Anda di halaman 1dari 2

Kasus vaksin palsu hangat diperbincangkan sejak Juni 2016 lalu.

Catatan Polri
menunjukkan sedikitnya 197 bayi teridentifikasi mendapat suntikan vaksin palsu sejak Juni 2016
yang diduga dibuat dan diedarkan oleh 20 orang. Terungkapnya sindikat pemalsu vaksin balita
ini berawal dari ditemukannya fakta bahwa banyak anak yang kondisi kesehatannya terganggu
setelah diberikan vaksin. Vaksin palsu ini digunakan untuk vaksin DPT (Difteri, Pertusis dan
Tetanus) dan Hepatitis B.
Penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi
Khusus Bareskrim Polri membongkar sindikat pemalsu vaksin untuk balita. Diketahui bahwa
sindikat tersebut telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi di seluruh
Indonesia. Hingga saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah,
yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Dari penggeledahan dan pemeriksaan yang
dilakukan kepolisian, diketahui para pelaku menggunakan cairan antitetanus dicampur dengan
cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu tersebut. Setelah dicampurkan, kemudian
dimasukkan ke dalam botol bekas dan diberikan label palsu juga. Setelah itu, baru
didistribusikan. Bahan-bahan vaksin palsu itu tidak berbahaya bagi kesehatan. Yang berbahaya
adalah peracikannya yang dilakukan secara tidak higienis.

Menurut dokter Dirga Sakti Rambe, dokter spesialisasi di bidang vaksinologi sulit bagi
orang awam untuk membedakan vaksin palsu dan vaksin asli. Secara kasat mata, bungkus luar
vaksin palsu dan vaksin asli nyaris sama. Namun, apabila dilihat secara jeli, tanggal kadaluarsa
dan kode unik pada bungkus luar vaksin palsu berbeda dengan yang tertera pada vaksin di
dalamnya. Kepastian 100% sebuah vaksin tergolong palsu apabila dilakukan pemeriksaan
laboratorium.

Dr. Hindra Irawan, Sekretaris Satuan Tugas Imunisasi, Ikatan Dokter Anak Indonesia
mengatakan efek samping vaksin palsu dapat berupa nyeri atau kemerahan di seputar tempat
suntikan. Namun kerugian terbesar bagi anak yang mendapat vaksin palsu adalah tidak
mendapatkan kekebalan dan rentan terhadap penyakit. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek
mengatakan bahwa anak yang mendapat vaksin palsu seharusnya mendapat vaksinasi ulang.
Sebab, mereka yang mendapat vaksin palsu tentu tidak mendapat manfaat kebal terhadap suatu
penyakit.
Oleh karena itu, pemerintah harus memperketat sistem pengawasan terhadap pembuatan
dan peredaran vaksin agar tidak terjadinya peredaran vaksin palsu. Sebab vaksin palsu dapat
menyebabkan kerugian bagi anak sehingga anak jadi tidak kebal dan rentan terhadap penyakit.

Anda mungkin juga menyukai