Anda di halaman 1dari 2

DIAGNOSIS PERTUSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan


laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis,
adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan
mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/L dengan
limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi
jumlah lekositosis tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%,
stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk mendeteksi
B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah diberikan pengobatan
antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi,
namun belum tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM,
IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan
respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis
merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak
setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis, atau empisema.
KOMPLIKASI PERTUSIS
1. Pneumonia. Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan.
-

Tanda yang menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk,
demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat.

2. Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.
-

Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri antikonvulsan

3. Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah.
-

Cegah gizi kurang dengan asupan makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada
perawatan penunjang.

4. Perdarahan dan hernia


-

Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi
khusus.

Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu
dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak
untuk evaluasi bedah setelah fase akut.

Anda mungkin juga menyukai