Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses dan fenomena geologi muka bumi yang terjadi ratusan hingga jutaan
tahun yang lalu dicirikan oleh adanya keunikan dari kenampakan batuan yang
berbeda-beda yang tersebar di seluruh dunia. Ilmu kebumian apabila ditelisik
kembali akan mengantarkan kita pada sejarah terbentuknya bumi. Salah satu
tempat yang memiliki keunikan dan cocok dijadikan sebagai lokasi untuk
mempelajari fenomena geologi tersebut adalah daerah Karangsambung,
Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah..
Karangsambung terletak sekitar 20 km di sebelah utara Kota Kebumen, Jawa
Tengah. Secara geologi termasuk dalam Sub-Cekungan Banyumas yang
merupakan bagian dari Cekungan Jawa Selatan secara lebih luas (Gambar 1.1).
Formasi batuan tertua (Pra-Tersier) yang kemungkinan mendasari cekungan ini
tersingkap di daerah Karangsambung yang merupakan inti dari Pegunungan
Serayu. Lokasi ini merupakan salah satu dari tiga tempat tersingkapnya batuan
Pra-Tersier di Jawa, dimana dua yang lain yaitu di Ciletuh (Jawa Barat) dan di
Bayat (Klaten, Jawa Tengah).

Gambar 1.1 Peta lokasi daerah Karangsambung (Luk Ulo)


Daerah Karangsambung, sebagai bagian yang tererori paling dalam dari
Pegunungan Serayu, mempunyai tatanan stratigrafi dan struktur yang kompleks.
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

Batuan-batuan yang terdeformasi secara intensif dari berbagai kejadian, fasies,


dan umur tersingkap secara berulang dan berubah secara tiba-tiba pada jarak yang
relatif dekat. Kelompok batuan ini merupakan percampuran dari berbagai satuan
batuan dengan hubungan struktur dan stratigrafi yang tidak koheren.
Kelompok batuan ini terdiri dari fragmen atau blok batuan ofiolitik, batuan
metamorfik derajat rendah dan metasedimen yang tercampur dalam masa-dasar
lempung yang tergerus. Kelompok batuan yang demikian disebut sebagai melange
tektonik. Fragmen dan blok pada umumnya bersudut dan mempunyai ukuran dari
beberapa sentimeter sampai kilometer.
Nama Kompleks Melange Luk Ulo telah diusulkan untuk kelompok batuan
ini sebagai satuan tektono-stratigrafi (Asikin, 1974). Kompleks Melange Luk Ulo
diinterpretasikan sebagai produk dari konvergensi lempeng India-Australia yang
bergerak ke utara dengan Lempeng Eurasia (Gambar 1.2). Kelompok batuan ini
ditutupi oleh batuan olisostrom yang dikenal sebagai Formasi Karangsambung
dan Totogan yang mengandung percampuran fauna Paleosen, Eosen, dan
Oligosen.
Asosiasi litologi dan struktur dalam satuan ini menunjukkan satuan ini
merupakan sedimentasi hasil pelengseran gravitasi pada cekungan yang
bersamaan dengan proses tektonik (syn-tectonic deposition). Selama sedimentasi,
batuan mengalami deformasi pada saat konvergensi berlangsung. Dengan dasar
asumsi ini disimpulkan bahwa umur melange yang mendasarinya tidak lebih
muda dari Paleosen.
Di atas endapan olisostrom terdapat endapan volkanoklastik dan turbidit
berumur Oligosen-Miosen Awal hingga Miosen Tengah yang dikenal dengan
Formasi Waturanda dan Penosogan. Migrasi ke selatan dari batas lempeng selama
Miosen Akhir menghasilkan pergeseran busur magmatik, didasarkan oleh
hadirnya batuan volkanik kalk-alkali di daerah Karangbolong, kurang lebih pada
posisi pantai selatan Jawa sekarang.

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

Gambar 1.2 Tatanan Geotektonik di Wilayah Indonesia (Hall, 2009)


Sub-Cekungan muka busur (fore arc) Banyumas kemudian mengalami
penurunan dan merupakan tempat pengendapan dari Formasi Halang yang berasal
dari busur magmatik di selatan dan muka daratan (fore land) di utara. Secara
skematis pembentukan Kompleks Melange Luk Ulo dapat dilihat pada gambar di
bawah ini (Gambar 1.3).
Ilmu-ilmu geologi yang mampu mengungkapkan keberadaan suatu endapan
mineral, batubara, maupun minyak-gas bumi kemudian dikombinasikan dengan
ilmu pertambangan agar sumberdaya mineral yang terdapat di dalam bumi dapat
dieksploitasi dan memberikan manfaat bagi manusia.
Keterdapatan sumberdaya mineral pada suatu daerah dapat memberikan
dampak positif dan negatif bagi lingkungan, masyarakat ataupun pemerintah
setempat. Dengan melakukan langkah-langkah preventif untuk meminimalkan
dampak negatif yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan suatu
sumberdaya mineral atau energi dapat memberikan kemakmuran serta katalisator
bagi pembangunan suatu bangsa.

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

F. Karangsambung
- Totogan

Gambar 1.3 Evolusi Kompleks Melange Luk Ulo (Asikin, 1974).


1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam laporan ini adalah
sebagai berikut :
1. Keadaan geologi Karangsambung secara umum
2. Proses

terbentuknya

kelompok-kelompok

batuan

di

daerah

Karangsambung
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

3. Jenis dan struktur batuan penyusun daerah Karangsambung dan sekitarnya


1.3 Tujuan
Tujuan dari kegiatan kuliah lapangan Karangsambung ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui dan memahami kondisi geologi daerah Karangsambung
2. Mengetahui dan memahami proses pembentukan, jenis, dan struktur
batuan yang terbentuk di daerah Karangsambung
3. Mengetahui potensi-potensi bahan galian yang terdapat pada daerah
Karangsambung
4. Menentukan cadangan serta keekonomisan dari bahan galian industri yang
terdapat pada daerah Karangsambung
5. Mengetahui usaha pertambangan yang terdapat di sekitar daerah
Karangsambung dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat
sekitar

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

BAB II
GEOLOGI UMUM DAERAH KARANG SAMBUNG DAN SEKITARNYA

2.1 Geomorfologi Umum


Daerah Karangsambung merupakan bagian dari fisiografi Pegunungan Serayu
Selatan (Bemmelen, 1949). Daerah ini bermorfologi perbukitan dan sebagian
kecil bermorfologi pedataran.
Morfologi perbukitan disusun oleh endapan melange, batuan beku, batuan
sedimen dan endapan volkanik Kuarter, sedangkan morfologi pedataran disusun
oleh batuan melange dan aluvium. Seluruh batuan penyusun yang berumur lebih
tua dari Kuarter telah mengalami proses pensesaran yang cukup intensif terlebih
lagi pada batuan yang berumur Kapur hingga Paleosen.
Morfologi perbukitan dapat dibedakan menjadi dua bagian yang ditentukan
berdasarkan bentuknya (kenampakannya), yaitu perbukitan memanjang dan
perbukitan prismatik. Perbukitan memanjang umumnya disusun oleh batuan
sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter, sedangkan morfologi perbukitan
prismatik umumnya disusun oleh batuan yang berasal dari melange tektonik dan
batuan beku lainnya (Intrusi). Perbedaan kedua morfologi tersebut akan nampak
jelas dilihat, apabila kita mengamatinya di puncak bukit Jatisamit.
Bukit Jatisamit terletak di sebelah barat Karangsambung (Kampus LIPI).
Tubuh bukit ini merupakan bongkah batuan sedimen terdiri atas batulempung
merah, rijang, batugamping merah dan chert yang seluruhnya tertanam dalam
masa dasar lempung bersisik. Pada bagian puncak bukit inilah kita dapat melihat
panorama daerah Karangsambung secara leluasa sehingga ada istilah khusus yang
sering digunakan oleh para ahli geologi terhadap pengamatan morfologi di daerah
ini yaitu dengan sebutan
Amphitheatere. Istilah ini mengacu kepada tempat pertunjukan dimana
penonton berada di atas tribune pertunjukan. Memang tidak berlebihan istilah ini
digunakan karena di tempat inilah kita dapat mengamati seluruh morfologi secara
lebih jelas.
Daerah bermorfologi pedataran terletak di sekitar wilayah aliran Sungai Luk
Ulo. Sungai ini merupakan sungai utama yang mengalir dari utara ke selatan
mengerosi batuan melange tektonik, melange sedimenter, sedimen Tersier (F.
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

Panosogan. F. Waturanda, F. Halang ). Di sekitar daerah Karangsambung,


morfologi pedataran ini terletak pada inti antiklin sehingga tidak mengherankan
apabila di daerah ini tersingkap batuan melange yang berumur tua, terdiri atas
konglomerat, lava bantal, rijang, lempung merah, chert dan batugamping fusulina.
Bongkah batuan tersebut tertanam dalam masa dasar lempung bersisik (Scally
clay).
Morfologi perbukitan disusun oleh batuan melange tektonik, batuan beku,
batuan sedimen Tersier dan batuan volkanik Kuarter. Perbukitan yang disusun
oleh melange tektonik dan intrusi batuan beku umumnya membentuk morfologi
perbukitan

dimana

puncak

perbukitannya

terpotong-potong

(tidak

menerus/terpisah-pisah). Hal ini disebabkan karena masing-masing tubuh bukit


tersebut (kecuali intrusi) merupakan suatu blok batuan yang satu sama lainnya
saling terpisah yang tertanam dalam masa dasar lempung bersisik (Scally clay).
Morfologi perbukitan dimana batuan penyusunnya terdiri atas batuan sedimen
Tersier dan batuan volkanik Kuarter nampak bahwa puncak perbukitannya
menerus dan relatif teratur sesuai dengan sumbu lipatannya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan bentuk perbukitan antara batuan melange
dengan batuan sedimen Tersier/volkanik.
2.2 Litologi dan Stratigrafi Umum
Sebaran litologi di daerah Karangsambung sangat daikontrol oleh struktur
geologi yang berkembang. Pada daerah utara dimana kompleks mlange tektonik
berkembang, sebaran litologi cukup kompleks yang ditunjukkan oleh munculnya
satuan batuan yang bervariasi dilihat dari umur dan lingkungan pengendapannya.
Di daerah ini morfologi yang terlihat adalah perbukitan-perbukitan kecil yang
meruncing, mengindikasikan batuan pembentuk yang cukup keras dan
terdeformasi oleh struktur geologi.
Di daerah kampus Karangsambung, litologi yang umumnya dijumpai adalah
pembentuk formasi Karangsambung dan Totogan. Struktur perlipatan mengontrol
keterdapatan Formasi Waturanda di bagian utara sebagai bukit sinklin dan di
sebelah selatan.
Batuan Pra-Tersier

terdiri

atas

batuan

beku

basalt

(ofiolit)

yang

pembentukannya berasal dari zona punggungan tengah samudra (Mid Oceanic


Ridge), batuannya terdiri atas lava bantal, diabas, sekis. Batuan asal laut dangkal
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

terdiri atas batugamping fusulina dan batugamping yang telah mengalami


metamorfisma (marmer); batuan asal daratan terdiri atas konglomerat (hasil
sedimentasi fluviatil). Batuan Tersier yang menutupi secara tidak selaras batuan
berumur Pra-tersier, terdiri atas Formasi Totogan, Formasi Waturanda dan Formasi
Halang. Batuan Kuarter terdiri atas endapan volkanik dan aluvium.

Gambar 2.1 Peta Geologi Daerah Karangsambung


Batuan tertua yang tersingkap di daerah Karangsambung adalah batuan
melange

yang

berumur

Kapur

hingga

paleosen.

Berdasarkan

sejarah

pembentukannya melange tektonik akan terbentuk lebih dahulu dibandingkan


dengan melange sedimenter (olistostrom), dengan demikian batuan tertua yang
tersingkap di daerah Karangsambung adalah melange tektonik (Asikin, 1974).

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

Gambar 2.2 Stratigrafi Umum Daerah Karang Sambung (Asikin, 1974)


1. Kompleks Melange Luk-Ulo (Pra-Tersier)
Melange tektonik atau melange Luk Ulo didefinisikan oleh Asikin (1974),
sebagai percampuran tektonik dari batuan yang mempunyai lingkungan berbeda,
sebagai hasil dari proses subduksi antara Lempeng Indo-Australia yang menunjam
di bawah Lempeng Benua Asia Tenggara, yang terjadi pada Kala Kapur AtasPaleosen. Melange tektonik ini litologinya terdiri atas batuan metamorf, batuan
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

basa dan ultra basa, batuan sedimen laut dalam (sedimen pelagic) yang seluruhnya
mengambang di dalam masa dasar lempung hitam yang tergerus (Scally clay).
Selanjutnya penulis ini membagi kompleks melange menjadi dua satuan
berdasarkan sifat dominansi fragmenya, yaitu Satuan Seboro dan Satuan Jatisamit.
Kedua satuan tersebut mempunyai karakteristik yang sama yaitu masa dasarnya
merupakan lempung hitam yang tergerus (Scally clay). Bongkah yang berada di
dalam masa dasar berupa boudin dan pada bidang permukaan tubuh bongkahnya
juga tergerus. Beberapa macam dan sifat fisik komponen melange tektonik ini,
antara lain batuan metamorf, batuan sedimen dan batuan beku. Masing-masing
jenis batuan tersebut dijelaskan sebagai berikut :
a. Batuan metamorf, terdiri atas filit, sekis, marmer.
Filit merupakan batulempung yang telah mengalami metamorfisma
tingkat rendah. Kenampakan di lapangan berwarna abu-abu kehitaman,
lunak, mengalami deformasi yang cukup kuat yang dicirikan oleh
pembentukan lipatan-lipatan kecil (micro fold). Singkapan yang baik
dijumpai di sisi tebing Sungai Luk Ulo di sebelah utara singkapan lava

bantal.
Sekis merupakan kelanjutan proses metamorfisma filit. Kenampakan di
lapangan menunjukan sifat berlapis, dibeberapa tempat mengandung
garnet. Berdasarkan hasil penanggalan radioaktif K-Ar terhadap mineral
Mika, diketahui batuan ini mengalami metamorfisma pada 117 juta tahun
yang lalu atau setara dengan Jaman Kapur hingga Awal Tersier (Ketner

dkk, 1976).
Marmer merupakan ubahan dari batugamping yang telah mengalami
metamorfisma regional. Singkapan yang baik dijumpai di sekitar Desa
yang merupakan lokasi bekas penambangan. Sifat fisik batuannya antara
lain

berwarna

putih

(dominan)

dan

abu-abu

kemerahan

yang

mencerminkan adanya proses oksidasi, di beberapa tempat masih


menampakan adanya bidang perlapisan, disusun oleh mineral kalsit yang
sebagian sudah mengkristal. Adanya bidang lapisan pada tubuh batuan
ini menunjukan bahwa asal mula batuannya berasal dari batugamping
klastik. Tubuh batuan ini dipotong oleh sejumlah sesar baik minor
maupun major, hal ini dicerminkan dengan banyaknya bidang-bidang
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

10

sesar dengan berbagai macam arah jurus serta berbagai macam sifat
pergerakannya (Dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan struktur).
b. Batuan sedimen, terdiri atas sedimen laut dalam, sedimen laut dangkal dan
sedimen darat.
Sedimen laut dalam (Sedimen Pelagik), terdiri atas lempung merah dan
batugamping merah. Sedimen laut dalam ini terbentuk dibawah CCD,
artinya sedimen diendapkan di bawah kedalaman 3000 meter dari
permukaan air laut. Pada kondisi ini bahan kimia yang mengandung
kalsit akan larut sehingga tidak mungkin batuannya bersifat karbonatan.
Seluruh endapan sedimen yang terbentuk di dalam kondisi ini bersifat
silikaan. Lokasi yang baik dari singkapan batugamping merah dan
lempung merah ini dijumpai di daerah Watukelir, lereng bukit Jatisangit
dan di dasar sungai Luk Ulo. Berdasarkan pengamatan batuan di
beberapa lokasi tersebut diketahui bahwa kedua jenis batuan tersebut
telah mengalami tektonik kompresi yang cukup kuat, hal ini dicerminkan
dengan banyaknya bidang gerus (cermin sesar) yang memotong bidang
lapisan disamping adanya cermin sesar pada batas antara bidang lapisan
batuannya. Karakteristik litologi batugamping merah dan batulempung
merah, yaitu :
1.Batugamping merah seluruhnya dibentuk oleh cangkang radiolaria,
bersifat silikaan, keras dan berlapis tipis.
2. Lempung merah seluruhnya bersifat silikaan, berlapis tipis, keras.
Sedimen laut dangkal, ditemukan di dalam kelompok batuan ini adalah
batugamping terumbu (Sunarti, 1973, di dalam Handoyo 1996).
Berdasarkan lokasi typenya, batugamping ini dinamakan sebagai
Batugamping Jatibungkus (Asikin, 1974). Batugamping Jatibungkus
terdiri atas batugamping terumbu (dominan), batugamping foram,
batugamping klastik, batugamping talus dengan fragmen konglomeratan,
kuarsa, rijang dan fragmen batuan (Sunarti, 1973, dalam Handoyo 1996).
Berdasarkan kandungan fosilnya batuan ini berumur Eosen Bawah

Tengah (Sunarti, 1973, dalam Handoyo 1996).


Sedimen Darat, merupakan endapan sungai yang didominasi oleh
konglomerat polimik dengan masa dasar batupasir berselingan dengan
batupasir, batulanau dan serpih. Singakapan kolonglomerat antara lain
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

11

dijumpai di Bukit Pesanggrahan, bibir sungai Loh Ulo depan Kampus


LIPI dan dibeberapa tempat lainnya ke arah hulu sungai Loh Ulo.
Konglomerat terdiri atas berbagai macam batuan, diantaranya adalah
rijang, kuarsa, basalt, sekis, batuan silika lainnya, dan dibeberapa tempat
dijumpai fosil kayu dan batubara. Lapisan batupasir, dijumpai sebagai
sisipan dicirikan oleh butiran yang kasar hingga halus; struktur sedimen
berupa laminasi sejajar, silang siur planar, gelembur gelombang, sole
mark, dan jejak binatang. Serpih yang juga dijumpai sebagai sisipan
mempunyai karakteristik berupa non karbonatan, mengandung butiran
karbon dan dijumpai bioturbasi.
c. Batuan beku bersifat basaltis atau lebih dikenal sebagai ofiolit (Ophiolites).
Batuannya terdiri atas basalt, peridotit, serpentinit gabro dan diabas.
Basalt, merupakan batuan beku basa yang umumnya memperlihatkan
struktur bantal (Pillow lava). Sifat fisik batuannya antara lain : berwarna
hitam, keras, tekstur afanitik, secara umum tubuh batuan ini
memperlihatkan struktur bantal dan dibeberapa tempat tubuh batuannya
sudah terkoyak yang dicerminkan dengan adanya breksi sesar. Singkapan

yang baik dijumpai di dinding sungai (Daerah Watukelir).


Peridotit merupakan batuan beku ultra basa.
Serpentinit, merupakan hasil ubahan dari peridotit, pada sayatan tipis

namapk adanya bentuk pseudomorph piroksen dan olivin.


Gabro merupakan batuan beku berkomposisi basa.

2. Formasi Karangsambung (Eosen Akhir)


Endapan tersier yang menutupi Kompleks Melange Luk Ulo telah didefinisikan
kembali oleh Asikin (1974) sebagai endapan olistostrom (mlange sedimenter)
yaitu Formasi karangsambung dan Formasi Totogan.
Formasi Karangsambung merupakan sedimen yang mengandung blok atau
fragmen dengan ukuran hingga ratusan meter yang umumnya terdiri dari
batugamping dan konglomerat dalam masa dasar batulempung abu-abu.
Kemungkinan pada saat pengendapan klastik halus pada lingkungan yang dalam
terdapat lengseran blok-blok batuan bedar dari tepi cekungan karena adanya
aktivitas tektonik dan gaya gravitas. Sehingga formasi ini dapat diinterpretasikan
sebagai olistostrom atau mlange sedimenter.
Secara umum batulempung bersifat gampingan hingga napal, berwarna abuBidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

12

abu gelap kehijauan. Konkresi batulempung dengan oksida besi sering dijumpai
dan sifat lempungnya pada umumnya bersisik (scaly). Setempat ditemukan sisipan
batulanau dan batupasir gampingan yang berlapis buruk, memperhatikan struktur
mirip hasil pelengseran (slump structure) atau struktur aliran (flowage structure)
dan perlapisan yang tak menerus (disrupted bedding). Beberapa diantaranya
dijumpai struktur perlapisan bersusun dan laminasi sejajar. Sifat perlapisan juga
ditunjukan dengan adanya laminasi serpih diantara sifat lempung yang bersisik.
Pada beberapa lapisan yang tak teratur atau pada bidang penyerpihan dijumpai
batugamping form yang terdiri dari Nummulites pengaronensis, Nummulites
jogjakartae, dan Discocyclina omphala yang menunjukkan umue Eosen Akhir.
Singkapan konglomerat polimik yang cukup besar (Bukit Pesanggrahan)
merupakan suatu perselingan batupasir kasar, batupasir konglomeratan, dan
konglomerat. Fragmen konglomerat terdiri dari butiran kerikil, membundar terdiri
dari kuarsa, rijang, sekis, batuan beku, dan batupasir.
3. Formasi Totogan (Oligosen Akhir)
Formasi Totogan didominasi oleh litologi breksi lempung dengan fragmen
yang berukuran beragam bersudut hingga membundar. Terdiri dari batulempung,
batuan beku basaltik, batugamping, dan batupasir. Masa dasarnya bersifat bersisik.
Terdiri dari lempung abu-abu kehijauan, violet, dan abu-abu kecoklatan.
Perlapisannya kurang baik, setempat ditunjukkan oleh perbedaan warna dan
orientasi perbedaan butir. Struktur perlapisan bersusun yang mencirikan turbidit
juga dijumpai di antara bagian yang bancuh. Bagian tengah umunya didominasi
oleh breksi yang terdiri dari fragmen batuan beku basaltik. Pada bagian atas
terdapat perubahan yang berangsur dengan semakin seringnya dijumpai sisipan
batupasir tufan yang berlapis baik.
Didasarkan dari sifat litologi, struktur, dan kontrol umur untuk keseluruhan
Formasi Karangsambung dan Totogan, sulit untuk mempertegas batas kedua
formasi ini.
Lempung bersisik (scaly clay) menurut Vannucchi dkk. (2003) dapat terbentuk
oleh beberapa sebab yaitu aktivitas tektonik (shearing) yang menimbulkan
gerusan pada sedimen yang belum terkonsolidasi dengan baik, pelengseran
gravitasi dari massa batuan pada sedimen lempung yang belum terkonsolidasi
dengan baik sehingga memberikan efek gerusan pada struktur internal sedimen
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

13

atau karena adanya proses desikasi terutama pada mud volcanoes.


Formasi Karangsambung dan Totogan mempunyai sifat yang tergerus (scaly).
Hal ini menunjukkan perlapisan yang tidak teratur dan hadirnya bongkah asing
(olistolit) yang beragam. Kedua formasi ini diinterpretasikan sebagai olistostrom,
yaitu gejala percampuran sebagai hasil pelengseran massa batuan akibat gaya
berat (gravitasi) di bawah permukaan air pada suatu cekungan yang aktif secara
tektonik (Asikin, 1974).
4. Intrusi Diabas dan Basalt (Eosen Akhir Olgosen)
Di beberapa tempat batuan diabas menunjukkan kekar kolom yang baik dan
menunjukkan gejala kontak dengan batulempung Formasi Karangsambung (G.
Parang dan G Bujil). Batuan beku basaltik hadir sebagai batuan intrusif dan aliran
lava di antara Formasi Karangsambung dan Totogan. Sebagian batuan ini hadir
secara tersebar dengan arah umum timur-barat, berupa blok berukuran cukup
besar, sebagai breksi dan lava dengan struktur bantal di dalam Formasi Totogan.
Disamping itu pada tubuh batuan yang cukup besar menunjukkan kontak sesar
naik sepanjang jalur penyebaran batuan ini yang memungkinkan berhubungan
dengan deformasi yang terjadi pada Formasi Karangsambung.
Kelompok batuan diabas dan basalt ini mempunyai afinitas toleitik dan
diinterpretasikan sebagai hasil volkanisme bawah laut dengan pusat erupsi di
sekitar Dakah dan G. Parang. Kelompok batuan ini kemungkinan dierupsikan
secara simultan dengan pengendapan sedimen olistostrom pada cekungan muka
busur.
5. Formasi Waturanda (Miosen Awal)
Formasi Waturanda terdiri dari perulangan perlapisan yang tebal breksi dan
batupasir greywacky. Breksi umumnya terdiri dari batuan volkanik andesitik
dengan sifat dan ukuran yang sangat beragam, dari kerikil sampai bongkah
berukuran beberapa meter, dengan masa dasar batupasir kasar. Struktur sedimen
yang berkembang adalah perlapisan bersusun dengan beberapa interval yang
terbalik (reverse graded bedding) dan laminasi sejajar, yang merupakan ciri
endapat turbidit.
Formasi ini dapat dibedakan menjadi tiga interval yaitu bagian bawah (45 m)
terdiri dari batupasir greywacky, bagian tengah (370 m) merupakan breksi dengan
fragmen berkisar 30 cm dengan struktur perlapisan bersusun yang jelas dan
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

14

bagian atas (590 m) terdiri dari breksi dengan fragmen antara 2 hingga 5 m.
6. Formasi Penosogan (Miosen Tengah)
Formasi Penosogan terletak selaras di atas Formasi Waturanda, terdiri dari
perselingan tipis sampai sedang, batupasir, batulempung, sebagian gampingan,
kalkarenit, napal-tufan, dan tuf. Berdasarkan distribusi besar butir, kandungan
karbonat, material tufan, dan struktur sedimen yang menyertainya, formasi ini
dapat dibedakan menjadi tiga bagian:
Bagian bawah umumnya dicirikan oleh perlapisan batupasir dan
batulempung, ke arah atas kadar karbonatnya semakin tinggi. Perlapisan
menunjukkan ciri menghalur ke arah atas berupa batulanau tufan. Struktur
sedimen yang berkembang adalah perlapisan bersusun, laminasi sejajar, dan

laminasi bersilang.
Bagian tengah terdiri dari perlapisan napal dan batulanau tufan dengan
sisipan tipis kalkarenit. Struktur sedimen berupa sekuen Bouma, perlapisan
bersusun, laminasi sejajar, konvolut, laminasi bersilang, dan flute/groove

cast berkembang baik terutama pada kalkarenit.


Bagian atas lebih bersifat gampingan, berukuran lebih halus terdiri dari

napal tufan dan tuf.


Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam yang dipengaruhi arus
yang keruh. Analisis fasies menghasilkan interpretasi lingkungan turbidit
proximal di bagian dasar dan berubah berangsur ke arah distal dan kembali ke
proximal.
Formasi Penosogan dipertimbangkan sebagai awal dari pengisian SubCekungan Banyumas sebagai cekungan belakang busur. Hadirnya interkalasi tuf
mendukung adanya aktivitas volkanik yang mempengaruhinya.
7. Formasi Halang (Miosen Akhir Pliosen Awal)
Formasi Halang terdiri dari perselingan tuf halus dan napal. Di dalam satuan
ini juga terdapat lapisan breksi. Perbedaan dengan breksi dari Formasi Waturanda
dicirikan oleh komposisi fragmen volkanik yang lebih bersifat basaltik.
Bagian bawah formasi ini didominasi oleh breksi, dengan sisipan batupasir dan
napal. Ke arah atas sisipan batupasir, perselingan napal dan batulempung makin
banyak. Sisipan tuf pada bagian atas satuan ini makin sering dijumpai.
Formasi Halang diendapkan sebagai endapan turbidit proximal untuk bagian
bawah dan distal untuk bagian atas.
Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

15

8. Breksi Serayu dan Alluvial


Endapan breksi serayu dan alluvial terdapat banyak di hulu sungai Lok Ulo.
Sedangkan endapan Alluvial (Qa) terdapat sepanjang sungai Lok Ulo hinga sungai
Kukula di dekat Kota Kebumen terus dilanjutkan hingga ke bibir pantai selatan
Pulau Jawa.
Endapan Alluvial terdiri dari batulempung, batulanau, pasir, kerikil, dan
kerakal. Endapan ini merupakan endapan paling muda di daerah Karang
Sambung, yakni sekitar zaman kuarter (Quarternary).
2.3 Struktur Geologi Regional
Struktur geologi yang dijumpai adalah lipatan, sesar, dan kekar. Pada umumnya
struktur tersebut dijumpai pada batuan yang berumur Kapur hingga Pleosen. Di
beberapa tempat struktur lipatan dan sesar tercermin dan tampak jelas pada benuk
bentang alamnya seperti yang terdapat di Karang Sambung. Di tempat lain bentuk
struktur hanya dapat diketahui dari pola bentuk sebaran batuan atau ditafsirkan
dari pengukuran lapisan di lapangan.
Sukendar Asikin (1974) berdasarkan penelitiannya mendapatkan hasil bahwa
secara umum sesar-sesar utama di daerah Luk Ulo ini mempunyai arah timur lauttenggara untuk daerah utara, dan arah utara selatan.

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

16

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

17

BAB III
KEGIATAN EKSKURSI
3.1.

Ekskursi Daerah Jatibungkus Waturanda Kali Gending


Stop Site 1 - Pesawahan di Pingir Jalan Menuju Bukit Jatibungkus

Cuaca

: Cerah

Materi

: Penggunaan kompas geologi dan peta topografi serta GPS untuk


orientasi lapangan

Pembahasan :
Lokasi ini memiliki koordinat 354571 mEasting 9163395 mNorthing,
dengan elevasi 76 m. Datum yang digunakan yaitu datum WGS84. Pada
pengamatan di titik pertama, dilakukan penentuan titik pengamat dengan
menggunakan teknik orientasi kompas (kompas geologi dan peta topografi). Titik
acuan yang dipakai adalah sebanyak tiga titik referensi yang telah diketahui
posisinya di peta topografi, yaitu Gunung Paras, Gunung Brujul, dan Bukit
Jatibungkus.

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

18

Gambar 3.1. Kegiatan penentuan titik lokasi pengamatan dengan orientasi


kompas

Bidang Khusus Ekonomi Mineral, 2016

19

Hasil pengukuran kompas dengan teknik back azimuth menghasilkan


orientasi titik-titik sebagai berikut (pengukuran dilakukan dua kali dengan dua
tempat berbeda):

Titik Tuju Orientasi

Titik Lokasi 1

Titik Lokasi 2

N196oE

N191oE

N66oE

N69oE

Gunung Paras

Gunung Brujul

N305oE

Bukit Jatibungkus

N290oE

Pada daerah ini terlihat beberapa bentang alam, diantaranya perbukitan


bergelombang, morfologi alluvial sungai, dan tekuk lereng. Posisi di titik
pengamat berada di tengah-tengah cekungan dari perbukitan memanjang
bergelombang yang berbentuk setengah lingkaran panjang seperti tapal kuda yang
dibentuk oleh rangkaian G. Tugel, G. Brujul, G. Waturanda, Bt. Jatibungkus, G.
Gedog, G. Kuning, G. Pranggong, G. Pagerori, G. Dliwang, G. Prahu, dan G.
Paras.
Morfologi alluvial sungai Lok Ulo terdapat di sepanjang tepi sungai dengan
adanya endapan-endapan alluvial. Dataran banjir di sungai Lok Ulo mempunyai
area yang cukup lebar, yaitu sekitar 100-200 meter dari sungai. Daerah dataran
banjir ini terdapat persawahan, jalan raya dan juga beberapa rumah penduduk.
Sedangkan daerah tekuk lereng berada tepat di daerah persawahan dengan kontur
yang terlihat jelas setingkat lebih tinggi dari daerah dataran banjir, yaitu di titik
pengamat yang kedua pada stop 1. Di daerah tekuk lereng ini juga merupakan
daerah pemukiman dan persawahan.

Stop Site 2 - Bukit Jatibungkus


Cuaca

: Cerah

Materi

: Bukit Jatibungkus adalah bongkahan batu gamping akibat dari


gaya berat (gravitasi). Batugamping ini merupakan batugamping
terumbu yang diendapkan pada laut dangkal sebelum mengalami
pelengseran ke lokasi yang lebih dalam dimana klastika halus
(lempung) sedang diendapkan. Batugamping menjadi bongkah
asing (olistolit) dalam batu lempung.

Pembahasan

Koordinat lokasi ini memiliki posisi 354742 mEasting, 9163265 mNorthing.


Pada stop 2 ini dilakukan pengamatan di dua titik, yaitu titik di mana terdapat
bidang kontak antara batu gamping dan batu lempung, serta di titik terdapat goa
batu gamping. Titik pertama merupakan kontak antara batugamping dengan
batuan dasarnya yaitu batu lempung. Bukti dari kontak ini dengan adanya sumber
mata air yang muncul dari bidang kontak. Batu gamping memiliki porositas yang
tinggi, sehingga menjadi penyerap air dan akuifer.
Sedangkan batu lempung di bawahnya memiliki nilai permeabelitas yang
sangat kecil, sehingga air tidak dapat lolos, akibatnya air keluar melalui bidang
kontak menjadi sumber mata air. Batu gamping yang ada merupakan batu
gamping terumbu yang bersifat olistolit. Dibuktikan dengan bentuk batu gamping
yang membukit tanpa memiliki kemiringan lapisan. Dijumpai juga adanya batu
gamping yang telah mengalami proses metamorfisme dengan adanya batu
gamping yang hampir menjadi batu marmer.
Proses ini dikontrol oleh struktur patahan yang berada pada batu gamping
di dekat bidang kontak. Sedangkan batu lempung yang menjadi dasar bidang
kontak merupakan batu lempung berfragmen pasir, breksi, dan konglomerat. Batu
lempung ini merupakan bagian dari formasi karangsambung.

Gambar 3.2. Kontak antara batu gamping dan batu lempung

Titik dua terdapat goa kapur yang terjadi akibat terkikisnya batu kapur oleh
aliran dan rembesan air yang yang mengalir di dalam batukapur. Goa tersebut
memiliki stalagtit dan stalagmit.

Stop Site 3 - Sungai Kecil 100 M Dari Jalan Raya Jatibungkus Waturanda
Cuaca

: Cerah

Materi

: Pada stop 3 di sungai kecil, terdapat zona kontak antara Formasi


Karangsambung dan Formasi Totogan. Pada dasarnya sulit untuk
mempertegas batas antara kedua formasi ini. Hal ini dikarenakan
oleh sifat litologi, struktur, dan kontrol umur untuk keseluruhan
Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan.

Pembahasan
Lokasi tempat ini berada pada koordinat 354444 mEasting 9163185
mNorthing dengan elevasi 79 m. Terdapat batulempung bersisik (scaly clay)

menurut Vannucchi dkk. (2003) yang dapat terbentuk oleh beberapa sebab antara
lain aktivitas tektonik (shearing) yang menimbulkan gerusan pada sedimen yang
belum terkonsolidasi dengan baik, pelengseran gravitasi dari massa batuan pada
sedimen lempung yang belum terkonsolidasi dengan baik sehingga memberikan
efek gerusan pada struktur internal sedimen, atau karena adanya proses desikasi
terutama pada mud volcanoes.
Formasi Karangsambung dan Totogan mempunyai sifat yang tergerus
(scaly) menunjukkan perlapisan yang tidak teratur dan hadirnya bongkah asing
(olistolit) yang beragam. Kedua formasi ini diinterpretasikan sebagai olistostrom,
yaitu gejala percampuran sebagai hasil pelengseran massa batuan akibat gaya
berat (gravitasi) di bawah permukaan air pada suatu cekungan yang aktif secara
tektonik (Asikin, 1974).
Batulempung bersisik ini memiliki strike N145oE dan dip 80o. Dapat
dideskripsikan sebagai berikut: Kekerasan kurang dari 5,5, sangat lunak. Warna
abu-abu tua. Ukuran butir: lempung, ukuran kurang dari 1/256 mm. Terkena
pelapukan. Terdapat batupasir, batugamping, dan beberapa terlihat batuan beku
basaltik.
Sungai ini termasuk kedalam sungai berumur muda. Terdapat banyak
bongkahan batupasir dan batuan beku basaltik. Air sungai jernih dikarenakan
dasar dari sungai kebanyakan terdiri dari beberapa batuan beku dan batupasir yang
mana ketika tererosikan oleh air, butiran-butiran yang terlepasnya dapat langsung
mengendap, berbeda dengan batulempung yang baru terendapkan ketika air
memiliki arus yang sangat pelan atau bahkan tidak memiliki arus. Selain itu lokasi
sungai yang cukup jauh dari pemukiman meminimalisir pengaruh eksternal yakni
manusia dalam stabilitas kejernihan air tersebut.

Gambar 3.3. Lempung Bersisik

Stop Site 4 - Sepanjang Jalan Jatibungkus Waturanda Kali Gending Di


Tepi Sungai Lok Ulo
Cuaca

: Cerah

Materi

: Pada sepanjang jalan dari Jatibungkus Waturanda


KaliGending

terlihat

adanya

singkapan

batupasir

yang

diendapkan pada masa (siklus) yang berbeda. Batupasir ini


merupakan penyusun formasi waturanda.
Pembahasan
Sepanjang jalan tersebut dilakukan beberapa kali pemberhentian untuk
memperhatikan singkapan batupasir dalam formasi Waturanda. Awal jalan ini
merupakan akhir dari formasi totogan dalam wilayah Karang Sambung. Ini terjadi
karena pada awal jalan ini ditemukan akhir dari singkapan lempung bersisik yang
merupakan endapan olistotrom. dan sepanjang jalan ditemukan singkapan
batupasir dan breksi yang merupakan ciri dari Formasi Waturanda. Akhir dari
perjalanan ini merupakan bendung kaligending, yang merupakan awal dari
formasi Kali Gending.

Dari rute sepanjang jalan ini, dapat pula ditentukan tebal Formasi Waturanda
dengan memperhatikan jarak antara akhir Formasi Totogan hingga awal Formasi
Kali Gending.

Berikut adalah Titik-titik lokasi pengamatan sepanjang jalan tersebut :


Stop 4.1 Warung Istirahat
Lokasi ini Pada GPS berada pada Koordinat 0354323 mEasting, 9163285
mNorthing dengan elevasi 54 m. Pada lokasi ini dimulai perjalanan untuk
menelurusi Formasi Waturanda. Titik ini digunakan sebagai lokasi awal untuk
Formasi Waturanda.

Stop 4.2 Jalan 1


Lokasi titik ini berada pada koordinat 0354270 mEasting, 9163272
mNorthing dengan elevasi 54 m. Lokasi ini menjelaskan bahwa terjadi perbedaan
siklus pengendapan antara lempung bersisik dengan batuan pada formasi
Waturanda yang terdiri dari batu breksi dan batupasir greywacky. Lempung
bersisik pada formasi totogan terendapkan pada siklus pengendapan dengan aliran
yang tenang, terjelaskan bahwa lempung bersisik ini terendapkan pada wilayah
laut dalam. Walaupun setelah totogan
dilanjutkan dengan Formasi Waturanda, terjadi perbedaan siklus pengendapan
yang cukup drastis karena batu breksi terendapkan dengan aliran air yang tidak
beraturan. Perbedaan ini menjelaskan bahwa dua endapan tersebut terendapkan
dengan waktu dan aliran yang berbeda.

Stop 4.3 Titik seberang Sungai Luk Ulo


Lokasi ini berada pada koordinat 0354140 mEasting, 9163294 mNorthing
dengan elevasi 54 m. Ditemukan berbagai macam jenis batuan dari lempung, batu
pasir, batu konglomerat hingga batuan beku. Pada lokasi ini juga memperlihatkan
terjadi proses pengendapan yang berbeda-beda untuk setiap jenis batuan yang

berada pada lokasi tersebut.

Stop 4.4 - Lokasi Orientasi


Lokasi ini berada pada koordinat 0354127 mEasting, 9163277 mNorthing
dengan elevasi 50 m.
Pada lokasi ini terdapat lava bantal (pillow lava). Hal ini terjadi akibat dari
batuan yang mengalami pembekuan kristal secara cepat. Warna segar batuan beku
adalah abu-abu, serta warna lapuk dari batuan ini adalah hitam.

Gambar 3.4. Batupasir

Stop Site 5 Dekat Jembatan ke arah Hulu (Belakang Gardu) + 200 m


sebelum Kali Gending
Cuaca

: Cerah

Materi

: Singkapan Batupasir dan Batulempung

Pembahasan
Lokasi ini bertempat pada posisi 353990 mEasting 9162526 mNorthing
dengan elevasi 61 m. Pada Lokasi ini ditemukan singkapan batupasir dengan
batulempung, lokasi ini merupakan kontak antara Formasi Waturanda dan Formasi
Wanosogan. Lokasi ini memperlihatkan bahwa jalur ini merupakan salah satu
batas antara Formasi Waturanda dengan Formasi Panosogan. Formasi Waturanda
memiliki bagian bawah berupa batupasir kasar sedangkan Formasi Panosogan
memiliki bagian atas gamping, lempung dll.

Stop Site 6 Bendungan (waduk) Kali Gending


Cuaca

: Cerah

Materi

: Morfologi Sungai dan Distribusi Ukuran Butir Sedimen

Pembahasan
Lokasi ini mempunyai koordinat 0353990 mEasting, 9162526 mNorthing
dengan elevasi 54 m. Karena beberapa hal, Untuk pengamatan pada lokasi ini
tidak dilakukan karena air sungai pasang, sehingga tidak dapat dilakukan
penelitian mendetil dan tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi pada formasi
tersebut. Namun di seberang sungai terdapat batuan sedimen yang tersingkap di
tepi sungai yang merupakan bagian dari Formasi Totogan.

Gambar 3.5. Seberang Bendung Kali-Gending

Ploting GPS
Berikut adalah Tracking yang dilakukan selama Hari pertama dengan
menggunakan GPS.

Gambar 3.6. Tracking Hari pertama

3.2.

Hari Kedua (Ekskursi Daerah Bukit Pesanggrahan Pinggiran


Sungai Lok Ulo Batu Gamping Bioklastik - Kali Jebug - Bukit Dakah
Gunung Parang)

Stop 1 Bukit Pesanggrahan


Cuaca

: Cerah

Materi

: Lokasi pengamatan ini berada pada posisi 353349 mEasting 9165444


mNorthing dengan elevasi 93 m. Bukit Pesanggrahan merupakan
singkapan Batuan Sedimen Konglomerat dengan komposisi sedimen
yang bervariasi antara lain : Rijang, Kuarsa, Batuan Beku dan Batuan
Metamorf

yang tersemen sangat kuat.

Pada lokasi ini dilakukan

orientasi lokasi dengan menggunakan peta dan kompas untuk


menentukan lokasi pengamatan secara konvensional. Hasil pengukuran
kompas dengan teknik back azimuth menghasilkan orientasi titik-titik
tersebut.

No

Titik Laju Orientasi

Back Azimuth

1
N 100 E

Gunung Brujul
2
N 2050 E

Gunung Paras

Stop Site 2 - Pinggiran Sungai Lok Ulo pada Kaki Bukit Pesanggrahan
Lokasi pengamatan ini berada pada lokasi 353097, 9165523 dengan elevasi 68
m. Pada lokasi ini dilakukan pengamatan pada Batupasir yang berada pada
pinggiran sungai, serta pengukuran terhadap strike atau jurus lapisan dan dip atau
penujaman pada singkapan tersebut. Hasil pengamatan strike dan dip pada
singkapan yang ditemukan adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1. Pengamatan Strike dan Dip pada Singkapan Batupasir
No

STRIKE
(NoE)

Dip (o)

33

13

35

17

45

17

33

17

30

17

50

17

Rata-rata

38

16

Dari hasil rata-rata, didapatkan strike dan dip dari singkapan Batupasir adalah
N 38o E/17o.

Gambar 3.7. Singkapan batupasir

Stop Site 3 - Pengamatan Batu Gamping Bioklastik (Di Depan Kampus LIPI)
Lokasi pengamatan ini berada pada titik 353518 mEasting, 9165680
mNorthing dengan elevasi 74 m . Pada lokasi ini terdapat Batugamping Numulit,
dimana pada batuan tersebut terdapan fosil makhluk hidup (kerang) yang
terperangkap. Batuan tersebut berasal dari laut dalam yang terangkat ke
permukaan. Pada batuan tersebut terdapat fragmen berupa butiran. Jika dilakukan
uji penetesan HCl, batuan tersebut akan berbuih.

Gambar 3.8. Batu Gamping Bioklastik

Stop 4 - Kali Jebug


Lokasi pengamatan ini berada pada titik 0353780 mEasting, 916680 m
Northing dengan elevasi 72 m. Pada lokasi ini dilakukan pengamatan efek bakar
pada Batulempung yang disebabkan oleh pengaruh intrusi dari Gunung Parang.
Efek bakar tersebut menyebabkan warna batuan menjadi cokelat kemerahan,
terutama pada bagian yang belum mengalami proses pelapukan. Pada lokasi
pengamatan ini juga dilakukan pengukuran strike dan dip serta pengamatan
terhadap mata air yang keluar dari bidang kontak antara batulempung dengan
batuan beku.

Gambar 3.9. Kali Jebug

Stop 5 - Bukit Dakah


Pengamatan geomorfologi dilakukan pada pengamatan ini . Pemandangan
yang terlihat dari lokasi ini adalah jajaran pegunungan, Sungai Lok Ulo, daerah

aluvial, Formasi Karangsambung dan pembelokan Sungai Lok Ulo. Pada lokasi
ini yang dapat diamati adalah lembah antiklin dan cekungan yang berbentuk
amphitheater,

komplek

mlange

dan

klasifikasi

geomorfologi

daerah

Karangsambung. Selain itu, dilakukan pembuatan sketsa geomorfologi.

Gambar 3.10. Bukit Dakah

Stop 6 - Gunung Parang


Lokasi pengamatan berada pada titik 0353320 mEasting, 91662120
mNorthing dengan elevasi 49 m. Pada lokasi ini dilakukan pengamatan terhadap
batuan intrusif diabas dengan kekar berbentuk kolom yang hampir tegak dan
memiliki ukuran yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh aliran lava yang
mengalir pada batuan di atasnya setelah terjadi proses intrusi.

Gambar 3.11. Gunung Parang

Ploting GPS
Berikut adalah Tracking yang dilakukan selama hari kedua dengan menggunakan
GPS.

Gambar 3.12. Tracking Hari Kedua

3.3.

Hari ketiga (Ekskursi Darah Kali Mandala-Totogan-PucanganSadang Kulon)


Stop Site 1: Kali Mandala
Titik pengamatan pada lokasi ini yaitu 3553140 mEasting, 9166335
mNorthing dengan elevasi 82 m. Pada kali Mandala tersingkap batuan
breksi. Breksi terbentuk karena adanya patahan, kekaran dan sesar. Pada
breksi sesar, terdapat struktur kekar penyerta yang dapat dilihat pada
potongan tebing kecil.
Berdasarkan pengamatan dan pengukuran yang dilakukan di
lapangan, didapatkan hasil plunge dan bearing sebagai berikut :
Tabel 3.3. Data plunge-bearing Kali Mandala

Plung
e (o)
51
52
40
66
66
40
48
42
76
56
86
83
265
216

Bearing
(N o E)
103
115
070
110
154
173
073
254
008
144
082
025
292
301

Plunge
(o)
235
47
50
241
278
225
248
4
223
179
63
191
198

Bearing
(N o E)
140
000
353
142
043
080
036
058
062
071
069
079
076

Gambar 3. Hasil Plotting Plunge dan Bearing pada Software Dips

Menurut hasil dari input data (Tabel 3.3) pada software dips, diketahui
bahwa sesar pada Kali Mandala memiliki dip direction sebesar N 263 0 E. Hal ini
mengindikasikan bahwa sesar cenderung mengarah pada South-West dengan
sudut sebesar 190 .

Stop Site 2: Bekas Penambangan Marmer

Lokasi pengamatan pada penambangan marmer terdapat pada titik


353811 mEasting, 9168011 mNorthing dengan elevasi 183 m. Terdapat
batuan marmer atau marble yang merupakan batuan metamorf. Marmer
terbentuk dari batuan gamping yang mengalami metamorfosa menjadi
marble, dan selanjutnya dengan tekanan tinggi yang mengakibatkan
peningkatan suhu, menyebabkan perubahan batu membentuk marmer. Di
daerah ini juga ditemui batu sabak dan filit, merupakan batuan yang
terbentuk dari batuan lempung.

Gambar 3.13 Batuan marmer


Stop Site 3: Pinggir Jalan
Di lokasi pengamatan ini terlihat morfologi Totogan, Gunung Prahu,
Gunung Paras, dan Komplek Melange. Lokasi penelitian yaitu terdapat
pada titik 353811 mEasting, 9167924 mNorthing dengan elevasi 114 m.
Orientasi posisi terhadap kordinat Gunung Paras dan jalan raya. Dari
posisi

pembidikan

dapat

dilihat

pegunungan

dengan

ujung

meruncing/tajam, menunjukkan pegunungan tersebut tersusun dari batuan


beku, aliran air hanya melalui kekar dan batuan pembentuknya memiliki
pori yang tidak terlalu besar.
Cadangan air terdapat pada pori. Karena merupakan batuan
impermeable, aliran air mengalami run off, sehingga pada saat musim
kemarau tidak terdapat cadangan air. Dari pengukuran menggunakan
kompas kearah Gunung Prahu, didapatkan nilai back azimuth sebesar N

148o E dari Gunung Prahu.

Gambar 3.14 Penampakan Gunung Prahu

Stop Site 4 Serpentinit Pucangan


Titik lokasi pada pengamatan berada pada 355767 mEasting, 9168395
mNorthing dengan elevasi 105 m. Terdapat singkapan batuan ultramafik yang
terbentuk dari batuan peridotit yang mengalami proses serpentinisasi, termasuk ke
dalam jenis batuan serpentinit. Peristiwa serpentinit terjadi pada batuan ultra basa
yang terjadi pada kerak samudra. Batuan ini merupakan bakal terbentuknya bijih
nikel laterit. Selain itu, batuan ini banyak mengandung fosil kerang. Bijih nikel
laterit akan terbentuk dalam waktu yang cukup lama sekitar 10 juta tahun dimana
batuan tersebut akan mengalami proses pelapukan yang terjadi di permukaan.
Batuan ultra mafik yang akan menjadi cikal bakal terbentuknya bijih nikel yaitu:

Batuan Dunit yang tersusun oleh mineral dunit sekitar 90%

Batuan Piroksinit tersusun oleh mineral piroksin

Syarat minimal kandungan nikel yang terdapat dalam batuan untuk menjadi nikel
laterit adalah 0,2%.Laju pelapukan akan banyak mempengaruhi waktu
terbentuknya bijih nikel laterit.

Gambar 3.15 Batu serpentinit

Stop Site 5 Sungai Lok Ulo Totogan


Pengamatan selanjutnya dilakukan di terusan Lok Ulo yang mempunyai
titik sebesar 355867 mEasting, 9168068 mNorthing dengan elevasi 85 m. Pada
lokasi ini dijumpai sekis mika dan batuan dasit yang merupakan hasil transportasi
dari source rock-nya di daerah hulu. Selain itu pada seberang sungai dijumpai
singkapan batu lempung yang terdapat pada formasi totongan.
Batuan sekis mika yang dijumpai tidak memiliki nilai ekonomi karena
sifatnya yang brittle (mudah rapuh). Namun, disini banyak mengandung endapan
endapan pasir dalam jumlah besar yang memiliki potensi besar untuk diolah
menjadi tambang pasir dan batu.

Gambar 3.16 Sungai terusan Lok Ulo

Stop Site 6 Kali Muncar


Lokasi penelitian ini terletak pada titik 357398 mEasting, 9169303
mNorthing dengan elevasi 118 m. Pada kali Muncar ini terdapat lava bantal yang
merupakan pembekuan magma akibat letusan gunung tektonik yang berasal dari
laut dalam. Formasi batuan lokasi ini dipenuhi oleh lapisan batuan rijang dan
batuan lempung merah. Batu rijang merupakan hasil sedimentasi dari laut dalam
yang biasanya terdapat dilantai samudra dan terbentuk dari organik laut
(tumbuhan ganggang dan lain-lain) yang terangkat ke permukaan. Di sekitar
lokasi tersebar juga beberapa batuan garnit.

Gambar 3.17 Singkapan Lava Bantal


Stop 7 Sungai Lok Ulo
Pengamatan kali ini dilakukan di terusan sungai Lok Ulo dimana terdapat
singkapan Lava bantal. Lokasi penelitian terdapat pada titik ...... mEasting
dan ..........mNorthing dengan elevasi

m. Pada lokasi ini merupakan endapan

berpotensi emas, dimana endapan tersebut terletak di pinggir sungai diantara


lapisan filit dan alluvial. Kemudian pada lokasi tersebut dilakukan praktik
mendulang emas untuk mendapatkan konsentrat emas. Ada dua cara yang
dilakukan untuk mendulang yaitu western style (Kalimantan) dan Indonesian
style.

Gambar 3.18 Mendulang Mineral

Ploting GPS
Berikut adalah Tracking yang dilakukan selama hari ketiga dengan menggunakan
GPS.

Gambar 3.19 Tracking Hari Ketiga

BAB IV

SIMULASI TEMATIK BIDSUS EKONOMI MINERAL

4.1 Pemetaan dan Pengambilan Sampel


Simulasi tematik ekonomi mineral dilakukan bersamaan dengan konsentrasi
eksplorasi sumberdaya bumi. Simulasi yang dilakukan adalah pemetaan, sampling
dan penilaian perekonomian sekitar. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan
GPS dengan luasan 30x40 m. Kemudian dilakukan pengambilan sampel pada
empat titik test pit untuk menentukan jumlah cadangan sumberdaya. Luasan test
pit sebesar 50x50 cm dengan kedalaman 30 cm.

40 m
dd

aa
d

30 m

cc

bb

Gambar 4.1 Sketsa Test Pit pada Daerah Simulasi


Koordinat daerah IUP dan Titik test pit tersebut dipetakan (tabel 4.1 dan tabel
4.2) untuk mengetahui lokasi daerah penambangan.
Tabel 4.1 Koordinat IUP
Titik
Aa

Easting
0352876

Northing
9165536

Bb
Cc

0352862
0352908

9165562
9165579

Dd

0352915

9165549

Tabel 4.2 Koordinat Titik Sampel


Titik
a
b

Easting
0352882
0352876

Northing
9165548
9165556

c
d

0352901
0352902

9165566
9165554

Produk yang dihasilkan dari test pit terdiri pasir, kerikil dan batuan yang
berukuran lebih besar dari 5 cm. Proses pemisahan ketiga produk ini dilakukan
dengan pengayakan. Produk yang dihasilkan dari test pit terdiri pasir, kerikil dan
batuan yang berukuran lebih besar dari 5 cm. Proses pemisahan ketiga produk ini
dilakukan dengan pengayakan. (gambar 4.2)
Dari hasil pengayakan terdapat 4 produk, pada ayakan pertama yang lolos
adalah pasir, lalu diayakan ke dua yang lolos adalah kerikil dan material yang
tertinggal adalah batuan yang ukurannya 1 5 cm. Material batuan ini terbagi atas
2 yaitu batu kuarsa yang diambil sebagai produk, dan batuan selain kuarsa yang
dikategorikan sebagai waste.

Gambar 4.2 Proses Pengayakan


Pengayakan dilakukan pada 4 test pit yang berukuran 50 cm x 50 cm dengan
kedalaman 30 cm yang menghasilkan data sampel. Untuk menghitung volume
data digunakan gayung sebagai alat hitung (gambar 4.3), dengan konversi 1
gayung = 1.76 dm3 menghasilkan data sebagai berikut :

Gambar 4.3 Pengukuran Volume


Dari hasil test pit didapatkan jumlah sumberdaya, yang masih belum di
konversi kedalam satuan m3 dikarenakan alat ukur yang ada terbatas, untuk batu
kuarsa sendiri dihitung jumlah butirnya, dan nantinya akan di konversi ke satuan
penjualannya yaitu per kaleng.
Tabel 4.3 Perhitungan Sumberdaya
Titik
pengukuran

Volume pasir
(gayung)

A
B
C
D

3,5
6
4,5
2

Volume
Kerikil
(gayung)
4,25
4,75
4,75
2,875

Jumlah Butir
Batuan Kuarsa
354
368
468
340

Setelah didapatkan data maka dilakukan pengolahan data untuk mengkonversi


satuan agar perhitungan sumberdaya menjadi mudah. Dengan perhitungan 1
gayung = 1,76 dm3 = 0,00176 m3 maka di dapatkan perhitungan:
Tabel 4.4 Hasil Konversi Satuan Sumberdaya
Titik
pengukuran
A
B
C
D

Volume pasir
(m3)
0.00616
0.01056
0.00792
0.00352

Volume
Kerikil (m3)
0.00748
0.00836
0.00836
0.00506

Jumlah Butir
Batuan Kuarsa
354
368
468
340

Rata - rata

0.00704

0.007315

382.5

Rata ini dapat digunakan untuk menghitung jumalah persentase sebaran


produk dalam IUP. Untuk batu kuarsa dengan konversi 1 gayung = 0.00176 m3
100 butir berbagai ukuran, jadi diasumsikan 382,5 kerikil itu bias menjadi 3
gayung dengan volume 0.00528 m3.
Dengan luasan test pit 50 cmx 50 cm x 30 cm = 75000 cm 3 = 0.075 m3,
persentase masing masing produk menggunakan rumus :

P ersentase produk=

V olume produk
x 100
V olume keseluruhan test pit

Sedangkan untuk mendapatkan waste dengan cara :

W aste=V olume keseluruhan test pit (V olume pasir+ V olume kerikil+V olume batuan kua
Setelah dihitung maka distribusi penyebaran pasir, kerikil, dan batuan dapat
dilihat pada tabel 4.5
Tabel 4.5 Persentase Hitungan Penyebaran Sumber Daya
Sumberdaya
Pasir
Kerikil
Batuan
Waste

Volume (m3)
0.00704
0.007315
0.00528
0.055365

persentase
9.87%
9.75%
7.04%
73.34%

Persentase diatas akan digunakan untuk menjadi acuan menghitung sumber


daya yang sebenarnya dari IUP yang akan ditambang dan akan ditentukan
kelayakannya dari perhitungan ekonomi. Luasan IUP 30 m x 40 m dengan
kedalaman penggalian 1 m. jadi volume dari IUP 1200 m 3. Perhitungan dengan
menggunakan rumus:
Sumberdaya=Persentase x Volume keseluruhan IUP
Tabel 4.6 Sumberdaya
Produk

Persentase

Sumberdaya
(m3)

Pasir
Kerikil
Batuan
waste

9.87%
9.75%
7.04%
73.34%

118.44
117
84.48
880.08

Pasir dan kerikil dijual ke cilacap dengan jarak tempuh 96km dengan jarak
tempuh sekitar 2 jam dan diangkut menggunakan truck yang disewa dengan
kapasitas 8m3. Untuk kerikil langsung dijual dengan satuan per kaleng.
Parameter :

Truk yang disewa 2 unit dengan biaya sewa Rp. 800.000,- per unit

1 truck dapat melakukan 2 kali pengiriman dalam sehari

Kapasiitas truck 8m3

Bahan bakar yang digunakan adalah bahan bakar subsidi dengan harga Rp.
5.150,-/liter

Konsumsi bahan bakar 1 liter 6 Km, jadi untuk 1 ritase dibutuhkan


bahan bakar 32 liter = Rp. 164.800,-

Jarak tempuh 96 km, dengan waktu 2 jam perjalan dan 1 kali ritase
membutuhkan 4 5 jam

Jam kerja dari jam 5 pagi 4 sore (11 jam)

Harga pasir dari kebumen cilacap Rp. 1.200.000, dan harga kerikil Rp.
1.000.000,-

Untuk batuan dihitung per kalen dengan asumsi 1 kaleng = 1.5 gayung =
0.00264 m3 dengan harga Rp. 500/kaleng

Umur sumberdaya jika truck mampu mengangkut 2 ritase pasir dan kerikil
perhari nya, jadi untuk pasir dan kerikil akan habis dalam 7 hari jika ditambang
terus menerus dan konstan tanpa pertimbangan factor cuaca.
Dari sumber daya yang didapatkan dapat dihitung ritase (untuk pasir dan
kerikil) serta dihitung penjualan per kaleng untuk kuarsa agar mendapatkan nilai
keuntungan yang dapat dipertimbangkan:
Pasir

= 118.44 m3 = 14.8 ritase 15 ritase

Kerikil

= 117 m3 = 14.625 ritase 15 ritase

Kuarsa

= 84.48 m3 = 32.000 kaleng

Untuk biaya penambangan sendiri dibutuhkan Rp. 350.000,- untuk memuat 1


truck.

Perhitungan keuntungan pasir


-

Biaya truck

= Rp. 400.000,-

Biaya bahan bakar

= Rp. 164.800,-

Biaya operasi

= Rp. 350.000,-

Keuntungan

= Rp. 285.200,-

Perhitungan keuntungan kerikil


-

Biaya truck

= Rp. 400.000,-

Biaya bahan bakar

= Rp. 164.800,-

Biaya operasi

= Rp. 350.000,-

Keuntungan

= Rp. 85.200,-

Perhitungan keuntungan kuarsa = 32.000 kaleng yang dapat dijual


langsung

Total keseluruhan keuntungan dihitung menggunakan rumus


T otal keuntungan= K euntungan per ritase x T otal ritas e

Pasir

: 15 x Rp. 285.200,- = Rp. 3.873.000,-

Kerikil

: 15 x Rp. 85.200,-

Batuan

: 32.000 x Rp. 500,- = Rp. 16.000.000,-

Total keuntungan

= Rp. 1.278.000.-

= rp. 21.151.000,-

Dapat disimpulkan untuk IUP dengan luasan 40 m x 50 m menghasilkan


keuntungan Rp.21.151.000,-. Dan sumberdaya akan habis selama 7 hari jika
ditambang terus menerus, serta sangat banyak waste yang terbuang.
Jika ingin mendapatkan keuntungan yang lebih, mungkin sebaiknya waste
dapat dijadikan produk yang menguntungkan karna pesentase nya sangat banyak,
dan harus dicari IUP yang lebih luas atau memperluas penggalian, agar
mendapatkan sumberdaya yang lebih banyak.
4.2 Penilaian Keekonomian Skala Kecil
Pada tepian sungai Luk Ulo ditemukan beberapa tambang pasir skala kecil
yang dikelola oleh perseorangan. Penambangan ini dikelola oleh warga sekitar dan
merupakan salah satu mata pencaharian utama di lokasi ini selain bertani dan

berkebun.
Penambangan dilakukan dengan menggunakan dua (2) pompa yang memiliki
fungsi masing-masing. Pompa pertama digunakan untuk menyemprot pasir yang
ada di sungai agar terberai dan pompa kedua bertugas untuk menghisap pasir yang
telah terberai. Proses penambangan menggunakan pompa ini dilakukan oleh satu
tim yang terdiri atas 4 pekerja.
Material pasir bercampur air tersebut kemudian dialirkan ke tepian sungai
untuk dilakukan pemisahan antara pasir dan kerikil dengan menggunakan alat.
Setelah pasir terpisah dari kerikil, dua orang buruh bertugas memindahkan pasir
ke dalam truk pengangkut secara manual (dengan menggunakan sekop).
Pasir tersebut diangkut menuju lokasi konsumen yang tersebar di beberapa
wilayah seperti Kabupaten Kebumen, pinggiran Kabupaten Kebumen, hingga
Cilacap. Harga satu truk pasir ditentukan oleh lokasi konsumen, semakin jauh
jaraknya dari lokasi penambangan maka harganya akan semakin mahal.
Untuk daerah pinggiran Kebumen, harganya berkisar antara Rp 500.000-Rp
600.000, sedangkan harga pasir untuk Kabupaten Kebumen sedikit lebih tinggi
yaitu Rp 700.000. Untuk Cilacap, harganya mencapai Rp 1.000.000 karena
lokasinya jauh dari lokasi penambangan. Dapat disimpulkan bahwa, untuk bahan
galian industri seperti pasir, biaya transportasi dari lokasi penambangan menuju
konsumen adalah komponen biaya yang sangat mempengaruhi harga dari produk
itu sendiri.
Biaya Operasional
Terbatasnya informasi yang dapat diperoleh melalui proses wawancara
(tanya-jawab) dengan pekerja, membuat rincian biaya operasional yang
dikeluarkan untuk menghasilkan satu truk pasir menjadi kurang akurat. Pekerja
mengatakan bahwa harga produk yang dibeli dari lokasi penambangan adalah
senilai Rp 350.000, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 4.7 Komponen Biaya Operasional Penambangan Pasir
No Komponen Biaya
1
Upah penambang (satu tim)
2
Upah buruh pengangkut pasir (satu tim)
3
Biaya lain-lain (retribusi, dsb)
Total Biaya

Besaran
Rp 200.000/truk
Rp 70.000/truk
Rp 80.000/truk
Rp 350.000/truk

Secara umum, biaya operasional (secara sederhana) terdiri atas biaya


kepemilikan alat, biaya bahan bakar, biaya pelumas, biaya maintenance, biaya
penggantian spare part, upah pekerja, dan sebagainya. Namun rincian mengenai
sebagian besar biaya-biaya di atas tidak dapat diketahui karena pekerja tidak
memiliki akses mengenai informasi tersebut. Mereka hanya mengetahui bahwa
alat-alat tersebut, baik pompa maupun truk telah disediakan oleh pemiliknya dan
bahan bakar yang diperlukan untuk pompa dapat diambil dari truk.
Kontribusi Pertambangan Pasir Terhadap Masyarakat Sekitar
Munculnya kegiatan pertambangan pasir di tepi Sungai Luk Ulo disebabkan
karena adanya demand atas komoditi tersebut dan tersedianya supply (cadangan
pasir) di daerah tersebut. Supply-demand atas material pasir mendorong
masyarakat sekitar untuk memanfaatkan cadangan pasir yang ada di Sungai Luk
Ulo.
Kegiatan pertambangan pasir yang dijumpai di tepian Sungai Luk Ulo
memiliki izin dari pemerintah dalam bentuk izin pertambangan rakyat (IPR).
Dengan adanya izin tersebut, pemilik usaha berkewajiban membayar kewajiban
keuangan berupa pajak kepada pemerintah.
Selain berkontribusi pada pemerintah, pertambangan pasir juga memunculkan
usaha di sekitar lokasi penambangan berupa warung-warung kecil yang
menyediakan makanan dan minuman bagi pekerja tambang. Pemilik warung yang
awalnya hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan
membuka usaha dan memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp 500.000 hingga
Rp 1.000.000/hari.
Hal ini menunjukkan adanya backward linkage (tidak langsung) dari kegiatan
pertambangan. Ditambah dengan adanya multiplier effect, keberadaan usaha
pertambangan ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar serta
menyerap

tenaga

kerja

masyarakat

lokal

sehingga

dapat

mengurangi

pengangguran.
Pengaruh Kegiatan Pertambangan Pasir Terhadap Lingkungan Sungai
Kegiatan penambangan pasir di Sungai Luk Ulo menyebabkan terjadinya
erosi pada badan sungai. Akibatnya pemerintah perlu membuat bronjong di tepian
sungai berupa tumpukan batuan yang ditahan oleh kawat hingga membentuk
menyerupai tangga.

Gambar 4.4 Aktivitas Penambangan Pasir


Dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membuat bronjong ini cukup besar.
Oleh karena itu, hendaknya kegiatan penambangan pasir di tepian Sungai Luk Ulo
harus memperhatikan kondisi badan sungai agar tidak timbul hal-hal yang
merugikan masyarakat sekitar dan pemerintah.

BAB V
PENGUKURAN HIDROLOGI DAN HIDROGEOLOGI

5.1 Pengukuran Debit Air


Debit air merupakan satuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis proses
yang terjadi di lapangan. Kemampuan pengukuran debit air sangat diperlukan
untuk mengetahui potensi sumberdaya air di suatu wilayah daerah aliran sungai
(DAS). DAS merupakan suatu wilayah ekosistem yang dibatasi oleh topografi
punggungan pemisah air (water devide) yang berfungsi sebagai pengumpul,
penyimpan dan penyalur air, sedimen, unsur hara dalam system sungai yang
kesemuanya keluar melalui satu pintu keluaran (outlet tunggal). Perilaku tata air
pada suatu DAS akan berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya, dan
akan selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan dinamika komponen
komponennya. Pengukuran debit air dapat dijadikan sebuah alat untuk memonitor
dan mengevaluasi neraca air suatu DAS melalui pendekatan potensi sumberdaya
air permukaan yang ada.
DAS Kaligending merupakan bagian dari DAS Luk Ulo yang terletak di
Kecamatan Sadang, Daerah Karangsambung, dengan luas DAS kurang lebih 12
km2. Kapasitas air di daerah ini sangat terbatas terutama musim kemarau.
Untuk mengetahui kuantitas air di daerah DAS Kaligending, diperlukan
pengukuran debit air. Pengukuran debit air yang dilakukan terdiri atas 2 cara yaitu
dengan V-Notch (untuk debit kecil dan sedang) dan dengan Current Meter (untuk
debit besar).

1. Pengukuran Debit Air dengan V-Notch

V-Notch merupakan alat ukur debit air yang umumnya terbuat dari plat baja
dengan berbentuk empat persegi panjang. Pada salah satu sisinya (sisi yang
panjang) dibuat belahan bentuk V dengan sudut 90 0 (Gambar 1). Parameter yang
diukur adalah tinggi kolom aliran air yang melewati belahan tersebut.

Gambar 5.1. Pengukuran Debit dengan Menggunakan V-Notch


Debit dihitung menggunakan persamaan Thomson, yaitu
Q=1,417 x H 5 / 2 m3 /detik
Dimana :
Q = Debit aliran air (m3/detik)
H = Tinggi kolom air pada lubang VNotch (meter)
Hasil pengukuran debit air dengan menggunakan V-Notch adalah sebagai berikut:
Tanggal : 21 Mei 2016
Pukul
: 16.30 WIB
Lokasi
: Sungai Kaligending pada daerah yang debit alirannya kecil
Cuaca
: Mendung
Hasil tinggi kolom air pada lubang V-Notch: 3 cm = 0,03 m
Maka, besarnya debit aliran air di Sungai Kaligending berdasarkan persamaan
Thomson yaitu:
Q = 1,417 x H 5/2 = 1,417 x (0,03)5/2 = 2,2089 x 10-4 m3/detik.

Gambar 5.2. Mengukur Tiggi Kolom pada Lubang V-Notch

2. Pengukuran Debit Air dengan Current Meter


Current Meter merupakan suatu alat ukur kecepatan aliran air yang terdiri
dari baling baling (propeller), kabel listrik, tiang penyangga dan counter.
Parameter yang diukur adalah kecepatan aliran air yang melewati penampang
dengan luas tertenttu.
Secara umum data yang diperoleh di lapangan bukan merupakan
parameter hidrogeologi. Untuk mendapatkan parameter hidrogeologi seperti yang
dimaksud, maka perlu dilakukan analisis data hasil pengukuran dilapangan yaitu
menghitung debit aliran air.
Debit aliran air merupakan perkalian kecepatan aliran (v) dengan luas
penampang aliran (A). Luas penampang aliran dihitung berdasarkan bentuk
penampang yang umumnya diidelisasikan ke bentuk sederhana yaitu persegi
panjang. Persamaan untuk menghitung luas bangun bangun tersebut adalah
sebagai berikut.
Bentuk empat persegi panjang yaitu A = L x H
Rumus untuk menghitung debit aliran adalah sebagai berikut:
Q = V x A (m3/detik)
Hasil pengukuran debit air dengan menggunakan Current Meter adalah sebagai
berikut:
Tanggal

: 21 Mei 2016

Pukul

: 16.30 WIB

Lokasi

: Sungai Kaligending pada daerah yang debit alirannya besar

Cuaca

: Mendung

Hasil pengukuran yang didapatkan sebagai berikut.

Gambar 5.3. Titik Pengukuran di Sungai Kaligending


Berdasarkan hasil pengukuran diatas didapatkan hasil perhitungan debit aliran air
rata rata di Sungai Kaligending untuk daerah debit yang besar adalah sebesar
29,1 m3/detik.

Gambar 5.4. Mengukur Debit Aliran Air Menggunakan Current Meter

5.2 Pengukuran Infiltrasi


Infiltrasi adalah proses masuknya air hujan ke dalam lapisan permukaan
tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah kedalam genangan di
atas permukaan tanah, tebal lapisan jenuh, kelembaban tanah, pemampatan oleh

curah hujan atau oleh mahluk hidup, penyumbatan oleh bahan-bahan yang halus,
struktur tanah, tumbuh-tumbuhan, udara yang terdapat dalam tanah, dan lain-lain.
Data infiltrasi diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan
menggunakan alat ukur infiltrasi Double Ring Infiltrometer (Gambar 5.5). Alat ini
terdiri dari dua lingkaran dengan titik tengah yang sama, diameter lingkaran
tengah 7,5 cm dan diameter lingkaran luar adalah 15 cm.

Gambar 5.5 Prinsip Kerja Double Ring Infiltrometer


Perhitungan laju resapan akhir menggunakan metode perhitungan menurut
Kostiakof dengan menggunakan persamaan :

f Bt n
Keterangan :
f

laju infiltrasi (mm/mnt)

waktu (menit)

konstanta (tanpa satuan)

konstanta (m. Jamn-1)

Harga B dan n diperoleh dari hasil pengukuran lapangan.


Pengambilan Data Lapangan
Tujuan infiltrometer adalah untuk mengetahui kapasitas infiltrasi/resapan air
oleh tanah/top soil. Kapasitas infiltrasi ini memiliki satuan m/s, atau kecepatan

rembesan tanah dalam satu arah. Bedanya dengan permeabilitas (K) adalah
permeabilitas berlaku pada kondisi jenuh air, sedangkan kapasitas infiltrasi pada
kondisi resapan di kondisi tidak jenuh. Prinsip Infiltrometer adalah mengarahkan
rembesan hanya dalam satu arah saja yang dipresentasikan oleh ring dalam,
sedangkan ring luar berfungsi menjaga rembesan dari ring dalam tetap tegak lurus
ke bawah tidak merembes ke samping.
Tahap-tahap pengukuran Infiltrometer adalah sebagai berikut:
a. Pasang double ring seperti pada gambar di bawah ini. Posisikan ring kecil di
dalam ring besar. Tempatkan penggaris di dalam ring kecil (Gambar 5.6).

Gambar 5.6 Posisi Double Ring


b. Isikan air di lingkaran terluar.
c. Kemudian isi air ring dalam hingga muka air sama dengan ring luar.
d. Segera amati pengukuran di dalam ring dalam. Pengamatan yang dilakukan
adalah penurunan muka air di ring dalam dan menjaga air di ring luar agar
tetap muka airnya dengan cara menambahkan air perlahan-lahan.
e. Jika muka air dalam ring kecil habis, maka tambahkan air hingga sama
dengan kondisi awal.
f. Pengamatan dilakukan hingga penurunan muka air terhadap waktu adalah
sama.
Pengolahan Data Infiltrasi Double Ring
a. Data Pengukuran

Waktu
(menit)
0
1
3
4
7
10
15
30
45

Waktu
(detik)
0
60
180
240
420
600
900
1800
2700

Tinggi Muka Air


(cm)
40
39.8
38.9
38.7
37.8
37.1
35.9
33
29.9

Penurunan
(cm)
0
0.2
1.1
1.3
2.2
2.9
4.1
7
10.1

b. Data di plot dalam grafik X Y. Kemudian tentukan trendline.

Trendline Power ini mempresentasikan fungsi dari metode Kostiakof, yaitu:

f Bt n

c. Tentukan nilai teoritis f(t) infiltrasi


Gunakan fungsi trendline power untuk mendapatkan nilai teoritis f(t)
infiltrasi.
Waktu
(menit)
0
1
3
4
7
10

Waktu
(detik)
0
60
180
240
420
600

Tinggi Muka
Air
(cm)
40
39.8
38.9
38.7
37.8
37.1

Penurunan
(cm)
0
0.2
1.1
1.3
2.2
2.9

F
(cm/detik)
0.00000
0.00566
0.00539
0.00536
0.00528
0.00524

15
30
45

900
1800
2700

35.9
33
29.9

4.1
7
10.1

0.00518
0.00510
0.00505

Nilai akhir dari f(t) = 0.00505 cm/detik adalah koefisien infiltrasi.

5.3 Geolistrik
Metode geolistrik resistivitas adalah salah satu metode yang cukup banyak
digunakan dalam dunia eksplorasi khususnya eksplorasi air tanah karena
resistivitas dari batuan sangat sensitif terhadap kandungan airnya. Sebenarnya ide
dasar dari metode ini sangatlah sederhana, yaitu dengan menganggap bumi
sebagai suatu resistor.

Gambar 5.7 Metode Geolistrik


Metode geolistrik resistivitas atau tahanan jenis adalah salah satu dari
kelompok metode geolistrik yang digunakan untuk mempelajari keadaan bawah
permukaan dengan cara mempelajari sifat aliran listrik di dalam batuan di bawah
permukaan bumi. Metode resistivitas umumnya digunakan untuk eksplorasi
dangkal, sekitar 300 500 m. Prinsip dalam metode ini yaitu arus listrik
diinjeksikan ke alam bumi melalui dua elektrode arus, sedangkan beda potensial
yang terjadi diukur melalui dua elektrode potensial. Dari hasil pengukuran arus
dan beda potensial listrik dapat diperoleh variasi harga resistivitas listrik pada
lapisan di bawah titik ukur. Berdasarkan pada tujuan penyelidikan, metode
resistivitas dibedakan menjadi dua yaitu mapping dan sounding. Metode geolistrik
resistivitas mapping merupakan metode resistivitas yang bertujuan mempelajari
variasi rasistivitas lapisan bawah permukaan secara horisontal. Oleh karena itu,

pada metode ini digunakan jarak spasi elektrode yang tetap untuk semua titik
datum di permukaan bumi. Sedangkan metode resistivitas sounding bertujuan
untuk mempelajari variasi resistivitas lapisan bawah permukaan bumi secara
vertikal. Pada metode ini pengukuran pada satu titik ukur dilakukan dengan cara
mengubah-ubah jarak elektrode. Pengubahan jarak elektrode tidak dilakukan
secara sembarang, tetapi mulai jarak elektrode kecil kemudian membesar secara
gradual. Jarak elektrode ini sebanding dengan kedalaman lapisan yang terdeteksi.
Penggunaan geolistrik pertama kali dilakukan oleh Conrad Schlumberger
pada tahun 1912. Geolistrik merupakan salah satu metoda geofisika untuk
mengetahui perubahan tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah
dengan cara mengalirkan arus listrik DC (Direct Current) yang mempunyai
tegangantinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik ini menggunakan 2 buah
Elektroda Arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah dengan jarak tertentu.
Semakin panjang jarak elektroda AB akan menyebabkan aliran arus listrik bisa
menembus lapisan batuan lebih dalam. Dengan adanya aliran arus listrik tersebut
maka akan menimbulkan tegangan listrik di dalam tanah. Tegangan listrik yang
terjadi di permukaan tanah diukur dengan penggunakan multimeter yang
terhubung melalui 2 buah Elektroda Tegangan M dan N yang jaraknya lebih
pendek dari pada jarak elektroda AB. Bila posisi jarak elektroda AB diubah
menjadi lebih besar maka tegangan listrik yang terjadi pada elektroda MN ikut
berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi arus listrik pada
kedalaman yang lebih besar. Dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan
yang bisa ditembus oleh arus listrik ini sama dengan separuh dari jarak AB yang
biasa disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC murni), maka diperkirakan
pengaruh dari injeksi aliran arus listrik ini berbentuk setengah bola dengan jarijari AB/2.
Cara Kerja Metode Geolistrik :
Cara Kerja Metode Geolistrik

Gambar 5.8 Cara Kerja Metode Geolistrik


Umumnya metoda geolistrik yang sering digunakan adalah yang
menggunakan 4 buah elektroda yang terletak dalam satu garis lurus serta simetris
terhadap titik tengah, yaitu 2 buah elektroda arus (AB) di bagian luar dan 2 buah
elektroda tegangan (MN) di bagian dalam. Kombinasi dari jarak AB/2, jarak
MN/2, besarnya arus listrik yang dialirkan serta tegangan listrik yang terjadi akan
didapat suatu harga tahanan jenis semu (Apparent Resistivity). Disebut tahanan
jenis semu karena tahanan jenis yang terhitung tersebut merupakan gabungan dari
banyak lapisan batuan di bawah permukaan yang dilalui arus listrik. Bila satu set
hasil pengukuran tahanan jenis semu dari jarak AB terpendek sampai yang
terpanjang tersebut digambarkan pada grafik logaritma ganda dengan jarak AB/2
sebagai sumbu-X dan tahanan jenis semu sebagai sumbu Y, maka akan didapat
suatu bentuk kurva data geolistrik. Dari kurva data tersebut bisa dihitung dan
diduga sifat lapisan batuan di bawah permukaan.

Gambar 5.9 Alat Geolistrik

Untuk alat ini standar deviasi yang diperbolehkan maksimal adalah sebesar
0,05. Jika pengujian didapatkan hasil deviasi melebihi 0,05 maka pengujian harus
diulang sampai mendapatkan standar deviasi kurang dari 0,05. Tingginya angka
deviasi bisa diakibatkan oleh berbagai macam factor, salah satunya penempatan
elektroda yang tidak tepat seperti mengenai akar tanaman atau mengenai bendabenda penghambat arus listrik lainnya (Kontaminan) . Pada saat terjadi standar
deviasi yang tinggi, sebelum mengulangi pengujian posisi elektroda harus digeser
terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada benda-benda (kontaminan) yang
dapat menghambat tingginta TDS.
Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam percobaan geolistrik
seperti konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner dan konfigurasi dipoledipole.

1. Konfigurasi Schlumberger

Gambar 5.10 Konfigurasi Schlumberger


Pada konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil-kecilnya,
sehingga jarak MN secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan
kepekaan alat ukur, maka ketika jarak AB sudah relatif besar maka jarak MN
hendaknya dirubah. Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar dari 1/5
jarak AB.
Konfigurasi Schlumberger Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini
adalah pembacaan tegangan pada elektroda MN adalah lebih kecil terutama ketika
jarak AB yang relatif jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang
mempunyai karakteristik high impedance dengan akurasi tinggi yaitu yang bisa
mendisplay tegangan minimal 4 digit atau 2 digit di belakang koma. Atau dengan
cara lain diperlukan peralatan pengirim arus yang mempunyai tegangan listrik
DC yang sangat tinggi. Sedangkan keunggulan konfigurasi Schlumberger ini

adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan


pada permukaan, yaitu dengan membandingkan nilai resistivitas semu ketika
terjadi perubahan jarak elektroda MN/2. Agar pembacaan tegangan pada elektroda
MN bisa dipercaya, maka ketika jarak AB relatif besar hendaknya jarak elektroda
MN juga diperbesar. Pertimbangan perubahan jarak elektroda MN terhadap jarak
elektroda AB yaitu ketika pembacaan tegangan listrik pada multimeter sudah
demikian kecil, misalnya 1.0 milliVolt.
Umumnya perubahan jarak MN bisa dilakukan bila telah tercapai
perbandingan antara jarak MN berbanding jarak AB = 1 : 20. Perbandingan yang
lebih kecil misalnya 1 : 50 bisa dilakukan bila mempunyai alat utama pengirim
arus yang mempunyai keluaran tegangan listrik DC sangat besar, katakanlah 1000
Volt atau lebih, sehingga beda tegangan yang terukur pada elektroda MN tidak
lebih kecil dari 1.0 milliVolt.
2. Konfigurasi Wenner
Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan
tegangan pada elektroda MN lebih baik dengan angka yang relatif besar karena
elektroda MN yang relatif dekat dengan elektroda AB. Disini bisa digunakan alat
ukur multimeter dengan impedansi yang relatif lebih kecil. Sedangkan
kelemahannya adalah tidak bisa mendeteksi homogenitas batuan di dekat
permukaan yang bisa berpengaruh terhadap hasil perhitungan. Data yang didapat
dari cara konfigurasi Wenner, sangat sulit untuk menghilangkan factor non
homogenitas batuan, sehingga hasil perhitungan menjadi kurang akurat.

Gambar 5.11 Konfigurasi Werner


3. Konfigurasi Dipole dipole
Selain konfigurasi Wenner dan Wenner-Schlumberger, konfigurasi yang
dapat digunakan adalah Pole-pole, Pole-dipole dan Dipole-dipole. Pada

konfigurasi Pole-pole, hanya digunakan satu elektrode untuk arus dan satu
elektrode untuk potensial. Sedangkan elektrode yang lain ditempatkan pada
sekitar lokasi penelitian dengan jarak minimum 20 kali spasi terpanjang C1-P1
terhadap lintasan

pengukuran. Sedangkan untuk konfigurasi Pole-dipole

digunakan satu elektrode arus dan dua elektrode potensial. Untuk elektrode arus
C2

ditempatkan pada sekitar lokasi penelitian dengan jarak minimum 5 kali spasi
terpanjang C1-P1. Sehingga untuk penelitian skala laboratorium yang mungkin
digunakan adalah konfigurasi Dipole-dipole. Pada konfigurasi Dipole-dipole, dua
elektrode arus dan dua elektrode potensial ditempatkan terpisah dengan jarak na,
sedangkan spasi masing-masing elektrode a. Pengukuran dilakukan dengan
memindahkan elektrode potensial pada suatu penampang dengan elektrode arus
tetap, kemudian pemindahan elektrode arus pada spasi n berikutnya diikuti oleh
pemindahan elektrode potensial sepanjang lintasan seterusnya hingga pengukuran
elektrode arus pada titik terakhir di lintasan itu.
Gambar 5.12 Konfigurasi Dipole-dipole
Beberapa aplikasi atau software yang dapat digunakan untuk menghitung
nilai resistivitasdengan menggunakan software res2div atau IP2Win, dengan
menggunakan software ini kita dapat menginterpretasikan jenis batuan yang ada di
bawah permukaan yang dilalui oleh arus listrik berdasarkan besar resistivitasnya
terhadap arus listrik yang dialirkan.

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesan
Selama perjalanan studi ekskursi ke karang sambung, peserta merasakan
bahwa ekskursi dikemas dalam bentuk yang menarik baik dari sesi acara ekskursi
maupun pembawaan dosen dalam menjelaskan kuliah umum dan menjelaskan di
lapangan.
Karang sambung merupakan laboratorium alam yang dapat dilihat secara
langsung oleh tiap peserta. Hampir semua objek-objek materi pembelajaran di
kuliah didapatkan selama ekskursi di karang sambung. Banyak jenis batuan dan
mineral dengan tipe pembentukan yang berbeda terdapat dan tersingkap pada
setiap formasi di daerah karang sambung. Selain itu, batuan dengan umur paling
tua sampai umur paling muda tersingkap dan dapat dipelajari secara langsung di
daerah karang sambung.
Karang sambung memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman dalam
bidang ilmu kebumian. Peserta dapat secara langsung melihat bagaimana kondisi
batuan maupun mineral dan lain sebagainya yang selama ini hanya dipelajari
dalam teori di kelas saja. Karang sambung mengajarkan kepada peserta bahwa
segala sesuatu yang terbentuk dan terjadi di alam bukanlah suatu hal yang
kebetulan melainkan telah diatur dan mempunyai hubungan sebab-akibat.
Karang sambung pun mengajarkan kepada peserta bahwa ilmu yang ada di
dunia sangatlah banyak dan sangatlah rumit, karang sambung menyadarkan bahwa
kekayaan yang diberikan tuhan sangat lah besar dan ilmu yang sudah dimiliki
hanyalah sedikit dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ilmu tuhan
yang maha besar dan luas.
6.2 Saran

Berdasarkan Perjalanan ekskursi yang telah kami laksanakan di daerah karang


sambung, ada beberapa saran yang ingin kami sampaikan mengenai kegiatan
ekskursi dari tanggal 20-25 mei 2016. Adapun saran yang ingin kami sampaikan
adalah sebagai berikut :
1

Kuliah umum dalam kegiatan ekskursi pada saat malam hari sebaiknya
dikurangi dan dibatasi jam nya dengan kesepakatan bersama antara dosen
dengan peserta sehingga mahasiswa punya waktu lebih banyak untuk
berdiskusi dengan dosen dan juga punya waktu untuk membuat laporan
sementara.

Lebih baik diadakan sesi diskusi santai pada malam hari dengan asisten
untuk memperdalam apa yang dipelajari dilapangan.

Asisten harus lebih proaktif dengan mahasiswa, begitupun mahasiswa


harus lebih proaktif untuk bertanya dan berdiskusi dengan asisten sehingga
ilmu yang kurang dipahami dapat dipahami secara menyeluruh.

Selain asisten seharusnya mahasiswa juga harus lebih proaktif dengan


dosen tidak hanya dilapangan tetapi juga dikelas atau ditempat istirahat.

Seluruh mahasiswa harus lebih disiplin waktu selama kegiatan ekskursi,


asisten juga harus intime pada setiap kegiatan.

Lebih banyak di selingi kegiatan seni menghibur saat kuliah malam, agar
peserta tidak mengantuk.

Untuk setiap jurusan harus lebih diarahkan kegiatan yang akan dilakukan,
misalnya jurusan ekonomi mineral harus lebih banyak kegiatan tentang
manajemen ekonomi mineral yang ada di karang sambung, serta kegiatan
lain yang sesuai jurusannya.

Anda mungkin juga menyukai