Anda di halaman 1dari 9

Pemanfaatan Tanaman Sebagai Bahan Kerajinan di Daerah Banten, Jambi dan

Semarang

Oleh :
Dandi Puspita
Muhammad Muhaimin
Siti Mimah Rohimah

B1J014005
B1J014006
B1J014012

TUGAS TERSTRUKTUR ETNOBOTANI


KELAS A

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, mempunyai kurang lebih
17.000 pulau yang besar dan kecil dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang sangat
tinggi. Keanekaragaman tumbuhan, baik liar maupun budidaya merupakan salah satu sumber
daya biologi, di Indonesia diperkirakan terdapat 100 sampai dengan 150 famili tumbuhtumbuhan, dan dari jumlah tersebut sebagian besar mempunyai potensi untuk dimanfaatkan
sebagai tumbuhan industri, buah-buahan, tumbuhan rempah-rempah, tumbuhan obat-obatan
dan lain sebagainya (Nasution, 1992).
Etnobotani merupakan cabang ilmu yang mendalami hubungan budaya manusia dan
alam nabati disekitarnya. Dalam hal ini lebih diutamakan pada persepsi dan konsepsi budaya
kelompok masyarakat,yang dipelajari adalah sistem pengetahuan anggotanya dalam
menghadapi lingkup hidupnya (Waluyo, 2005). Etnobotani dapat digunakan sebagai salah satu
alat untuk mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tradisional yang telah menggunakan
berbagai macam tanaman untuk menunjang kehidupannya, yakni pendukung kehidupan untuk
kepentingan makan, pengobatan, bahan bagunan, tanaman berguna, budaya dan lainnya.
Semua kelompok masyarakat sesuai karakter wilayah dan adatnya memiliki ketergantungan
pada berbagai tanaman, paling tidak untuk sumber panagan. Dalam kehidupan modern telah
dikenal lebih dari seratus jenis tanaman untuk sumber makanan, tetapi sebenarnya telah
dipergunakan ribuan jenis tanaman berbagai belahan bumi oleh berbagai etnik (Riswan,
1995).
Perubahan tata kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan yang
semakin pesat dewasa ini tentu akan berdampak pada budaya, pola hidup, dan kelestarian
sumberdaya alam hayati, termasuk pemanfaatan tumbuhan yang dapat digunakan untuk
membantu kehidupan manusia sehari-hari. Pengetahuan tradisional tentang tata cara
pemanfaataan tumbuhan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi akan mengalami
erosi dengan masuknya teknologi modern. Interaksi yang sangat kuat dan lama antara manusia
dengan lingkungannya akan memunculkan suatu budaya lokal yang sesuai dengan
lingkungannya. Kajian terhadap pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional atau
etnobotani penting dilakukan agar pengetahuan kearifan mereka dalam pemanfaatan
tumbuhan tersebut tidak hilang ditelan arus modernisasi (Fakhori, 2009).

PEMBAHASAN
Alam Indonesia cukup banyak tersedia keanekaragaman tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai bahan baku untuk industri kerajinan, antara lain anyaman, peralatan rumah
tangga dan sebagainya. Untuk menghasilkan produk industri kerajinan dari bahan tumbuhan
maka diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam mengenal tumbuhan apa saja yang
memiliki potensi dalam pemanfaatannya sebagai pendorong sector industri terutama bidang
kerajinan yang mampu menginduksi perekonimian di suatu wilayah yang biasanya sangat erat
kaitannya dengan etnik atu suku tertentu. Beberapa tumbuhan yang dimanfaatkan oleh
panduduk suatu daerah dapat digunakan dibidang industri kerajinan diantaranya adalah:
A. Pemanfaatan Pandan Sebagai Kerajinan oleh Masyarakat di Ujung Kulon, Banten
Pandan merupakan salah satu anggota suku pandan-pandanan (Pandanaceae), terutama
dari marga Pandanus. Jenis-jenis dari marga Pandanus merupakan anggota Pandanaceae
yang paling luas persebarannya dan kisaran habitat yang ditempatinya. Tumbuhan tersebut
dapat ditemukan mulai dari pantai berpasir hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian
sekitar 3500 m dari permukaan laut. Terkait dengan industri kerajinan, Hofstede (1925)
melaporkan bahwa awal abad ke-20 kawasan Tangerang merupakan salah satu pusat
produksi kerajinan pandan di Indonesia, yang pada saat itu produknya sudah dipasarkan
hingga ke mancanegara, seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Italia, Perancis, dan
Singapura.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et. al. (2008) dengan lokasi
penelitian etnobotani pandan pantai di Ujung Kulon, Banten dilakukan di tiga lokasi yaitu
Ciundil (di luar kawasan taman nasional), Legon Pakis dan Tanjung Lame (di dalam
kawasan Taman Nasional Ujung Kulon). Kebiasaan menganyam tampaknya merupakan
tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di Jawa (Backer, 1925),
termasuk di Ujung Kulon. Di bagian barat Indonesia umumnya hanya daun pandan yang
digunakan, seperti untuk bahan penyedap makanan (pandan wangi P. amaryllifolius Roxb.)
dan pemanfaatan lain hanya sebatas untuk peralatan rumah tangga seperti tikar, topi,
keranjang, dan upacara adat (pandan samak P. odoratissimus; pandan bidur P. dubius
Spreng. dan cangkuang P. furcatus Roxb. (Keim, 2007). Hasil pengamatan dan wawancara
diketahui bahwa pemanfaatan P. odoratissimus di lokasi penelitian hanya untuk kebutuhan
bahan baku anyaman seperti tikar dan keperluan rumah tangga lainnya dan tidak dijumpai

adanya tradisi penggunaan pandan samak untuk upacara adat. Hasil anyaman pandan
samak dapat bertahan hingga 4 tahun.
B. Pemanfaatan Rotan Sebagai Bahan Kerajinan Anyaman Pada Suku Anak Dalam
(SAD) di Dusun III Senami, Desa Jebak, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Berdasarkan penelitian yang dilakuan oleh Jumiati et. al. (2012), rotan adalah salah
satu sumber hasil hutan non-kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah spesiesspesies rotan yang banyak digunakan baik sebagai bahan anyaman, keperluan tali temali
dan lain-lain. Rotan yang ditemukan di Suku Anak Dalam (SAD) sebanyak 19 spesies. Dari
jumlah tersebut, 10 diantaranya digunakan sebagai bahan anyaman. SAD di Dusun III
Senami memilih rotan yang digunakan sebagai bahan kerajinan anyaman berdasarkan
beberapa hal, yaitu diameter batang, kelenturan, serta kehalusan serat dan warna alami
yang dihasilkan oleh batang rotan itu sendiri. Hasil kerajinan Suku Anak Dalam di Senami
ini tidak hanya berbentuk anyaman pada umumnya, namun lebih bervariasi. Misalnya
mereka merangkai rotan tersebut menjadi hiasan berupa bunga, tempat pena, hiasan
dinding, tiruan binatang, dan sebagainya.
Anyaman hasil kreasi SAD antara lain adalah:
1. Ambung; merupakan anyaman khas SAD yang digunakan sebagai alat untuk
membawa kayu bakar, sayuran, buah-buahan atau dicucian dan sebagai tempat
menumbuk Jernang. Ambung bentuknya menyerupai bakul dengan permukaan atas
bulat namun dasarnya tidak bulat, tapi persegi empat yang sudut-sudutnya menumpul.
2. Tanggok; merupakan anyaman rotan yang berbentuk silinder yang dibelah membujur,
dengan anyaman tidak terlalu rapat (terdapat celah antar batang anyaman). Tanggok ini
digunakan sebagai alat penangkap ikan atau udang di sungai.
3. Keruntung; merupakan anyaman yang berbentuk seperti bakul namun berukuran besar.
Keruntung dibuat dengan anyaman yang sangat rapat. Anyaman ini biasanya
digunakan untuk membawa beras, buah-buahan, atau bahkan kayu bakar.
4. Tengkalang; merupakan anyaman yang berupa wadah tanpa penutup dengan anyaman
yang jarang atau tidak rapat seperti pada ambung, namun bentuknya seperti mangkuk.
Anyaman ini digunakan untuk membawa buah-buahan hutan dan sayuran. Tengkalang
dibuat modifikasinya menjadi berukuran kecil menjadi hiasan, vas bunga, dan suvenir
khas SAD.
5. Lukah; adalah nama yang diberikan untuk anyaman rotan yang digunakan untuk
menjerat ikan. Lukah dilengkapi dengan sarang samprong (tutup lukah) yang akan
menutup secara otomatis ketika ada ikan yang terjebak masuk ke dalam lukah.

6. Nyiru; merupakan anyaman yang digunakan untuk menampi beras. Nyiru berbentuk
segi empat tak beraturan, terbuat dari rotan (sebagai pengapit) dan bamboo (batang
anyaman). Bakul berukuran lebih kecil dibadingkan keruntung, biasa digunakan
sebagai tempat nasi atau tempat mencuci beras.
7. Panepok lalat; merupakan anyaman sederhana yang berbentuk seperti raket, dengan
kepala seperti anyaman dinding rotan. Ukurannya kecil dengan tangkai yang
panjang. Lekar adalah anyaman rotan berbentuk melingkar untuk alas tempat kuali
atau periuk. Ada juga lekar yang dimodifikasi, berukuran kecil, diberi gantungan besi
untuk gantungan kunci atau tas.
8. Wadah ikan; merupakan anyaman yang berbetuk kubus, terdiri dari dua bagian yaitu
wadah dan tutupnya. Pada wadah ikan ini biasanya dipasang tali pengikat dari tali
plastik, kulit kayu atau bahkan dari rotan, pada sisi kanan dan kirinya yang berfungsi
untuk diikatkan pada pinggang orang yang mencari ikan.
9. Cincin pengikat; adalah anyaman sederhana berupa jalinan rotan yang berbentuk
melingkar seperti gelang atau cincin, biasa digunakan sebagai pengikat sapu lidi.
Namun karena keunikannya anyaman ini dapat juga digunakan sebagai gelang atau
bahkan yang berukuran kecil dapat digunakan sebagai cincin atau mainan tas. JenisJenis anyaman modifikasi antara lain:
1. Sarang samprong; merupakan modifikasi dari tutup lukah. Bila dalam jumlah banyak
dan diberi tangkai panjang, sarang samprong dapat dirangkai seperti bunga, dan dalam
bentuk tunggal sarang samprong digunakan sebagai hiasan berupa pin maupun mainan
tas.
2. Keladi hutan; adalah anyaman hasil modifikasi yang berbentuk seperti daun keladi
yang dimodifikasi sebagai bunga yang lengkap dengan tangkai dan daun, maupun
hanya bagian keladi saja yang digunakan sebagai pin.
3. Melati rimbo; adalah hasil kreasi dan modifikasi berbentuk bunga dengan 4 atau 5
daun mahkota, dimodifikasi sebagai bunga yang memiliki batang, tangkai dan daun
dan digunakan sebagai hiasan. Atau hanya berupa satu bunga tanpa tangkai yang
dimodifikasi sebagai pin.
4. Udang rotan; merupakan anyaman kreasi yang cukup rumit. Udang rotan dimodifikasi
dari segi ukuran, ada yang besar (panjang 30 cm), sedang (panjang 20 cm) hingga
yang kecil (panjang 12 cm). Udang semua ukuran ini digunakan sebagai hiasan.

5. Vas bunga; merupakan produk anyaman hasil kreasi dan modifikasi. Anyaman jenis ini
berbentuk sebagaimana vas atau guci tembikar pada umumnya. Anyaman ini
digunakan sebagai vas/tempat bunga atau sebagai pajangan.
6. Bunga talipok; merupakan hasil kreasi dan modifikasi. Berbentuk tumbuhan tanpa
bunga, hanya terdiri dari batang dan daun yang memanjang.
7. Penutup lampu; merupakan modifikasi dari bunga talipok, setelah dipasang lampu,
akan menjadi lampu hias yang unik.
C. Pengembangan Usaha Kerajinan Eceng Gondok di Kabupaten Semarang.
Eceng gondok adalah sejenis tumbuhan yang hidup terapung di permukaan air.
Pertumbuhan eceng tersebut akan semakin baik apabila hidup pada air yang dipenuhi
limbah pertanian atau pabrik (Yuwanto, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakuan oleh
Puspitasari et. al. (2012). Eceng gondok adalah tanaman yang dapat dimanfaatkan
menjadi berbagai kerajinan berupa sandal, tas, mebel dan souvenir yang memiliki
nilai seni tinggi. Kerajinan eceng gondok merupakan salah satu daya tarik bagi
wisatawan domestik dan asing. Perkembangan kerajinan eceng gondok yang semakin
pesat dan kondisi pemasaran yang baik sebesar 33, 33% membuat kompetitor sejenis
semakin bermunculan.
Di Kabupaten Semarang terdapat sektor industri kreatif yang memiliki potensi
besar untuk dimanfaatkan, yaitu industri kerajinan enceng gondok. Industri yang
memanfaatkan krativitas, ketrampilan, dan bakat ini belum banyak digeluti oleh orang
lain. Padahal, produk kerajinan eceng gondok tersebut banyak sekali variasi produknya.
Sejak lima tahun lalu tanaman ini menjadi komoditi yang menguntungkan dengan
adanya

pengrajin

memanfaatkanya

dari
menjadi

tanaman eceng
kerajinan

gondok

ini,

masyarakat

sekitar

dapat

tangan yang menarik dan berdaya jual tinggi.

Kerajinan eceng gondok merupakan salah satu mobilitas ekonomi masyarakat terutama
untuk UKM (Usaha Kecil Menengah) yang bergerak di industri kerajinan eceng gondok
di daerah Tuntang, Kabupaten Semarang. Selain itu membantu megembangkan seni dan
khas Indonesia baik didalam maupun diluar negeri karena kerajinan yang dihasilkan
merupakan kerajinan yang membantu kegiaan sehari-hari yang berhubungan dengan
sandang, pangan maupun papan.

KESIMPULAN
1. Orang-orang lokal dari Ujung Kulon menggunakan daun pandan (Pandanus odoratissimus
L.f.) untuk keperluan sehari-hari terutama membuat tikar.
2. Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu kelompok masyarakat lokal di Popinsi
Jambi memanfaatkan rotan yang sangat berpotensi antara lain sebagai bahan anyaman,
keperluan tali temali, maupun untuk keperluan lainnya.
3. Di Kabupaten Semarang terdapat sektor industri kreatif yang memiliki potensi besar untuk
dimanfaatkan, yaitu industri kerajinan enceng gondok. Industri yang memanfaatkan
krativitas, ketrampilan, dan bakat ini belum banyak digeluti oleh orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Backer, C. A. 1925. Handboek voor de Flora van Java. vol. 1. Batavia: Drukkerijen Ruygrok.
Fakhori, irzal. 2009. Etnobotani Masyarakat Suku Melayu Tradisional di Sekitar Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hofstede, H. W. 1925. Het Pandanblad: Als Grondstof voor de Pandanhoedenindustrie op
Java. Eibergen: H. Heinen.
Jumati, Bambang, H. dan Pinta, M. 2012. Studi Etnobotani Rotan Sebagai Bahan Kerajinan
Anyaman Pada Suku Anak Dalam (SAD) di Dusun III Senami, Desa Jebak, Kabupaten
Batanghari, Jambi. Biospecies.5 (1), pp: 33-41.

Keim, A. P. 2007. 300 tahun Linnaeus: Pandanaceae, Linnaeus dan Koneksi Swedia.
Memperingati 300 tahun Carolus Linnaeus. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Bogor.
Nasution, R. E. 1992. Prosiding Seminar dan Loka Karya Nasional Etnobotani.
Departement Pendidikan dan Kebudayaan RI-LIPI. Jakarta: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
Puspitasari, N. B., Ary, A., Dina, T. dan Aditya, H. S.2012. Strategi Pengembangan Usaha
Kerajinan Eceng Gondo Sebagai Produk Unggulam Kabupaten Semarang
Menggunakan Analisis Ranta Nilai. Undip. 7 (2), pp: 113-122.
Rahayu, M., Siti, S. dan Ary, P. K. 2008. Kajian Etnobotani Pandan Samak (Pandanus
odoratissimus L.f.):Pemanfaatan dan Peranannya dalam Usaha MenunjangPenghasilan
Keluarga di Ujung Kulon, Banten. B iodiversitas. 9 (4), pp: 310-314.
Riswan, S. dan Abdulhadi, R. 1995. Pemanfaatan Vegetasi Tanaman Bawah Pekarangan
Oleh Masyarakat Jawa Di Wilayah Kabupaten Banyumas. Bogor: Prosiding Seminar
Etnobotani II LIPI.
Waluyo, E. B. 2005. Pengumpulan data Etnobotani. Bogor: LIPI Bogor.
Yuwanto, S. 2007. Pengertian Enceng Gondok. Bandung: ITB Central Library.

Anda mungkin juga menyukai