Anda di halaman 1dari 13

Sumbatan pada Vena Dalam Pascaoperasi

Esterlina Ratuanak
102009217
ety.ratu@yahoo.com

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler
termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. 1 Menurut Robert Virchow,
terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan
komponen pembekuan darah (Virchow trias). Trombus dapat terjadi pada arteri atau pada
vena, trombus arteri di sebut trombus putih karena komposisinya lebih banyak trombosit dan
fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi pada aliran daerah
yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam jaringan fibrin sehingga
berwarna merah.1 Trombosis Vena Dalam (DVT) adalah satu penyakit yang tidak jarang
ditemukan dan dapat menimbulkan kematian kalau tidak di kenal dan di obati secara efektif.
Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang dapat
menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru
(emboli paru). Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan
pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap
meluasnya trombosis dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan
kematian. Pada makalah ini akan dibicarakan faktor resiko, manifestasi klinis, diagnosis dan
pengobatan trombosis vena dalam, semoga ada manfaatnya.

Skenario
Seorang laki-laki berusia 65 tahun yang sedang dirawat diruang rawat inap
dikonsulkan dengan keluhan betis kirinya sakit disertai bengkak dan kemerahan sejak 4 jam
yang lalu. Pasien tersebut sudah 2 hari dirawat setelah menjalani operasi penggantian sendi
panggul kiri 2 hari yang lalu.
Analisis Masalah (Mind Map)
Pencegahan

anamnesis

etiologi
epidemiologi

prognosis
Rumusan Masalah

Patogenesis

Pemeriksaan Fisik & Penunjang

Gejala Klinik

Penanganan Terapi

Diagnosis Banding & Diagnosis kerja


Komplikasi

Isi
Anamnesis
Tidak seperti dokter hewan, maka seorang dokter manusia harus
melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga dekatnya mengenai
masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan kesehatan.2
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis
susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan,
obat-obatan dan lingkungan).2
Pada kasus diketahui identitas pasien adalah seorang laki-laki berusia 65
tahun. Keluhan utama pasien adalah betis kirinya sakit disertai bengkak dan kemerahan
sejak 4 jam yang lalu. Diketahui riwayat penyakit dahulu adalah sempat menjalani operasi
penggantian sendi panggul kiri 2 hari yang lalu. Sedangkan untuk riwayat lainnya tidak
diketahui pada kasus.
2

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik untuk kasus seperti ini, yang perlu dilakukan adalah
pemeriksaan seperti pada kasus-kasus lainnya, yaitu kesadaran umum, tanda-tanda vital dan
yang perlu di tambahkan adalah inspeksi dan palpasi. Inspeksi untuk kasus ini adalah
dengan melihat apakah ada perubahan warna kulit dan adanya pembengkakan. Sedangkang
palpasi untuk kasus seperti ini adalah untuk meraba apakah ada pembengkakan, hangat
disekitar bagian yang bengkak dan meraba denyut nadi apakah laju, irama dan kekuatannya
simetris atau tidak pada kedua kaki.3 Pada DVT biasanya denyut teraba lebih lemah atau
bahkan tidak ada pada kaki yang terkena.4 Kadang tanda fisik DVT tidak jelas sehingga
ruang pemeriksaan harus terang. Pasien diminta berdiri beberapa menit untuk
memperlihatkan perbedaan besar, rasa panas, warna dan udem diantara tungkai yang normal
dan yang sakit.4
Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis
trombosis vena dalam, yaitu:
1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan gold standar untuk trombosis
vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri
dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya. Prinsip
pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam daerah dorsum pedis dan
akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke v
iliaca.5
2. Flestimografi Impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah
pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca
dibandingkan vena di betis.6
3. Ultrasonografi Doppler
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat,
sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.
Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini
dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di
deteksi dengan cara objektif lain.5,6
3

4. D-Dimer
Pemeriksaan D-Dimer, yang menunjukkan adanya aktifitas fibrinolisis,
mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi. Plasma D-dimer adalah spesifik turunan
dari fibrin, yang dihasilkan ketika fibrin terdegradasi oleh plasmin, jadi konsentrasinya
meningkat pada pasien dengan tromboembolisme vena. Walaupun sensitive untuk
tromboembolisme vena, konsentrasi yang tinggi D-dimer tidak cukup spesifik untuk
membuat suatu diagnosis karena d-dimer juga dapat meninggi pada kelainan seperti
keganasan, kehamilan dan setelah operasi.
5. Angio MRI
MRI sangat sensitif dan dapat mendiagnostik kecurigaan adanya
trombosis pada vena iliaka atau vena cava inferior.
Diagnosis
Diagnosis Kerja

Deep Vein Thrombosis


Trombosis Vena Dalam (Deep Vein Thrombosis (DVT)) adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan ditemukannya bekuan darah pada vena dalam. Bekuan
yang terbentuk di dalam suatu pembuluh darah disebut trombus. Trombus bisa terjadi
baik di vena superfisial (vena permukaan) maupun di vena dalam, tetapi yang berbahaya
adalah yang terbentuk di vena dalam. Trombosis vena dalam sangat berbahaya karena
seluruh atau sebagian dari trombus bisa pecah, mengikuti aliran darah dan tersangkut di
dalam arteri yang sempit di paru-paru sehingga menyumbat aliran darah. Trombus yang
berpindah-pindah disebut emboli. Semakin sedikit peradangan di sekitar suatu trombus,
semakin longgar trombus melekat ke dinding vena dan semakin mudah membentuk
emboli. Penekanan pada otot betis bisa membebaskan trombus yang tersangkut, terutama
ketika penderita kembali aktif. Darah di dalam vena tungkai akan mengalir ke jantung
lalu ke paru-paru, karena itu emboli yang berasal dari vena tungkai bisa menyumbat satu
atau lebih arteri di paru-paru. Keadaan ini disebut emboli paru. Emboli paru yang besar
bisa menghalangi seluruh atau hampir seluruh darah yang berasal dari jantung sebelah
kanan dan dengan cepat menyebabkan kematian.7

Diagnosis Banding

Tromboflebitis Superfisialis
4

Tromboflebitis superfisialis merupakan trombosis akut dengan peradangan


akut yang tidak menyebabkan emboli. Penderita umumnya mengeluh nyeri di daerah
vena disertai nyeri tekan, sedangkan kulit disekitarnya kemerahan dan panas. Kadang
ditemukan udem atau pembengkakan lokal, nyeri ketika menggerakan lengan pada
gerakan otot tertentu. Mungkin terjadi gambaran erisipelas yang biasanya terbatas pada
suatu bagian ekstermitas.6
Pada perabaan, selain nyeri tekan, teraba pula pengerasan vena ditempat
katupnya, kadang-kadang teraba hambatan aliran vena dan penggembungan vena di
daerah katup. Febris dapat terjadi pada penderita ini, tetapi biasanya hanya dirasakan
malaise.6
Penanganan terdiri atas istirahat, pemberian kompres hangat pada keadaan
akut, dan analgetik. Kaki di letakan tinggi dan lengan diberi mitela. Pada flebitis ringan
setelah pemberian infus lama dapat diberikan pengobatan konservatif dengan kompres

alkohol.6
Peripheral Occlusive Arterial Disease
Peripheral Occulsive Arterial Disease (POAD) adalah penyakit akibat
sumbatan arteri kecil dan sedang yang berawal dari proses aterosklerosis di sirkulasi
perifer yang menyebabkan stenosis dan oklusi vasa-vasa perifer.6
Pada gejala awal biasa ditemukan nyeri menusuk pada betis dan kaki,
diiringi dengan kesukaran berjalan, nyeri tekan pada betis dengan atau tanpa pulsasi
dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior. Pada ekstermitas inferior penyakit ini pertama
kali menyerang arteri digital, metatarsal, tarsal, kalkaneus dan plantaris. Proses ini
biasanya cepat naik ke arteri infrapoplitea sehingga gejala klinis pertama kali yang
dirasakan penderita berupa rasa dingin, baal, perubahan warna kulit dan nyeri dan sakit
saat berjalan.6

Gejala Klinis
Sesuai dengan patofisologinya, gejala utama DVT adalah bengkak,
perubahan warna, nyeri dan functio laesa. Lebih kurang 25% pasien dengan gejala tersebut
ternyata mengalami DVT. Walaupun semua gejala dapat terjadi pada DVT, dalam
kenyataannya tidak selalu semua gejala-gejala tersebut ditemukan. Sering hanya timbul
keluhan nyeri dibetis atau paha, terutama bila berjalan. Dari publikasi penelitian mengenai
insiden trombosis vena pada pasien bedah dan medis yang dirawat di rumah sakit,
kebanyakan kasus (lebih kurang 90%) DVT ternyata tidak menimbulkan gejala klinis. Oleh
karena itu dokter harus mewaspadai timbulnya trombosis tungkai pada pasien-pasien yang
5

beresiko tinggi. Beberapa pasien datang dengan riwayat gejala dan tanda trombosis vena
yang berulang, yaitu bengkak dan nyeri tungkai, bengkak dan warna kulit yang gelap atau
kehitaman dan sering berkembang menjadi luka dari paha sampai kaki yang tampak
kebiruan disertai nyeri. Keadaan seperti ini disebut phlegmasia cerulae dolons. Bila
sumbatan hanya mengenai sebagian vena, gejala yang diperlihatkan adalah udem betis dan
mata kaki disertai kulit berwarna merah kebiruan akibat peningkatan aliran darah vena
dipermukaan.8
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :6

Nyeri
Gangguan pada vena tidak menyebabkan nyeri, nyeri terjadi apabila
terdapat gangguan pada arteri. Namun pada kasus DVT ini, nyeri bisa terjadi karena vena

yang tersumbat lama-kelamaan akan membesar dan akhirnya akan menekan arteri.
Pembengkakan
Pembengkakan disebabkan karena adanya edema. Timbulnya edema
disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan
perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak
adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh
peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di
sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang

kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.


Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan
warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah
pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada
perubahan lunak dan dingin, merupakan tanda-tanda adanya sumbatan vena yang besar
yang bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba

dolens.
Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini
mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga
terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.

Patofisiologi
6

Terdapat tiga faktor penting dalam pembentukan trombosis vena, yaitu


pembuluh darah, komponen darah, dan stasis. Peran ketiga faktor tersebut sudah
dikemukakan oleh Virchow pada 1856 dan dikenal sebagai trias virchow.7

Trias Virchow
- Pembuluh Darah. Kerusakan dinding pembuluh darah akan mempermudah adhesi
trombosit pada subendotel. Trombosit yang saling berdekatan akan dihubungkan satu
sama lain oleh fibrinogen dan terjadilah agregasi trombosit yang membentuk plak
trombosit. Selain itu kerusakan jaringan akan menyebabkan faktor jaringan
mengaktifkan sistem koagulasi jalur ekstrinsik yang akan menghasilkan fibrin dan
-

trombus.
Koagulasi Darah. Selain aktivitas sistem koagulasi ekstrinsik maupun intrinsik oleh
faktor jaringan akibat trauma atau pembedahan juga terjadi migrasi leukosit ditempat
kerusakan jaringan yang juga mengaktifkan sistem koagulasi. Aktivasi koagulasi baik
melalui jalur ekstrinsik maupun entrinsik akan mengaktifkan F X menjadi F Xa, dan
melalui jalur umum, F Xa bersama F V dan faktor 3 trombosit akan mengubah
protrombin menjadi trombin. Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Fibrin inilah yang menjadi dasar bekuan atau trombosis. Koagulasi darah juga dapat
meningkat karena faktor umur, trombofilia dan kondisi tertentu. Trombofilia artinya
darah cenderung membentuk trombus dapat bersifat herediter atau didapat.
Trombofilia herediter disebabkan defisiensi AT III, protein C, protein S, faktor V
leiden, dan mutasi gen protrombin. Trombofilia dapat disebabkan oleh sindrom
antifosfolipid (APS), resistensi protein C, serta kondisi tertentu seperti kanker,

polisitemia, infark miokard, tirah baring lama dan kehamilan.


Stasis vena. Stasis merupakan faktor penting pembentukan trombosis, karena pada
keadaan stasis, faktor koagulasi yang aktif lambat dibawa kehati untuk menaglami
bersihan. Stasis juga mencegah bercampurnya faktor pembekuan aktif dengan
koagulan. Selain itu stasis akan mempermudah interaksi trombosit dengan faktor
pembekuan di dalam pembuluh darah. Akibat terbentuknya trombus, aliran darah di
vena menjadi terhambat sehingga cairan keluar dari pembuluh darah ke jaringan
interstisial dan menimbulkan udem. Udem dapat menekan saraf perifer sehingga
menimbulkan keluhan nyeri terutama saat beraktifitas (functio laesa). Statis vena juga
dapat disebabkan oleh imobilitas, obstruksi vena dan gagal jantung. Aliran darah vena
balik ke jantung biasanya diperkuat oleh kontraksi otot betis. Pada pasien lansia yang
tirah baring lama, penderita vena varikosa, atau kehamilan, terjadi gangguan kontraksi
7

tersebut. Bendungan pada tungkai bawah sering disertai infeksi sehingga bia terjadi
trombophlebitis.
Faktor Resiko
Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :
1.

Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir
sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2.

Tindakan operatif.
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam
bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di
daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di
daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%. Beberapa faktor yang
mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a.

Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma


pada waktu di operasi.

b.

Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan
post operatif.

c.

Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.

d.

Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di


daerah tersebut.

3.

Kehamilan dan persalinan


Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena
karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. Pada permulaan
proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya plasminogen
jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.

4.

Infark miokard dan payah jantung.


Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan yang
melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis
aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah
jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan
dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5.

Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah
timbulnya trombosis vena.
6.

Obat-obatan konstraseptis oral.


Hormon estrogen yang ada dalam pil kontraseptis menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor
pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

7.

Obesitas dan varices.


Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas
fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

8.

Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo plastin-like
activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat.
Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke
dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap
penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan
penderita biasa.

Epidemiologi
Menurut laporan dinegara barat insiden DVT pasien ortopedi yang tidak
mendapat antikoagulan profilaksis mencapai 40-60%. Hal yang sama juga dilaporkan di
malaysia oleh Dhillon pada tahun 1996. Insidens DVT pada pasien yang menjalani operasi
ortopedi tetapi tidak diberikan antikoagulan profilaksis adalah 62,5%. Wang pada tahun
2000 dari Taiwan melaporkan insidens DVT pada pasien ortopedi sebanyak 63,6%. Insidens
trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak ada dilaporkan secara
pasti. Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan data-data penderita yang di rawat di
rumah sakit dengan berbagai diagnosis.1 Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus
trombosis vena dalam yang di rawat di rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus
terjadi emboli paru dan 60.000 kasus meninggal karena proses penyumbatan pembuluh
darah.1
Etiologi
Ada 3 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis vena dalam, yaitu :8
1.

Cedera pada pembuluh darah balik.


9

Pembuluh darah balik dapat cedera selama terjadinya tindakan bedah, suntikan bahan
yang mengiritasi pembuluh darah balik, atau kelainan-kelainan tertentu pada pembuluh
darah balik.
2.

Peningkatan kecenderungan terjadinya pembekuan darah.


Terdapat beberapa kelainan yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
kecenderungan terjadinya pembekuan darah. Beberapa jenis kanker dan penggunaan
kontrasepsi oral dapat memudahkan terjadinya pembekuan darah. Kadang-kadang
pembekuan darah juga dapat terjadi setelah proses persalinan atau setelah tindakan
operasi. Selain itu pembekuan darah juga mudah terjadi pada individu yang berusia tua,

keadaan dehidrasi, dan pada individu yang merokok.


3.
Melambatnya aliran darah pada pembuluh darah balik.
Hal ini dapat terjadi pada keadaan seperti perawatan lama di rumah sakit atau pada
penerbangan jarak jauh. Pada keadaan-keadaan tersebut otot-otot pada daerah tungkai
bawah tidak berkontraksi sehingga aliran darah dari kaki menuju ke jantung berkurang.
Akibatnya aliran darah pada pembuluh darah balik melambat dan memudahkan
terjadinya trombosis pada vena dalam.
Tatalaksana
Medikamentosa
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya
sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang
diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.7
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah
dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan
ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Prinsip
pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan tidak
menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah
timbulnya trombus baru dan emboli. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk
mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin. 6 Pada pemberian
heparin perlu di pantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya
terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
Obat-obat antikoagulan terdiri dari:

Sodium Heparin
10

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)


Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan pemantauan
yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat
yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin).
Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup

serius yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia (HIT).7


Anti Koagulan Oral
Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin. Cara pemberian Warfarin di mulai dengan
dosis 6 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi
tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 3,0
Selain antikoagulan dapat juga diberikan obat-obat fibrinolitik yang

berfungsi melisiskan trombosis dengan cepat melalui katalisis pembentukan plasma dan
plasminogen. Obat-obat fibrinolitik terdiri dari streptokinase, urokinase, anistreplase,
alteplase, reteplase dan telecteplase.
Nonmedikamentosa

Thrombectomy
Thrombectomy adalah suatu proses pembedahan yang dilakukan untuk membuang darah
beku (trombus) dari pembuluh darah. Thrombectomy dapat dilakukan pada arteri besar
pinggul dan paha (arteri iliofemoral) dan arteri bawah tulang selangkangan (arteri
subclavia). Namun metode ini jarang digunakan karena dapat menyebabkan kehilangan
anggota badan dan terdapat insiden yang tinggi trombosis berulang.

Komplikasi
Ada beberapa komplikasi dari trombosis vena dalam antara lain:
1. Perdarahan
Perdarahan diakibatkan oleh penggunaan antikoagulan
2. Emboli paru
Terjadi akibat terlepasnya trombus dari dinding pembulu darah kemudian trombus ini
terbawa aliran darah hingga akhirnya berhenti d pembulu darah paru dan mengakibatkan
bendungan aliran darah. Ini terjadi beberapa jam maupun hari setelah terbentuknya suatu
bekuan darah pada pembulu darah di daerah tungkai. Gejala berupa nyeri dada dan
pernapasannya singkat.
3. Sindrom post trombotik

11

Terjadi akibat kerusakan katub pada vena sehingga seharusnya darah mengalir ke atas
yang dibawa oleh vena menjadi terkumpul pada tungkai bawah. Ini mengakibatkan nyeri,
pembengkakan dan ulkus.
Pencegahan
Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.
-

Istirahat di tempat tidur.

Posisi kaki ditinggikan.

Pemberian heparin atau trombolitik.

Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.

Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.


Stoking ini akan mengurangi tromboembolisme dengan cara meningkatkan aliran darah
dan kecepatan aliran darah di vena profunda tungkai. Dapat juga dipakai kompresi
pneumatik intermiten, atau stimulasi artifisial pompa vena kaki.

Mobilisasi. Mobilisasi pasien sangat penting untuk mengurangi


resiko trombosis, terutama faktor resiko stasis dan penumpukan darah pada kaki. Pasien
yang dirawat pasca operasi sesegera mungkin di mobilisasi. Juka mobilisasi pasien sukar,
fisioterapi harus dilakukan.6

Prognosis

Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai resiko

terjadinya insufisiensi vena kronik.6


Kira kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi
emboli paru, dan 10 20 % dapat menyebabkan kematian. Dengan antikoagulan terapi
angka kematian dapat menurun hingga 5-10 kali.6

Penutup
Trombosis vena cukup sering ditemukan pada penderita yang di rawat di
rumah sakit, terutama terjadi pada immobilisasi yang lama dan post operatif ortopedi.
Penyakit ini tidak menimbulkan kematian, akan tetapi mempunyai resiko besar untuk
timbulnya emboli paru yang dapat menimbulkan kematian. Faktor resiko trombosis vena
adalah operasi, kehamilan, immobilisasi, kontrasepsi oral, penyakit jantung, proses keganan
12

dan obesitas. Manifestasi kliniknya tidak spesifik, sehingga memerlukan pemeriksaan


obyektif lanjutan. Pengobatan adalah mencegah timbulnya embol paru, mengurangi
morbiditas dan keluhan post flebitis dan mencegah timbulnya hipertensi pulmonal.
Pengobatan yang di anjurkan adalah pemberian heparin dan dilanjutkan dengan anti koagulun
oral.
Daftar Pustaka
1. Tambunan K. Thrombosis. Semarang: Konas PHTDI; 2008. hal.120-6
2. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. hal.25-6
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005.
hal.134
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-8. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. hal.461-6
5. Rachmat J, Puruhito, Tahalele P, Dahlan M, Hakim T, Jusi D. Jantung, pembuluh darah
dan limf. Dalam: De Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007. hal.585-6
6. Tambunan KL. Patogenesis trombosis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. hal.1304-6
7. Brunner, Suddarth. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Edisi-8. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2002. hal.162-5
8. Reksodiputro AH, Tambunan KL, Widjanarko A. Perdarahan bedah dan masalah
vaskular terkait pembedahan. Dalam: De Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. hal.220-4

13

Anda mungkin juga menyukai