Anda di halaman 1dari 40

DAFTAR ISI

Daftar Isi1
Skenario.2
Kata Sulit...3
Pertanyaan.4
Jawaban Pertanyaan.4
Hipotesis 5
Sasaran Belajar.6
Daftar Pustaka45

Skenario 3
SESAK NAFAS
Seorang anak perempuan, umur 7 tahun, dibawa ibunya ke Klinik YARSI dengan keluhan
sulit bernafas. Tiga hari yang lalu pasien ada demam, batuk dan pilek. Pasien sudah diberi obat
namun belum ada perubahan. Menurut ibunya, paisen menderita alergi makanan terutam ikan
laut. Ayah pasien mempunyai riwayat alergi.
Pemeriksaan fisik:
- Inspeksi: terlihat pernapasan cepat dan sukar serta adanya retraksi daerah supraklavikular,
suprasternal, epigastrium dan sela iga. Frekwensi nafas 48x/menit, disertai batuk-batuk
paroksismal dengan ekspirasi memanjang.
- Palpasi: fremitus taktil dan vocal dalam batas normal
- Perkusi: hipersonor pada seluruh toraks
- Auskultasi: suara bronkial dengan bunyi kasar/mengeras, ronkhi kering serta ronkhi
basah serta suara lender dan wheezing.
Pasien di diagnosis sebagai Asma akut episodic sering.
Penanganan yang diberikan berupa -agonis secara nebulisasi.
Pasien diobservasi selama 1-2 jam, apabila respon baik pasien dipulangkan dengan dibekali obat
bronkodilator.
Pasien dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan untuk re-evaluasi tatalaksananya.

KATA-KATA SULIT

1. Retraksi
: Tindakan menarik kembali
2. Nebulisasi
: Teknik perasapan obat yang diberikan pada pasien, sehingga obat
tetap masuk ke saluran pernapasan, walaupun dalam kondisi sulit bernapas.
3. Batuk paroksismal
:Serangan batuk yang sifatnya mendadak dan berulang-ulang
4. Fremitus
: Getaran yang terasa pada palpasi
5. Hipersonor
:Pemanjangan dan intensifikasi yang dihasilkan dengan
mengirimkan getarannya ke suatu rongga yang berlebihan
6. Suara bronkial
: Suara napas dengan nada tinggi, seperti meniup melalui sebuah
tabung. Biasanya terdengar didaerah manubrium sterni.
7. Wheezing
: Suara tambahan saat bernapas karena adanya hambatan
8. Asma
: Suatu penyakit kronik yang menyerang saluran pernapasan pada
paru dimana terdapat peradangan pada dinding rongga bronkial, sehingga mengakibatkan
penyempitan saluran napas dan menjadi sesak napas
9. Fremitus vocal
: Getaran yang disebabkan oleh bicara
10. Fremitus taktil
: Vocal fremitus yang terasa pada dinding dada

PERTANYAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Apa hubungan riwayat alergi terhadap asma yang diderita pasien?


Kenapa terdengar hipersonor?
Mengapa pasien sulit bernapas?
Mengapa pasien didiagnosa asma episodic sering?
Apa penanganan lain selain -agonis?
Mengapa terjadi retraksi?
Apa yang menyebabkan batuk paroksismal dengan ekspirasi memanjang?
Kenapa efek alergi makanannya terjadi pada saluran pernapasan bukan pada kulit atau
saluran perncernaan?
9. Kenapa pemberian -agonis secara nebulisasi bukan sistemik?
JAWABAN
1. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa penderita asma pada umumnya memiliki riwayat
rhinitis alergi, riwayat alergi makanan, atau anggota keluarga yang memiliki riwayat
alergi ataupun asma. Meskipun sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Secara
umum erjadinya asma disebabkan karena penyempitan saluran napas akibat inflamasi.
Inflamasi tersebut disebabkan oleh degranulasi histamine oleh sel mast sebagai akibat
dari hipersensitivitas terhadap suatu allergen. Maka bisa dikatakan bahwa terdapat
hubungan antara asma dengan proses alergi.
Hipersensitivitas -> bronkokonstriksi -> ekspirasi menurun -> sesak napas
2. Penyempitan bronkus dan hiperproduksi mucus oleh sel goblet epitel bronkus
menyebabkan aliran udara menurun. Inspirasi merupakan proses aktif sedangkan
ekspirasi adalah proses pasif. Ketika lumen bronkus mengecil dan terdapat akumulasi
mucus, inspirasi akan terhambat tetapi masih bisa dilakukan karena merupakan proses
yang aktif. Akan tetapi, ekspirasi akan sangat sulit dilakukan, sehingga akan ada
peningkatan residu udara yang tertahan di paru menyebabkan ekspirasi memanjang yang
ditandai bunyi mengi atau wheezing.
3. Terjadi penyempitan saluran napas akibat inflamasi.
Hipersensitivitas -> bronkokonstriksi -> ekspirasi menurun -> sesak napas
4. Berdasarkan kategori asma kekambuhannya dalam kategori sering
5. Kortikosteroid, Leukotrien inhibitor, terapi O2
6. Karena volume meningkat, menyebabkan otot-otot respirasi yang tidak digunakan pada
keadaan normal ikut bekerja.
7. Karena alergi
Alergen-> reaksi hipersensitivitas -> batuk -> bronkokonstriksi -> ekspirasi memanjang
8. Alergi makanan tersebut belum pasti merupakan etiologi atau pemicu asma yang diderita
pasien. Alergi makanan tersebut merupakan suatu faktor resiko seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Dengan kata lain merupakan suatu indicator dan membantu
dalam diagnosis asma. Tetapi adapula kondisi lain yang juga dapat mengakibatkan
obstruksi saluran nafas akibat makanan yang disebut GERD (Gastro Esophageal Refflux
Disease) dimana makanan tersebut yang berasal dari saluran cerna akan masuk ke saluran
nafas dan memicu berbagai respon alergi.
9. a. lebih cepat karena local
b. efek samping sistemik lebih tinggi

HIPOTESIS
Asma disebabkan karena adanya penyempitan saluran pernapasan akibat hipersensitivitas
terhadap alergen yang didukung oleh faktor genetik yang memicu inflamasi pada saluran
napas, sehingga ekspirasi memanjang dan pasien sulit bernapas. Dalam kondisi ini, otototot pernapasan akan bekerja sehingga terjadi retraksi. Asma ditangani dengan nebulizer
-agonis, kortikosteroid, oksigen, dan leuktrien inhibitor.

SASARAN BELAJAR

LI 1 Memahami dan Menjelaskan Asma Bronkhial Pada Anak


LO 1.1. Definisi Asma Bronkhial
LO 1.2. Etiologi Asma Bronkhial
LO 1.3. Epidemologi Asma Bronkhial
LO 1.4. Klasifikasi Asma Bronkhial
LO 1.5. Patofisiologi dan Patogenesis Asma Bronkhial
LO 1.6. Manefestasi klinis Asma Bronkhial
LO 1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding Asma Bronkhial
LO 1.8. Tatalaksana Asma Bronkhial
LO 1.9. Komplikasi Asma Bronkhial
LO 1.10. Pencegahan Asma Bronkhial
LO 1.11. Prognosis Asma Bronkhial

LI 2 Memahami dan Menjelaskan Terapi Inhalasi Pada Anak


LO 2.1. Cara Kerja Terapi Inhalasi
LO 2.2. Jenis Jenis Terapi Inhalasi

LI 1 Memahami dan Menjelaskan Asma Bronkhial Pada Anak


LO 1.1. Definisi Asma Bronkhial
Definisi pasti dari asma masih sulit untuk dipahami, hal ini terutama karena penyebab
dari penyakit ini masih belum diketahui. Terlebih lagi karena asma bukanlah penyakit
dengan penyebab yang jelas, tetapi lebih sebagai suatu sindroma dimana bermacam
faktor presipitasi dapat menyebabkan manifestasi klinis dan patologis.
GINA (Global Institute for Asthma) mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut:
gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel
mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan
episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada
waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas
terhadap berbagai rangsangan.
Batasan ini sangat lengkap, tetapi dalam penerapan klinis untuk anak tidak praktis, oleh
karena itu KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) memberi batasan sebagai berikut:
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara
episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik,
serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.

LO 1.2. Etiologi Asma Bronkhial

Asma adalah penyakit yang dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul segala usia,
meskipun demikian, umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah
lima tahun dan orang dewasa pada usia sekitar tiga puluh tahunan.
a) Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)
Reaksi antigen-antibodi
Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)
b) Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)

Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal


Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur
Iritan : kimia
Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
Emosional : takut, cemas dan tegang
Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus

Ada beberapa faktor pencetus yang erat hubungannya dengan serangan asma, yaitu faktor
alergen, keletihan, infeksi, ketegangan emosi, serta faktor lain seperti bahan iritan, asap rokok,
refluks gastroesofagal, rinitis alergi, obat dan bahan kimia, endokrin, serta faktor anatomi dan
fisiologi.
Alergen makanan
Makanan sebagai penyebab atopi khususnya dermatitis atopik dan serangan asma banyak
ditemukan pada masa bayi dan anak yang masih muda. Pada bayi dan anak berumur di bawah 3
tahun terutama adalah alergi susu sapi, telur dan kedelai yang umumnya dapat mentolerir
kembali sebelum anak berumur 3 tahun. Pada anak besar dan dewasa penyebab utama adalah
ikan, kerang-kerangan, kacang tanah dan nuts dan penyebabnya ini sering menetap, walaupun
demikian dapat diprovokasi tiap 6 bulan.
Alergen hirup
Dibagi atas 2 kelompok, yaitu:
1. Alergen di dalam rumah (indoors) seperti tungau debu rumah, bulu kucing, bulu anjing
atau binatang peliharaan lainnya. Alergen ini banyak dijumpai di negara-negara tropis,
juga terdapat di negara-negara dengan 4 musim.
2. Alergen di luar rumah (outdoors), seperti serbuk sari (pollen) khususnya di negara-negara
4 musim; tree pollen pada musim semi, grass pollen pada musim panas, jamur pada
musim panas dan gugur.
Tungau debu rumah
Tungau debu rumah (TDR), termasuk spesies laba-laba, banyak terdapat di dalam debu rumah,
dan di tempat tidur. Di negara tropis TDR adalah penyebab utama penyakit alergi, khususnya
asma bronkial, rinitis alergi dan belakangan ini diduga sebagai penyebab dermatitis atopik.
TDR tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, bahkan dengan mikroskop pun sulit dilihat tanpa
sinar dari samping. Untuk hidup, TDR jenis Dermatophagoides pteronyssinus diperlukan suhu
sekitar 25-30oC, dengan kelembaban nisbi diatas 50% dan untuk jenis D. farinae dapat bertahan
hidup sampai suhu 15oC dan kelembaban nisbi 40%. Populasi TDR banyak ditemukan pada
permukaan kasur baik dari kapuk maupun dari busa, sebab untuk makanan TDR diperlukan
serpihan kulit manusia.
Infeksi saluran napas
Sekitar 42% eksaserbasi asma dihubungkan dengan infeksi virus, terbanyak respiratory syncytial
virus (RSV) pada masa bayi dan anak kecil dan parainfluenza virus pada anak yang lebih besar.
Akibat infeksi virus terjadi kerusakan sel epitel saluran napas dan pajanan alergen pada reseptor
aferen nervus vagus dan berakibat suatu bronkospasme dan serangan asma. Mengi pertama pada
bayi perlu dipertimbangkan antara bronkiolitis atau sebagai serangan pertama asma. Keduanya
bisa disebabkan oleh RSV dan sulit dibedakan satu dengan yang lain. Demikian pula pada
perjalanan penyakit selanjutnya, dimana penderita dengan bronkiolitis mempunyai kemungkinan
3 kali lebih besar untuk berlanjut dengan mengi di kemudian hari dibandingkan anak normal.
Infeksi bakteri umumnya jarang ada hubungannya dengan serangan asma.

Emosi
Emosi dapat meningkatkan aktivitas saraf parasimpatikus, sehingga terjadi pelepasan asetilkolin
dan mengakibatkan serangan asma. Faktor pencetus dapat bersumber dari masalah antara kedua
orang tua, antara orang tua dengan anak, atau masalah dengan guru di sekolah.
Latihan jasmani
Asma yang diinduksi latihan jasmani (Exercise Induced Asthma = EIA) dapat terjadi akibat lari
bebas di udara yang dingin dan kering. Bila berlari di udara yang hangat dan lembab, EIA jarang
timbul. Setelah berlari 2 menit umumya terjadi dilatasi bronkus dan anak merasa lebih enak,
tetapi setelah berlari antara 5-8 menit terjadilah konstriksi bronkus (respons dini), dan pada
beberapa pasien juga dapat diikuti dengan respons lambat antara 4-6 jam sesudah konstriksi
bronkus yang pertama.
Faktor lain

Bahan iritan. Iritan sebagai pencetus asma mencakup bau cat, hair spray, parfum, udara
dan air dingin, juga ozon dan bahan industri kimia yang dapat menimbulkan
hiperreaktivitas bronkus dan inflamasi.

Asap rokok. Asap rokok mengandung beberapa partikel yang dapat dihirup, seperti
hidrokarbon polisiklik, karbonmonoksida, nikotin, nitrogen dioksida, dan akrolein. Asap
rokok atau asap obat nyamuk bakar dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia,
menurunkan klirens mukosiliar, dan menghambat aktivasi fagosit serta efek bakterisid
makrofag, sehingga terjadi hiperreaktivitas bronkus.

Refluks gastroesofagus. Refluks isi lambung ke saluran napas dapat memperberat asma
pada anak dan merupakan salah satu penyebab asma nokturnal.

Obat dan bahan kimia. Aspirin dapat sebagai pencetus serangan asma melalui proses
alergi dan non alergi. Angka kejadiannya pada orang dewasa adalah antara 4-28%, tetapi
jarang pada anak. Obat lain yang perlu diperhatikan sebagai pencetus serangan asma
adalah obat antiiflamasi seperti indometasin, ibuprofen, fenilbutason, asam mefenamat,
dan b-bloker. Bagi penderita yang alergi terhadap aspirin, mempunyai kemungkinan
besar juga alergi terhadap bahan-bahan kimia seperti tartrazin (pewarna kuning untuk
kapsul obat) dan sodium benzoat sebagai pengawet makanan atau minuman.

Hormon. Asma dapat timbul atau diperberat oleh menstruasi, segera sebelum atau setelah
menstruasi. Pemakaian pil KB, terkadang dapat memperberat asma.

LO 1.3. Epidemologi Asma Bronkhial


Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan
terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini
menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat
di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut
disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang
direkomendasikan GINA.

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah
usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and
Allergy in Children) tahun 1995melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada
tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di
Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%,
sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut,
terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian
serius. (Iris, 2008)
LO 1.4. Klasifikasi Asma Bronkhial
Asma dibedakan jadi dua jenis, yakni asma bronkial dan kardial. Penderita asma
bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar, seperti debu rumah,
bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi. Gejala kemunculannya sangat
mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya, risiko kematian bisa datang.
Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran adanya radang yang mengakibatkan
penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan ini akibat berkerutnya otot
polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan
lendir yang berlebihan.
Sedangkan asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung disebut asma kardial. Gejala
asma kardial biasanya terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang hebat. Kejadian
ini disebut nocturnal paroxymul dyspnea. Biasanya terjadi pada saat penderita sedang
tidur.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajad berat ringannya dan gambaran
dari obstruksi saluran nafas. Yang terpenting adalah berdasarkan derajad berat ringannya
serangan, karena berhubungan secara langsung dengan pengobatan yang akan diberikan.

Ditinjau dari segi Imunologi, asma dibedakan menjadi :


1. Asma Ekstrinsik, yang dibagi menjadi :
Asma Ekstrinsik Atopik:
Penyebabnya adalah rangsangan alergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan
dengan reaksi kulit tipe 1.Gejala klinis dan keluhan cenderung timbul pada awal
kehidupan, 85 % kasus terjadi sebelum usia 30 tahun . Sebagian besar asma tipe ini
mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada waktu puber, dengan serangan asma yang
berbeda-beda pula. Prognosis tergantung pada serangan pertama yaitu berat ringannya
gejala yang timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang berat,
maka prognosisnya lebih jelek. Didalam darah dijumpai meningkatnya kadar IgE
spesifik, dan pada riwayat keluarga didapatkan keluarga yang menderita asma.
Asma Ekstrinsik Non Atopik:
Sifat dari asma ini adalah serangan asma timbul karena paparan dengan bermacam
alergen spesifik, seringkali terjadi pada saat melakukan pekerjaan atau timbul setelah
mengalami paparan dengan alergen yang berlebihan. Tes kulit memberi reaksi tipe
segera, tipe lambat ataupun keduanya. Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang

10

spesifik. Timbulnya gejala cenderung pada akhir masa kehidupan, yang disebabkan
karena sekali tersensitisasi, maka respon asma dapat dicetuskan oleh berbagai macam
rangsangan non imunilogik seperti emosi, infeksi, kelelahan dan faktor sikardian dari
siklus biologis.
2. Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi:
Asma Intrinsik
Asma Idiopatik
Asma jenis ini, alergen pencetusnya sukar ditentukan, tidak ada alergen ekstrinsik
sebagai penyebab, dan tes kulit memberikan hasil negatif. Merupakan kelompok yang
heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme
yang berbeda-beda. Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur diatas
30 tahun dan disebut late onset asthma. Serangan sesak pada tipe ini dapat berlangsung
lama dan seringkali menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid.
Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak dapat
dibuktikan keterlibatan IgE. Kadar IgE serum dalam batas normal, tetapi eosinofil dapat
meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik. Tes serologis dapat
menunjukkan adanya faktor reumatoid misalnya sel LE. Riwayat alergi keluarga jauh
lebih sedikit dibandingkan dengan asma ekstrinsik yaitu 12 sampai 48 %.

Ditinjau dari berat ringannya penyakit menurut Global Initiative For Asthma

Ditinjau Dari Gejala Klinis


Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 95%
udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat
dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak
terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.
Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya
periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200
liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal atau
kehidupan sehari-hari.

Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara
serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi

11

serangan asma yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila
SaO2 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan
nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus
paradoksus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.
Asma Episodik Jarang
75% populasi asma anak
Episode yang terjadi <1x per 46 minggu,
wheezing setelah aktivitas berat,
Tanpa gejala diantara episode serangan
Fungsi paru yang normal diantara serangan
Terapi profilaksis tidak dibutuhkan
Asma Episodik Sering
20% populasi asma
Serangan lebih sering
wheezing pada aktivitas sedang
dapat dicegah dengan pemberian 2-agonis
Gejala terjadi kurang 1x/minggu
Fungsi paru diantara serangan normal atau hampir normal
Perlu controller (pengendali)
Asma Persisten
5% anak asma
Episode akut yang sering,
wheezing pada aktivitas ringan
diantara interval gejala membutuhkan b2-agonis lebih dari 3 kali/minggu baik karena terbangun
malam hari maupun dada terasa berat pada pagi hari
Perlu controller (pengendali)

LO 1.5. Patofisiologi dan Patogenesis Asma Bronkhial


Konsep patogenesa asma telah berubah, dari gejala fisiologik penyakit (tahun 1960-1970)
dan kini beralih ke komponen seluler. Dengan melakukan tes provokasi alergen pada
individu yang sensitif, akan terjadi obstruksi bronkus yang terlihat dengan menurunnya

12

volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1 ). Fase ini dikenal sebagai reaksi asma
segera (RAS) atau Early Asthmatic Reaction (EAR), dimana obstruksi mencapai
puncaknya pada 15 sampai 20 menit setelah paparan dengan alergen, dan berakhir kurang
lebih 60 menit kemudian.
Reaksi imunologi yang timbul akibat paparan alergen, pada awalnya menimbulkan fase
sensitisasi. Fase ini merangsang terbentuknya IgE spesifik oleh sel plasma dan IgE ini
akan melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Rangsangan
berikutnya oleh alergen yang serupa menimbulkan reaksi fase awal. Hal ini dikarenakan
terjadinya degranulasi dari sel mast yang akan melepaskan mediator-mediator yang ada di
dalam granul sel mast yaitu histamin, neutral protease dan proteoglikan (preformed
molecules) dan prostaglandin, leukotrien dan sitokin (newly generated molecules).
Histamin mempunyai efek vasoaktif langsung dan spasmogenik otot polos. Sedangkan
PGD2 mempunyai aktivitas bronkospasme yang sangat kuat dan memperberat
hiperrespon saluran nafas terhadap inhalasi histamin dan metakolin. LTC 4, LTD4 dan
LTE4 menyebabkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan hipersekresi mukus.
Mediator-mediator tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada bronkus, yaitu akan
terjadi spasme dari bronkus, hipersekresi kelenjar, udema dan peningkatan permeabilitas
kapiler dan hal ini secara klinis merupakan manifestasi serangan asma akut.
Setelah 4 sampai 6 jam kemudian, akan terjadi proses selanjutnya yaitu reaksi asma
lambat (RAL) atau late phase reaction (LPR), dan biasanya menetap dalam 24 sampai 48
jam Reaksi asma lambat berhubungan dengan perekrutan sel inflamasi kedalam saluran
nafas. Cairan BAL pada fase APR menunjukkan peningkatan level histamin dan tryptase,
yang mencerminkan aktivasi sel mast. Eosinofilia saluran nafas dimulai 4 sampai 6 jam
setelah paparan alergen pada LPR. Eosinofil dan limfosit dalam saluran nafas teraktivasi
yang ditunjukkan oleh marker aktivasi sel permukaan dan pelepasan granul protein
eosinofil. Jumlah makrofag saluran nafas juga meningkat.

Patogenesa Asma Non Imunlogi:


1
Drug Induced Asthma (DIA)
.
Beberapa penderita asma yang sudah mendapat terapi optimal menunjukkan
keadaan sesak yang memburuk tanpa adanya tanda infeksi virus, paparan
alergi dan irirtan. Dalam hal ini perlu dipikirkan suatu Drug induced
Asthma. Penyebabnya adalah reaksi farmakologis idiosinkrasi dimana,
mekanismenya bisa melalui mekanisme imunologik (IgE) dan akibat efek
iritan langsung. Obat-obatan yang dapat menyebabkan DIA adalah aspirin
NSAID (indometasin, diklofenak dan naprosin), antibiotika (penisilin,
nitrofurantoin, cefalosporin dan terasiklin), dan beta adrenergic blocking
agent (propanolol, atenolol, metoprolol, nadolol, pindolol)
Pada aspirin induced asthma, reaksi paru mungkin bukan karena mekanisme
imunologis, melainkan oleh karena aspirin berkemampuan menghambat
jalur cyclooxygenase, suatu enzim kunci dalam biotransformasi asam
arakidonat. Inhibisi dari cyclooxygenase merupakan mekanisme sentral pada
AIA, diikuti pelepasan leukotrien dan terjadi bronkospasme. AIA
berhubungan dengan dosis obat yang dikonsumsi, tidak berhubungan dengan
atopi, tes kulit hasilnya negatif. Terapi dengan kortikosteroid memberi hasil

13

baik. Reaksi AIA tidak dapat dicegah dengan antihistamin, aminofilin,


sodium kromolin. NSAID merupakan obat yang paling sering menimbulkan
DIA.
2. Exercised Induced Asthma (EIA)
Banyak dijumpai pada anak dan dewasa muda. Latihan lari merupakan
rangsangan yang paling poten untuk terjadinya bronkospasme. Semula
hal ini diduga karena ada penurunan pH (lactic acidosis) berperan dalam
EIA. Dikemukakan hipotesis respiratory heat loss pada EIA, saluran
nafas mengalami pendinginan bila bernafas dengan udara dingin dan
kering, karena udara tersebut harus dihangatkan dan dibuat humid sesuai
dengan keadaan tubuh sebelum udara mencapai alveoli, dan untuk hal
tersebut diatas, terjadi penguapan air dan pendinginan saluran nafas. Hal
seperti ini juga terjadi pada hiperventilasi tanpa latihan. Teori terbaru
menyatakan bahwa exercise menghasilkan : hiperventilasi, efek intrinsik
langsung, meningkatkan sympathetic drive dan pelepasan inhibitory
prostaglandin.
Proses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus,
udema mukosa dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil,
basofil, makrofag) dan deskuamasi sel-sel epitel. Dilepaskannya berbagai
mediator inflamasi seperti histamin, lekotriene C4, D4 dan E4, P.A.F yang
mengakibatkan adanya konstriksi bronkus, edema mukosa dan
penumpukan mukus yang kental dalam lumen saluran nafas. Sumbatan
yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental
atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan
peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan
bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan
penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja nafas.
Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi
melalui saluran nafas yang menyempit,
Dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran
nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks.
Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena
dan mengurangi curah jantung yang bermanisfestasi sebagai pulsus
paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada
awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi
sehingga kadar PaCO2 yang akan turun dan dijumpai alkalosis
respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat, akan
terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat
terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai
kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang
normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal
nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat
menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi

14

cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli


sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan
resiko terjadinya atelektasis.
Sesuai dengan definisi asma, maka hiperreaktivitas bronkus merupakan
dasar terjadinya asma bronkial. Hiperreaktivitas bronkus adalah
peningkatan respons bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi
bronkus terhadap pelbagai rangsangan, misalnya latihan fisis, udara
dingin, alergen, dan zat-zat kimia, dan menimbulkan reaksi inflamasi.
Derajat hiperreaktivitas bronkus bisa menetap atau makin berat bila
terpajan pada faktor pencetus dalam jangka waktu lama. Besar kecilnya
intensitas faktor pencetus untuk menimbulkan serangan asma sangat
tergantung pada hiperreaktivitas bronkus. Makin berat derajat
hiperreaktivitasnya, makin kecil intensitas faktor pencetus yang
diperlukan untuk timbulnya serangan asma
Proses inflamasi saluran napas pasien asma tidak saja ditemukan pada
pasien asma berat, tetapi juga pada pasien asma ringan, dan reaksi
inflamasi ini dapat terjadi lewat jalur imunologik maupun
nonimunologik. Akibat interaksi antigen dengan IgE spesifik yang sudah
terikat pada sel mast pada mukosa saluran napas, dan/atau basofil di
dalam peredaran darah, akan terjadi influks Ca++ ke dalam sel mast dan
basofil, dengan akibat cAMP menurun di dalam sel mast/basofil, dan
terjadi degranulasi dan pelepasan histamin dan mediator lain (lihat bab
tentang reaksi hipersensitivitas).
Pada pajanan alergen dapat terjadi 3 kemungkinan, yaitu: respons asma
cepat, respons asma cepat dan diikuti respons asma lambat, atau respons
asma lambat saja.Pada EAR terjadi penyempitan bronkus dengan segera,
kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan alergen, dan berlangsung
selama 1-2 jam. Mediator yang dilepaskan oleh sel mast/basofil adalah
histamin, ECF, NCF, dan lain-lain. Akibat pelepasan mediator ini akan
terjadi spasme otot polos bronkus, inflamasi, edema, dan hipersekresi.
Selain itu juga terjadi peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil sebagai
akibat pelepasan ECF dan NCF oleh sel mast dan hiperreaktivitas
bronkus. Pada LAR proses penyempitan bronkus lebih lambat, lebih
kurang 4-8 jam sesudah pajanan alergen, dan dapat berlangsung sampai
12-48 jam. Respons lambat ini disebabkan oleh reaksi inflamasi saluran
napas sebagai akibat aktivasi eosinofil, dan pelepasan mediator oleh sel
mast/basofil seperti leukotrien, PAF, prostaglandin, bradikinin, serotonin,
dan lain-lain. Hiperreaktivitas bronkus akibat LAR dapat berlangsung
beberapa hari, minggu, bahkan beberapa bulan. Bila EAR diikuti dengan
LAR disebut sebagai dual response.
Polutan seperti ozon dan asap rokok secara langsung menyebabkan
kerusakan epitel saluran napas tanpa melalui reaksi imunologik, dengan
akibat terpaparnya dan rangsangan pada ujung nervus vagus, demikian
pula infeksi virus dapat menimbulkan hiperreaktivitas bronkus lewat jalur

15

nonimunologik dan imunologik.

LO 1.6. Manefestasi klinis Asma Bronkhial


Pada serangan asma ringan:

Anak tampak sesak saat berjalan.

Pada bayi: menangis keras.

Posisi anak: bisa berbaring.

Dapat berbicara dengan kalimat.

Kesadaran: mungkin irritable.

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.

Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan dangkal.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: normal.

Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)

SaO2 % > 95%.

PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.

PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma sedang:

Anak tampak sesak saat berbicara.

Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.

Posisi anak: lebih suka duduk.

Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.

Kesadaran: biasanya irritable.

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi.

16

Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)

SaO2 % sebesar 91-95%.

PaO2 > 60 mmHg.

PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:


Anak tampak sesak saat beristirahat.
Pada bayi: tidak mau minum/makan.
Posisi anak: duduk bertopang lengan.
Dapat berbicara dengan kata-kata.
Kesadaran: biasanya irritable.
Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan
inspirasi.
Menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping
hidung.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)
SaO2 % sebesar < 90 %.
PaO2 < 60 mmHg.
PaCO2 > 45 mmHg

Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:


Kesadaran: kebingungan.
Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
Mengi sulit atau tidak terdengar.
Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.
Retraksi dangkal/hilang.
Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

Pedoman nilai baku frekuensi nafas pada anak sadar:


Usia Frekuensi nafas normal
< 2 bulan < 60 x / menit
2 12 bulan < 50 x / menit
1 5 tahun < 40 x / menit
6 8 tahun < 30 x / menit

17

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak:


Usia Frekuensi nadi normal
2 12 bulan < 160 x / menit
1 2 tahun < 120 x / menit
3 8 tahun < 110 x / menit
LO 1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding Asma Bronkhial
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal
paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
A. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis
banding, juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit yang mungkin menyertai asma.
Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki. Kelainan fisik pada
penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas (beratnya serangan) dan saat pemeriksaan.
Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat,
mengi (wheezing) sering dapat terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik
atau 3 kali lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang
terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada, dimana pada perkusi akan
terdengan hipersonor. Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu
pernapasan, sehingga tanpak retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan
cuping hidung.
Diagnosa klinis asma sering didapat dari gejala seperti sesak, mengi, dada terasa berat dan batuk,
biasanya memburuk pada malam dan pada awal pagi hari. Tetapai gejala diatas bukanlah diagnosa
pasti. Yang penting adalah serangan berulang tersebut sering dicetuskan oleh faktor seperti alergi,
iritan, aktivitas fisik dan infeksi virus. Tanda klinis penting yang lain adalah bahwa gejala diatas
dapat hilang secara spontan atau dengan pemberian bronkodilator dan kortikosteroid. Variabilitas
gejala berdasar musim dan riwayat asma keluarga juga penyakit atopi juga membantu untuk
diagnosa. Karena gejala asma sangat bervariasi dalam sehari, pemeriksaan fisik dari sistem respirasi
bisa menjadi normal. Selama eksaserbasi, kontrasksi otot polos saluaran nafas, udema dan
hipersekresi cenderung menutup saluran nafas terkecil (nonkartilagenus). Kombinasi dari
hiperinflasi dan peningkatan obstruksi saluran nafas pada saat eksaserbasi akan meningkatkan kerja
nafas secara bermakna. Hal ini yang menyebabkan tanda klinis sesak, mengi dan tanda-tanda
hiperinflasi paru.8.11
Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi batuk, sesak
ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita asma, untuk itu, perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan diagnosis.

B. Pemeriksaan Faal Paru


Pengukuran faal paru menghasilkan penilaian langsung maupun tidak langsung dari obstruksi jalan
nafas. Penilaian obstruksi saluran nafas, reversibilitas dan variabilitasnya sangatlah penting untuk
menegakkan diagnosa asma. Penilaian hal-hal diatas mendasari strategi penanganan asma yang

18

baru. Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Variasi diurnal memakai PEF lebih dari 20% adalah diagnostik untuk asma, tetapi perlu diingat
bahwa asma intermitten ringan atau pada penyakit yang sangat berat, variabilitas sebesar ini tiodak
dijumpai. 8.11
C. Penilaian Status Alergi
Skin tes dengan memakai alergen merupakan pemeriksaan utama untuk mengetahui adanya reaksi
alergi dan Prick Test adalah yang tersering digunakan. Tes ini sangat sederhana, cepat, murah dan
sangat sensitif, tetapi bila tidak dilakukan dengan baik dapat menyebabkan terjadinya false positif
maupun negatif. Pengukuran IgE spesifik dalam serum mempunyai nilai yang tinggi, tetapi tidak
dapat mengalahkan skin tes dan relatif lebih mahal. Riwayat paparan dengan alergen yang
berhubungan dengan gejala harus dipastikan melalui anamnesa. Tes provokasi bronkus kadang
dikerjakan, tetapi jarang untuk kepentingan diagnostik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat ditegakkan
bila didapatkan :

Variasi pada PFR (peak flow meter = arus puncak ekspirasi) atau FEV1 (forced
expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik pertama) 15%

Kenaikan 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator

Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total. Bila terjadi peningkatan dari nilai normal akan
menunjang diagnosis

Foto toraks untuk melihat adanya gambaran emfisematous atau adanya komplikasi pada saat
serangan. Foto sinus para nasal perlu dipertimbangkan pada anak > 5 tahun dengan asma
persisten atau sulit diatasi.

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP)
dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu
sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang
jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari
2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam
diagnosis asma :

19

Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah,
mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah seharihari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas. Manfaat APE dalam diagnosis asma:
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral , 2 minggu)
Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat
klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping itu
APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran
nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi
normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai
tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari
sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator.
Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah
bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %

20

(APE malam + APE pagi)


Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).

Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE pagi
terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik (% of the
recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan
untuk menilai variabiliti.
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan
pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian
penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas,
edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat,
tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi
dan penggunaan otot bantu napas.
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Bronkitis kronik
Gagal Jantung Kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru

Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Stenosis trakea
Bronkiolitis

LO 1.8. Tatalaksana Asma Bronkhial


Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).

21

Tujuan :

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;


Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien
sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang
terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan kunci
keberhasilan pengobatan.
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu:
KIE dan hubungan dokter-pasien
Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma
akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.
Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah (lihat bagan 1), dan apabila
tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan
disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk
selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :

bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)

kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja cepat yang sebaiknya
diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik.
Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan
tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral
(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari.
Pada serangan sedang diberikan 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa
dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak
belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat
diberikan oksigen dan pemberian cairan IV. Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan
oksigen, cairan IV, 2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan
aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila 2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan
dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke
ICU.

22

Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan


nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).
Untuk lebih jelasnya lihat pada algoritma (bagan 3, bagan 4).
2.

Penatalaksanaan asma jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan
pelega); dan Menjaga kebugaran.
Edukasi yang diberikan mencakup :
Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
Mengenali gejala serangan asma secara dini
Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
Kontrol teratur
Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma
(bagan 6), sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.
Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan
asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan
dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi
(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan
kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :

Inhalasi kortikosteroid
2 agonis kerja panjang
antileukotrien
teofilin lepas lambat
ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH
Penilaian berat serangan
Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi

Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral

23

Sumber : PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004

Tabel 4. Jenis Obat Asma

Jenis obat

Golongan

Nama generik

Bentuk/kemasan obat

24

Pengontrol

Steroid inhalasi

Flutikason propionat

IDT

Budesonide

IDT, turbuhaler

Antileukokotrin

Zafirlukast

Oral(tablet)

Kortikosteroid
sistemik

Metilprednisolon

Oral(injeksi)

Prednison

Oral

Prokaterol

Oral

Formoterol

Turbuhaler

Salmeterol

IDT

Flutikason + Salmeterol.

IDT

Budesonide + formoterol

Turbuhaler

Salbutamol

Oral, IDT, rotacap


solution

(Antiinflamasi)

Agonis beta-2
kerjalama

kombinasi steroid dan


Agonis beta-2
kerjalama

Pelega

Agonis beta-2 kerja


cepat

(Bronkodilator)

Terbutalin

Oral, IDT, turbuhaler,


solution, ampul (injeksi)

IDT
Prokaterol
IDT, solution
Antikolinergik

Fenoterol

IDT, solution

Ipratropium bromide
Metilsantin

Oral
Teofilin

Oral, injeksi

25

Aminofilin

Oral

Teofilin lepas lambat


Kortikosteroid
sistemik

Oral, inhaler
Metilprednisolon

Oral

Prednison

IDT
: Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama
dengan spacer
Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser
Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet
Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv
Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran antara lain dengan
melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan Senam Asma Indonesia yang teratur, asma
terkontrol akan tetap terjaga, sedangkan pada anak dapat menggunakan olahraga lain yang
menunjang kebugaran.
Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan asma, yaitu
asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak
terkontrol (tabel 5).

Tabel 5. Ciri-ciri Tingkatan Asma


Tingkatan Asma Terkontrol

Karakteristik

Terkontrol

Terkonrol

Tidak

Sebagian

Terkonrol

26

Gejala harian

Pembatasan aktivitas
Gejala
nokturnal/gangguan
tidur (terbangun)
Kebutuhan
reliever atau
rescue

Tidak ada (dua kali Lebih dari dua Tiga atau lebih gejala
atau
kurang kali seminggu
dalam
kategori Asma
perminggu)
Terkontrol
Sebagian,
muncul sewaktu waktu
Tidak ada
Sewaktu-waktu
dalam seminggu
dalam seminggu
Tidak ada

akan Tidak ada (dua kali Lebih dari dua


terapi atau kurang dalam kali seminggu
seminggu)

Fingsi Paru (PEF atau

Normal

< 80% (perkiraan


atau dari kondisi
terbaik
bila
diukur)

Tidak ada

Sekali atau lebih Sekali dalam seminggu***)


dalm setahun**)

FEV1*)

Eksaserbasi

Sewaktu waktu
dalam seminggu

27

Keterangan :
*)

**)

Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun
Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah benar-benar
adekwat

***)

Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol

Sumber : GINA 2006

A. Rujukan Kasus Asma


Dokter umum / puskesmas harus merujuk pasien asma dengan kondisi tertentu ke RS yang
memiliki pelayanan spesialistik seperti :

Serangan berat
Serangan yang mengancam jiwa
Pada tatalaksana jangka panjang, apabila dengan kortikosteroid inhalasi dosis
rendah (untuk anak sampai dengan 200 mcg/hari, sedangkan dewasa 400
mcg/hari) selama 4 minggu tidak ada perbaikan (tidak terkontrol).
Asma dengan keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes dll

28

Penilaian Awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik


(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2),

Serangan Asma Ringan

Serangan Asma Sedang/Berat

Serangan Asma Mengancam

Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adre
Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator
- dalam kortikosterois oral

Penilaian Ulang setelah 1 jam


Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respons baik
Respons Tidak Sempurna
Respons buruk dalam 1 jam
Respons baik dan stabil dalam 60 menitResiko tinggi distress
Resiko tinggi distress
Pem.fisi normal
Pem.fisis : gejala ringan sedangPem.fisis : berat, gelisah dan kesadar
APE >70% prediksi/nilai terbaik
APE < 30%
APE > 50% terapi < 70%
Saturasi O2 tidak perbaikan
PaCO2 < 45 mmHg

PaCO2 < 60 mmHg

Pulang
Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2
Dirawat di RS
Dirawat di ICU
Membutuhkan kortikosteroid oral
Inhalasi agonis beta-2 + antikolinergik
Inhalasi agonis beta-2 + anti kolin
Edukasi pasien
Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid IV
Memakai obat yang benar
Aminofilin drip
Pertimbangkan agonis beta-2 inje
Ikuti rencana pengobatan selanjutnya
Terapi Oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker
Aminofilin
venturi
drip
Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin
Mungkin perlu intubasi dan ventil

Perbaikan
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi

Tidak Perbaikan

Dirawat di ICU
Bila tidak perbaikan dalam 6-12

29

Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak


Klinik / IGD
Nilai derajat serangan(1)
(sesuai tabel 3)

Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
nebulisasi ketiga + antikolinergik
jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)

Serangan berat
Serangan ringan
Serangan sedang
(nebulisasi 3x,
(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)
(nebulisasi 1-3x,
respons buruk)
observasi 2 jam
respons parsial)
sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi
berikan oksigen (3)
jika efek bertahan, boleh pulang
pasang jalur parenteral
nilai kembali
derajat serangan,
jika sesuai sedang
dgn serangan
sedang,
observasi
di Ruang
Rawat
Sehari/observasi
nilai ulang
klinisnya,
jika sesuai
dengan
serangan
berat, rawat di Ruan
jika gejala timbul
lagi, perlakukan
sebagai serangan
foto Rontgen toraks
pasang jalur parenteral

Ruang Rawat Inap


RuangBoleh
Rawat
pulang
Sehari/observasi
oksigen teruskan
oksigen
bekali
teruskan
obat -agonis (hirupan / oral)atasi dehidrasi dan asidosis jika ada
berikanjika
steroid
sudah
oral
ada obat pengendali, teruskan
steroid IV tiap 6-8 jam
nebulisasi
jika tiap
infeksi
2 jam
virus sbg. pencetus, dapat
diberi tiap
steroid
nebulisasi
1-2oral
jam
bila dalam
dalam
1224-48
jam perbaikan
jam kon-trol
klinis
ke stabil,
Klinik aminofilin
R.
boleh
Jalan,
pulang,
untuk
reevaluasi
tetapi
jika rumatan
klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Ra
IV awal,
lanjutkan

jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam


jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti nap

tatan:
menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik
a terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif
tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
uk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi

30

Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang


Obat pereda: -agonis atau teofilin

Asma episodik jarang

(hirupan atau oral) bila perlu

3-4 minggu, obat


dosis / minggu

> 3x

< 3x

Tambahkan obat pengendali:


Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

P
E

Asma episodik sering

6-8 minggu, respons:

Asma persisten

(-)

(+)

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:

-agonis kerja panjang (LABA)


teofilin lepas lambat
antileukotrien
atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)

6-8 minggu, respons:

(-)

N
G
H
I
N
D
A
R
A
N

(+)

Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah


satu obat:

-agonis kerja panjang


teofilin lepas lambat
antileukotrien
atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)

6-8 minggu, respons:

(-)

(+)

Obat diganti kortikoteroid oral

*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

31

LO 1.9. Komplikasi Asma Bronkhial


a. Pneumothorax

b.
c.

d.

e.
f.
g.

Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura,


sehingga paru paru kesulitan untuk mengembang.
Pneumodiastinum
Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
Emfisema
Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus
terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis
yang jelas.
Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
Bronchitis
Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
Gagal nafas
Perubahan bentuk thorax
Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen
terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit,
hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk
dada burung (pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus
Harrison.

LO 1.10. Pencegahan Asma Bronkhial


Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan
risiko asma (orangtua asma), dengan cara :
a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
d. Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang
telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen
dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak
yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi
senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic
children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak
atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput
(Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%.
Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai
pengendali asma (controller).

LO 1.11. Prognosis Asma Bronkhial

32

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta
penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan
terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan
pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanakkanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi
dari 2678% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan
timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif
berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti sampai
dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Terapi Inhalasi Pada Anak
LO 2.1. Prinsip Kerja Terapi Inhalasi
Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui
hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering
terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis
lainnya.
Cara memberikan obat melalui hirupan tersebut dikenal sebagai terapi inhalasi. Secara garis besar ada
3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer, MDI (metered dose inhaler), dan DPI (dry powder
inhaler). Jenis DPI yang paling sering digunakan adalah turbuhaler. Terapi inhalasi memiliki
keuntungan dibandingkan dengan cara oral (diminum) atau disuntik, yaitu langsung ke organ sasaran,
awitan kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping juga lebih kecil.
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah obat dapat sampai
pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru,
onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di dalam darah
sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya
perbaikan klinis. Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk,
bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel
obat sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan memperhatikan metode untuk
menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran partikel
yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas maka diharapkan
obat terdeposisi secara efektif.
Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran napas. Partikel
berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm akan mengendap di
hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama mengendap karena benturan inersial bila
terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus urbulen. Partikel berukuran 0,5 5
mm akan mengendap secara sedimentasi karena gaya gravitasisedangkan partikel berukuran < 0,1 mm
akanmengendap karena gerak Brown. Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang
optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran
pernapasan. Bentuk aerosol yang digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam
aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10 m atau 1-7 m Penelitian lainnya mendapatkan bahwa
partikel berukuran 1-8 m mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan
alveoli.

33

Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat
mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk
aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut
(orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik. Deposisi
(penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang
baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya
menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

LO 2.2. Jenis Jenis Terapi Inhalasi


Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara
selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat
digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat
sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan
dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari
yaitu,:
1. Nebuliser
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
3. Dry powder inhaler
1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus menerus
dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik sehingga dalam
prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebulizer dan jet nebuliser. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebuliser yang digunakan. Terdapat
nebuliser yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus ada juga yang dapat diatur
sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga obat tidak banyak
terbuang.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan koordinasi
pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol
dan natrium kromoglikat).
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan relatif mahal.
Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal yang berada
dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak
menimbulkan suara bising dan terus menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan
kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.
Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah daripada ultrasonic
nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder
ditiupkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah
larutan menjadi bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau
sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel
aerosol berukuran < 5 m, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi

34

dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa
menimbulkan efek samping.
2. Metered dose inhaler (MDI)
Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang memerlukan
teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan
aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan yang biasa
digunakan adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini
mulai dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak
lapisan ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung (kanister) tetap
berbentuk cairan. Bila canister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30
m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator
ukuran partikel berkisar 35 m, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 m, dan setelah
propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 m. Dengan teknik inhalasi
yang benar maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan orofarings karena kecepatan yang tinggi
dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang
disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi napas. Untuk
mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan sebagai berikut:
1. terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka
2. inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara perlahan
3. mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi perlahan
sampai maksimal
4. pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
5. pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi maksimal
6. setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
7. setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien menggunakan obat asma jenis MDI.
Langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan asma kurang efektif dan timbul efek
samping yang tidak diinginkan. Beberapa ahli mengidentifikasi beberapa kesalahan yang sering
dijumpai antara lain kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu
cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum digunakan,
dan terbalik pemakaiannya. Kesalahankesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih
muda, manula, wanita, dan penderita dengan social ekonomi dan pendidikan yang rendah.
MDI dengan spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut sehingga kecepatan
aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan partikel berukuran kecil yang
berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini merupakan kelebihan dari penggunaan spacer
karena mengurangi pengendapan di orofaring. Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml)
dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml.
Untuk bayi dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang dihasilkan
lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat
dilengkapi dengan katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup pada saat
ekshalasi misalnya Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan berkurang
yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer

35

tanpa katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer,
deposit pada paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini
sangat menguntungkan pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan
spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau bahkan
tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka sebagai penggantinya bisa
digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang
dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat hanya untuk
bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium kromoglikat dan steroid.
Easyhaler
Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif dari MDI. Komponennya
terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan mengandung serbuk untuk sekurang-kurangnya 200
dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap)
yang akan memutari silinder (metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis
berisi sejumlah obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah mouthpiece
berbentuk corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran napas. Terdapat
takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien mengenai sisa dosis obat.
Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10 ) sulit untuk
melayang jauh dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut dicampur dengan
sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa cukup
besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini
mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan
rasa manis di mulut.
3. Dry Powder Inhaler
Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery serbuk antibiotik. Selanjutnya
banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan bahwa DPI bisa digunakan untuk pengobatan asma
anak. Dalam perkembangannya pada tahun 1970 dibuat inhaler yang hanya memuat serbuk kering
dosis tunggal seperti misalnya spinhaler dan rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler
yang memuat multiple dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Beberapa
tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan accuhaler) yang memuat 60 dosis
dan dapat dipergunakan untuk 1bulan terapi.6 Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan sehingga
mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi
yang cukup kuat. Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat
dilakukan, sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan
dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan
MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer
sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga
memudahkan pasien dan lebih praktis.
Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata laksana serangan dan tata
laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan klasifikasinya.
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi asma di luar serangan adalah
asma episodik jarang, episodic sering, dan asma persisten.23 Pada asma episodik jarang, tidak
diperlukan obat pengendali (controller) untuk tata laksana jangka panjangnya sedangkan pada asma
episodik sering dan asma persisten harus diberikan obat pengendali. Obat pengendali dari golongan
antiinflamasi yang sering digunakan adalah budesonid, beklometason dipropionat, flutikason, dan
golongan natrium kromoglikat.23 Bila terjadi serangan maka digunakan obat pereda (reliever). Obat
yang sering digunakan yaitu golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), agonis, dan
ipratropium bromida.
Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk metilsantin

36

pemberian secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena obat ini menyebabkan
iritasi saluran napas.Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi yang sering digunakan
adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga
pengendalian dengan obat antiinflamasi sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan persisten.
Namun harus disadari penggunaan kortikosteroid jangka panjang peroral atau parenteral dapat
mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin
timbul seperti hipertensi dan moon-face. Untuk itu pemberian inhalasi sangat dianjurkan. Jenis terapi
inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak berlaku secara
kaku. Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan Everard di bawah ini dapat dipakai sebagai acuan.

Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak dapat diterangkan sebagai berikut:
Tata laksana saat serangan Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan
bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu 2 agonis yang dapat diberikan sendiri atau bersamasama dengar ipratropium bromid. Pada serangan asma yang ringan obat inhalasi yang diberikan hanya
2 agonis saja meskipun ada juga yang menambahkan dengan ipratropium bromida. Schuch dkk
dalam penelitiannya mendapatkan bahwa dengan menggunakan 2 agonis saja dapat meningkatkan
FEV dan menghilangkan gejala serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan
meningkatkan FEV1 yang lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat, KNAA menganjurkan
pemberian 2 agonis bersama-sama dengan ipratropium bromid.Pemberian cara nebulizer untuk usia
18 bulan- 4 tahun dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk menghindarkan
deposisi obat di muka dan mata.
Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak teratasi/sedikit
perbaikan maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid sistemik perlu diperhatikan pada
anak dengan serangan asma yang sering karena anak ini berisiko mengalami efek samping akibat
pemberian steroid sistemik berulang kali seperti supresi adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan
osteoporosis. Untuk mengurangi pemberian steroid oral berulang, maka sebagai alternatifnya dapat
diberikan inhalasi budesonid dosis tinggi (1600 mg perhari) pada anak yang serangan asmanya tidak
teratasi dengan penanganan inhalasi 2 agonis di rumah dan mereka belum/tidak perlu perawatan di
rumah sakit. Penggunaan obat pereda secara inhalasi pada serangan asma sangat bermanfaat dan
justru sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya masih belum banyak. Hal ini
dimungkinkan karena penggunaannya yang belum banyak diketahui dan harga obat masih mahal. Hal
ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara maju. Penggunaannya pada orang
dewasa lebih banyak dibandingkan dengan anak. Tata laksana di luar serangan Obat inhalasi di luar
serangan asma hanya diberikan apabila memerlukan obat pengendali; yang biasa digunakan adalah
natrium kromoglikat dan golongan steroid. Natrium kromoglikat menurut KNAA diberikan apabila
termasuk asma episodik sering sedangkan penggunaan steroid dapat diberikan pada asma episodik
sering dan asma persisten. Natrium kromoglikat menunjukkan absorbsi yang tidak baik sehingga
hanya efektif bila diberikan secara inhalasi. Obat ini tersedia dalam nebuliser solution , serbuk
aerosol dan aerosol dengan dosis 20 mg untuk nebulizer atau 2 mg secara aerosol.
Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang mengingat samping yang mungkin
ditimbulkan. Namun beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dengan penggunaan yang tepat

37

dengan dosis, cara, dan jenis yang sesuai maka efek samping dapat dikurangi. Penggunaan obat
inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping seperti jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara
serak, dan efek lainnya. Dengan inhalasi sebagian obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui
sistem gastrointestinal dan selanjutnya akan dielimininasi melalui hati sehingga dalam peredaran
sistemik kadarnya berkurang. Obat yang baik adalah yang dapat elimininasi tubuh dengan baik artinya
kadar di dalam sirkulasi menjadi kecil. Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering dan
asma persisten memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal
pengobatan dapat diberikan dosis tinggi (400-800 mg per hari) dan diturunkan secara perlahan sampai
tercapai dosis optimum untuk anak tersebut dan dipertahankan pada dosis optimum untuk beberapa
lama dan kemudian diturunkan secara bertahap sampai pada akhirnya kalau memungkinkan tidak
digunakan samasekali. Penggunaan waktu lama (sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400 mg perhari tidak
mengganggu proses tumbuh kembang anak. Untuk bayi dan anak berusia di bawah 4 tahun yang
memerlukan steroid inhalasi dapat digunakan suspensi budesonide inhalasi (pulmicort respules) yang
diberikan dengan nebuliser. Jadi penggunaan steroid inhalasi dapat lebih aman apabila kita
mengetahui cara penggunaannya.
Obat-obat yang umum digunakan
Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi
Cairan , Obat, Waktu
Nebulisasi jet
Nebulisasi ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%)

5 ml

b-agonis/antikolinergik/steroid

Lihat tabel 2

Waktu

10-15 menit

Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis


Nama generik
Nama dagang

10 ml

3-5 menit

Sediaan

Dosis nebulisasi

Golongan b-agonis
Fenoterol

Berotec

Solution 0,1%

5-10 tetes

Salbutamol

Ventolin

Nebule 2,5 mg

1 nebule (0,1-0,15
mg/kg)

Terbutalin

Bricasma

Respule 2,5 mg

1 repsule

Solution 0,025%

> 6 thn : 8-20 tetes

Golongan antikolinergik
Ipratropium
bromide

Atroven

6 thn : 4-10 tetes

Golongan steroid
Budesonide

Pulmicort

Respule

Fluticasone

Flixotide

Nebule

Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma


Steroid Oral :

38

Nama
Generik

Nama Dagang

Sediaan

Dosis

Prednisolon

Medrol, Medixon

Tablet

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

Lameson, Urbason

4 mg

Hostacortin,
Pehacort, Dellacorta

Tablet

Kenacort

Tablet

Prednison

Triamsinolon

1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

5 mg
1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam

4 mg
Steroid Injeksi :
Nama Generik

Nama Dagang

Sediaan

Jalur

Dosis

M. prednisolon

Solu-Medrol

Vial 125 mg

IV / IM

1-2 mg/kg

suksinat

Medixon

Vial 500 mg

HidrokortisonSuksinat

Solu-Cortef

Vial 100 mg

Silacort

Vial 100 mg

Deksametason

Oradexon

Ampul 5 mg

Kalmetason

Ampul 4 mg

Fortecortin

Ampul 4 mg

Corsona

Ampul 5 mg

Celestone

Ampul 4 mg

Betametason

tiap 6 jam
IV / IM

4 mg/kgBB/x
tiap 6 jam

IV / IM

0,5-1mg/kgBB bolus,
dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari
diberikan tiap 6-8 jam

IV / IM

0,05-0,1 mg/kgBB tiap


6 jam

39

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, W. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (22 ed.). Jakarta: EGC.
Gunawan, et al. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/Menkes/ SK/XI/2008
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004
Pedoman Asma Depkes RI
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.
Rahajoe N, dkk 2004.Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi, PP IDAI
Sari Pediatri, Vol.4, No.2 September 2002
Suardi, Adi Utomo, dkk. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI
Sudoyo, Aru W,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
UKK Pulmonologi PP IDAI. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak.

40

Anda mungkin juga menyukai