Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan
bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 sebesar 228 per 100.000
kelahiran hidup. Angka kematian ibu ini turun bila dibandingkan pada tahun 2002
yang mecapai 307 per 100.000 kelahiran hidup (Kusumobroto et al., 2008).
Berikut grafik dari angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dari
tahun 1992 2007 :

Gambar 1. Angka Kematian Ibu per 100.000 Kelahiran Hidup (BPS, 2008).
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), penyebab kematian ibu
disebabkan oleh perdarahan 28%, eklampsia 24%, infeksi 11%, komplikasi masa
nifas 8%, abortus 5%, partus lama 5%, emboli obstetri 3%, dan lain-lain 11%.
Distribusi persentase penyebab kematian ibu dapat dilihat pada diagram
berikut :

Gambar 2. Diagram distribusi persentase penyebab kematian ibu


(Departemen Kesehatan RI, 2007).

II.1.1. Perdarahan Postpartum


II.1.1.1. Definisi
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi segera setelah persalinan
melebihi 500 ml pada persalinan pervaginam atau lebih dari 1000 ml pada seksio
sesaria (Karkata, 2009; Kenneth, 2009; Saifuddin et al., 2006).
II.1.1.2. Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
1. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage)
Adalah perdarahan 500 ml yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi
lahir. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, sisa
plasenta, retensio plasenta, dan laserasi jalan lahir.
2. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)
Adalah perdarahan 500 ml yang terjadi setelah 24 jam pertama setelah bayi
lahir. Penyebab utama perdarahan postpartum sekunder adalah sisa plasenta
dan laserasi jalan lahir.
II.1.1.3. Etiologi
Frekuensi perdarahan postpartum 4/5-15 % dari seluruh persalinan.
Berdasarkan penyebabnya :
1. Atonia uteri

( 50-60% )

2. Sisa plasenta

( 23-24% )

3. Retensio plasenta

( 16-17% )

4. Laserasi jalan lahir ( 04-05% )


5. Kelainan darah

( 0,5-0,8% )

II.1.1.4. Diagnosis
Diagnosis perdarahan postpartum pada umumnya tidak sukar, yaitu :
1. Terjadi perdarahan segera setelah bayi lahir : sebelum plasenta lahir atau
sesudah plasenta lahir.
2. Keluar pada umumnya mendadak, tanpa disadari.
3. Dapat diikuti dengan menurunnya kesadaran.
4. Dapat diikuti dengan perubahan sistem kardiovaskular.

Banyaknya perdarahan mempengaruhi timbul gejala penurunan tekanan


darah, nadi, nafas cepat, pucat, akral dingin, sampai terjadi syok.
Berikut

langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan

postpartum :
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : lengkap atau tidak.
3. Eksplorasi kavum uteri : untuk mencari sisa plasenta dan ketuban, robekan
rahim, dan plasenta succenturiata.
4. Inspekulo : melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium : waktu perdarahan, hemoglobin, clot observation
test, dan lain-lain.
Berdasarkan etiologinya, perdarahan postpartum dapat didiagnosis sesuai
dengan tabel 1.
Tabel 1. Diagnosis Perdarahan Postpartum (Saifuddin et al., 2006).
Tanda & gejala
yang kadang ada

Gejala dan tanda yang selalu ada

Uterus tidak berkontraksi & lembek


Perdarahan segera setelah anak lahir
Perdarahan segera, setelah bayi lahir
Darah segar yang mengalir
Uterus kontraksi baik
Plasenta lengkap

Syok

Pucat
Lemah
Menggigil

Diagnosis
kemungkinan
Atonia
uteri
Laserasi
jalan lahir

Tali pusat putus


akibat traksi
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
berlebihan
Perdarahan segera
Inversio uteri
Uterus kontraksi baik
akibat tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta / sebagian selaput tidak lengkap Uterus berkontraksi
(mengandung pembuluh darah)
tetapi tinggi fundus
Perdarahan segera
tidak berkurang
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi masa
Tampak tali pusat
Syok neurogenik
(jika plasenta belum lahir)
Pucat dan limbung
Perdarahan segera
Nyeri sedikit atau berat
Perdarahan segera ( perdarahan
Syok
intraabdominal / vaginum )
Nyeri tekan perut
Nyeri perut berat
Denyut nadi cepat

Retensio
plasenta

Sisa
plasenta

Inversio
uteri

Ruptura
uteri

II.1.1.5. Penatalaksanaan
Penanganan pada perdarahan postpartum terdapat dua bagian sebagai
berikut :
1. Suportif, yaitu perbaikan keadaan umum, penambahan cairan, dan darah serta
komponen - komponennya.
2. Kausatif, yaitu dengan melakukan identifikasi penyebab perdarahan dan usaha
untuk menghentikannya.
Ada beberapa cara untuk menghentikan perdarahan, yaitu :
1. Pemberian uterotonika dengan oksitosin, metil ergometrin atau prostaglandin.
2. Hemostasis secara mekanis dengan manual plasenta, kuret sisa plasenta,
kompresi manual ataupun packing.
3. Pembedahan, yaitu penjahitan laserasi, ligasi pembuluh darah, ataupun
dilakukan histerektomi.
Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum adalah :
1. Mengembalikan volume darah dan mempertahankan oksigenasi.
2. Menghentikan perdarahan dengan menangani penyebab perdarahan post
partum.
Idealnya stabilisasi dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan definitif
dikerjakan, tetapi hal ini terkadang tidak mungkin dikerjakan sendiri-sendiri
melainkan seringkali dikerjakan perbaikan keadaan umum ( resusitasi ) sambil
dilakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan tersebut.
Pada saat awal resusitasi cairan juga diambil sample darahnya untuk diperiksakan
laboratorium sederhana dahulu, yaitu kadar Hemoglobin, Hematokrit, Lekosit,
Trombosit, Faal Pembeku Darah atau dikerjakan pemeriksaan Waktu Pembekuan
Darah dan Waktu Perdarahan secara langsung.

Gambar 3. Bagan Penanganan Perdarahan Postpartum (Manuaba IBG, 2004).

10

II.1.1.6. Prognosis
Menurut Hakimi (2010), kematian karena perdarahan postpartum akibat
terus-menerus

terjadi

perdarahan

yang

jumlahnya

kadang-kadang

tidak

menimbulkan kecurigaan. Yang menimbulkan kematian bukanlah perdarahan


sakaligus dalam jumlah banyak tetapi justru perdarahan terus-menerus yang
terjadi sedikit demi sedikit. Beachan mendapatkan bahwa interval rata-rata antara
kelahiran dan kematian adalah 5 jam 20 menit. Kenyataan ini menunjukkan
adanya cukup waktu untuk melangsungkan terapi yang efektif jika pasiennya
selalu diamati dengan seksama, diagnosis dibuat secara dini, dan tindakan yang
tepat segera dikerjakan.
II.1.2. Atonia Uteri
II.1.2.1.Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya atau gagalnya tonus/kontraksi otot
rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Karkata, 2009).
Sedangakan menurut Hakimi (2010), perdarahan postpartum bisa dikendalikan
melalui kontraksi dan retraksi serat-serat miometrium. Kontraksi dan retraksi ini
menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke
tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi
miometrium dinamakan atonia uteri.
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat
miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai
darah pada tempat implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi karena miometrium
tidak dapat berkontraksi. Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan
postpartum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan postpartum
disebabkan oleh atonia uteri ( Depkes RI, 2007 ).

11

Gambar 4. Diagram kontraksi penghentian perdarahan otot uterus


(Manuaba 2007).

II.1.2.2. Faktor predisposisi


1. Regangan rahim berlebihan selama kehamilan yang disebabkan karena
kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu besar.
2. Kelelahan karena persalinan lama.
3. Kehamilan grande-multipara.
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit
menahun.
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
6. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko
ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya atoni uteri postpartum. Meskipun demikian, 20% atoni uteri postpartum
dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Adalah penting bagi semua
penolong persalinan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan
awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan (Depkes RI,
2007).

II.1.2.3. Etiologi
1. Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik uterus.
2. Penatalaksanaan yang salah pada kala III. Mencoba mempercepat kala III
dengan dorongan dan pemijatan uterus sehingga mengganggu mekanisme
fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian
plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

12

3. Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadiya relaksasi miometrium


yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri
dan perdarahan postpartum.
4. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang kemungkinan
besar akan diikuti oleh kontraindikasi serta retraksi miometrium jika dalam
kala III.
5. Overdistensi uterus : uterus yang mengalami distensi secara berlebihan akibat
keadaan bayi yang besar, kehamilan kembar, polihidramnion, cenderung
mempunyai daya kontraksi yang jelek.
6. Kelemahan akibat partus lama : bukan hanya rahim yang lemah, cenderung
berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang
bertahan terhadap kehilangan darah.
7. Grande-multipara : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung
bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
8. Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi
dan retraksi miometrium uteri.
9. Melahirkan dengan tindakan : keadaan ini mencakup prosedur operatik seperti
forsep dan fersi ekstraksi.
II.1.2.4. Pencegahan
1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin, karena hal ini dapat menurunkan insidensi perdarahan postpartum
akibat atonia uteri.
2. Jika ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya, persalinan harus berlangsung
di rumah sakit.
3. Dalam kala III uterus jangan di masase dan didorong sebelum plasenta lepas
dari dindingnya.
4. Pemberian misoprostol peroral 2 - 3 tablet (400-600 g) segera setelah bayi
lahir.
5. Mengantisipasi / mengadakan penyuluhan kepada ibu-ibu yang paritasnya
masih antara 1 3, yaitu dengan mnganjurkan program KB dan edukasi bahaya
yang ditimbulkan dengan memiliki anak lebih dari 5 (grandemultigravida).

13

6. Edukasi pemberian tablet besi sewaktu ANC untuk mencegah anemia


postpartum.
II.1.2.5. Diagnosis
Diagosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat
itu juga masih ada darah sebanyak 500 - 1.000 ml yang sudah keluar dari
pembuluh

darah,

tetapi

masih

terperangkap

dalam

uterus

dan

harus

diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti (Karkata 2009).


II.1.2.6. Penatalaksanaan
Menurut Karkata (2009) dan Saifuddin dkk. (2002), banyaknya darah yang
hilang akan mempengaruhi keadaan pasien. Pasian bisa masih dalam keadaan
sadar, sedikit anemis, atau sampai syok hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih
dari 1000 ml atau bahkan lebih dari 1500 ml (20-25% volume darah) akan
menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi shock hemoragik sehingga
tranfusi darah diperlukan (Ramanathan & Arulkumaran, 2006). Tindakan pertama
yang dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada umumnya dilakukan
secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:
1. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
2. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
a. Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.
b. Pemberian obat uterotonika :
1) Oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara intramuscular,
intravena, atau subcutan.
2) Memberikan derivat prostaglandin F2 (carboprost tromethamine) yang
kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual,
muntah, febris, dan takikardia.
3) Pemberian misoprostol (800 - 1.000 g) per-rektal.

14

Tabel 2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya


(Departemen Kesehatan Indonesia, 2007).
JENIS
& CARA

OKSITOSIN

IV: 20 IU dalam 1liter


larutan garam
Dosis
dan cara
fisiologis dengan
pemberian tetesan cepat
IM: 10 IU
IV: 20 IU dalam 1
liter larutan garam
Dosis
Lanjutan fisiologis dengan 40
tetes/menit
Tidak lebih dari 3 liter
Dosis
Maksima larutan dengan
per hari
Oksitosin
Kontra
Indikasi

Pemberian IV secara
cepat atau bolus

ERGOMETRIN

MISOPROSTOL

IM atau IV
(lambat) : 0,2mg

Oral atau
rektal 400g
dapat diulang
sampai
1200g

Ulangi 0,2 mg IM
setelah 15 menit

400 mg 2-4
jam setelah
dosis awal

Total 1 mg atau 5
dosis

Total 1200 g
atau 3 dosis

Preeklampsia,
vitium cordis,
hipertensi

Nyeri
kontraksi
Asma

c. Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal


d. Kompresi aorta abdominalis

Gambar 5. Kompresi bimanual internal (Cunningham et al., 2005).

15

Gambar 6. Kompresi bimanual eksternal (Depkes RI 2007).


e. Pemasangan tampon (packing) kassa uterovaginal.
Alternatif dari pemberian tampon selain dengan kassa, juga dipakai
beberapa cara yaitu dengan menggunakan : Sengstaken-Blakemore tube,
Rusch urologic hydrostatic balloon catheter (Folley catheter) atau SOS
Bakri tamponade balloon catheter.
Pada tahun 2003 Sayeba Akhter, dkk. mengajukan alternatif baru
dengan

pemasangan

kondom

yang

diikatkan

pada

kateter.

Dari

penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%, kondom dilepas 2448 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Cara ini
kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Cara pemasangannya adalah
secara aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan
kedalam cavum uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis
sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan
pengisian kondom dihentikan ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk
menjaga kondom agar tetap di cavum uteri, dipasang tampon kasa gulung di
vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah keluar
dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip
oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotika
tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan Gentamisin. Kondom kateter dilepas
24- 48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat kondom dapat
dipertahankan lebih lama ( Danso D and Reginald PW, 2006 ).

16

Gambar 7. Sengstaken-Blakemore tube and Bakri ballon


(Danso D and Reginald PW, 2006 ).

Gambar 8. Rsch hydrostatic balloon catheter


(Danso D and Reginald PW, 2006).

Gambar 9. Bakri Postpartum Balloon (Bakri YN et al., 2001).

17

Bila penanganan dengan non operatif ini tidak berhasil, baru dilakukan
penanganan secara operatif ( laparotomi dengan pilihan bedah konservatif
(mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi ), yaitu :
f. Laparatomi pemakaian metode B-Lynch
g. Ligasi arteri uterina, arteri hipogastrika ( iliaka interna )
Bila dengan cara ini belum berhasil menghentikan perdarahan, dilakukan :
h. Histerektomi supravaginal
i. Histerektomi total abdominal.

Gambar 10. Bagan penanganan atonia uteri (Santoso, 2009).

18

Tabel 3. Langkah-langkah rinci penatalaksanaan


pascapersalinan (Depkes RI, 2007).

atonia

uteri

No
Langkah
Keterangan
1. Lakukan masase fundus Masase merangsang kontraksi uterus. Sambil
uteri segera setelah plasenta melakukan masase sekaligus dapat dilakukan
dilahirkan
penilaian kontraksi uterus
2. Bersihkan kavum uteri dari Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam kavum
selaput
ketuban
dan uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara
gumpalan darah.
baik
3. Mulai KBI. Jika uterus Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan
berkontraksi keluarkan tangan tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak berhasil
setelah 1-2 menit. Jika tidak setelah 5 menit, diperlukan tindakan lain
teruskan KBI hingga 5 menit
4. Minta keluarga untuk
Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat
melakukan
KBE
meneruskan proses kompresi bimanual secara
(Kompresi
Bimanual
eksternal selama anda melakukan langkah-langkah
Eksternal )
selanjutnya.
5. Berikan Metil ergometrin 0,2 Metil ergometrin yang diberikan secara intramuskular
mg intramuskular/ intra vena akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan
menyebabkan kontraksi uterus. Pemberian intravena
bila sudah terpasang infus sebelumnya.
6. Berikan infus cairan larutan Anda telah memberikan Oksitosin pada waktu
Ringer laktat dan Oksitosin penatalaksanaan aktif kala tiga dan Metil ergometrin
20 IU/500 cc
intramuskuler. Oksitosin intravena akan bekerja
segera untuk menyebabkan uterus berkontraksi.
Ringer Laktat akan membantu memulihkan volume
cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus wanita
belum berkontraksi selama 6 langkah pertama, sangat
mungkin bahwa ia mengalami perdarahan postpartum
dan memerlukan penggantian darah yang hilang
secara cepat.
7. Mulai
lagi
kompresi Jika atoni tidak teratasi setelah 7 langkah pertama,
bimanual interna atau Pasang mungkin ibu mengalami masalah serius lainnya.
tampon uterovagina
Tampon uterovagina dapat dilakukan apabila
penolong telah terlatih. Rujuk segera ke rumah sakit
8. Buat
persiapan
untuk Atoni bukan merupakan hal yang sederhana dan
merujuk segera
memerlukan perawatan gawat darurat di fasilitas
dimana dapat dilaksanakan bedah dan pemberian
tranfusi darah
9. Teruskan cairan intravena Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam waktu 10
hingga ibu mencapai tempat menit. Kemudian 500 cc/jam pada jam pertama, dan
rujukan
500 cc/4 jam pada jam-jam berikutnya. Jika tidak
mempunyai cukup persediaan cairan intravena,
berikan cairan 500 cc yang ketiga secara perlahan
hingga cukup sampai di tempat rujukan. Berikan
minum untuk tambahan rehidrasi.
10. Laparotomi : pertahankan Pertimbangan antara lain paritas, kondisi ibu,
uterus (ligasi a. uterina/ jumlah perdarahan
hipogastrika) /histerektomi.

19

II.1.3.Karakteristik Ibu Bersalin


II.1.3.1. Umur
Umur adalah waktu hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan (Kamus
besar bahasa Indonesia, 1989). Sedangkan menurut Kamus Kedokteran UI (2001),

umur adalah usia ibu yang dihitung sejak tanggal lahir sampai pada saat ulang
tahun terakhir dalam satuan tahun.
Menurut Depkes (2003), masa reproduksi sehat yaitu pada umur 20-35
tahun. Pada umur < 20 tahun masih belum matangnya alat reproduksi untuk
hamil, sedangkan bila umur ibu > 35 tahun fungsi alat reproduksi dan fisik
menurun (Kay, 2007). Dalam hal ini dapat mempengaruhi fungsi plasenta dan
dapat mengakibatkan iritabilitas pada uterus serta terjadi perubahan pada serviks.
Kematian maternal pada ibu yang berusia muda ( 20 tahun) 2-5 kali lebih
tinggi daripada usia 20-29 tahun dan kematian tersebut akan meningkat kembali
sesudah usia 35 tahun (Karkata, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Pardosi
(2005), menemukan bahwa dengan umur < 20 tahun atau > 35 tahun memiliki

risiko mengalami perdarahan postpartum 3,3 kali lebih besar dibanding dengan
ibu dengan umur 20-30 tahun.
Perdarahan postpartum meningkat sesuai dengan umur ibu. Hal ini dapat
diketahui dengan melihat bahwa semakin tua umur ibu, makin tinggi frekwensi
penyakit hipertensi menahun yang menyertai.
II.1.3.2. Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang
wanita (BKKBN, 2006), sedangkan menurut JHP IEGO (2008) adalah kehamilan
yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu), serta
menurut Manuaba (2008) adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm
(Surparyanto, 2010).
Pada wanita yang paritasnya lebih dari 3 cenderung mempunyai komplikasi
pada kehamilan maupun persalinan. Karena uterus yang terlalu sering meregang
dan terjadinya gangguan pada plasenta yang akan mengakibatkan gangguan
sirkulasi pada janin sehingga pertumbuhan terhambat (Karkata,2009). Berdasarkan
Manuaba kejadian perdarahan postpartum sering terjadi pada ibu dengan
grandemultipara.

20

Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian perdarahan postpartum


karena pada setiap kehamilan dan persalinan terjadi perubahan serabut otot pada
uterus yang dapat menurunkan kemampuan uterus untuk berkontraksi sehingga
sulit untuk melakukan penekanan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka setelah
lepasnya plasenta. Risiko terjadinya akan meningkat setelah persalinan ketiga atau
lebih yang mengakibatkan terjadinya perdarahan postpartum. (Saifuddin et al. 2002)
II.1.3.3. Kadar Hb
Hemoglobin (Hb) adalah protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel
darah merah. Fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru dan dalam
peredaran darah untuk dibawa ke jaringan. Sintesis Hb terjadi selama proses
eritropoesis, pematangan sel darah merah akan mempengaruhi fungsi hemoglobin.
Struktur hemoglobin terdiri dari dua unsur utama, yaitu : (1) besi (Fe) yang
mengandung pigmen hem dan (2) protein globin (Tarwoto & Wanidar 2007).
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehigga memicu
peningkatan produksi eritropoietin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel
darah merah (eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit
sehingga terjadi penurunan konsentrasi Hb akibat hemodilusi (Karkata, 2009).
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin lebih rendah dari
batas normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (Tarwoto & Wanidar, 2007).
Sedangkan anemia secara praktis didefinisikan sebagai kadar hematokrit (Ht),
konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit dibawah batas normal (Karkata, 2009).
Terdapat klasifikasi anemia karena penurunan produksi sel eritrosit yaitu :
1. Anemia defisiensi besi
Merupakan jenis anemia terbanyak didunia, terutama pada negara miskin dan
berkembang. Anemia defisiensi besi merupakan gejala kronik dengan keadaan
hipokromik (konsentrasi hemoglobin kurang), mikrositik yang disebabkan oleh
suplai besi kurang dalam tubuh. Kurangnya besi mempengaruhi pembentukan
hemoglobin sehingga konsentrasi dalam sel darah merah berkurang.
2. Anemia megaloblastik
3. Anemia defisiensi vitamin B12
4. Anemia defisiensi asam folat

21

Kadar hemoglobin normal dan anemia pada ibu hamil dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4. Kadar Hemoglobin pada Perempuan Dewasa dan Ibu
Hamil (Karkata 2009; Tarwoto & Wanidar, 2007).
Status
Kehamilan
Tidak hamil
Hamil :
Trimester I
Trimester II
Trimester III

Hb Normal
(gr/dl)
12,0 15,0

Hb Anemia kurang dari


(gr/dl)
12,0 (Ht < 36%)

11,0 14,0
10,5 14,0
11,0 14,0

11,0 (Ht < 33%)


10,5 (Ht < 31%)
11,0 (Ht < 33%)

Seorang wanita hamil dinyatakan menderita anemia apabila kadar


hemoglobin dalam darahnya kurang dari 11,0 gr/dl. Selama kehamilan darah
bertambah banyak atau terjadinya hipervolemia yaitu bertambahnya plasma dan
sel darah merah (eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi
dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit
sehingga terjadi hemodilusi yang bermanfaat untuk meringankan beban jantung
yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil karena akibat hidremia cardiac
output meningkat, kerja jantung lebih ringan apabila viskositas darah rendah,
resistensi perifer berkurang sehingga tekanan darah tidak naik dan pada waktu
persalinan terjadi perdarahan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit
dibandingkan dengan apabila darah tetap kental.
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik
dalam kehamilan, persalinan maupun nifas. Penyulit yang akan timbul salah
satunya dapat menyebabkan perdarahan postpartum karena atonia uteri.
II.3. Kerangka Teori

Gambar 11. Kerangka Teori

22

II.2. Kerangka Konsep

Gambar 12. Kerangka Konsep


II.4. Penelitian Terkait yang Pernah Dilakukan
Tabel 5. Penelitian Terkait yang Pernah Dilakukan.

No

Judul
Penelitian

1 Hubungan
anemia dalam
kehamian
dengan
perdarahan
postpartum
karena atonia
uteri di RSUD
Wonogiri.

Tempat
Nama & Tahun
Peneliti Penelitia
n
Ayu
RSUD
Wuryanti Wonogiri
Tahun
2010

Rancangan
Variabel
Penelitia Penelitian
n
CrossAnemia
sectional pada
kehamilan,
perdarahan
postpartum
karena
atonia uteri

Hasil
Penelitian
Terdapat
hubungan
antara
anemia
dalam
kehamilan
dengan
perdarahan
postpartum
karena
atonia uteri.

II.5. Hipotesis Penelitian


H1: Terdapat hubungan antara umur ibu dengan kejadian atonia uteri di RSUD
Kota Bekasi selama Periode Januari 2009 - Desember 2010
H2: Terdapat hubungan antara paritas ibu dengan kejadian atonia uteri di RSUD
Kota Bekasi selama Periode Januari 2009 - Desember 2010
H3: Terdapat hubungan antara kadar Hb dengan kejadian atonia uteri di RSUD
Kota Bekasi selama Periode Januari 2009 - Desember 2010.

Anda mungkin juga menyukai