Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Anxiety and panic reaction in effective coping and situational crisis

OLEH :
SGD 5

Putu Pande Eka Suputri

(1102105016)

Ni Luh Anik Utami

(1102105018)

I Made Hadiartadana

(1102105022)

Ni Putu Nariska Rahayuni

(1102105030)

Kadek Dewi Yuliantini

(1102105031)

Ni Wayan Kuniawati

(1102105032)

Anak Agung Istri Dwi Mayuni

(1102105060)

I Putu Pande Eka Krisna Yoga

(1102105064)

I Gede Meyantara Eka S.

(1102105065)

Ida Ayu Putu Surya Adnyani

(1102105067)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

LEARNING TASK KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI


Anxiety and panic reaction in effective coping and situational crisis

Kegawatdaruratan Psikiatri

Kasus I (SGD 5-6)


Adanya perubahan nilai dan norma yang terjadi saat ini menjadi masalah yang
cukup serius untuk diselesaikan. Kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat dan
tidak adekuatnya mekanisme koping seseorang bisa memunculkan terjadinya konflik
antar daerah. Seperti yang terjadi beberapa pekan lalu di lampung selatan menyisakan
kepedihan dan trauma pada masyarakat tersebut. Tidak hanya anak-anak, orang
dewasapun bisa mengalami trauma yang berkepanjangan atau dengan istilah yang ada
yaitu PTSD (Post Trauma Stress Disorder).
Beberapa individu cenderung berusaha untuk mengatasi kecemasan dan
kepanikan melalui mekanisme koping yang baik, tetapi masih terdapat beberapa
individu tidak kuat untuk merespon trauma tersebut secara adaptif sehingga bisa
mengakibatkan terjadinya depresi, perilaku kekerasan pada orang lain dan lingkungan
bahkan risiko perilaku bunuh diri.
TUGAS..
1. Jelaskan konsep model praktek keperawatan jiwa yang relevan digunakan
untuk mengatasi masalah tersebut !
2. Tindakan keperawatan apa yang bisa kita berikan untuk mengatasi masalah
kasus di atas?
3. Bagaimana cara kita untuk mengidentifikasi adanya perilaku percobaan
bunuh diri pada individu tersebut?
4. Jelaskan tentang konsep RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptif) yang bisa
diaplikasikan pada seting kegawatdaruratan keperawatan jiwa !
5. Ketika individu pada situasi krisis dan melakukan perilaku kekerasan, apakah
tindakan yang tepat yang bisa kita lakukan? Role Play dalam pleno!

PEMBAHASAN

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

I. Jelaskan konsep model praktek keperawatan jiwa yang relevan digunakan


untuk mengatasi masalah tersebut !
Masalah yang dialami pada kasus diatas adalah PTSD. Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD ) adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari
sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak
menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam
(American Psychological Association, 2004).
Terdapat 6 konsep model keperawatan jiwa diantaranya :
1. Psychoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang
apabila ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol kehendak nafsu atau
insting. Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akal (ego) untuk
mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama) yang akan mendorong
terjadinya penyimpangan perilaku. Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam
teori ini adalah adanya konflik intrapsikis. Proses terapi pada model ini adalah
menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk
memperbaiki trauma masa lalu. Misalnya klien dibuat sangat mengantuk, dalam
keadaan ini tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali dengan
pertanyaan-pertanyaan untuk menggali trauma masa lalu. Hal ini dikenal
dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan khusus.
Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan
mimpinya, sedangkan terapis berupaya untuk menginstrepretasi pikiran dan
mimpi pasien. Peran perawat adalah berupaya melakukan pengkajian mengenai
keadaan-keadaan trauma atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu
dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust
(Yosep, 2011).
2. Interpersonal (Sullivan, Peplau)
Menurut Yosep (2011), konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bisa muncul
akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (anxiety).
Ansietas timbul dan dialami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan
dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang
didasari adanya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini meliputi :
a. Build Feeling Security (berupaya membangun rasa aman pada klien)
b. Trusting Relationship and Intwepersonal Satisfaction (menjalin
hubungan yang saling percaya)
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

c. Membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien


merasa berharga dan dihormati
Peran perawat dalam terapi ini adalah berupaya melakukan sharing mengenai
apa yang dirasakan klien, apa yang bisa dicemaskan oleh klien saat
berhubungan dengan orang lain), perawat berupaya bersikap empati dan turut
merasakan apa yang dirasakan klien. Disamping itu perawat juga memberikan
respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan
orang lain (Yosep, 2011).
3. Existensial (ellis, Rogers)
Menurut teori model ini gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi apabila
individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu
membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Body imagenya. Proses
terapinya adalah mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan
orang lain, self assessment, memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap
sukses, bergaul dengan kelompok sosial atau kemanusiaan, mendorong untuk
menerima jatidirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang
perilakunya dari orang lain. Prinsip keperawatannya adalah klien dianjurkan
untuk berperan serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk
menpelajari dirinya dan mendapatkan feedback dari orang lain, misalnya
melalui terapi aktivitas kelompok (Yosep, 2011).
4. Social ( Caplan, Szasz)
Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau
penyimpangan perilaku apabila banyaknya faktor social dan faktor lingkungan
yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social and environmental
faktors create stress, which cause anxiety and symptom). Prinsip proses terapi
yang sangat penting dalam konsep model ini adalah environment manipulation
and social support ( pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya dukungan
sosial)
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus
menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat
melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan
therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di
kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: faktor biopsikososial dan
respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering
sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak
keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, raguragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul,
menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan,
dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan
jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi
pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan
masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu
diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada
dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang
dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan
yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang
adaptif.
6. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifaktor yang
kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan faktor sosial. Sehingga
focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi
somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam
berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan
terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan
mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis
pendekatan terapi yang digunakan.
KESIMPULAN : yang relevan berdasarkan kasus adalah model praktek
keperawatan jiwa psychoanalytical dari Freud dan Erickson dan Social dari Caplan
dan Szasz. Model Pscyhoanalytical menjelaskan mengenai ketidakmampuan
seseorang dalam menggunakan akal (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan,
norma, agama) yang akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku misalnya
perilaku kekerasan atau risiko percobaan bunuh diri. Faktor penyebab lain
gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis, dimana
berdasarkan kasus kita ketahui bahwa pasien mengalami PTSD dan pasien tidak
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

mampu merespon secara adaptif terhadap perubahan tersebut sehingga dapat


memicu penyimpangan perilaku. Terapi yang diberikan pada model ini berupa
hypnotic dan cocok untuk diterapkan pada kasus ini, oleh karena individu akan
mengungkapkan semua kecemasan dan kepanikan yang ia rasakan sehingga akan
mencegah terjadinya penyimpangan perilaku.
Sedangkan model social dari Caplan dan Szasz menjelaskan seseorang akan
mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya faktor
social dan faktor lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang
( social and environmental faktors create stress, which cause anxiety and symptom),
pada PTSD dimana terjadi kesenjangan social yang terjadi di masyarakat yang
memicu stess dan kondisi social bertanggung jawab atas penyimpangan perilaku
dan tidak memungkinkan adanya support system yang menyebabkan penyimpangan
perilaku. Pemberian terapi untuk menggali system sosial klien seperti suasana
dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja dengan
menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan,
keluarga atau suami-istri.
II. Tindakan keperawatan apa yang bisa kita berikan untuk mengatasi masalah
kasus di atas?
Menurut Yosep (2011), tindakan yang bisa dilakukan oleh seorang perawat
dalam mengatasi masalah pada pasien dengan PTSD:
Ansietas (berat sampai panik) atau ketakutan
1. Kaji derajat ansietas yang muncul, perilaku yang berkaitan dan realitas
ancaman yang dirasakan oleh klien
2. Pertahankan dan hargai batas ruang pribadi klien (kira-kira diameter 120cm
disekeliling klien)
3. Bentuk hubungan saling percaya dengan klien
4. Identifikasi apakah peristiwa telah teraktivasi situasi yang ada sebelumnya
atau menyertai situasi (fisik/psikologis)
5. Observasi dan dapatkan informasi tentanf cedera fisik, dan kaji gejala seperti
mati rasa, sait kepala, dada terasa sesak, mual, dan jantung berdetak keras.
6. Perhatikan adanya nyeri kronis atau gejala nyeri lebih dari derajat cedera fisik
7. Evaluasi aspek sosial trauma/peristiwa tersebut (misal: kecacatan, kondisi
kronis, ketidakmampuan permanen)

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

8. Identifikasi respon psikologis. Perhatikan perilaku tertawa, menangis, tenang


atau

agitasi,

eksitasi

(histeris),

ekspresi

ketidakpercayaan

dan/atau

menyalahkan diri sendiri. Catat perubahan emosi


9. Tentukan derajat disorganisasi. Indikator tingkat intervensi yang dibutuhkan.
10. Identifikasi perkembangan reaksi fobik terhada benda biasa (misal: pisau,
situasi, daan kejadian)
11. Dampingi klien, pertahankan sikap tenang dan percaya diri, bicara dengan
pernyataan singkat, gunakan kata-kata sederhana.
12. Sediakan lingkungan yang konsisten dan tidak mengancam
13. Tingkatkan aktivitas/keterlibatan dengan orang lain secara bertahap
14. Diskusikan persepsi klien tentang apa yang menyebabkan ansietas
15. Bantu klien mengidentifikasi perasaan yang dialami dan berfokus pada
bagaimana kopingnya. Anjurkan klien untuk membuat tulisan tentang
perasaannya, faktor yang mencetuskan, perilaku yang berkaitan.
16. Gali dengan klien cara klien menghadapi peristiwa yang menimbulkan cemas
sebelum trauma
17. Libatkan klien dalam mempelajari perilaku koping yang baru (misal: relaksasi
otot progresif, berhenti berpikir)
18. Beri umpan balik positif jika klien mendemostrasikan cara yang lebih baik
untuk menangani ansietas dan mampu menguasai situasi dengan tenang
dan/atau realistik
19. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, misal antidepresan: fluoksetin
(prozac), amoksapin(asendin), doksepin (sinequan), imipramin (trofanil),
inhibitor MAO fenelzin (nardil).
Ketidakberdayaan
1. Identifikasi perilaku koping saat ini atau masa lalu yang efetif dan kuatkan
penggunaannya
2. Perhatikan latar belakang etnik, persepsi budaya, agama dan kepercayaan
tentang kejadian (misal: pembalasan dosa dari Tuhan)
3. Rumuskan rencana keperawatan dengan klien, buat tujuan pencapaian yang
realistik
4. Dorong klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor pengendalian diri dan juga
faktor yang tidak dimiliki dalam kemampuan diri untuk mengendalikan
perilaku
5. Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor jika mulai terjadi perasaan tidak
berdaya dan dan hilangnya pengendalian diri
6. Gali tindakan yang dapat digunakan klien selama periode stress (misal: nafas
dalam, berhitung sampai sampai 10, meninjau situasi, menyusun ulang)
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

7. Beri umpan balik positif jika klien menggunakan metode konstruktif untuk
mendapatkan kembali pengendalian diri.
8. Tingkatkan keterlibatan dalam terapi kelompok
9. Kolaborasi libatkan dalam pelatihan asertif yang sesuai
Potensial membahayakan diri atau orang lain
1. Evaluasi adanya destruktif atau perilaku bunuh diri, (misalnya perubahan
alam perasaan, semakin menarik diri). Kaji keseriusan ancaman (misalnya
gerak-gerik, usaha sebelumnya). (Gunakan skala 1-10 dan prioritaskan
menurut keparahan ancaman, tersedianya alat).
2. Anjurkan klien untuk mengidentifikasi dan menyatakan pemicu stimulus,
faktor penyebab yang mengakibatkan potensi kekerasan atau aktual oleh
klien.
3. Negosiasikan kontrak dengan klien tentang tindakan yang harus diambil jika
merasa hilang kendali
4. Bantu klien memahami bahwa perasaan marah mungkin sesuai dalam suatu
situasi, tetapi perlu diekspresikan secara verbal atau dalam cara yang dapat
diterima bukan bertindak menuruti perasaan marah dengan cara destruktif.
5. Pantau tingkat kemarahan (misalnya bertanya, menolak, pengungkapan secara
verbal, intimidasi, marah yang meledak-ledak)
6. Beri tahu klien untuk menghentikan perilaku berbahaya. Gunakan
pengendalian lingkungan (seperti membawa klien ke tempat yang tenang,
memegang klien), jika perilaku terus meningkat. Berbicara secara lemah
lembut dan perlahan.
7. Lakukan tindakan mengurangi peningkatan kemarahan sesuai indikasi,
misalnya:
a. Ambil jarak dari klien, posisikan diri pada salah satu sisi; tetap tenang,
tetap berdiri atau duduk, ambil posisi postur terbuka dengan tangan
di samping
b. Berbicara dengan lembut, panggil nama klien, akui perasaan klien,
ekspresikan rasa penyesalan tentang situasi, tunjukkan empati.
c. Hindari menunjuk, menyuruh, menghardik, menantang menginterupsi,
mendebat, meremehkan atau mengintimidasi klien.
d. Minta izin untuk bertanya, mencoba untuk melihat peristiwa yang
memicu dan setiap emosi yang mendasari, seperti takut, ansietas atau
penghinaan; tawarkan solusi/alternatif.
8. Libatkan dalam program latihan, dalam program aktivitas di luar rumah
(gerak jalan, mendaki); anjurkan aktivitas olahraga (kelompok atau individu)
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

9. Kolaborasi gunakan pengasingan atau restrai sampai memperoleh kembali


kendali diri, sesuai indikasi. Beri obat, sesuai indikasi, misalnya litium
karbonat (Eskalith).

Ketidakefektifan koping individu


1. Identifikasi dan diskusikan derajat disfungsi koping (misalnya menyangkal,
rasionalisasi), meliputi penggunaan/penyalahgunaan zat kimia.
2. Waspasai dan bantu klien menggunakan kekuatan ego dalam cara yang positif,
akui kemampuan menangani apa yang sedang terjadi
3. Izinkan klien mengekspresikan perasaan secara bebas di ruangannya sendiri.
Jangan mendesak klien mengekspresikan perasaannya terlalu cepat; hindari
penenangan yang tidak tepat
4. Anjurkan klien untuk menyadari dan menerima perasaanya sendiri dan reaksi
yang diidentifikasi
5. Beri
izin
mengekspresikan/

menghadapi

marah

penyerangan/situasi dalam cara yang dapat diterima.


6. Tetapkan diskusi pada tingkat praktis dan emosi,

bukan

terhadap
dengan

mengintelektualisasi pengalaman.
7. Identifikasi orang-orang yang dapat mendukung klien
8. Kolaborasi
9. Beri konsulen/ahli terapi yang peka yang khusus dilatih dalam manajemen
krisis dan penggunaan terapi, misalnya psikoterapi (sebagai penunjang
medikasi), terapi implosif, flooding, hipnosis, relaksasi, rolfing, kerja memori
(memory work) atau restrukturisasi
10. Rujuk pada terapi okupasi, rehabilitasi vokasional
Berduka, maladaptif
1. Perhatikan ekspresi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri secara
verbal/nonverbal
2. Akui realitas perasaan bersalah dan bantu klien untuk mengambil langkah ke
arah resolusi
3. Beri penguatan bahwa klien membuat keputusan terbaik yang dapat dibuat
waktunya
4. Perhatikan tanda dan tahap berduka terhadap diri sendiri dan/atau orang lain
(misal; menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan)
5. Sadari adanya perilaku menghindar (misalnya marah, menarik diri)

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

10

6. Beri informasi tentang normalnya perasaan dan tindakan dalam hubungannya


dengan tahap berduka
7. Identifikasi faktor budaya dan cara individu menghadapi kehilangan
sebelumya. Tunjukkan kekuatan, keterampilan, koping positif individu
8. Beri penguatan penggunaan keterampilan koping efektif yang sebelumnya
9. Bantu orang terdekat untuk menghadapi respo klien
10. Kolaborasi dalam merujuk pada sumber lain (misalnya kelompok pendukung/
sebaya, konseling, psikoterapi, rohaniawan)
Beberapa tindakan keperawatan yang juga bisa dilakukan untuk mengatasi
masalah diatas menurut Dochterman & Bulecheck (2004):
1. Abuse Protection Support
a. Identifikasi hal yang menyebabkan sulitnya pasien untuk mempercayai
orang lain atau perasaan tidak menyukai satu sama lain
b. Dengarkan penjelasan pasien mengenai kejadian yang terjadi
c. Identifikasi apakah kejadian yang diceritakan pasien sesuai dengan
mereka yang terlibat
d. Monitor reaksi yang kurang atau reaksi yang berlebihan dari pasien
e. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi mekanisme koping untuk
mengatasi situasi yang menyebabkan stress
f. Berikan keluarga informasi mengenai tanda-tanda penyalahgunaan
2. Active Listening
a. Jelaskan tujuan dari tindakan
b. Bina hubungan saling percaya
c. Gunakan pernyataan atau pertanyaan untuk menggali ekspresi pasien,
baik pikiran, perasaan dan kepentingan
d. Gunakan bahasa nonverbal untuk memfasilitasi komunikasi
e. Dengarkan ungkapan dan perasaan yang tidak berekspresi dari
percakapan
f. Hati-hati dengan nada, tempo dan volume dari perkataan
g. Waktu respon perawat yang tepat sehingga mencerminkan pemahaman
pesan dari pasien diterima dengan baik oleh perawat
3. Anger Control Assistance
a. Bina hubungan saling percaya
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

11

b. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan


c. Tentukan ekspektasi perilaku yang tepat untuk ekspresi kemarahan,
mengingat tingkat fungsi kognitif dan fisik pasien
d. Batasi pasien mengalami situasi yang frustasi sampai pasien bisa untuk
mengekspresikan marah dengan cara yang adaptif
e. Anjurkan pasien untuk mencari seseorang yang bertanggung jawab dan
bisa dipercaya untuk mendampingi selama masa-masa ketegangan
f. Cegah kegiatan intens seperti meninju tas, mondar-mandir atau kegiatan
yang berlebihan
g. Berikan umpan balik untuk membantu pasien mengidentifikasi
amarahnya
4. Environmental Management
a. Ciptakan lingkungan yang aman untuk pasien
b. Identifikasi lingkungan yang aman yang dibutuhkan oleh pasien
c. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan pasien
d. Kurangi lingkungan yang dapat menstimulasi keinginan pasien untuk
bunuh diri
III.Bagaimana cara kita untuk mengidentifikasi adanya perilaku percobaan
bunuh diri pada individu tersebut?
Terdapat beberapa cara untuk mengidentifikasi atau mengenal adanya perilaku
percobaan bunuh diri. Dalam Corr, Nabe, & Corr (2003) menjelaskan bahwa
terdapat tiga faktor yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perilaku
bunuh diri yaitu faktor psikologis, biologis, dan sosiologis.
1. Faktor psikologis
Menurut Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) penjelasan yang
didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa suicide is murder turned
around 180 degrees, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan
kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan.
2. Faktor biologis
Banyak penelitian mengaitkan antara perilaku bunuh diri dengan gangguan
level serotonin dalam otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku
agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri
merupakan bawaan lahir, dimana orang yang ingin mencoba bunuh diri
mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama.
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

12

Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan
berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.
3. Faktor sosiologis
Perilaku bunuh diri dipandang sebagai hasil dari hubungan individu
dengan masyarakatnya yang menekankan apakah individu terintegrasi dan
teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut,
bunuh diri dapat dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
a. Egoistic Suicide
Individu yang bnuh diri disini adalah individu yang tersolasi dengan
masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolment dan
underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang
dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebuthan, dia lebih berisiko
melakukan perilaku bunuh diri.
b. Altruistic Suicide
Individu disini mengalami overinvolment dan overintegration. Pada
situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu
dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri
yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari
identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan
makna hidupnya dari luar dirinya. pada masyarakat yang sangat
terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu
tugas.
c. Anomic Suicide
Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur
anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya
(misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas, seksual, dll). Ketika
masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang
radikal, kondisi anomie (tanpa hokum atau norma) akan terbentuk.
Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikan
sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan
bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh
kelompok teman sebayanya.
d. Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana
individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masyarakat.
Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

13

Perilaku percobaan bunuh diri juga dapat diidentifikasi dengan mengetahui


bagaimana karakteristik pikiran dari perilaku bunuh diri tersebut. Karakteristik dari
pikiran dari perilaku bunuh diri meliputi :
1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan
Deficient Problem-Solving
Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat
dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau
kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel
untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang
memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif
untuk penderitaannya.
Dichotomous (black or white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub
seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.
ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan
dengan baik dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal
(Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan
Pyvar

(dalam

ketidakmampuan

Ellis

&

Rutherford,

menyelesaikan

2008)

masalah

menambahkan

interpersonal

bahwa

merupakan

penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab


problem-solving deficit belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang
pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory (Pollock &
Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak.
Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi
masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis &
Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaanpercobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan
ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality.
2. Hopelessness
Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif
akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai
tujuannya. Hopelessness juga berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa
variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
3. Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan
pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

14

bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah
untuk menyatakan alasan untuk hidup (Ellis & Rutherford, 2008).
4. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai
faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini
mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis,
diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri
sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially
prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).
Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented
berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri (Ellis & Rutherford, 2008).
5. Konsep diri
Jika seseorang memandang dirinya secara positif (konsep diri positif), maka
dia akan memiliki harga diri yang tinggi, sedangkan konsep diri yang negatif
telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa
variabel karakteristik kognitif lainnya (Ellis & Rutherford, 2008).
6. Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi
merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam
Ellis & Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir
yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya.
7. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang
pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan
depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan
bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical
memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan
umum (William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini
berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory
yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap,
merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu
tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di
masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa
depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness
dan kecenderungan bunuh diri pada individu (Ellis & Rutherford, 2008).
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

15

IV. Jelaskan tentang konsep RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptif) yang bisa
diaplikasikan pada seting kegawatdaruratan keperawatan jiwa !
Keperawatan meyakini bahwa kondisi manusia selalu bergerak pada rentang
adaptif dan maladaptif. Kondisi adaptif dan maladaptive ini dapat dilihat atau
diukur dari respons yang ditampilkan. Dari respon sini kemudian dirumuskan
diagnosa skor RUFA dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditemukan
pada pasien. Sehingga setiap diagnosa keperawatan memiliki kriteria skor RUFA
tersendiri. RUFA (Respons Umum Fungsi Adaptif)/ GAFR (General Adaptive
Funtion Response) merupakan modifikasi dari skor GAF karena keperawatan
menggunakan pendekatan respons manusia dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan fungsi respons yang adaptif (Stuart &Laraia, 2005).
Pengkajian Kegawatdaruratan Jiwa berdasarkan RUFA (Mahardika, 2013)
yaitu:
Table 1. RUFA Perilaku Kekerasan
Domain

Intensif I
1 - 10

Intensif II
11 - 20

Intensif III
21 30

Pikiran

Orang lain / makhluk


lain mengancam

Orang lain / makhluk


lain mengancam

Orang lain / makhluk


lain mengancam

Perasaan

Marah dan jengkel


terus-menerus

Marah dan jengkel


(seringkali)

Kadang marah dan


jengkel, sering tenang

Tindakan

Terus-menerus
mengancam orang lain
(verbal)
Terus-menerus
berusaha mencederai
orang lain (fisik)
Komunikasi sangat
kacau

Hanya mengancam
secara verbal
Tidak ada tindakan
kekerasan fisik
Komunikasi kacau

Kadang-kadang
masing mengancam
secara verbal.
Komunikasi cukup
koheren

Table 2. RUFA Waham


Domain
Pikiran

Intensif I
1 - 10
Terus menerus
terfiksasi dengan
wahamnya

Intensif II
11 - 20
Pikiran didominasi oleh
isi waham, kadang
masih memiliki pikiran

Intensif III
21 30
Pikiran kadangkadang dikendalikan
wahamnya

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

16

Kegawatdaruratan Psikiatri

yang rasional
Perasaan

Sangat dipengaruhi
oleh wahamnya

Lebih dipengaruhi
wahamnya

Kadang masih
dipengaruhi
wahamnya

Tindakan

Komunikasi sangat
kacau, selalu
dipengaruhi oleh
waham.
Mungkin mengancam
orang lain
Mencederai orang lain

Komunikasi masih
kacau.
Tidak mencederai orang
lain

Komunikasi sering
terganggu waham

Table 3. RUFA Risiko Bunuh Diri


(Skor: 1-10 Skala RUFA)

(Skor: 11-20 Skala


RUFA
Percobaan Bunuh Diri
Ancaman Bunuh Diri
1. Aktif mencoba bunuh diri 1.
Aktif memikirkan
dengan cara:
rencana bunuh diri,
a.
gantung diri
namun tidak disertai
b.
minum racun
dengan percobaan
c.
memotong
bunuh diri
urat nadi
2.
Mengatakan ingin
d.
menjatuhkan
bunuh diri namun
diri dari tempat
tanpa rencana yang
yang tinggi
spesifik
2. Mengalami depresi
3.
Menarik diri dari
3. Mempunyai rencana
pergaulan sosial
bunuh diri yang spesifik
4. Menyiapkan alat untuk
bunuh diri (pistol, pisau,
silet, dll)

(Skor: 21-30 Skala RUFA


Isyarat Bunuh Diri
1.
Mungkin sudah
memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya,
namun tidak disertai
dengan ancaman dan
percobaan bunuh diri
2.
Mengungkapkan
perasaan seperti rasa
bersalah / sedih / marah /
putus asa / tidak berdaya
3.
Mengungkapkan halhal negatif tentang diri
sendiri yang
menggambarkan harga
diri rendah
4.
Mengatakan: Tolong
jaga anak-anak karena
saya akan pergi jauh!
atau Segala sesuatu akan
lebih baik tanpa saya.

Table 4. RUFA Halusinasi


Domain

Intensif I
1 - 10

Intensif II
11 20

Intensif III
21 30

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

17

Kegawatdaruratan Psikiatri

Penilaian
realitas

Penilaian realitas
terganggu, pasien
tidak bisa
membedakan yang
nyata dan yang
tidak nyata.
Halusinasi dianggap
nyata

Mulai dapat
membedakan yang
nyata dan yang
tidak nyata.
Kadang-kadang
mengalami
gangguan pikiran

Pasien sudah
mengenal
halusinasinya
Berfikir logis
Persepsi adekuat

Perasaan

Panik

Cemas berat
Reaksi emosinal
berlebihan atau
berkurang, mudah
tersinggung

Cemas sedang
Emosi sesuai
dengan kenyataan

Perilaku

Pasien kehilangan
control diri,
melukai diri sendiri,
orang lain dan
lingkungan akibat
mengikuti isi
halusinasinya
PK secara verbal
Kegiatan fisik yang
merefleksikan isi
halusinasi seperti
amuk, agitasi,
memukul atau
melukai orang
secara fisik, serta
pengerusakan
secara lingkungan
Gejala di atas
ditemukan secara
terus-menerus pada
pasien

PK secara verbal
Bicara, senyum dan
tertawa sendiri
Mengatakan
mendengar suara,
melihat, mengecap,
mencium dan atau
merasa sesuatu
yang tidak nyata.
Sikap curiga dan
permusuhan
Frekwensi
munculnya
halusinasi sering

Perilaku sesuai
Ekspresi tenang
Frekwensi
munculnya
halusinasi jarang

Table 5. RUFA Panik


Domain
Respon
fisik

Intensif I
1 - 10
Napas pendek, rasa
tercekik dan palpitasi,

Intensif II
11 20
Napas pendek,
berkeringat, tekanan

Intensif III
21 30
Napas pendek, mulut
kering, anoreksia,

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

18

nyeri dada, sakit


kepala, pucat dan
gemetar

darah naik

diare/konstipasi

Persepsi

Persepsi sangat kacau,


takut menjadi gila,
takut kehilangan
kendali

Persepsi sangat sempit,


merasa tidak mampu
menyelesaikan masalah

Hanya berfokus pada


masalahnya

Perilaku

Agitasi, mengamuk,
marah

Marah

Sering merasa gelisah,


gerakan tersentaksentak (meremas
tangan)

Emosi

Ketakutan

Tegang

Adanya perasaan tidak


aman

Verbal

Blocking atau berteriak

Bicara cepat terkadang


blocking

Banyak bicara dan


cepat

Table 6. RUFA Isolasi Sosial


Domain

Intensif I
1 - 10

Intensif II
11 20

Intensif III
21 30

Respon terhadap
lingkungan

Apatis

Apatis

Ada tapi jarang

Respon motorik

Stupor
Kataton

Mulai ada pergerakan


tubuh

Pergerakan tubuh
lambat

Komunikasi
dengan orang lain

Tidak ada

Ada respon non verbal

Respon verbal
seperlunya

Kemampuan
perawatan diri :
Makan dan
minum
Berhias
Toileting
Kebersihan
diri

Total care

Pertial care

Minimal care

Tidak mampu

Dibantu

Dimotivasi

Tidak mampu
Tidak mampu
Tidak mampu

Dibantu
Dibantu
Dibantu

Dimotivasi
Dimotivasi
Dimotivasi

Afek

Datar

Tumpul

Sesuai
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kontak mata

Kegawatdaruratan Psikiatri

19

Ada tapi jarang

ada

Tidak ada

Table 7. RUFA Overdosis Opioid


Domain

Intensif I
1 - 10

Intensif II
11 20

Intensif III
21 30

Tingkat
kesadaran

koma

Somnolen

Compos mentis

Komunikasi

Tidak ada

Non verbal dan bicara


kacau

Koheren baik verbal


maupun non verbal serta
gelisah

TTV

Respirasi
hipoventilasi kurang
dari 12 kali permenit,
Heart rate bradikardi,
hipotermi, hipotensi

Respirasi normal,
heart rate bradikardi,
suhu badan fluktuatif,
hipotensi

Respirasi normal,
takikardia, suhu tubuh
fluktuatif, tekanan darah
meningkat dari normal

Respon fisik

Pupil miosis (pin


point pupil), bibir dan
tubuh membiru

Pupil dilatasi

Pupil dilatasi, goose


flesh, yawning,
lakrimasi, berkeringat,
rhinore, emosilabil,
nyeri abdomen, diare,
mual dan atau muntah
dan tremor

Table 8. RUFA Putus Zat Golongan Opioid


Domain

Intensif I
1 - 10

Intensif II
11 20

Intensif III
21 30

Mual dan
muntah

Mual menetap
kadang muntah

Mual ringan tanpa


muntah

Tidak mual dan tidak


muntah atau mual yang
hilang timbul

Berdirinya
bulu-bulu
badan /
merinding /
goose flesh

Goose flesh jelas


pada tubuh dan
tangan

Goose flesh jelas dan


dapat diraba

Kadang-kadang Goose
flesh jelas pada tubuh
dan tangan

TTV

Respirasi
hipoventilasi
kurang dari 12 kali

Respirasi normal, heart


rate bradikardi, suhu
badan fluktuatif,

Respirasi normal,
takikardia, suhu tubuh
fluktuatif, tekanan

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

Respon fisik

20

permenit, Heart rate


bradikardi,
hipotermi, hipotensi

hipotensi

darah meningkat dari


normal

Pupil miosis (pin


point pupil), bibir
dan tubuh membiru

Pupil dilatasi

Pupil dilatasi,
gooseflesh, yawning,
lakrimasi, berkeringat,
rhinore, emosilabil,
nyeri abdomen, diare,
mual dan atau muntah
dan tremor

V. Ketika individu pada situasi krisis dan melakukan perilaku kekerasan, apakah
tindakan yang tepat yang bisa kita lakukan? Role Play dalam pleno!
Tindakan untuk mengatasi individu pada situasi krisis dan melakukan
perilaku kekerasan (Kaplan & Saddock,1997) :
Penanganan pasien amuk di RS terdiri dari Managemen Krisis dan Managemen
Perilaku Kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan yang dilakukan pada
saat terjadi perilaku amuk oleh pasien. Tujuannya untuk menenangkan pasien dan
mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain dan lingkungan karena
perilakunya yang tidak terkontrol. Sedangkan managemen perilaku kekerasan
adalah penanganan yang dilakukan setelah situasi krisis terlampaui, di mana pasien
telah dapat mengendalikan luapan emosinya meski masih ada potensi untuk untuk
meledak lagi bila ada pencetusnya.
Pada saat situasi krisis, di mana pasien mengalami luapan emosi yang
hebat, sangat mungkin pasien melakukan tindak kekerasan yang membahayakan
baik untuk diri pasien, orang lain, maupun lingkungan. Walaupun sulit sedapat
mungkin pasien diminta untuk tetap tenang dan mampu mengendalikan
perilakunya. Bicara dengan tenang, nada suara rendah, gerakan tidak terburu-buru,
sikap konsisten dan menunjukkan kepedulian dari petugas kepada pasien biasanya
mampu mempengaruhi pasien untuk mengontrol emosi dan perilakunya dengan
lebih baik.
Bila pasien tidak bisa mengendalikan perilakunya maka tindakan
pembatasan gerak (isolasi) dengan menempatkan pasien di kamar isolasi harus
dilakukan. Pasien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau
dicederai orang lain, membutuhkan pembatasan interaksi dengan orang lain dan
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

21

memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan. Pada saat akan dilakukan


tindakan isolasi ini pasien diberi penjelasan mengenai tujuan dan prosedur yang
akan dilakukan sehingga pasien tidak merasa terancam dan mungkin ia akan
bersikap lebih kooperatif. Selama dalam kamar isolasi, supervisi dilakukan secara
periodik untuk memantau kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan
yang dibutuhkan termasuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti nutrisi,
eliminasi, kebersihan diri, dsb.
Bila tindakan isolasi tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya,
berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah dengan
melakukan pengekangan/pengikatan fisik. Tindakan ini masih umum digunakan
petugas di RS dengan disertai penggunaan obat psikotropika. Untuk menghindari
ego pasien terluka karena pengikatan, perlu dijelaskan kepada pasien bahwa
tindakan pengikatan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan pencegahan
resiko yang dapat ditimbulkan oleh perilaku pasien yang tidak terkendali. Selain
itu juga perlu disampaikan pula indikasi penghentian tindakan pengekangan
sehingga pasien dapat berpartisipasi dalam memperbaiki keadaan. Selama
pengikatan, pasien disupervisi secara periodik untuk mengetahui perkembangan
kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan.
Selanjutnya pengekangan dikurangi secara bertahap sesuai kemampuan pasien
dalam mengendalikan emosi dan perilakunya, ikatan dibuka satu demi satu,
dilanjutkan dengan pembatasan gerak (isolasi), dan akhirnya kembali ke
lingkungan semula.
Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif ditenangkan
dengan obat sedatif dan atau antipsikotik yang sesuai. Obat sedatif yang biasa
digunakan misalnya Valium injeksi 5 - 10 mg atau lorazepam (Ativan) 2 -4 mg
yang bisa diberikan secara intramuskuler atau intravaskuler. Pada umumnya obat
antipsikotik yang paling bermanfaat untuk pasien jiwa yang melakukan kekerasan
adalah injeksi Haloperidol 5 -10 mg yang diberikan secara intra muskuler.
Roleplay : Terlampir

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

22

KESIMPULAN
Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat
terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit
dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam.
Terdapat 2 model keperawatan jiwa yang relevan untuk mengatasi masalah PTSD, yaitu
model keperawatan jiwa psychoanalytical dari Freud dan Erickson dan Social dari
Caplan dan Szasz. Beberapa tindakan keperawatan yang bisa dilakukan diantaranya
tercantum dalam label NIC Abuse Protection Support, Active Listenin, Anger Control
Assistance, dan Environmental Management.
Pasien dengan PTSD memiliki mekanisme koping yang tidak efektif sehingga
terkadang pasien memiliki keinginan unutk bunuh diri. Risiko bunuh diri ini bisa
diketahui melalui karakteristiknya melalui aspek psikologis, biologis dan sosiologis.
Selain itu perilaku bunuh diri bisa diketahui melalui Executive Functioning: Cognitive
Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving, Hopelessness, alasan
untuk hidup, Perfectionism, konsep diri, Ruminative Response Style, dan
Autobiographical Memory. Kegawatdaruratan keperawatan jiwa bisa dikaji melalui
respon pasien dengan menggunakan skor RUFA. Setiap diagnosa memiliki skor RUFA
tersendiri. Pada keadaan kegawatdaruratan Jiwa untuk mengatasi krisis misalkan

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

23

Kegawatdaruratan Psikiatri

perilaku kekerasan seorang perawat bisa melakukan tindakan managemen krisis dan
management perilaku kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA
Corr, Charless A, Clyde Nabe, Clyde M. Nabe, Donna M. Corr. (2003). Death and
Dying, Life and Living. Brooks: Cole
Dochtermen, joanne M & Bulecheck, Gloria N. 2004. Nursing Intervention
Classification. Fourth Edition. United States Of America: Mosby
Ellis,T.E. & Rutherford,B. (2008). Cognition and Suicide: Two Decades od Progress
Vol. 1, pages 47-68. International Journal Of Cognitive Therapy
Kaplan & Saddock.1997.Sinopsis Psikiatri .Jakarta: Bina Rupa Aksara
Mahardika,

M.(2013).

Pengkajian

Kegawatdaruratan

Jiwa.

Diakses

http://www.scribd.com/doc/154394539/pengkajian-baru-RUFA

melalui

tanggal

29

September 2014
McCloskey, J.C. (2004). Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.
Stuart, G.W &Laraia, M. T. (2005).Principels And Practice Of Psychiatric Nursing (8
thed). Philadelphia: Elseiver Mosby
Yosep, Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

24

Lampiran 1.
Roleplay Penangaan Individu Pada Situasi Krisis dan Perilaku Kekerasan
Tokoh
Moderator

: Ida Ayu Putu Surya Adnyani

Perawat UGD

: Ni Putu Nariska Rahayuni

Perawat Pelaksana

: A. A. Istri Dwi Mayuni

Dokter

: Ni Wayan Kuniawati

Karu (Katim)

: I Made Hadiartadana

Security

: I Putu Pande Eka Krisna Yoga


I Made Hadiartadana

Pasien

: I Gede Meyantara Eka S.

Keluarga pasien

: Ni Luh Anik Utami (Ibu pasien)


Kadek Dewi Yuliantini (Anak pasien)

(Pasien mengamuk dirumah, ingin mencederai orang lain dan berusaha melakukan
tindakan bunuh diri. Keluarga pasien memutuskan untuk membawa pasien ke RS jiwa.
Sesampainya dirumah sakit jiwa, pasien mendapatkan penanganan dari tim security
dan segera membawa pasien ke UGD. Setelah di UGD pasien dan keluarga di terima

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

25

oleh perawat dan pasien dipegang oleh tim security. Perawat UGD memanggil tim
krisis dan melakukan pengkajian terhadap keluarga pasien)
Perawat UGD

: (Perawat UGD menghubungi ketua tim krisis) Buk eka, di UGD


terdapat pasien PK dan PBD. Tolong ibu mempersiapkan tim krisis
untuk menangani pasien.
(Perawat berusaha menenangkan pasien) Pak,kenapa ini? Tolong
tenangkan diri dulu.

(Pasien tetap mengamuk dan berusaha melepaskan diri dari security. Setelah
melakukan pengkajian kepada pasien, pasien termasuk kategori RUFA intensif 1)
(Sementara menunggu kedatangan tim krisis, perawat melakukan pengkajian kepada
keluarga pasien)
Perawat UGD

: Ibu, perkenalkan saya perawat nariska yang bertugas di UGD RS


Jiwa. Ini dengan ibu dengan siapa?

Ibu pasien

: Saya Anik, orang tua dari Bp.Mes. Dan ini Dewi cucu saya.Anak
dari Bp.Mes.

Perawat UGD

: Bagaimana kejadiannya dirumah buk?

Apa yang menyebabkan

Bp.Mes mengamuk?
Anak pasien

: Sebelumnya, setelah ibu saya meninggal. Bapak selalu mengurung


diri dan tidak mau berkomunikasi dengan saya maupun keluarga
dirumah.Bapak tidak mau menceritakan masalah yang sedang
dihadapinya.Sampai tadi pagi, saat saya membawakan makanan, tibatiba bapak mengamuk melempar saya dengan piring yang berisi
makanan yang saya bawakan.Kemudian bapak mengambil beling dari
piring tersebut dan berusaha untuk mencederai dirinya sendiri. Saya
berusaha mencegah bapak dan memanggil anggota keluarga yang
lain.

Perawat UGD

: Ooooo jadi seperti itu ya kronologinya. Baik karena petugasnya


sudah datang sekarang saya akan menangani pasien. Ibu tolong
tenang dan jangan panic

Ibu dan anak kx : Iya sus. Lakukan yang terbaik.


(Tim krisis tiba di UGD)
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

26

Kegawatdaruratan Psikiatri

Katim

: Sus, yang mana pasiennya?

Perawat UGD

: Ini buk. Pasiennya atas nama Bp.Mes.

(Katim menginstruksikan security untuk memindahkan pasien ke ruang tindakan)


Katim

: Pak pande dan hadi tolong bawa pasien ke ruang tindakan

Hadi&Pande

: Baik buk

(Security dan tim krisis membawa pasien ke ruang tindakan. Sesampainya diruang
tindakan, katim menginstruksikan kepada perawat pelaksana untuk menyiapkan alat
pengikat dan membantu dokter menyiapkan obat untuk pasien ).
Katim

: Bu Mayun tolong siapkan alat pengikat dan bantu dokter


menyiapkan obat sementara saya berusaha menenangkan pasien

Mayun

: baik bu akan segera saya siapkan

(Sementara perawat pelaksana menyiapkan alat pengikat dan obat bersama dokter,
katim berusaha menenangkan pasien dibantu oleh security.Setelah beberapa menit,
perawat pelaksana dan dokter bergabung bersama katim.

Katim menguraikan

perencanaan penanganan pada anggota tim dan menunjuk anggota tim untuk
mengamankan anggota gerak pasien )
Katim

: Baik, disini kita akan melakukan penanganan pada pasien, yaitu kita
akan melakukan pembatasan gerak pasien. Disini pasien sudah
dipegangi oleh security, jadi saya minta Dokter Kunia dan Bu Mayun
untuk melakukan pengikatan pada Bp. Mes. Setelah pasien terikat,
saya akan memberikan obat penenang yang sudah diresepkan oleh
dokter tadi. Sebelumnya apakah ada pertanyaan ?

Anggota Tim

: tidak ada

Ketua tim

: Baik kalau tidak ada pertanyaan, kita mulai sekarang.

(Sementara anggota tim bersiap-siap, ketua tim menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien dan berusaha membuat pasien kooperatif).
Ketua tim

: Bapak mes, bapak mohon tenang. Kami akan melakukan


penanganan kepada bapak. Jika bapak tidak bisa tenang, kami akan
melakukan pengikatan pada tangan dan kaki bapak.

Pasien

: (tetap meronta-ronta, berteriak dan berusaha melepaskan tangan dan


kakinya dari security)

Ketua tim

: Baik, kalau bapak tetap tidak mau tenang, dengan terpaksa kami
akan melakukan pengikatan kepada bapak.
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

27

(Katim menginstruksikan Dokter dan Perawat Pelaksana melakukan pengikatan pada


pasien.Setelah pasien terikat Katim memberikan injeksi obat IV kepada pasien.Setelah
beberapa saat pasien tenang dan diam. Katim dan dokter keluar menemui keluarga
pasien dan perawat pelaksana mengevaluasi kondisi pasien.)
Katim

: Selamat siang Ibu Anik dan Adik Dewik, bapak mes sudah kami
tangani. Ini Dokter Kunia yang akan menjelaskan mengenai kondisi
Bp.Mes.

Ibu Pasien

: Bagaimana keadaan anak saya dok? Apakah sudah tenang ?

Dokter

: Ibu, sebelumnya saya akan menjelaskan kondisi Bp.Mes. Setelah


saya lihat hasil pengkajian yang dilakukan oleh ibu nariska, disini
dapat disimpulkan bahwa bapak mengalami gangguan psikologis
yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Gangguan
psikologis ini dapat terjadi akibat pasien tidak kuat untuk merespon
kejadian yang membuat pasien stres.Sehingga pasien berusaha
menarik diri dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain. Lama
kelamaan tingkat stress pasien akan bertambah dan akan diluapkan
dalam bentuk amarah seperti yang dialami pasien saat ini. Kami dari
tim, sudah melakukan penanganan kepada pasien tetapi kami minta
maaf kepada keluarga karena kami melakukan penanganan dengan
mengikat pasien. Kami mengikat pasien karena pasien tidak mau
tenang dan terus

memberontak.Setelah pasien terikat, kami

memberikan obat penenang kepada pasien sehingga saat ini pasien


menjadi tenang dan tidak memberontak.
Anak pasien

: Apakah bapak saya sudah boleh pulang, karena saya lihat bapak
saya sudah tenang setelah dilakukan penanganan.

Dokter

: mohon maaf dik. Kondisi bapaknya belum stabil.Sekarang masih


tahap pemantauan.Kami menyarankan agar pasien tetap dirawat disini
sampai kondisi pasien stabil. Saya khawatir, jika sekarang kami
ijinkan untuk pulang pasienakan mengamuk lagi dirumah.

Ibu pasien

: Lakukan saja yang terbaik untuk anak saya dok. Tapi saya ingin
bertanya,apakah anak saya masih lama diikat seperti itu?

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

Dokter

28

: begini ibuk, nanti jika kondisi Bapak Mes sudah stabil kami akan
melakukan negosiasi kepada pasien. Kalau pasien mau tenang kami
akanmelepaskan ikatannya satu persatu.

Ibu Pasien

: Baik dok

Katim

: Bagaiman ibuk? Apakah ada yang ingi ditanyakan?

Ibu Pasien

: Tidak buk. Tapi apakah saya bisa meniggalkan pasien untuk


sementara.Karena saya harus mengurus administrasi.

Katim

: Iya bisa buk, disini sudah ada perawat yang akan mengevaluasi
keadaan anak ibu. Tetapi harus ada 1 anggota keluarga yang
menunggu pasien.

Ibu pasien

: Baik sus.

Katim

: Baik kalau sudah tidak ada yang didiskusikan lagi, kami permisi ya
buk.

Keluarga pasien : Ia sus


(Katim dan dokter kembali ke Nurse station).
(Sesampainya di Nurse Station perawat pelaksana melaporkan keadaan Bp.Mes
kepada dokter dan Katim).
PP

: Dokter, saya ingin menyampaikan kondisi Bp.Mes .Sekarang kondisi


Bp.Mes sudah stabil.Bp.Mes sudah tenang dan sudah bisa diajak
berkomunikasi.

Dokter

: Baik, sekarang mari kita lihat kondisi pasien.

(Dokter, PP dan Katim menuju ruangan pasien)


PP

: Haloo Bp.Mes, masih ingat dengan saya?

Pasien

: (Pasien mengangguk)

PP

: Iyaa, disini saya sudah membawa dokter yang menangani bapak.


Sekarang akan menjelaskan kondisi bapak.

Dokter

: Bapak mes, perkenalkan saya Dokter Kunia yang menangani Bp. Mes.
Bagaimana keadaan bapak saat ini?Masih ada perasaan kesal atau marah?

Pasien

: Tidak dok. Tolong lepaskan ikatan saya!

Dokter

: begini pak ya. Bagaimana kalau kita membuat perjanjian terlebih dahulu.
Kalau bapak bisa mengontrol emosi bapak dan tidak memberontak, saya
akan melepaskan ikatan bapak. Tetapi, kalau bapak tetap memberontak
saya tidak akan melepaskan ikatan bapak. Apakah Bapak setuju?
| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

29

Kegawatdaruratan Psikiatri

Pasien

: Iya saya setuju dok.

Dokter

: baik, sekarang kami akan melepaskan ikatan bapak. Tapi bapak harus
tenang dan dirawat diruangan ini untuk sementara waktu sampai kondisi
bapak benar-benar membaik.

(PP dan Karu melepaskan ikatan pasien satu persatu.)


Dokter

: Nah, bapak Mes, ikatannya sudah kami lepaskan. Bagaimana perasaan


bapak, apakah terasa sakit di bagian yang kami ikat tadi?

Pasien

: (memandang dokter beberapa saat). Tidak dok

Dokter

: Baik bapak, kalau begitu bapak bisa beristirahat terlebih dahulu disini.
Sementara saya akan merencakan tindakan perawatan untuk bapak
kedepannya bersama tim kami

(dokter pergi meninggalkan ruangan, sementara karu menginstruksikan PP untuk


melakukan BHSP kepada pasien setelah kondisinya benar-benar stabil)
Karu

: Bu Mayun, nanti setelah pasien benar-benar stabil, tolong lakukan BHSP


terlebih dahulu sebelum melakukan pengkajian lebih lanjut. Sembari
memantau tanda-tanda munculnya kekambuhan. Evaluasi kondisi pasien,
dan jika terjadi sesuatu yang berpotensi menimbulkan kekambuhan,
segera hubungi kami dan petugas security

PP
(Karu

: Baik Bu Eka, saya akanmelaksanakannya.


meninggalkan

ruang

tindakan,

sementara

perawat

pelaksana

mulai

mengobservasi kondisi pasien.Karu menemui keluarga pasien untuk menjelaskan


kondisi dan tindakan perawatan pasien ke depannya, setelah sebelumnya
mendiskusikannya dengan dokter. Sementara itu, ibu pasien sudah kembali dari
mengurus administrasi pasien)
Karu

: Ibu anik dan adik Dewik, bisa kita bicara sebentar mengenai kondisi
pasien?

Keluarga

: Baik bu. Bagaimana perkembangan kondisi anak saya apakah kami bisa
menjenguknya sekarang?

Karu

: kondisi bapak Mes sudah stabil, dan sudah bisa dikunjungi sekarang.
Tetapi saya minta ibu dan adik untuk tidak menyinggung atau bertanya
mengenai permasalahan yang sedang dihadapi pasien yang mengakibatnya
menjadi mengamuk dan berusaha melukai orang lain. Selain itu, tolong

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Kegawatdaruratan Psikiatri

30

berikan bapak Mes makanan atau minuman karena setelah mengamuk tadi
tenaganya sudah banyak berkurang
Anak pasien : baik bu, nanti saya akan mencoba menyuapi bapak. Tapi apakah bapak
saya akan benar benar dirawat? Saya khawatir kalau dia akan sulit
berinteraksi dengan lingkungan disini jika kami tinggalkan
Karu

: adik tidak perlu khawatir, sekarang perawat kami akan melakukan BHSP
atau bina hubungan saling percaya dengan pasien. Dari prosedur ini kami
akan berusaha berinteraksi dengan pasien dan membuat pasien nyaman
sehingga mampu menerima kami. Setelah itu, kami akan menjelaskan
bahwa pasien akan kami pindahkan ke ruang perawatan dan akan bertemu
dengan teman teman yang lain. Kami akan mendampingi pasien terlebih
dahulu sampai beliau benar-benar nyaman dan tidak merasa terancam.
Nanti keluarga bisa mengunjungi pasien sesuai dengan waktu berkunjung.
Jadi untuk sementara bapak Mes lebih baik kami rawat dulu disini untuk
pemantauan lebih lanjut dan untuk mempermudah kami melakukan
perawatan demi kesembuhan pasien serta mengurangi resiko kekambuhan
pasien

Ibu pasien

: baik bu jika memang itu yang terbaik kami akan mengikuti prosedur
yang berlaku demi kesembuhan anak saya. Sekarang apakah kami bisa
menemui anak saya ?

Karu

: bisa ibu, mari akan saya antar ke ruangan bapak Mes. Nanti saya minta
ibu untuk melengkapi beberapa berkas untuk perpindahan pasien menuju
ruang perawatan.

Ibu pasien

: baik bu. Terimakasih

(Karu menemani ibu dan anak pasien menemui bapak Mes.Setelah mengurus beberapa
administrasi, pasien akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisi pasien
berangsur angsur membaik dan mulai mau berbicara dan berinteraksi dengan para
perawat dan lingkungannya)
Sekian & Terimakasih

| SGD V_PSIK A 2011 FK UNUD

Anda mungkin juga menyukai