Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh seharusnya melindungi tubuh dari zat berbahaya
dari virus, bakteri, racun, dan lainnya. Tapi bila sistem imun mengalami gangguan, justru
akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh yang sehat.Gangguan ini disebut
gangguan atau penyakit autoimun.
Gangguan autoimun adalah suatu kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
secara keliru menyerang dan menghancurkan jaringan sehat.Normalnya, pasukan sistem
kekebalan tubuh sel darah putih membantu melindungi tubuh terhadap zat berbahaya, yang
disebut antigen. Contoh antigen termasuk bakteri, virus, racun, sel-sel kanker dan darah
atau jaringan dari orang atau spesies lain. Sistem kekebalan tubuh akan membuat antibody
yang menghancurkan zat-zat berbahaya.Tapi pada pasien dengan gangguan autoimun,
sistem kekebalan tidak bisa membedakan antara jaringan tubuh yang sehat dan
antigen.Hasilnya adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh normal.Ini adalah reaksi
hipersensitivitas mirip dengan respon di alergi.
Pada alergi, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap zat eksternal yang biasanya
akan diabaikan. Tapi pada gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap
jaringan tubuh normal.Yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak bisa membedakan
antara jaringan normal dan antigen tidak diketahui.Satu teori menyebutkan bahwa beberapa
mikro-organisme (termasuk bakteri) dan obat-obatan dapat memicu beberapa perubahan,
terutama pada orang yang memiliki gen yang membuat mereka lebih rentan terhadap
gangguan autoimun.
Gangguan autoimun dapat mengakibatkan hal-hal, perusakan satu atau lebih jenis
jaringan tubuh, pertumbuhan organ abnormal dan perubahan fungsi organ.Selain itu,
gangguan autoimun dapat mempengaruhi satu atau lebih organ atau jaringan.Organ dan
jaringan yang umumnya terkena oleh gangguan autoimun adalah sel darah merah,
pembuluh darah, jaringan ikat, kelenjar endokrin seperti tiroid atau pankreas, otot, sendi,
dan kulit.Seseorang bisa memiliki lebih dari satu gangguan autoimun pada saat yang
sama.Ada lebih 80 jenis penyakit akibat gangguan autoimun.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1

1. Apa definisi penyakit autoimun?


2. Bagaimana etiologi penyakit autoimun?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit autoimun?
4. Apa saja tanda dan gejala dari penyakit imun?
5. Bagaimana diagnosa penyakit autoimun?
6. Bagaimana pengobatan dari penyakit autoimun?

1.3.

TUJUAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengetahui definisi penyakit autoimun


Mengetahui etiologi penyakit autoimun
Mengetahui patofisiologi penyakit autoimun
Mengetahui tanda dan gejala dari penyakit imun
Mengetahui diagnosa penyakit autoimun
Mengetahui pengobatan dari penyakit autoimun

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SKENARIO 4
LEMAS
Seorang wanita berusia 40 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri sendi, terutama
kedua pergelangan tangan, kedua siku, dan kedua lutut sejak 1 bulan yang lalu.Pasien juga
mengeluh kadang-kadang lemas dan nafsu makan menurun sehingga berat badannya turun.
Pasien juga mengeluh bila terpapar sinar matahari pipinya akan tampak kemerahan. Pada
pemeriksaan fisik vital sign TD: 100/70 mmHg, nadi: 68x/ menit, RR: 24x/ menit, suhu:
o
2.2.
LEARNING
OBJECTIVE
37,8
C

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa definisi penyakit autoimun?


Bagaimana etiologi penyakit autoimun?
Bagaimana patofisiologi penyakit autoimun?
Apa saja tanda dan gejala dari penyakit imun?
Bagaimana diagnosa penyakit autoimun?
Bagaimana pengobatan dari penyakit autoimun?

2.3. TERMINOLOGI
1. Nyeri sendi
Adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan pada daerah persendian yang disebabkan karena terjadi
pengumpulan cytokine, salah satu jenis antibakteri yang berlebihan pada sendi
2. Lemas
Adalah gejala tubuh yang mana keadaan tubuh tidak ada tenaga yang disebabkan oleh
banyak faktor seperti kelelahan atau aktivitas meningkat.
3. Ruam malar
Adalah eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial

4. Tes ANA
Adalah titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunoflurensi
atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan
obat.
5. Limfopeni
Adalah penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi darah di bawah 1500/mm3

2.4. PERMASALAHAN
1.
2.
3.
4.

Bagaimana mekanisme terjadinya nyeri?


Mengapa pada wajah khususnya pipi pasien menjadi merah ketika terkena sinar matahari?
Apa penyebab terjadinya nyeri sendi?
Apa saja diagnose differensial (DD) dari skenario tersebut?

2.5. PEMBAHASAN PERMASALAHAN


1. Mekanisme terjadinya nyeri
a) Mekanisme nyeri
Mekanisme nyeri dimulai dari stimulus nociceptor oleh stimulus noxious pada jaringan,
yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi nocereceptor di mana di sini stimulus
noxious tersebut akan diubah menjadi potensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau
aktivasi reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron
3

susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi adalah
konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medulla spinalis, pada
kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan neuron susunan saraf pusat. Dari
sini jaringan neuron tersebut akan naik ke atas medulla spinalis menuju batang otak dan
thalamus selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara thalamus dan pusat-pusat yang
lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi dan afektif yang berhubungan
dengan nyeri. Terdapat proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri
tersebut tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis
medulla spinalis. Setelah itu, timbullah persepsi di mana pesan nyeri menuju ke otak dan
menghasilkan

pengalaman

yang

tidak

menyenangkan.Stimulasi

mosiceptor

ini

merupakan akibat dari pembebasan berbagai mediator biokimiawi selama proses


inflamasi terjadi.Selain nyeri karena inflamasi, nyeri pada sendi dapat pula disebabkan
karena adanya osteofit, bakteri, dan adanya fibrilasi tulang rawan.
Sebenarnya nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh.Nyeri menjadi sinyal
bahwa terdapat kerusakan pada tubuh.Misalnya bertopang dagu dengan tangan kiri dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan aliran darah ke kulit tangan kiri berkurang
sehingga terjadi kerusakan jaringan setempat (iskemia) dan timbul rasa nyeri akibat
penekanan dagu. Maka kita akan berganti tangan kanan atau berganti posisi. Seandainya
kita tidak merasakan nyeri maka kerusakan jaringan akan bertambah luas dan dapat
berakibat kematian jaringan.
b) Mekanisme nyeri sendi
Pada orang normal, antiboodi berfungsi membunuh bakteri dan virus yang menyebabkan
infeksi.Pada orang yang menderita infeksi antibody yang dibentuk oleh tubuh dengan
tujuan membunuh bakteri dan virus justru secara keliru menyerang balik ke tubuh orang
tersebut.Bagian tubuh yang diserang oleh antibody tersebut adalah lapisan dalam kapsul
pembungkus sendi yang disebut lapisan sinovium.
Serangan antibody tersebut menyebabkan lapisan sinovium meradang, sehingga
sendi membengkak dan terasa nyeri.Ketika terjadi peradangan pada sinovium
menyebabkan produksi cairan sendi bertambah banyak sehingga membuat sendi
bertambah bengkak dan nyeri.
2. Mekanisme red flare (kemerahan)
4

Ketika antigen masuk ke area kulit yang spesifik, khususnya di wajah (pipi) maka akan
menimbulkan reaksi setempat yang mirip reaksi anafilaksis. Yang mana pada reaksi ini,
mediator (histamin) akan dilepas pada daerah setempat sehingga terjadi vasodilatasi yang
menyebabkan red flare (kemerahan) ini. Dan biasanya kemerahan disertai dengan
pembengkakan setempat yang berbatas jelas yang disebabkan oleh peningkatan
3.

permeabilitas kapiler.
Penyebab terjadinya nyeri sendi

2.6. PEMBAHASAN LO
1. Definisi penyakit autoimun
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat
badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang
terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit
(seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan.
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen.Antigen adalah molekul
yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel
kanker).Beberapa antigen, seperti molekul serbuk sari atau makanan, ada di mereka sendiri.Sel
sekalipun pada orang yang memiliki jaringan sendiri bisa mempunyai antigen.Tetapi, biasanya,
sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak
terhadap antigen dari orang yang memiliki jaringan sendirii.Tetapi, sistem imunitas kadangkadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi asing dan menghasilkan
(disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri.
Respon ini disebut reaksi autoimun.Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan
jaringan.Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang
menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.
2. Etiologi penyakit autoimun
Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian
disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah.Misalnya,
pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran
darah.Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda
asing dan menyerangnya.

Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau
radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem kekebalan
tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang

ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.


Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem
kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti
bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai
beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem kekebalan
tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini bagian dari

deman rumatik).
Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih)

mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan.
Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan,
daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu,

seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang.
Faktor Hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih

sering terjadi pada wanita.


3. Patofisiologi penyakit autoimun
Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen.Antigen adalah molekul
yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel
kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi biasanya, sistem imunitas bereaksi
hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen sendiri.
Pada umumnya, sistem kekebalan dapat membedakan antar antigen diri (self antigen) dan
antigen asing atau bukan diri (non-self antigen).Dalam hal ini terjadi toleransi imunologik

terhadap antigen diri (self tolerance).Apabila sistem kekebalan gagal membedakan antara
antigen self dan non-self, maka terjadi pembentukan limfosit T dan B yang auto reaktif dan
mengembangkan reaksi terhadap antigen diri (reaksi auto imun).
4. Tanda dan gejala penyakit autoimun
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam.Tetapi, gejala bervariasi bergantung
pada gangguan dan bagian badan yang terkena.Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi
jenis tertentu jaringan di seluruh badan misalnya, pembuluh darah, tulang rawan, atau kulit.
Gangguan autoimun lainnya mempengaruhi organ khusus.Sebenarnya organ yang mana pun,
6

termasuk ginjal, paru-paru, jantung, dan otak, bisa dipengaruhi.Hasil dari peradangan dan
kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit
kuning, gatal, kesukaran pernafasan, penumpukan cairan (edema), demam, bahkan kematian.
5. Diagnosa penyakit autoimun
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan
autoimun.Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein
yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah
(erythrocytes) untuk tetap ada di darah.Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia)
karena radang mengurangi produksi mereka.Tetapi, radang mempunyai banyak sebab, banyak
diantaranya yang bukan autoimun.Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan
darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai
gangguan autoimun khusus.Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di
lupus erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide
(anti-CCP) antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid.Tetapi antibodi ini pun
kadang-kadang mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh
sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk
mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.
6. Pengobatan penyakit autoimun
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan
tubuh.Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan
badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine,
chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering
digunakan, biasanya secara oral dan seringkal denganjangka panjang.Tetapi, obat ini menekan
bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap
senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker.Kosekwensinya, risiko
infeksi tertentu dan kanker meningkat.
Sering kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral.Obat ini
mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh.KortiKosteroid yang digunakan
dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping.Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai

untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk.Tetapi,
kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas.
Gangguan autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga
diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk
mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF),
bahan yang bisa menyebabkan radang di badan.Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang
sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati
gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis.Obat ini juga bisa menambah
risiko infeksi dan kanker tertentu.
Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih.Sel darah putih menolong
pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun.Abatacept
menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi
rheumatoid.Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja
dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh.Efektif pada radang
sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain
yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun.Darah dialirkan
dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal.Lalu darah yang disaring dikembalikan
kepada pasien.Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka
mulai.Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis.Obat sering diperlukan sepanjang hidup
untuk mengontrol gejala.Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.

2.6. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL


I. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Lupus Eritomatus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai produksi
antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan manifestasi klinis yang
luas. LES terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun
selama masa reproduksi dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas diduga
berhubungan dengan respon imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor kelas II,
yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3.
Etiologi
8

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE.Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative)
yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Joe,
2009)
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah
tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Joe, 2009). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Joe, 2009). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga
menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan
antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu
terjadinya SLE (Joe, 2009).

foto ruam malar seperti gambaran kupu-kupu


Patogenesis LES
Adanya faktor genetik memegang peranan yang penting dalam kerentanan serrta
ekpresi penyakit. Gen yang terutama berperan yang mengkode unsur-unsur sistem imun.
9

Diantaranya MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen yaitu ; C 1q, C1r,,C1s,C4 dan
C2). Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong yang abnormal terhadap sel T CD 4+.
Mengakibatkan hilangnya toleransi sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun berupa sel memori. Antibodi ini
secara bersama-sama disebut ANA (antinuclear antibodi ) dengan antigennya yang spesifik,
ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Hal ini menyebabkan aktifasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbul gejala pada organ yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus , dan kulit.
Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
sehingga terjadi peningkatan jumlah sel yang imun (Mok dan Lau, 2003).Aktivasi sel T dan sel
B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti
bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari
dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs
menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk
autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan
bantuan sitokin, molekul CD 40, dan CTLA-4 (Joe, 2009).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B
untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan
ekspresi sel T. Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa
gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
10

limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi


menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas selfantigen.Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun.
Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan
hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon
imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper).
SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan
CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi
CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif.Berkurangnya kedua
subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan
sekresi autoantibodi (Joe, 2009).Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik
pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama
kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi
tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan,
komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan
dalam kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap
kerusakan jaringan (Joe, 2009).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada
limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan
FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2,
C4.Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem
imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang

11

menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang


inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Joe, 2009).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis
sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel
limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat
mengalami

apoptosis

melalui

kondensasi

dan

fragmentasi

inti

serta

kontraksi

sitoplasma.Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada
saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP,
SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor
membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36,
CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang yang menghasilkan sitokin antiinflamasi.
Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang
kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR yang akan menghasilkan sitokin
proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga
terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Joe, 2009).
Diagnosis
Manifestasi klinis yang muncul pada LES sangat beragam dan seringkali pada keadaan
awal tidak dapat dikenali. Keluhan-keluhan yang biasanya dikeluhkan diantaranya pasien
merasa mudah merasakan kelelahan, adanya penurunann berat badan, demam yang suhu tubuh
bisa mencapai 40 oC.Demam biasanya tidak diikuti dengan menggigil. Karena manifestasi
klinis dari penyakit LES ini cukup luas maka untuk mendiagnosis LES bisa menggunakan
kriteria yang dipakai oleh ACR 1982. Diagnosis ditegakan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria di
bawah ini.
N

Kriteria

Batasan

o
1

Ruam Malar

Eritema menetap, datar atau menonjol , pada malar eminence dan

Ruam diskoid

lipat nasolabial
Bercak eritema menonjol dengan gamabran LES keratorik dan

Fotosensifitas

sumbatan folikular . Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik


Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar

matahari, baik dari anamnesis atau dilihat langsung oleh dokter


pemeriksa
12

Ulkus mulut

Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan bisa dilihat

Artitis non erosif

oleh doktker pemeriksa.


Melibatkan dua atau lebih sendi perifer ditandai oleh rasa nyeri,

Pleuritis

bengkak dan efusi.


atau Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau plkeuritic friction rub pada

Perikarditis

pemeriksaan auskultasi
Perikarditis : bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub

Gangguan renal

pada saat pemeriksaan auskultasi.


Proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau +3atau
Cetakan seluler berupa eritrosit,hemoglobin, granular, tubular, atau

Gangguan

gabungan
Kejang tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan

neurologi

metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atai ketidakseimbangan


elektrolit atau
Psikosis tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan

Gangguan

elektrolit.
Anemia hemolitik dengan retikulosis atau

Hematologi

Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau


Limfopenia < 1.500 /mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
Trombositopenia <100.000/mm3tanpa disebabkan oleh obat-

10

Gangguan

obatan.
Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang

imunologik

abnormal atau
Anti SM: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear SM atau

11

Antibodi

Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid


Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan

antinuklear

imunoflurensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

positif
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.
Diagnosis Banding
Mixed connective tisue disease, sindroma vaskuliti
Pemeriksaan Penunjang
LE
C3 dan C4
ANA, ENA
13

Comb test
Biopsi Kulit
Penatalaksanaan
Penyuluhan
Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan sinar fluoresin
Pada manifestasi non organ vital ( kulit, sendi, fatigue ) dapat diberikan klorokuin 4

mg/kgBB/hari
Bila mengenai organ vital, berikan prednisolon 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu

kemudian traping off


Bila terdapat peradangan terbatas pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid

intraartikuler
Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan metilprednisolon 1 gr/hari IV

selama 3 hari berturut-turut, lalu prednison 40-60 mg/hari peroral


Bila pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak memuaskan, maka dimulai
pemberian imunosupresif lain, misal siklosfamid 500-1000 mg/m 2 sebulan sekali

selama 6 bulan. Kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun


Imunosupresan lain yang dapat diberikan adalah azatriopin, siklosporin A.
Terapi
Hasil pengobatan yang diinginkan untuk pasien dengan SLE adalah dua hal yaitu (1)
mengelola gejala dan menginduksi remisi selama terjadinya lonjakan penyakit dan (2)
pemeliharaan remisi selama mungkin diantara lonjakan penyakit.Karena banyaknya variasi
dalam presentasi klinis dari penyakit, pengobatan akan berbeda-beda dan harus sangat
individual.
a. Terapi Non-Farmakologi
Beberapa langkah nonfarmakologi dapat digunakan untuk mengelola gejala dan
membantu mengelola remisi. Fatigue merupakan gejala umum pada pasien dengan
lupus.Keseimbangan dalam istirahat dan berolahraga, menghindari kelelahan, sangat penting
dalam mengelola fatigue. Menghindari rokok mungkin sangat penting karena hidrazin dalam
asap tembakau dapat menjadi pemicu lupus. Tidak ada diet khusus yang diketahui
mempengaruhi perjalanan lupus. Namun, turunan minyak ikan dapat mencegah keguguran
pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid, tetapi kecambah alfalfa (alfalfa sprouts)
harus dihindari karena mengandung asam amino L-canavanine yang diduga mengubah
respon sel T dan B dan dapat memperburuk lupus. Banyak pasien dengan SLE akan perlu
untuk membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblok efek
14

buruk sinar ultraviolet. Jumlah pembatasan paparan sinar matahari bersifat individual (Dipiro
et al., 2005).
b. Terapi Farmakologis
Terapi untuk penyangkit Lupus ini dilakukan dengan meningkatkan kekebalan tubuh
dan menekan peradangan. Pilihan terapi obat tergantung dari keparahan penyakit.

Obat anti inflamasi nonsteroid


Gejala seperti demam, arthritis, dan serositis adalah yang paling umum terjadi pada

pasien dengan penyakit LSE.Oleh karena itu, pengobatan pasien dengan gejala awal bisa
diobati dengan anti-inflamasi.Dosis yang digunakan untuk terapi ini harus diatur sedemikian
rupa agar dapat memberikan efek anti-inflamasi.Akan tetapi obat anti inflamasi dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal apabila digunakan berlebihan hal ini karena obat anti
inflamasi dapat menurunkan aliran darah ginjal dan besar filtrasi di glomerulus (DiPiro et al.,
2005).

Obat antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hydroxychloroquine telah digunakan dalam

pengelolaan lupus diskoid dan SLE. Secara umum, manifestasi dari SLE yang dapat diobati
dengan antimalaria adalah artralgia,pleuritis, peradangan ringan, kelelahan dan leukopenia.
Karena obat ini tidak efektif dengan segera, maka paling baik digunakan dalam jangka
panjang. Respons terhadap klorokuin adalah 1 sampai 3 bulan, sedangkan efek maksimal
hydroxychloroquine mungkin akan terjadi setelah 3 sampai 6 bulan. Dosis dan durasi terapi
tergantung pada respon pasien. Saat ini direkomendasikan dosis antimalaria pada SLE adalah
hydroxychloroquine 200-400 mg / hari dan klorokuin 250-500 mg / hari. Efek samping dari
obat ini adalah sakit kepala, gugup, insomnia, dermatitis, pigmen perubahan pada kulit dan
rambut, gangguan pencernaan , dan toksisitas okular (DiPiro et al., 2005).

Kortikostiroid
Terapi kortikosteroid telah dilakukanpada pasien dengan nefritis lupus parah,. Tujuan

pengobatan kortikosteroid pada LSE adalah untuk menekan penyakit dengan menggunakan
dosis obat serendah mungkin. Pada pasien dengan penyakit ringan, terapi dosis rendah
dengan menggunakan prednison 10-20 mg / hari. Untuk pasien dengan penyakit yang lebih
berat (anemia hemolitik yang parah atau keterlibatan jantung) memerlukan dosis obat yang
lebih tinggi yaitu 1-2mg/kg prednison per hari (DiPiro et al., 2005).
15

Obat sitotoksik
Siklofosfamid dan azatioprin biasanya digunakan sebagai imunosupresan bila

dikombinasikan dengan kortikosteroid.Meskipun keduanya dikenal untuk menekan dan


menstabilkan aktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi bahwa agen ini telah difokuskan
untuk mengobati nefritis lupus.Berdasarkan percobaan terkontrol,kombinasi prednison dan
siklofosfamid telah menjadi standar pengobatan untuk lupus nefritis fokal dan difus
proliferatif. Cyclophosphamide ditambah corticosteroid akan mempertahankan fungsi ginjal
dan mengurangi risiko gagal ginjal. Ketika digunakan dengan kortikosteroid dosis
cyclophosphamide adalah 1-3 mg / kg untuk terapi oral dan 0,5-1,0 g/m2 dariluas permukaan
tubuh untuk terapi intravena. Rute yang paling umum digunakan adalah siklofosfamid
intravena, meskipun ada sedikit bukti bahwa intravena lebih baik dari pemberian
oral.Sedangkan Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis 1 sampai 3 mg/kg per hari,
dan sering dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk penyakit parah. Laporan penggunaan
obat sitotoksik lain untuk lupus dalam beberapa tahun terakhir adalah methotrexate,mofetil
mycophenolate, mechlorethamine (mustard nitrogen), klorambusil, dan siklosporin (DiPiro et
al., 2005).
II. ARTHRITIS REMATOID
Arthritis rematoid adalah suatu penyakit peradangan kronis sistemik yang menyerang
berbagai jaringan, tetapi pada dasarnya menyerang sendi untuk menghasilkan suatu sinovitis
proliferative non supuratif yang seringkali berkembang menjadi kehancuran tulang rawan sendi
dan tulang dibawahnya dan menimbulkan kecacatan akibat atritis.RA secara khas muncul
sebagai atritis simetris yang terutama menyerang sendi kecil pada tangan dan kaki, pergelangan
kaki, lutut, pergelangan tangan, siku, dan bahu.
Secara histologis sendi yang terserang menunjukkan sinovitis kronis, yang ditandai
dengan hyperplasia dan proliferasi synovial, infiltrasi sel radang yang tersusun atas CD4+ sel
plasma dan makrofag, peningkatan vascular, neutrofil dan agregat fibrin peningkatan aktivitas
osteoklas.
Gambaran klasik adalah terdapatnya panus yang dibentuk oleh sel epitel synovial yang
berproliferasi yang bercampur dengan sel radang, jaringan granulasit, dan jaringan ikat
fibrosa.Pertumbuhan jaringan ini berlebihan sehingga membrane synovial berubah menjadi

16

tonjolan. Dengan berkembangnya penyakit tulang rawan sendi berdekatan dengan panus
mengalami erosi dan saatnya dihancurkan pada akhirnya panus akan mengisi rongga sendi.
Pada gambaran radiografi terlihat efusi sendi serta osteopenia juksta artikular yang
disertai dengan penyempitan rongga sendi serta hilangnya tulang rawan sendi.Kerusakan tendo
ligamentum dan kapsul sendi.
Rheumatoid Factor (RF) merupakan antibodi yang sering digunakan dalam diagnosis
RA dan sekitar 75% individu yang mengalami RA juga memiliki nilai RF yang positif.
Kelemahan RF antara lain karena nilai RF positif juga terdapat pada kondisi penyakit autoimun
lainnya, infeksi kronik, dan bahkan terdapat pada 3-5% populasi sehat (terutama individu usia
lanjut).
Oleh karena itu, adanya penanda spesifik dan sensitif yang timbul pada awal penyakit
sangat dibutuhkan.Anti-cyclic citrullinated antibody (anti-CCP antibodi) merupakan penanda
baru yang berguna dalam diagnosis RA.Walaupun memiliki keterbatasan, RF tetap banyak
digunakan sebagai penanda RA dan penggunaan RF bersama-sama anti-CCP antibodi sangat
berguna dalam diagnosis RA.
Patogenesis
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh
antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel
dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran
selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu
kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel
CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi
reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan
terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD 4+ ini akan berlangsung terus
selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD 4+ yang telah teraktivasi
juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b),

interleukin-3

(IL-3),

interleukin-4

(IL-4),

granulocyte-macrophage

colony

stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag
17

untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B
untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.
Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan
komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang
selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel
polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.Pemeriksaan histopatologis
membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah
peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase
dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.8,10 Radikal oksigen
bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak
kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat
dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan
berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga
disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi
terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan
berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan
akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi
mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik
serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
18

berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah
perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong
bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboraturium
terdapat:
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama
bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis
hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.

sarkoidosis.
Protein C-reaktif biasanya positif.
LED meningkat.
Leukosit normal atau meningkat sedikit.
Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
Trombosit meningkat.
Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi

metatarsofalang dan biasanya simetris.Sendi sakroiliaka juga sering terkena.Pada awalnya


terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular.Kemudian terjadi
penyempitan sendi dan erosi.
Penatalaksanaan
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan
adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya
dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya
akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka
waktu yang cukup lama.
1. Edukasi (Pendidikan)
Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap
berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS
OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang
sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a.Aspirin

19

Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian
dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis
terapi 20-30 mg/dl.
b.
Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD
DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan
kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan
berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh
dokter.Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau
bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.Jenis-jenis yang
digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling

banyak

digunakan

karena

harganya

terjangkau,

namun

efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin
fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada
dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular,
nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg.
Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam
jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak
terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau
dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain
ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan
intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu
kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis
penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan
sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis

20

50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis,
stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain
adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang
dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan
dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah digunakan dan
waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 57,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus
ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan.
Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi
berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping
yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari)
sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum
DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan
suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat.
Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.
4. Riwayat Penyakit alamiahAR
Riwayat Penyakit alamiahAR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan
mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode
AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain sebagian besar
pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh
beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan
menderita AR yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang
menetap pada setiap eksaserbasi.
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang
digunakan saat ini, sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan
dapat mempertahankannya dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun
waktu tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar
dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan selama itu. Hal ini mungkin
disebabkan karena pasien sukar mempertahankan ketaatannya untuk terus berobat dalam
jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid. Khasiat
DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbulnya penyakit lain
21

yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih merupakan persoalan
yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil dijumpai obat yang bersifat
sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).
5. Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan
pasien AR dengan cara:
Mengurangi rasa nyeri
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
Mencegah terjadinya deformitas
Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi
fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik.
Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan
salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
6. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat
alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini
pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
III.GOUT (ASAM URAT)
Gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan berulang dari
artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya endapan kristalmonosodium urat, yang
terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di dalam darah
(hiperurisemia).
Etiologi
Dalam keadaan normal, beberapa asam urat (yang merupakan hasil pemecahan sel)
ditemukan dalam darah karena tubuh terus menerus memecahkan sel dan membentuk sel yang
baru dan karena makanan yang dikonsumsi mengandung cikal bakal asam urat.Kadar asam urat
menjadi sangat tinggi jika ginjal tidak dapat membuangnya melalui air kemih.
Tubuh juga bisa menghasilkan sejumlah besar asam urat karena adanya kelainan enzim
yang sifatnya diturunkan atau karena suatu penyakit (misalnya kanker darah), dimana sel-sel

22

berlipatganda dan dihancurkan dalam waktu yang singkat. Beberapa jenis penyakit ginjal dan
obat-obatan tertentu mempengaruhi kemampuan ginjal untuk membuang asam urat.
Gejala klinik
Serangan gout (artritis gout akut) terjadi secara mendadak
Nyeri yang hebat dirasakan oleh penderita pada satu atau beberapa sendi, seringkali
terjadi pada malam hari; nyeri semakin memburuk dan tak tertahankan
Sendi membengkak dan kulit diatasnya tampak merah atau keunguan, kencang dan licin,
serta teraba hangat
Menyentuh kulit diatas sendi yang terkena bisa menimbulkan nyeri yang luar biasa
Penyakit ini paling sering mengenai sendi di pangkal ibu jari kaki dan menyebabkan
suatu keadaan yang disebut podagra
Demam, menggigil, perasaan tidak enak badan dan tachicardi
Gout cenderung lebih berat pada penderita yang berusia dibawah 30 tahun.
Biasanya pada pria gout timbul pada usia pertengahan, sedangkan pada wanita muncul
pada saat pasca menopause
Serangan pertama biasanya hanya mengenai satu sendi dan berlangsung selama beberapa
hari. Gejalanya menghilang secara bertahap, dimana sendi kembali berfungsi dan tidak
timbul gejala sampai terjadi serangan berikutnya.
Bisa terjadi gout menahun dan berat, yang menyebabkan terjadinya kelainan bentuk
sendi.
Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Diagnosis seringkali ditegakkan bedasarkan gejalanya yang khas
Pemeriksaan penunjang
Ditemukannya kadar asam urat yang tinggi di dalam darah akan memperkuat diagnosis.
Tetapi pada suatu serangan akut, kadar asam urat seringkali normal. Serta pada
pemeriksaan terhadap contoh cairan sendi dibawah mikroskop khusus akan tampak
kristal urat yang berbentuk seperti jarum.

23

Penatalaksanaan
Langkah pertama untuk mengurangi nyeri adalah mengendalikan peradangan.
Pengobatan tradisional untuk gout adalah kolkisin
Pada GOUT akut, alucrinol Tidak Boleh diberikan
Saat ini obat anti peradangan non-steroid (misalnya ibuprofen dan indometasin) lebih
banyak digunakan daripada kolkisin dan sangat efektif mengurangi nyeri dan
pembengkakan sendi
Kadang obat pereda nyeri ditambahkan untuk mengendalikan nyeri (misalnya kodein dan
meperidin).
Obat-obat seperti probenesid atau sulfinpirazon berfungsi menurunkan kadar asam urat
dalam darah dengan jalan meningkatkan pembuangan asam urat ke dalam air kemih.
Aspirin menghambat efek probenesid dan sulfinpirazon, sehingga sebaiknya tidak
digunakan pada saat yang bersamaan. Jika diperlukan obat pereda nyeri, lebih baik
diberikan asetaminofen atau obat anti peradangan non-steroid (misalnya ibuprofen).
Jika pembuangan asam urat meningkat, dianjurkan untuk minum banyak air (minimal 2
liter/hari) untuk membantu mengurangi resiko kerusakan sendi dan ginjal
IV. OSTEOARTRITIS
Osteoartritis juga dikenal dengan nama penyakit degeneratif sendi, terjadi ketika tulang
rawan pada sendi mulai melemah. Osteoartritis ini dapat terjadi pada sendi manapun di sekujur
tubuh kita, tetapi sendi yang biasa terkena antara lain pada siku tangan, lutut, pinggang dan
pinggul.
Etiologi
Osteoartritis terjadi karena tulang rawan yang menjadi ujung dari tulang yang
bersambung dengan tulang lain menurun fungsinya. Permukaan halus tulang rawan ini menjadi
kasar dan menyebabkan iritasi. Jika tulang rawan ini sudah kasar seluruhnya, akhirnya tulang
akan bertemu tulang yang menyebabkan pangkal tulang menjadi rusak dan gerakan pada
sambungan akan menyebabkan nyeri dan ngilu.
Penelitian juga mencurigai bahwa osteoartritis disebabkan oleh kombinasi banyak
faktor seperti berat badan, proses penuaan, cedera sendi atau stres, kelelahan otot dan gen.
Gejala dan tanda-tanda

24

Nyeri pada sendi dan sambungan tulang selama atau sesudah digerakkan atau setelah
lama tidakbergerak/tidak aktif.
Ngilu pada sendi saat mengangkat beban ringan
Kaku pada sendi saat bangun tidur atau setelah lama tidak bergerak
Kehilangan fleksibilitas yang membuat kita sulit menggerakkan sendi
Pada beberapa kasus terjadi pembengkakan
Faktor resiko
Umur
Osteoartritis biasanya terjadi pada manusia usia lanjut, jarang dijumpai penderita
osteoartritis yang berusai di bawah 40 tahun.
Kelamin
Wanita memiliki kecenderungan menderita osteoartritis lebih besar.Belum diketahui
mengapa.
Cacat tulang
Beberapa kasus orang lahir dengan kelainan sendi tulang akan lebih besar kemungkinan
mengalami osteoartritis
Cedera sendi
Cedera yang terjadi karena aktifitas seperti olah raga atau kegiatan lain juga
meningkatkan resiko terkena osteoartritis ini.
Obesitas
Membawa beban lebih berat akan membuat sendi sambungan tulang bekerja lebih
berat, ditengarai memberi andil terjadinya osteoartritis.
Penyakit lain
Encok dan rematik juga dianggap memberi kontribusi pada timbulnya osteoartritis.
Pemeriksaan
Sinar-X
Gambar sinar X pada sendi akan menunjukkan perubahan yang terjadi pada tulang
seperti pecahnya tulang rawan.
Tes darah
25

Tes darah akan membantu memberi informasi untuk memeriksa rematik.


Analisa cairan sendi
Dokter akan mengambil contoh sampel cairan pada sendi untuk kemudian diketahui
apakah nyeri/ngilu tersebut disebabkan oleh encok atau infeksi
Pengamatan dengan kamera (artroskopi)
Artroskopi adalah alat kecil berupa kamera yang diletakkan dalan sendi tulang. Dokter
akan mengamati ketidaknormalan yang terjadi.
V. OSTEOPOROSIS
Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh
dan mudah patah.
Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial.Umur dan densitas
tulang merupakan factor resiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan resiko terjadinya
fraktur osteoporosis.
Osteoporosis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : osteoporosis primer (involusional)
yang tidak diketahui gejalanya (idiopatik) dan osteoporosis sekunder.
Osteoporosis primer dibagi menjadi osteoporosis tipe I dan osteoporosis tipe
II.Osteoporosis tipe I (pasca menopause) disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat
menopause. Sedangkan osteoporosis tipe II (sinilis) disebabkan oleh gangguan absorpsi
kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan
timbulnya osteoporosis.
Patofisiologi
Osteoporosis terjadi di mana massa tulang rendah dan kerusakan jaringan tulang
microarchitectural terjadi, menyebabkan kerapuhan tulang dan peningkatan risiko patah tulang.
Ini hasil dapat berasal dari faktor keturunan dan lingkungan yang mempengaruhi massa tulang
dan kualitas tulang. Sedangkan untuk memahami patogenesis osteoporosis dimulai dengan
mengetahui bagaimana pembentukan tulang dan remodeling terjadi.
Risiko osteoporosis lebih tinggi jika usia lanjut, riwayat keluarga osteoporosis,
menopause, riwayat patah tulang, orang tua memiliki riwayat penyakit patah tulang pinggul,
amenore, anorexia nervosa, gaya hidup tidak aktif, diet rendah kalsium atau vitamin D, rendah
26

testosteron (hipogonadisme), merokok, terlalu banyak minum alkohol, mengkonsumsi obat


tertentu (termasuk beberapa obat anti-kejang, hormon tiroid dalam dosis besar, atau steroid),
dan sebagainya. Kondisi hormonal tertentu juga dapat mempengaruhi penyakit osteoporosis.

a. Skema patogenesis osteoporosis pasca menopause (tipe I)

b.

Skema pathogenesis osteoporosis tipe II dan fraktur

27

Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi penderita osteoporosis.
Kadang-kadang keluhan utama dapat langsung mengarah kepada diagnosa, misalnya: fraktur
kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasakebal di
sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau
tubuh pendek, nyeri tulang, kelemahan otot, wadding gait, kalsifikasi ekstraskeletal,
kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolic.
Faktor yang lain yang harus ditanyakan juga adalah factor pada trauma minimal,
imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari,
asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan teratur yang bersifat weight-bearing.
Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti
kortikosteroid, hormone tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid yang mengandung alumunium,
sodium-fluorida dan bifosfonat etidronat.
Alcohol dan merokok juga merupakan faktor resiko osteoporosis.Penyakit-penyakit lain
yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis adalah penyakit ginjal,
saluran cerna, hati, endokrin, dan insufisiensi pancreas.Riwayat haid, umur menarke dan
28

menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan.Riwayat keluarga


dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit tulang metabolic
yang bersifat herediter.
Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur
Gaya berjalan penderita
Deformitas tulang
Leg-length inequality
Nyeri spinal
Jaringan parut pada leher
Kifosis dorsal/ gibbus (Dowagers hump)
Protuberansia abdomen
Spasme otot paravertebral
Kulit yang tipis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biokimia tulang : Kalsium total dalam serum, ion kalsium, kadar fosfor
di dalam serum, kalsium urin, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin, dan bila

perlu hormon paratiroid dan vitamin D.


Pemeriksaan radiologik : Penipisan konteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen.
Densitometri (densitas massa tulang) : pemeriksaan akurat dan persis untuk menilai
densitas masa tulang. Metode yang digunakan adalah SPA (single-photon
absorptiometry) dan SPX (single-energy X-ray absorptiometry) lengan bawah dan
tumit;

DPA

(dual-photon

absorptiometry)

dan

DPX

(dual-energy

X-ray

absorptiometry); dan QCTC (quantitative computed tomography)


Sonodensitometri : metode yang murah dengan menggunakan gelombang suara dan

tanpa adanya resiko radiasi.


Magneting resonance imaging (MRI)
Biopsi tulang dan Histomorfometri
Penatalaksanaan
Secara teoritis, dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas (anti resorptif)
dan/ atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun demikian, saat ini obat
yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif.Yang termasuk golongan obat anti resorptif
adalah estrogen, anti-estrogen, bisfosfonat, dan kalsitonin.Sedangkan yang termasuk stimulator
tulang adalah Na-fluorida, PTH. Kalsium dan vitamin D, tidak mempunyai efek anti resorptif
maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah
proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatkan produksi
29

PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan pengobatan osteoporosis


menjadi tidak efektif.
Edukasi dan Pencegahan
a Lakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan, dan
koordinasi system neuromuscular serta kebugaran. Yang dapat dilakukan yaitu berjalan
b

30-60 menit/ hari, bersepeda maupun berenang.


Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/ hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun

c
d

suplementasi.
Hindari merokok dan minum alcohol
Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada laki-laki dan

e
f

menopause awal pada wanita.


Kenali obat-obatan dan berbagai penyakit yang dapat menimbulkan osteoporosis.
Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti

osteoporosis.
Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang
licin, obat-obatan sedatif dan obat anti-hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi

ortistatik.
Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan natrium
sampai 3 gr/ hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila
ekskresi kalsium >300 mg/ hari, berikan diuretic tiazid dosis rendag (HCT 25 mg/ hari).

Latihan dan Program Rehabilitasi


Latihan yang teratur, akan membuat penderita menjadi lebih lincah, tangkas, dan kuat
otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh.
Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan adalah
pembebanan terhadap tulang.Sedangkan pada penderita yang sudah osteoporosis maka latihan
dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai
latihan beban yang adekuat.
Selain latihan, bila dibutuhkan maka diberikan alat bantu (ortosis), misalnya : korset
lumbal penderita yang mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat bantu berjalan
lainnya, khususnya orang tua yang terganggu keseimbangan.

2.7. DIAGNOSIS UTAMA


Dari diagnosis differensial didapatkan diagnosis utama pasien yaitu penyakit autoimun
yang lebih ditekankan pada Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). Yang mana dalam skenario,
30

yang membuktikan pasien menderita penyakit LSE yaitu keluhan nyeri sendi, lemas, nafsu
makan berkurang, berat badan turun, dan pipi merah ketika terpapar sinar matahari. Dan disertai
juga dengan gejala yang khas dari penyakit LSE itu sendiri, seperti ruam malar, anemia
hemolitik, limfopeni. Serta pemeriksaan yang biasa dilakukan pada pasien LSE yaitu tes ANA
dan tes rantai DNA.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Antibodi yang berlebihan ini tidak
bisa membedakan antigen dengan sel dan jaringan yang terdapat dalam tubuh, sehingga
antibody juga menyerang jaringan dan sel tubuh, yang menyebabkan timbulnya peradangan
pada sel atau jaringan dalam tubuh.
Penyebab dari SLE itu sendiri bisa dari faktor genetic dan faktor lingkungan
(contohnya sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit dan infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun
dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit nonspesifik).
Gejala dan tanda dari SLE yang khas yaitu ruam malar, ruam discoid, fotosensifitas,
ulkus mulut, artitis non erosive, pleuritis atau perikarditis, gangguan renal, gangguan
neurologi, gangguan hematologi, gangguan imunologik.
Selain dari gejala dan tanda, penderita LSE dapat dketahui dengan pemeriksaan seperti
tes ANA, tes rantai DNA.

31

Terapi pengobatan SLE dapat dilakukan secara non farmakologis salah satunya dengan
menghindari kontak langsung dengan sinar UV, dan pengobatan secara farmakologis dengan
menggunakan obat golongan NSAID, kortikosteroid, dan anti malar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton& Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., edisi 11. Jakarta: EGC
2. Price, Sylvia A, dkk. 2006. Patofisiologi. Jakarta : EGC
3. Dorland, newman. 2007. Kamus Dorland. Edisi 7. Jakarta : EGC
4. Sudoyo, Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : EGC
5. Anonym, 2012. Gout. http://scribd.com
6. Anonym, 2012. LSE. http://lupus-eritematosus-sistemik-dokter_desa.com
7. Anonym, 2012. Arthritis Rematoid. http://arthritis-rematoid.com
8. Anonym, 2012. Nyeri sendi. http://mekanisme-nyeri-sendi.com

32

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen25 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen35 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen34 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen43 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen22 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen31 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I SGD 3
    Bab I SGD 3
    Dokumen30 halaman
    Bab I SGD 3
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen50 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen30 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan Latar Belakang
    Bab I Pendahuluan Latar Belakang
    Dokumen16 halaman
    Bab I Pendahuluan Latar Belakang
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 4
    Kelompok 4
    Dokumen18 halaman
    Kelompok 4
    NiMadeSuarthaputridewi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    NiMadeSuarthaputridewi
    Belum ada peringkat
  • Hemo Filia
    Hemo Filia
    Dokumen18 halaman
    Hemo Filia
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • An Pernisiosa
    An Pernisiosa
    Dokumen12 halaman
    An Pernisiosa
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Awal
    Awal
    Dokumen2 halaman
    Awal
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Univesitas Islam Al-Azhar Mataram: Task Reading
    Univesitas Islam Al-Azhar Mataram: Task Reading
    Dokumen16 halaman
    Univesitas Islam Al-Azhar Mataram: Task Reading
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan
    Bab 1 Pendahuluan
    Dokumen16 halaman
    Bab 1 Pendahuluan
    Vanquish Vein
    Belum ada peringkat
  • Poli
    Poli
    Dokumen14 halaman
    Poli
    NiMadeSuarthaputridewi
    Belum ada peringkat
  • Trombositopenia
    Trombositopenia
    Dokumen10 halaman
    Trombositopenia
    NiMadeSuarthaputridewi
    Belum ada peringkat
  • TROMBOSITOSIS
    TROMBOSITOSIS
    Dokumen9 halaman
    TROMBOSITOSIS
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Task Reading Kelompok I
    Task Reading Kelompok I
    Dokumen20 halaman
    Task Reading Kelompok I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • POLISITEMIA
    POLISITEMIA
    Dokumen10 halaman
    POLISITEMIA
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Gouut 22
    Gouut 22
    Dokumen12 halaman
    Gouut 22
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Materi Penyuluhan
    Materi Penyuluhan
    Dokumen3 halaman
    Materi Penyuluhan
    Hairul Azwar
    100% (1)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen29 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen35 halaman
    Bab I
    putridewi22
    Belum ada peringkat
  • Infark Miokardiumm
    Infark Miokardiumm
    Dokumen10 halaman
    Infark Miokardiumm
    putridewi22
    Belum ada peringkat