Anda di halaman 1dari 10

Nicholas

Williams
Writing Contest: Indonesia, Its Beauty, Diversity and Challenges
2,433 words
RAGAM BAHASA: KEKAYAAN INDONESIA YANG TERLUPAKAN
Isteri saya suka bercerita suatu hari ia diajak rekan kerjanya keluar makan
siang
di restoran Asia. Daftar makanannya berbau eksotis. Ada masakan
Thailand, Jepang,
dan India. Ada pun hidangan Indonesianya bernama spicy Indonesian
peanut noodle.
Karena penasaran, isteri saya memesan masakan Indonesia itu. Isinya mi,
sayur-sayuran
dan tahu dicampur dengan bumbu kacang yang mirip bumbu gado-gado.
Makanannya
enak, tapi rasanya tidak seperti makanan Indonesia dan lebih mirip dengan
masakan dari
negeri tetangga. Akhirnya isteri saya memutuskan untuk bertanya kepada
pelayannya
Mengapa ini diberi nama Indonesian noodle, padahal rasanya seperti Pad
Thai?
Pelayan itu menjawab: Ohh, bukannya Indonesia sebuah wilayah di
Thailand? Karena
isteri saya itu orang Indonesia, dia senyum saja, padahal dia ingin tertawa
terbahakbahak.
Rata-rata segitu saja pengetahuan orang Amerika mengenai Indonesia.
Selain itu,
yang mereka tahu tentang Indonesia biasanya adalah negara yang miskin
yang cuacanya
kacau dan seringkali terkena gempa bumi, tsunami, dan banjir. Mungkin
mereka juga
pernah mendengar bahwa Indonesia adalah negara mayoritas Muslim yang
dianggap
model demokrasi untuk negara-negara Muslim yang lain. Di luar itu semua,
kebanyakan
orang Amerika kurang tahu mengenai Indonesia yang sebenarnya,
sejarahnya, budayanya
maupun status ekonomi dan politiknya sekarang. Padahal, Indonesia adalah
negara yang
sangat kaya dalam keindahannya dan keanekaragamannya, terutama dalam
soal
kebahasaan.
Permasalahan kebahasaan di Indonesia merupakan salah satu cerminan
keindahan
dan keanekaragamannya yang seringkali terlupakan dan karena itu menjadi
tantangan

bagi bangsa ini. Tantangannya bagi bangsa Indonesia bukan hanya


Bagaimana bangsa
ini dapat tetap bersatu dengan adanya lebih dari 700 bahasa? tetapi juga
Bagaimana
keanekaragaman bahasa tersebut dapat dipelihara di samping bahasa
Indonesia yang
dapat mempersatukan bangsa ini? Karena parahnya keadaan bahasabahasas daerah di
Indonesia sekarang (ada yang sudah punah dan banyak yang sudah mulai
berkurang
penuturnya), tantangan ini patut dihadapi dengan pendekatan yang tegas.
Dengan belajar
dari pengalaman negara-negara lain dan memperhatikan bagaimana
keanekaragaman dan
keindahan bahasa-bahasa di Indonesia memainkan peran penting dalam
kehidupan
masyarakatnya, Indonesia dapat mengatasi permasalahan kebahasaannya
dengan cara
yang pada saat yang bersamaan akan dapat mengilhami negara-negara lain
yang sedang
atau akan mengalami permasalahan yang sama.
Permasalahan yang berhubungan dengan keanekaragaman bahasa juga
pernah
dialami di Amerika Serikat. Walaupun negara ini biasanya dianggap hanya
berbahasa
satu (bahasa Inggris), sebenarnya Amerika adalah negara yang
beranekaragam
bahasanya. Bahasa-bahasa di Amerika terdiri dari dua kelompok utama,
yaitu bahasabahasa
yang dituturkan oleh orang-orang pribumi dan bahasa-bahasa yang
dituturkan
oleh para pendatang (atau imigran). Sayangnya, pada jaman dahulu
keanekaragaman
Nicholas
Williams
bahasa di Amerika tidak dihargai. Kebanyakan bahasa pribumi di Amerika
sudah punah
dan sekarang hanya ada beberapa bahasa saja yang masih cukup banyak
penuturnya
(misalnya bahasa Navajo, bahasa Cherokee, bahasa Hawaii, dll). Kepunahan
bahasa telah
menjadi salah satu luka terbesar dalam sejarah Amerika. Banyak sekali
kelompok orang
pribumi di Amerika yang merasa kehilangan sebagian budayanya yang
paling dasar

karena bahasanya punah. Sekarang banyak juga kelompok orang pribumi


Amerika yang
sudah mulai menghidupkan kembali bahasanya yang sudah punah. Akan
tetapi, proses
revitalisasi ini sangat sulit, terutama kalau dibandingkan dengan proses
pelestarian
bahasa yang masih hidup. Mudah-mudahan bangsa Indonesia tidak akan
mengalami
krisis kepunahan bahasa seperti di Amerika. Supaya tidak terjadi,
pemerintahan Indonesia
harus mengemukakan permasalahan kebahasaan sebagai salah satu isu
terpenting dalam
kebijakannya.
Kalau di Indonesia, keanekaragaman bahasa juga sudah menjadi darah
daging
orang-orang Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara yang paling
banyak dan paling
beragam bahasanya. Di Indonesia sendiri bahasanya yang masih hidup
berjumlah sekitar
719 (Ethnologue: Lewis 2009). Seperti di Amerika, di Indonesia ada bahasabahasa
pribumi dan bahasa-bahasa non-pribumi. Akan tetapi di Indonesia, bahasabahasa nonpribumi
terbatas, misalnya bahasa-bahasa orang Tionghoa, bahasa Arab, bahasa
Belanda
dan bahasa Inggris. Bahasa-bahasa pribumi di Indonesia terdiri atas dua
rumpun bahasa,
yaitu rumpun bahasa Austronesia dan rumpun bahasa Papua atau nonAustronesia. Di
Indonesia, masalah kepunahan bahasa baru saja muncul di abad ke-20 dan
ke-21.
Menurut perkiraan UNESCO, sekitar 20% (146 dari 719) bahasa di Indonesia
terancam
punah. Kalau permasalahan ini tidak segera ditanggulangi, perkiraan
UNESCO tersebut
pasti akan bertambah. Kepunahan bahasa-bahasa ini berarti masyarakat
Indonesia
maupun para ahil ilmu bahasa dan ilmu budaya akan kehilangan sumber
kekayaan yang
tidak dapat digantikan. Untuk menghindari kepunahan bahasa di Indonesia,
bahasabahasa
daerah harus diperhatikan, terutama dari segi keanekaragamannya dan
keindahannya.
Keindahan bahasa-bahasa Indonesia ada pada keanekaragamannya. Tetapi
apa

maksud dari beragam dan indah? Banyak orang Amerika mengetahui


Indonesia hanya
sebagai negara yang tropis. Dan dalam imajinasi mereka, tropis itu berarti
indah.
Keindahan itu biasanya dilihat dari pandangan biologi, khususnya
keanekaragaman
hayati. Sebenarnya, keindahan bangsa Indonesia juga dapat dilihat dalam
bahasabahasanya
yang sangat banyak dan beragam. walaupun ini tidak seperti
keanekaragaman
hayati--indahnya tanaman-tanaman dan binatang-binatang eksotis di
Indonesia--yang
kasat mata. Untuk melihat keindahan bahasa-bahasa di Indonesia, kita harus
mempelajarinya secara mendalam. Keindahannya terletak di dalam bunyibunyi yang
sangat beragam, kosa kata yang unik dan struktur kalimat atau tata bahasa
yang khas.
Setiap bahasa mempunyai ciri-ciri khasnya dan ini memberikan keindahan
yang
tak terlihat kalau hanya ada satu bahasa di dunia ini. Misalnya, dalam sistem
fonologi
(atau bunyi-bunyi), setiap bahasa berbeda. Untuk melihat perbedaannya,
tiga bahasa dari
Indonesia dapat dibandingkan: bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa
Teiwa (sebuah
bahasa non-Austronesia dari pulau Pantar). Dalam bahasa Indonesia dan
Jawa ada bunyi
hambat atau letupan seperti /p/ dan /b/, /t/ dan /d/, yang hanya dibedakan
dengan suara
Nicholas
Williams
(/p/ tidak bersuara, sedangkan /b/ bersuara). Misalnya, dalam bahasa
Indonesia ada kata
paku dan kata baku. Di dalam bahasa Jawa ada juga kata-kata paku dan
baku, tetapi
pengucapannya tidak sama dengan pengucapan kata-kata paku dan baku
dalam bahasa
Indonesia. Jadi apa bedanya? Sebenarnya, bunyi-bunyi hambat dalam
bahasa Jawa (yaitu
/p,b,t,d,k,g/, serta dua konsonan yang retrofleks (t dan d) tidak sama
dengan bunyibunyi
hambat dalam bahasa Indonesia. Artinya, bunyi-bunyi hambat dalam bahasa
Jawa
tidak dibedakan dengan ciri bersuara atau tidak bersuara. Melainkan /p/
dan /b/ dalam

bahasa Jawa dapat dibedakan dengan ciri suara kaku (stiff voice) untuk
/p/ dan suara
kendur (slack voice) untuk /b/ (Ladefoged & Maddieson 1996). Untuk
menunjukkan
betapa beragam bahasa-bahasa di Indonesia, sistem bunyi dalam bahasa
Teiwa lebih
berbeda lagi. Dalam bahasa Teiwa ini ada beberapa bunyi yang jarang
ditemukan bahkan
dalam bahasa-bahasa yang ada di daerah Indonesia timur. Termasuk dalam
bunyi-bunyi
ini adalah bunyi hambatan uvular (/q/ -- seperti k-nya dalam kata hak dari
bahasa Arab)
dan bunyi geser faring (// -- seperti h-nya dalam kata hayati dari bahasa
Arab) (Klamer
2010). Perbedaan sistem bunyi-bunyi dalam ketiga bahasa ini (Indonesia,
Jawa, dan
Teiwa) menunjukkan betapa beragam bahasa-bahasa di Indonesia.
Bahasa-bahasa di Indonesia juga beragam dalam leksikon atau kosa katanya.
Kosa kata bahasa Indonesia dapat dibandingkan dengan kosa kata dalam
bahasa Kula,
sebuah bahasa non-Austronesia dari pulau Alor yang penuturnya belum
sampai 5,000
orang. Bahasa Kula ini terancam punah dan sudah mulai berkurang jumlah
penuturnya.
Kedua bahasa ini sangat berbeda, baik dalam kosa katanya, sistem bunyinya
dan struktur
kalimat atau tata bahasanya. Misalnya, kedua bahasa ini mengkategorikan
dan
mengekspresikan gerakan dengan kata kerja. Topik ini seringkali dibahas
dalam konsep
deixis (Purwo, 1984). Kalau dalam bahasa Indonesia, kata kerjanya
terbatas: pergi,
datang, naik dan turun. Tetapi dalam bahasa Kula, kata kerjanya lebih
banyak: ve (pergi),
me (datang), imda (naik dari sini), isi (turun ke sini), iji (turun dari sini) dan
ide (naik ke
sini). Perbedaan seperti ini memengaruhi bagaimana penutur bahasa
Indonesia dan
bahasa Kula mengekspresikan diri. Contoh lain dari segi tata bahasa adalah
beberapa
bahasa non-Austronesia di pulau Alor dan Pantar juga mempunyai kosa kata
yang
berbeda untuk kategori demonstratif. Kata-kata demonstratif itu adalah katakata seperti
ini dan itu dalam bahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris,

misalnya, terbatas dalam kategori demonstratif (hanya ini atau this dan itu
atau that),
bahasa-bahasa di Alor dan Pantar mempunyai kosa kata demonstratif yang
lebih banyak
dan lebih spesifik artinya. Misalnya, dalam bahasa Adang (sebuah bahasa
nonAustronesia di pulau Alor), kata demonstratifnya ada lima: h, ho, hm,
ht, dan
hp. Kalau h dan ho, artinya mirip ini dan itu, tetapi tidak persis sama.
Kalau
hm, ht, dan hp, bedanya tergantung pada lokasi obyek yang
ditunjukkan. Misalnya,
kalau ht dipakai, berarti obyeknya terletak di atas sini (lokasi pembicara),
tetapi kalau
hp dipakai, itu berarti obyeknya terletak di bawah sini (Schapper & San
Roque, 2011)
Kedua contoh tersebut menunjukkan betapa berbeda dan beragam bahasabahasa di
Indonesia. Perbedaannya tidak hanya beberapa kosa kata saja, tetapi juga
struktur kalimat
dan cara mengekspresikan diri.
Perbedaan keanekaragaman bahasa seperti yang dibahas di sini sudah
dianggap
biasa dalam bidang linguistik. Tetapi bagi orang awam, apa pentingnya
ragam bahasa?
Keanekaragaman bahasa sebenarnya juga berkaitan erat dengan
keanekaragaman budaya,
Nicholas
Williams
adat istiadat dan kebiasaan hidup. Ini dapat menjadi sumber kekayaan untuk
ilmu
linguistik maupun ilmu budaya. Misalnya, sebuah bahasa yang lebih dikenal
oleh orang
Indonesia, bahasa Jawa, cukup berbeda dengan bahasa Indonesia.
Perbedaannya terlihat
jelas dalam percakapan sehari-hari dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa. Kalau
bahasa Jawa, bahasanya atau cara berekspresi tidak hanya satu, tetapi kosa
katanya dan
struktur kalimatnya berubah tergantung pada siapa yang berbicara dan
siapa
pendengarnya. Perbedaan kosa kata dan struktur ini ada tiga kategori: ngoko
(paling
rendah), madya (tengah) dan krama (paling tinggi). Ada beberapa faktor
yang

menentukan tingkat mana yang dipakai, termasuk identitas pembicara dan


pendengarnya,
ukuran keakraban hubungannya, keberadaan orang lain yang bisa
mendengar atau tidak,
dan lain-lain. Ciri-ciri bahasa seperti ini berpengaruh dalam penggunaan
bahasa seharihari
serta budaya secara umum. Topik tingkat bahasa atau unggah-ungguh ini
sudah
diteliti secara mendalam oleh para ahli ilmu budaya (cf. Anderson 1990,
Errington 1985,
dll). Di luar Indonesia jarang ada bahasa yang mempuyai tingkat yang
tergantung pada
penghormatan seperti bahasa Jawa ini.
Akan tetapi, kebanyakan penelitian mengenai bahasa-bahasa daerah di
Indonesia
berfokus pada bahasa Jawa. Dalam penelitian ilmu budaya dan ilmu bahasa
mengenai
Indonesia, sepertinya bahasa Jawa yang paling banyak dibahas dalam teoriteori di kedua
bidang tersebut. Namun, kalau bahasa-bahasa daerah lain yang tidak
seterkenal bahasa
Jawa, seperti bahasa Kula, bisa diikutsertakan dalam penelitian,
keanekaragaman bahasa
di Indonesia tidak lagi hanya diwakilkan oleh sebagian kecil bahasa daerah
saja. Dalam
bahasa Kula tidak ada fenomena seperti unggah-ungguh dalam bahasa Jawa.
Tetapi,
dalam bahasa Kula dan beberapa bahasa daerah lainnya di Nusa Tenggara
Timur ada
fenomena yang disebut bahasa upacara. Bahasa ini tidak hanya dipakai
dalam upacara
resmi tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan seperti ini
menunjukkan sekali
lagi bahwa bahasa-bahasa daerah di Indonesia sangat beragam dan tidak
dapat disamakan
atau disebutkan dengan istilah dialek saja. Sayangnya, fenomena bahasa
upacara
tersebut jarang diteliti secara mendalam seperti unggah-ungguh dalam
bahasa Jawa. Hal
ini karena Indonesia Timur kurang diperhatikan dan kurang terwakili dalam
dunia
akademisi, media massa maupun pembangunan di negara kepulauan
tersebut.
Kalau Indonesia begitu kaya dalam bahasa-bahasanya, apakah
tantangannya?

Sebenarnya Indonesia sedang menghadapi masa krisis mengenai soal


kebahasaan. Sejak
Indonesia merdeka, bahasa-bahasa di Indonesia dibagi dua: bahasa
Indonesia (atau
bahasa nasional) dan bahasa daerah. Memang dari awal bahasa-bahasa
daerah dianggap
penting untuk dipelihara. Di dalam konstitusi Indonesia, Pasal 32, tertulis:
Negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional. Akan
tetapi, 719 bahasa itu cukup sulit untuk dipelihara, terutama karena negara
Indonesia juga
harus mementingkan pembangunan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional yang bisa
mempersatukan rakyat Indonesia. Sayangnya kedua tujuan tersebut tidak
dipertimbangkan dengan baik, dan biasanya bahasa-bahasa daerah yang
dirugikan.
Sampai sekarang sudah ada beberapa kasus bahasa daerah yang punah
karena penuturnya
hanya memakai bahasa Indonesia saja. Mungkin kita bisa bertanya, apa
akibatnya kalau
bahasa-bahasa daerah punah? Bukankah lebih mudah saling mengerti dan
berkomunikasi
dengan satu sama lain kalau kita semua memakai bahasa Indonesia saja dan
membiarkan
saja bahasa-bahasa daerah untuk punah?
Nicholas
Williams
Pertama, harus dipertimbangkan apa akibatnya kalau keanekaragaman
bahasa
tidak dipelihara. Yang jelas kita semua akan rugi karena sebuah kekayaan
kemanusiaan
telah hilang. Bagi ilmu linguistik dan ilmu budaya, kehilangan bahasa karena
punah
berakibat pada kekayaan sumber penelitian yang berkurang. Kalau lebih
banyak bahasa
daerah punah, pengetahuan mengenai bahasa dan budaya pasti akan
menyempit. Karena
setiap bahasa berbeda dan mempunyai ciri-ciri khas yang tidak ada dalam
bahasa-bahasa
lain, dan juga karena bahasa mencerminkan budaya dan cara berfikir,
kepunahan bahasa
akan menyebabkan pembatasan pengetahuan mengenai bahasa dan budaya
secara umum.
Apa lagi kepunahan bahasa dapat mengurangi perbedaan cara hidup.
Padahal, manusia

diciptakan untuk berbeda dan berkreasi dengan ide-ide baru. Hal itu tidak
dapat terjadi
kalau sumber-sumber perbedaan pun hilang. Dengan kepunahan bahasa,
manusia akan
kehilangan sumber-sumber ide baru, nilai-nilai filsafat dan cara berfikir yang
berbeda.
Kepunahan bahasa juga manjadi tantangan bagi Indonesia sebagai bangsa.
Seringkali diklaim bahwa kepunahan bahasa tidak bermasalah dan sebaiknya
kita semua
memakai satu bahasa saja. Akan tetapi, sejarah bahasa-bahasa pribumi di
Amerika
Serikat tidak mendukung itu. Walaupun hampir semua orang pribumi di
Amerika sudah
bisa berbahasa Inggris dan banyak bahasa pribumi yang sudah punah,
masalah-masalah
ketidaksamaan di antara orang pribumi dan orang Amerika lainnya sama
sekali belum
diatasi. Contoh ini menunjukkan bahwa dengan berbahasa satu sebuah
negara tetap dapat
menghadapi masalah di antara kelompok etnis yang berbeda.
Kalau di Indonesia, keanekaragaman bahasa juga dapat dianggap sebuah
sumber
daya bagi orang Indonesia untuk mengatasi masalah. Dengan belajar sebuah
bahasa kita
dapat mengerti budayanya lebih mendalam. Masalah konflik antar etnis
mungkin dapat
dijelaskan kalau kita melihat bahasanya terlebih dahulu. Perbedaan bahasa
dapat
menunjukkan perbedaan budaya. Dengan pengertian ini permasalahan
antara etnis dapat
diatasi dengan lebih mudah. Intinya adalah, jika semua orang memakai satu
bahasa yang
sama, belum tentu semua orang akan merasa bersatu.
Dengan demikian persoalan kepunahan bahasa di Indonesia harus dihadapi
dengan pendekatan yang tegas untuk memlihara kekayaan bangsa ini.
Pendekatan ini
tidak berarti bahasa-bahasa daerah harus dianggap lebih penting daripada
bahasa
Indonesia. Melainkan, bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa dearah pantas
dianggap sama
tingkatnya dan sama pentingnya bagi bangsa dan rakyat Indonesia.
Walaupun bahasa
Indonesia dapat mempersatukan Indonesia, bahasa nasional tersebut juga
dapat
menyebabkan kepunahan bahasa-bahasa lain. Mudah-mudahan pemerintah
Indonesia

dapat terus memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sambil


memelihara dan
mengembangkan bahasa-bahasa daerah yang mencerminkan keindahan dan
keanekaragaman Indonesia. Keanekaragaman bahasa mencerminkan
keindahan
bangsanya, dan hal tersebut jarang diperhatikan oleh negara-negara lain.
Dengan
membanggakan kekayaan bahasa yang sangat beragam dan berbeda,
Indonesia dapat
menjadi contoh bagi negara-negara lain yang sedang mengalami
permasalahan
kebahasaan. Semoga tantangan ini dapat diatasi dengan baik dan bahasabahasa di
Indonesia dapat menjadi warisan yang paling penting bagi generasi
berikutnya di
Indonesia dan di seluruh dunia.
Nicholas
Williams
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R. O'G. 1990. Language and power. Ithaca, N.Y. : Cornell
University Press.
Errington, James Joseph. 1985. Language and social change in Java. Athens,
Ohio: Ohio
University, Center for International Studies.
Lewis, M. Paul (ed.), 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth
edition.
Dallas, Tex.: SIL International. Online version: http://www.ethnologue.com/.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Seri
ILDEP. Jakarta:
Balai Pustaka.
Klamer, Marian. 2010. A grammar of Teiwa. Berlin New York: Mouton de
Gruyter.
Ladefoged, Peter & Ian Maddieson. 1996. The Sounds of the Worlds
Languages.
Oxford: Blackwell.
Schapper, Antoinette; San Roque, Lila. 2011. Demonstratives and nonembedded
nominlisations in three Papuan languages of the Timor-Alor-Pantar family, in
Studies in Language 35:2, 380-408.

Anda mungkin juga menyukai