Anda di halaman 1dari 3

Agenda Setting Theory yang pertama diungkap oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw pada

tahun 1972 ini merupakan teori kunci untuk membahas peran yang dimiliki oleh media dalam
proses pemberitaan kasus Salim Kancil. Teori ini menjelaskan mengenai hubungan antara
penekanan atau emphasis yang dilakukan oleh media dalam memberitakan suatu isu dengan
atribusi yang dilakukan oleh audiens media tentang penting/tidak pentingnya isu tersebut
(Littlejohn & Foss 2009). Teori ini juga berbicara mengenai cara media mengatur pemberitaan
mereka terhadap suatu peristiwa, memprioritaskan suatu permasalahan, atau men-setting
agenda untuk publik. Dengan kata lain, media memiliki kekuatan untuk mengangkat isu tertentu,
membuatnya terlihat sebagai isu yang sangat penting, dan mengatur agenda publik yakni
mengatur topik hangat apa yang seharusnya beredar dalam publik atau apa yang harus
dibicarakan oleh publik.
Dalam Agenda Setting Theory sendiri ada dua pengembangan peran yang dilakukan oleh
media, yang pertama adalah priming dan yang kedua adalah framing.
Priming diambil dari kata dasar prime atau primary, yang berarti utama atau mengutamakan.
Media melakukan priming dengan cara memberitakan suatu isu secara terus-menerus dan
berulang-ulang sehingga audiens terpapar berita mengenai isu tersebut secara spesifik,
menyebabkan audiens merasa bahwa peristiwa tersebut memang penting sehingga
mendapatkan ruang kosong di pikiran audiens, menyebabkan isu tersebut banyak dibicarakan
di ranah publik dan diangkat sebagai isu utama. Bahasa gampang: kalo priming itu kan berasal
dari kata prime, primary. Media bisa menempatkan suatu agenda sebagai agenda prioritas di
mata publik yg dicapai dengan cara menambah frekuensi tayang berita, menayangkannya di
prime time. Hal ini membentuk mindset asumsi di orang2: semakin sering suatu berita
ditayangkan, semakin penting peristiwa itu. Semakin gaada berita, berarti semakin gak penting
& irrelevant. Itulah kenapa orang2 menganggap media is the new god. Paling kentara waktu kita
menyampaikan informasi yg sedikit kontroversial, terus orang lain tanya "ada beritanya gak?"
Kita jawab gaada, soalnya rumornya baru banget. Nah si orang itu langsung menepis informasi
kita tadi, "ah hoax nih. Gaada yg mberitain." Priming inilah yg ngeset apa yg bakal diomongin
sama publik. Misalnya waktu rame2nya kasus engeline di media, semuaaaaa orang mbahasnya
engeline. Opini2 di kompasiana ttg engeline semua. Giliran ttg salim kancil, pembicaraan isinya
salim kancil semuaaaaaa. Abisitu ttg aceh singkil, langsung semua orang mempertanyakan
legalitas rumah2 ibadah.
Priming ini erat kaitannya sama Gatekeeping Theory. Jadi ya intinya kalo. menurut model ini,
media punya power buat milih berita apa yg bakal dia tayangin dan berita apa yg gak usah
ditayangin. Karena di tiap media, newsroom, itu ada editor. Nah editor itu lah yg memilih berita
apa yg akan ditayangin.

Kalo kita mengacu model, N menggambarkan berita & peristiwa; Gate (saringan) yg di tengah2
itulah editornya - gatekeeper nya; sedangkan M itu audiens. Bisa dilihat kan kalo di model itu
semestinya ada 4 berita, tapi yg ditayangin cuma 2, mengabaikan 2 berita lainnya.
Sedangkan framing sendiri memiliki arti membingkai, di mana framing merupakan proses untuk
mengorganisasi, mendefinisikan, serta membuat struktur dari suatu cerita atau peristiwa. Di sini,
kita bisa mengetahui bahwa media memiliki kekuatan untuk memilih aspek-aspek mana dari
suatu peristiwa yang akan dia pilih, dia utamakan, atau dia abaikan dalam pemberitaannya,
membuat media memiliki kekuatan yang lain yaitu mempengaruhi bagaimana audiens
menginterpretasi peristiwa tersebut.
Framing ini memiliki power untuk merubah, bahkan memperkuat persepsi orang terhadap suatu
peristiwa. Misalnya, ada berita pembunuhan. Nah kebetulan orang yg mbunuh itu bertato.
Karena udah ada stigma yg beredar di masyarakat kalo tattoo = jahat, media ini
meresonansikan stigma itu. Malah yg difokusin itu ttg tattoo nya. Foto yg ditampilin di koran ada
tattoo nya, judul berita "pembunuh bertato harimau tega membunuh seorang balita" gitu.
Contoh lagi Susi, yg difokusin sama media kan tattoo nya. Banyak media yg nada beritanya
seakan2 "lah masak menteri bertato?"
Framing erat kaitannya dengan Gerbner's General Model, karena dia ngomongin gimana orang
itu "membingkai" suatu peristiwa. Model itu depicting kalo peristiwa gak mungkin bisa
disampaikan ke audiens melalui berita secara utuh, secara murni.

Kalo misalnya kita baca modelnya:


1. E menggambarkan event atau realita atau peristiwa yg terjadi.
2. Kemudian, jurnalis melakukan reportase, enkoding dari realita yg ada dan menuangkannya
dalam tulisan, sesuai persepsinya dia dalam mempersepsi realita. Di situ dia juga melakukan
pemilihan, aspek mana dari peristiwa atau realita yg bakal dia masukkan, mana yg bakal dia
abaikan. Dia juga memiliki power untuk ngeset konteks beritanya. Maka dari itu, peristiwa yg
dipersepsi sama jurnalis jadi E1 dan diselubungi sama M (manusia atau mesin) dan ukuran E1
pun gak segede E kan. Karena gak lagi murni as it is, gak lagi 100% sesuai fakta & realita yg
ada, dia udah melalui filter persepsi si jurnalis itu sendiri sehingga kenyataan yg ada itu
diselubungi sama persepsi jurnalis, dibentuk oleh si jurnalis.
3. Nah abis peristiwa itu diliput sama jurnalis, tibalah saatnya buat dia menyampaikannya ke
khalayak, yaitu E2. nah E2 ini konten berita yg dibuat oleh manusia. "Realita" yg disampaikan
ke khalayak itu, malah lebih terkurangi lagi porsinya karena E2 itu disampaikan dalam bentuk
sinyal2 oleh channel yg notabene punya channel capacity tertentu yg bisa mengurangi
besarnya realita yg bisa disampaikan. Besarnya realita yg bisa disampaikan juga tergantung
sama channel media control nya orang2nya sendiri (jurnalis). Kalo dia menyampaikan melalui
tv, seberapa bagus dia mengedit video reportase, membuat script? Kalo melalui speech,
seberapa bagus dia dalam public speaking?
Menurutku, Gerbner's General Model lebih ngomong proses suatu realita jadi berita. Karena
dari yg tak baca & dari modelnya juga, dia gak memasukkan konsep audiens. Pokoknya stop
sampe realita itu jadi berita, how an event was perceived by a man to create a news content,
bukan audiensnya.

Anda mungkin juga menyukai