Anda di halaman 1dari 5

Claudia Helen Budiman

15.A1.0162

Tugas
Kewargane
garaan
Kasus dan Analisa
Pelanggaran Hak Warga
Negara

Ratu Atut Kini Tersangka 3 Kasus Korupsi Banten


RABU, 15 JANUARI 2014 | 06:05 WIB

TEMPO.CO , Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi menerbitkan surat perintah


penyidikan baru untuk Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Setelah menjadi
tersangka kasus korupsi penanganan sengketa pemilihan kepala daerah Lebak,
Banten, dan pengadaan alat kesehatan di Banten, Atut kini dijadikan tersangka
gratifikasi.
Di antaranya dari proyek alat kesehatan di Banten, kata juru bicara KPK, Johan
Budi, Selasa, 14 Januari 2014. Dalam konferensi pers pada Senin lalu, ia
menyebutkan penyidik telah menemukan dua bukti permulaan yang cukup.
Berikut penjelasan singkat ketiga kasus yang menjerat Atut itu:
1. Kasus sengketa Pemilukada Lebak, Banten, yang ditangani Mahkamah
Konstitusi
Peran: Atut bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan,
diduga memberikan suap sebesar Rp 1 miliar kepada Akil Mochtar (kala itu
Ketua MK) melalui seorang advokat Susi Tur Andayani, yang juga telah
menjadi tersangka kasus yang sama.
Pasal yang menjerat: Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang No 31
tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidan.
Dengan ancaman hukuman pidana penjara 3-15 tahun, denda Rp 150-Rp
750 juta.
2. Korupsi pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan Provinsi Banten
2011-2013
Peran: Wakil Ketua KPK, Zulkarnain, mengatakan Atut bertanggung
jawab sebagai pengguna anggaran. Wawan juga menjadi tersangka dalam
kasus ini.
Pasal yang menjerat: Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55
Ayat 1 ke-1 KUHPidana. Ancaman Pasal 2 adalah pidana penjara 4-20
tahun, dan denda Rp 200 juta-Rp 1 miliar. Sedangkan Pasal 3 pidana
penjara selama 1-20 tahun, dan denda Rp 50 juta-Rp 1 miliar.
3. Penerimaan gratifikasi atau pemerasan
Peran: Belum dijelaskan. Namun, juru bicara KPK Johan Budi S.P. saat
jumpa pers mengatakan penetapan ini merupakan hasil pengembangan
penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi
Banten pada 2011-2013.
Pasal yang dijeratkan: Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf a atau Pasal
12 huruf b atau Pasal 5 Ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Ancaman Pasal 12 adalah 4-20 tahun penjara, dan Rp 200 juta-Rp 1 miliar.
Sedangkan Pasal 5 dan Pasal 11 adalah pidana penjara selama 1-5 tahun,
dan denda Rp 50-Rp 250 juta.
NUR ALFIYAH

Claudia Helen Budiman


15.A1.0162

Sumber
: https://m.tempo.co/read/news/2014/01/15/063544863/ratu-atut-kinitersangka-3-kasus-korupsi-banten

Tebang 3 Pohon Mangrove, Kuli Pasir Divonis 2


Tahun dan Denda Rp 2 M
Senin, 24 November 2014 | 18:53 WIB
PROBOLINGGO, KOMPAS.com - Busrin (48), seorang kuli pasir asal Desa
Pesisir, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, divonis hukuman dua
tahun penjara dan denda Rp 2 miliar oleh Pengadilan Negeri Kota Probolinggo,
Jawa Timur, karena menebang pohon mangrove yang akan digunakan sebagai
kayu bakar untuk memasak di rumahnya.
Vonis itu dijatuhkan dalam sidang yang digelar 22 Oktober 2014 lalu dengan
majelis hakim terdiri atas Putu Agus Wiranata, Maria Anita dan Hapsari Retno
Widowulan.
Busrin ditangkap anggota Polair Polres Probolinggo, Bambang Budiantoni dan
Avan Riado di hutan Mangrove di kampung terdakwa di Desa Pesisir pada 16 Juli
2014 lalu. Busrin tak sadar bahwa menebang pohon mangrove itu adalah
perbuatan melawan hukum. Maklum, dia tak lulus pendidikan SD.
Kasus itu pun menjadi perhatian publik karena dianggap mencederai rasa
keadilan terhadap masyarakat kecil. Apalagi, istri dan anak-anak Busrin merasa
terpukul oleh kejadian tersebut karena terdakwa merupakan tulang punggung
keluarga.
Susilowati (58), istri Busrin, kini menggantikan suaminya untuk menghidupi
keluarganya sendiri, sejak Busrin mendekam di sel tahanan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II B Kota Probolinggo. Tak tega melihat Susilowati banting
tulang memenuhi kehidupan keluarganya, kerabat Busrin bergantian membantu
kebutuhan sehari-hari.
Ditemui Senin (24/11/2014), Susilowati mengaku sedih dan kecewa atas vonis
pengadilan tersebut. Menurut dia, hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 2
miliar jauh dari rasa keadilan. Suaminya hanya menebang 3 pohon mangrove.
Sementara itu, Pejabat Humas Pengadilan Negeri Kota Probolinggo, Putu Agus
Wiranata, menilai, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim sebenarnya sudah
cukup ringan karena merupakan vonis minimal.
Majelis hakim berpendapat, Busrin telah melanggar Pasal 35 huruf e,f dan g UU
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pasir dan Pulau-pulau
Terluar. Majelis hakim juga menyatakan tidak ada alasan untuk memaafkan
terdakwa, serta tidak ada alasan pembenaran untuk perbuatan terdakwa.
"Dengan adanya perbuatan terdakwa, yakni menebang pohon mangrove
tersebut dapat menyebabkan perubahan fungsi lingkungan dalam skala yang
luas apabila dilakukan secara terus-menerus dan merusak lingkungan ekologis
alam, terjadinya akumulasi pencemaran dan menurunkan kualitas air," demikian

Claudia Helen Budiman


15.A1.0162

salah satu isi putusan majelis hakim seperti yang dimuat website Mahkamah
Agung.
Sedangkan fungsi dari adanya pohon mangrove, masih menurut majelis hakim,
adalah untuk mengurangi risiko bencana sebagai biofilter untuk penetralisir
logam berat dan sebagai daerah pemijahan dan asuhan ikan serta biota lainnya.
Selain itu, pohon tersebut juga sebagai penahan erosi dan abrasi yang sangat
berguna bagi kepentingan orang banyak, sehingga dengan banyaknya fungsi
pohon mangrove, pemerintah melarang adanya penebangan terhadap pohon
mangrove.
Penulis

: Kontributor Probolinggo, Ahmad Faisol

Editor : Farid Assifa


Sumber :
http://regional.kompas.com/read/2014/11/24/18531221/Tebang.3.Pohon.Mangrov
e.Kuli. Pasir.Divonis.2.Tahun.dan.Denda.Rp.2.M

Analisa
Setelah membaca kedua artikel di atas, hal pertama yang muncul di
pikiran saya adalah suatu ungkapan yang sayangnya menjadi cukup sering
digunakan untuk mendeskripsikan sistem hukum di Indonesia. Ya, tumpul ke
atas, tajam ke bawah, suatu sindiran yang cukup nyata di mana hukum kita
dinilai terlalu lunak terhadap pelanggaran dari kalangan atas, tetapi justru
sangatlah memberatkan bagi kaum kecil.
Jika kita membandingkan antara dua kasus di atas, maka dengan sangat
mudah dapat kita lihat ketimpangan dalam dunia hukum di Indonesia. Di mana
suatu perkara yang begitu sepele dapat dibawa hingga ke persidangan dan
mendapatkan vonis yang begitu memberatkan dan tidak setimpal dengan
perkara yang ada, sedangkan koruptor yang menghambur-hamburkan uang
rakyat untuk memenuhi kehidupannya sendiri justru dapat dengan mudah lolos
dari jeratan hukum.
Hal ini menimbulkan pertanyaan yang cukup serius, bila dikaitkan
dengan UUD 1945, yang menurut UU no. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturaan Perundang-undangan, merupakan hukum dasar (konstitusi) yang
tertulis yang merupakan peraturan negara tertinggi dalam tata urutan Peraturan
Perundang-undangan nasional.
Dalam UUD 1945 Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, dalam
pasal 27 ayat (1) tertulis demikian :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

Claudia Helen Budiman


15.A1.0162

Sehingga dapat dikatakan, telah terjadi suatu permasalahan dalam


penyelenggaraan hak Warga Negara Indonesia, di mana terjadinya diskriminasi
antara penguasa dan non penguasa, antara golongan yang memiliki uang dan
yang tidak memiliki uang, dalam proses penegakkan hukum. Penegakkan hukum
justru mengingkari rasa keadilan dan menyengsarakan rakyat.
Keadaan seperti inilah yang sangat memprihatinkan karena dengan
demikian masyarakat semakin terpuruk, karena sampai kapanpun tidak akan
pernah bisa terwujud secara real. Usaha-usaha yang dilakukan semata mata
hanya dapat memperbaiki keadaan. Usaha inilah yang saat ini sangatlah
dibutuhkan oleh Indonesia, yang saat ini sedang dilanda krisis moral.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk permasalahan ini adalah
dengan :
a) Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai sistem hukum di
Indonesia, sehingga masyarakat sendiri dapat turut berpartisipasi
dalam mengatur jalannya hukum di negeri ini, dengan demikian sila ke5 dari pancasila dapat terpenuhi.
b) Meningkatkan kualitas moral dari Sumber Daya Manusia, dengan cara
menanamkan prinsip kejujuran sejak dini pada generasi penerus.
Dengan demikian generasi penerus yang mernjadi aparat penegak
hukum akan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk melakukan
diskriminasi hukum.
c) Meningkatkan profesionalisme dan kesadaran moral dari para aparat
penegak hukum sehingga semakin mengurangi kerawanan terjadinya
diskriminasi hukum yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum
d) Menindak tegas okum-oknum yang telah terlibat dalam diskriminasi
hukum serta memberikan hukuman yang berat bagi orang-orang yang
telah dinyatakan bersalah, sehingga menimbulkan efek jera serta
membuat orang yang ingin terlibat dalam diskriminasi hukum untuk
mengurungkan niatnya
Lewat usaha-usaha di atas diharapkan dapat memunculkan suatu
bentuk kesadaran dari masyarakat sendiri akan hak-nya untuk mendapat
perlakuan yang sama di hadapan hukum, dengan munculnya kesadaran itu
sendiri, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam menentukan jalur hukum
yang ditempuh ketika terjadi suatu kasus yang berakhir pada meja hijau.
Dengan dukungan berbentuk kesadaran dari masyarakat diperoleh,
maka pemerintah dapat dengan mudah mengambil tindakan tegas untuk ikut
membantu proses pengurangan diskriminasi hukum, contohnya, dengan
membentuk Komisi Anti-Diskriminasi Hukum, dan lain sebagainya.
Jadi, melalui analisa saya, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
pelanggaran hak Warga Negara Indonesia yang berlarut-larut dalam sistem
hukum Indonesia yang menyebabkan terjadinya ketimpangan hukum. Hal ini
dapat diperbaiki dengan membangun kesadaran masyarakat akan hak-nya
tersebut, meningkatkan profesionalitas dari para aparat penegak hukum, dan
menindak tegas oknum yang terlibat dalam diskriminasi hukum.

Claudia Helen Budiman


15.A1.0162

Anda mungkin juga menyukai