Anda di halaman 1dari 11

RASIONALISME RENE DESCARTES

Makalah ini disusun dalam rangka memenhi salah satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A

Oleh: Agus Suadak, S.Pd.I

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara
menekankan

umum,
akal

rasionalisme

budi

(rasio)

adalah

sebagai

pendekatan

sumber

utama

filosofis

yang

pengetahuan,

mendahului atau unggul rasa, dan bebas (terlepas) dari engamatan


indrawi1[1]. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat
membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar
rasio.
Pelopor rasionalisme adalah Rene Descartes (1596 1650) yang disebut sebagai bapak
filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang sebagai
bangunan yang berdiri sendiri menurut suatu metode yang umum.
Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah
yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan yang ilmiah. Dengan akal dapat
diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari
segala pemikiran tradisional (skolastik) yang pernah diterima tetapi ternyata tidak mampu
menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.2[2]
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana biografi Rene Descartes?
2. Bagaimana pemikiran Rene Descartes mengenai sumber pengetahuan?
3. Apa perbedaan filsafat Abad Modern dan filsafat Abad pertengahan?
1[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 2000, hal
195
2[2]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h.
111.
2

C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah
mengetahui latar belakang atau biografi dan pemikiran Rene Descartes mengenai sumber
pengetahuan dan mengetahui perbedaan filsafat modern dan filsafat abad pertengahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI RENE DESCARTES
Rene Descartes adalah tokoh filsafat abad modern, bahkan dialah
pendiri dan pelopor utamanya. Ia adalah putra keempat Joachim Descartes,
seorang anggota parlemen kota Britari, propinsi Renatus di Prancis.
Kakeknya, Piere Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar
belakang kedokteran. Ia dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye
(sekarang disebut La Haye Descartes), propinsi Teuraine, Descartes kecil
yang

mendapat

nama

babtis

Rene,

tumbuh

sebagai

anak

yang

menampakkan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnyapun


memanggilnya dengan julukan Si Filsuf Cilik.3[3]
Pendidikan pertamanya diperoleh dari sekolah Yesuit di La Fleche dari
tahun 1604-1612. Di sinilah ia memperoleh pengetahuan dasar tentang
karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, musik dan akting, logika
Aristoteles dan etika Nichomacus, fisika, matematika, astronomi dan ajaran
metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Konon selama belajar di perguruan
ini Descartes sudah merasakan kebingungan dan ketidakpuasan tentang
apa-apa yang diterima dari para gurunya serta apa yang diperolehnya dari
buku teks. Ketidakpuasan ini terutama dalam bidang filsafat yang penuh
3[3] Juhaya S. Praja, Aliran aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003
3

dengan kesimpangsiuran dan pertentangan-pertentangan antara berbagai


aliran dan pemikiran.
Pada tahun 1612, Rene Descartes pergi ke paris untuk kemudian di
sana ia mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan sehingga ia
mengucilkan diri ke Faobourg Saint German untuk mengerjakan ilmu ukur.
Pada tahun 1617 masuklah Descartes ke dalam tentara Belanda. Selama dua
tahun ia mengalami suasana damai dan tenteram di negeri Kincir Angin ini,
sehingga ia dapat mengerjakan renungan filsafatnya.
Descartes

menghabiskan

masa

hidunya

di

Swedia,

tatkala

ia

memenuhi undangan Ratu Cristine yang menginginkan pelajran-pelajaran


yang harus diajarkan setiap jam lima pagi menyebabkan Descartes jatuh
sakit yang menjemput ajalnya pada tahun 1650, ketika ia belum sempat
menikah. Selain mencrahkan perhatiannya dalam bidang filsafat, Descartes
juga dikenal sebagai seorang Polymath, yaitu seorang yang mempunyai
perhatian yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan , khususnya dalam
bidang ilmu pasti.sumbangannya yang besar dalam dunia ilmu adalah
keberhasilannya menemukan ilmu ukur koordinat (coordinate geometry).
Karya-karya Descartes cukup banyak. Beberapa karyanya antara lain adalah
Discours de la Methode (1637)yang berarti uraian tentang metode yang
isinya melukiskan perkembangan intelektualnya. Didalam karyanya inilah ia
menyatakan ketidakpuasan atas filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi
bahan penyelidikannya. Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatupun yang
yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan juga. Satu-satunya
kekcualian adalah ilmu pasti, demikian menurut Descartes.
Karya
Meditationes

lainnya
de

adalah

Prima

Dioptrique,

Philosophia,

La

Geometrie,

Principia

Les

Philosophia,

Le

Meteores
Monde,

LHomme, Regulae ad Dirsotionem Ingnii, De la Formation du Foetus, dan


sebagainya.

Buku-buku yang bahasa Prancis ini pada umumnya telah


4

diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Kemudian diikuti oleh penerbitan Meditations


Methaphysiques di Paris dan Principes de la Philoshopie yang dipersembahkan kepada sahabat
penanya, Putri Elizabeth de Boheme.4[4]
B. RASIONALISME RENE DESCARTES
Rene Descartes dalam filsafatnya mengemukakan metode kesangsian untuk merenungkan
terus sesuatu hal sampai tidak ada keragu-raguan lagi. 5[5] Dia dijuluki sebagai bapak filsafat
modern karena ia menempatkan akal (rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang
memang didambakan oleh manusia di zaman modern. Filsafat Descartes terutama konsep
tentang manusia bersiat dualisme. Ia menganggap jiwa (res cogitans) dan badan (res extensa)
sebagai 2 hal yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak akan dikritik habishabisan oleh salah seorang tokoh aliran Filsafat Bahasa Biasa, Gilbert Ryle.
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbarui, kita terutama memerlukan suatu
metode yang baik, demikian pendapat Descartes. Hal ini mengingat bahwa terjadinya
kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam pemikiran-pemikiran filsafat disebabkan oleh karena
tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai pangkal tolak yang sama bagi berdirinya suatu
filsafat yang kokoh dan pasti. la sendiri berpikir sucah mendapatkan metode yang dicarinya itu,
yaitu dengan menyangsikan segala-galanya atau keragu-raguan. Ia bermaksud bahwa kesangsian
atau keragu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang saya miliki, termasuk juga
kebenaran-kebenaran yang sampai kini saya anggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia
material; bahwa saya mempunyai tubuh; bahwa Allah ada). Kalau terdapat suatu kebenaran yang
tahan dalam kesangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sckali pasti dan harus
dijadikan dasar bagi seiuruh ilmu pengetahuan. Cogito ergo sum: saya yang sedang
menyangsikan, ada. Cogito ergo sum yang berasal dan kata Latin ini berarti. saya berpikir di sini
ialah menyadari. Jika saya sangsikan. saya menyadari bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara
langsung menyatakan adanva saya. Dalam filsafal modern kata Cogito sering kali digunakan
4[4]Zubaedi, Filsafat Barat dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains
ala Thomas Kuhn, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 17 18.
5[5]The Liang Gie, Pengantar Filsafat ilmu, (Yogyakarta: Liberty bekerjasama
dengan Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1991), h. 18
5

dalam arti kesadaran. Cogito ergo.sum itulah menurut Descartes suatu kebenaran yang tidak
dapat disangkal, betapapun besar usahaku. Mengapa kebenaran ini benar-benar bersifat pasti?
Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus diterima sebagai benar.
Itulah norma untuk menentukan kebenaran6.
B. BEBERA PEMIKIRAN RENE DESCARTES
1. Metode Keraguan ( dubium methodicum) Pertama-tama yang perlu diaplikasikan
dalam koridor ilmu pengertahuan yaitu menyangsikan segala-galanya.
2. Idea-Idea Bawaan dan Substansi :
1.

Idea pemikiran: pikiran sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia (res
cogitans). Berpikir ada. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia
pun ada. cogito ergo sum aku berpikir,maka aku ada.

2. Idea keluasan/materi (res extensa). Saya bukan hanya pikiran, tapi juga sesuatu
yang bisa diraba dan dilihat. Kejasmanian saya ini bisa saja merupakan kesan
yang menipu, tetapi bahwa kesan itu ada sejak lahir, meskipun tidak selalu
sempurna menunjukkan bahwa kejasmanianku juga merupakan sebuah idea
bawaan. Saya mengerti materi sebagai keluasan, sebagaimana hal dilukiskan dan
dipelajari oleh ahli ilmu ukur. Saya mengerti materi sebagai keluasan atau
ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli ilmu ukur.
3. Ide Tuhan (Allah): Ia berpendapat bahwa saya juga memiliki idea tentang yang
sempurna. Karena saya mempunyai idea sempurna, maka dapat disimpulkan
bahwa pasti ada suatu penyebab sempurna untuk idea itu, karena suatu akibat
tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada
Allah. Idea Allah bagi Descartes adalah wujud yang seluruhnya sempurna.
Menurut Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas, maka terlebih
dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Bagi Descartes, pengertian yang benar haruslah
dapat menjamin dirinya sendiri. Untuk mendapatkan sesuatu pengetahuan yang tidak diragukan
lagi kebenarannya, Descartes menggariskan 4 langkah aturan sebagai berikut:
6 Juhaya S. Praja, Aliran aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal
95
6

1. Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu
keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas
sehingga mustahil disangsikan.
2. Setiap persoalan yang diteliti dibagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang
diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
3. Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai
pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai
pada pengertian yang komplek dan nisbi.
4. Setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang
dilalaikan.7[6]
Pada mulanya Descartes tidak puas dengan pengetahuan umumnya dengan alasan bahwa
misalnya panca indera itu banyak sekali membohong, oleh sebab itu tidak boleh dijadikan dasar
pengetahuan.Yang dapat dipercaya kebenarannya adalah pikiran manusia, misalnya dalam ilmu
pasti. Dalam waktu kecewa pada kebenaran pengetahuan yang berlangsung selama 9 tahun,
timbul suatu pertanyaan pada dirinya sendiri yang tidak bisa dimungkiri lagi. Pertanyaan itu
adalah: saya berakal, jadi saya ada, sebagai makhluk yang kecewa. Itulah permulaan aliran
pikiran rasionalisme modern.
Descartes menganggap ilmu pasti, ilmu yang paling utama dari segala ilmu pengetahuan,
karena segala pokok ilmu pengetahuan bisa ditemukan dalam ilmu tersebut. Ahli-ahli filsafat
rasionalisme ini ada 4, yaitu Descartes, Spinoza, Leibnitz, dan Wolf. Mereka dalam usaha
mencari kebenaran dengan menggunakan perantaraan akal, dengan tandas mengakui bahwa pada
hakekatnya mereka bertemu dengan adanya Tuhan, sebab buat Tuhan hanya ada satu kebenaran
saja.
Descartes juga tidak mengadakan pendapat baru, hanya merubah haluan filsafat serta
mendatangan pembaharuan. Kalau filsafat itu di atas dasar pikiran Aristoteles, maka Descartes
mendudukkannya di atas fundamen ilmu pengetahuan, terlepas dari pelbagai prasangkaan dan
kepercayaan yang tidak berdasar pada kebenaran.Cara yang ditempuhnya ialah menjadikan dasar
7[6]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 28 29.
7

filsafat itu kesangsian. Untuk itu dia menggunakan senjata ragu, tidak percaya kepada sesuatu
sehingga langit yang menanunginya itu pada mulanya tidak dipercayainya, demikian juga bumi
tempat dia berpijak tidak dipercayainya.
Metode keraguan ini dipergunakan sebagai sistem mencari kebenaran, dan bukannya ia
ragu benar-benar. Sifat ragu-ragu pada manusia itu diteruskannya dengan sangat, sampai
akhirnya ia ragu pada undang-undang mathematik seperti logika, aljabar dan ilmu ukur yang
sudah ditetapkan kebenarannya oleh pengetahuan manusia. Dua pertanyaan yang dikemukakan
Descartes dalam ijtihadnya menetapkan adanya Tuhan yang menjadikan alam semesta ini.
Benarkah ada Tuhan? kedua, apakah Tuhan yang ada itu? Untuk mengenal adanya Tuhan,
Descartes perlu menempuh jalan yang belum pernah dilalui orang lain menurut jalan berfikirnya.
Seorang harus terlebih dahulu melepaskan dirinya dari tubuhnya kemudian mencari kebenaran di
dalam lautan diri yang telah terlepas dari jasmani. Hal itu bukan saja untuk mengetahui di luar
diri sendiri, tetapi juga demikian untuk mengetahui dirinya yang sebenarnya.8[8]
Kepastian bahwa ia adalah sesuatu yang berpikir yang memberi Descartes landasan
yang ia perlukan untuk membangun bangunan pengetahuan. Ia telah mendirikannya dengan
metode ragu dan dengan memakai apa yang disebutnya dengan cahaya nalar. Ia terus
menawarkan dua argumen untuk eksistensi Tuhan. Argumen pertama dimulai dari kesadarannya
akan dirinya sendiri sebagai yang ada yang karena keraguannya, tidak sempurna namun mampu
membuat gagasan tentang Tuhan sebagai wujud yang sempurna.9[9]
C. Perbedaan Filafat Abad Modern dan Filsafat Abad Pertengahan
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes biasanya disebut rasionalisme, karena aliran ini
sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat
membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam
memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya
8[8]H. Hamzah Yaqub, Filsafat Agama, Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 35 37
9[9]Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 84
8

diwansi dari Rene Descartes. Pertama, masalah snbstcnsi, kedua, masalah hubungan antara jiwa
dan tubuh.
Rerne Descartes adalah tokoh filsafai abad modern, bahkan dialah pendiri dan pelopor
atamanva. Ada perbedaan renting antara filsafat abad pertengahan dengan abad modern. Pebedaar tersebut bukanlah dilihat dan segi dikotomi mundur dan maju seperti halnya pada dunia
ilmu pengetahuan. Perbedaan keduanya lebih sering dilihat dari sudut ciri khasnya masingmasing. Filsafat abad pertengahan bercirikan sinkretasi antara akal dan wahyu, antara rasio
dengan agama, dengan kecenderungan untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap wahyu
atau eksistensi Tuhan melalui argumen-argumen filosofis. Perhatian filsafat dicurahkan pada halhal yang bersifat abstrak, sedang hal-hal yang bersifat konkret dan hal-hal yang tampak pada
umumnya diabaikan.
Adapun ciri fisafat abad modern adalah perhatia yang antusias terhadap hal-hal yang
bersifat konkret, seperti alam semesta, manusia, hidup bermasyarakat dan sejarah. Dengan kata
lain segala segi dari kenyataan yang nampak dijadikan sasaran penyelidikan.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di muka, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Rene Descartes dikenal sebagai ahli filsafat pertama yang namanya
begitu

besar.

ia

juga

matematikawan.
2. Rene Descartes

penemu

adalah

biologi

modern,

Pandangannya

tentang

ahli

fisika,

dan

pengetahuan

dan

kepastian, dan pandangannya tentang hubungan antara pikiran dan tubuh


telah memberi pengaruh yang besar selama tiga abad terakhir.
3.

Pemikirannya

membuat

sebuah

revolusi

falsafi

di

Eropa

karena

pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti,


kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir
Rene Descartes adalah pelopor Filsafat Rasionalisme yang disebut sebagai bapak filsafat
modern. Ia berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Dalam
filsafatnya ia mengemukakan metode kesangsian untuk merenungkan terus sesuatu hal sampai
9

tidak ada keragu-raguan lagi. Menurut Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang
dan jelas, maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Cara yang ditempuhnya
ialah menjadikan dasar filsafat itu kesangsian. Metode keraguan ini dipergunakan sebagai sistem
mencari kebenaran, dan bukannya ia ragu benar-benar.
Descartes berkesimpulan untuk mencari kebenaran sejati dia mesti mulai melakukan
langkah yang polos dan jernih. Untuk itu, dia mulai dengan cara meragukan apa saja, apa saja
yang dikatakan gurunya. Meragukan kepercayaan meragukan pendapat yang sudah berlaku,
meragukan eksistensi alam di luar dunia, bahkan meragukan eksistensinya sendiri. Pokoknya,
meragukan segala-galanya. Kemudia dari keragu-raguan tersebutlah ia menemukan kebenaran
yang sesungguhnya.
Untuk mengenal adanya Tuhan, menurutnya seseorang harus terlebih dahulu melepaskan
dirinya dari tubuhnya kemudian mencari kebenaran di dalam lautan diri yang telah terlepas dari
jasmani. Namun terdapat perbedaan antara antologi Descartes dengan antologi lainnya, ia
mengandaikan akal mempunyai kemampuan menjangkau pengetahuan tentang segala hal,
termasuk pengetahuan (substansi) Tuhan. Pendapatnya bahwa substansi Tuhan adalah pemegang
otoritas atau penjamin eksistensi substansi jiwa dan substansi badan, makin memperjelas
bahwa tidak sepenuhnya segala kebenaran selalu bermuara dari subyek yang akal.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Drs, 1994, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama.

Collinson, Diane, 2001, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
10

Muntasyir, Rizal, Drs, M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, 2003, Filsafat ilmu, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mustansyir, Rizal, Drs, M.Hum, 2001, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan
Para Tokohnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
The Liang Gie, 1991, Pengantar Filsafat ilmu, Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan Yayasan
Studi Ilmu dan Teknologi.
Yaqub, H. Hamzah, dr, 1992, Filsafat Agama, Titik Temu Akal dengan Wahyu, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya.
Zubaedi, Dr, M.ag, dkk, 2007, Filsafat Barat dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi
Sains ala Thomas Kuhn, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

11

Anda mungkin juga menyukai