Anda di halaman 1dari 22

Artikel seni

budaya
Tentang seni dan
budaya dari
pedalaman aceh

1.Eka yulianti
2.Herry kiswanto
3.Hikmah
4.M. Adi dwi putra
5.Noorlia
6.Rizki aulia nisa
7.Sindi sintia dewi

8.Sinthya dewi viramitha


9.Siti hasanah
10. Yulia cahyani p

1. Budaya dari suku Nias


Budaya Nias

Dari kebiasaan berperang antar desa kemudian timbul kesenian


Tari Perang dan lompat batu, Fahombe. Acara lompat batu ini
dahulu dikhususkan untuk persiapan perang. Karena biasanya
setiap desa membentengi dirinya dengan pagar bambu
setinggi dua meteran, maka para pria desa di latih untuk bisa
melompati pagar itu dengan cara melompati batu. Lompat batu
merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan
unik, dimana seorang pria melompat diatas sebuah tumpukan
batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Lompatan itu untuk
menunjukkan kedewasaan seorang pria, para pengunjung
dapat menyaksikan lompat batu tersebut di desa Bawomatolua,
Hilisimaetano atau didesa sekitarnya. Lompat batu dilakukan
untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria, walaupun hal ini
sangat berbahaya tetapi menjadi sebuah olahraga yang
menyenangkan.
Tarian perang tradisional Nias juga sangat menarik tetapi
jangan takut karena tarian ini bukan untuk menunjukkan
perang yang sebenarnya. Para penari mengenakan pakaian
tradisional, pakaian yang terbuat dari sabut ijuk dan serat kulit
kayu dan kepala mereka dihiasi dengan bulu burung, dan
ditangan mereka membawa tombak dan perisai.
Nias memiliki rumah adat yang sangat menarik. Rumah
tradisional yang tertua dan terluas yang dinamakan Omo
Sebua, yang merupakan rumah asli dan suku yang suka perang
terdapat di dea Bawomatulou atau Sunhill. Rumah ini
tingginya mencapai 22 m dan beberapa tiangnya lebih tebal
dari 1 m. Rumah ini masih dimiliki dan ditempati oleh keluarga
kerajaan.
Arsitektur dari bangunan ini bagus sekali, mempunyai ukuran

dinding yang menarik untuk menghormati upacara pesta yang


terkenal dan hiasan perabotnya, seperti meja dan kursi
beratnya masing-masing mencapai 18 ton.
Dikebudayaan Nias tarian tradisional merupakan hal penting
dan masih ada sampai sekarang, contohnya :
Maluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di
bagian utara namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan
minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan lebih baik.
Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat.
Maluaya di PP Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di PP
Batu para wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan
langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan
pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas,
penguburan dan pesta untuk menyambut pendatang baru.
Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang
ditarikan oleh wanita dan pria, biasanya ditarikan pada
uapacara pernikahan.
Forgaile adalah sebuah tarian khas Nias Selatan yang ditarikan
oleh wanita untuk mengekspresikan rasa hormat dan untuk
menyambut tamu khusus dan memberikan mereka sirih
tradisional. Di bagian Utara dinamakan Mogaele dan dapat
ditarikan oleh wanita dan pria.
Foere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari
wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan
bentuk dari penyembahan untuk berakhirnya kematian dan
bencana.
Fanarimoyo (tarian perang) adalah sebuah tarian yang ditarikan
di Nias Selatan dan Utara oleh 20 penari wanita, kadangkadang didalam lingkaran ditarikan oleh penari pria. Dibagian
utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan
gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara
hiburan. Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus
menikahi pria yang tidak dicintainya. Dia berdoa supaya
menjadi seekor elang yang dapat terbang.
Foluaufaulu adalah upacara yang menandakan kedudukan
status seseorang pada zaman megalithikum. Dalam upacara ini
ditarikan kedua tarian Maluaya dan Foere.
Famadaya Hasijimate (Siulu) adalah sebuah upacara
pemakaman bagi keturunan raja di Nias Selatan. Di dalam
upacara ini, tarian Maluaya ditarikan dibawah pimpinan desa
Shaman, peti mati diukir dari batang kayu pohon dan ukiran

kepalanya dihiasi dengan sebuah batang kayu untuk


memperlihatkan dasarnya setelah itu jenasah tersebut
dikuburkan.
Mandau Lumelume adalah sebuah tarian dengan tujuan untuk
memanggil roh. Tarian ini hanya ada di PP Batu.
Manaho adalah tarian yang ditarikan pada acara pernikahan
dan untuk menyambut tamu penting. Penari wanita berjejer di
depan dan penari pria yang berada di samping melakukan
gerakan yang mirip dengan tarian perang. Karena tarian ini
sangat mahal biasanya masyarakat kelas bawah menarikan
tarian Boli-boli. Tarian ini ditarikan di dalam gedung, dengan
tujuan agar tamu tidak terasa bosan. Tarian ini hanya ada di PP
Batu.
Tari Tuwa adalah tarian yang menampilkan seorang penari
wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk
menghormati para pemimpin.
Fadabu adalah sebuah upacara untuk mempertunjukkan
kekebalan seseorang. Sebuah pertunjukan yang menikam
dirinya sendiri dengan benda tajam. Didalam bahasa Indonesia
namanya Debus dan banyak dijumpai di Indonesia.
Silat Nias adalah sebuah bentuk seni perang tradisional yang
lebih menekankan kepada sisi seninya daripada sisi perangnya.
Masyarakat Aceh dan pesisir memperkenalkan tarian ini ke
Nias. Ada banyak jenis nama-nama tarian ini : Starla, Aleale,
Sangorofafa, famosioshi, dll.
Fatabo adalah sebuah peristiwa unik di PP Batu. Fatabo bukan
sebuah tarian hanya sebuah cara untuk menangkap ikan di air
yang dangkal. Dua baris orang yang masing-masing di bawah
pimpinan, berjalan meninggalkan air tersebut dan membawa
sebuah kotak. Pemimpin tersebut meminta agar dibuat suara
keras dan memukul air tersebut dengan tongkat, kemudian
mereka berjalan di atas tanah, menyembunyikan kotak
tersebut dan menyimpan ikan tersebut diantara mereka dan
pantai. Di pantai lain barisan pria bergerak melemparkan
jaringan untuk menangkap ikan. Keseluruhan peristiwa ini
adalah sebuah nilai seni yang mempunyai irama musik dan
keributan. Fatabo sangat populer di pulau Sigata dan desa
Wawa di tanah Masa. Sekarang sangat jarang dijumpai di Nias.
Beberapa alat musik yang digunakan adalah : Dolidoli adalah
sejenis gamelan yang terbuat dari kayu atau bambu. Garamba
adalah gong besar dan sangat penting dalam musik tradisional
Nias. Faritia adalah sebuah alat pemukul. Fondrahi adalah

sebuah drum kecil yang terbuka disatu sisinya, bentuk yang


lebih besar dinamakan Gondra.
Syair Tradisional Nias Hoho Hilinawal-Fau
Di seluruh Nias, Hoho bukan hanya sekedar tuturan lisan
biasa. Hoho merupakan temali pengikat jembatan yang
menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang. Jembatan
yang dapat meneruskan dan menghadirkan peristiwa hidup
para leluhur kepada generasinya yang masih ada hingga kini.
Hoho merupakan ceritera, legenda dan mite yang dituturkan
secara turun-temurun oleh orang-orang yang memiliki
pengetahuan karena pernah mendengar atau mempelajarinya
dari orang tua.
Karena itu banyak juga syair Hoho yang dituturkan secara
bervariasi dan sesuai dengan kemampuan penutur. Ini
merupakan kekayaan dari hoho itu sendiri dan sekaligus
menjadi kelemahan. Oleh karena itu, syair dan inti Hoho perlu
dianalisa dan tidak bisa diterima atau diaminkan begitu saja.
Banyak sejarah masa lalu hanya diketahui lewat tuturan Hoho.
Misalnya tuturan lisan mengenai asal-muasal ke empat leluhur
orang Nias Hoho si fa br danm. Demikian juga seluk
beluk mengenai Sirao, Hia dan Ho serta fenomena ibu
Nandrua di Nias. Hoho yang dituturkan itu merupakan dasar
dan awal untuk membuka cakrawala dan analisa kita tentang
sejarah Ono Niha
Begitu banyak versi dan pesan hoho di Nias. Sayang sudah
langka orang-orang yang mengetahuinya. Pada zaman ini tak
ada lagi ERE hoho yang sangat handal di Nias. Mereka telah
pergi, dan pengetahuan mereka tentang Nias telah terkubur
bersama jasat mereka.
Karena itu, sekalipun tidak banyak lagi, Museum Pusaka Nias
sedang berusaha mengumpulkan dan merekam hoho yang
masih ada dan menjadikannya sebagai pengetahuan sejarah
dan seni etnik Nias bagi generasi muda yang mencintai dan
bangga akan Nias.

Marga Suku Nias


Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya :
Amazihn, Beha, Baene, Batee, Bawamenewi, Bawaniwao,
Bawo, Bohalima, Buull, Buaya, Bunawolo, Dachi, Dachi
Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha, Fau, Farasi,
Gaho,Gea, Giawa, Gowasa, Gul, Halawa, Harefa, Haria, Harita,
Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura, Lafau, Lahagu, Lahomi,

Laia, Laoli, Laow, Larosa, Lase, Lawolo, Loi, Lombu, Manao,


Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri,
Mendrfa, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Saoiago, Sarumaha,
Sihura, Tafonao, Telaumbanua, Wau, Wakho, Waoma,
Waruwu,Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zandroto, Zebua, Zega.
Makanan dan Minuman Khas Nias
Bawi niowuru
Dodol durian
Durian
Bawi Niunag (Daging babi yang dikeringkan dengan
pengasapan)
Gowi Nihandro/Gowi Nitutu (Ubi tumbuk)
Harinake
Gado-godo
Dedek babi
Tuo Nifar (minuman khas Nias)

Rumah adat suku Nias

Rumah Adat Tradisional Nias (Omo Hada) merupakan simbol


kemegahan masyarakat Nias di zaman dulu, sebuah karya
arsitektur yang unik dan bernilai tinggi, tidak menggunakan
paku besi untuk menghubungkan masing-masing bagian di
rumah adat tersebut, hanya menggunakan pasak kayu namun
terbukti kokoh dan tahan gempa

Berbicara tentang Omo Hada (Rumah Adat), secara umum,


Omo Hada terbagi atas tiga jenis (menurut Alain M.Viaro dan
Arlette Ziegler) berdasarkan bentuk atap dan denah lantai
bangunan. Yang pertama adalah tipe Nias Utara dengan ciri
khas bentuk atap bulat dan bentuk denah oval, Tipe Nias
Tengah Bentuk atap bulat , bentuk denah segi empat; dan
Tipe Nias Selatan Bentuk atapnya segi empat , dengan
bentuk denah persegi.
Omo Hada di Nias dibedakan oleh denah lantai dasar yang
khas dengan bentuk lonjong. Atapnya terdiri dari struktur yang
lebih ringan dengan ruangan bawah atap yang tanpa halangan,
yang memungkinkan lantai tingkat di atas sebagai lantai
tempat tinggal utama. Omo Hada Utara bukan saja
menampilkan kesan monumental, tetapi juga berperan sebagai
wadah bertinggal yang leluasa dan nyaman. Denah dengan
pola open lay out memudahkan penghuni mengatur tata
ruang sesuai selera. Pola paling umum adalah membagi ruang
menjadi empat bagian, cukup dengan meletakkan dinding
penyekat bersilangan tegak lurus satu sama lain di tengah
ruangan. Sistem denah terbuka juga membuat rumah
vernakular ini sangat adaptif dengan kebutuhan masyarakat
masa kini sebab pemilik rumah dapat leluasa menggunakan
berbagai perabot modern di dalamnya. Kenyamanan ruang
cukup terjaga karena elemen rumah dirancang secara cerdik
menggunakan prinsip arsitektur tropis.
Di tempat-tempat yang diinginkan, bilah dinding papan bisa
diganti jerajak untuk menciptakan bukaan. Di ruang duduk
lantai di sepanjang dinding umumnya sengaja ditinggikan dan
sebuah bangku diletakkan menempel sepanjang dinding. Dari
bangku ini penghuni memandang bebas ke arah luar. Dinding
miring memungkinkan privasi karena seluruh kegiatan di balik
rumah tidak tampak dari luar walaupun jerajak dibiarkan
terbuka sepanjang hari. Bukaan dengan posisi miring mampu
mengatasi tempias air hujan. Ukurannya cukup lebar sehingga
udara dan cahaya alam bebas menerobos masuk ke dalam
rumah. Di ruang duduk dan dapur, salah satu bagian atap
dapat berfungsi sebagai sky light, cukup dengan cara
mendorongnya ke arah luar lalu menopang nya dengan
tongkat dari dalam.

Biaya pemeliharaan sebuah rumah adat sangatlah besar


karena membutuhkan perawatan dan bahan-bahan khusus.
Untuk mempertahankan keaslian dan kelestarian Omo Hada,
para pemilik rumah dituntut untuk rutin mengganti atap (Sago)
rumah yang berbahan daun rumbia (Metroxylon sagu)
setidaknya
sekali
setiap
tahunnya
(tergantung
ketebalan/sisipan atap rumbia yang digunakan). Kendalanya
adalah, penggantian atap rumbia ini tidak bisa sekaligus
dilakukan, harus dengan cara penyisipan/penggantian di
beberapa bagian yang sudah lapuk. Sebuah Omo Hada
membutuhkan setidaknya 5000 (lima ribu) ngaela (helai) atap
rumbia dengan harga bervariasi antara Rp.1.500-2.500 per
helainya. Atap hanyalah salah satu komponen dalam rumah
adat
yang
perlu
diperhatikan
perawatannya,
selain
penggantian papan lantai (fafa gahembato) dan dinding,
Ehomo (tiang penyangga), Ndriwa (tiang pondasi) dan struktur
rumah lainnya yang keseluruhan berbahan kayu dengan biaya
puluhan juta rupiah
Omo Hada di Nias sebagian besar terletak di daerah
pegunungan yang aksesnya susah dijangkau. Tujuan
pembangunan Omo Hada di daerah pegunungan di zaman dulu
adalah untuk menghindari diri dari serangan musuh. Namun
saat ini, lokasi di daerah pegunungan ini menjadi kendala besar
bagi para pemilik rumah adat dalam mendapatkan air untuk
keperluan rumah tangga. Sehingga seringkali mereka perlu
berjalan 500m-1km untuk mendapatkan sumber mata air.
(Dahulu, sebelum adanya jeriken, pengangkutan air ini
menggunakan Asoa yakni bambu yang telah dilubangi antar
ruasnya untuk menampung air).
Proses pembongkaran Omo Hada yang dilakukan oleh
salah satu pemiliknya
Mendirikan sebuah rumah adat bukanlah suatu hal yang mudah
karena dibutuhkan keahlian khusus dan ketekunan dalam
melakoninya.
Salah
satu
kendala
dalam
pembangunan/rehabilitasi
rumah adat adalah susahnya
mendapatkan tukang yang benar-benar ahli dalam pengerjaan
struktur kayu pada Omo Hada. Salah satu tukang yang mampu
menjawab kendala ini adalah Kasman Larosa yang bertempat
tinggal di Desa Helefanikha Kecamatan Gunungsitoli Idanoi
yang baru saja mendirikan sebuah Omo Hada.

Proses pembangunan Omo Hada yang membutuhkan keahlian


dan ketrampilan khusus.
Perlu adanya solusi dan strategi yang lebih tepat agar
masyarakat pemilik rumah adat tidak selamanya tergantung
pada bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk
mempertahankan kelestarian rumah adat tradisional di Pulau
Nias.

Kehidupan sosoal
Pemberian salam kepada sesama sangat tinggi nilainya
terhadap satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak
bersapaan atau memberi salam kepada yang lain, maka
diantara kedua belah pihak sudah terjadi disintegrasi sosial
yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur
bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang
kurang diterima oleh kebanyakan orang. Jika sifat di atas tidak
ada maka relasi mereka menjadi lebih akrab sehingga setiap
bertemu selalu menyapa dengan ucapan Yaahowu (salam
khas Nias) yang dilanjutkan dengan kata Yae nafoda atau
bolog ddu, l afoda (ini sirih kita atau maaf kita tidak
punya sirih). Dalam situasi tersebut kedua belah pihak saling
memakan sirih. Setelah itu baru diakhiri dengan salam kembali
dan kata yaami ba lala (selamat jalan) sebagai kata
perpisahan.
Beberapa kebiasaan mendasar :
a. Persiapan Orang yang hendak bertamu
Wanita yang sudah dinamai Si no lafat turu atau sino
lafotu (sudah berkeluarga dengan tahap-tahap adat) pergi
bertamu baik kepada orang yang sudah dikenal maupun
kepada orang yang belum dikenal selalu mempersiapkan diri
dari rumah berupa penghormatan. Sebelum berangkat dari
rumah bila seorang bapak yang pergi dia mengatakan kepada
istrinya biz(d)i nafogu ua (persiapkan sirih saya dulu), saya
mau pergi kepada Ama Warisan. Lalu ibu mempersiapkan sirih
dan memberikanna di Naha nafo (Kempit sirih). Setelah siap
dipersiapkan baru bapak mengambil dan disimpannya dalam
kantongnya.

Dalam perjalanan, setiap orang yang bertemu kepadanya


selalu memberi salam Yaahowu dan mengambil sirih yang
telah dipersiapkan dari rumah dan diberikan kepada orang
yang bertemu dengan dia mengatakan Yae nafoda (ini sirih
kita). Setelah selesai baru melanjutkan perjalanan di mana
tujuan pertamanya.
Bila seorang ibu rumah tangga yang hendak bertamu baik pergi
kepada Sitenga b (kerabat) maupun kepada orang lain,
terlebih dahulu mempersiapkan sirih yang ditempatkan di
Naha Nafo (kempit sirih), dan setiap orang yang hendak
bertemu selalu memberi salam Yaahowu terus bersalaman
dan baru menyungguhkan sirih satu dengan yang lain.
b. Kebiasaan bila tamu datang di rumah
Bila seseorang datang di rumah untuk bertamu selalu dimulai
dengan kata salam Yaahowu dan dilanjutkan sikap
bersalaman. Kemudian disambung dengan kata Yae nafoda
(ini sirih kita) atau bolog ddu Lafoda (maaf tidak ada sirih
kita). Baru ibu rumah tangga menyuguhkan sirih kepada para
tamu. Pada saat saling mungunyah sirih yang disuguhkan
timbal balik, ibu rumah tangga berkata: Hadia gda Gaa atau
Baya? (apa makanan kita?) dan sebagainya, Hana
wamikaoniga? (Kenapa kalian mengundang kami?). Tamu yang
datang menjawab: L hadi, miga manr-nr man (tidak
ada, hanya sekedar jalan-jalan saja).
Dari kata seorang ibu di atas, itu bukan berarti menghendaki
supaya ada makanan dengan bertanya apa makanan kita.
Tetapi sapaan untuk menindak lanjuti kata seterusnya supaya
ada keakraban dan nampak lebih dekat. Begitu sebaliknya
dengan jawaban dari tamu yang mengatakan hanya jalanjalan saja atau meminta makanan kami. Itu semua kedua
belah pihak hubungan mereka lebih kekeluargaan. Hal ini juga
tidak dikatakan kepada orang yang tidak dikenal sama sekali.
Kedua hal ini baik sebagai tamu atau tuan rumah mempunyai
tujuan yang berbeda dari pada ungkapan pertama tadi.
Setelah beberapa saat baru tamu memberitahukan apa tujuan
yang sebenarnya dan tuan rumah baru berbicara yang

sebenarnya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh tamu.


Setelah selesai pembicaraan baru dilanjutkan dengan kata
mofanga (permisi, kami pergi). Tuan rumah tidak terus
mengizinkan pergi tetapi harus Lasaisi artinya kita tahan
mereka untuk menunggu makan. Dengan kata Tabase da
idan ua (mari kita minum dulu) atau tabase da wakhe
safusi ua hana wa as-as sibaik (mari kita tunggu
makanan kita nasi putih dulu, kenapa tergesa-gesa sekali) Ha
wal diwo-diwoda (hanya saja, tidak ada lauk pauk kita).
Kata-kata di atas sikap tamu bisa menunggu bisa juga tidak.
Karena hanya merupakan basa basi. Dilanjutkan dengan kata
maaf tidak ada lauk pauk kita. Itu hanya menunjukkan
kerendahan hati walaupun kenyataannya lauk-pauk mereka
anak babi yang tambun, ayam atau Niowuru (daging babi
yang sudah digarami).
c. Kebiasaan waktu makan
Pada hari biasa mereka makan tiga kali sehari. Pagi hari mereka
makan Sinan (umbi-umbian) siang hari mereka makan
umbi-umbian dan nasi sebagai Fangazkhi dd (makanan
yang menyenangkan). Pada malam harinya mereka makan
seperti makan siang. Sehingga setiap hari mereka rutin makan
nasi dua kali sehari. Pada hari minggu mereka makan dua kali
sehari makan sebelum pergi ke gereja dan pada malam
harinya. Pada saat makan sedang berlangsung tidak boleh
ngomong-ngomong karena marah Sobawi (yang selalu
menegur anggota keluarga bila melalaikan ketertiban di
rumah).
Makanan nasi ini lebih tinggi nilainya dari pada makanan yang
lain. Bila makan tidak boleh tersisa dan dibuang begitu saja.
Kemudian kalau dimasak harus pakai ukuran apakah Tumba
(jumba), Hinaoya (liter), kata (tekong) dan lain-lain serta tidak
boleh Lafass (dipadatkan) dalam periuk, tidak boleh
dipukul-pukul pinggir periuk dengan sendok. Semua pantangan
ini apabila tidak ditaati maka bisa berakibat marah Sibaya
Wache (pemilik dari pada nasi tersebut) seandainya marah
akibatnya bila menanam padi tidak subur dan tidak

menghasilkan banyak buah serta banyak mendatangkan


berbagai wabah penyakit dan bila dimasak L mosi (artinya
walaupun satu jumba dimasak tetapi hasil masakan nampak
seperti satu liter).
d. Kebiasaan suami-istri bila pergi bersama
Orang Nias pada masa dulu bila pasangan suami-istri itu pergi
bersama mempunyai norma adat tertentu yang mana bila pergi
bersama kemana saja baik ke ladang, ke sawah, pergi kepada
paman atau pergi pada pesta-pesta selalu laki-laki di belakang
dan perempuan di depan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita
itu adalah istrinya, yang wajar mendapat perlindungan dari
berbagai gangguan, yang dicintai, yang dikasihani, serta
menunjukkan rasa tanggung jawab sebagai suami.
Bila seseorang anak muda jalan bersama dengan saudaranya
perempuan atau perempuan yang lain tetapi mereka berjalan
bersama laki-laki ke belakang dan perempuan ke depan itu
adalah merupakan ejekan kepada orang yang melihat. Mereka
mengatakan apakah mereka itu suami-istri? Atau kenapa orang
itu pergi seperti suami istri? Ini juga suatu tanda kepada publik
bahwa dari letak jalan seseorang mereka bisa mengetahui
bahwa itu adalah suami-istri.
3. Penghormatan dengan kata Yaahowu dan pemberian
sirih dalam porsi adat.
Menurut porsi adat perkawinan yang telah dituturkan dalam
acara Fanika Era-era mbw (suatu acara yang menguraikan
tentang silsilah keturunan dari pada pihak penganten
perempuan yang diberitahukan secara formal kepada pihak
penganten laki-laki mulai dari famili terdekat sampai kepada
yang terjauh serta beban-beban yang harus ditanggung dalam
hidupnya sesuai dengan hubungan kekerabatan). Hn
mbw no awai, Hn mbw no tosai (ribuan jujuran sudah
selesai, ribuan jujuran masih tersisa), artinya tanggung jawab
terhadap mertua dan sanak famili dalam bentuk beban-beban
tidak pernah putus sampai seumur hidup. Karena itu
kemampuan penghormatan dengan harta benda sangat
terbatas dalam bentuk Bw, maka diberi kelonggaran untuk
mengatasi hal tersebut, yaitu jangankan penghormatan dengan

harta materi tetapi penghormatan dengan kata-kata sapaan


Yaahowu dan Famee afo (pemberian sirih) kepada
Sitenga b, dan lain-lain, maka itu sudah cukup yang setara
nilainya dengan empat alisi babi, dan dianggap sudah lunas
utangnya yang telah dituturkan dalam acara Fanika era-era
mbw. Dewasa ini kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi,
penghormatan berupa harta materi maupun penghormatan
dengan kata-kata sudah hampir tidak ada lagi. Kita tidak tau
bahwa dari kata-kata kita itu sudah ada nilainya yang lebih dari
bw atau makanan. Inilah yang dikatakan Ho maig ami li
moroi ba g artinya dengan penghormatan kata-kata itu sudah
cukup senang dan berharga.

Fondrak, Peraturan dan Hukum Adat Nias yang


Mengutuk
Pulau Nias, selain terkenal dengan eksotisme pantainya dan
ombaknya yang sudah mendunia, juga terkenal dengan
kekayaan budaya dan adat istiadatnya. Seperti halnya suku
lainnya di Nusantara, Nias memiliki hukum adat yang telah
dibuat oleh para Raja dan Tetua Adat di zaman dulu yang
hingga sekarang masih tetap berlaku sekalipun sudah banyak
yang berubah dan ditinggalkan.Orang Nias di Zaman dulu
(sumber: wikipedia)

Hukum Adat Nias ini terkenal dengan sebutan Fondrak, yang


ditetapkan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Nias
dengan sanksi berupa kutuk bagi yang melanggarnya. Menurut
Viktor Zebua, istilah Fondrak berasal dari kata rak, artinya:
tetapkan dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrak
merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan
adat dan hukum. Bagi yang mematuhi fondrak akan mendapat
berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan
sanksi.

Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias yang konon


diturunkan nidada dari langit Tetehli Anaa, maka
Fondrak ini diturunkan bersama dengan Hia Walangi Sinada di
daerah Gomo (Bagian Selatan Nias). Seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk Nias maka para raja dan tetua
adat bermufakat untuk membaharui peraturan yang ada sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.

Proses pengesahan Fondrak ini terkesan mistis dan


mengerikan (menurut penulis), karena melibatkan binatang
atau benda yang diumpamakan sebagai siksaan atau kutuk
yang akan dialami oleh para pelanggarnya. Fondrak ini
dilaksanakan di Ar Gosali (Rumah musyawarah) yang
dihadiri oleh raja dan para tetua adat. Mereka menetapkan
Fondrak dengan menggunakan ayam, lidi, dan timah panas.
Salah seorang tetua adat akan mematah-matahkan lidi atau
kaki dan sayap ayam serta menuangkan timah panas ke dalam
mulut ayam tersebut. Saat melakukan ritual tersebut, dia akan
mengucapkan kutuk Barangsiapa yang melanggar segala
sesuatu yang telah ditetapkan dalam Mondrak ini, maka dia
akan segera mati (patah seperti lidi), atau disiksa seperti ayam
yang kaki dan tangannya patah serta segala yang dimakannya
akan terasa panas seperti timah panas yang dimasukkan ke
mulut ayam. Terkadang, mereka juga menggunakan kucing
atau anjing dengan kutuk L mowaa ba dan ba l molehe ba
mbanua yang artinya tidak bakalan memiliki keturunan.

Pada masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama


Kristen ke Pulau Nias), Fondrak ini sangat dipercaya memiliki
kekuatan dan banyak yang mengalami kutuk seperti yang telah
ditetapkan para tetua tersebut. Selain Fondrak, adapula
hukuman lainnya bagi individu yang melanggar peraturan,
mulai dari denda emas dan babi, hingga hukuman pancung
(leher dipenggal). Proses memancung leher adalah dengan
menidurkan orang yang akan dihukum di atas tanah dan

lehernya diletakkan di atas batang pisang, barulah eksekusi


dilakukan.

Seperti halnya raja-raja lainnya, Fondrak juga dilakukan di Talu


Nidanoi dan Laraga (daerah Gunungsitoli Idanoi dan
Gunungsitoli Selatan) oleh dua raja besar di masa itu yakni
Balugu Samn Bauwudan (Mado Harefa) dan Balugu Tuha
Badan (Mado Zebua). Seiring dengan perkembangan zaman
dan pengenalan masyarakat akan agama maka kepercayaan
akan kutuk tersebut sudah mulai berkurang (sekalipun masih
ada yang hingga saat ini masih mempercayainya, terutama
para tetua-tetua adat di Pulau Nias). Sementara hukuman
pancung sudah mulai berkurang di Nias sejak kedatangan para
misionaris yang menyebarkan agama kristen sejak tahun 1830.

Ilustrasi Hukum Pancung

Penulis pernah mendengar cerita dari para orang tua di masa


kecil, bahwa apabila kedapatan orang yang berbuat zina maka
akan dikenakan hukuman pancung baik pria maupun
wanitanya. Dahulu, komunikasi antara pria dan wanita yang
tidak memiliki hubungan saudara sangatlah dibatasi, apalagi
bila sampai ketahuan pacaran. Dilarang mengganggu atau
melirik anak gadis orang bahkan mengerlingkan mata
sekalipun, apabila ketahuan maka bersiap-siaplah untuk
digebuki oleh saudara-saudara si cewek. Pertengakaran antar
kampung seringkali diawali oleh masalah melirik atau
mengganggu cewek di masa lampau. Bahkan sekalipun sudah
bertunangan, pria dan wanita tidak boleh bertemu. Mereka
baru bisa bersama setelah menikah. Sistem perjodohan berlaku
pada masa itu, seringkali pengantin perempuan baru mengenal
wajah pengantin prianya setelah acara pernikahan. Sehingga
apapun dan bagaimanapun kondisi yang menjadi

pendampingnya harus diterima, sekalipun dia cacat ataupun


sudah tua. Terima saja apa adanya.

Sumber cerita tentang Fondrako, diperoleh penulis dari bapak


Ama Serlin Zebua, salah satu tokoh adat di Desa Tumori
Kecamatan Gunungsitoli Barat.

Makanan Khas

Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)

Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecilkecil)

Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat


kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang
sudah di parut)

Kf-kf(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan


dijemur/dikeringkan/diasap)

Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan


lama)

Rakigae (pisang goreng)

Tamby (ketupat)

lma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku


bambu)

gae nibog (pisang bakar)

Kazimone (terbuat dari sagu)

Wawayas - nasi pulut

Minuman

Tuo nifar (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan
pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "tla nakhe" dan
pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "tla nohi")
yang telah diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifar
mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan

kadar alkohol). Dimana Tuo nifar No. 1 bisa mencapai kadar alkohol
43%.

Tuo mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan
pohon kelapa atau pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akarakar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)

Peralatan Rumah Tangga di Nias

Bowoa tan - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional

Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan

Halu (alat menumbuk padi) - Alu

Lsu - lesung

Gala - dari kayu seperti talam

Sole mbanio - tempat minum dari tempurung

Katidi - anyaman dari bambu

Pernikahan di suku nias

2. Kesenian dari suku nias


Lompat batu

Lompat batu suku Nias dilakukan untuk menunjukan


kedewasaan pria
Tradisi yang berasal dari Suku Nias yang tinggal di Pulau Nias
sebelah barat Pulau Sumatera ini memang terbilang unik.
Lompat batu atau yang dikenal dengan nama fahombo batu
sudah menjadi ciri khas masyarakat Nias.
Tradisi melompati batu yang disusun hingga mencapai
ketinggian 2 m dan ketebalan 40 cm ini hanya dilakukan oleh
kaum laki-laki. Tidak semua masyarakat Suku Nias melakukan
tradisi ini. Hanya mereka yang berada di Nias Selatan
khususnya di daerah Teluk Dalam yang melakukan tradisi
akrobatik ini. Hal tersebut disinyalir karena perbedaan budaya
nenek moyang atau leluhur masyarakat Nias.
Terlepas dari aspek pariwisata sehingga tradisi Lompat Batu
menjadi begitu terkenal, tradisi ini juga menunjukan kekuatan
dan ketangkasan para pemuda yang melakukannya. Seseorang
yang berhasil melakukan tradisi ini dianggap heroik dan
prestisius. Tidak hanya bagi individu yang melakukannya,
melainkan juga bagi keluarga orang tersebut, bahkan seluruh
masyarakat desa. Oleh karena itu biasanya setelah anak lakilaki berhasil melakukan tradisi ini, akan diadakan syukuran
sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya.
Orang yang berhasil melakukan tradisi ini juga akan dianggap
matang dan menjadi pembela kampungnya jika ada konflik
dengan warga desa lain.

Karena begitu tingginya tingkat prestisius dari tradisi ini, maka


setiap pemuda dalam masyarakat Nias melakukan latihan sejak
berumur 7 tahun. Sesuai pertumbuhan anak tersebut, mereka
akan terus berlatih melompati tali dengan ketinggian yang
terus bertambah sesuai usia. Akhirnya, latihan tersebut akan
dibuktikan pada tradisi Lompat Batu ini.Tidak semua pemuda
dapat melakukan tradisi lompat batu ini, meskipun sudah
berlatih sejak lama. Banyak orang yang percaya bahwa selain
latihan, ada unsur magis dimana seseorang yang berhasil
melompati batu dengan sempurna, maka mereka telah
diberkati oleh roh leluhur dan para pelompat batu sebelumnya
yang sudah meninggal.
Belum jelas darimana dan mengapa tradisi ini berasal, namun
beberapa masyarakat setempat menggambarkan bahwa tradisi
ini berawal dari zaman dahulu saat ketangkasan melompat
batu sangat dibutuhkan oleh Suku Nias. Dahulu setiap desa
dipagar dan dibentengi oleh batu sebagai pertahanan. Oleh
karena itu dibutuhkan keahlian ini untuk melarikan diri atau
dapat memasuki desa sasaran.
Selain mengangkat derajat seseorang yang telah berhasil
melompat batu, pemuda yang berhasil melakukan tradisi ini
akan dianggap dewasa dan matang secara fisik. Oleh karena itu
hak dan kewajiban sosial mereka sebagai manusia dewasa
sudah bisa dijalankan. Cara ini juga terkadang dilakukan untuk
mengukur kematangan seseorang untuk menikah.Tradisi
Lompat Batu ini memang cukup unik dan menarik dan menjadi
ciri khas Suku Nias. Tidak hanya itu, tradisi Lompat Batu ini
juga menjadi kebanggan Indonesia karena merupakan keunikan
dan kekayaan yang bersemayam di bumi pertiwi ini.

Tari perang

Tari perang
Sejumlah prajurit perang suku Nias mengacungkan tombak
pada pagelaran kesenian tari perang di Kabupaten Nias
Selatan, Sumatera Utara.Tarian ini digunakan para leluhur
untuk meningkatkan semangat penduduk desa sebelum
berperang dengan desa lain, tarian ini sangat prestisius, dalam
kehidupan para lelaki desa, karena melambangkan perubahan
status dari lelaki remaja menjadi seorang dewasa .

Tari Maena

Suku Nias merupakan kelompok masyarakat yang tinggal di


Pulau Nias, propinsi Sumatera Utara. Mereka memiliki sebuah
tarian tradisional yang sejak dulu hingga kini tetap ditarikan
yakni tari Maena. Suku Nias menjadikan tari Maena sebagai
tarian kolosal yang penuh sukacita. Tari Maena seringkali
menjadi
pertunjukan
hiburan
ketika
suku
Nias
menyelenggarakan pesta pernikahan adat. Dalam upacara
pernikahan adat, pertunjukan tari Maena diselenggarakan
ketika mempelai lelaki tiba di rumah mempelai wanita. Tarian
ini ditarikan oleh keluarga dari pihak mempelai lelaki untuk
memuji kecantikan mempelai wanita dan kebaikan keluarga
pihak wanita. Setelah mempelai lelaki, keluarga dari mempelai
wanita pun menyambut kedatangan keluarga pihak lelaki
dengan menyelenggarakan tari Maena.
Tarian ini menjadi simbol untuk memuji mempelai lelaki
beserta keluarganya. Sesekali, Tari Maena menjadi tari
penyambutan tamu kehormatan yang berkunjung ke Pulau
Nias. Dalam sebuah pertunjukan, tari Maena ditarikan oleh
beberapa pasang penari lelaki dan wanita. Dari awal hingga
pertunjukan usai, gerakan tari Maena didominasi dengan
perpaduan gerak tangan dan kaki. Gerakannya terlihat
sederhana namun tetap penuh semangat dan dinamis.
Kesederhanaan gerak itulah yang membuat siapa saja
termasuk anda dapat menjadi penari tari Maena. Tidak ada
batasan berapa jumlah penari Maena. Semakin banyak peserta
tari
Maena,
gerakan
tari
Maena
semakin
terlihat
semangat.Daya tarik utama dari tari Maena yakni lantunan
beberapa rangkaian pantun Maena. Pantun Maena disampaikan
oleh satu atau dua orang pemain yang dalam bahasa Nias
disebut Sanutuno Maena. Tidak semua orang dapat menjadi
Sanutuno Maena. Seorang Sanutuno Maena harus fasih
berbahasa Nias. Biasanya, yang menjadi Sanutuo Maena yakni
tetua adat atau sesepuh suku Nias. Isi pantun disesuaikan
dengan waktu pertunjukan tari Maena dipertunjukkan. Ketika
tari Maena diselenggarakan pada pesta pernikahan, pantun
biasanya berisi kegembiraan dan doa untuk kedua mempelai.
Namun ketika tari Maena dijadikan tari penymbuta tamu
kehormatan, pantun Maena menggambarkan rasa hormat
warga Nias kepada tamu. Pantun Maena biasanya disampaikan
pada awal pertunjukan. Setelah Sanutuo Maena menyampaikan
beberapa bait pantun, pertunjukan tari Maena dilanjutkan

dengan nyanyian berbahasa Nias. Dengan lantang, para penari


Maena menyanyikan beberapa syair lagu yang isinya
disesuaikan dengan tema acara. Mulai dari awal penyampaian,
lirik lagu dalam pertunjukan tari Maena tetaplah sama dan
disampaikan secara berulang. Syair lagu itulah yang mengiringi
gerakan para penari Maena hingga pertunjukan tari Maena
usai.

Tari moyo

Tari mogaele

Alat musik tradisional

-Doli-doli adalah alat musik yang terbuat dari 4 bilah kayu yang
dimainkan dengan cara ditiup. Alat musik tradisional Sumatera
Utara jenis ini banyak dijumpai di daerah Nias.
-Druni dana juga berasal dari pulau Nias. Kalau Doli-doli terbuat
dari kayu, Druni Dana ini terbuat dari bambu yang dibentuk
sedemikian rupa sampai hampir menyerupai garpu tala.

Anda mungkin juga menyukai