Anda di halaman 1dari 53

1

BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari
beberapa penyakit ginjal dan saluran kemih.
Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer dan sekunder, primer
apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul sebagai
bagian daripada penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat / Toksin.
Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus
primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit Sistemik.
Resiko penyakit jantung koroner atau Aterosklerosis pada penderita
Sindroma Nefrotik belum diketahui dengan jelas. Dalam laporan-laporan
pemeriksaan post mortem pada anak-anak dan dewasa yang menderia Sindroma
Nefrotik Idiopatik tercatat adanya Ateroma yang awal.
Sampai pertengahan abad ke 20 Mordibitas SN pada anak masih tinggi,
yaitu melebihi 50% pasien-pasien ini dirawat untuk jangka waktu lama karena
Edema Anasarka dengan disertai Uiserasi dan Interaksi kulit.
Dengan ditemukannya obat Sulfonamid dan Penisillin tahun 1940 dan
dipakainya hormon Adreno Kortikotropik (ACTH) dan Kortikosteroid pada tahun
1950, mortilitas penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yagn sering disebabkan
oleh komplikasi Peritonitis dan Sepsis. Kematian menurun kembali mencapai
35% setelah obat penisilin mulai digunakan tahun 1946-1950.
Pada awal 1950-an kematian menurun mencapai 20% setelah pemakaian
ACTH atau Kortison. Diantara pasien SN yang selamat dari infeksi sebelum Era
Sulfonamid umumnya kematian disebabkan oleh gagal ginjal kronik.

BAB II
LAPORAN KASUS

1. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada tanggal 26 September
2016 di bangsal PDL perempuan.
1.1 Identitas Penderita
Nama
: Ny. J
Umur
: 30 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Desa Bangun Sari RT018/006 . Tanjung Lago
No. RM
Masuk RS
Pemeriksaan

/Kab. Banyuasin SUMSEL


: 525387
: 2 September 2016
: 26 September 2016

2. Keluhan Utama
Bengkak seluruh badan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 bulan SMRS pasien mengeluh bengkak pada kedua
kelopak mata dan muka terutama pagi hari saat bangun tidur, bengkak
mulai berkurang saat siang hari. Mual (-), muntah (-), demam (+) hilang
timbul. Batuk (+) berdahak BAB biasa dan Bak sedikit.
Sejak 1 bulan ang lalu SMRS bengkak kemudian menjalar ke
kaki , bengkak bertambah menyebar ke daerah muka, perut, dan kedua
tungkai. Selama bengkak pasien mengeluh BAK berwarna kuning keruh,
pasien mengaku frekuensi BAK 4 kali dalam sehari. Riwayat sering
terbangun pada malam hari untuk BAK disangkal. Keluhan bengkak ini
tidak disertai sesak napas saat tidur dan pasien masih bisa tidur dengan
satu bantal. Mual (-), muntah (-), demam (-).
Sejak 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan badan terasa lemas.
Lemas dirasakan terus menerus dan semakin lama semakin memberat.
Lemas dirasakan pasien saat beraktivitas ringan seperti berjalan beberapa

meter saja. Lemas tidak berkurang dengan istirahat, makan, ataupun


minum minuman yang manis. Aktivitas sehari-hari pasien dirasakan
semakin terbatas karena keadaan pasien yang mudah lelah, sehingga
pasien selalu dibantu oleh keluarga untuk melakukan aktivitas seharihari. Demam (-), berkeringat pada malam hari (-). keluhan pasien
bertambah berat akhirnya keluarga membawa os berobat ke RSUD
Palembang BARI.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat sakit serupa
2. Riwayat sakit kuning
3. Riwayat Hipertensi
4. Riwayat DM
5. Riwayat sakit jantung
6. Riwayat sakit ginjal
7. Riwayat transfusi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok
2. Riwayat minum jamu
3. Riwayat minum obat-obatan
4. Riwayat olahraga teratur

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

6. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga


1. Riwayat sakit dengan keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat sakit kuning
: disangkal
3. Riwayat tekanan darah tinggi
: disangkal
4. Riwayat sakit gula
: disangkal
5. Riwayat sakit jantung
: disangkal
7. Riwayat Gizi
Sebelum sakit, pasien makan 2-3 kali sehari dengan nasi, sayur, tahu,
dan tempe. Pasien jarang mengkonsumsi telur, ikan, daging dan buahbuahan.
8. Anamnesis Sistem
1. Keluhan utama

: perut membesar

2. Kulit

: pucat (-), kuning (-), kering (-), kebiruan(-),


gatal (-), bercak kuning (-), luka (-), bintikbintik perdarahan pada kulit (-).

3. Kepala

: pusing (-), nggliyer (-), kepala terasa berat


(-), perasaan berputarputar (-), rambut
mudah rontok (-), atrofi m. temporalis (-).

4. Mata

: mata berkunang kunang (-), pandangan


kabur (-) Gatal (-), mata kuning (-), mata
merah (-), kelopak mata bengkak (-)

5.

Hidung

: tersumbat (-), keluar darah (-), keluar


lendir atau air berlebihan (-), gatal (-).

6. Telinga

: telinga berdenging (-), pendengaran


berkurang keluar cairan atau darah (-)

7. Mulut

: bibir kering (-), gusi mudah berdarah (-),


sariawan berulang (-), gigi tanggal (-),
sulit berbicara (-).

8. Tenggorokan

: rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk


menelan(-), sakit tenggorokan (-), suara
serak (-).

9. Sistem respirasi

: sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-), darah


(-), nyeri dada (-).

10. Sistem kardiovaskuler

: nyeri dada (-), terasa ada yang menekan


(-), sering pingsan (-), berdebar-debar
(-), keringat dingin (-), ulu hati terasa
panas (-), denyut jantung meningkat (-),
bangun malam karena sesak nafas (-).

11. Sistem gastrointestinal

:perut

membesar,

nafsu

makan

berkurang (+), mual (-), muntah (-), nyeri


ulu hati (-), perut sebah (-), cepat kenyang
(-), diare (-), sulit BAB (-), perut nyeri

setelah makan(-), BAB warna hitam


seperti petis (-).
12. Sistem musculoskeletal

: lemas (+), badan terasa keju-kemeng (-),


kaku sendi (-), nyeri sendi (-), bengkak
sendi (-), nyeri otot (-), kaku otot (-),
kejang (-).

13. Sistem genitouterina

: BAK berwarna seperti teh (+), nyeri


saat BAK (-), panas saat BAK (-), sering
buang air kecil (-), BAK darah (-), nanah
(-), BAK berkali-kali karena tidak
lampias (-) rasa pegal di pinggang, rasa
gatal pada saluran kencing (-), rasa gatal
pada alat kelamin (-).

14. Ekstremitas :
a. Atas

: luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-),


ujung jari terasa dingin (-/-), bengkak (-/-),
lemah (-/-), nyeri (-/-), lebam-lebam kulit
(/-).
: luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-),

b. Bawah

ujung jari terasa dingin (-/-), edema (+/+),


lemah (-/-), nyeri (-/-), lebam-lebam kulit
(/-).
I. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 6 September 2016
1. Keadaan Umum
Sakit sedang, kesadaran compos mentis, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital
Tensi

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup

RR

: 20 x/menit, pernafasan torakoabdominal

Suhu

: 36,8C per aksiler

3. Status Gizi
BB = 50 kg
TB = 150 cm
BMI = 50/(1,5)2= 22,2 kg/m2 (normal = 18,5-22,5 kg/m2)
Kesan : normoweight
4. Kulit
Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-), lebam kemerahan
(-).
5. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban (-), mudah rontok (-), luka
(-)
6. Wajah
Simetris, eritema (-)

7. Mata
Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3
mm, reflek cahaya (+/+) normal, edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).
8. Telinga
Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri
tekan tragus (-), gangguan fungsi pendengaran (-).
9. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),
fungsi pembau baik, foetor ex nasal (-)
10. Mulut
Sianosis (-), papil lidah atrofi (+), gusi berdarah (-), bibir kering (-),
stomatitis (-), pucat (-), lidah tifoid (-), luka pada sudut bibir (-).

11. Leher
JVP tidak meningkat, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-), leher kaku (-), distensi vena leher (-)
12. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), spider nevi (-),
pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar
getah bening aksilla (-), rambut ketiak rontok (-), ginecomastia (-).
Jantung :
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak kuat angkat, thrill (-)

Perkusi

kiri atas
: SIC II linea parasternalis sinistra
kiri bawah
: SIC V 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
kanan atas
: SIC II linea sternalis dextra
kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
pinggang jantung : SIC II-III lateral linea parasternalis sinistra

konfigurasi jantung kesan tidak melebar


Auskultasi : HR 100x/menit, bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-), gallop (-)
Pulmo :
Depan
Inspeksi :
Statis

: normochest, simetris kanan-kiri, sela iga tak melebar,


retraksi (-), sela iga tidak mendatar

Dinamis

: simetris, pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tak


melebar, retraksi (-),

Palpasi :
Statis

: simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak ada


yang tertinggal

Dinamis

: pengembangan paru simetris, tidak ada yang tertinggal,


fremitus raba kanan = kiri

Perkusi :
Kanan

: sonor hingga SIC III, batas paru hepar redup relatif di

SIC
VI LMCD, batas paru hepar redup absolut di SIC VII
LMCD
Kiri

: sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC VI LMCS.

Auskultasi :
Kanan

: suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing


(-), ronki basah kasar (-), ronki basah halus (-), murmur
(+)

Kiri

: suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing


(-), ronki basah kasar (-), ronki basah halus (-)

Belakang
Inspeksi :
Statis

: punggung kanan kiri simetris

Dinamis

: pengembangan dada simetris

Palpasi :
Statis

: punggung kanan dan kiri simetris

Dinamis

: pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi :
Kanan

: sonor, mulai redup pada batas paru bawah V Th X

Kiri

: sonor, mulai redup pada batas paru bawah V Th XI

Peranjakan diafragma 5 cm kanan sama dengan kiri.


13. Punggung
kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra (-/-)
14. Abdomen
Inspeksi

: dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,


distended (-)

Auskultasi

: peristaltik (+) normal, bruit hepar (-), bising


epigastrium (-)

Perkusi

: tympani, pekak sisi (+), pekak alih (+)

Palpasi

: shifting dullnes (+), hepar dan lien sulit diraba, ,


nyeri tekan (-)

15. Genitourinaria
Ulkus (-), secret (-), tanda-tanda radang (-)
16. Kelenjar getah bening inguinal
Tidak membesar
17. Ekstremitas
Akral dingin

Edema

Palmar eritema

Sianosis

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Hematologi Rutin

Hb
HCT
AL
AT
Gol.darah

September

2016

11

22

September

Septemb Rujukan

2016

er 2016

8,7 g/dl

8,3 g/dl

27 %
7.600/ul

42%
6000

250.000/ul

219.000

7500/ul
218.000

13,5 17,5
g/dl
35 45%
500010.000 /ul
150.000
400.000/ul

Hitung Jenis
Basofil

0-3

10

Eosionofil

1-3

Netrofil Batang

2-6

Netrofil Segmen

69

85

75

50-70

Limfosit

23

11

20-40

Monosit

Kimia Klinik
GDS

91 mg/d
16 U/l

80 140
L: <37 U/l

SGOT

SGPT

P: <31 U/l
13 U/l

L: <41 U/l
P: <31 U/l
257

Trigliserida
Protein Total
Kolesterol Total

2-8

4,1 g/dl
191 mg/dl

4,0 g/dl

mg/dl
5,28 g/dl
294
mg/dl

Kolesterol HDL

29 mg/dl
213

Kolesterol LDL
1,4 g/dl

1,1

mg/dl
1,00 g/dl

< 200 mg/dl


6,7 8,7 g/dl
<200 mg/dl
L=>50mg/dl
P=>60mg/dl
< 130 mg/dl

Cek
Albumin

ulang

3,8-5,1 g/dl

albumin
Globulin
Ureum

Kreatinin

2,0
5,9
2,5 mg/dl

0,42 g/dl
4,28 g/dl
mg/dL

mg/dL

1,5-3,0 g/dl
20-40 mg/dl
L : 0,9-1,3
mg/dl
P : 0,6-1,1
mg/dl

Elektrolit
Na

135

135-155

11

mmol/dl
3,20

mmol/dl
3,6-6,5

mmol/dl

mmol/dl
95-108

Cl
Serologi
HEPATITITS
HbsAg
Anti-HCV (elisa)

mmol/dl
Negatif
Negatif

Non reaktif
Non reaktif

B. Pemeriksaan Laboratorium Urin tanggal 22 September 2016


Pemeriksaan
Makroskopis
Warna
Kejernihan
Kimia urin
Berat jenis
Ph
Nitrit
Protein
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Sedimen
Eritrosit
Leukosit
Epitel
Silinder
Kristal

2.6 Diagnosis Banding

Hasil

Satuan

Rujukan

mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl

1,003 1,030
4,5 8,0
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif (+)
Negatif

Kuning
Agak keruh
1.010
8,0
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
10-15
2-3
+
Triple
phosphat

<3 /LPB
<5 /LPB

12

1. Sindroma Nefrotik + Efusi Pleura Dextra


2. Glomerulonefritis Akut + Efusi Pleura Dextra
2.7 Diagnosa Kerja
SSindroma nefrotik + efusi pleura dextra
2.8 Penatalaksanaan
Non farmakologis :
Istirahat
Diet tinggi protein
Farmakologis :
O2 3-5 liter / menit
IVFD RL gtt XV/menit
Inj Ceftriaxone 2x1
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj prosogen 1x1 amp
Obat oral :
Spironolakton 2x100 mg
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Simvastatin 1x20mg
Prednisolon (4-3-2)
Captapril 1x6,25 mg
Vip albumin 3x1 tab
KSR 2x1
Ambroxol syr 3x1

13

2.9 Rencana Pemeriksaan:

USG Abdomenl

Foto Rontgen Thorax

Kontrol Balance Cairan

2.10 Prognosis:
Quo ad vitam

: Dubia ad malam

Quo ad functionam

: Dubia ad Malam

Quo ad sanationam

: Dubia ad Malam

2.11 Follow Up
Follow Up
Tanggal 24 September 2016
S

Sesak nafas
KU/
Tampak

sakit N

64 kali/menit

Sense

sedang

TD
T
Mata :

/ compos mentis
120/80 mmHg
RR
19 kali/menit
0
37,1 C
BB/LP 46 kg/85 cm
Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-

Leher:
Paru-paru:

Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O


I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)
P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra

Abdomen:

A: HR x/ menit, murmur (+), gallop (-)


I : cembung, venektasi (+)
P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)

Extremitas:

A: bising usus (+) normal


Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,
Eritema palmaris (+)
14

Assessment

Edema generalisata dengan asites suspect sindroma

Planning

nefrotik + efusi pleura masif


Istirahat
Diet tinggi protein
IVFD RL gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj. Ceftriaxone 3x1
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
Spironolakton 2x100mg
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
Antasid syr 3x1

Rencana

VIP Albumin 3x1


FotoThorax, Cek ulang albumin

Pemeriksaan

Tanggal 25 September 2016


S
O

Sakit perut
Sense
compos mentis
TD
T
Mata :
Leher:

74 kali/menit

100/70 mmHg
RR
20 kali/menit
0
36,4 C
BB/LP 45 kg/84 cm
Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik +/+
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O

15

Paru-paru:

I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)


P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra

Abdomen:

A: HR 74x/ menit, murmur (+), gallop (-)


I : cembung, venektasi (+)
P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)

Extremitas:

A: bising usus (+) normal


Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,

Assessment

Eritema palmaris (+)


Edema generalisata dengan asites suspect sindroma

Planning

nefrotik + efusi pleura masif


Istirahat
Diet tinggi protein
IVFD RL gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj. Ceftriaxone 3x1
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
Spironolakton 2x100mg
Methioson 3x1 tab
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
VIP Albumin 3x1

16

Rencana

USG

Abdomen,

Foto

Pemeriksaan

endoskopi, biopsi hati

Thorax,

Pemeriksaan

urine,

17

Tanggal 26 September 2016


S
O

Os mengeluh masih sesak napas


Sense
compos mentis
N
TD
T
Mata :

74 kali/menit

110/80mmHg
RR
20 kali/menit
36,40C
BB/LP 45 kg/83 cm
Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik +/+

Leher:
Paru-paru:

Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O


I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)
P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra

Abdomen:

A: HR 74x/ menit, murmur (-), gallop (-)


I : cembung, venektasi (+)
P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba,
lien teraba schuffner 2, nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)

Extremitas:

A: bising usus (+) normal


Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,

Assessment

Eritema palmaris (+)


Edema generalisata dengan asites suspect sindroma

Planning

nefrotik + efusi pleura masif


Istirahat
Diet tinggi protein
IVFD RL gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj. Ceftriaxone 3x1
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
Spironolakton 3x100mg

18

Methioson 3x1 tab


Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
VIP Albumin 3x1
KSR 2X1
USG Abdomen, Foto Thorax

Rencana
Pemeriksaan

Tanggal 27 September 2016


S
O

Sakit perut
Sense
compos mentis
TD
T
Mata :

72 kali/menit

120/70 mmHg
RR
22 kali/menit
0
36,2 C
BB/LP 45 kg/83 cm
Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik +/+

Leher:
Paru-paru:

Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O


I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)
P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra

Abdomen:

A: HR 72x/ menit, murmur (-), gallop (-)


I : cembung, venektasi (+)
P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba,
lien teraba schuffner 2, nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)

Extremitas:

A: bising usus (+) normal


Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,

Pemeriksaan

Eritema palmaris (+)


USG abdomen: Hepar: ukuran tak membesar, parenkim

Penunjang

homogen,

liver

runcing,

tak

tampak
19

nodu/massa/kalsifikasi. Tak tampak pelebaran duktus


biliaris. Visika felea : ukuran normal, dinding tak menebal,
tak tampak massa/batu/polip. Pankreas : ukuran normal,
parenkim homogen, tak tampak massa.kalsifikasi. Ginjal
kanan kiri : ukuran normal, ekogenesitas korteks
meningkat, batas kortimedular tak jelas, tak tampak
pelebaran PCS, batu/massa. Vesika urinaria : dinding
regular, tak tampak batu/massa. Uterus : ukuran tak
membesar, tak tampak masa. Asites masif
Kesan :
Ascites masif
Assessment

Edema generalisata dengan asites suspect sindroma

Planning

nefrotik + efusi pleura masif


Istirahat
Diet tinggi protein
IVFD RL gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj. Ceftriaxone 3x1
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
Spironolakton 3x100mg
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
VIP Albumin 3x1

Rencana

KSR 2X1
Rencana foto thorax, rencana wsd

Pemeriksaan
Tanggal 28 September 2016
S

Nyeri perut berkurang


20

Sense

compos mentis

TD
T
Mata :

110/70 mmHg
RR
20 kali/menit
0
36 C
BB/LP 56 kg/80 cm
Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik +/+

Leher:
Paru-paru:

86 kali/menit

Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O


I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)
P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra

Abdomen:

A: HR 86 x/ menit, murmur (+), gallop (-)


I : cembung, venektasi (-)
P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, , nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)

Extremitas:

A: bising usus (+) normal


Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,

Pemeriksaan

Eritema palmaris (+)


Pemeriksaan Rongen foto thorax : gambaran masif di

Penunjang

hemithorax dextra.
Diagnosa : efusi pleura dextra dengan atelaktasis

Assessment

kemungkinan masa paru dextra belum dapat disingkirkan.


Edema generalisata dengan asites suspect sindroma

Planning

nefrotik + efusi pleura masif


Istirahat
Diet tinggi protein
IVFD RL gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj. Ceftriaxone 3x1
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
21

Spironolakton 3x100mg
Methioson 3x1 tab
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
VIP Albumin 3x1
KSR 2X1
Rencana

Inj. Furosemid
Recana konsul bedah pemasangan WSD, cek trigliserida,

Pemeriksaan

kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL

Tanggal 29 September 2016


S
O

Nyeri perut
Sense
compos mentis
TD
T
Mata :
Leher:
Paru-paru:

84 kali/menit

110/70 mmHg
RR
20 kali/menit
0
36,4 C
BB/LP 55 kg/79 cm
Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik +/+
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O
I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)
P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra

Abdomen:

A: HR 84 x/ menit, murmur (-), gallop (-)


I : cembung, venektasi (-)
P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)
A: bising usus (+) normal

22

Extremitas:

Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,

Pemeriksaan

Eritema palmaris (+)


Hasil pemeriksaan laboratorium :

penunjang

Trigliserida : 257 mg/dl


Kolesterol total : 294 mg/dl
Kolesterol HDL : 29 mg/dl

Assessment

Kolesterol LDL : 213 mg/dl


Edema generalisata dengan asites + efusi pleura masif

Rencana

suspect sindroma nefrotik.


Cek elektrolit (Na, K) , cek Hb, rencana echo, wsd

Pemeriksaan
Planning

Istirahat
Diet hati I
IVFD asering gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
Spironolakton 3x100mg
Methioson 3x1 tab
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
VIP Albumin 3x1

Rencana

KSR 2X1
Rencana echo

Pemeriksaan

Tanggal 30 September 2016


S
O

Nyeri perut
Sense
compos mentis

TD
T

RR
20 kali/menit
BB/LP 54 kg/78 cm

120/70 mmHg
36,70C

80 kali/menit

23

Mata :

Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik +/+

Leher:
Paru-paru:

Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O


I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)
P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra

Abdomen:

A: HR 80 x/ menit, murmur (-), gallop (-)


I : cembung, venektasi (-)
P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba,
lien teraba schuffner 2, nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)

Extremitas:

A: bising usus (+) normal


Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,

Pemeriksaan

Eritema palmaris (+)


Hasil laboratorium :

penunjang

Hb : 8,3 g/dl
Leukosit : 7500/ul
Trombosit : 218.000/ul
Hitung jenis : 0/2/2/75/11/4
Na : 135 mmol/dl

Assessment

K : 3,20 mmol/dl
Edema generalisata dengan asites + efusi pleura masif

Planning

suspect sindroma nefrotik.


Istirahat
Diet hati I
IVFD RL gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
24

Spironolakton 3x100mg
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
VIP Albumin 3x1
KSR 2X1
Prednisolon (4-3-2)
Captopril 1x6,25 mg
Ambroxol syr 3x1
Simvastatin 1x20 mg
Inj neurobion drip dengan RL

Rencana

Rencana echo, cek albumin, globulin, protein total, ureum,

Pemeriksaan

creatinin.

1 Oktober 2016
S
O

Os mengeluh sesak napas


Sense
compos mentis
TD
T
Mata :
Leher:
Paru-paru:

80 kali/menit

120/80 mmHg
RR
20 kali/menit
0
36,7 C
BB/LP 54 kg/78 cm
Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik +/+
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O
I: statis, dinamis; simetris kanan = kiri, spider naevi (-)
P: stem fremitus kanan = kiri
P: sonor di kedua lapangan paru

Jantung :

A: vesikuler (+) N, ronki (-), wheezing (-)


I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas atas ICS 2, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra
A: HR 80 x/ menit, murmur (-), gallop (-)

25

Abdomen:

I : cembung, venektasi (-)


P: tegang, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien
tidak teraba, nyeri tekan suprapubik (-),
P: timpani, shifting dulness (+)

Extremitas:

A: bising usus (+) normal


Edema ekstremitas atas -/-, Edema ekstremitas bawah +/+,

Pemeriksaan

Hasil laboratorium :

penunjang

Protein total :
Albumin :
Globulin :
Ureum :
Creatinin :

Assessment

Edema generalisata dengan asites suspect sindroma

Planning

nefrotik + efusi pleura masif


Istirahat
Diet tinggi protein
IVFD asering gtt XV/menit
Inj Furosemide 3x1 amp
Inj Prosogen 1x1
Obat oral :
Spironolakton 3x100mg
Methioson 3x1 tab
Curcuma 3x1 tab
Neurodex 1x1 tab
Omeprazol 2x1 tab
VIP Albumin 3x1
KSR 2X1
Prednisolon (4-3-2)
Captopril 1x6,25 mg
Ambroxol syr 3x1
26

Simvastatin 1x20 mg
Inj neurobion drip dengan RL
Rencana

endoskopi, biopsi hati, benzidine test, pemeriksaan kadar

Pemeriksaan

kalium darah

Follow Up Balance Cairan


Tanggal/ Intake
Output
Makan Minum Infus Total BAB BAK/drain IWL Total Selisih
Jam
24 Sept
25 Sept
26 Sept
27 Sept
28 Sept
29 Sept
30 Sept
1 Okt
3 Okt

100
100
150
150
100
100
150
100
100

720
500
500
480
600
720
660
450
720

200
-

1020
600
650
630
700
820
810
550
820

100
100
-

600
400
2000
600
600
1100
1100/350
300/400
300/400

750
720
705
675
660
630
615
600
600

1350
1150
2805
1275
1360
1730
2065
1300
1300

-330
-550
-2155
-645
-660
-910
-1255
-750
-480

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Ginjal

27

3.1.1 Anatomi Ginjal


Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian
umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm
dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang
dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus
kontortus proksimalis dan distalis dan dukturs koletivus, serta di lapisan dalam,
medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa)
Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal.
Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama
yang keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai.
Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan
medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata,
dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yagn terspesialisasi
dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus
(mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus
jukstaglomeruler yagn mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi
menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole
eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris)
lebih besar dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan
darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan tubulus
terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi
maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada
nefron baru yagn dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif
dapat menyebabkan insufisiensi ginjal.
Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai
mekanisme penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium
yagn mempunyai sitoplasma sangat tipis yagn berisi banyak lubang (fenestrasi).
Membrana basalis glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan antara
endotel dan sel mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain.

28

Membran mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya padatelektron, (2) lamina rara interna, yagn terletak di antara lamina densa dan sel-sel
endotelian ; dan (3) lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa
dan sel-sel epitel. Sel epitel viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan
tonjolan kaki sitplasma, yagn melekat pada lamina rara eksternal. Di antara
tonjolan kaki ada ruangan atau celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan
matriks) teletak di antara kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana
basalis dan menbentuk bagian tengah dinding kapiler. Mesangium dapat
berperan sebagai struktur pendukung pada kepiler glomerulus dan mungkin
memainkan peran dalam pengaturan aliran darah glomerulus, filtrasi dan
pembangunan makromolekul (seperti kompleks imun) dari glomerulius, melalui
fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan melalui saluran interseluler ke
daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman, yagn mengelilingi glomerulus,
terdiri dari (1) membrana basalis, yagn merupakan kelanjutan dari membrana
basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimalis, dan (2) sel-sel epitel
parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera.

3.1.2 FISIOLOGI DASAR GINJAL


Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikotnrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus.
Fungsi Utama Ginjal
1.

Fungsi Ekskresi
29

a. Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 m osmol dengna


mengubah-ubah ekresi air.
b.

Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengna mengeluarkan kelebihan


H+ dan membentuk kembali HCO3.

c. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein,


terutama urea, asam urat dan kreatinin.
2.

Fungsi Non-ekskresi
a. Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
b. Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel
darah merah oleh sumsum tulang.
c. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
d. Degenerasi insulin
e. Menghasilkan prostaglandin

3.2 Sindrom Nefrotik


3.2.1 Definisi
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan merupakan
komplex gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, dengan ciriciri sebagai berikut :
1.

edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.

30

2.

Proteinuria, termasuk albuminuria ; sebagai batas biasanya ialah bila kadar


protein plasma total kurang dari 6 gram per 100 ml dan fraksi albumin kurang
dari 3 gram per 100 ml.

3.

Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolemi ; sebagai batas biasanya ialah


bila kadar cholesterol plasma total lebih dari 300 miligram per 100 ml.

4.

Lipiduria ; dapat berupa lemak bebas, sel epitel bulat yang mengandung
lemak (ovel fat bodies), torak lemak.
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada
yang berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yagn masif serta
hipoalbuminemi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis sindrom nefrotik.

3.2.2 Epidemiologi
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan
pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. (4)
Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik
hampir 20 per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada
populasi tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik
kongenital dapat terjadi pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran. Berdasarkan
ISKDC 84.5% dari semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai
gambaran

histologik

sindrom

nefrotik

kelainan

minimal,

9.5%

glomerulosklerosis fokal, 2.5% mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau


penyebab lainnya. (4)
3.2.3 Etiologi
Sindrom nefrotik disebabkan oleh banyak varian penyakit, seperti
kerusakan ginjal, terutama pada MBG. Secara langsung, dapat menyebabkan
ekskresi protein abnormal dalam urin. Penyebab paling sering pada anak-anak
adalah minimal lesi, dan glomerulonefritis membrane pada orang dewasa. (7)

31

Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap


sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen
antibody.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :

(8)

1. Sindrom nefrotik bawaan


Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
2. Sindroma nefrotik sekunder
Dapat disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematous diseminata, purpura
anafilaktoid
c. Glumerulonefritis akut atau glumerulonefritis kronis dan thrombosis
vena renalis
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, air raksa
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik
3. Sindroma nefrotik idiopatik
Berdasarkan kelainan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal
dengan mikroskop biasa dan mikroskop electron. Churg membagi dalam 4
golongan yaitu : (8)
a. Kelainan minimal
b. Nefropati membranosa
c. Glumerulonefritis proliferatif
d. Glumerulosklerosis fokal segmental
Klasifikasi lain yaitu : (1)
1. Glomerulonefritis pimer
a. Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)
b. Glomerulosklerosis fokal (GSF)
c. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
e. Glomerulonefritis proliferatif lain
2. Glomerulonferitis sekunder akibat infeksi :
32

a.
b.
c.
d.

HIV
Hepatitis virus B dan C
Sifilis
Malaria

e. Skistosomiasis
f. Tuberkulosis
g. Lepra

3. Keganasan
a. Adenokarsinoma paru
b. Limfoma Hodgkin
c. Mieloma multipel
d. Karsinoma ginjal
4. Penyakit jaringan penghubung
a.

Lupus eritematosus sistemik

b.

Artritits reumatoid

5. Efek obat dan toksin


a.

NSAID

b.

Preparat emas

c.

Penisilinamin

d.

Probenesid

e.

Air raksa

f.

Kaptopril

g.

Heroin

33

6. Lain-lain
1)

Diabetes melitus

2)

Amiloidosis

3)

Pre-eklamsia

4)

Refluks vesikoureter

5)

Sengatan lebah
GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering.

Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis


fokal (GSF), GN membranosa(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP)
merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab
sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN
pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya
obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit sistemik, misalnya pada
SLE dan diabetes melitus. (3)
3.2.4 PATOFISIOLOGI
Kelainan patogenetik yang mendasari SN adalah proteinuria, akibat dari
kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus, namun penyebab
terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Dalam keadaan normal,
membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik
(charge barrier). Pada sindrom nefrotik, kedua mekanisme penghalang
tersebut terganggu. Hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus.(1, 3, 8)
Proteinuria sendiri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul-molekul kecil seperti

albumin, sedangkan pada proteinuria non-selektif yang lolos keluar


merupakan protein dengan molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas
proteinuria sendiri ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal
glomerulus. (1)
Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan membrana basalis
glomerulus, maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk sederhana
untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah
index selectivity of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan mengukur
rasio antara clearance IgG dan clearance trasnferin. (4)
ISP = Bila ISP <0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria)
yang secara klinik menunjukkan : (4)
1. Kerusakan glomerulus ringan
2. Respon terhadap kortikosteroid baik
Bila ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria) yang
secara klinik menunjukkan : (4)
1. Kerusakan glomerulus berat
2. Tidak respon terhadap kortikosteroid
1. Hipoalbumin
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi melalui kehilangan
yang banyak melalui urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang
difiltrasi, di tubulus proksimal. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasama, yang memungkinkan
transudasi

cairan

dari

ruang

intravaskuler

ke

ruang

interstitial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan


tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan sistem renin angiotensin
aldosteron, yang merangsang absorbsi natrium di tubulus
distal. Rasio sintesis albumin di hati meningkat untuk mengatasi hal ini
namun tidak mencapai level yang cukup untuk mencegah hipoalbuminemia.
Pada status SN, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gram
per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Umumnya edema
muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl. (1, 8)

Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus


sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan
hipoproteine-mia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin
hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. (4)
2. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke
jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia, dan ginjal
melakukan kompensasi dengan merangsang sekresi renin yang memicu
aktivitas system renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin
serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
retensi

cairan

selanjutnya

mengakibatkan

pengenceran

plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada
akhirny amempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial sehingga
edema akan semakin berlanjut. (3, 4, 6)
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium
sehingga terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan
cairan ekstrseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan
edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien
SN.(6)

3. Hiperlipidemia

Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml.


akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya
kolesterol saja yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak
meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, low density
lipoprotein (LDL), very low density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida. (4)
Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis
lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan
katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat
albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel
hepar juga akan membuat VLDL. (4)
Dalam keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein
lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu
menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya
kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.
(4)

Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan


ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. (3)
4. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S,
C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V,
VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit,
perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX,
XI). (2)

5. Lipiduri

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permeabel. (2)
6. Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan

kerentanan

terhadap

infeksi

bakteri

berkapsul

seperti

Streptococcus pneumonia,
Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang
diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis. (2)
3.2.5 Gambaran Klinis
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, edema umumnya
terlihat pada kedua kelopak mata, yang nampak terutama waktu bangun tidur.
Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat atau dapat
hilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema preorbital sering
disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi, lambat laun edema menjadi
menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit
yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan lebih lanjut lagi dapat
timbul ascites, pembengkakan skrotum atau labia dan bahkan efusi pleura. (4, 8)
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit
SN, diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif dan
keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun diduga
penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan
pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien nyeri di perut
yang kadang-kadang berat dapat terjadi, kemungkinan adanya abdomen akut
atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak
diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau

pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada kuadran kanan atas
abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema.
Pada keadaan ascites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolap ani. (8)
Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau
tanpa efusi pleura maka pernafasan sering tergangguu, bahkan kadang-kadang
menjadi gawat. (8)
Tanda lain dari SN adalah hilangnya massa otot rangka, hipertensi,
kuku memperlihatkan pita-pita putih melintang (Muerchkes Band) akibat
hipoalbuminemia. (4)
Gangguan fungsi psikososial dapat ditemukan pada pasien SN, yang
merupakan stres non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan
keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respon emosional
tidak saja pada orangtua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi penjelasan untuk mengatasinya.
Para dokter yang

sadar dapat berusaha mendorong

meningkatkan

perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha


menolong mencegah dan mengurangi komplikasi. (8)
3.2.6 Diagnosis
1) Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti
bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh,
peningkatan berat badan, dan rasa penuh di perut hingga dapat menyebabkan
sesak. Tanyakan juga mengenai riwayat buang air kecil, dalam 24 jam sudah
berapa yang keluar, adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan
seperti urin berwarna kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang
mengarah ke penyebab penyakit ginjal seperti hipertensi. (1, 8)

2) Pemeriksaan fisik

Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai


atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang
ditemukan., tanda-tanda hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema. (1, 8)
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis antara lain
hitung darah lengkap, kimia darah, penentuan kreatinin dan protein urin. Pada
urinalisis ditemukan masif proteinuria (3+ sampai 4+), glikosuria, sel-sel
granular, sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin normal namun
bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) bisa dicurigai adanya
lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal). Dari makroskopis, urin
tampak berbuih. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi (<3
g/dl), hiperkolesterolemia lebih dari 200 mg/dl. (1-3, 8)
Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien
dianggap menderita sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein
pada tingkat lebih atau setara dengan 50 mg/kg dalam 24 jam juga dianggap
mengalami sindrom nefrotik.

Pemeriksaan tambahan seperti venografi

diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi


akibat hiperkoagula-bilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal. (1, 2)
3.2.7 Penatalaksanaan
Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di rumah sakit, dengan tujuan
untuk

mempercepat

pemeriksaan

dan

evaluasi

pengaturan

diit,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.


Pengobatan SN terdiri dari terapi umum pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. (3, 8)
Terapi non spesifik:

a. Pengobatan untuk edema


1) Diet
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang
dianggap kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein 0,8 g/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah
menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBBideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24 jam.(3, 8)
Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari.
Menggu-nakan garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan
yang diasinkan, hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah
kolesterol < 600 mg/hari. Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita
rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari. (3, 8)
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi
edema dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1
kg/hari.Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema
tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous. (4)
2) Diuretik
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium)
2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium). Bila pemberian
diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan oleh
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin 1 gram/dl), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. (8)
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma
sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk

mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan,


albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan
kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan. Perlu diperhatikan
bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam
darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gr/l darah, maka penggunaan
diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik.
Volume dan warna urin serta muntahan bila ada, harus dipantau secara
berkala. (3, 8)
3) Pengobatan untuk proteinuria
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk
mengurangi

proteinuri

digunakan

terapi

simptomatik.

Angiotensin

Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) paling sering digunakan, cara kerjanya


menghambat vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal kaptopril atau
enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI
berfungsi untuk menurun-kan pembuangan protein dalam air kemih dan
menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang
memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat
meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita
dengan gangguan fungsi ginjal. (2-4)
Bisa juga diberikan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal
indometasin 3x50mg. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada
pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk
menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi
ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan
mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi
kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan
progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan
bila klirens kreatinin < 50 ml/menit. (2)

Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama


dengan ACEI, dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi
dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan,
adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI
dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada
glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. (2, 4)
4) Koreksi hipoproteinemia
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain
sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi
protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi kalori/karbohidrat
(untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan protein cukup
(0,8-1mg/ kgBB/hr). (4)
5) Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada
populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar
lipid pada penderita SN. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan
penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase
yang efektif menu-runkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan
paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat,
klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit
menurunkan kadar kolesterol. (2, 4)
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas
yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol
menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya
minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan
kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil.

(2)

Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan

kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada
absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN.
(2)

6) Hiperkoagulabilitas
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian antikoagulasi jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah
terjadinya resiko thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli
paru maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti
warfarin. (4)
7) Pengobatan infeksi
Antibiotik yang tepat hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi
sekunder. Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan
antibiotik profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai
edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik
profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tandatanda infeksi segera diberikan antibiotik. (4, 8)
8) Pengobatan hipertensi
Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non Dihydropiridin
Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit
garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi. (4)

Terapi Spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan
gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan
pemberian imunosupresif. (4)

Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan


yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain
menemukan bahwa pada lomerulosklerosis fokal segmental sampai 40%
pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap.
Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati
membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik
untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka
tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada
nefropati jenis ini.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian
dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi
dapat

diulangi.

Regimen

lain

pada

orang

dewasa

adalah

prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti


1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan
mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.(2)
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5
g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis
kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan hasil lab
tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan
dengan kortikosteroid. (2)
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN
nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati
membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu
diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di
antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus.
(2)

1) Pengobatan Relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN
yang mengalami proteinuria 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum
dimulai pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan
bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+
disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps. (8)
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan : (8)
a. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
b. Relaps jarang : jumlah relaps <2
c. Relaps sering : jumlah relaps 2 kali (40-50%)
2) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap
0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu
antara 0,1-0,5 mg/ kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan
dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi
relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.
(8)

Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami


relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps
>3

kali

dalam

setahun

(frequently

relapsing)

bisa

diberikan

cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan


cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa
infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi. Chlorambucil digunakan
dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr
selama 8-12 minggu. (4)

Pada

penderita

yang

mengalami

relaps

setelah

pemberian

cyclophosphamide, diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5


mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar
CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian
diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik,
perlu memonitor fungsi ginjal. (4)
3) Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan
biopsi ginjal untuk

melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena

gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan


dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal
menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan siklosporin,
metilprednisolon, dan obat imunosupresif lainnya.

(8)

3.2.8 Komplikasi
1) Hiperkoagulasi
Pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan
antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S,
peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet.
Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan emboli
spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering terjadi
pada pasien SN. (4)
Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama
pada Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan
thrombosis vena renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen,
gross hematuria, dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien

asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga merupakan komplikasi yang


potensial terjadi akibat hiperkoagulasi. (4)
2) Infeksi sekunder
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN
terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, gangguan sistem komplemen.
Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN
oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan
bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam
sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini
dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T
agar dapat berfungsi dengan normal, infeksi yang paling sering terutama
infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,TBC. (3, 4,6)

Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran
kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan
biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. (3)
3) Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin
disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan
pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin
sesudah pemberian beban asam.(3)
4) Gagal ginjal akut
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut
melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering
menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadi edema
intrarenal

yang

menyebabkan

kompresi

pada

tubular

ginjal

yang

menyebabkan penurunan LFG. Sindrom nefrotik dapat progresi dan


berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. (3, 4)
5) Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun
resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein
pengangkut Fe yaitu transferin serum yangmenurun akibat proteinuria. (3)
6) Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptokokus pneumonia, E.coli. (3)
7) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin
pengikat tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan
laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. (3)
8) Hipokalsemia
Disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan
kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di
samping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi
normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di
GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi
kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme
vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang
ditemukan. (3)
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium dan
tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar
25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar
vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN
umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak
terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid

yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui urin dan penurunan


kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi
tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis
tidak menimbulkan gangguan. (9)
9) Hiperlipidemia dan Lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal
sampai

sedikit

meninggi.

Peningkatan

kadar

kolesterol

disebabkan

meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut


kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL
(very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL
(intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL
(high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. (9)

10) Malnutrisi.
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama
apabila disertai proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi
usus yang menurun, dan proses katabolisme yang tinggi. Penurunan massa
otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka
dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar
10-20% dari massa tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.

(3,

4, 6)

11) Keseimbangan Nitrogen


Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan
nitrogen menjadi negatif. (9)
3.2.9

Prognosis
Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera

dapat mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompen-

sasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan
respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.(3)
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak
berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun
dengan kortikosteroid. Prognosis minimal lesion lebih baik daripada golongan
lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang
tergantung steroid.

(3)

Prognosis buruk pada glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN),


kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang
progresif dan pada sindrom nefrotik. (3)

BAB IV
ANALISA KASUS
Pada kasus ini Ny. J berusia 31 tahun datang ke RSUD Palembang BARI.
Berdasarkan anamnesa dengan pasien, dan setelah dilakukan pemeriksaan fisik,
didapatkan :
a. Keluhan utama berupa bengkak atau sembab
b. Lokasi lembab pada daerah kelopak mata (puffy face), perut dan tungkai
bawah.
c. Adanya hipertensi ringan /sedang
d. Adanya oliguria
Berdasarkan hal diatas diagnosa sementara yang dapat ditegakkan adalah
sindroma nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan diperoleh hasil :
a. Kadar serum albumin :
Pemeriksaan lab tanggal 2 September 2016 : 1,4 g/dl (hipoalbumin)

Pemeriksaan lab tanggal 11 September 2016 : 1,1 g/dl (hipoalbumin)


Pemeriksaan lab tanggal 22 September 2016 : 1,0 g/dl (hipoalbumin)
Pemeriksaan lab tangga 30 September 2016 l : 0,42 g/dl (hipoalbumin)
b. Kadar kolesterol darah : 294 mg/dl (hiperkolesterolemia)
c. Terdapat protein dalam urin (proteinuria 3+ atau protein total g/dl)
d. Terdapat eritrosit dalam urin 5-8/LPB (hematuria mikroskopik)
Hasil

pemeriksaan

laboratorium

ini mendukung

ditegakkannya

diagnosa sindroma nefrotik. Dan hal ini sesuai dengan definisi SN yaitu
keadaan

klinis

yang

terdiri

dari

edema

generalisata

(anasarka),

hipoalbuminemia, hiperlipidemia, hiperkolestrolemia, dan proteinuria.


Penyebab utama terjadinya Sindrom Nefrotik ini merupakan tipe
sekunder sesuai teori didapatkan ada riwayat infeksi sebelumnya. Pasien
mengeluh batuk berdahak, dan demam. Sebenarnya untuk lebih memastikan
tipe dari SN ini adalah dengan melakukan biopsi ginjal. Namun hal ini tidak
dilakukan karena tidak dijumpai hematuria makroskopik.
Sindrom nefrotik pada kasus ini didiagnosa banding dengan GNA
karena gejala klinis yang ditimbulkan sama yakni berupa edema. Pada pasien
ini ditemukan adanya hipertensi. Sesuai dengan teori di atas hipertensi lebih
sering terjadi pada GNA. Namun pada literatur lain dinyatakan bahwa
hipertensi ringan sedang sering ditemukan pada SN dan menjadi normotensi
bersamaan dengan peningkatan diuresis. Hal ini berbeda dengan hipertensi
pada GNA, dimana sering terjadi hipertensi berat sehingga memerlukan terapi
anti hipertensi.
Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosadengan
bedrest total, diet TKTPRG (tinggi kalori, tinggi protein dan rendah garam).
Sedangkan secara medikamentosa dengan pemberian diuretik berupa inj.
furosemid 2x1 sebagai diuretik untuk mengurangi edema. Inj neurobion 1x1
drip dengan RL, Terdapat derajat hipertensi ringan sedang diberikan captopril
1x6,25mg. Diberikan antibiotik cefriaxone, karena pada pasien ini tampak
edema anasarka. Diberikan curcuma 3x1, neurodex 1x1, spironolactone
3x100mg, VIP albumin 3x1, KSR 2x1, prednisolon (4-3-2), simvastatin

1x20mg, omeprazol 2x1. Ambroxol syr 3x1. Pasien dengan SN dianjurkan


untuk tidak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung garam serta
makanan yang berlemak. Serta lebih banyak memberikan makanan yang
mengandung protein seperti putih telur, tahu, dan tempe serta sayur dan buahbuahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai