Anda di halaman 1dari 7

Nama

: Agung Sofyan

Jurusan

: SKI 4A

Takehome

: SII (Sejarah Islam Indonesia II)

1. Masa Kolonial Belanda


Pada tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa
dengan perjanjian Giyanti, karena itu raja Jawa kehilangan kekuasaan politiknya.
Bahkan kewibawaan raja sangat tergantung pada VOC. Rakyat kehilangan
kepemimpinan, sementara penguasa kolonial sangat menghimpit kehidupan mereka.
Kemudia campur tangan kolonial terhadap kehidupan kraton makin meluas, sehingga
ulama keratin yang berkedudukan sebagai penasihat kerajaan kraton mulai
tersingkirkan. Eksploitasi hasil bumi rakyat untuk kepentingan pemerintah colonial
merajalela, penggusuran dan perampasan tanah milik rakyat untuk kepentingan
pemerintah semakin digalakkan. Raja-raja tradisional jarang membantu rakyat,
bahkan setelah mendapat gaji mereka memihak kepada tuannya (Belanda). Pusat
kekuatan berpindah dari istana ke luar, yaitu ke wilayah-wilayah yang jauh dari
istana, salah satunya ke pesantren-pesantren yang kemudian menjadi basis
perlawanan. Keterlibatan ulama dalam politik sama tuanya dengan sejarah peradaban
Islam. Dalam Islam banyak mengajarkan nilai norma-norma bermasyarakat dan
beragama, baik dalam kehidupan local maupun internasional. Setelah para raja
terkalahkan oleh kekuasaan colonial, ulama atas nama Islam menggalang kekuatan
untuk melawan penjajah. Terjadilah perang Jawa (1825-1904) yang dipelopori oleh
pangeran Diponegoro didampingi Kiai Mojo (1873-1904), akan tetapi berakhir
kekalahan.
Ketika penjajahan Belanda mulai meluas, maka muncul gerakan protes petani
dipimpin ulama local untuk melawan Belanda dan pembantu-pembantu raja
tradisional yang dianggap kafir. Factor pendorong terjadinya gerakan protes ini,
antara lain situasi colonial yang menghimpum kehidupan rakyat, kondisi yang
bertentangan dengan kaidah agama Islam, pelarangan umat Islam melakukan ibadah,
tindakan yang semena-mena, penggusuran tanah milik rakyat yang subur untk
tanaman tebu, kerja paksa, pajak yang meremas, penderitaan rakyat akibat
ketidakadilan dan pemerasan tuan tanah, penumpukan rasa dendam, rasa kecewa,
tekanan ekonomi yang sangat berat yang kemudian dipersatukan dengan semangat
jihad menjadi gerakan fanatikdan radikal, dan lain-lain.

KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Kelestarian penjajahan merupakan impian politik pemerintah kolonial.
Pendidikan mereka jadikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan umat
Islam di Indonesia. Snouck begitu yakin bahwa Islam tidak akan mampu bersaing
dengan pendidikan Barat. Islam dinilai terlalu beku dan penghalang kemajuan.
Kondisi pendidikan umat Islam waktu itu memang tidak sebaik dengan pendidikan
Barat, sehingga tidak mampu bersaing dengan superioritas Barat dengan pendidikan
Kristennya. Akan tetapi fakta yang terjadi bahwa Islam berkembang, karena semangat
Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini, dan kesanggupan Islam untuk
menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri.
Para santri yang belajar di pesantren kebanyakan dari mereka menganggap
bahwa pemerintah kolonial adalah pemerintah yang kafir. Mereka juga menganggap
gaji dari pemerintah adalah haram. Umat Islam juga menganggap bahwa pemerintah
Belanda adalah pemerintah Kristen. Sekolahsekolah Kristen yang sering
mendapatkan subsidi dari pemerintah, sering mewajibkan pendidikan Kristen
terhadap umat Islam. Sekolah-sekolah negeri juga sering digunakan untuk melakukan
propaganda suatu aliran gereja. Sehingga kebijakan tersebut menimbulkan jurang
pemisah diantara Islam dan Belanda.
-

Ordonansi Guru
Ordonansi guru merupakan peraturan pemerintah Belanda terhadap guru

Islam. Kebijakan ordonansi ini dilakukan oleh Belanda yang dilatar belakangi oleh
peristiwa geger Cilegon tahun 1888. Yang mana pemberontakan itu dimotori oleh
para haji dan guru. Sehingga pemerintah Belanda lebih ketat dalam mengawasi guru
agama Islam. Ordonansi ini pertama diberlakukan pada tahun 1905. Yang mana pada
saat itu guru agama Islam diwajibkan untuk meminta izin. Setelah memperoleh izin
barulah guru tersebut diperbolehkan mengajar. Kemudian ordonansi yang kedua
dikeluarkan pada tahun 1925. Berbeda dengan ordonansi yang pertama bahwa
ordonansi yang kedua ini guru tidaklah harus meminta izin, melainkan hanya sekedar
lapor kepada pemerintah.
Kebijakan ordonansi yang dinilai menghambat Islam ini, mendapat banyak
tentangan dari umat Islam. Kongres al-Islam (1926) di Bogor menolak pengawasan
terhadap pendidikan agama ini.
-

Ordonansi Sekolah Liar


Kebijakan ordonansi sekolah liar yang dilakukan oleh pemerintah Belanda

berlaku sejak tahun 1923. Yang mana setiap penyelenggara lembaga pendidikan
diwajibkan melapor. Akan tetapi kalangan luas dari pejabat kolonial menghendaki
agar lembaga pendidikan liar (swasta) tidak hanya sekedar lapor, melainkan juga
diawasi dengan ketat. Diantara faktor yang menyebabkan munculnya sekolah swasta
adalah krisis ekonomi yang sedang dialami Belanda. Sehingga sekolah swasta ini

muncul tanpa mendapat subsidi dari pemerintah. Akan tetapi perlakuan ordonansi
yang diterima oleh sekolah liar ini, menimbulkan kemarahan dari pribumi, terutama
umat Islam.
Berbagai perlawanan dari pribumi dilakukan, baik dari organisasi nasional,
maupun organisasi Islam. Berbagai perlawanan terhadap ordonansi ini memaksa
Belanda untuk meninjau kembali. Hingga akhirnya pada pertengahan Februari 1933
ordonansi ini ditarik kembali. Sehingga sekolah yang dulunya disebut sebagai sekolah
liar, telah berganti nama menjadi sekolah swasta non subsidi. Namun dalam
perkembanganya, sekolah ini berkembang semakin banyak dengan kualitas yang
semakin baik.
-

Mempertahankan Kelestarian Warisan Nenek Moyang


Snouck Hurgronje ingin kembali menyegarkan ingatan bangsa Indonesia

terhadap adat nenek moyangnya. Dengan mengembalikan kepada adat ini,


masyarakat Indonesia akan menjadi plural society (masyarakat majemuk) dan tumbuh
menjadi masyarakat dengan pola kehidupan yang berlainan dengan sentimen
keagamaan, daerah, suku, dan adat yang sangat tajam. Apabila bangsa Indonesia telah
menyadari ajaran nenek moyangnya ataupun adatnya diharapkan akan melemparkan
jauh-jauh dari kehidupannya.
Untuk mencapai target tersebut, Snouck Hurgronje perlu mendapat dukungan
dari kelompok pribumiyang secara tradisi merupakan pengusa dan paham
keagamaannya bertentangan dengan pendapat golongan petani.
-

Memperalat Golongan Priyayi


Pemerintah Belanda harus mengadakan kerjasama kebudayaan Indonesia-

Belanda. Hal ini dapat dicapai dengan memperalat golongan priyayi yang selalu dekat
dengan pemerintah, karena kebanyakan dari mereka menjabat sebagai pamong praja.
Untuk memperlancar usaha ini Belanda mendidik golongan priyayi dengan
pendidikan Barat. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena golongan priyayi sangat
loyal terhadap Belanda. Hal ini dibuktukan dengan mensukseskan tanam paksa,
membantu menindas petani-petani bangsa sendiri. Jadi jelas bahwa motivasi
pendidikan Barat yang diberikan kepada kalangan priyayi bukan untuk memodernkan
kalangan priyayi, tetapi sekedar dijadikan alat untuk melindungi adat.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Mengenai Ibadah Haji.
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang wajib bagi umat Islam yang mampu.
Pada abad 19 jamaah haji Indonesia yang melaksankan haji semakin bertambah.
Semakin banyaknya orang yang naik haji tiap tahunya menimbulkan kecemasan bagi
Belanda. Karena setelah pulang dari haji, tidak sedikit dari mereka yang membawa
ajaran ortodoks ke Indonesia. Pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan
bahwa berbagai perlawan dari pribumi banyak dimotori para haji dan ulama.
Sehingga peristiwa ini banyak menimbulkan suara dilarangnya naik haji.

Menyikapi keadaan tersebut selanjutnya pemerintah Belanda mengeluarkan


beberapa kebijakan yang mempersulit umat Islam naik haji. Akan tetapi melalui
Snouck hubungan ibadah haji berhasil ditundukan, yang mana haji tidak dilarang,
melainkan diawasi, baik ketika di Jeddah, Kairo, Calcutta, dan di Singapura. Akan
tetapi Snouck juga mengatakan mengenai masalah haji tidak perlu dilarang melainkan
dengan menghambatnya secara halus dan tidak langsung.Cara tersebut dimaksudkan
untuk mengalirkan semangat pribumi kearah lain. Dengan demikian keinginan
mereka untuk naik haji menjadi redup.

2. Snouck Hurgronje membagi masalah Islam atas tiga kategori, yakni:


1. Bidang agama murni atau ibadah;
2. Bidang sosial kemasyarakatan;
3. Bidang politik; di mana masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan
yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek,atau
kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di HindiaBelanda.
Snouck Hurgronje kemudian memberikan berbagai saran kepada pemerintah
kolonial Hindia-Belanda untuk menyelesaikan berbagai masalah yang menyangkut
ketiga kategori di atas. Dalam bidang agama murni, atau ibadah, pemerintah kolonial
Hindia-Belanda disarankan untuk bersikap netral dan memberikan kemerdekaan
kepada ummat Islam untuk melaksanakan perintah agamanya, sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Khusus tentang masalah meningkatnya
pelaksanaan ibadah haji, walaupun pemerintah kolonial Hindia-Belanda sangat takut
akan dampak yang ditimbulkan oleh para haji yang memimpin berbagai
pemberontakan di Nusantara dan terus mengawasi mereka, Snouck Hurgronje tetap
memasukkan persoalan ibadah haji ke dalam kawasan netral, karena ibadah haji
masih menyangkut urusan ibadah. Pemberian kebebasan dalam pelaksanaan ibadah
haji, menurut Snouck Hurgronje, akan meyakinkan para ulama tentang niat baik
pemerintah Belanda, dan akan menyadarkan pula bahwa mereka tidak perlu takut
pada pemerintah kolonial, selama tidak mencampuri urusan politik.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Snouck Hurgronje menyarankan agar
pemerintah Hindia-Belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku, dengan cara
menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat yang
akan menempuh jalan tersebut. Sementara itu, dalam bidang politik dan

ketatanegaraan, Snouck Hurgronje telah memperingatkan pemerintah kolonial dengan


keras, bahwa: pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat
kepada fanatisme dan Pan-Islam. Karena itu, setiap ada tanda-tanda kemunculannya,
haruslah secara tegas dihadapi dengan kekuatan, dan semua campur tangan yang
datang dari luar negeri dalam perkara-perkara Islam haruslah dipatahkan sejak dari
tunasnya.
Pergeseran dalam kebijakan kolonial terhadap Islam ini sesungguhnya
merupakan langkah awal dalam visi Snouck Hurgronje, yang membayangkan
terciptanya sebuah Hindia-Belanda yang ideal menurut penilaiannya, di masa
depan. Snouck Hurgronje percaya bahwa kepemimpinan masyarakat Hindia-Belanda
di masa depan, tidak bisa bergantung pada kaum Muslim yang taat maupun pada para
tetua adat. Menurut pendapat Snouck Hurgronje, kaum Muslim yang taat tidak bisa
terlalu diharapkan untuk bisa mengembangkan sebuah ikatan yang lestari antara
Negeri Hindia dan Negeri Belanda. Sementara itu, para tetua adat yang telah lama
menjadi penghadang terkuat untuk melawan Islam, juga dianggap terlalu konservatif
untuk

dapat

diharapkan

sebagai

pengusung

tujuan-tujuan

jangka

panjang

pemerintahan kolonial Belanda. Karena sebuah Hindia-Belanda yang modern tidak


bisa dipimpin, baik oleh kaum Muslim yang taat maupun oleh para tetua adat, maka
Snouck Hurgronje kemudian menyadari tentang pentingnya upaya menciptakan para
elit Hindia baru, yang berorientasi Barat.
Menurut pandangan Snouck Hurgronje, para elit Hindia baru yang berorientasi
Barat inilah yang diharapkan bisa merawat masyarakat Hindia modern, seiring
dengan

garis-garis

kebijakan

asosiasi (association

policy). Asosiasi yang

dimaksud oleh Snouck Hurgronje di sini ialah upaya untuk menciptakan sebuah
Negara Belanda Raya, yang terdiri atas dua wilayah yang terpisah secara geografis,
namun merupakan bagian-bagian yang terkait secara spiritual, di mana yang satu
berada di Eropa Barat-Utara, dan yang lain berada di Asia Tenggara.
Sejalan dengan kebijakan Politik Etis, Snouck Hurgronje juga memberikan
rekomendasi yang senada, terutama tentang pendidikan, yakni agar Hindia-Belanda
mencapai

situasi

yang

dicita-citakannya. Snouck

Hurgronje

memberikan

rekomendasi kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mempromosikan


organisasi pendidikan berskala-luas, dan menekankan tentang perlunya landasan
nilai-nilai universal dan bersifat netral agama dalam pendidikan kaum pribumi,
sehingga

akan

bisa

mengemansipasi

elit

baru

yang

akan

muncul

nanti. Mengemansipasi dalam konteks ini mengandung arti menjauhkan elit baru
dari ajaran Islam. Dengan demikian, proses kelahiran kesadaran nasional HindiaBelanda dipandu melalui kerjasama dengan, dan atas arahan, pihak Belanda, dan

tidak diarahkan oleh gerakan Pan-Islamisme yang (dianggap) berbahaya secara


politik.

3. Biografi Ahmad Gozin :


TTL

: Bogor, 21 Februari 1972

Alamat

: Cipadung-Cibiru-Kota Bandung 40614

Email

: ahmadgojin72@gmail.com

Telepon

: 085795385626

Riwayat Pendidikan :
SD

: MI di Bogor

SMP

: MTS Swasta + Pesantren di Bogor

SMA

: MAN + Pesantren di Bogor

STAI

: IAIN Bandung

Jabatan di pb NU Bandung : Ketua Pelaksana

Anda mungkin juga menyukai