Anda di halaman 1dari 12

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Gigitan ular (snake bite) ialah suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular baik

ular berbisa maupun tidak.1 Bisa ular adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa ular
merupakan hasil sekresi kelenjar mulut khusus yang menyerupai kelenjar saliva pada
hewan vertebrata, sehingga dapat dikatakan bisa ular adalah modifikasi dari saliva. 2
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau
kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. 1 Secara garis besar
ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok: Colubridae (Mangroce cat snake,
Boiga dendrophilia, dan lain-lain), Elapidae (King cobra, Blue coral snake, Sumatran
spitting cobra, dan lain-lain), dan Viperidae (Borneo green pit viper, Sumatran pit viper,
dan lain-lain).2,3
2.2

Epidemiologi
Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar 45.000 kasus,

namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus. Selama 3 tahun terakhir, the
American Association of Poison Control Centers melaporkan bahwa dari 6000 kasus
gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan gigitan ular berbisa. Kematian diperkirakan
terjadi pada 5 sampai 15 kasus dan biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjut
usia, dan pada kasus yang tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular. Pasien korban
gigitan ular berbisa 15% sampai 40% akan meninggalkan gejala sisa. Menurut catatan
medik RSCM, kejadian kasus gigitan ular berbisa selama 5 tahun terakhir (1998 2002)
sebanyak 37 pasien. 1,2,3
Pada umumnya korban gigitan ular adalah laki-laki dengan usia antara 17 sampai
tahun, seringkali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan aktifitas berkebun, atau sedang
menangkap bahkan bermain dengan ular. Waktu gigitan biasanya terjadi pada malam hari
dan gigitan lebih sering terjadi pada ekstremitas. Malik dkk pada tahun 1992 melakukan
penelitian terhadap korban gigitan ular, mendapatkan tempat gigitan pada tungkai atau
kaki (83,3%) dan lengan atau tangan (17,7%).1,2

2.3

Etiologi dan Faktor Resiko


Ular adalah binatang yang tidak menyerang tanpa provokasi. Dia lebih memilih

untuk menghindari manusia jika hal itu memungkinkan, bahkan kobra sekalipun. Ular
menyerang manusia karena mereka terpojok dan merasa terancam. Tindakan gigitan ular
adalah salah satu bentuk pertahanan mereka dari ancaman manusia. Kebanyakan gigitan
ular pada manusia, karena faktor ketidaksengajaan atau kebetulan. Sebagian besar korban
adalah orang-orang yang bekerja di lapangan,seperti petani sawah, atau di perkebunan
teh, kopi, atau buah-buahan. Biasanya mereka tidak menyadari akan keberadaan ular,
sehingga pada saat sedang melakukan aktivitas tanpa sadar tangan/kaki mereka berada
di jarak jangkau gigitan ular. Begitu juga dengan karyawan-karyawan yang bekerja di
pertambangan, serta di hutan. 1,2,3
2.4

Jenis Ular Dengan Bisa Beracun


Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa

dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik. 4
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau
kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular berbisa
kebanyakan termasuk dalam famili

Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang

dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi
(Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros),
dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia
biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki
taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai
(Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana),
dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). 5
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian
rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua

subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ
untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang
hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular
tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). 1,5

Gambar 2.1 Eastern Russells vipers (Daboia siamensis) (a) Specimen from Myanmar; (b)
Specimen from Thailand (c) Specimen from East Java, Indonesia; (d) Specimen from Flores,
Indonesia. 1

Ular dengan bisa dibagi menjadi dua kategori: (1) Kategori 1: Highest medical
importance: tingginya ular berbisa yang tersebar luas dan menyebabkan seringga kasus
snake-bite, dengan tingginya kasus morbidity, disability atau mortality; (2) Kategori 2 :
Secondary medical importance: tingginya ular berbisa yang dapat meningkatkan tingkat
morbidity, disability atau kematian, namun dengan data epidemiologi atau data klinis
yang jarang atau sedikitnya tingkat kejadian. 1
Tabel 2.1 Kategori ular berbisa di indonesia1

Beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk kepala, warna, pupil
dan kebiasaan. 2,3 Berikut tabel perbedaan gigitan ular berbisa dan tak berbisa, ialah:
Tabel 2.2 Perbedaan gigitan ular berbisa dan tak berbisa

Bentuk kepala
Gigi taring
Bekas gigitan

Ular Berbisa
Segitiga
2 gigi taring besar
2 luka utama karena gigi

Ular Tidak Berbisa


Segi empat panjang
Gigi kecil
Luka halus lengkung

Besar ular
Warna ular
Pupil ular
Ekor ular
Agresifitas

taring
Sedang
Bervariasi
Elips
Bentuk sisik tunggal
Mematuk 1 atau 2 kali

bekas gigitan
Sangat bervariasi
Tidak terlalu bervariasi
Bulat
Bersisik ganda
Mematuk berulang &
membelit sampai tidak
berdaya

(a) Bekas Gigitan Ular

(b) Ciri ular tidak berbisa dan ular berbisa


Gambar 2.2 Bekas gigitanan ular. (a) bekas gigitn ular berbisa dengan taring belakang, depan,
agak kesamping, (b) ciri ular berbisa dengan tidak berbisa.

Gigitan ular dapat diklasifikasikan sebagai berikut2:


Derajat
0
I

Venerasi
0
+/-

Tabel 2.3 Derajat venerasi gigitan ular.


Luka gigit
Nyeri
Udem/Eritema
+
+/<3 cm/12 jam
+
+
3-12 cm/12 jam

Tanda Sistemik
0
0

II

+++

>12-25 cm/12 jam

III

+++

> 25 cm/12 jam

IV

+++

+++

> ekstremitas

+
Neurotoksik,
Mual,
Pusing,
Syok
++
Syok
Petekia
Ekimosis
++
Gangguan faal
Ginjal
Koma
Perdarahan

Berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia


adalah jenis ular2:

Hematotoksik seperti: Trimeresurus albolaris (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma


(ular tanah). Aktifitas hemoragik pada ular vipiridae menyebabkan perdarahan

spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan).


Neurotoksik seperti: Bungarusfasciatus (ular welang), Naya spupatrix (ular sendok),

ular kobra dan ular laut.


Beberapa spesies viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik

2.5

sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.


Patofisiologi Bisa Ular
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah

bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa
ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur. Secara mikroskop elektron
dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan kerusakan
pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan kerusakan membran
plasma. Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut
masuk ke dalam jaringan tubuh. 6,7
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa
sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Komponen peptida bisa ular
dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban.

7,8

Bradikinin,

serotonin dan histamin adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim

yang terdapat pada bisa ular misalnya L-arginine esterase menyebabkan pelepasan
bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali
menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease
akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan
terjadi hidrolisis dari membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat meningkatkan
penyebaran racun dalam
mukopolisakarida.

tubuh melalui jaringan subkutan dengan merusak

Proteolytic

enzymes

(metalloproteinases,

endopeptidases

or

hydrolases) dan polypetide cytotoxins (cardiotoxins): meningkatkan permeabilitas


vascular dan menyebabkan oedema, blistering, bruising dan necrosis pada lokasi gigitan
ular. Amino acid esterase menyebabkan terjadi disseminated intravascular coagulation
(DIC). 9,10
Bisa dari ular beracun juga bersifat menggumpalkan dan menyebar dalam pembuluh
darah mengakibatkan disseminated intravascular coagulation (DIC), layuh (paralysis),
dan

turunnya

tekanan

pada

sistem

kardiovaskuler

(cardiovascular

depressio).

Penampakan yang lain ialah gangguan penghantaran (konduksi), trombositopenia, gagal


ginjal dan perdarahan di dalam tengkorak (intra kranial).7,8,11 Penyakit beku darah
(koagulopati), ditandai pembersihan darah (defibrinasi) yang berkaitan dengan jumlah
trombosit, dalam rentang waktu yang ada. Di samping itu racun dapat mengubah
protrombin menjadi trombin dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen.
Tekanan di sistem kardiovaskuler menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. 9
Nerotoksin menyebabkan gejala saraf setelah keracunan, gejala yang ditunjukkan antara
lain adanya layuh (paralisis)4-6 pernapasan oleh hambatan acetylcholine receptor di ujung
saraf motor pascasinaptik (postsynaptic motor nerve ending). Kemungkinan terjadi kejang
(konvulsi) disertai ada atau tidaknya keracunan otot (myotoxicity). 7,9 Postsynaptic ()
neurotoxins seperti as -bungarotoxin and cobrotoxin, terdiri atas 60-62 atau 66-74 amino
acids. Senyawa tersebut berikatan dengan acetylcholine receptors pada motor endplate.
Presynaptic () neurotoxins seperti -bungarotoxin, crotoxin, dan taipoxin, yang
mengandung 120-140 amino acids dan subunit phospholipase A. Produksi acetylcholine
di neuromuscular junctions nerve endings, akan merusak saraf pascasinap, dan
menghambat pengeluaran transmitter. 10,11
Bisa ular masuk ke dalam tubuh
Daya toksik menyebar melalui peredaran darah

Gang.neurologis

Gang. Kardiovaskuler
toksik masuk ke PD

Mengenai saraf yg
berhub dg pernafas

Gang. Pernafasan
Syok hipovolemik
Koagulopati hebat

Odem sal nafas

Hipotensi

Gagal nafas

2.6 Gambaran Klinis

Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan memberikan gejala local dan sistemik sebagai berikut2:
1. Gejala local : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit
24 jam)
2. Gejala sistemik/umum : Hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual,
nyeri kepala, hipersalivasi, muntah dan pandangan kabur.
3. Gejala khusus gigitan ular berbisa:
Hematotoksik : perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),
hemoptoe, hematuria, koagulasi intravascular diseminata (KID).
Neurotoksik : hipertonik, fasikulasi, peresis, paralisis pernafasan, ptosis,
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abnormal, kejang dan koma.
Kardiotoksik : hipotensi, henti jantung, koma
Sindrom kompartemen : edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis, pulselesness)
Myotoxiticty : hanya akan ditemui bila seseorang diserang atau digigit oleh ular
laut. Ular yang berada didaratan biasanya tidak ada yang menyebabkan
terjadinya myotoxicity berat. Tanda dan gejala adalah : nyeri otot, tenderness,
myoglobinuria,dan berpotensi untuk terjadinya gagal ginjal, hiperkalemia dan
cardiotoxicity.
Beberapa jenis ular dapat menghasilkan gambaran klinis yang spesifik, ialah:
Gigitan Elapidae (misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular
anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits) : 2
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3. Setelah digigit ular.
a. 15 menit, muncul gejala sistemik.
b. 10 jam, paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit

10

dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut. Kematian dapat
terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae/Crotalidae (ular: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo) : 2
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiidae (misalnya: ular laut): 2
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal
rusak, henti jantung.
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae (misalnya: ular tanah, ular hijau, ular bandotan
puspo) :2
1. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin.
2. Anemia, hipotensi, trombositopeni.

11

Gambar 2.3 Gejala klinis akibat gigitan ular

Namun, tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan
kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies
ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. 1
2.7

Penegakan Diagnosis
Pada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan:
a. Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, bagian tubuh
yang tergigit, keluhan saat ini, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit
sebelumnya. 1,2
b. Pemeriksan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12
jam. Pada ibu hamil diwaspadai fetal distress (bradikardi fetus),
perdarahan vagina, dan ancaman aborsi. Monitoring konstraksi uterus dan
detak jantung janin. Pada ibu yang menyusui tetap dianjurkan untuk
melanjutkan pemberian ASI. 1,2
c. Pemeriksaan laboratorium: biasanya menunjukkan peningkatan jumlah
neutrofil, limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta
penurunan jumlah fibrinogen. Kadar kreatinin kinase serum normal pada
hari pertama dan kedua setelah perawatan. Mioglobin plasma dan kadar
kreatinin mempunyai korelasi yang kuat. Pada pemeriksaan urinalisis
dapat terjadi proteinuria (83%), serta hematuria mikroskopik (50,9%).
Hemoglobinuria dan mioglobinuria umumnya dapat dideteksi dan dapat
terjadi leukosituria (56,4%). Penelitian Ramachandram S dkk,14 pada
tahun 1995 mendapatkan kadar Hb dan leukosit normal pada semua
pasien, 3% terjadi trombositopenia (< 75.000/L). Kadar ureum darah
meningkat pada pasien dengan gejala gagal ginjal. Natrium, kalium,
klorida, calsium, serta glukosa darah masih dalam batas normal pada
semua pasien. 1-3
d. Hasil EEG abnormal ditemukan pada 96% dan berhubungan dengan
ukuran ular, tetapi tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit di
lokasi gigitan, adanya manifestasi neurologis atau keadaan gagal ginjal.
Perubahan EEG segera terjadi setelah gigitan dan akan kembali normal
dalam 1-2 minggu. Pada pemeriksaan EKG, umumnya terjadi kelainan
seperti bradikardia dan inversi septal gelombang T. Hasil EKG yang

12

abnormal termasuk tanda-tanda utama gejala gigitan ular berbisa, selain


2.8

perdarahan, koagulopati dan paralisis. 1-3


Penatalaksanaan
Tujuannya adalah:
1. Menghalangi/
2. Menetralkan
3. Mengatasi

memperlambat absorbsi bisa ular

bisa ular yang sudah masuk kedalam sirkulasi darah

efek lokal dan sistemik1

Terapi yang dilakukan terbagi menjadi tata laksana di tempat gigitan dan di rumah
sakit. Tata laksana di tempat gigitan termasuk: 1,2
a. Mengurangi atau mencegah penyebaran racun dengan cara menekan tempat
gigitan dan imobilisasi ekstremitas atau diistirahatkan dalam posisi horizontal
terhadap luka gigitan.
b. Menenangkan korban yang cemas;
c. Imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena
pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran darah dan getah bening;
d. Pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae;
e. Hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan
bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
f.

Bila belum tersedia antibisa, ikatlah 2 ujung (proksimal dan distal) yang
terkena gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit
paskagigitan. Tujuan tindakan ini untuk menahan aliran limfe bukan arteri
ataupun vena.

Selain itu diusahakan transportasi yang cepat untuk membawa pasien ke rumah
sakit terdekat, pasien tidak diberikan makan atau minum. Saat ini eksisi dan penghisapan
bisa tidak dianjurkan bila dalam 45 menit pasien dapat sampai di rumah sakit. 1
Setelah dibawa ke rumah sakit diberikan terapi suportif sebagai berikut: 1,2
a. Penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan;
b. Penatalaksanaan sirkulasi beri infus cairan kristaloid; penatalaksanaan
resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi
berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,

13

c. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan : verban ketat dan luas diatas
luka, imobilisasi (dengan bidai)
d. Segera dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah perifer lengkap,
PT, APTT, D-dimer, fibrinogen, elektrolit (terutama K), urinalisis dan kadar
ureum serta kreatinin darah. Periksa waktu pembekuan, jika lebih dari 10
menit menunjukan kemungkinan adanya koagulopati.
e. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal (NaCl 0,9%) atau air steril
(Aquadest). Pengukuran pada tempat gigitan perlu dinilai untuk mengetahui
progresivitasnya. Saat ini masih diperdebatkan tentang tindakan operasi
(fasciotomy) pada pasien gigitan ular berbisa. Fasciotomy dilakukan bila ada
edem yang makin luas dan terjadi compartment syndrome (keadaan iskemik
berat pada tungkai yang mengalami revaskularisasi dan menimbulkan edem,
disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan keadaan hiperemia).
f. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan
toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
g. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara
intramuskular.
h. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat
mati/panik.
i. Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dikebalkan) polivalen
1 ml yang berisi : 4
1.
2.
3.
4.

10-50 LD50 bisa Ankystrodon


25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya sputarix
Fenol 0,25% v/v
Teknik Pemberian:
2 vial @ 5 ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9 % atau Dextrose 5%
dengan kecepatan 40-80 tetes per menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Indikasi:
Gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi sabu mengacu pada Schwartz dan Way:
Derajat 0 dan 1: tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU.
Derajat II : 3-4 vial SABU

14

Derajat III : 5-15 vial SABU


Derajat IV : berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi
(pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang
digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti
manfaatnya.1

2.9

Preventif

1. Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk


memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50%
kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
2. Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
3. Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak
semak
4. Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
5. Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit
akibat kejadian semacam itu. 2
2.10 Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat,
sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala. Ekstremitas atau
bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi
normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan skin graft. 1

Anda mungkin juga menyukai