Anda di halaman 1dari 15

Tugas Referat

Cytomegalovirus

Oleh:

Muhammad Reyhan
04111401068

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014

CYTOMEGALOVIRUS
Etiologi 1 Stagno, sergio. Cytomegalovirus. Dalam Behrman RE, et al. Nelson textbook of
pediatrics; ed 17. Philadelphia : WB Saunders Company. 2004; 1066- 1069
Human Cytomegalovirus (CMV) adalah anggota dari famili Herpes-viridae dengan
penyebaran luas. Sebagian besar infeksi CMV tidak khas, tetapi virus ini dapat
menyebabkan berbagai penyakit klinis dari derajat ringan sampai fatal. CMV merupakan
penyebab infeksi kongenital yang paling sering, diperkirakan 0,2 2,2% janin terinfeksi
intrauterin dan juga dapat menyebabkan sindrom Cytomegalic Inclusion Disease
(hepatosplenomegali, ptekie, purpura, mikrosefal, demam). Pada orang dewasa yang
immunokompeten, infeksi ini kadang ditandai oleh sindrom yang mirip infeksi
mononukleosis. Sering terjadi pada individu dengan defisiensi imunologis, termasuk
resipien transplantasi dan pasien dengan AIDS, CMV pneumonitis, retinitis, dan penyakit
gastrointestinal umum yang dapat berakibat fatal.1
Infeksi primer muncul pada indiviu yang rentan dan seronegatif. Infeksi ulangan
merupakan reaktivasi dari infeksi laten dan reinfeksi pada individu dengan defisiensi imun
dan seropositif. Penyakit ini dapat merupakan akibat dari infeksi primer atau infeksi ulang.
Infeksi primer lebih sering sebagai penyebab penyakit berat.
CMV adalah herpesvirus terbesar, dengan genome sebesar 240 kb dan diameter 200
nm. Berisi DNA untai ganda pada inti 64 nm diselimuti oleh capsid ikosahedral terbentuk
dari 162 capsomer. Inti terbentuk dari nukleussel host. Capsid dikelilingi oleh amorphous
tegument, dimana tegumen ini dikelilingi oleh suatu selubung yang berisi lemak. Selubung
ini terbentuk selama proses pertunasan melalui membran nuklir ke dalam vakuola
sitoplasma, yang berisi komponen protein. Virus dewasa keluar dari sel melalui proses
pinocytosis terbalik.
Tes serologi tidak dapat mengidentifikasi serotipe yang spesifik. Berbeda dengan
analisa restriksi endonuklease dari DNA CMV, ini menunjukkan bahwa meskipun semua
ketahanan manusia yang diketahui secara genetis sebangun, tidak ada satupun yang
identik.
Replikasi CMV dan nukleokapsid dibentuk dalam nukelus, selubung virus terdapat
dalam sitoplasma. Setelah lepas dari sel, virus dapat ditemukan dalam urin, dan terkadang
dalam cairan tubuh, menyerap 2 mikroglobulin, suatu rantai sederhana dari kelas I

molekul antigen lekosit manusia (HLA). Substansi ini melindungi antigen virus dan
mencegah netralisasi oleh antibodi, sehingga meningkatkan aktifitasnya.
Epidemiologi1
Survei seroepidemologis menggambarkan infeksi CMV pada setiap populasi yang
diuji di seluruh dunia. Prevalensi infeksi, yang meningkat sesuai umur penderita, lebih
tinggi di negara berkembang dan pada strata ekonomi lemah di negara maju.
Kejadian infeksi kongenital berkisar antara 0.2 2.4% dari kelahiran hidup, dengan
skala yang lebih tinggi pada negera dengan standar hidup yang lebih rendah. Janin dapat
terinfeksi sebagai konsekuensi infeksi primer atau infeksi maternal. Risiko infeksi pada
janin adalah yang terbesar dengan infeksi CMV primer maternal (40%) dan jauh lebih
rendah dengan infeksi ulang (<1%). Di Amerika, antara 1 4% wanita hamil terinfeksi
CMV primer, yang setara dengan 8000 kelahiran dengan kelainan perkembangan sistem
saraf yang disebabkan oleh infeksi CMV kongenital.
Media transmisi CMV antara lain saliva, ASI, sekresi vaginal dan cervical, urin,
semen, darah, dan feses.1,3 Penyebaran CMV membutuhkan kontak yang amat dekat/ intim,
dapat melalui ASI, transplantasi organ dan jarang melalui tranfusi.
3

URL:file:///F:/Cytomegalovirus%20(CMV)%20Infection.htm. (2002)

Patogenesis1
Infeksi kongenital merupakan hasil penularan transplasenta selama masa viremia
ibu. Pada transmisi transplasenta, virus menyebar ke janin secara hematogen. Sepertinya
terdapat hubungan antara beratnya infeksi kongenital dengan infeksi intratuterin pada awal
umur kehamilan. Kecuali infeksi dihubungkan dengan transfusi darah, infeksi CMV natal
dan postnatal biasanya sekunder didapat dari naso-orofaring bayi dan virus didapat dari
sekresi genital ibu yang terinfeksi atau menyusui. Replikasi virus pada neonatus muncul
pada mucosa saluran pernapasan atau gastrointestinal, dan berlanjut menyebar ke target
organ. Terutama pada SSP, mata, hepar, paru dan ginjal.
Janin dapat membentuk respon imun humoral terhadap CMV, dengan adanya
kenaikan IgM dan IgM antibodi spesifik CMV pada serum umbilikal. Waktu yang
diperlukan untuk terbentuknya antibodi masih dalam penelitian. Respon imun awal,
immunosupresi dengan jumlah sel helper yang rendah pada infeksi natural dan setelah
transplantasi. Derajat respon imun berhubungan dengan adanya dan jumlah ekskresi virus

dan beratnya penyakit. Kemampuan limfosit untuk berprofilerasi sebagai respon imun akan
menghilang sampai 2 bulan setelah onset gejala.
Respon proteksi yang paling penting, adalah reaksi sitotoksik spesifik terhadap
CMV. Respon ini terjadi pada awal infeksi CMV, dua minggu setelah masuknya virus.
Resipien transplantasi organ yang gagal untuk menghasilkan sitotoksisitas spesifik
tersebut, menderita penyakit yang berat dan viremia berkepanjangan.
Belum begitu jelas apakah semua respon imun menguntungkan bagi host.
Peningkatan yang berlebihan dari natural killer sel (secara morfologi dinyatakan sebagai
limfosit granuler besar) dalam cairan Bronkhoalveolar, berhubungan dengan derajat
beratnya penyakit pneumonitis CMV.
Masa inkubasi penularan secara horisontal pada infeksi CMV pada lingkungan seisi
rumah belum diketahui. Infeksi biasanya timbul 3 sampai 12 minggu setelah tranfusi darah
dan antara 1 sampai 4 bulan setelah transplantasi organ.6
6

Pickering, Larry K. Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious Disease; ed 26. American
Academy of Pediatrics. 2003; 259- 262

Transmisi Intrapartum
Sebagian besar bayi tertular CMV selama proses persalinan melalui jalan lahir.
Sumber penularan paling penting dari virus adalah sekresi traktus genital pada saat
melahirkan. Kira-kira 6 12% ibu-ibu yang seropositif menularkan CMV ke bayi-bayi
mereka melalui sekret servikal-vaginal. Beberapa dari infeksi ini kemungkinan merupakan
hasil dari kontak intrapartum dengan sekresi serviks yang terinfeksi, sedangkan bayi lain
ditularkan dengan menelan ASI yang mengandung virus segera setelah lahir. Pada wanita
dengan seropositif terhadap CMV, dapat mengalami infeksi ulangan dari strain CMV yang
berbeda sehingga dapat menyebabkan penularan via intrapartum dan infeksi kongenital
yang simtomatis.4
4

Boppana, Suresh B. et al. Intrauterine transmission of cytomegalovirus to infants of women with

preconceptional immunity. N Engl J Med, 2001;344: 1366- 1371

Transmisi Selama Masa Bayi dan Anak-anak1


CMV didalam ASI sumber penularan utama secara vertikal. Virus lebih banyak
ditemukan didalam ASI (36%) dibanding dalam kolostrum (8%). Bayi terinfeksi
mengekskresikan virus selama bertahun-tahun pada saliva dan urin mereka. Numazaki dkk
mendapatkan usia antara 5 9 bulan, 60% dari bayi di Jepang mengekskresikan virus di

dalam urin dan saluran napas bagian atas. Meskipun hanya ada sedikit data, ada indikasi
bahwa penularan membutuhkan kontak yang erat. Bila virus terdapat dalam urin dan saliva
bayi, ada peluang untuk menyebar dari satu ke anak yang lain.
Transmisi perinatal umum terjadi, mencapai 10 60% pada usia 6 bulan. Pada
penelitian dengan menggunakan PCR, proporsi sampel ASI yang positif DNA
cytomegalovirus pada satu bulan setelah persalinan adalah 92%.
Setelah tahun pertama kehidupan, prevalensi infeksi tergantung pada aktivitas
kelompok, dengan kontribus terbesar penyebaran CMV oleh pusat pemeliharaan anak.
Skala infeksi 50 80% selama masa anak-anak. Untuk anak-anak yang tidak berhubungan
dengan anak lain, skala infeksi meningkat amat lambat selama 10 tahun pertama
kehidupan. Puncak kedua muncul pada masa remaja sebagai hasil kontak seksual. Pekerja
merawat anak seronegatif dan orang tua dari anak dengan CMV memiliki 10 20% resiko
untuk mendapat CMV, yang berlawanan dengan skala 1 3% resiko pada populasi umum.
Penyelenggara pelayanan kesehatan tidak beresiko tertular CMV dari pasien.
Bahaya infeksi nosokomial berasal dari transfusi darah dan produk darah. Pada populasi
dengan 50% prevalensi infeksi CMV, resiko kira-kira terdapat pada 2,7% per unit dari
seluruh darah. Transfusi lekosit memiliki resiko infeksi lebih tinggi. Infeksi biasanya
asimptomatik, meskipun begitu pada anak sehat dan orang dewasa mempunyai resiko
tertular penyakit bila penerima adalah seronegatif dan menerima banyak unit.
Pasien imunokompromais dan bayi prematur seronegatif memiliki resiko lebih
tinggi (10 30%). Infeksi CMV ditransmikikan pada organ hasil transplantasi (ginjal,
jantung, dsb). Setelah transplantasi, banyak pasien mengekskresikan CMV sebagai hasil
dari infeksi yang didapat dari organ donor atau reaktivasi dari infeksi laten yang
disebabkan oleh pemberian imunosupresan. Penerima organ seronegatif dari donor
seropositif mempunyai resiko paling besar untuk timbulnya penyakit.
Manifestasi klinis1
Tanda dan gejala infeksi CMV bervariasi menurut umur, jalur transmisi, dan status
imunologis dari pasien.
Manifestasi klinis meliputi hepatomegali, splenomegali, ptekie, purpura, mikrosefali,
korioretinitis, dan kalsifikasi serebral. Infeksi sifatnya subklinis pada sebagian besar
pasien. Pada anak-anak, infeksi CMV primer kadang menyebabkan pneumonitis,
hepatomegali, hepatitis, dan ruam ptekie. Pada anak yang lebih besar, remaja, dan dewasa,

CMV dapat menyebabkan sindrom seperti infeksi mononukleosis, ditandai oleh kelelahan,
malaise, mialgia, sakit kepala, demam, hepatosplenomegali, fungsi hati abnormal, dan
limfositosis atipik. Tampilan mononucleosis CMV biasanya ringan, berakhir 2 3 minggu.
Beberapa pasien menampakkan gejala demam berkepanjangan, hepatitis berat, ruam yang
mirip morbili, atau kombinasi semuanya. Infeksi ulang sifatnya asimptomatik pada
individu imunokompeten.
a.

Individu dengan imunokompromais 1


Pada individu dengan imunokompromais, resiko penyakit CMV meningkat untuk
mendapatkan infeksi primer dan infeksi ulang. Infeksi primer dengan manifestasi berpa
penumonitis (paling sering), hepatitis, chorioretinitis, penyakit gastrointestinal, atau
demam dengan leukopeni, sering berakibat fatal. Pada pasien penerima transplantasi
tulang belakang, dan pasien dengan AIDS, mempunyai resiko paling besar.
Pneumonia, retinitis, dan kelainan sistem saraf pusat dan traktus gastrointestinal
biasanya progresif dan berat. Ulserasi submukosal dapat terjadi dimanapun dalam
traktus gastrointestinal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu perdarahan dan perforasi,
demikian juga pankreatitis dan kolesistitis dapat terjadi.

b.

Infeksi Kongenital
Hanya 5% bayi dengan infeksi CMV kongenital simtomatik yang menjadi penyakit
inklusi CMV yang berat, 5% yang lain dengan gejala yang ringan, dan 90% infeksi
CMV kongenital subklinis, tetapi menjadi kronis.
Gejala pada bayi baru lahir biasanya mudah dideteksi. Hampir semua infeksi
kongenital memperlihatkan gejala dan sekuele, yang lebih banyak disebabkan oleh
infeksi primer daripada infeksi ulangan pada wanita hamil. Infeksi CMV kongenital
yang asimptomatik merupakan penyebab utama kehilangan pendengaran sensorineural,
kurang lebih pada kira-kira 7% bayi yang terinfeksi.
Tanda

dan

gejala

karakteristik

umum

termasuk

IUGR,

prematuritas,

hepatosplenomegali dan hiperbilirubinemi, trombositopenia, dan purpura, dan


kalsifikasi intrakranial dan mikrosefali. Hiperbilirubinemia (direk dan indirek)
merupakan manifestasi tersering, terjadi pada lebih dari separuh bayi-bayi yang
terinfeksi. Hidrosephalus obstruktif dengan kalsifikasi periventrikuler dapat juga

terjadi. Problem neurologis lainnya meliputi chorioretinitias, kehilangan pendengaran


sensorineural, dan peningkatan ringan dari protein cairan serebrospinal.
c.

Infeksi Perinatal
Infeksi CMV didapat melalui penularan dari traktus genital ibu pada saat persalinan
atau melalui ASI, sekalipun telah mendapat antibodi pasif. Kurang lebih 6 12% dari
ibu seropositif menularkan CMV pada bayi mereka karena adanya sekresi vaginalcervical, dan 50% melalui ASI. Mayoritas pada bayi masih asimptomatik dan tidak
memperlihatkan sekuele. Kadang-kadang, infeksi CMV didapat pada saat perinatal
dihubungkan dengan pneumonitis. Bayi prematur dan aterm yang sakit dapat
mengalami

sekuele

neurologi

dan

retardasi

psikomotor. Resiko

kehilangan

pendengaran, chorioretinitis, dan mikrosefal tidak meningkat.


Bayi prematur seronegatif dengan berat lahir < 1,5 kg, dengan infeksi CMV dari
transfusi cairan beresiko sebesar 40% mendapat hepatosplenomegali, pneumonitis,
petechiae, ikterik, trombositopenia, limfositosis atipical, pucat, dan anemia hemolitik.
Diagnosis
1. Isolasi Virus
Infeksi CMV aktif dapat dideteksi dengan baik melalui isolasi virus dari cairan
serebrospinal, urin, saliva, bilas bronkoalveolar, ASI, sekresi servikal, buffy coat dan
jaringan yang dihasilkan dari biopsi.
Identifikasi cepat (24 jam) saat ini menjadi hal yang rutin, kultur dengan
menggunakan metode sentrifugasi yang dipercepat didasarkan pada deteksi awal
antigen CMV menggunakan antibodi monoklonal.
Infeksi juga dapat didiagnosa in utero dengan isolasi virus dari cairan amnion.
Kultur yang negatif tidak menyingkirkan infeksi fetal karena interval antara infreksi
maternal dengan infeksi fetal belum diketahui.
2. Metode Serologi
Adanya pergantian viral dan infeksi aktif tidak menghubungkan infeksi primer
dengan infeksi ulang. Infeksi primer dikonfirmasikan oleh serokonversi atau deteksi
simultan dari immunoglobulin (Ig) M sebagaimana antibodi IgG. Meningkatnya
antibodi IgG dapat disebabkan oleh infeksi primer maupun ulangan dan harus

diinterprestasikan dengan hati-hati. Untuk mengukur IgG predominan, diperlukan


serum spesimen serial dari lahir untuk membedakan kelainan kongenital dari infeksi
natal atau postnatal.
Tes serologi yang sensitif dan spesifik untuk mengukur antibodi IgG tersedia di
laboratorium

diagnosa.

Fiksasi

komplemen,

netralisasi,

antikomplemen

immunofluoresen, dan uji kadar indirect immunofluoresen disukai untuk menentukan


kenaikan

antibodi

karena

sifatnya

kuantitatif.

Berlawanan

dengn

hal

itu,

radioimmunoassay (RIA) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kurang


handal dalam menunjukkan perubahan secara signifikan dalam titer karena sebagian
besar laboratorium menggunakan binding ratio (RIA) dan absorbance unit (ELISA)
pada dilusi serum untuk membandingkan jumlah antibodi yang ada pada dua sampel
serum. Kenaikan sedikit titer antibodi pada pasien seropositif dini, harus
diinterprestasikan dengan hati-hati karena kadang-kadang baru akan muncul beberapa
tahun setelah infeksi primer. Antibodi IgG menetap selama hidup. Antibodi IgM dapat
dilihat secara transient (4 16 minggu) selama fase akut dari infeksi simptomatis
ataupun asimptomatis infeksi primer pada orang dewasa.
RIA, ELISA, dan suatu IgM capture RIA memiliki spesifikasi dan sensitivitas yang
cukup tinggi untuk mendeteksi infeksi primer. IgM jarang ditemukan pada infeksi
ulangan (0,2 1%) dengan metode ini. Metode ELISA dapat mendeteksi antibodi IgM
spesifik, yang menunjukkan infeksi akut meskipun ada 30% infeksi akut yang
seronegatif serta positif palsu pada 10% wanita yang sering rekuren.
Infeksi ulangan didefinisikan sebagai munculnya kembali ekskresi viral pada
pasien yang diketahui seropositive di masa lalu. Perbedaan antara reaktivasi virus
endogen dan reinfeksi pola CMV yang berbeda, membutuhkan analisa dengan restriksi
enzim dari virus DNA untuk menunjukkan adanya polimorfisme diantara isolasi virus.
Pada pasien immunokompromais, terdapatnya ekskresi CMV, peningkatan titer
IgG, dan adanya antibodi IgM merupakan hal yang biasa terjadi, sehingga untuk
membandingkan antara infeksi primer dan ulangan menjadi lebih sulit. Adanya viremia
yang ditunjukkan oleh kultur buffy coat atau deteksi DNA, CMV menunjukkan
penyakit aktif atau prognosis yang jelek, baik pada infeksi primer, ulangan, atau yang
tak dapat ditentukan.

3. PCR (Polimerase Chain Reaction)


Deteksi CMV dengan kultur tidak memberikan hasil memuaskan untuk
mendiagnosa infeksi akut. Pemeriksaan berkala DNA CMV dari darah perifer dengan
pemeriksaan kuantitatif PCR dapat berguna untuk mengidentifikasi penderita yang
beresiko tinggi dan memantau efek dari terapi antiviral. PCR dan hibridisasi
merupakan teknik pemeriksaan yang cepat yang sekarang sering dilakukan rutin untuk
deteksi CMV. Pemeriksaan dari cairan cerebrospinal dilakukan untuk menegakkan
diagnosa encephalitis CMV.
4. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan badan inklusi virus dari jaringan kolon, esophagus, atau jaringan paru,
sama baiknya dengan identifikasi virus melalui pewarnaan khusus atau kultur. Badan
inklusi dapat ditemukan pada sedimen urin sekitar 50% dari neonatus yang terinfeksi
berat. Pemeriksaan ini harus dikerjakan apabila metode serologi atau virologi yang
lebih sensitif tidak tersedia. Badan inklusi dapat terlihat dengan pewarnaan
Papanicolau, Giemsa, hematoxylin dan eosin pada sedimen urin.
5.

CT scan
Pada neonatus dengan infeksi CMV kongenital simtomatis, CT scan kepala
merupakan

prediktor

yang

baik

untuk

melihat

keluaran

perkembangan

neurodevelopmental.4,5
URL:file://F:\emedicine%20-%20Cytomegalovirus%20Infection%20%20Article%20by%20Ma. (2004)

Abnormal CT scan kepala dengan kalsifikasi intraserebral paling sering ditemukan.


Sebagai tambahan, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium tidak dapat meramal
kelainan neuroradiografik pada neonatus dengan infeksi CMV kongenital simtomatis.2
2

Boppana, Suresh B. et al. Neuroradiographic findings in the newborn period and long term outcome in

children with symptomatic Congenital Cytomegalovirus infection. Pediatrics. 1997; 409- 414

Diagnosis Banding 7 Stagno S. Cytomegalovirus. Dalam Remington Jack S. et al. Infectious diseases of
the fetus & newborn infant; ed 4. WB Saunders Company. 1995; 312- 346

Infeksi CMV/CID (Cytomegalic Inclusion Disease) pada bayi, perlu diperhatikan


adanya penyakit lain yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, ptekie atau purpura,
hepatosplenomegali, infeksi saluran nafas dan variasi dari kelainan-kelainan ekstra neural
dan okuloserebral.

1. Sindrom Rubella Kongenital


Baik CMV maupun rubella dapat menyebabkan ptekie dan purpura, ikterus,
hepatosplenomegali, trombositopeni, mikrosefali, dan retardasi mental. Kedua penyakit
ini juga berhubungan dengan prematuritas dan retardasi pertumbuhan intra uterin.
Tetapi CMV lebih jarang menyebabkan katarak dan kelainan jantung kongenital
dibanding Rubella. Rubella lebih sering menimbulkan rash purura dibandingkan rash
ptekie, kelainan tersebut lebih sering didapatkan di daerah muka dan leher.
Korioretinitis pada CMV distribusinya bersifat fokal, sementara pada sindrom Rubella
kongenital tersebar mirip gambaran garam dan lada. Pemeriksaan dengan uji
serologis dan virologis disarankan untuk memastikan penyebabnya.
2. Toxoplasmosis Kongenital
Hampir semua manifestasi yang didapat pada CID (Cytomegalic Inclusion Disease)
juga didapatkan pada Toxoplasmosis. Perbedaan diantara keduanya masih belum
banyak diketahui. Kalsifikasi pada Toxoplasmosis biasanya terdapat pada kortex
serebri, ini tidak terjadi pada CID. Rash makulopapuler dapat muncul pada
toxoplasmosis, tetapi tidak disertai komponen ptekie maupun purpura. Korioretinitis
pada CID biasanya terjadi bersama dengan mikrosefali, sedangkan pada Toxoplasmosis
tidak didapatkan mikrosefali.
Diagnosis pada toxoplasmosis dapat dibuat dengan pemeriksaan antibodi serial
menggunakan fluoresen atau prosedur antibodi Sabin-Fieldman. Infeksi toxoplasma
aktif atau baru saja terjadi dapat dihubungkan dengan tingginya titer antibodi spesifik.
3. Infeksi Herpes Simpleks
Penderita dengan mikrosefal dan kalsifikasi serebral didapatkan pada infeksi berat
herpes simpleks kongenital, mirip dengan CID kongenital. Adanya lesi vesikuler di
kulit yang mengandung virus herpes simpleks sangat bernilai dalam diferensial
diagnosis.
4. Sepsis Neonatal
Bayi-bayi dengan sepsis bakterial pada umumnya menunjukkan sakit lebih berat
dibanding CID. Mereka menjadi letargi dan tidak responsif, dan kurang lebih pada
sepertiga kasus menampakkan gejala-gejala meningitis. Keduanya dapat menimbulkan

10

ikterik dan ptekie. Pada sepsis, ikterik sering sebagai akibat infeksi gram negatif dan
kadang-kadang pada infeksi streptokokus grup B. Ptekie lebih jarang pada sepsis.
Konfirmasi klinis tergantung pada hasil kultur darah yang positif. Sebagian besar bayi
dengan CID dan infeksi kongenital non bakterial lain harus diobati dengan antibiotik,
karena ketidakpastian diagnosis selama menunggu hasil kultur.
5. Siphilis Kongenital
Tanda yang paling sering timbul pada sifilis kongenital dini adalah osteokondritis
epifisitis pada rotgenogram tulang panjang. Rhinitis, kadang-kadang berhubungan
dengan laringitis, adalah tanda-tanda lain dari penyakit ini. Sering pula diikuti dengan
ruam makulopapuler merah tua. Hepatosplenomegali dapat timbul, tetapi lebih jarang
pada sifilis dibandingkan dengan CID. Kalsifikasi otak tidak karakteristik pada sifilis
kongenital. Koroiditis mungkin didapatkan.
Uji laboratorium untuk sifilis meliputi uji lapangan gelap pada discharge nasal
spirocheta-laden. Salah satu dari beberapa uji standar (treponemal atau reagin) harus
dikerjakan baik pada ibu maupun bayinya.
Terapi
Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi CMV, meskipun banyak obat dan biologikal
termasuk acyclovir, adenine arabinose, cytosine arabinose, idoxuridine, interferon telah
diujikan pada penderita. Pemakaian acyclovir sebagai agen antiviral disukai karena
bereaksi spesifik dengan enzym thymidin kinase.
Dua agen antivirus yang dipakai yitu Ganciclovir dan Foscarnet. Ganciclovir
merupakan nuklosid trifosfat dan berfungsi sebagai suatu terminator DNA. Sedangkan
Foscarnet analog pirofosfat sebagai suatu inhibitor selektif terhadap DNA polimerase.
Ganciclovir dikombinasikan dengan immunoglobulin, yaitu immunoglobulin intravena
standar (IVIG) atau hiperimun CMV IVIG, telah digunakan untuk infeksi CMV pada
penderita dengan immunokompromais (penerima transplantasi sumsum tulang, ginjal,
jantung dan penderita dengan AIDS). Dua regimen yang dipublikasikan adalah :

ganciclovir (7,5 mg/kg/24 jam IV dibagi setiap 8 jam selama 14 hari), dengan CMV
IVIG (400 mg/kg pada hari ke-1, 2 dan 7 serta 200 mg/kg pada hari ke-14);

dan gaciclovir (7,5 mg/kg/24 jam IV dibagi setiap 8 jam selama 20 hari) dengan IVIG
500 mg/kg untuk hari sesudahnya selama 10 hari.
11

CMV retinitis dan penyakit gastrointestinal muncul dan secara klinis responsif terhadap
terapi, tetapi sering berulang. Toksisitas terhadap terapi, tetapi sering berulang. Toksisitas
dengan ganciclovir sering terjadi dan sering menjadi berat, termasuk neutropenia,
trombositopenia,

disfungsi

hati,

reduksi

pada

spermatogenesis,

dan

gangguan

gastrointestinal dan renal.


Foscarnet adalah alternatif agen antiviral, meskipun informasi penggunaannya pada
anak-anak masih terbatas. Obat ini bersifat nefrotoksik, efek samping yang lain yaitu
kejang, hipokalsemi, nausea, ataksia dan perubahan status mental tetapi tidak myelotoksik.
Foscarnet digunakan pada penderita yang secara klinik resisten dan intoleransi
terhadap Ganciclovir, telah dicatat kurang lebih pada 10% penderita dengan AIDS yang
sudah mendapat Gaciclovir selama > 3 bulan. Dosis pemberiannya telah diteliti yaitu, 60
mg/kg/hari dengan didapatkan efek samping tercatat lebih sedikit dibanding dengan dosis
90 120 mg/kg/hari.
Infeksi Kongenital
Penelitian tahap ke II dengan ganciclovir (12 mg/kg/24 jam untuk total 6 minggu)
memperlihatkan peningkatan pendengaran atau stabilisasi pada 5 dari 30 bayi. Penelitian
acak dari infeksi CMV kongenital simptomatik menampakkan kemajun.
Prognosis
Prognosis pada infeksi CMV yang didapat, secara umum baik untuk penderita yang
sebelumnya kondisinya baik. Pasien yang berkembang menjadi sindrom Guillain-Barre,
sembuh dengan sempurna. Infeksi CMV yang dikarenakan transfusi darah mempunyai
prognosis baik pada penderita yang tidak imunokompromais, kecuali pada bayi kecil
preterm yang menerima darah dari donor dengan antibodi CMV positif.
Pasien dengan CMV mononucleosis biasanya sembuh total, sekalipun beberapa
memiliki gejala yang berkepanjangan. Sebagian besar pasien immunokompromais juga
sembuh, tetapi dari pengalaman, pasien dengan pneumonitis berat, mempunyai tingkat
kefatalan tinggi bila terjadi hipoksemia. Infeksi CMV mungkin merupakan peristiwa akhir
pada individu dengan kerentanan terhadap infeksi yang meningkat, seperti pasien dengan
AIDS.

12

Infeksi Kongenital
Prognosis pada infeksi kongenital CMV sulit diprediksi. Penderita dengan lingkar
kepala kurang pada saat lahir atau dengan kalsifikasi serebral pada saat 2 bulan pertama
kehidupan biasanya mempunyai retardasi psikomotor sedang sampai berat.
Prognosis untuk pertumbuhan normal pada penyakit cytomegalo simptomatik
sangat kecil. Lebih dari 90% dari anak-anak ini menunjukkan adanya kerusakan fungsi
saraf sentral dan pendengaran pada tahun-tahun sesudahnya. Pada bayi dengan infeksi
subklinis, penampakan lebih baik. Yang perlu diperhatikan adalah perkembangan
berikutnya dari kehilangan pendengaran sensorineural (5 10%), chorioretinitis (3 5%),
dan manifestasi lain seperti abnormalitas perkembangan, mikrosefal, dan defisit neurologi.
Pencegahan
Penggunaan komponen darah bebas CMV, terutama untuk bayi prematur, dan bila
mungkin, pemanfaatan organ dari donor bebas CMV untuk transplantasi yang merupakan
hal penting untuk mencegah infeksi CMV dan pada pasien resiko tinggi.
Wanita hamil dengan seropositif mempunyai resiko rendah melahirkan bayi
simptomatik. Jika mungkin, wanita hamil harus melakukan tes serologi CMV.
Mereka yang CMV seronegatif, harus diberitahu untuk mencuci tangan dengan baik dan
menjaga kebersihan lainnya dan mencegah kontak dengan sekresi oral dengan orang lain.
Vaksinasi tidak dapat diharapkan dapat memberikan pencegahan yang lebih baik
dibanding infeksi alamiah sebelumnya, dimana dapat mencegah infeksi kongenital.
a. Imunoprofilaksis Pasif
Pemanfaatan IVIG dan CMV IVIG untuk profilaksis terhadap infeksi, pada penderita
dengan transplantasi tulang belakang dan organ padat mengurangi resiko gejala
penyakit tetapi tidak melindungi dari infeksi. Manfaat dari profilaksis lebih nyata pada
saat resiko mendapat infeksi CMV primer besar, seperti pada transplantasi tulang
belakang.
Regimen yang direkomendasikan IVIG (1000 mg/kg) atau CMV IVIG (500 mg/kg)
diberikan intravena sebagai dosis tunggal dimulai dari 72 jam setelah transplantasi dan
sekali seminggu sampai hari ke 90 120 setelah operasi.

13

b. Imunisasi Aktif
Keuntungan imunisasi sifatnya substansial, seperti terlihat bahwa hampir semua
penyakit berat mengikuti infeksi primer, terutama pada infeksi kongenital, infeksi yang
didapat dari transfusi, dan infeksi pada penerima transplantasi. Kelompok yang perlu
mendapat vaksin CMV termasuk wanita seronegatif pada usia subur dan penerima
transplantasi seronegatif.
Vaksin hidup seperti prototipe rantai Towne sifatnya imunogenik, tetapi imuniotas
berkurang cepat. Virus vaksin tidak tampak transmissible. Vaksin tidak melindungi
penerima transplantasi ginjal dari infeksi CMV, tetapi terlihat bisa mengurangi
virulensi dari infeksi primer. Dalam penelitian tentang efikasi vaksin pada wanita
dewasa normal, vaksin rantai Towne tidak memberi proteksi terhadap infeksi alami.
Tipe vaksin lainnya, seperti vaksin subunit dan rekombinan, sedang diteliti pada
percobaan klinik.

14

KEPUSTAKA
1. Stagno S. Cytomegalovirus. Dalam Behrman RE, et al. Nelson textbook of
pediatrics; ed 17. Philadelphia : WB Saunders Company. 2004; 1066- 1069.
2. Boppana, Suresh B. et al. Neuroradiographic findings in the newborn period and
long term outcome in children with symptomatic Congenital Cytomegalovirus
infection. Pediatrics. 1997; 409- 414.
3. URL:file:///F:/Cytomegalovirus%20(CMV)%20Infection.htm. (2002)
4. Boppana, Suresh B. et al. Intrauterine transmission of cytomegalovirus to infants
of women with preconceptional immunity. N Engl J Med, 2001;344: 1366- 1371.
5. URL:file://F:\emedicine%20-%20Cytomegalovirus%20Infection%20%20Article
%20by%20Ma.. (2004)
6. Pickering, Larry K. Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious
Disease; ed 26. American Academy of Pediatrics. 2003; 259- 262.
7. Stagno S. Cytomegalovirus. Dalam Remington Jack S. et al. Infectious diseases of
the fetus & newborn infant; ed 4. WB Saunders Company. 1995; 312- 346.

15

Anda mungkin juga menyukai