Anda di halaman 1dari 28

1

LAPORAN KASUS
DEMAM TIFOID

Oleh
Dr. fitri Ramadhayani Hutagol

Dokter pendamping:
-dr. Desfi Delfiana Fahmi
-dr. Lena Sofi Elfrida Sitorus

Program Dokter Internsip Indonesia


RSUD.H.Damanhuri Barabai
2016

DAFTAR ISI

I.
II.
III.
IV.

BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang..4
BAB II
Laporan Kasus.....................................................................................................................6
BAB III
Analisa Kasus.........................11
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
2.1. Defenisi demam tifoid.....14
2.2. Etiologi............14
2.3. Manifestasi klinis....15
2.4.

Patofisiologi....
16

2.5.
Diagnosis17
2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium Penunjang...17
2.6.
Tes Widal.
21
2.7.
Tes Tubex.....
22
Isolasi bakteri dari kultur darah ..

2.8.

23
2.8.1 Pengamatan morfologi koloni.23
2.8.2 Uji konfirmasi.25
V.

BAB V
Kesimpulan27

Daftar Pustaka.............30

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik dan salah satu dari foodborne disease yang
banyak ditemukan di semua negara.(WHO,2002). Demam tifoid juga dikenali sebagai Typhus
abdominalis, Typhoid fever dan Enteric Fever. (Herawati, 2007). Di Indonesia, penyakit infeksi
ini tergolong penyakit endemik yang didapat sepanjang tahun.(Rohman, 2010)
Demam tifoid merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia namun merupakan
masalah utama bagi negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia , Malaysia dan
Thailand. Pada tahun 2007, CDC melaporkan prevalensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar
358-810 per 100.000 penduduk dengan 64% terjadi pada usia 3 sampai 19 tahun. Di Jakarta,
demam tifoid adalah infeksi kedua tertinggi setelah gastroenteritis dan menyebabkan angka
kematian yang tinggi.(Moehario, 2009)
Menurut laporan data surveilans yang dilakukan oleh sub Direktorat surveilans
Departmen Kesehatan (Indonesia), insiden penyakit menunjukkan peningkatan kasus yang terus
dan berturut-turut pada tahun 1990,1991,1992,1993 dan 1994 yaitu 9,2 ; 13,4 ; 15,8 ; 17,4 per
10000 penduduk. Sementara data penyakit demam tifoid dari Rumah Sakit dan pusat kesehatan
juga meningkat dari 92 kasus (1994) menjadi 125 kasus (1996) per 100,000 penduduk.(Rohman,
2010)
Demam tifoid merupakan golongan typhoidal species dari penyakit Salmonellosis
dimana Salmonellosis bisa terbagi kepada dua yakni typhoidal species dan non typhoidal species.
Bakteri Salmonella adalah penyebab bagi Salmonellosis. Bagi typhoidal species, bakteri
Salmonella utama yang ditemukan adalah Salmonella typhi. (Brooks, 2004)
Infeksi bakteri Salmonella lain pada typhoidal species adalah Salmonella paratyphi.
Bakteri ini menyebabkan demam paratifoid dimana gejalanya sama dengan demam tifoid, tetapi
lebih ringan dan kasus mortalitasnya juga jauh lebih rendah. (Maskalyk, 2003).

Untuk non-typhoidal species, bakteri yang bisa ditemukan adalah bakteri Salmonella
enteriditis dan Salmonella Choleraesuis. Salmonella sp adalah bakteri batang gram negatif
dengan famili Enterobacteriaceae.(Parry, 2002). Bakteri ini mempunyai antigen permukaan yang
cukup kompleks yang berperan dalam proses patogenesisnya dan juga berperan dalam respon
imun pada pasien yang terinfeksi.(Darmawati, 2009)
Salomonellosis ini bisa ditularkan dengan mengomsumsi makanan yang terkontaminasi
berasal dari hewan seperti daging, unggas, telur dan susu. (WHO,2005).

BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
1. Nama Penderita
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Pendidikan
d. Alamat
e. Masuk RS
f. No. RM

: An. M.Chandra Ramadhan


:18 november 2003/ 13 tahun
: laki - laki
: SMP
: Halian Rt 02/02, Bt. Benawa
: 25 agustus 2016
: 03.80.21

B. Riwayat Penyakit Pasien

Keluhan Utama : Demam

Riwayat penyakit sekarang: os datang ke RSUD H.DAMANHURI BARABAI pada


tanggal 25 agustus 2016 dengan keluhan demam, demam sudah dialami pasien selama 1
minggu ini SMRS, demam sempat turun,tetapi 2 hari ini os demam lagi, Demam
dirasakan saat sore menjelang malam, demam juga dirasakan naik turun, kadang os juga
menggigil (terutama saat hari 1-2 demam). Os juga mengeluhkan mual, muntah, pusing
dan nafsu makan berkurang yang sudah dialami 2 hari ini. Os sebelumnya sudah berobat
ke prakter dokter dan melakukan pemeriksaan tes widal, hasil tes widal positif tifus, tapi
pasien tidak membawa hasil dan minum obat, demam dirasakan berkurang, tetapi demam
kembali jika obat dihentikan.

Riwayat penyakit terdahulu : os belum pernah mengalami keluhan yang sama


sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga & lingkungan :keluarga os tidak ada yang mengalami keluhan
yang sama.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
Tekanan darah

: composmentis
: 110/80 mmHg

Nadi
RR
Suhu

: 82 x/menit, regular
: 22 x / menit
: 39,1 C

Pemeriksaan status generalis :


Kepala : tidak tampak kelainan
Mata
: mata cekung (-), konjungtiva anemis (-),sclera ikterik (-)
THT
: faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor (-)
Leher
: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normal.
Paru
Inspeksi : dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan dinamis tidak ada ketinggalan
gerak.
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik (<3 detik), bising usus
normal tidak meningkat
Inspeksi : datar
Palpasi
: nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, turgor baik
Perkusi: timpani
Auskultasi : bising usus normal (3x/menit)
Ekstremitas : akral hangat, petekie (-), CR <2 detik
D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah lengkap


Hb :13.4gr/dl
Leukosit :4500/mm3
Eritrosit

:4,92juta/mm3

Trombosit :152.000/mm3
Hematocrit
Segmen

:37%
:72%

Limfosit

:22%

Monosit

:6%

Mcv

:75

Mch

:27

Mchc

:36

E. Diagnosis
Demam Tifod
F. Penatalaksanaan
-

Ivfd D5:nacl 25 tpm/makro

Iv ceftriaxone 2 x 1 gr

Iv ranitidine 2 x 40mg

Po.paracetamoln3 x 1 tab k/p

G. Follow Up
Tanggal
25/8/2016

SOAP
S:Demam,mual,muntah,nafsu

Therapi
-

makan berkurang.
O: ku:tampak sakit sedang

tpm/makro
-

TD= 110/80mmhg
Hr=82x/I

S:Demam,,muntah1 kali, Bab

Hr=86x/I

- Ivfd D5:nacl 25
tpm/makro

O: ku:tampak sakit sedang


TD= 110/80mmhg

Po.paracetamoln3
x 1 tab k/p

pagi ini 2 kali, bab cair (+)


nafsu makan berkurang.

Iv ranitidine 2 x
40mg

A: demam tifoid

26/8/2016

Iv ceftriaxone 2 x
1 gr

Rr=22x/i
T=39,1

- Ivfd D5:nacl 25

Iv ceftriaxone 2 x
1 gr

Iv ranitidine 2 x
40mg

Rr=20x/i

T=38,4

27/8/2016

x 1 tab k/p

A: demam tifoid

Cek fl

S:Demam,,muntah (-), bab

- Ivfd D5:nacl 25

tadi malam 2x ampas > air,


Bab pagi ini (-),nafsu makan

tpm/makro
-

berkurang, batuk (+)


-

TD= 110/80mmhg
-

Rr=20x/i
-

A: demam tifoid

(-),,muntah

mulai

1x1

(-),

Ambroxol 3x1 tab

- Ivfd D5:nacl 25

padat,nafsu

tpm/makro
-

makan (+), batuk (<)


O: ku:tampak baik
Hr=90x/I

Iv ceftriaxone 2 x
1 gr

TD= 110/80mmhg

Iv

omeprazole

2x40mg
-

Rr=24x/i

Po.paracetamol 3
x 1 tab k/p

T=35,0

A: demam tifoid

S:Demam

Azitromisin
caps

Bab pagi ini (+) 1 kali dan

29/8/2016

Po.paracetamol 3
x 1 tab k/p

T=38,1

sudah

Iv ranitidine 2 x
40mg

Hr=96x/I

S:Demam

Iv ceftriaxone 2 x
1 gr

O: ku:tampak sakit sedang

28/8/2016

Po.paracetamoln3

(-),,muntah

Azitromisin

1x1

caps
-

Ambroxol 3x1 tab

Iv mtp 3x10mg

Cek DL

Hasil lab : leukosit 8000/mm


(-), -blpl

bab terakhir tadi malam 1 kali - azitromicin 1x1 caps

sudah padat, Bab pagi ini -paracetamo 3x1 tab k/p


(-) .nafsu makan (+), batuk -ambroxol 3x1 tab
(<)
O: ku:tampak baik
TD= 110/80mmhg
Hr=90x/I
Rr=24x/i
T=36,2
A: demam tifoid

BAB III
ANALISA KASUS
Pada

kasus

ini

seorang

anak

berusia

16

tahun

datang

ke

IGD

RSUD.H.DAMANHURIBARABAI pada tanggal 25 agustus 2016. Berdasarkan anamnesa, dan


setelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan :
-

Keluhan utama os demam, demam sudah dialami pasien selama 1 minggu ini SMRS,
Demam dirasakan saat sore menjelang malam
kadang os juga menggigil (terutama saat hari 1-2 demam)

Os juga mengeluhkan mual, muntah, pusing dan nafsu makan berkurang yang sudah
dialami 2 hari ini.

10

Berdasarkan anamnesa terhadap os, bahwasanya terdapat beberapa penyebab dari demam
tifoid,Dari teori yang terdapat dari buku

ilmu kesehatan anak Ashkenazi et al. (2002)

menyebutkan bahwa demam tifoid disebabkan oleh jenis Salmonella tertentu yaitu Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, dan Salmonella paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella
yang lain. Demam yang disebabkan oleh Salmonella typhi cendrung untuk menjadi lebih berat
daripada bentuk infeksi Salmonella yang lain.
Berdasarkan anamnesa terhadap os, os mengeluh demam, , demam sudah dialami pasien
selama 1 minggu ini SMRS, Demam dirasakan saat sore menjelang malam, kadang os juga
menggigil (terutama saat hari 1-2 demam), Os juga mengeluhkan mual, muntah, pusing dan
nafsu makan berkurang yang sudah dialami 2 hari ini. Keluhan os tersebut sesuai dengan teori
dari IDAI, yaitu :

Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten

dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur angsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.

Ganguan pada saluran pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah

(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan,jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

11

Setelah didiagnosa pasien diarahkan untuk dirawat inap. Indikasi rawat inap pasien
dilihat dari tingkat keparahan keluhan os. Hal ini sesuai dengan teori dari buku PPM (IDAI).

Cairan dan kalori


Terutama pada demam tinggi,muntah atau diare, bila perlu diberi asupan cairan dan

kalori melalui sonde lambung.


Penuhi kebutuhan volume cairan intravascular dan jaringan
Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu O2
Diet
Makanan tidak berserat dan mudah di cerna
Setelah demam reda, dapat diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori yang
cukup

Dalam penatalksanaan demam tifoid dapt di berikan antibiotic, berdasarkan teori dari
buku ilmu kesehatan anak, Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid,
karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan keadaan
bakterimia.Pemberian terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi dan
angka kematian, memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran klinis salah
satunya terjadi penurunan demam. Namun demikian pemberian antibiotik dapat menimbulkan
drug induce fever, yaitu demam yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotic
dengan catatan tidak ada penyebab demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi,
trauma dan lain lain.Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut
dihentikan.20,21 Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada terapi demam tifoid, hal
ini dapat dibenarkan apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih tinggi terhadap obat
tersebut.Tetapi penelitian-penelitian yang dilakukan dewasa ini sudah menemukan strain
Salmonella Typhi yang sensitivitasnya berkurang terhadap kloramfenikol,untuk itu antibiotik lain
seperti seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim dapat digunakan sebagai pilihan
terapi demam tifoid.

12

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Demam Tifoid
Penyakit demam tifoid (Typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang
menyerang bagian saluran pencernaan (Algerina, 2008).
Darmowandono (2006) menyebutkan demam tifoid adalah penyakit infeksi akut
disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah. Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang undang nomor 6
Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo et al,
2007). Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar
oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama
dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakterimia kepada bayinya (Sudarno et al, 2008).
2.2 Etiologi

13

Ashkenazi et al. (2002) menyebutkan bahwa demam tifoid disebabkan oleh jenis
Salmonella tertentu yaitu Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, dan Salmonella paratyphi B
dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh Salmonella typhi
cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi Salmonella yang lain. Salmonella
merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul. Sebagian besar strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan
asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme Salmonella tumbuh secara
aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Sebagian besar spesies resisten terhadap
agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C selama 1 jam atau 60 C
selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama
beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan
makanan kering dan bahan tinja (Ashkenazi et al, 2002). Salmonella memiliki antigen somatik O
dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil
terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein yang bersifat termolabil (Ashkenazi et al,
2002).
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik demam tifoid pada pediatri tidak khas dan sangat bervariasi. Beberapa
faktor yang mempengaruhi manifestasi klinik dan beratnya penyakit adalah strain S. typhi.
Jumlah mikroorganisme yang tertelan, keadaan umum dan status nutrisi (Soegijanto, 2002).
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala gejala amat bervariasi.
Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga daerah yang sama dari waktu
ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis,
sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.
Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan
sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis
gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan
keluhan susunan saraf pusat (Darmowandowo, 2006). Gejala-gejala tersebut meliputi:
a. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus
terutama pada malam hari.
b. Gejala gastrointestinal dapat berupa diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
c. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, sopor, bahkan sampai koma

14

(Darmowandowo, 2006).

Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis:
1. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis
fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak), sakit kepala,
malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal penyakit selama
periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada,
abdomen dan punggung.
2. Demam tifoid dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah.
Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat
mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan peningkatan
ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid
bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses(WHO, 2003).
2.4 Patofisiologi
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia.Manusia yang terinfeksi bakteri
Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam
jangka waktu yang bervariasi.Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari
penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, bertahan
hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan
air ke lumen intestinal.Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman masuk ke
dalam
tubuh melalui mulut.Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang
mati.Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian
menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan yeyunum.Sel M, sel epitel yang
melapisi Peyers patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella
Typhi.Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa usus.Tukak
dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar

15

limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo
Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa.Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi
keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminal.Ekskresi bakteri di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui feses.Endotoksin
merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk
melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan
secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid. Penularan Salmonella Typhi
sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri
yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses.Dapat
juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada keadaan bakterimia
kepada bayinya.
2.5 Diagnosis
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, menggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise,
alergi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada
demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus (IDAI, 2004).
2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
a) Pemeriksaan darah tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia
dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2002).

16

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya


mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%),
leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%) (Darmowandowo, 1998).
b) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses (Hardi, et.al, 2002).
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang
diambil, perbandingan volume darah dari media empedu dan waktu pengambilan
darah (Sudoyo, et.al, 2007).
Volume 5-10 ml dianjurkan untuk orang dewasa, sedangkan pada anak
-anak dibutuhkan 2-4 ml, sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 ml. Bakteri dalam sumsum tulang juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut (Sudoyo, et.al,
2007).
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 4080% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah

17

dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga
(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek seharihari. Pemeriksaan pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik
akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang
(Handoyo, 2004).
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat (Hardi, et.al, 2002).
Spesifisitasnya

walaupun

tinggi,

pemeriksaan

kultur

mempunyai

sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal seperti telah mendapat terapi antibiotik, volume darah yang kurang,
riwayat vaksinasi dan saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
agglutinin semakin meningkat (Sudoyo et al, 2007).
c) Uji serologis

18

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid


dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 ml yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi uji Widal, tes TUBEX, metode enzyme immunoassay (EIA), metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan pemeriksaan dipstik
(Sudarno et al, 2008).
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid, akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi
yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Sudoyo et al,
2007).
d) Pemeriksaan kuman secara molekuler.
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Wain
dan Hosoglu, 2008).
Penelitian oleh Haque et al. (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Penelitian lain oleh Massi et al.
(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% pada tes Tubex bila dibandingkan
dengan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan
metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif
palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya
bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

19

spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha
untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian (Wain dan Hosoglu, 2008).

2.6 Tes Widal


Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang
telahmengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titernya,
semakin besar kemungkinan infeksi ini.
Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonela typhy. Uji
Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonela typhy dengan antibodi
yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonela yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya
agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid (Sudoyo et al, 2007).
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau
uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan
untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan (Sudoyo et al, 2007).
Tes aglutinasi Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) dan
uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan dengan cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan. Uji hapusan dilakukan dengan menggunakan antigen S. typhi komersial yang
tersedia, setetes suspensi antigen ditambahkan pada sejumlah serum pasien yang diduga
terinfeksi Salmonella typhi. Hasil penapisan positif membutuhkan determinasi kekuatan dari
antibodi (Olopienia, 2000). Di Indonesia pengambilan titer O aglunitin 1/40 dengan memakai
slide test (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 15 menit) menunjukkan nilai ramal positif
96% (Sudarno, et.al, 2008). Campuran suspensi antigen dan antibody diinkubasi selama 20 jam

20

pada suhu 370 C di dalam air. Tes ini dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan
(Olopienia, 2000).
Penelitian pada anak oleh Choo et.al (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar
34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid
anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 6474% dan spesifisitas sebesar 76-83% (Choo et.al, 1990).
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi
yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan
(Olopienia, 2000).
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara
luas di seluruh dunia, namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan
karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Upaya untuk mencari
standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada orang sehat di
populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer
antibodi O dan H pada orang-orang sehat (Hosoglu et al, 2008).
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif palsu pada tes ini.
Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika darah diambil terlalu dini dari fase tifoid. Pemberian
antibiotik merupakan salah satu peyebab penting terjadinya negatif palsu. Penyebab hasil negatif
lainnya adalah tidak adanya infeksi S. Typhi, status karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang
tidak cukup untuk melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam melakukan tes dan
variabilitas antigen (Hosoglu et al, 2008).
Hasil positif palsu dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan tes demam tifoid
sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen Salmonella sp. Ada reaksi silang sebelumnya
dengan antigen selain Salmonella sp., variabilitas dan kurangnya standar pemeriksaan antigen,

21

infeksi malaria atau bakteri enterobacteriaceae lainnya, peayakit lain, seperti dengue (Hosoglu et
al, 2008)
2.7 Tes Tubex
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit (Chrishantoro, 2006).
Tubex, mendeteksi kemampuan antibodi anti-Salmonella O9 dari serum pasien dengan
cara menghambat ikatan antara indikator antibodi-partikel dan magnetik antigen-partikel. Tes ini
juga spesifik untuk mendeteksi antigen Salmonella O9 (lipopolisakarida grup D) dalam larutan
dan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi organisme Salmonella grup D secara langsung
dari koloni agar atau kultur darah. Hal tersebut membuat Tubex menjadi tes yang unik.
Kemampuannya mendeteksi antibodi dan antigen secara teoritis penting untuk diagnosis
serologis penyakit infeksi akut, karena antigen yang diharapkan muncul pada infeksi pertama
(Tam et al. 2007).
Tes Tubex menggunakan reaksi kolorimetri yang dimasker dalam sampel hemolisis. Hasil
beberapa percobaan yang telah dilakukan di beberapa negara berkembang, Tubex menunjukkan
hasil terbaik dan dapat lebih baik daripada tes Widal yang sudah dipakai sejak seratus tahun lalu.
Tes ini juga memiliki kelemahan, yaitu sulitnya menginterpretasikan hasil dari sampel hemolisis
yang memakai reaksi kolometri. Tes ini juga dapat bernilai positif palsu jika seseorang sudah
pernah terinfeksi Salmonella enteritidis dan mendapatkan terapi antibiotik yang tidak tepat
(Olsen, et. al. 2004).
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim et al (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78%
dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang (Kristina et al, 2007).

22

2.8 Isolasi Bakteri dari Kultur Darah


Kultur darah adalah prosedur untuk mendeteksi infeksi sistemik yang disebabkan oleh
bakteri atau jamur. Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi dan fungemi dengan cara kultur
secara aerob dan anerob, identifikasi bakteri dan tes sensitivitas antibiotik yang diisolasi. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu klinisi dalam pemberian terapi antibiotik yang terarah dan
rasiona1 (Provan, 2005).
Hasil yang menunjukkan ditemukannya bakteri dalam darah dengan cara kultur disebut
bakteremi, dan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, maka pendeteksiannya dengan
segera sangat penting. Indikasi

kultur

darah adalah jika dicurigai terjadi bakteremi atau

septikemi dilihat dari gejala klinik, mungkin akan timbul gejala seperti : demam, mual, muntah,
menggigil, denyut jantung cepat (tachycardia), pusing, hipotensi, syok, lekositosis, serta
perubahan lain dalam sistim organ dan atau laboratories (Provan, 2005).
Kultur organisme penyebab merupakan prosedur yang paling efektif dalam menduga
demam enterik, dimana kultur untuk demam tifoid dapat menjelaskan dua pertiga dari kasus
septikimia yang diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit (Wain and Hosoglu,
2008). Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urin, feses, sumsum tulang, cairan deodenum atau dari roseola. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi terapi antibiotik, volume darah yang diambil, riwayat
vaksinasi dan waktu pengambilan darah (Sudoyo et al, 2007).
Biakan darah terhadap Salmonela juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40 -80% atau 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik, akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya resiko aspirasi
terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Wain et al, 2008).

23

Keterbatasan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang


digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
(Wain et al, 2008).

2.8.1 Pengamatan morfologi koloni


Masing-masing koloni terpilih diamati morfologinya, meliputi: warna koloni,
bentuk, diameter 1-2 mm, tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan kemampuannya untuk
memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya untuk menghemolisa sel darah merah
(Bourbeau dan Pohlman, 2001).
2.8.2 Uji konfirmasi
Koloni terpilih untuk bakteri batang, gram negatif enterik dikultur pada media uji
biokimia (Indol, MR, Citrat, Motilitas, Urea, TSIA, ONPG), diinkubasi 37C selama 1824 jam. Koloni terpilih bakteri kokus gram positif dilakukan uji katalase. Katalase positif
termasuk familia Micrococcaceae, katalase negatif termasuk familia Streptococcaceae
(Bourbeau dan Pohlman, 2001).
2.9 Penatalaksanaan
a. Kebijakan dasar pemberian antibiotik
Antimikroba sebelum diberikan harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang lebih
dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella(biakan gagal). Antimikroba yang dipilih
harus mempertimbangkan:
1. Telah dikenal petensial dan sensitif untuk tifoid.
2. Berspektrum sempit.
3. Efek samping minimal.
4. Tidak mudah terjadi resisten dan carrier.
5. Berspektrum sempit.
6. Cara pemberian mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita
baik anak maupun wanita hamil.(Depkes RI, 2006)
b. Pemilihan antibiotik untuk demam tifoid
Dalam SPO Pelayanan Medis Anak 2009 RS Slamet Riyadi Surakarta penanganan
demam tifoid di instalasi rawat inap ini memiliki dua prosedur yaitu:
1. Medikamentosa
a) Antipiretik bila suhu > 38,50C kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat.
b) Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)

24

1) Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau iv, dibagi dalam 4 dosis
selama 10-14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit <2000/l, dosis maksimal 2 g/hari
2) Amoxicillin 150-200 mg/kg/hari, oral atau iv selama 14 hari
3) Ceftriaxon 20-80 mg/kg/hari selama 5-10 hari
2. Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus. Konsultasi bedah bila
dicurigai komplikasi perforasi usus (Denkesyah, 2009). Selain dari SPO Pelayanan Medis Anak
2009 dalam penelitian ini juga memakai standar dari Depkes RI 2006. Antibiotik harus segera
diberikan jika diagnosis sudah ditentukan, antibiotik yang diberikan sebagai terapi awal adalah
antibiotik dari kelompok antibiotik lini pertama untuk tifoid. Berikut adalah tabel 1 akan
menjelaskan antibiotik yang sensitif dan efektif untuk demam tifoid serta merupakan pilihan
berdasarkan Depkes RI 2006.

BAB V
KESIMPULAN
Pasien atas nama M.Chandra umur 12 tahun datang ke RSUD H.DAMANHURI BARABAI
pada tanggal 25 agustus 2016 dengan keluhan demam, demam sudah dialami pasien selama 1
minggu ini SMRS, demam sempat turun,tetapi 2 hari ini os demam lagi, Demam dirasakan saat
sore menjelang malam, demam juga dirasakan naik turun, kadang os juga menggigil (terutama
saat hari 1-2 demam). Os juga mengeluhkan mual, muntah, pusing dan nafsu makan berkurang

25

yang sudah dialami 2 hari ini. Os sebelumnya sudah berobat ke prakter dokter dan melakukan
pemeriksaan tes widal, hasil tes widal positif tifus, tapi pasien tidak membawa hasil dan minum
obat, demam dirasakan berkurang, tetapi demam kembali jika obat dihentikan.

Riwayat penyakit terdahulu : os belum pernah mengalami keluhan yang sama


sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga & lingkungan :keluarga os tidak ada yang mengalami keluhan
yang sama.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
RR
Suhu

: composmentis
: 110/80 mmHg
: 82 x/menit, regular
: 22 x / menit
: 39,1 C

Pemeriksaan status generalis :


Kepala : tidak tampak kelainan
Mata
: mata cekung (-), konjungtiva anemis (-),sclera ikterik (-)
THT
: faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor (-)
Leher
: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : bentuk normal.
Paru
Inspeksi : dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan dinamis tidak ada ketinggalan
gerak.
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik (<3 detik), bising usus
normal tidak meningkat
Inspeksi : datar
Palpasi
: nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, turgor baik
Perkusi: timpani
Auskultasi : bising usus normal (3x/menit)

26

Ekstremitas : akral hangat, petekie (-), CR <2 detik


Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah lengkap


Hb :13.4gr/dl
Leukosit :4500/mm3
Eritrosit

:4,92juta/mm3

Trombosit :152.000/mm3
Hematocrit

:37%

Segmen

:72%

Limfosit

:22%

Monosit

:6%

Mcv

:75

Mch

:27

Mchc

:36

Diagnosis
Demam Tifod
Penatalaksanaan
-

Ivfd D5:nacl 25 tpm/makro

Iv ceftriaxone 2 x 1 gr

Iv ranitidine 2 x 40mg

Po.paracetamoln3 x 1 tab k/p

27

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012. Recommendations for management of common childhood conditions.
http://www.who.or.id
2.

Behrman, Richard, 2007. Nelson Esensi Pediatri. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta

3.

Diagnosis laboratorium
http://www.abclab.co.id .

demam

tifoid

by

Dr.Luci

Liana,SpPK.[cited]

des

2010.

4. Hassan, Rusepno, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
5. Isselbacher, Kurt, 2010. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 13. Volume 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta
6. Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam. Erlangga : Jakarta
7.

Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2. Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta

8. Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Ikatan Dokter
Anak Indonesia

28

9.

Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi,


Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta

Penularan,

Pencegahan,

dan

Anda mungkin juga menyukai