Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Hasil Percobaan
4.1.1 Kalibrasi Pelarut
Pelarut yang digunakan

: aquadest (H2O)

Volume pelarut awal (Vo)

: 11 mL

Titik didih kalibrasi

: 98oC

pelarut

: 0,959772 g/cm3

(Geankoplis, 1993)

P pelarut

: 95,11 kPa

(Geankoplis, 1993)

Hv

: 2672,9 J/gr

(Geankoplis, 1993)

4.1.2 Penentuan Titik Didih Metode Landsberger


1. Sampel Laktosa (C12H22O11)
Tabel 4.1 Hasil Percobaan untuk Sampel Laktosa (C12H22O11)
Run
I
II
III
IV
V

W (g) V1 (mL) V2 (mL)


0,15
11,0
16,0
0,30
11,0
15,0
0,45
11,0
15,0
0,60
11,0
15,0
0,75
11,0
16,0

Kdteori

= 7,721 oC/molal

Kdpraktek

= 0,8370 oC / molal

% Ralat
% Ralat

Kd teori Kd perc
Kd teori

100 %

7,721 0,8370
100 %
7,721

% Ralat 89,16 %

m1
0,042
0,083
0,125
0,166
0,208

m2
0,029
0,061
0,091
0,122
0,143

Td (oC)
99,0
99,0
99,0
99,5
99,0

Td (oC)
1
1
1
1,5
1

2. Sampel Maltosa (C12H22O11)


Tabel 4.2 Hasil Percobaan untuk Sampel Maltosa (C12H22O11)
Run W (g) V1 (mL)
0,15
11,0
I
II
0,30
11,0
0,45
11,0
III
0,60
11,0
IV
0,75
11,0
V

V2 (mL)
16,0
16,0
17,0
16,0
16,0

Kdteori

= 7,721 oC/molal

Kdpraktek

= 0,8460 oC/molal

% Ralat
% Ralat

Kd teori Kd perc
Kd teori

m1
0,042
0,083
0,125
0,166
0,208

m2
0,029
0,057
0,081
0,114
0,143

Td (oC) Td (oC)
99,0
1
98,5
0,5
99,0
1
99,0
1
99,0
1

100 %

7,721 0,8460
100 %
7,721

% Ralat 89,04 %
3. Sampel Natrium Klorida (NaCl)
Tabel 4.3 Hasil Percobaan untuk Sampel Natrium Klorida (NaCl)
Run
I
II
III
IV
V

W (g) V1 (mL) V2 (mL)


0,15
0,30
0,45
0,60
0,75

11,0
11,0
11,0
11,0
11,0

Kdteori

= 7,721 oC/molal

Kdpraktek

= 1,4245 oC/molal

% Ralat
% Ralat

Kd teori Kd perc
Kd teori

15,0
16,0
16,0
16,0
15,0

100 %

7,721 1,4245
100 %
7,721

% Ralat 81,55 %

m1

m2

0,243
0,486
0,729
0,972
1,216

0,178
0,334
0,501
0,669
0,891

Td (oC)

Td (oC)

99,0
99,5
99,5
99,5
100

1
1,5
1,5
1,5
2

Alasan terdapat ralat adalah sebagai berikut :


1. Terkontaminasinya larutan yang digunakan.
2. Uap yang dihasilkan dari proses pemanasan tidak seluruhnya mendidihkan
larutan sampel yang ada di gelas ukur.
3. Water batch yang digunakan tidak dapat memberikan energi yang besarnya
konstan saat pemanasan sehingga mempengaruhi temperatur mendidihnya
larutan.
4.2

Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Fraksi Mol Zat Terlarut (Xt) terhadap Penurunan Tekanan
Uap Larutan (P)
Di bawah ini adalah Gambar 4.1 yaitu grafik yang menyatakan pengaruh fraksi
mol zat terlarut laktosa (X2) terhadap penurunan tekanan uap larutan laktosa (P),
Gambar 4.2 yaitu grafik yang menyatakan pengaruh fraksi mol zat terlarut maltosa
(X2) terhadap penurunan tekanan uap larutan maltosa (P), dan Gambar 4.3 yaitu
grafik yang menyatakan pengaruh fraksi mol zat terlarut natrium klorida (X2)
terhadap penurunan tekanan uap larutan natrium klorida (P).

Penurunan Tekanan Uap (P)

0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00

Fraksi Mol Zat Terlarut (X2)

Gambar 4.1 Pengaruh Fraksi Mol Laktosa terhadap Penurunan Tekanan Uap
Larutan Laktosa

0,40

Penurunan Tekanan Uap (P)

0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00

Fraksi Mol Zat Terlarut (X2)

Gambar 4.2 Pengaruh Fraksi Mol Maltosa terhadap Penurunan Tekanan Uap
Larutan Maltosa

Penurunan Tekanan Uap (P)

4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00

Fraksi Mol Zat Terlarut (X2)

Gambar 4.3 Pengaruh Fraksi Mol Natrium Klorida terhadap Penurunan Tekanan
Uap Larutan Natrium Klorida

Pada Gambar 4.1 dengan menggunakan sampel Laktosa menunjukkan bahwa


penurunan tekanan uap (P) larutan Laktosa berbanding lurus dengan fraksi mol zat
terlarutnya (X2). Pada run I dengan fraksi mol zat terlarut sebesar 0,000747
diperoleh P 0,071 kPa, run II 0,001494 diperoleh P 0,142 kPa, run III 0,002239
diperoleh P 0,213 kPa, run IV 0,002983 diperoleh P 0,284 kPa dan run V
0,003726 diperoleh P 0,354 kPa.
Pada Gambar 4.2 dengan menggunakan sampel Maltosa menunjukkan bahwa
penurunan tekanan uap (P) larutan Maltosa berbanding lurus dengan fraksi mol zat
terlarutnya (X2). Pada run I dengan fraksi mol zat terlarut sebesar 0,000747
diperoleh P 0,071 kPa, run II 0,001494 diperoleh P 0,142 kPa, run III 0,002239
diperoleh P 0,213 kPa, run IV 0,002983 diperoleh P 0,284 kPa dan run V
0,003726 diperoleh P 0,354 kPa.
Pada Gambar 4.3 dengan menggunakan sampel Natrium klorida menunjukkan
bahwa penurunan tekanan uap (P) larutan Natrium klorida berbanding lurus dengan
fraksi mol zat terlarutnya (X2). Pada run I dengan fraksi mol zat terlarut sebesar
0,004362 diperoleh P 0,830 kPa, run II 0,008686 diperoleh P 1,652 kPa, run III
0,012973 diperoleh P 2,468 kPa, run IV 0,017222 diperoleh P 3,276 kPa dan run
V 0,021436 diperoleh P 4,077 kPa.
Secara teori telah dijelaskan menurut Hukum Raoult bahwa penurunan tekanan
uap larutan berbanding lurus dengan fraksi mol zat terlarut. Hukum tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut.
P = Po . XA . i
Keterangan: P = penurunan tekanan uap jenuh
XA = fraksi mol zat terlarut
Po = tekanan uap pelarut murni
i

= faktor Vant Hoff

(Romdhoni, 2009).

(4.1)

Dapat dilihat dari rumus, bahwa XA (fraksi mol zat terlarut) berbanding lurus
dengan P (penurunan tekanan uap larutan). Sehingga semakin besar XA (fraksi mol
zat terlarut) maka akan semakin besar pula P (penurunan tekanan uap larutan).
Apabila larutan tersebut bersifat elektrolit maka karena adanya faktor Vant Hoff
menyebabkan P akan semakin besar.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasil percobaan
yang diperoleh sesuai dengan teori untuk sampel laktosa, maltosa dan natrium
klorida, yakni penurunan tekanan uap berbanding lurus dengan peningkatan fraksi
zat terlarut suatu sampel, serta penurunan tekanan uap (P) elektrolit lebih besar dari
pada non elektrolit, penurunan tekanan uap larutan NaCl lebih besar dari pada
laktosa dan maltosa.
4.2.2 Pengaruh Molalitas Terhadap Kenaikan Titik Didih (Td) Larutan
Di bawah ini Gambar 4.4 yaitu grafik yang menyatakan pengaruh molalitas
laktosa (m) terhadap kenaikan titik didih larutan laktosa (Td), Gambar 4.5 yaitu
grafik yang menyatakan pengaruh molalitas maltosa (m) terhadap kenaikan titik
didih larutan maltosa (Td), dan Gambar 4.6 yaitu grafik yang menyatakan pengaruh
molalitas natrium klorida (m) terhadap kenaikan titik didih larutan natrium klorida
(Td).

1.60
1.40
1.20
1.00
Kenaikan Tidik Didih Larutan Laktosa (Td)

0.80
0.60

Td Teori
Td Regresi
Td Praktek

0.40
0.20
0.00
2.9000000000000001E-2
Molalitas (m)

Gambar 4.4 Pengaruh Molalitas Laktosa (C12H22O11) Terhadap Kenaikan Titik Didih
Larutan Laktosa (C12H22O11)
1.20
1.00
0.80
Kenaikan Tidik Didih Larutan Maltosa (Td)

0.60
0.40

Td Teori
Td Regresi
Td Praktek

0.20
0.00
2.9000000000000001E-2
Molalitas (m)

Gambar 4.5 Pengaruh Molalitas Maltosa (C12H22O11) Terhadap Kenaikan Titik


Didih Larutan Maltosa (C12H22O11)

16.00
14.00
12.00
10.00
Kenaikan Tidik Didih Larutan NaCl (Td)

8.00
6.00

Td Teori
Td Regresi
Td Praktek

4.00
2.00
0.00
0.17800000000000013
Molalitas (m)

Gambar 4.6 Pengaruh Molalitas Natrium Klorida (NaCl) Terhadap


Kenaikan Titik Didih Larutan Natrium Klorida (NaCl)
Pada gambar 4.4 yang menggunakan sampel laktosa menunjukkan bahwa
molalitas laktosa berbanding lurus dengan kenaikan titik didih larutan (Td). Pada
run I dengan 0,029 m diperoleh Td 1oC, run II 0,061 m diperoleh Td 1oC, run III
0,091 m diperoleh Td 1oC, run IV 0,122 m diperoleh Td 1,5oC dan run V 0,143 m
diperoleh Td 1oC.
Pada gambar 4.5 yang menggunakan sampel maltosa menunjukkan bahwa
molalitas maltosa berbanding lurus dengan kenaikan titik didih larutan (Td). Pada
run I dengan 0,029 m diperoleh Td 1oC, run II 0,057 m diperoleh Td 0,5oC, run
III 0,081 m diperoleh Td 1oC, run IV 0,114 m diperoleh Td 1oC dan run V 0,143 m
diperoleh Td 1oC.
Pada gambar 4.6 menunjukkan bahwa molalitas natrium klorida berbanding
lurus dengan kenaikan titik didih larutan (Td). Pada run I dengan 0,178 m diperoleh
Td 1oC, run II 0,334 m diperoleh Td 1,5oC, run III 0,501 m diperoleh Td 1,5oC,
run IV 0,669 m diperoleh Td 1,5oC dan run V 0,891 m diperoleh Td 2oC.

Secara teori, apabila suatu zat nonvolatil dimasukkan ke dalam cairan, maka
pada saat tekanan udara luar 1 atm, tekanan dalam larutan akan lebih kecil. Untuk
membuat Pluar = Plarutan (mendidih), maka di atas larutan perlu fasa uap. Fasa uap akan
timbul bila larutan dipanaskan. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam
memahami mengapa titik didih menjadi lebih tinggi.
Untuk menghitung besarnya kenaikan titik didih digunakan:
Td = - RTd2 ln X / Huap

(4.2)

Untuk larutan yang sangat encer dan nonelektrolit persaman di atas menjadi :
Td = Kd . ms

(4.3)

Keterangan : Td = kenaikan titik didih


Kd = konstanta kenaikan titik didih molal
ms = molalitas solut
(Suharyanto, 2012).
Menurut Roult besarnya Td sebanding dengan konsentrasi molal dan tidak
tergantung pada jenis zat terlarut (Sumardjo, 2006). Sehingga semakin tinggi
molalitasnya semakin tinggi pula kenaikan titik didihnya (Td). Pada larutan
elektrolit memperlihatkan sifat koligatif yang lebih besar dari hasil perhitungan
dengan persamaan untuk sifat koligatif larutan nonelektrolit. Hal ini disebabkan nilai
i (faktor Van't Hoff). Semakin kecil konsentrasi larutan elektrolit, harga i semakin
besar, yaitu semakin mendekati jumlah ion yang dihasilkan oleh satu molekul
senyawa elektrolitnya (Romdhoni, 2009). Persamaan kenaikan titik didih dapat
ditulis sebagai berikut :
Td = Kd . m. i

(4.4)

Keterangan : Td = kenaikan titik didih larutan


Kd

= konstanta kenaikan titik didih molal.

= konsentrasi larutan dalam molal

= faktor Van Hoff

(Romdhoni, 2009).
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan hasil percobaan
yang diperoleh sesuai dengan teori, dimana semakin besar molalitas sampel, semakin
besar kenaikan titik didihnya. Akan tetapi, pada run V laktosa dan run II maltosa
terjadi penyimpangan yaitu kenaikan titik didih sampel berbanding terbalik dengan

molalitas sampel. Penyimpangan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan


besar volume pelarut setelah larutan dididihkan.
4.2.3 Perbandingan Kenaikan Titik Didih Larutan dengan Berat Molekul yang
Sama
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
Td Laktosa Praktek
Td Maltosa Praktek 0.6
0.4
0.2
Kenaikan Tidik Didih Larutan (Td)
0.0

Td Maltosa Teori

Td Laktosa Regresi

Td Laktosa Teori

Td Maltosa Regresi

Massa Sampel (w)

Gambar 4.7 Perbandingan Kenaikan Titik Didih Larutan Laktosa dengan Kenaikan
Titik Didih Larutan Laktosa
Pada gambar 4.7 menunjukkan bahwa Td teori laktosa pada run I diperoleh
Td 0,2239oC, run II Td 0,4710oC, run III Td 0,7026oC, run IV Td 0,9420 oC
dan run V Td 1,1041oC sedangkan Td teori maltosa yaitu pada run I diperoleh
Td 0,2239oC, run II Td 0,4400oC, run III Td 0,6254oC, run IV Td 0,8802oC dan
run V Td 1,1041oC. Pada Td praktek laktosa pada run I diperoleh Td 1oC, run II
Td 1oC, run III Td 1oC, run IV Td 1,5oC dan run V Td 1oC sedangkan pada
Td praktek maltosa pada run I Td 1oC, run II Td 0,5oC, run III Td 1oC, run IV
Td 1oC dan run V Td 1oC.
Menurut Raoult besarnya Td sebanding dengan konsentrasi molal dan tidak
tergantung pada jenis zat terlarut (Sumardjo, 2006). Percobaan yang dilakukan
menggunakan laktosa dan maltosa memiliki data yang hampir serupa, dikarenakan
laktosa dan maltosa memiliki berat molekul yang sama besar namun besar
molalitasnya berbeda. Hasil percobaan tidak sesuai dengan teori, dimana terjadi

penyimpangan pada Td run V laktosa dan Td run II maltosa, yaitu kenaikan titik
didih sampel berbanding terbalik dengan molalitas sampel. Hal ini terjadi disebabkan
karena adanya perbedaan besar volume pelarut setelah larutan dididihkan.

Anda mungkin juga menyukai