penatalaksanaan episode depresif berat yang parah kurang dapat diandalkan,


Walaupun sejumlah infor-masi menunjukkan bahwa terapi interpersonal mungkin
merupakan metode yang paling efektif untuk episode depresif berat yang parah
jika terapi pilihannya hanya psikoterapi.
Program terapi interpersonal biasanya terdiri atas 12 sampai 16 sesi dan
ditandai dengan pendekatan terapeutik yang aktif. Fenomena intrapsikik, seperti
mekanisme defensi dan konflik internal, tidak diselesaikan. Perilaku khas seperti
tidak asertif, keterampilan sosial terganggu, dan pikiran terdistorsi dapat
diselesaikan

tetapi

hanya

dalam

konteks

pengertiannya

terhadap

atau

pengaruhnya terhadap hubungan interpersonal.


Terapi Perilaku. Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola
perilaku maladaptif mengakibatkan seseorang mene-rima sedikit umpan balik
positif dan mungkin sekaligus penolakan dari masyarakat. Dengan memusatkan
perhatian pada perilaku maladaptif di dalam terapi, pasien belajar berfungsi di
dalam dunia sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh dorongan positif.
Walaupun terapi individual atau terapi kelompok telah dipelajari, terapi perilaku
untuk gangguan depresif berat belum menjadi subjek bagi banyak studi
terkontrol. Data yang ada sampai saat ini menunjukkan bahwa terapi perilaku
adalah terapi yang efektif untuk gangguan depresif berat.
Terapi Berorientasi Psikoanalitik. Pendekatan psikoanalitik pada
gangguan mood didasarkan pada teori psikoanalitik mengenai depresi dan mania.
Tujuan psikoterapi psikoanalitik adalah memberi pengaruh pada perubahan
struktur atau karakter kepribadian seseorang, bukan hanya untuk meredakan
gejala. Perbaikan kepercayaan interpersonal, keintiman, mekanisme koping,
kapasitas berduka, serta kemampuan mengalami kisaran luas emosi adalah
sejumlah tujuan terapi psikoanalitik. Terapi sering mengharuskan pasien untuk
mengalami periode ansietas yang semakin berat serta penderitaan selama

perjalanan terapi, yang dapat berlanjut hingga beberapa tahun.


Terapi Keluarga. Terapikeluargaumumnyatidakdipandang sebagai terapi
primer penatalaksanaan gangguan depresif berat, tetapi bukti yang semakin
banyak menunjukkan bahwa membantu pasien gangguan mood untuk mengurangi
dan menghadapi stres dapat mengurangi kemungkinan kambuh. Terapi keluarga
diindikasikan jika gangguan merusak perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau
jika gangguan mood bertambah atau dipertahankan oleh situasi keluarga. Terapi
keluarga memeriksa peranan anggota keluargayang mengalami gangguan mood
didalam kesejahteraan psikologis seluruh keluarga; terapi keluarga juga
memeriksa peranan seluruh keluarga di dalam mempertahankan gejala pasien.
Pasien dengan gangguan mood memiliki angka perceraian yang tinggi dan sekitar
50 persen pasangan melaporkan bahwa mereka tidak akan menikah atau punya
anak jika mereka tahu bahwa pasien akan mengalami gangguan mood.
Farmakoterapi
Walaupun psikoterapi spesifik dan jangka pendek, seperti terapi
interpersonal, memengaruhi pendekatan terapi gangguan depresif berat, metode
farmakoterapi pada gangguan mood mengubah terapi dan secara dramatis
memengaruhi perjalanan gangguan mood, serta mengurangi kerugian yang
melekat pada masyarakat. Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan
intervensi psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood sebagai
gangguan yang berkembang dari hal yang berkaitan dengan psikodinamik,
ambivalensi mereka mengenai penggunaan obat dapat memberikan hasil buruk,
ketidakpatuhan, serta mungkin dosis yang tidak adekuat untuk periode terapi yang
terlalu singkat. Atau, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil
farmakoterapi dapat terganggu.
Gangguan Depresif Berat. Terapi gangguan depresif berat yang efektif
dan spesifik, seperti obat trisiklik, telah tersedia selama 40 tahun. Penggunaan
farmakoterapi spesifik diperkirakan melipatgandakan kemungkinan bahwa pasien
depresi akan pulih dalam 1 bulan. Meskipun demikian, masalah tetap ada di
dalam terapi gangguan depresif berat: Sejumlah pasien tidak memberikan respons
terhadap terapi pertama; semua antidepresan yang saat ini tersedia membutuhkan

3 sampai 4 minggu hingga memberikan pengaruh terapeutik yang bermakna,


Walaupun obat tersebut dapat mulai menunjukkan pengaruhnya lebih dini, dan
relatif sampai saat ini, semua antidepresan yang tersedia bersifat toksik bila
overdosis serta memiliki efek simpang. Pengenalan SSRI, seperti fluoxetine,
paroksetin (Paxil), dan sertralin (Zoloft), juga bupropion, venlafaksin (Effexor),
nefazodon, danmirtazapin (Remeron), menawarkan klinisi obat-obat yang sama
efektif tetapi lebih aman dan lebih ditoleransi daripada obat-obat sebelumnya.
Indikasi saat ini untuk obat antidepresan (contohnya, gangguan makan, dan
gangguan ansietas) membuat pengelompokan obat-obat ini di bawah satu label
antidepresan yang membingungkan.
Indikasi utama antidepresan adalah episode depresif berat. Gejala pertama
yang akan membaik adalah pola tidur dan nafsu makan yang buruk. Agitasi,
ansietas, episode depresif, dan rasa putus asa adalah gejala yang selanjutnya akan
membaik. Gejala target lainnya adalah kurang tenaga, konsentrasi buruk, ketidakberdayaan, dan menurunnya libido.
EDUKASI PASIEN. Edukasi pasien dengan adekuat mengenai penggunaan
antidepresan adalah hal yang sama pentingnya dengan memilih obat serta dosis
yang paling tepat untuk keber-hasilan terapi. Ketika mengenalkan topik
percobaan obat kepada pasien, dokter harus menekankan bahwa gangguan
depresif berat adalah kombinasi faktor biologis dan psikologis, kedua faktor
tersebut akan memperoleh keuntungan melalui terapi obat. Dokter juga harus
menekankan bahwa pasien tidak akan mengalami ketergantungan obat
antidepresan, karena obat ini tidak memberikan kepuasan dengan segera. Lebih
jauh lagi, obat ini mungkin akan membutuhkan 3 hingga4minggu sebelum efek
antidepresannya dapat dirasakan, dan bahkan jika pasien tidak menunjukkan
perbaikan setelah waktu itu, obat-obat lain juga tersedia. Sejumlah klinisi
menyatakan bahwa adanya efek samping menunjukkan bahwa obat tersebut
bekerja, tetapi efek samping harus dijelaskan secara terperinci. Contohnya,
beberapa pasien yang minum SSRl mungkin akan mengalami agitasi, gangguan
gastrointestinal, atau mual sebelum adanya perbaikan depresi. Efek simpang obat
ter-jadi seiring waktu. Dengan obat trisiklik dan MAOI, dokter mungkin merasa

berguna untuk menjelaskan kepada pasien bahwa tidur dan nafsu makan akan
membaik lebih dahulu, diikuti perasaan energi memulih, serta rasa depresi,
sayangnya, akan menjadi gejala terakhir yang berubah.
Dokter harus selalu mempertimbangkan risiko bunuh diri pada pasien
dengan gangguan mood. Sebagian besar antidepresan bersifat letal jika diminum
dalam jumlah banyak. Tidaklah bijaksana untuk memberikan resep dalam jumlah
besar bagi sebagian besar pasien dengan gangguan mood ketika mereka keluar
dari rumah sakit, kecuali jika orang lain mengawasi pemberian obat.
ALTERNATIF TERAPI OBAT. Dua terapi organik yang merupa-kan
alternatif farmakoterapi adalah terapi elektokonvulsif dan foto-terapi. Terapi
elektokonvulsif umumnya digunakan ketika pasien tidak memberikan respons
terhadap farmakoterapi atau tidak dapat menoleransi farmakoterapi atau situasi
klinis sedemikianberatnya sehingga diperlukan perbaikan cepat melalui
penggunaan terapi elektokonvulsif. Walaupun penggunaan terapi elektokonvulsif
sering dibatasi tiga situasi, terapi elektokonvulsif merupakan terapi antidepresan
yang efektif dan secara masuk akal dapat diper-timbangkan sebagai terapi pilihan
bagi sejumlah pasien, seperti pasien depresi usia lanjut. Fototerapi merupakan
terapi baru yang telah digunakan pada pasien dengan pola musiman untuk
gangguan mood mereka. Fototerapi bisa digunakan secara tersendiri pada kasus
gangguan mood ringan dengan pola musiman. Untuk pasien dengan gangguan
yang berat, fototerapi dapat digunakan dalam kombinasi dengan farmakoterapi,
Walaupun studi efektivitas kombinasi ini belum memberikan hasil yang pasti.
OBAT YANG TERSEDIA. SSRl adalah obat antidepresan yang paling
luas digunakan di Amerika Serikat. Obat ini adalah agen pilihan karena efektif,
mudah digunakan, efek simpangnya relatif lebih sedikit bahkan pada dosis tinggi.
Karena ditoleransi dengan baik, SSRI diresepkan dokter untuk berbagai bidang.
Dari agen yang lebih baru, citalopram (Celexa), escitalopram (Lexapro),
buproprion, venlafaksin (Effexor), fiuovoxamin (Luvox), dan nefazodon telah
digunakan luas oleh psikiater. Semua agen ini lebih aman daripada obat trisiklik
dan tetrasiklik serta MAOI. selain itu masing-masing obat ini juga terlihat sama
efektif terhadap depresi pada percobaan klinis. Obat trisiklik dan tetrasiklik.

trazodon (Desyrel), alprazolam (Xanax), dan mirtazapin, dapat menimbulkan


sedasi. MAOI membutuhkan restriksi diet. Obat-obat ini lebih sedikit digunakan
karena efek simpangnya. Obat simpatomimetik, seperti dekstroamfetamin
(Dexedrine)dan metil-fenidat (Ritalin), dapat mengiiasilkan perbaikan moodymg
cepat (dalam 1 minggu) dan diindikasikan dalam situasi yang diawasi ketat.
(Lihat Bab 32 untuk diskusi lebih lanjut mengenai obat-obat yang digunakan
dalam depresi dan mania).
KERJA FARMAKOLOGIS. Pada pasien yang menoleransi dosis terapeutik
utuh berbagai antidepresan yang tersedia, tidak ada satupun agen yang
menunjukkan keunggulan nyata. Meskipun demikian, terdapat perbedaan nyata
profil efek simpangnya dan masing-masing pasien dapat berespons terhadap satu
antidepresan tetapi tidak terhadap antidepresan lain. Sefoagian besar antidepresan
berinteraksi dengan neurotransmisi serotonergik atau nora-drenergik atau
keduanya. Lebih lagi, potensiasi sistem neurotransmiter ini terbukti merangsang
sistem lainnya, sehingga perincian farmakodinamik masing-masing obat sulit
diperkirakan efektivitasnya.
MAOl lebih jarang dipilih karena dapat menyebabkan hiper-tensi krisis
jika pasien mengonsumsi makanan dengan kandungan tiramin yang tinggi, yang
membutuhkan kepatuhan ketat terhadap rangkaian sederhana panduan diet
Alprazolam, suatu benzodia-zepin, adalah obat yang disetujui Food and Drug
Administration (FDA) di Amerika untuk terapi depresi, tetapi jarang digunakan
karena kekhawatiran mengenai sedasinya dan karena obat ini dapat bersifat
adiktif serta mungkin sulit dihentikan. Simpato-mimetik, Walaupun di antara obat
antidepresan yang paling efektif, juga jarang digunakan karena kekhawatiran
akan disalah-gunakan, Walaupun bukan pada dosis rendah, biasanyadiperlukan
untuk terapi depresi.
EFEK SIMPANG. Salah satu kekhawatiran yang paling serius mengenai
antidepresan adalah dapat mengakibatkan kematian jika dikonsumsi overdosis.
Obat trisiklik dan tetrasiklik adalah antidepresan yang paling mematikan; SSRI,
buproprion, trazodon, nefazodon, mirtazapin, venlafaksin, dan MAO1 lebih

aman, Walaupun obat-obat ini juga bisa bersifat letal jika dikonsumsi overdosis
dalam kombinasi dengan alkohol atau obat lain. Kekhawatiran lain mengenai
antidepresan adalah keamanannya bagi jantung. Sekali lagi, obat trisiklik dan
tetrasiklik umumnya paling tidak aman. Hipotensi merupakan efek simpang
potensial banyak antidepresan, amoksapin (Asendin), maprotilin (Ludiomil),
nortriptilin, dan trazodon dikaitkan dengan lebih sedikit hipotensi. Satu rangkaian
efek simpang yang dengan tidak sesuai diabaikan banyak klinisi adalah efek
simpang seksual antidepresan. Hampir semua antidepresan, kecuali nefazodon
dan mirtazapin, dikaitkan dengan menurunnya libido, disfungsi ereksi, atau
anorgasmia. Obat-obat serotonergik mungkin lebih erat dikaitkan dengan efek
simpang seksual daripada senyawa noradrenergik.
INTERAKSL OBAT. Kekhawatiran meningkat lainnya di antara klinisi
dalam meresepkan obat untuk gangguan atau keadan depresi adalah kemungkinan
interaksi obat, terutama mengacu pada enzim sitokrom hepatik P450(CYP).
Sistem isoenzim CYP terlibat di dalam metabolisme sebagian besar obat, tetapi
sejumlah orang secara genetik memiliki risiko mengalami konsentrasi obat yang
tinggi di dalam darah yang dimetabolisme salah satu enzim CYP, seperti CYP
2D6.
TERAPI TIPE SPESIFIK. Sejumlah tipe klinis episode depresif berat dapat
memiliki berbagai respons terhadap antidepresan tertentu. Contohnya, pasien
gangguan depresif berat dengan ciri atipikal (kadang-kadang disebut disforia
histeroid) dapat lebih berespons terhadap terapi dengan MAOI. Dua kelompok
spesifik lainnya adalah pasien gangguan bipolar 1 depresi dan pasien episode
depresif berat dengan ciri psikotik.
Litium adalah agen farmakologis lini pertamayang potensial di dalam
tatalaksana depresi pada pasien gangguan bipolar I dan pada sejumlah pasien
gangguan depresif berat dengan periodisitas yang nyata. Pasien gangguan bipolar
1 yang diterapi dengan antidepresan konvensional harus diobservasi secara teliti
untuk timbulnya gejala manik.
Antidepresan saja tampaknya tidak efektif dalam tatalaksana episode
depresif berat dengan ciri psikotik. Satu pengecualian mungkin amoksapin,

antidepresan yang mirip dengan loksapin (Loxitane), suatu antipsikotik: meskipun


demikian,

klinisi

biasa-nya

menggunakan

kombinasi

antidepresan

dan

antipsikotik. Sejumlah studi jugatelah menunjukkan bahwa terapi elektokonvulsif efektif untuk indikasi inimungkin lebih efektif daripada farmakoterapi.
PEDOMAN KLINIS UMUM. Kesalahan klinis yang paling lazim terjadi
yang menyebabkan ketidakberhasilan percobaan obat antidepresan adalah
penggunaan dosis yang terlalu rendah dalam waktu yang terlalu singkat. Kecuali
terjadi efek simpang, dosis antidepresan harus dinaikkan sampai kadar maksimum
yang direkomendasikan dan dipertahankan pada kadar tersebut setidaknya selama
4 atau 5 minggu sebelum percobaan obat dapat dianggap tidak berhasil. Atau, jika
pasien membaik secara klinis pada dosis obat yang rendah, dosis ini sebaiknya
tidak dinaikkan kecuali perbaikan klinis berhenti sebelum keuntungan maksimal
diperoleh. Ketika pasien tidak mulai memberikan respons terhadap dosis obat
yang sesuai setelah 2 atau 3 minggu, klinisi dapat memutuskan untuk
mendapatkan konsentrasi plasma obat jika tersedia uji untuk obat tertentu yang
sedang digunakan. Uji ini dapat menunjukkan ketidakpatuhan atau disposisi
farmako-kinetik yang tidak biasa pada obat itu dan dengan demikian dapat
disarankan dosis alternatif.
LAMA PEMAKAIAN

DAN

PROFILAKSIS. Terapi antidepresan harus

dipertahankan setidaknya 6 bulan atau selama episode sebelumnya, bergantung


mana yang lebih lama. Sejumlah studi menunjukkan bahwa terapi profilaksis
dengan antidepresan efektif dalam menurunkan jumlah dan keparahan
kekambuhan. Kesimpulan yang ditarik dari saru studi adalah bahwa, ketika
episode kurang dari 2,5 tahun yang lalu, terapi profilaksis selama 5 tahun
mungkin diindikasikan. Faktor lain yang menyarankan terapi profilaksis adalah
keparahan episode depresif sebelumnya. Episode yang melibatkan gagasan bunuh
diri yang bermakna atau gangguan fungsi psikososial dapat menunjukkan bahwa
klinisi harus mempertimbangkan terapi profilaksis. Jika antidepresan dihentikan,
mereka harus menurunkan dosis secara bertahap selama 1 sampai 2 minggu
bergantung waktu paruh senyawa tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
rumatan obat antidepresan tampak aman dan efektif untuk terapi depresi kronis.

KECACALAN UJI OBAT. Ketika obat antidepresan pertama digunakan


untuk suatu uji yang adekuat dan, jika sesuai, klinisi yakin bahwa bila konsentrasi
plasma yang adekuat diperoleh, terdapat dua pilihan jika gejala tidak membaik
dengan memuas-kan: memperkuat obat dengan litium, liotironin (isomer levorotatori triiodotironin [T3]), atau L-triptofan, atau mengganti ke agen primer
alternatif. Strategi yang saat ini jarang digunakan adalah mengombinasikan obat
trisiklik atau tetrasiklik dengan MAOI. Ketika mengganti agen, klinisi harus
mengubah obat pada pasien yang menggunakan trisiklik atau tetrasiklik menjadi
SSR1 (atau mungkin MAOI) dan harus mengubah obat pada pasien yang
menggunakan SSRI menjadi bupropion, venlafaksin, dan nefazodon, obat trisiklik
atau tetrasiklik, mirtazapin, trazodon, atau mungkin MAOI. Setidaknya terdapat
jarak 2 minggu antara penggunaan SSRI dan penggunaan MAOI, dan kedua obat
tidak boleh digunakan bersamaan karena dapat timbul sindrom serotonin.
Litium. Litium (900 sampai 1.200 mg per hari, kadar serum antara 0,6
sampai 0,8 mEq/L) dapat ditambahkan pada dosis antidepresan selama 7 sampai
14 hari. Pendekatan ini mengubah dalam jumlah bermakna pasien yang tidak
berespons terhadap antidepresan menjadi memberikan respons. Mekanisme
kerjanya tidak diketahui Walaupun litium dapat meningkatkan potensi sistem
neuronal serotonergik. Sejumlah data menunjukkan bahwa terapi awal dengan
antidepresan saja penting untuk efek ini dan bahwa di awal terapi dengan dua
obat bersamaan tidak seefektif jika memulai dengan antidepresan dan
menambahkan litium.
Liotironin. Penambahan 25 hingga 50 mg liotironin per hari pada regimen
antidepresan selama 7 sampai 14 hari dapat mengubah pasien yang tidak
berespons menjadi memberikan respons. Efek simpang liotironin sedikit tetapi
dapat mencakup sakit kepala dan rasa hangat. Mekanisme kerja penambahan
liotironin tidak diketahui, Walaupun diduga terdapat modulasi reseptor Padrenergik dan adanya kelainan aksis tiroid yang tidak terdeteksi pada gangguan
depresif berat. Jika penambahan liotironin ber-hasil, liotironin harus diteruskan
selama 2 bulan dan kemudian diturunkan dengan laju 12,5 mg per hari selama 3
sampai 7 hari.

-Triptofan. L-Triptofan, prekurson asam amino untuk serotonin, telah

digunakan sebagai tambahan obat antidepresan pada gangguan depresif berat dan
gangguan bipolar I.

-Triptofan juga telah digunakan tersendiri sebagai

antidepresan dan hipnotik. Produk yang mengandung L -Triptofan ditarik kembaii


di Amerika Serikat karena wabah sindrom mialgia-eosinoftTia akibat penggunaan
L

-Triptofan. Gejala sindrom ini mencakup lelah, mialgia, napas pendek, ruam,

serta pembengkakan ekstremitas. Gagal jantung kongestif dan kematian juga


dapat terjadi. Walaupun sejumlah studi menunjukkan bahwa L-Triptofan adalah
tambahan efektif dalam terapi gangguan mood, obat ini sebaiknya tidak
digunakan untuk tujuan apapun sampai masalah dengan sindrom ini benar-benar
telah diatasi. Sindrom ini mungkin berkaitan dengan konta-minan pada satu
tempat produksi tetapi hipotesis ini belum diuji.
Kombinasi Obat Trisiklik atau Tetrasiklik dan MAOI. Kom-binasi obat
trisiklik atau tetrasiklik dengan MAOI kadang-kadang digunakan pada pasien
yang belum memberikan respons terhadap beberapa terapi farmakologis lain.
Dengan ketersediaan kisaran luas antidepresan, terapi kombinasi ini jarang
digunakan. Karena insiden efek simpangnya tinggi, kombinasi ini bukanlah
merupakan terapi pilihan pertama, kedua, atau bahkan ketiga. Jika kombinasi ini
digunakan, klinisi harus memulai terapi dengan kedua obat ini dalam dosis rendah
dan kemudian menaikkan dosis

GAMBAR 12.1-2
Algoritma untuk menatalaksana pasien dengan gangguan depresif berat. ECT,
terapi elektokonvulsif; SSRI, selective reuptake serotonin inhibitor, TCA,
antidepresan trisiklik. (dicetak ulang dengan izin Preskorn SH, Burke M. Somatic
therapy for major depressive disorder; selection of antidepressant. / Clin
Psychiatry 1992;53 [9 Suppl):10)
perlahan. Imipramin atau trimipramin (Surmontil) dan MAOI tidak boleh
digunakan dalam kombinasi karena insiden efek toksiknya yang tinggi, termasuk
gelisah, pusing, tremor, kedutan otot, berkeringat, kejang, hiperpireksia, dan
kadang-kadang kematian.
Ketika pasien telah mendapatkan obat trisiklik atau tetrasiklik, dokter
harus membagi empat dosis obat tersebut selama 5 sampai 7 hari dan kemudian
dengan perlahan menambahkan MAOI pada regimen tersebut. Ketika pasien
mendapatkan MAOI, dokter harus menghentikan obat tersebut selama 2 minggu

dan kemudian memulai kedua obat secara bersamaan. Alasan strategi ini adalah
bahwa MAOI secara ireversibel menghambat monoamin oksidase sehingga
membutuhkan sekitar 2 minggu untuk memperoleh kadaraktivitas MAOI normal
setelah penggunaan MAOI. Gambar 12.1-2 menyediakan algoritma terapi yang
bermanfaat.
Gangguan Bipolar I. Litium, divalproeks (Depakote), dan oianzapin
(Zyprexa) adalah satu-satunya terapi yang disetujui FDA untuk fase manik
gangguan bipolar tetapi karbamazepin (Tegretol) juga merupakan terapi
yangberhasil baik. Gabapentin (Neurontin) dan lamotrigin (Lamictal) adalah
terapi yang men-janjikan untuk pasien yang refrakter atau tidak menoleransi
terapi. Efektivitas dua agen yang disebutkan terakhir belum di-tegakkan dengan
baik tetapi penggunaan klinisnya meluas. Topiramat (Topamax) adalah
antikonvulsan lain yang menunjuk-kan keuntungan pada pasien bipolar. ECT
sangat efektif pada semua fase gangguan bipolar. Karbamazepin, divalproeks, dan
asam valproat (Depakene) tampak lebih efektif daripada litium untuk tatalaksana
mania campuran atau disforik, siklus cepat, serta mania psikotik, dan untuk
tatalaksana pasien dengan riwayat episode manik multipel atau penyalahgunaan
zat komorbid.
Terapi episode manik akut sering membutuhkan penggunaan tambahan
obatsedatif poten. Obat-obat yang sering digunakan di awal terapi termasuk
klonazepam (1 mg setiap 4 sampai 6 jam) dan lorazepam (Ativan) (2 mg setiap 4
sampai 6 jam). Haloperidol (Haldol) (2 sampai 10 mg/hari), oianzapin (2,6
sampai 10 mg/ hari), dan risperidon (Risperdal) (0,5 sampai 6 mg/hari) juga digunakan. Antipsikotik atipikal (cth., olanzepin [Zyprexa] [10 sampai 15 mg/hari])
sering digunakan sebagai monoterapi untuk pengendalian akut dan dapat
bersifatantimanik intrinsik. Dokter haras berupaya menurunkan dosis agen
tambahan ini ketika pasien sudah stabil.
Pasien yang tidak memberikan respons adekuat terhadap satu penstabil
mood (mood stabilizer) akanbaik dengan terapi kombi-nasi. Litium dan asam
valproat lazim digunakan bersama. Pening-katan neurotoksisitas merupakan
risiko tetapi kombinasinya aman. Kombinasi lain mencakup litium ditambah

karbamazepin di-tambah asam valproat (membutuhkan pengawasan laboratorium


lebih lanjut untuk interaksi obat dan toksisitas hepatik) serta kombinasi dengan
antikonvulsan yang lebih baru.
LITIUM. Litium masih merupakan terapi standar gangguan bipolar I. Efek
simpang yang dapat membatasi penggunaan litium dan menyebabkan klinisi
mempertimbangkan penggunaan baik karbamazepin atau valproat mencakup
efeknya pada ginjal (rasa haus, poliuria), efek sistem saraf (tremor, hilang
memori), efek metabolik (penambahan berat badan), efek gastrointestinal (diare),
efek dermatologis (akne, psoriasis), serta efek tiroid (struma, miksedema). Dari
semua kekhawatiran yang berpotensi serius mengenai terapi litium adalah
efeknya pada ginjal, yang dapat mencakup gangguan fungsi tubulus sedang atau
kadang-kadang berat; yang tidak lazim, perubahan morfologis sedang dan tidak
spesifik; dan yang jarang, sindrom nefrotik. Efek simpang yang banyak ini
membutuhkan pengawasan teliti status ginjal dan tiroid pasien.
Kepatuhan terapi litium meningkat karena efek terapi yang dini, terapi
adekuat penyakit yang menyertai, terapi penyalahgunaan zat yang terjadi
bersamaan, deteksi dini serta pencegahan efek simpang, serta partisipasi pasien
dalam psikoterapi individu atau kelompok. Responsivitas terhadap terapi litium
meningkat ketika kadar litium yang adekuat dipertahankan, obat-obat tambahan
digunakan sesuai indikasi, serta pengawasan laboratorium dan klinis dilakukan.
Tidak responsif terhadap terapi litium paling sering terjadi pada penyakit berat,
adanya gejala gangguan skizo-afektif, gejala manik bercampur dengan dspresif,
gejala somatik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, siklus cepat, serta tidak adanya riwayat gangguan bipolar 1 di dalam keluarga. Kadar litium di dalam darah
yang berada dalam kisaran yang efektif adalah 0,8 sampai 1,2 mEq/L.
VALPROAT. Data efisiensi untuk valproat saat ini cukup untuk menjamin
penggunaannya sebagai obat lini pertama. Pasien dalam jumlah signifikan
tampaknya dapat menoleransi valproat lebih baik dibandingkan litium dan
karbamazepin. Asam valproat dan divalproeks memiliki indeks terapeutik yang
luas dan tampak efektif pada kadar 50 sampai 125 g/mL. Pemeriksaan praterapi
mencakuphitungdarah lengkapsertauji fungsihati. Uji kehamilan diperlukan

karena obat ini dapat menyebabkan defek tabung saraf padajanin yang sedang
berkembang. Obat ini dapat menyebabkan trombositopenia dan meningkatkan
kadar transaminase, keduanya biasanya ringan dan dapat pulih sendiri tetapi
memerlukan pengawasan darah yang lebih ketat. Toksisitas hati yang fatal
dilapor-kan hanya pada anak berusia di bawah 10 tahun yang memperoleh
berbagai antikonvulsan. Efek simpang yang khas mencakup rambut rontok (yang
dapat diterapi dengan zinc dan selenium), tremor, berat badan meningkat, dan
sedasi. Gangguan gastrointestinal lazim terjadi tetapi dapat diminimalkan dengan
menggunakan tablet berselaput enterik (Depakote) dan dititrasi secara bertahap.
Asam valproat dapat diberikan pada pengendalian gejala akut dengan
memberikan 20 mg/kg dalam dosis terbagi. Strategi ini juga menghasilkan tingkat
terapeutik dan dapat memperbaiki gejala dalam 7 hari. Untuk pasien rawat jalan,
pasien yang lebih rapuh secara fisik atau pasien yang lebih ringan sakitnya, obat
dapat dimulai pada 250 sampai 750 mg/hari dan secara bertahap dititrasi sampai
kadar terapeutik. Kadarnya di dalam darah dapat diperiksa setelah tiga hari pada
dosis tertentu.
Karbamazepin. Karbamazepin biasanya dititrasi untuk me-nilai respons
dan bukan untuk mengukur kadarnya di dalam darah, Walaupun banyak klinisi
menitrasi untuk mencapai kadar 4 sampai 12 u.g/mL. Evaluasi praterapi harus
mencakup uji fungsi hati dan hitung jenis darah lengkap serta elektrokardiogram,
elektrolit, retikulosit, dan tes kehamilan. Efeksamping mencakup mual, sedasi,
dan ataksia. Toksisitas hati, hiponatremia, atau supresi sumsum tulang dapat
terjadi. Ruam terjadi pada 10 persen pasien. Ruam eksfoiiatif (sindrom Stevens
Johnson) jarang terjadi tetapi dapat fatai. Obat dapat dimulai dengan 200 mg
sampai 600 mg/hari dengan penyesuaian setiap 5 hari berdasarkan respons klinis.
Perbaikan dapat dilihat dalam 7 sampai 14 hari setelah dosis terapeutik dicapai.
Interaksi obat mempersulit penggunaan karbamazepin dan mungkin mengubah
statusnya menjadi obat lini kedua. Obat ini merupakan penginduksi enzim yang
poten dan dapat menurunkan kadar psikotropika lain, seperti haloperidol.
Karbamazepin

menginduksi

metabolismenya

sendiri

(autoinduksi)

dan

dosisnyasering perlu ditingkatkan selama bebe-rapa bulan pertama terapi untuk

mempertahankan kadar terapeutik dan respons klinis.


ANTIKONVULSAN LAIN. Lamotrigin dan gabapentin adalah antikonvulsan
yang mungkin memiliki sifat antidepresan, anti-manik, dan penstabil mood. Obatobat ini tidak memerlukan pengawasan darah. Gabapentin diekskresikan hanya
oleh ginjal dan memiliki efek gambaran samping ringan yang dapat mencakup
sedasi atau aktivasi, pusing, dan lelah. Obat ini tidak berinteraksi dengan obat
lain. Diperlukan pengurangan dosis pada pasien dengan insufisiensi ginjal.
Gabapentin dapat dititrasi dengan agresif dan respons terapeutiknya dilaporkan
berada pada dosis 300 sampai 3.600 mg/hari. Obat ini memiliki w.aktu paruh
singkat serta diperlukan dosis sampai tiga kali sehari. Lamotrigin memer-lukan
titrasi bertahap untuk menurunkan risiko terjadinya ruam yang terjadi pada 10
persen pasien. Sindrom Stevens Johnson terjadi pada 0,1 persen pasien yang
diobati dengan lamotrigin. Efek simpang lainnya mencakup mual, sedasi, ataksia,
dan insomnia. Dosis dapat dimulai dengan 25 sampai 50 mg/hari selama 2
minggu dan kemudian ditingkatkan secara perlahan hingga 150 sampai 250 mg
dua kali per hari. Valproat meningkatkan kadar lamotrigin. Dengan adanya
valproat, titrasi lamotrigin harus lebih lambat dan dosisnya lebih rendah (cth., 25
mg oral empat kali sehari selama 2 minggu, dengan ditingkatkan 25 mg setiap 2
minggu sampai maksimum 150 mg/hari).
Topiramat menunjukkan efisiensi awal pada gangguan bipolar. Efek
simpangnya mencakup lelah dan kognisi menumpul. Obat ini memiliki sifat khas
yaitu menyebabkan penurunan berat badan. Serangkaian pasien gangguan bipolar
dengan

berat

badan

berlebih

rata-rata

kehilangan

persen

berat

badannyasaatminum topiramat sebagai tambahan terhadap obat lain. Dosis


awalnya biasanya 25 sampai 50 mg/hari sampai maksimum 400 mg/hari.
Agen Iain. Agen lain yang digunakan pada gangguan bipolar mencakup
verapamil

(Isoptin,

Calan),

nimodipin

(Nimotop),

klonidin

(Catapres),

klonazepam, dan levotiroksin (Levoxyl, Levothroid, Synthroid). Klozapin


(Clozaril) terlihat memiliki sifat antimanik danpenstabil moodyang poten
padaterapi pasien yang refrakter terhadap terapi. ECT dapat dipertimbangkan
pada kasus yang terutama berat atau resisten obat sebagai terapi alternatif untuk

gangguan bipolar 1.
SIKLUS CEPAT. Berkembangnya siklus cepat pada pasien dengan
gangguan bipolar 1 disebabkan karena penggunaan anti-depresan konvensional,
terutama obat trisiklik, dan dengan adanya hipotiroidisme. Di samping
penggunaan terapi tiroidyaitu, levotiroksin (T4) (Levothroid) 0,3 sampai 0,5
mg per hari sejumlah peneliti dan klinisi telah melaporkan hasil positif awal
penggunaan agen psikofarmakologis lain, termasuk buproprion dan nimodipin.
RUMATAN.

Keputusan

memberi

rumatan

pada

pasien

dengan

menggunakan profilaksis litium (atau obat lain) didasarkan pada keparahan


gangguan pasien, risiko efek sjmpang obat tertentu, serta kualitas sistem
dukungan pasien. Terapi rumatan umumnya diindikasikan untuk profilaksis
gangguan bipolar 1 pada setiap pasien yang memiliki lebih dari satu episode.
Rasionalisasi praktik ini adalah keamanan relatif obat yang tersedia, efisiensi
yang terlihat, dan potensi yang signifikan untuk timbulnya masalah psikososial
jika episode bipolar 1 terjadi. Selama terapi jangka panjang, pengawasan
laboratorium diperlukan untuk litium, asam valproat, dan karbamazepin.
Gangguan Bipolar II. Terapi gangguan bipolar II harus di-lakukan
dengan pendekatan hati-hati; terapi episode depresif dengan antidepresan sering
dapat mencetuskan episode manik. Mengenai efektivitas strategi pengobatan
gangguan bipolar I (contohnya litium dan antikonvulsan) pada terapi pasien
dengan gangguan bipolar masih diselidiki. Suatu percobaan dengan agen seperti
itu tampaknya dibenarkan terutama ketika terapi dengan antidepresan saja tidak
berhasil.

12.2 Distimia dan Siklotimia


GANGGUAN DISTIMIK
Menurut DSM-1V-TR, ciri gangguan distimik yang paling khas adalah
perasaan tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, serta kemarah-an; penarikan diri dari
masyarakat; hilang minat; serta inaktivitas dan tidak produktif. Istilah distimia,
yang berarti "tidak me-nyenangkan (illhumored)" diperkenalkan pada tahun 1980.
Se-belumnya, sebagian besar pasien yang saat ini digolongkan memiliki
gangguan distimik, digolongkan memiliki neurosis depresif (juga disebut depresi

neurotik).
Gangguan

distimik

dibedakan

dengan

gangguan

depresif

berat

berdasarkan fakta bahwa pasien mengeluh selalu merasa depresi. Dengan


demikian, sebagian besar kasus adalah awitan dini, dimulai saat masa kanak atau
remaja dan saat pasien mencapai usia 20-an. Subtipe awitan lambat, sering
ditemukan, dan tidak dapat ditandai secara klinis dengan baik, diidentifikasi di
antara populasi geriatrik dan usia pertengahan, sebagian besar melalui studi
epidemiologis di dalam komunitas. Riwayat keluarga pasien dengan distimia
secara khas dipenuhi gangguan depresif serta bipolar, yang merupakan salah satu
temuan lebih kuat yang menyokong kaitannya dengan gangguan mood primer.
Epidemiologi
Gangguan distimik lazim ditemukan pada populasi umum dan
memengaruhi 5 sampai 6 persen orang. Gangguan ini ditemukan pada pasien
klinik psikiatri umum dan mengenai antara setengah dan sepertiga pasien klinik.
Prevalensi gangguan distimik yang dilaporkan di antara remaja muda sekitar 8
persen pada anak laki-laki dan 5 persen pada anak perempuan; meskipun
demikian, tidak ada perbedaan gender untuk angka insiden. Gangguan ini lebih
lazim ditemukan pada perempuan di bawah usia 64 tahun dan pada laki-laki usia
berapapun dan lebih lazim pada orang yang tidak menikah serta muda dan pada
orang dengan penghasilan rendah. Gangguan distimik sering terdapat bersamaan
dengan gangguan jiwa lain, terutama gangguan depresif berat, dan pada orang
dengan gangguan depresif berat terdapat kecenderungan menurun akan adanya
remisi penuh di antara episode. Pasien juga dapat memiliki gangguan ansietas
yang terdapat bersamaan (terutama gangguan panik), penyalahgunaan zat, dan
gangguan kepribadian ambang. Gangguan distimik lebih lazim ditemukan pada
orang yang memiliki kerabat derajat pertama dengan gangguan depresif berat.
Pasien dengan gangguan distimik cenderungmendapatkan berbagai obat psikiatri,
termasuk antidepresan, agen antimanik seperti litium (Eskalith) dan karbamazepin
(Tegretol), dan hipnotik-sedatif.
Etiologi
Faktor Biologis. Sejumlah studi mengenai kornponen bio-logis pada

gangguan distimik menyokong penggolongannya dengan gangguan mood; studi


lain mempertanyakan hubungan ini. Satu hipotesis yang ditarik dari data adalah
bahwa dasar biologis gejala distimik menyerupai gangguan depresif berat tetapi
dasar biologis patofisiologi yang mendasari kedua gangguan ini berbeda.
STUDI MENGENAI TIDUR. Latensi REM yang menurun dan densitas REM
yang meningkat adalah dua penanda keadaan depresi pada gangguan depresif
berat yangjugaada pada pasien gangguan distimik dengan proporsi yang
signifikan. Sejumlah peneliti, yang melaporkan data awal yang menunjukkan
adanya abnormalitas tidur pada pasien gangguan distimik, memprediksi-kan
respons terhadap obat antidepresan.
STUDI NEUROENDOKRIN. Dua aksis neuroendokrin yang paling sering
dipelajari pada gangguan depresif berat dan gangguan distimik adalah aksis
adrenal dan aksis tiroid, yang telah diuji dengan menggunakan uji supresi
deksametason (DST) dan uji stimulasi hormon pelepas tirotropin (TRH) secara
berurutan. Walaupun hasil studi ini tidak benar-benar konsisten, sebagian besar
studi menunjukkan bahwa pasien gangguan distimik lebih jarang memiliki hasil
abnormal DST daripada pasien gangguan depresif berat. Studi uji stimulasi-TRH
yang lebih sedikit telah dilakukan, tetapi studi ini menghasilkan dataawalyang
menunjukkan bahwa abnormalitas aksis tiroid dapat merupakan variasi ciri
bawaan akibat penyakit kronis. Persentase yang lebih tinggi pasien gangguan
distimik memiliki abnormalitas aksis tiroid daripada subjek kontrol normal.
Faktor Psikososial. Teoripsikodinamikmengenaitimbulnya gangguan
distimik menyatakan bahwa gangguan ini berasal dari perkembangan ego dan
kepribadian dan berpuncak pada kesulitan dalam beradaptasi pada masa remaja
dan dewasa. Karl Abraham, contohnya, menduga bahwa konflik depresi berpusat
pada ciri bawaan sadistik oral dan anal. Ciri bawaan anal mencakup ke-teraturan
yang berlebihan, rasa bersalah, sertakepedulian terhadap orang lain; hal ini
dihipotesiskan sebagai perlawanan terhadap preokupasi akan hal-hal anal dan
disorganisasi,

hostilitas,

serta

preokupasi

diri.

Mekanisme

defensi

utamayangdigunakan adalah reaction formation. Harga diri rendah. anhedonia,


serta introversi sering dikaitkan dengan ciri depresif.

FREUD. Di dalam "Mourning and Melancholia, " Sigmund Freud


menyatakan bahwa kekecewaan interpersonal di awal ke-hidupan dapat
menyebabkan kerentanan terhadap depresi, menye-babkan ambivalensi hubungan
cinta sebagai orang dewasa; ke-hilangan atau ancaman akan kehilangan pada
kehidupan dewasa kemudian mencetuskan depresi. Orang yang rentan terhadap
depresi secara oral bergantung dan membutuhkan kepuasan narsi-sistik yang
konstan. Ketika kekurangan cinta, kasih sayang, dan perhatian, mereka menjadi
depresi secara klinis; ketika mereka mengalami kehilangan yang sesungguhnya,
mereka menginter-nalisasikan dan mengintroyeksi objek yang hilang serta mengubah kemarahannya terhadap hal itu dan dengan demikian terhadap diri sendiri.
TEORI KOGNITIF. Teori kognitif depresi juga berlaku untuk gangguan
distimik. Teori ini berpegang pada perbedaan antara kenyataan dan situasi
khayalan mengakibatkan berkurangnya harga diri dan rasatidak berdaya.
Keberhasilan terapi kognitif di dalam terapi sejumlah pasien gangguan distimik
dapat memberikan dukungan untuk model teoretis.
Diagnosis dan Gambaran Klinis
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR gangguan distimik menetapkan adanya
mood depresi selama sebagian besar waktu untuk setidaknya 2 tahun (atau satu
tahun untuk anak-anak dan remaja). Untuk memenuhi kriteria diagnostik, seorang
pasien tidak boleh memiliki gejala yang sebaiknya dianggap sebagai gangguan
depresif berat dan tidak pernah boleh memiliki episode manik atau hipomanik.
DSM-IV-TR memungkinkan klinisi menentukan apakah awita-.mya dini
(sebelum usia 21 tahun) atau lambat(usia21 tahunatau lebih). DSM-IV-TR juga
memungkinkan spesifikasi ciri atipikal gangguan distimik.
Gambaran gangguan distimik tumpang tindih dengan gambar-an gangguan
depresif berat tetapi berbeda yaitu gejalanya cen-derung melebihi tandanya (lebih
merupakan depresi subjektif daripada objektif). Hal ini berarti gangguan nafsu
makan dan libido tidak khas, dan agitasi atau retardasi psikomotor tidak terlihat.
Semua ini diartikan depresi dengan simtomatologi yang dilemah-kan. Meskipun
demikian, ciri endogen yang samar dapat diamati; inersia, letargi, dan anhedonia
secara khas memburuk di pagi hari. Karena pasien secara klinis sering

menunjukkan fluktuasi saat dan di luar depresi berat, inti kriteria DSM-IV-TR
gangguan distimik cenderung menekankan pada disfungsi vegetatif, sedangkan
Kriteria B alternatif gangguan distimik (Tabel 12.2-2) pada lampiran DSM-IV-TR
memasukkan gejala kognitif.
Varian Distimik. Distimia lazim ditemukan pada pasien dengan gangguan
fisik yang menyebabkan ketidakmampuan kronis, terutama orang tua. Depresi
yang mirip dengan distimia yang bertahan selama 6 bulan atau lebih juga
ditemukan pada kondisi neurologis seperti stroke. Menurut konferensi WHO terkini, keadaan ini memperburuk prognosis penyakit neurologis yang mendasari,
sehingga perlu farmakoterapi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding gangguan distimik sangat identik dengan diagnosis
banding gangguan depresif berat. Banyak substansi dan penyakit medis dapat
menyebabkan gejala depresif kronis. Dua gangguan yang terutama penting untuk
dipertimbangkan di dalam diagnosis banding gangguan distimik adalah
gangguan depresif ringan dan gangguan depresif singkat berulang.
Gangguan Depresif Ringan. Gangguan depresif ringan (didiskusikan
pada Bagian 12.3) ditandai dengan episode gejala depresif yang lebih ringan
daripada gejala yang ditemukan pada gangguan depresif berat. Perbedaan antara
gangguan distimik dengan gangguan depresif ringan terutama adalah sifat
episodik gejala gangguan depresif ringan. Antara episode, pasien gangguan
depresif ringan memiliki mood eutimik, sedangkan pasien gangguan distimik
tidak memiliki periode eutimik.
Gangguan Depresif Singkat Berulang. Gangguan depresif singkat
berulang (didiskusikan pada Bagian 12.3) ditandai dengan periode singkat
(kurang dari 2 minggu) timbulnya episode depresif. Pasien dengan gangguan ini
akan memenuhi kriteria diagnostik gangguan depresif berat jika episodenya
bertahan iebih lama. Pasien gangguan depresi singkat berulang berbeda dengan
pasien gangguan distimik dalam dua hal: Pasien gangguan depresi singkat
berulang memiliki gangguan episodik dan keparahan gejalanya lebih berat.
Depresi Ganda. Sekitar 40 persen pasien dengan gangguan depresif berat

juga memenuhi kriteria gangguan distimik, suatu kombinasi yang sering disebut
depresi ganda. Data yang tersedia menyokong kesimpulan bahwa pasien depresi
ganda memiliki prognosis lebih buruk daripada pasien dengan hanya gangguan
depresif berat. Terapi pasien depresi ganda harus diarahkan pada kedua gangguan
karena perbaikan gejala gangguan depresif berat tetap meninggalkan pasien
dengan hendaya psikiatri yang bermakna.
Penyalahgunaan Alkohol dan Zat. Pasien dengan gangguan distimik
umumnya memenuhi kriteria diagnostik gangguan terkait zat. Komorbiditas ini
dapat menjadi logis: Pasien dengan gangguan distimik cenderung membentuk
metode koping untuk keadaan depresi kronisnya. Sehingga, mereka cenderung
meng-gunakan alkohol atau stimulan seperti kokain atau marijuana, pilihannya
mungkin terutama bergantung pada konteks sosial pasien. Adanya diagnosis
komorbid penyalahgunaan zat membuat dilema diagnostik untuk klinisi;
penggunaan banyak zat jangka panjang dapat menimbulkan gambaran gejala yang
tidak dapat dibedakan dengan gangguan distimik.
Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Sekitar 50 persen pasien dengan gangguan distimik mengalami awitan
gejalayang tidak disadari sebelum usia25 tahun. Walaupun awitannya dini, pasien
sering mengalami gejala selama satu dekade sebelum meminta bantuan psikiatri
dan dapat menganggap gangguan distimik awitan dini sebagai bagian dari
kehidupan. Pasien dengan awitan dini memiliki risiko mengalami gangguan
depresif berat maupun gangguan bipolar I dalam perjalanan gang-guannya. Studi
pada pasien dengan diagnosis gangguan distimik menunjukkan bahwa sekitar 20
persen berkembang menjadi gangguan depresif berat, 15 persen menjadi
gangguan bipolar II, dan kurang dari 5 persen menjadi gangguan bipolar I.
Prognosis pasien dengan gangguan distimik bervariasi. Agen antidepresif
(contohnya, fluoxetine [Prozac], dan bupropion [Wellbutrin]) dan jenis
psikoterapi khusus (contohnya, terapi perilaku dan kognitif) memiliki pengaruh
positif pada perjalanan dan prognosis gangguan distimik. Data yang tersedia
mengenai terapi yang sebelumnya tersedia menunjukkan bahwa hanya 10 sampai
15 persen pasien mengalami remisi I tahun setelah diagnosis awal. Sekitar 25

persen pasien dengan gangguan distimik tidak pernah mencapai pemulihan


sempurna. Meskipun demikian, secara keseluruhan prognosisnya baik dengan
terapi.
Terapi
Dulu, pasien dengan gangguan distimik tidak memperoleh terapi atau
dilihat sebagai kandidat untuk psikoterapi berorientasi tilikan untuk jangka waktu
lama. Data saat ini memberikan dukungan objektif untuk terapi kognitif, terapi
perilaku, dan farmakoterapi. Kombinasi farmakoterapi dan terapi kognitif atau
perilaku mungkin merupakan terapi yang paling efektif untuk gangguan tersebut.
Terapi Kognitif. Terapi kognitif adalah suatu teknik meng-ajarkan pasien
cara berpikir dan bersikap untuk menggantikan sikap negatif yang salah mengenai
diri mereka sendiri, dunia, dan masa depan. Terapi ini merupakan program terapi
jangka-pendek yang ditujukan pada masalah saat ini dan penyelesaiannya.
Terapi Perilaku. Terapi perilaku gangguan depresif ber-dasarkan teori
bahwa depresi disebabkan oleh kehilangan dorong-an positif akibat perpisahan,
kematian, atau perubahan lingkungan mendadak. Berbagai metode terapi
berfokus pada tujuan tertentu untuk meningkatkan aktivitas, memberikan
pengalaman yang me-nyenangkan, dan untuk mengajarkan pasien bersantai.
Mengubah perilaku pribadi pasien depresi diyakini sebagai cara paling efektif
untuk mengubah pikiran dan perasaan depresi yang terkait. Terapi perilaku sering
digunakan untuk menerapi ketidakberdaya-an yang dipelajari pada sejumlah
pasien yang tampaknya meng-hadapi setiap tantangan kehidupan dengan rasa
ketidakmampuan.
Psikoterapi Psikoanalitik Berorientasi Tilikan. Psikoterapi berorientasi
tilikan individu adalah metode terapi yang paling lazim untuk gangguan distimik,
dan banyak klinisi me-yakini bahwa terapi ini merupakan terapi pilihan.
Pendekatan psikoterapi berupaya menghubungkan perkembangan dan mempertahankan gejala depresif serta ciri kepribadian maladaptif dengan konflik yang
tidak terselesaikan dari masa kanak-kanak awal. Tilikan pada ekuivalen depresif
(misalnya penyalah gunaan zat) atau pada kekecewaan masa kanak-kanak sebagai
pendahulu dari depresi masa dewasa dapat diperoleh melalui terapi. Hubung-an

ambivalen dengan orang tua, teman, dan orang lain di dalam kehidupan pasien
saat ini diperiksa. Pengertian pasien mengenai cara mereka mencoba memuaskan
kebutuhan akan persetujuan dari luar yang berlebihan untuk melawan harga diri
yang rendah dan superego yang kasar adalah tujuan penting di dalam terapi.
Gangguan distimik meliputi suatu keadaan depresi kronis yang bagi
orang-orang tertentu menjadi jalan hidup mereka. Orang-orang ini secara sadar
mengalami diri mereka sendiri berada pada rasa kasihan dari objek internal
penyiksa

yang

tidak

biasanyadikonseptualisasi

berhenti
sebagai

menyiksa.
superego

Agensi

yang

kasar,

internal,

yang

mengkritisinya,

menghulcumnya karena tidak memenuhi harapan, dan umumnya turut


menyebabkan rasa men-derita dan tidak bahagia. Pola ini dapat dikaitkan dengan
kecende-rungan merusak diri karena pasien tidak merasa bahwa mereka pantas
berhasil. Mereka juga memiliki rasa putus harapan yang bertahan lama mengenai
pernah memperoleh kebutuhan emosional dari orang penting di dalam hidupnya.
Pandangan suram pasien akan kehidupan dan rasa pesimismenya di dalam
hubungan meng-hasilkan ramalan dari diri sendiri banyak orang menghindari
mereka karena mereka tidak menyenangkan sebagai teman.
Terapi Interpersonal. Di dalam terapi interpersonal gangguan depresif,
pengalaman interpersonal pasien saat ini dan cara menghadapi stres diperiksa
untuk mengurangi gejala depresif dan meningkatkan harga diri. Terapi
interpersonal berlangsung sekitar 12 sampai 16 minggu sesi dan dapat
dikombinasikan dengan obat antidepresan.
Terapi Keluarga dan Kelompok. Terapi keluarga dapat membantu pasien
dan juga keluarga pasien untuk menghadapi gejala gangguan, terutama ketika
tampaknya ada sindrom sub-afektif yang didasarkan secara biologis. Terapi
kelompok dapat membantu pasien yang menarik diri mempelajari cara baru
menghadapi masalah interpersonalnya di dalam situasi sosial.
Farmakoterapi. Karena keyakinan teoretis yang bertahan lama dan lazim
bahwa gangguan distimik adalah gangguan yang terutama ditentukan secara
psikologis, banyak klinisi menghindari peresepan antidepresan untuk pasien,
tetapi banyak studi menunjukkan keberhasilan terapi dengan antidepresan. Data

umumnya menunjukkan bahwa SSR1 bergunabagi pasien dengan gangguan


distimik. Laporan menunjukkan bahwa SSRI dapat menjadi obat pilihan.
Demikian juga, bupropion dapat menjadi terapi efektif bagi pasien dengan
gangguan distimik. Inhibitor monoamine okdisase (MAOI) efektif pada
subkelompok pasien distimik, suatu kelompok yang juga mungkin berespons
terhadap penggunaan amfetamin yang bijaksana.
KEGAGALAN UJI TERAPEUTIK. Suatu uji terapeutik antidepresan
dalam terapi gangguan distimik harus mencakup dosis mak-simal yang dapat
ditoleransi; untuk periode waktu minimum 8 minggu sebelum klinisi
menyimpulkan bahwa percobaan tidak efektif. Ketika percobaan obat tidak
berhasil, klinisi harus mem-pertimbangkan kembali diagnosis, terutama
kemungkinan gangguan medis yang mendasari (terutama gangguan tiroid) atau
gangguan defisit perhatian pada orang dewasa. Ketika pertimbangan kembali
diagnosis banding masih mengesankan bahwa gangguan distimik adalah
diagnosis yang paling mungkin, klinisi dapat me-ngikuti strategi terapeutik
gangguan depresif berat dan dapat men-coba memperkuat antidepresan dengan
menambahkan litium atau liotironin (Cytomel), Walaupun strategi gangguan
distimik lebih lanjut belvm dipelajari. Sebagai alternatif, klinisi dapat memutuskan penggantian antidepresan dari golongan kelompok antidepresan yang benarbenar berbeda. Contohnya, jika suatu uji dengan SSRI tidak berhasil, klinisi dapat
mengganti dengan bupropion, MAOI, atau trisiklik. Terdapat sejumlah laporan
penguatan dengan testosteron pada laki-laki yang resisten terhadap pengobatan.
Rawat inap. Rawat inap biasanya tidak diindikasikan untuk pasien
dengan gangguan distimik, tetapi terutama gejala yang berat, ketidakmampuan
profesional atau sosial yang nyata, ke-butuhan prosedur diagnostik yang
ekstensif, dan gagasan bunuh diri adalah semua indikasi rawat inap.
GANGGUAN SIKLOTIMIK
Gangguan siklotimik adalah bentuk gejala ringan gangguan bipolar II,
ditandai dengan episode hipomaniadan depresi ringan. Di dalam DSM-IV-TR,
gangguan distimik didefinisikan "'gangguan yang kronis dan berfluktuasi" dengan

banyak periode hipomania dan depresi. Gangguan ini dibedakan dengan


gangguan bipolar II, yang ditandai dengan adanya episode depresif berat, bukan
ringan, serta hipomanik. Seperti gangguan distimik, dimasukkannya gangguan
siklotimik dalam gangguan mood menunjukkan suatu hubungan, mungkin
biologis, terhadap gangguan bipolar I. Meskipun demi-kian, sejumlah psikiater
mempertimbangkan gangguan siklotimik tidak memiliki komponen biologis,
berbeda dengan gangguan bipolar I, dan merupakan akibat kekacauan hubungan
objek di awal masa kehidupan.
Pemahaman saat ini mengenai gangguan siklotimik didasarkan pada
pengamatan Emil Krapelin dan Kurt Schneider bahwa seper-tiga sampai dua
pertiga pasien dengan gangguan mood menunjukkan gangguan kepribadian.
Kraepelin menjelaskan empat jenis gangguan kepribadian: depresif (muram),
manik (ceria dan tidak terinhibisi), iritabel (labil dan eksplosif), serta siklotimik.
la menjelaskan kepribadian iritabel sebagai depresif dan manik serta kepribadian
siklotimik sebagai pergantian kepribadian depresif dan manik.
Epidemiologi
Pasien dengan gangguan siklotimik dapat mencapai 3 sampai 5 persen
pasien psikiatri rawat jalan, terutama mungkin mereka yang memiliki keluhan
bermakna mengenai kesulitan perkawinan dan interpersonal. Di dalam populasi
umum, prevalensi seumur hidup gangguan distimik diperkirakan sekitar 1 persen.
Gambaran ini mungkin lebih rendah daripada prevalensi yang sebenarnya karena
seperti pada pasien gangguan bipolar I, pasien ini mungkin tidak menyadari
bahwa mereka memiliki masalah psikiatri. Gangguan siklotimik, seperti juga
gangguan distimik, sering timbul bersamaan dengan gangguan kepribadian
ambang. Sekitar 10 persen pasien rawat jalan dan 20 persen dari pasien rawat
inap dengan gangguan kepribadian ambang juga memiliki diagnosis gangguan
siklotimik. Rasio perempuan-laki-laki pada gangguan distimik sekitar 3:2, dan 50
sampai 75 persen pasien memiliki awitan antara usia 15 dan 25 tahun. Keluarga
orang-orang dengan gangguan siklotimik sering memilikii anggota keluarga
dengan gangguan terkait zat.
Etiologi

Seperti gangguan distimik, terdapat kontroversi apakah gangguan


siklotimik terkait dengan gangguan mood, baik secara biologis atau psikologis.
Sejumlah peneliti telah menghipotesiskan bahwa gangguan siklotimik memiliki
hubungan yang lebih dekat dengan gangguan kepribadian ambang daripada
gangguan mood. Walaupun terdapat kontroversi ini, data biologis dan genetik
menyokong gagasan gangguan siklotimik sebagai benar-benar gangguan mood.
Faktor Biologis. Buktiterkuatuntukhipotesisbahwaganggu-an siklotimik
merupakan gangguan mood adalah data genetik. Sekitar 30 persen pasien dengan
gangguan siklotimik memiliki riwayat keluarga positif untuk gangguan bipolar I;
angka ini serupa dengan angka pasien dengan gangguan bipolar I. Lebih jauh lagi,
silsilah keluarga dengan gangguan bipolar I sering berisi generasi pasien
gangguan bipolar I yang dihubungkan dengan generasi yang memiliki gangguan
siklotimik. Sebaliknya, prevalensi gangguan siklotimik pada kerabat pasien
dengan gangguan bipolar I jauh lebih besar daripada prevalensi gangguan
siklotimik, baik pada kerabat pasien dengan gangguan jiwa lain atau pada orang
yang jiwanya sehat. Pengamatan bahwa sekitar sepertiga pasien dengan gangguan
siklotimik kemudian memiliki gangguan mood berat, bahwa mereka terutama
sensitif terhadap hipomania yang diinduksi antidepresan, dan bahwa sekitar 60
persen berespons terhadap litium, menambahkan dukungan lebih lanjut terhadap
gagasan bahwa gangguan siklotimik sama ringan atau merupakan bentuk
gangguan bipolar II yang lebih ringan.
Faktor Psikososial. Sebagian besar teori psikodinamik menghipotesiskan
bahwa timbulnya gangguan siklotimik terletak pada trauma dan fiksasi selama
fase oral perkembangan bayi. Freud menghipotesiskan bahwa keadaan siklotimik
adalah upaya ego menghadapi superego yang kasar dan bersifat menghukum.
Hipomania dijelaskan secara psikodinamik sebagai kurangnya kritisisme diri dan
tidak adanya inhibisi yang terjadi ketikaseorang dengan depresi membuang beban
dari superego yang terlalu kasar. Mekanisme defense utama pada hipomania
adalah penyangkalan (denial), di sini pasien menghindari masalah eksternal dan
perasa-an depresi internal.
Pasien dengan gangguan siklotimik ditandai dengan periode depresi yang

bergantian dengan periode hipomania. Eksplorasi psikoanalitik mengungkap


bahwa pasien tersebut mempertahan-kan diri mereka melawan tema depresif yang
mendasari dengan periode euforik atau hipomanik. Hipomania sering dicetuskan
oleh kehilangan interpersonal yang mendalam. Euforia palsu yang ditimbulkan
pada keadaan tersebut adalah cara pasien untuk menyangkal ketergantungan pada
objek cinta dan secara bersamaan memungkiri setiap agresi atau kerusakan yang
mungkin menyebabkan hilangnya orang yang dicintai. Hipomania juga dapat
disertai dengan khayalan dialam bawah sadar bahwa objek yang hilang telah
dikembalikan. Penyangkalan ini umumnya hanya bertahan sebentar dan pasien
segeramelanjutkan preokupasi dengan ciri penderitaan dan kesengsaraan
gangguan distimik.
Diagnosis dan Gambaran Klinis
Walaupun banyak pasien mencari pertolongan psikiatri untuk depresi,
masalah merekasering berkaitan dengan kekacauan yang ditimbulkan oleh
episode maniknya. Klinisi harus memper-timbangkan diagnosis gangguan
siklotimik ketika pasien datang dengan masalah perilaku yang tampaknya
sosiopatik. Kesulitan perkawinan dan ketidakstabilan dalam hubungan adalah
keluhan yang lazim timbul karena pasien dengan gangguan siklotimik sering
berganti pasangan dan iritabel saat berada dalam keadaan manik dan campuran.
Walaupun terdapat laporan yang kurang dapat diyakini akan adanya peningkatan
produktivitas dan kreativitas ketika pasien sedang dalam hipomanik, sebagian
besar klinisi melaporkan bahwapasien mereka menjadi kacau dan tidak efektif di
dalam pekerjaandan sekolah selama periode ini.
Criteria diagnostik DSM-IV-TR gangguan siklotimik (Tabel 12.2-3)
mensyaratkan bahwa seorang pasien tidak pernah meme-nuhi kriteria episode
depresif berat dan tidak memenuhi kriteria episode manik selama 2 tahun pertama
gangguan. Kriteria ini juga mengharuskan adanya gejala yang kurang lebih
konstan selama 2 tahun (atau 1 tahun untuk anak dan remaja).
Tanda dan Gejala. Gejala gangguan siklotimik identik dengan gejala
gangguan bipolar II, kecuali bahwa gejala gangguan siklotimik umumnya lebih
ringan. Meskipun demikian, kadang-kadang keparahan gejala dapat setara tetapi

dengan durasi yang lebih singkat daripadayang ditemukan pada gangguan bipolar
II. Sekitar setengah dari semua pasien dengan gangguan siklotimik memiliki
gejala depresi sebagai gejala utama, dan pasien seperti ini paling cenderung
mencari bantuan psikiatri ketika sedang depresi. Beberapa pasien dengan
gangguan siklotimik terutama memiliki gejala hipomanik dan cenderung lebih
jarang berkonsul-tasi dengan psikiater daripada pasien depresi. Hampir semua
pasien dengan gangguan siklotimik memiliki periode gejala campuran dengan
iritabilitas yang nyata.
Sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik yang di-temui oleh
psikiater tidak berhasil di dalam kehidupan profesional maupun sosial karena
gangguan mereka tetapi sejumlah kecil pasien berhasil, terutama mereka yang
bekerja untuk waktu yang lama dan tidur hanya sedikit. Kemampuan sejumlah
orangmengen-dalikan gejala gangguan bergantung pada berbagai atribut individual, sosial, dan budaya.
Kehidupan sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik sulit. Siklus
gangguan cenderung jauh lebih singkat daripada siklus di dalam gangguan bipolar
I. Di dalam gangguan siklotimik, perubahan mood terjadi tidak tentu dan
mendadak serta kadang-kadang terjadi dalam beberapa jam. Periode mood normal
dan sifat perubahan mood yang tidak dapat diduga menimbulkan stres yang hebat.
Pasien sering merasa mood mereka tidak dapat di-kendalikan. Pada periode
iritabel dan campuran, mereka dapat terlibat di dalam perseteruan tanpa pencetus
dengan teman, kelu-arga, atau pekerja.
Penyalahgunaan alkohol dan zat lain lazim ditemukan pada pasien
gangguan siklotimik, yang menggunakan zat baik untuk mengobati diri sendiri
(dengan alkohol, benzodiazepin, dan marijuana) atau bahkan untuk memperoleh
rangsangan lebih lanjut (dengan kokain, amfetamtn, dan halusi-nogen) ketika
mereka dalam keadaan manik. Sekitar 5 sampai 10 persen pasien dengan
gangguan siklotimik mengalami keter-gantungan zat. Orang-orang dengan
gangguan ini sering memiliki riwayat perpindahan geografis, keterlibatan dalam
pemujaan religius, dan pencinta seni.
Diagnosis Banding

Ketika diagnosis gangguan sikotimik sedang dipikirkan, semua penyebab


medis dan penyebab terkait zat yang memungkinkan pada depresi dan mania
seperti kejang dan zat tertentu (kokain, amfetamin, dan steroid) harus
dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang, antisosial, histrionik, dan
narsisistik juga harus dipertimbangkan di dalam diagnosis banding. Gangguan
defisit perhatian/hiperaktivitas (ADHD) dapat sulit dibedakan dengan gangguan
siklotimik pada anak dan remaja. Percobaan dengan stimulan membantu sebagian
besar pasien dengan gangguan defisit perhatian/gangguan hiperaktivitas dan
memperburuk gejala pada sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik.
Kategori diagnostik gangguan bipolar II (didiskusikan pada Bagian 12.1) ditandai
dengan kombinasi episode depresif berat dan episode hipomanik.
Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Beberapa pasien dengan gangguan siklotimik ditandai sebagai orang yang
sensitif, hiperaktif, atau tergantung mood seperti anak-anak. Awitan gejala nyata
gangguan siklotimik muncul per-lahan pada usia belasan atau 20 awal.
Munculnya gejala saat itu menghambat kinerja seseorang di sekolah serta
kemampuan men-jalin pertemanan dengan kawan sebaya. Reaksi pasien terhadap
gangguan tersebut bervariasi; pasien dengan pertahanan ego atau strategi koping
yang adaptif memiliki hasil yang lebih baik dari-pada pasien dengan strategi
koping yang buruk. Sekitar sepertiga dari semua pasien dengan gangguan
siklotimik mengalami gangguan mood berat, paling sering gangguan bipolar II.

Terapi
Terapi Biologis. Obat penstabil mood dan antimanik adalah terapi lini
pertama bagi pasien dengan gangguan siklotimik. Walaupun data percobaan
terbatas pada studi dengan litium, agen antimanik lain contohnya, karbamazepin
dan valproat (Depakene)dilaporkan efektif. Dosis dan konsentrasi plasma agen
ini harus sama dengan dosis dan konsentrasi plasma pada gangguan bipolar I.
Terapi antidepresan pada pasien depresi dengan gangguan siklotimik harus
diberikan secara hati-hati karena pasien ini memiliki peningkatan kerentanan

terhadap episode manik atau hipomanik yang diinduksi antidepresan. Sekitar 40


sampai 50 persen pasien dengan gangguan siklotimik yang diterapi dengan
antidepresan mengalami episode tersebut. Antikonvulsan seperti gabapentin
berguna bagi beberapa pasien. Klonazepam berguna untuk mengendalikan pasien
siklotimik yang mengalami agitasi secara periodik.
Terapi Psikososial. Psikoterapi untuk pasien dengan gangguan siklotimik
paling baik ditujukan untuk meningkatkan ke-sadaran pasien akan kondisi mereka
dan membantunya mem-bentuk mekanisme koping untuk mood swing mereka.
Terapis biasanya perlu membantu pasien memperbaiki kerusakan, baik yang
terkait dengan pekerjaan maupun keluarga, yang dilakukan selama episode
hipomania. Karena sifat jangka panjang gangguan siklotimik, pasien sering
membutuhkan terapi seumur hidup. Terapi keluarga dan kelompok dapat bersifat
mendukung, men-didik, dan terapeutik bagi pasien dan mereka yang terlibat di
dalam kehidupan pasien. Psikiater yang melakukan psikoterapi mampu
mengevaluasi derajat siklotimia dan juga menyediakan sistem peringatan dini
untuk mencegah serangan manik fullblown.

12.3 Gangguan Mood Lain


GANGGUAN MOOD YANG TIDAK TERGOLONGKAN
Jika pasien menunjukkan gejala depresif sebagai gambaran utama dan
tidak memenuhi kriteria diagnostik gangguan mood lain, diagnosis yang paling
sesuai adalah gangguan depresif yang tidak tergolongkan. Terdapat tiga jenis: (1)
gangguan depresif ringan, (2) gangguan singkat berulang, (3) gangguan disforik
pramenstruasi.
Gangguan Depresif Ringan
Literatur di Amerika Serikat mengenai gangguan depresif ringan sangat
terbatas, sebagian karena fakta bahwa istilah depresi ringan digunakan untuk
menggambarkan suatu kisaran luas gangguan, termasuk gangguan distimik pada
edisi revisi the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IVTR). Informasi mengenai gangguan ini cukup banyak ditambahkan di dalam
lampiran DSM-IV-TR dengan memasukkan pedoman diagnostik spesifik yang
memungkinkan peneliti menggunakan satu definist untuk gangguan tersebut.

Epidemiologi. Epidemiologi gangguan depresif ringan tidak diketahui,


tetapi data awal menunjukkan bahwa gangguan ini sama lazimnya dengan
gangguan depresif beratyaitu sekitar 5 persen prevalensi populasi umum. Data
awal juga menunjukkan bahwa gangguan ini lebih lazim ditemukan pada
perempuan dari pada perempuan. Gangguan depresif ringan mungkin mengenai
orang pada usia berapa pun, dari anak-anak sampai seterusnya.
Etiologi.

Penyebab

gangguan

depresif

ringan

tidak

diketahui.

Pertimbangan penyebab yang sama yang diberikan pada gangguan depresif berat
harus dipikirkan. Secara spesifik, teori biologis me-libatkan aktivitas sistem amin
biogenik serotonergik dan noradre-nergik serta aksis tiroid dan neuroendokrin
adrenal. Teori psiko-logis berpusat pada masalah kehilangan, rasa bersalah, dan
superego yang bersifat menghukum.
Diagnosis dan Gambaran Klinis. Gambaran klinis gangguan depresif
ringan identik dengan gambaran klinis gangguan depresif berat, kecuali pada
gangguan depresif ringan gejalanya lebih ringan. Gejala pusat kedua gangguan ini
samamood depresi. Periode kesedihan sebagai bagian dari per-ubahan di dalam
kehidupan seharusnya tidak dikelirukan dengan gangguan depresif ringan.
Diagnosis Banding. Diagnosis banding gangguan depresif ringan sama
dengan diagnosis banding gangguan depresif berat. Hal yang penting untuk
diagnosis banding gangguan depresif ringan adalah gangguan distimik serta
gangguan depresif singkat berulang. Gangguan distimik ditandai dengan adanya
gejala depresi kronis, sedangkan gangguan depresif singkat berulang ditandai
dengan beberapa episode singkat gejala depresif berat
Perjalanan Gangguan dan Prognosis. Tidak ada data pasti mengenai
perjalanan gangguan dan prognosis gangguan depresif ringan, tetapi gangguan
depresif ringan, mungkin seperti gangguan depresif berat, memiliki perjalanan
gangguan yang lama yang mungkin memerlukan terapi jangka panjang. Proporsi
bermakna pasien dengan gangguan depresif ringan mungkin memiliki risiko
terjadinyagangguan moodlain, termasukgangguan distimik, gangguan bipolar 1,
gangguan bipolar II, dan gangguan depresif berat.
Terapi. Terapi gangguan depresif ringan dapat mencakup psikoterapi,

farmakoterapi, atau keduanya. Sejumlah psikoterapis menganjurkan penggunaan


metode psikoterapeutik tetapi menggunakan data psikoterapi untuk gangguan
depresif berat adalah metode yang lebih konservatif. Psikoterapi berorientasi
tilikan, terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku adalah terapi
psikoterapeutik untuk gangguan depresif berat dan, dengan implikasi, untuk
gangguan depresif ringan. Pasien dengan gangguan depresif ringan mungkin
responsif terhadap farmakoterapi, terutama SSRI dan bupropion (Wellbutrin).
Gangguan Depresif Singkat Berulang
Gangguan depresif singkat berulang ditandai dengan episode multipel
gejala depresif yang relatif singkat (kurang dari 2 minggu), kecuali untuk
durasinya yang singkat, memenuhi kriteria gangguan depresif berat. Gangguan
depresif singkat berulang telah tertulis dalam hampir semua literatur Eropa, tetapi
dengan pengenalan sebagai kategori riset di dalam lampiran DSM-IV-TR,
diagnosisnya cenderung diterima dengan cepat di Amerika Serikat. Penerimaan
ini tampaknya akan dipermudah lebih Ian jut dengan peningkatan kesiagaan
klinisi bahwa gangguan depresif singkat beruiang relatif lazim ditemukan dan
disertai morbiditas bermakna.
Epidemiologi. Studi epidemiologi ekstensif mengenai gangguan depresif
singkat beruiang belum dilakukan di Amerika Serikat. Data yang tersedia
menunjukkan bahwa angka prevalensi 10 tahun untuk gangguan ini diperkirakan
10 persen pada orang berusia 20-an; angka prevalensi 1 tahun untuk populasi
umum diperkirakan 5 persen. Angka ini menunjukkan bahwa gangguan depresif
singkat beruiang paling lazim ditemukan pada dewasa muda tetapi lebih banyak
studi hams dilakukan untuk memperbaiki data tersebut.
Etiologi. Satu studi menunjukkan bahwa pasien gangguan depresif singkat
beruiang memiliki beberapa kelainan biologis berat yang sama dengan pasien
gangguan depresif berat jika dibandingkan dengan subjek kontrol yang sehat
jiwanya. Variabel ini mencakup nonsupresi DST, respons tumpul terhadap
hormon pelepas tirotropin (TRH), dan pemendekan latensi REM. Data konsisten
dengan gagasan bahwa gangguan depresif singkat beruiang sangat mirip dengan
gangguan depresif berat yaitu penyebab serta patofisiologinya. Data yang tersedia

juga mengesankan hubungan erat antara kedua gangguan dan menunjukkan


bahwa riwayat gangguan mood keluarga serupa untuk gangguan depresif singkat
beruiang dan gangguan depresif berat.
Diagnosis

dan

Gambaran

Klinis.

Gambaran

klinis

gangguan

depresifsingkat beruiang hampir identik dengan gambaran klinis pada gangguan


depresif berat. Satu perbeda-an samar adalah kehidupan pasien dengan gangguan
depresif singkat beruiang mungkin tampak lebih terganggu atau kacau karena
seringnya terjadi perubahan mood daripada kehidupan pasien dengan gangguan
depresif berat, yang episode depresifnya timbul pada saat yang dapat ditentukan.
Pada satu studi, rerata lama waktu antara episode gangguan depresif pada
gangguan depresif singkat beruiang yang dihitung adalah 18 hari. Hasil studi lain
menunjukkan bahwa episode gangguan tidur sangat bertepatan dengan episode
depresi sehingga membantu klinisi menegakkan periodisitas episode depresif.
Diagnosis Banding. Diagnosis banding gangguan depresif singkat
beruiang sama dengan diagnosis banding gangguan depresif berat. Klinisi harus
mempertimbangkan gangguan bipolar dan gangguan depresif berat dengan pola
musiman sebagai diagnosis banding. Riset pada gangguan depresif singkat
beruiang menemukan hubungan antara gangguan bipolar tipe siklus cepat. Klinisi
juga harus mengkaji apakah terdapat pola musiman pada kekambuhan episode
depresif pada pasien yang dievaluasi untuk diagnosis gangguan depresif singkat
beruiang. Setidaknya satu peneiiti memperkirakan bahwa pasien gangguan
depresifsingkat

beruiang

dapat

dimasukkan

dalam

subkelompokmenurut

frekuensi relatif episode depresifnya. Pembedaan ini tidak dimasukkan dalam


DSM-IV-TR Walaupun mungkin terbukti memiliki implikasi prognostik atau
terapi.
Perjalanan Gangguan dan Prognosis. Perjalanan gangguan dan
prognosis pasien dengan gangguan depresifsingkat berulang belum diketahui
dengan baik Berdasarkan data yang tersedia, perjalanan gangguan, termasuk usia
awitan dan prognosis, serupa dengan pasien dengan gangguan depresif berat.
Terapi. Terapi pasien gangguan depresif singkat beruiang serupa dengan
terapi pada pasien gangguan depresif berat. Terapi utama adalah psikoterapi

(psikoterapi berorientasi tilikan, terapi kognitif, terapi interpersonal, atau terapi


perilaku) serta farmako-terapi dengan obat antidepresan standar. Sejumlah terapi
gangguan bipolar Ilitium (Eskalith) dan antikonvulsanmungkin memiliki nilai
terapeutik. Terdapat kontroversi apakah pasien ini harus menjalani pengobatan
seumur hidup berdasarkan ke-yakinan bahwa setiap kekambuhan dapat lebih
buruk dari se-belumnya.
Gangguan Disforik Pramenstruasi
Di dalam lampiran, DSM-IV-TR mencakup kriteria diagnostik gangguan
disforik pramenstruasi untuk membantu peneiiti dan klinisi mengevaluasi
validitas diagnosis. Gangguan disforik pramenstruasi juga disebut gangguan
disforik fase luteal akhir. Sindrom yang umum dikenal ini meliputi gejala
mood(contolinya labilitas), gejala perilaku (contohnya perubahan pola makan),
dan gejala fisik (contohnya nyeri pada payudara, edema, dan sakit kepala). Pola
gejala ini terjadi pada waktu tertentu selama siklus menstruasi, dan gejalanya
membaik selama beberapa waktu di antara siklus menstruasi.
Epidemioiogi. Karena tidak adanya kesepakatan umum mengenai kriteria
diagnostik, epidemiologi gangguan disforik pramenstruasi tidak diketahui dengan
pasti. Satu studi melaporkan bahwa sekitar 40 persen perempuan mengalami
sedikitnya gejala pramenstruasi ringan dan bahwa 2 sampai 10 persen memenuhi
seluruh kriteria diagnostik gangguan tersebut.
Etiologi. Penyebab gangguan disforik pramenstruasi tidak diketahui.
Meskipun demikian, karena gejala terjadi pada siklus menstruasi, perubahan
hormonal yang terjadi selama siklus menstruasi mungkin terlibat dalam
menimbulkan gejala. Suatu teori lazim menandai gangguan tersebut akibat rasio
abnormal estrogen dan progesteron yang tinggi pada perempuan yang mengalami.
Hipotesis lain mengesankan bahwa neuron amin biogenik pada perempuan yang
mengalami ganguan ini dipengaruhi secara abnormal melalui perubahan hormon,
gangguan ini adalah contoh gangguan fase kronologis, dan merupakan akibat
aktivitas abnormal prostaglandin. Di samping teori biologis, masalah masya-rakat
dan pribadi mengenai menstruasi dan dunia perempuan dapat memengaruhi gejala
pasien.

Diagnosis dan Gambaran Klinis. Gejala kognitif dan mood yang


tersering adalah mood yang labil, iritabilitas, ansietas, penurunan minat terhadap
aktivitas, peningkatan mudahnya ke-lelahan, dan kesulitan berkonsentrasi Gejala
perilaku sering meliputi perubahan nafsu makan dan pola tidur. Keluh-an somatik
tersering adalah nyeri kepala, nyeri tekan payudara, dan edema. Pada wanita yang
terkena, gejala muncul selama se-bagian besar (jika tidak seluruh) siklus
menstruasi, meskipun biasanya gejala tersebut mereda sebelum akhir menstruasi
tersebut. Wanita yang terkena bebas gejala setidaknya 1 minggu selama setiap
siklus menstruasi.
Diagnosis Banding. Jika gejala terjadi di seluruh siklus menstruasi, tanpa
meredanya gejala di antara siklus, klinisi harus mempertimbangkan salah satu
gangguan mooo'yang terkait siklus nonmenstruasi serta gangguan ansietas.
Adanya

gejala

berat,

bahkan

jika

siklik,

harus

mendorong

klinisi

mempertimbangkan gangguan mood lain dan gangguan ansietas.


Perjalanan Gangguan dan Prognosis. Perjalanan gangguan dan
prognosis gangguan disforik pramenstruasi belum cukup dipelajari untuk
mencapai kesimpulan yang beratasan. Untuk mudahnya, gejala cenderung
menjadi kronis kecuali dimulai terapi yang efektif.
Terapi. Terapi gangguan disforik pramenstruasi mencakup dukungan pada
pasien mengenai adanya dan pengenalan gejala. Suplementasi progesteron,
fluoxetine (Sarafem), dan alprazolam (Xanax) semua telah dilaporkan efektif,
Walaupun tidak ada terapi yang secara jelas terlihat efektif pada percobaan
multipel dan terkontrol baik. Sejumlah klinisi menemukan bahwa dosis kecil
amfetamin (5 sampai 15 mg/hari) selama menstruasi membantu menghindari dan
mengurangi nyeri.
Gangguan Depresif Pascapsikotik pada Skizofrenia
Gangguan depresif pascapsikotik pada pasien skizofrenia di-kategorikan
di dalam lampiran DSM-IV-TR.
Epidemiologi. Tanpa adanya kriteria diagnostik yang spesifik, insiden
depresi pascapsikotik pada skizofrenia yang dilaporkan bervariasi kurang dari 10
persen hingga lebih dari 70 persen. Perkiraan yang beratasan berdasarkan studi

yang luas adalah sekitar 25 persen Walaupun gambaran pasti insiden harus
menunggu studi terkontrol menggunakan kriteria DSM-IV-TR.
Kebermaknaan

Prognostik.

Pasien

dengan

gangguan

depresif

pascapsikotik pada skizofrenia cenderung memiliki penyesuaian pramorbid yang


buruk, ciri gangguan kepribadian skizoid yang nyata, dan avvitan gejala psikotik
yang samar. Mereka juga biasanya memiliki kerabat derajat pertama dengan
gangguan mood. Walaupun temuan belum konsisten, gangguan depresif
pascapsikotik pada skizofrenia dikaitkan dengan prognosis yang kurang baik,
kecenderungan kekambuhan yang lebih besar. dan insiden bunuh diri yang
meningkat dari pada yang ditemukan pada pasien skizofrenia tanpa gangguan
depresif pascapsikotik.
Dengan ciri campuran: jika terdapat gejala mania dan depresi tetapi tidak
ade yang mendominasi Catatan pemberian kode: Cantumkan nama keadaan medis
umum pada Aksis I, cth., gangguan mood akibat hipotiroidisme dengan ciri
depresif, juga tuiiskan kode keadaan medis umum pada Aksis III.
Catatan pemberian kode: Jika gejala depresif timbul sebagai bagian
demensia vaskular yang sebelumnyatelah ada, tunjukkan: gejala depresif dengan
memberikan kode subtipe yang tepat, yaitu demensia vaskular dengan mood
depresi
Diagnosis dan Diagnosis Banding. Batasan klinis diagnosis sulit
dilentukan secara operasional. Gejala gangguan depresif pascapsikotik pada
skizofrenia dapat menyerupai gejala fase residual skizofrenia dan efek simpang
obat antipsikotik yang lazim digunakan. Membedakan diagnosis dengan
gangguan skizoafektif tipe depresif juga sulit. Kriteria DSM-IV-TR episode
depresif berat harus dipenuhi dan gejala harus ada hanya selama fase residual
skizofrenia. Gejala tidak boleh diinduksi zat atau bagian gangguan mood akibat
keadaan medis umum.
Terapi. Penggunaan antidepresan (contohnya fluoxetine [Prozac]) dalam
terapi gangguan depresif pascapsikotik pada skizofrenia telah dilaporkan di dalam
beberapa studi. Sekitar se-tengah dari studi melaporkan efek positif dan setengah
lagi me-laporkan tidak adanya efek pemulihan gejala depresif. Obat antidepresan

mungkin memulihkan gejala depresif pada sejumlah pasien tetapi hasil campuran
studi mencerminkan ketidakmampuan saat ini untuk membedakan pasien yang
akan berespons dengan pasien yang tidak akan berespons.
GANGGUAN BIPOLAR YANG TIDAK TERGOLONGKAN
Jika pasien menunjukkan gejala depresifdan manik sebagai ciri utama
gangguan mereka dan tidak memenuhi kriteria diagnostik gangguan mood lain
atau gangguan jiwa DSM-IV-TR lain, diagnosis yang paling tepat adalah
gangguan bipolar yang tidak ter-golongkan.
DEPRESI ATIPIKAL
Depresi atipikal mengacu pada kelelahan yang tumpang tindih dengan
riwayat ansietas somatik dan fobia, bersama dengan ke-balikan tanda vegetatif
(moorf memburukdi sore hari, insomnia, kecenderungan tidur berlebihan dan
makan berlebihan), sehingga berat badan bertambah bukannya menurun.
Gangguan tidur ter-jadi saat setengah malam pertama pada banyak orang dengan
gangguan depresif atipikal, sehingga iritabilitas, hipersomnolen, dan kelelahan di
siang hari dapat ditemukan. Temperamen pasien ditandai dengan ciri sensitif yang
terinhibisi. SSRI mungkin dapat menolong; meskipun demikian, MAOI
tanpaknya menunjukkan spesifisitas untuk pasien seperti itu. Pasien lain dapat
dibantu dengan psikostimulan seperti amfetamin.
GANGGUAN MOOD SEKUNDER
Gangguan mood sekunder terdiri atas dua kategori luas yang harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding setiap pasien dengan gejala gangguan
mood. Kedua kategori tersebut adalah (1) gangguan moot/akibat keadaanmedis
umurc dan (2) gangguan mood yang diinduksi zat.
Gangguan Mood Akibat Keadaan Medis Umum
Ketika gejala manik dan depresif terdapat pada seorang pasien dengan
keadaan medis umum, menghubungkan gejala depresi baik dengan keadaan
medis umum atau dengan gangguan mood dapat menjadisulit. Banyak keadaan
medis umum yang menunjukkan gejala depresif, seperti tidur yang buruk,
berkurangnya nafsu makan, dan Ielah. Kategori ini didiskusikan dengan ekstensit

pada Bagian 7.5. menguraikan kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan ini.


Gangguan Mood yang Diinduksi Zat
Gangguan mood yang diinduksi zat harus selalu dipertimbangkan dalam
diagnosis banding gejala gangguan mood. Klinisi harus mempertimbangkan tiga
kemungkinan. Pertama, pasien mungkin meminum obat untuk terapi masalah
medis nonpsikiatri. Kedua. pasien mungkin secara tidak sengaja atau tidak
diketahui telah terpajan bahan kimia neurotoksik. Ketiga, pasien mungkin
mengonsumsi suatu jenis zat hanya untuk tujuan rekreasional atau mungkin
tergantung zat tersebut.
Epidemiologi. Epidemiologi gangguan mood yang diinduksi zat tidak
diketahui. Meskipun demikian, prevalensinya mungkin tinggi, mengingat obat
untuk tujuan rekreasional telah digunakan dimana-mana, dengan fakta bahwa
banyak obat yang diresepkan dokter dapat menyebabkan depresi dan mania, serta
bahwa bahan kimia beracun berada di lingkungan dan di tempat kerja.
Etiologi. Obat-obatan, terutama antihipertensif, mungkin adalah penyebab
gangguan mood yang diinduksi zat tersering, Walaupun kisaran luas obat dapat
menimbulkan depresi dan mania. Obat-obat seperti reserpin (Serpasil) dan
metildopa (Aldomet), keduanya obat antihipertensif, dapat mencetuskan
gangguan depresif, mungkin dengan berkurangnya serotonin, seperti yang terjadi
pada lebih dari 10 persen orang yang mengonsumsi obat tersebut.
Diagnosis dan Gambaran Klinis. Kriteria diagnostik DSM-IV-TR
gangguan mood yang diinduksi zat memungkinkan spesifikasi zat terkait, waktu
awitan (selama intoksikasi atau putus zat), dan sifat gejala (contohnya manik atau
depresi) (Tabel 12.3 8). Waktu maksimum 1 bulan antara penggunaan zat dan
muncul-nya gejala dimungkinkan dalam DSM-IV-TR Walaupun waktu biasanya
lebih pendek dari itu. Pada sejumlah kasus, diagnosis dapat dibuat setelah lebih
dari 1 bulan.
Ciri manik dan depresif yang diinduksi zat dapat identik dengan ciri
manik dan depresif pada gangguan bipolar I serta gangguan depresif berat.
Meskipun demikian, gangguan mood yang diinduksi zat dapat menunjukkan
gejala yang hilang-timbul serta fluktuasi tingkat kesadaran pasien.

Diagnosis Banding. Adanya riwayat gangguan mood pada pasien atau


keluarga pasien mengarahkan ke diagnosis gangguan mood primer Walaupun
riwayat seperti itu tidak menyingkirkan kemungkinan gangguan mood yang
diinduksi zat. Zat juga dapat memicu gangguan mood yang mendasari pada
pasien yang secara biologis rentan terhadap gangguan mood.
Perjalanan Gangguan dan Prognosis. Perjalanan dan prognosis
gangguan mood yang diinduksi zat bervariasi. Sesaat setelah zat dibersihkan dari
dalam tubuh, mood normal biasanya kembali pulih. Meskipun demikian, kadang,
pajanan zat tersebut tampak mencetuskan gangguan moodjangka panjang yang
dapat memerlukan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk benarbenar pulih.
Terapi. Terapi primer gangguan mood yang diinduksi zat adalah
identifikasi zat penyebab yang terlibat. Menghentikan asupan zat biasanya cukup
menghilangkan gejala gangguan mood. Jika gejala menetap, terapi dengan obat
psikiatri yang sesuai mungkin diperlukan.
Gangguan Mood yang Tidak Tergolongkan
Jika pasien menunjukkan gejala mood yang sulit dibedakan antara depresi
dan mania serta tidak memenuhi kriteria diagnostik gangguan mood lain atau
gangguan jiwa DSM-IV-TR lain, diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan
mood yang tidak tergolongkan (Tabel 12.3-9). Mengingat banyaknya jenis
gangguan mood, diagnosis ini sebaiknya jarang digunakan. Klinisi diharuskan
berupaya menggunakan diagnosis yang lebih spesifik jika memungkinkan.

Gangguan Ansietas
13.1 Ikhtisar
Gangguan ansietas merupakan keadaan psikiatri yang paling sering
ditemukan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Studi menunjukkan bahwa
gangguan ini meningkatkan morbiditas, penggunaan pelayanan kesehatan, dan
hendaya fungsional. Pe-mahaman neuroanatomi dan biologi molekular ansietas
menjanji-kan pengertian baru mengenai etiologi dan terapi yang lebih spesifik
(dengan demikian lebih efektif) di masa mendatang.
GEJALA ANSIETAS
Pengalaman ansietas memiliki dua komponen: kesadaran akan sensasi
fisiologis (seperti palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran bahwa ia gugup atau
ketakutan. Selain pengaruh viseral dan motorik, ansietas memengaruhi pikiran,
persepsi, dan pembelajaran. Ansietas cenderung menimbulkan kebingungan dan
distorsi persepsi, tidak hanya persepsi waktu dan ruang tetapi juga orang dan arti
peristiwa. Distorsi ini dapat mengganggu proses pembelajaran dengan
menurunkan konsentrasi, mengurangi daya ingat, dan mengganggu kemampuan
menghubungkan satu hal dengan hal lain yaitu membuat asosiasi.
Aspek penttng emosi adalah efeknya pada selektivitas per-hatian.
Orangyangmengaiami ansietas cenderung meraperhatikan hal tertentu di dalam
lingkungannya dan mengabaikan hal lain dalam upaya untuk membuktikan
bahwa mereka dibenarkan untuk menganggap situasi tersebut menakutkan.
Jikakeliru dalam membenarkan rasa takutnya, mereka akan meningkatkan
ansietas dengan respons yang selektif dan membentuk lingkaran setan ansietas,
persepsi yang mengalami distorsi, dan ansietas yang meningkat. Jikasebaliknya,
mereka dengan keliru menentramkan diri mereka dengan pikiran selektif, ansietas
yang tepat dapat berkurang, dan mereka dapat gagal mengambil tindakan
pertahanan yang perlu.
ANSIETAS PATOLOGIS
Epidemiologi
Gangguan ansietas merupakan kelompok gangguan psikiatri yang paling
sering ditemukan. National Comorbidity Study melaporkan bahwa satu di antara

empat orang memenuhi kriteriauntuk sedikitnya satu gangguan ansietas dan


terdapat angka prevalensi 12 bulan sebesar 17,7 persen. Perempuan (prevalensi
seumur hidup 30,5 persen) lebih cenderung mengalami gangguan ansietas
daripada laki-Iaki (prevalensi seumur hidup 19,2 persen). Prevalensi gangguan
ansietas menurun dengan meningkatnya status sosio-ekonomik.
Kontribusi Hmu Psikologis
Tiga kelompok teori psikologis utamapsikoanalitik, perilaku, dan
eksistensialtelah menyumbang teori mengenai penyebab ansietas. Masingmasing teori memiliki kegunaan konseptual maupun praktis dalam terapi
gangguan ansietas.
Teori Psikoanalitik. Walaupun Sigmund Freud awalnya meyakini bahwa
ansietas berasal dari penumpukan libido fisiologis, iaakhirnya mendefinisikan
kembali ansietas sebagai sinyal adanya bahaya pada ketidaksadaran. Ansietas
dipandang sebagai akibat konflik psikik antara keinginan tidak disadari yang
bersifat seksual atau agresif dan ancaman terhadap hal tersebut dari superego atau
realitas eksternal. Sebagai respons terhadap sinyal ini. ego memobilisasi
mekanisme pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat
diterima agar tidak muncul ke kesadaran. Saat ini, banyak ahli neurobioiogi terus
menyokong banyak gagasan dan teori asli Freud. Satu contoh adalah peran
amigdala yang meningkatkan respons takut tanpa rujukan apapun pada memori
yang disadari dan menyokong konsep Freud mengenai sistem memori yang tidak
disadari untuk respons ansietas. Dari perspektif psikodinamik, tujuan terapi
bukanlah menghilang-kan semua ansietas tetapi meningkatkan toleransi terhadap
ansietasyaitu, kemampuan mengalami ansietas dan mengguna-kannyasebagai
sinyal untuk menyelidiki konflik dasar yang telah menciptakannya. Ansietas
muncul sebagai respons terhadap ber-bagai situasi selama siklus kehidupan, dan
upaya menghilangkan-nya dengan cara psikofarmakologis mungkin tidak
berfungsi apapun dalam menyelesaikan situasi kehidupan atau hubungan internal
yang telah mencetuskan keadaan ansietas.
Teori Perilaku-Kognitif. Teori perilaku atau pembelajaran ansietas telah

menghasilkan beberapa terapi yang paling efektif untuk gangguan ansietas.


Menurut teori ini, ansietas adalah respons yang dipelajari terhadap stimulus
lingkungan spesifik. Di dalam model pembelajaran klasik, orang tanpa alergi
makanan dapat menjadi sakit setelah di restoran memakan kerang yang terkontaminasi. Pajanan berikutnyaterhadap kerang dapat menyebab-kan orang ini
merasa sakit. Melalui generalisasi, mereka dapat menjadi tidak percaya pada
makanan yang dis iapkan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai