KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Anxiety and panic reaction in effective coping and situational crisis
OLEH :
SGD 5
(1102105016)
(1102105018)
I Made Hadiartadana
(1102105022)
(1102105030)
(1102105031)
Ni Wayan Kuniawati
(1102105032)
(1102105060)
(1102105064)
(1102105065)
(1102105067)
Kegawatdaruratan Psikiatri
PEMBAHASAN
Kegawatdaruratan Psikiatri
Kegawatdaruratan Psikiatri
Kegawatdaruratan Psikiatri
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: faktor biopsikososial dan
respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering
sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak
keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, raguragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul,
menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan,
dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan
jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi
pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan
masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu
diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada
dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang
dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan
yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang
adaptif.
6. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifaktor yang
kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan faktor sosial. Sehingga
focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi
somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam
berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan
terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan
mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis
pendekatan terapi yang digunakan.
KESIMPULAN : yang relevan berdasarkan kasus adalah model praktek
keperawatan jiwa psychoanalytical dari Freud dan Erickson dan Social dari Caplan
dan Szasz. Model Pscyhoanalytical menjelaskan mengenai ketidakmampuan
seseorang dalam menggunakan akal (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan,
norma, agama) yang akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku misalnya
perilaku kekerasan atau risiko percobaan bunuh diri. Faktor penyebab lain
gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis, dimana
berdasarkan kasus kita ketahui bahwa pasien mengalami PTSD dan pasien tidak
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
Kegawatdaruratan Psikiatri
Kegawatdaruratan Psikiatri
agitasi,
eksitasi
(histeris),
ekspresi
ketidakpercayaan
dan/atau
Kegawatdaruratan Psikiatri
7. Beri umpan balik positif jika klien menggunakan metode konstruktif untuk
mendapatkan kembali pengendalian diri.
8. Tingkatkan keterlibatan dalam terapi kelompok
9. Kolaborasi libatkan dalam pelatihan asertif yang sesuai
Potensial membahayakan diri atau orang lain
1. Evaluasi adanya destruktif atau perilaku bunuh diri, (misalnya perubahan
alam perasaan, semakin menarik diri). Kaji keseriusan ancaman (misalnya
gerak-gerik, usaha sebelumnya). (Gunakan skala 1-10 dan prioritaskan
menurut keparahan ancaman, tersedianya alat).
2. Anjurkan klien untuk mengidentifikasi dan menyatakan pemicu stimulus,
faktor penyebab yang mengakibatkan potensi kekerasan atau aktual oleh
klien.
3. Negosiasikan kontrak dengan klien tentang tindakan yang harus diambil jika
merasa hilang kendali
4. Bantu klien memahami bahwa perasaan marah mungkin sesuai dalam suatu
situasi, tetapi perlu diekspresikan secara verbal atau dalam cara yang dapat
diterima bukan bertindak menuruti perasaan marah dengan cara destruktif.
5. Pantau tingkat kemarahan (misalnya bertanya, menolak, pengungkapan secara
verbal, intimidasi, marah yang meledak-ledak)
6. Beri tahu klien untuk menghentikan perilaku berbahaya. Gunakan
pengendalian lingkungan (seperti membawa klien ke tempat yang tenang,
memegang klien), jika perilaku terus meningkat. Berbicara secara lemah
lembut dan perlahan.
7. Lakukan tindakan mengurangi peningkatan kemarahan sesuai indikasi,
misalnya:
a. Ambil jarak dari klien, posisikan diri pada salah satu sisi; tetap tenang,
tetap berdiri atau duduk, ambil posisi postur terbuka dengan tangan
di samping
b. Berbicara dengan lembut, panggil nama klien, akui perasaan klien,
ekspresikan rasa penyesalan tentang situasi, tunjukkan empati.
c. Hindari menunjuk, menyuruh, menghardik, menantang menginterupsi,
mendebat, meremehkan atau mengintimidasi klien.
d. Minta izin untuk bertanya, mencoba untuk melihat peristiwa yang
memicu dan setiap emosi yang mendasari, seperti takut, ansietas atau
penghinaan; tawarkan solusi/alternatif.
8. Libatkan dalam program latihan, dalam program aktivitas di luar rumah
(gerak jalan, mendaki); anjurkan aktivitas olahraga (kelompok atau individu)
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
Kegawatdaruratan Psikiatri
menghadapi
marah
bukan
terhadap
dengan
mengintelektualisasi pengalaman.
7. Identifikasi orang-orang yang dapat mendukung klien
8. Kolaborasi
9. Beri konsulen/ahli terapi yang peka yang khusus dilatih dalam manajemen
krisis dan penggunaan terapi, misalnya psikoterapi (sebagai penunjang
medikasi), terapi implosif, flooding, hipnosis, relaksasi, rolfing, kerja memori
(memory work) atau restrukturisasi
10. Rujuk pada terapi okupasi, rehabilitasi vokasional
Berduka, maladaptif
1. Perhatikan ekspresi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri secara
verbal/nonverbal
2. Akui realitas perasaan bersalah dan bantu klien untuk mengambil langkah ke
arah resolusi
3. Beri penguatan bahwa klien membuat keputusan terbaik yang dapat dibuat
waktunya
4. Perhatikan tanda dan tahap berduka terhadap diri sendiri dan/atau orang lain
(misal; menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan)
5. Sadari adanya perilaku menghindar (misalnya marah, menarik diri)
Kegawatdaruratan Psikiatri
10
Kegawatdaruratan Psikiatri
11
Kegawatdaruratan Psikiatri
12
Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan
berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.
3. Faktor sosiologis
Perilaku bunuh diri dipandang sebagai hasil dari hubungan individu
dengan masyarakatnya yang menekankan apakah individu terintegrasi dan
teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut,
bunuh diri dapat dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
a. Egoistic Suicide
Individu yang bnuh diri disini adalah individu yang tersolasi dengan
masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolment dan
underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang
dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebuthan, dia lebih berisiko
melakukan perilaku bunuh diri.
b. Altruistic Suicide
Individu disini mengalami overinvolment dan overintegration. Pada
situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu
dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri
yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari
identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan
makna hidupnya dari luar dirinya. pada masyarakat yang sangat
terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu
tugas.
c. Anomic Suicide
Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur
anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya
(misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas, seksual, dll). Ketika
masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang
radikal, kondisi anomie (tanpa hokum atau norma) akan terbentuk.
Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikan
sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan
bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh
kelompok teman sebayanya.
d. Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana
individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masyarakat.
Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
Kegawatdaruratan Psikiatri
13
(dalam
ketidakmampuan
Ellis
&
Rutherford,
menyelesaikan
2008)
masalah
menambahkan
interpersonal
bahwa
merupakan
Kegawatdaruratan Psikiatri
14
bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah
untuk menyatakan alasan untuk hidup (Ellis & Rutherford, 2008).
4. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai
faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini
mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis,
diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri
sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially
prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).
Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented
berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri (Ellis & Rutherford, 2008).
5. Konsep diri
Jika seseorang memandang dirinya secara positif (konsep diri positif), maka
dia akan memiliki harga diri yang tinggi, sedangkan konsep diri yang negatif
telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa
variabel karakteristik kognitif lainnya (Ellis & Rutherford, 2008).
6. Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi
merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam
Ellis & Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir
yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya.
7. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang
pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan
depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan
bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical
memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan
umum (William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini
berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory
yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap,
merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu
tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di
masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa
depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness
dan kecenderungan bunuh diri pada individu (Ellis & Rutherford, 2008).
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
Kegawatdaruratan Psikiatri
15
IV. Jelaskan tentang konsep RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptif) yang bisa
diaplikasikan pada seting kegawatdaruratan keperawatan jiwa !
Keperawatan meyakini bahwa kondisi manusia selalu bergerak pada rentang
adaptif dan maladaptif. Kondisi adaptif dan maladaptive ini dapat dilihat atau
diukur dari respons yang ditampilkan. Dari respon sini kemudian dirumuskan
diagnosa skor RUFA dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditemukan
pada pasien. Sehingga setiap diagnosa keperawatan memiliki kriteria skor RUFA
tersendiri. RUFA (Respons Umum Fungsi Adaptif)/ GAFR (General Adaptive
Funtion Response) merupakan modifikasi dari skor GAF karena keperawatan
menggunakan pendekatan respons manusia dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan fungsi respons yang adaptif (Stuart &Laraia, 2005).
Pengkajian Kegawatdaruratan Jiwa berdasarkan RUFA (Mahardika, 2013)
yaitu:
Table 1. RUFA Perilaku Kekerasan
Domain
Intensif I
1 - 10
Intensif II
11 - 20
Intensif III
21 30
Pikiran
Perasaan
Tindakan
Terus-menerus
mengancam orang lain
(verbal)
Terus-menerus
berusaha mencederai
orang lain (fisik)
Komunikasi sangat
kacau
Hanya mengancam
secara verbal
Tidak ada tindakan
kekerasan fisik
Komunikasi kacau
Kadang-kadang
masing mengancam
secara verbal.
Komunikasi cukup
koheren
Intensif I
1 - 10
Terus menerus
terfiksasi dengan
wahamnya
Intensif II
11 - 20
Pikiran didominasi oleh
isi waham, kadang
masih memiliki pikiran
Intensif III
21 30
Pikiran kadangkadang dikendalikan
wahamnya
16
Kegawatdaruratan Psikiatri
yang rasional
Perasaan
Sangat dipengaruhi
oleh wahamnya
Lebih dipengaruhi
wahamnya
Kadang masih
dipengaruhi
wahamnya
Tindakan
Komunikasi sangat
kacau, selalu
dipengaruhi oleh
waham.
Mungkin mengancam
orang lain
Mencederai orang lain
Komunikasi masih
kacau.
Tidak mencederai orang
lain
Komunikasi sering
terganggu waham
Intensif I
1 - 10
Intensif II
11 20
Intensif III
21 30
17
Kegawatdaruratan Psikiatri
Penilaian
realitas
Penilaian realitas
terganggu, pasien
tidak bisa
membedakan yang
nyata dan yang
tidak nyata.
Halusinasi dianggap
nyata
Mulai dapat
membedakan yang
nyata dan yang
tidak nyata.
Kadang-kadang
mengalami
gangguan pikiran
Pasien sudah
mengenal
halusinasinya
Berfikir logis
Persepsi adekuat
Perasaan
Panik
Cemas berat
Reaksi emosinal
berlebihan atau
berkurang, mudah
tersinggung
Cemas sedang
Emosi sesuai
dengan kenyataan
Perilaku
Pasien kehilangan
control diri,
melukai diri sendiri,
orang lain dan
lingkungan akibat
mengikuti isi
halusinasinya
PK secara verbal
Kegiatan fisik yang
merefleksikan isi
halusinasi seperti
amuk, agitasi,
memukul atau
melukai orang
secara fisik, serta
pengerusakan
secara lingkungan
Gejala di atas
ditemukan secara
terus-menerus pada
pasien
PK secara verbal
Bicara, senyum dan
tertawa sendiri
Mengatakan
mendengar suara,
melihat, mengecap,
mencium dan atau
merasa sesuatu
yang tidak nyata.
Sikap curiga dan
permusuhan
Frekwensi
munculnya
halusinasi sering
Perilaku sesuai
Ekspresi tenang
Frekwensi
munculnya
halusinasi jarang
Intensif I
1 - 10
Napas pendek, rasa
tercekik dan palpitasi,
Intensif II
11 20
Napas pendek,
berkeringat, tekanan
Intensif III
21 30
Napas pendek, mulut
kering, anoreksia,
Kegawatdaruratan Psikiatri
18
darah naik
diare/konstipasi
Persepsi
Perilaku
Agitasi, mengamuk,
marah
Marah
Emosi
Ketakutan
Tegang
Verbal
Intensif I
1 - 10
Intensif II
11 20
Intensif III
21 30
Respon terhadap
lingkungan
Apatis
Apatis
Respon motorik
Stupor
Kataton
Pergerakan tubuh
lambat
Komunikasi
dengan orang lain
Tidak ada
Respon verbal
seperlunya
Kemampuan
perawatan diri :
Makan dan
minum
Berhias
Toileting
Kebersihan
diri
Total care
Pertial care
Minimal care
Tidak mampu
Dibantu
Dimotivasi
Tidak mampu
Tidak mampu
Tidak mampu
Dibantu
Dibantu
Dibantu
Dimotivasi
Dimotivasi
Dimotivasi
Afek
Datar
Tumpul
Sesuai
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
Kontak mata
Kegawatdaruratan Psikiatri
19
ada
Tidak ada
Intensif I
1 - 10
Intensif II
11 20
Intensif III
21 30
Tingkat
kesadaran
koma
Somnolen
Compos mentis
Komunikasi
Tidak ada
TTV
Respirasi
hipoventilasi kurang
dari 12 kali permenit,
Heart rate bradikardi,
hipotermi, hipotensi
Respirasi normal,
heart rate bradikardi,
suhu badan fluktuatif,
hipotensi
Respirasi normal,
takikardia, suhu tubuh
fluktuatif, tekanan darah
meningkat dari normal
Respon fisik
Pupil dilatasi
Intensif I
1 - 10
Intensif II
11 20
Intensif III
21 30
Mual dan
muntah
Mual menetap
kadang muntah
Berdirinya
bulu-bulu
badan /
merinding /
goose flesh
Kadang-kadang Goose
flesh jelas pada tubuh
dan tangan
TTV
Respirasi
hipoventilasi
kurang dari 12 kali
Respirasi normal,
takikardia, suhu tubuh
fluktuatif, tekanan
Kegawatdaruratan Psikiatri
Respon fisik
20
hipotensi
Pupil dilatasi
Pupil dilatasi,
gooseflesh, yawning,
lakrimasi, berkeringat,
rhinore, emosilabil,
nyeri abdomen, diare,
mual dan atau muntah
dan tremor
V. Ketika individu pada situasi krisis dan melakukan perilaku kekerasan, apakah
tindakan yang tepat yang bisa kita lakukan? Role Play dalam pleno!
Tindakan untuk mengatasi individu pada situasi krisis dan melakukan
perilaku kekerasan (Kaplan & Saddock,1997) :
Penanganan pasien amuk di RS terdiri dari Managemen Krisis dan Managemen
Perilaku Kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan yang dilakukan pada
saat terjadi perilaku amuk oleh pasien. Tujuannya untuk menenangkan pasien dan
mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain dan lingkungan karena
perilakunya yang tidak terkontrol. Sedangkan managemen perilaku kekerasan
adalah penanganan yang dilakukan setelah situasi krisis terlampaui, di mana pasien
telah dapat mengendalikan luapan emosinya meski masih ada potensi untuk untuk
meledak lagi bila ada pencetusnya.
Pada saat situasi krisis, di mana pasien mengalami luapan emosi yang
hebat, sangat mungkin pasien melakukan tindak kekerasan yang membahayakan
baik untuk diri pasien, orang lain, maupun lingkungan. Walaupun sulit sedapat
mungkin pasien diminta untuk tetap tenang dan mampu mengendalikan
perilakunya. Bicara dengan tenang, nada suara rendah, gerakan tidak terburu-buru,
sikap konsisten dan menunjukkan kepedulian dari petugas kepada pasien biasanya
mampu mempengaruhi pasien untuk mengontrol emosi dan perilakunya dengan
lebih baik.
Bila pasien tidak bisa mengendalikan perilakunya maka tindakan
pembatasan gerak (isolasi) dengan menempatkan pasien di kamar isolasi harus
dilakukan. Pasien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau
dicederai orang lain, membutuhkan pembatasan interaksi dengan orang lain dan
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
Kegawatdaruratan Psikiatri
21
Kegawatdaruratan Psikiatri
22
KESIMPULAN
Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat
terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit
dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam.
Terdapat 2 model keperawatan jiwa yang relevan untuk mengatasi masalah PTSD, yaitu
model keperawatan jiwa psychoanalytical dari Freud dan Erickson dan Social dari
Caplan dan Szasz. Beberapa tindakan keperawatan yang bisa dilakukan diantaranya
tercantum dalam label NIC Abuse Protection Support, Active Listenin, Anger Control
Assistance, dan Environmental Management.
Pasien dengan PTSD memiliki mekanisme koping yang tidak efektif sehingga
terkadang pasien memiliki keinginan unutk bunuh diri. Risiko bunuh diri ini bisa
diketahui melalui karakteristiknya melalui aspek psikologis, biologis dan sosiologis.
Selain itu perilaku bunuh diri bisa diketahui melalui Executive Functioning: Cognitive
Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving, Hopelessness, alasan
untuk hidup, Perfectionism, konsep diri, Ruminative Response Style, dan
Autobiographical Memory. Kegawatdaruratan keperawatan jiwa bisa dikaji melalui
respon pasien dengan menggunakan skor RUFA. Setiap diagnosa memiliki skor RUFA
tersendiri. Pada keadaan kegawatdaruratan Jiwa untuk mengatasi krisis misalkan
23
Kegawatdaruratan Psikiatri
perilaku kekerasan seorang perawat bisa melakukan tindakan managemen krisis dan
management perilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Corr, Charless A, Clyde Nabe, Clyde M. Nabe, Donna M. Corr. (2003). Death and
Dying, Life and Living. Brooks: Cole
Dochtermen, joanne M & Bulecheck, Gloria N. 2004. Nursing Intervention
Classification. Fourth Edition. United States Of America: Mosby
Ellis,T.E. & Rutherford,B. (2008). Cognition and Suicide: Two Decades od Progress
Vol. 1, pages 47-68. International Journal Of Cognitive Therapy
Kaplan & Saddock.1997.Sinopsis Psikiatri .Jakarta: Bina Rupa Aksara
Mahardika,
M.(2013).
Pengkajian
Kegawatdaruratan
Jiwa.
Diakses
http://www.scribd.com/doc/154394539/pengkajian-baru-RUFA
melalui
tanggal
29
September 2014
McCloskey, J.C. (2004). Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.
Stuart, G.W &Laraia, M. T. (2005).Principels And Practice Of Psychiatric Nursing (8
thed). Philadelphia: Elseiver Mosby
Yosep, Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama
Kegawatdaruratan Psikiatri
24
Lampiran 1.
Roleplay Penangaan Individu Pada Situasi Krisis dan Perilaku Kekerasan
Tokoh
Moderator
Perawat UGD
Perawat Pelaksana
Dokter
: Ni Wayan Kuniawati
Karu (Katim)
: I Made Hadiartadana
Security
Pasien
Keluarga pasien
(Pasien mengamuk dirumah, ingin mencederai orang lain dan berusaha melakukan
tindakan bunuh diri. Keluarga pasien memutuskan untuk membawa pasien ke RS jiwa.
Sesampainya dirumah sakit jiwa, pasien mendapatkan penanganan dari tim security
dan segera membawa pasien ke UGD. Setelah di UGD pasien dan keluarga di terima
Kegawatdaruratan Psikiatri
25
oleh perawat dan pasien dipegang oleh tim security. Perawat UGD memanggil tim
krisis dan melakukan pengkajian terhadap keluarga pasien)
Perawat UGD
(Pasien tetap mengamuk dan berusaha melepaskan diri dari security. Setelah
melakukan pengkajian kepada pasien, pasien termasuk kategori RUFA intensif 1)
(Sementara menunggu kedatangan tim krisis, perawat melakukan pengkajian kepada
keluarga pasien)
Perawat UGD
Ibu pasien
: Saya Anik, orang tua dari Bp.Mes. Dan ini Dewi cucu saya.Anak
dari Bp.Mes.
Perawat UGD
Bp.Mes mengamuk?
Anak pasien
Perawat UGD
26
Kegawatdaruratan Psikiatri
Katim
Perawat UGD
Hadi&Pande
: Baik buk
(Security dan tim krisis membawa pasien ke ruang tindakan. Sesampainya diruang
tindakan, katim menginstruksikan kepada perawat pelaksana untuk menyiapkan alat
pengikat dan membantu dokter menyiapkan obat untuk pasien ).
Katim
Mayun
(Sementara perawat pelaksana menyiapkan alat pengikat dan obat bersama dokter,
katim berusaha menenangkan pasien dibantu oleh security.Setelah beberapa menit,
perawat pelaksana dan dokter bergabung bersama katim.
Katim menguraikan
perencanaan penanganan pada anggota tim dan menunjuk anggota tim untuk
mengamankan anggota gerak pasien )
Katim
: Baik, disini kita akan melakukan penanganan pada pasien, yaitu kita
akan melakukan pembatasan gerak pasien. Disini pasien sudah
dipegangi oleh security, jadi saya minta Dokter Kunia dan Bu Mayun
untuk melakukan pengikatan pada Bp. Mes. Setelah pasien terikat,
saya akan memberikan obat penenang yang sudah diresepkan oleh
dokter tadi. Sebelumnya apakah ada pertanyaan ?
Anggota Tim
: tidak ada
Ketua tim
(Sementara anggota tim bersiap-siap, ketua tim menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien dan berusaha membuat pasien kooperatif).
Ketua tim
Pasien
Ketua tim
: Baik, kalau bapak tetap tidak mau tenang, dengan terpaksa kami
akan melakukan pengikatan kepada bapak.
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
Kegawatdaruratan Psikiatri
27
: Selamat siang Ibu Anik dan Adik Dewik, bapak mes sudah kami
tangani. Ini Dokter Kunia yang akan menjelaskan mengenai kondisi
Bp.Mes.
Ibu Pasien
Dokter
: Apakah bapak saya sudah boleh pulang, karena saya lihat bapak
saya sudah tenang setelah dilakukan penanganan.
Dokter
Ibu pasien
: Lakukan saja yang terbaik untuk anak saya dok. Tapi saya ingin
bertanya,apakah anak saya masih lama diikat seperti itu?
Kegawatdaruratan Psikiatri
Dokter
28
: begini ibuk, nanti jika kondisi Bapak Mes sudah stabil kami akan
melakukan negosiasi kepada pasien. Kalau pasien mau tenang kami
akanmelepaskan ikatannya satu persatu.
Ibu Pasien
: Baik dok
Katim
Ibu Pasien
Katim
: Iya bisa buk, disini sudah ada perawat yang akan mengevaluasi
keadaan anak ibu. Tetapi harus ada 1 anggota keluarga yang
menunggu pasien.
Ibu pasien
: Baik sus.
Katim
: Baik kalau sudah tidak ada yang didiskusikan lagi, kami permisi ya
buk.
Dokter
Pasien
: (Pasien mengangguk)
PP
Dokter
: Bapak mes, perkenalkan saya Dokter Kunia yang menangani Bp. Mes.
Bagaimana keadaan bapak saat ini?Masih ada perasaan kesal atau marah?
Pasien
Dokter
: begini pak ya. Bagaimana kalau kita membuat perjanjian terlebih dahulu.
Kalau bapak bisa mengontrol emosi bapak dan tidak memberontak, saya
akan melepaskan ikatan bapak. Tetapi, kalau bapak tetap memberontak
saya tidak akan melepaskan ikatan bapak. Apakah Bapak setuju?
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD
29
Kegawatdaruratan Psikiatri
Pasien
Dokter
: baik, sekarang kami akan melepaskan ikatan bapak. Tapi bapak harus
tenang dan dirawat diruangan ini untuk sementara waktu sampai kondisi
bapak benar-benar membaik.
Pasien
Dokter
: Baik bapak, kalau begitu bapak bisa beristirahat terlebih dahulu disini.
Sementara saya akan merencakan tindakan perawatan untuk bapak
kedepannya bersama tim kami
PP
(Karu
ruang
tindakan,
sementara
perawat
pelaksana
mulai
: Ibu anik dan adik Dewik, bisa kita bicara sebentar mengenai kondisi
pasien?
Keluarga
: Baik bu. Bagaimana perkembangan kondisi anak saya apakah kami bisa
menjenguknya sekarang?
Karu
: kondisi bapak Mes sudah stabil, dan sudah bisa dikunjungi sekarang.
Tetapi saya minta ibu dan adik untuk tidak menyinggung atau bertanya
mengenai permasalahan yang sedang dihadapi pasien yang mengakibatnya
menjadi mengamuk dan berusaha melukai orang lain. Selain itu, tolong
Kegawatdaruratan Psikiatri
30
berikan bapak Mes makanan atau minuman karena setelah mengamuk tadi
tenaganya sudah banyak berkurang
Anak pasien : baik bu, nanti saya akan mencoba menyuapi bapak. Tapi apakah bapak
saya akan benar benar dirawat? Saya khawatir kalau dia akan sulit
berinteraksi dengan lingkungan disini jika kami tinggalkan
Karu
: adik tidak perlu khawatir, sekarang perawat kami akan melakukan BHSP
atau bina hubungan saling percaya dengan pasien. Dari prosedur ini kami
akan berusaha berinteraksi dengan pasien dan membuat pasien nyaman
sehingga mampu menerima kami. Setelah itu, kami akan menjelaskan
bahwa pasien akan kami pindahkan ke ruang perawatan dan akan bertemu
dengan teman teman yang lain. Kami akan mendampingi pasien terlebih
dahulu sampai beliau benar-benar nyaman dan tidak merasa terancam.
Nanti keluarga bisa mengunjungi pasien sesuai dengan waktu berkunjung.
Jadi untuk sementara bapak Mes lebih baik kami rawat dulu disini untuk
pemantauan lebih lanjut dan untuk mempermudah kami melakukan
perawatan demi kesembuhan pasien serta mengurangi resiko kekambuhan
pasien
Ibu pasien
: baik bu jika memang itu yang terbaik kami akan mengikuti prosedur
yang berlaku demi kesembuhan anak saya. Sekarang apakah kami bisa
menemui anak saya ?
Karu
: bisa ibu, mari akan saya antar ke ruangan bapak Mes. Nanti saya minta
ibu untuk melengkapi beberapa berkas untuk perpindahan pasien menuju
ruang perawatan.
Ibu pasien
(Karu menemani ibu dan anak pasien menemui bapak Mes.Setelah mengurus beberapa
administrasi, pasien akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisi pasien
berangsur angsur membaik dan mulai mau berbicara dan berinteraksi dengan para
perawat dan lingkungannya)
Sekian & Terimakasih