Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

SKIZOAFEKTIF
TIPE MANIK (F25.0)

BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. F.L.

Umur

: 27 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status Perkawinan

: Sudah Menikah

Agama

: Islam

Warga Negara

: Indonesia

Alamat

: Jalan

Perintis

Tamalanrea

Kemerdekaan

kelurahan

Padang

Sappa

Makassar
Pekerjaan

: Tidak bekerja

Masuk RS

: 13-07-2016

Alloanamnesis diperoleh dari Adik pasien


Nama

: Fadli Lantera

Alamat

: Jl. Perintis Kemerdekaan 4 tamalanrea

No. Telepon

: 081222566212

LAPORAN PSIKIATRI
I.

RIWAYAT PENYAKIT :
A. Keluhan utama:
Gelisah mengamuk
B. Riwayat gangguan sekarang :
Keluhan dan gejala:
Seorang laki laki 27 tahun masuk UGD jiwa
RSKD

Provinsi

Sulawesi

Selatan

diantar

oleh

keluarganya dengan keluhan mengamuk. Mengamuk


dirasakan sejak tiga bulan yang lalu dan keluhan
memberat sejak pagi hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien masuk ke RSKD Provinsi Sulawesi Selatan untuk

yang ke-3 kalinya. Pasien mengamuk dengan marah


dan mengancam keluarganya. Selain itu tampak pasien
juga ingin memukul keluarganya. Pasien curiga bahwa
keluarganya

ingin

mencelakainya

dan

selalu

mengawasinya. Pasien mengatakan bahwa tubuhnya


dirasuki dan merasa seseorang ingin membunuhnya.
Pasien mengaku selalu mendengar suara perempuan
yang mengomentari perilakunya. Di rumah pasien
sangat gelisah, pasien juga selalu mondar mandir.
Pasien

sering

berbicara

sendiri,

teriak-teriak,

dan

ketawa ketawa. Pasien meyakini bahwa dirinya adalah


keturunan raja luwu ke-10, memiliki hubungan dekat
dengan bupati Bantaeng dan presiden Jokowi. Pasien
juga

meyakini

bahwa

utusan

nabi

dan

dapat

berkomunikasi dan bertemu dengan nabi Luth dan nabi


Haidir. Pasien sebulan ini selalu banyak bicara, banyak
rencana untuk masa depan tapi tidak kesampaian dan
tidak bisa tenang.
Perubahan perilaku pasien dimulai pada tahun
2009, pasien sering ngawur dan bertingkah aneh. Saat
itu pasien kuliah di ITB dan mendapat banyak tekanan
kuliah. Hal ini juga dipicu oleh perasaan sakit hati
karena wanita yang dicintainya sejak SMA menikah
dengan pria lain. Pasien pernah dirawat di RSKD pada
tahun 2010. Pasien terakhir dirawat tahun 2012. Dan
sudah lama tidak kontrol dan minum obat. Pasien
pernah

mendapatkan

obat

Haloperidol

dan

Chlorpromazine. Sebelum sakit, pasien adalah orang


yang ramah, dan berprestasi. Riwayat keluarga dengan
gejala yang sama tidak ada, riwayat trauma tidak ada,
infeksi tidak ada, rwayat kejang tidak ada. Riwayat
penggunaan obat obatan tidak ada.

Hendaya / disfungsi
o
Hendaya dalam bidang sosial (+)
o
Hendaya dalam bidang pekerjaan (+)
o
Hendaya dalam penggunaan waktu senggang (+)
Faktor stressor psikososial :
Tidak jelas
Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit
fisik dan psikis sebelumnya :
o Riwayat infeksi tidak ada
o Riwayat trauma tidak ada
o Riwayat kejang tidak ada
o Riwayat merokok tidak ada
o Riwayat minum tidak ada
o Riwayat penggunaan obat obatan tidak ada
C. Riwayat gangguan sebelumnya :
Awalnya perubahan perilaku dialami sejak tahun 2009.
Pasien pernah dirawat di RSKD Provinsi Sulawesi
Selatan pada tahun 2010. Pasien terakhir dirawat pada
Bulan tahun 2012
D. Riwayat kehidupan pribadi :
1. Riwayat prenatal dan perinatal (0-1 tahun)
Lahir pada tanggal 1 Januari 1989, cukup bulan, lahir
normal,

dibantu

oleh

dukun

di

rumah.

Pasien

mendapatkan ASI. Pasien cepat tangkap, berprestasi,


pertumbuhan dan perkembangan baik.
2. Riwayat Kanak Awal (1-3 tahun)
Perkembangan masa kanak-kanak awal pasien seperti
berjalan,

berbicara

baik,

perkembangan

motorik

berlangsung baik. Pasien bermain

dengan

seusiannya.

perilaku

Tidak

ada

masalah

teman
yang

menonjol. Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya.


3. Riwayat Kanak Pertengahan (3-11 tahun)
Pasien tinggal bersama orang tua, cukup mendapatkan
perhatian dan kasih sayang. Pada usia 6 tahun pasien
masuk SD. Pasien adalah murid yang biasa-biasa saja.
Perkembangan

di

sekolah

baik,

hubungan

pasien

dengan teman-temannya baik.


4. Riwayat Kanak Akhir dan Remaja (12-18 tahun)

Pasien melanjutkan pendidikan tingkat SMP. Pasien


merupakan murid yang baik. Hubungan dengan temanteman nya baik. Setelah lulus SMP pasien melanjutkan
sekolah ke SMA.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan: Setelah

lulus

SMA

pasien

melanjutkan kuliah di ITB tetapi berhenti di tengah


perkuliahan
b. Riwayat Pekerjaan: Pasien kerja sendiri di rumah
seperti

mengerjakan

proyek-proyek

dan

web

jejaring sosial.
c. Riwayat Pernikahan : Pasien menikah.
d. Riwayat Agama : Pasien memeluk agama Islam
e. Situasi kehidupan sekarang: Pasien tinggal dengan
istri dan kedua anaknya
E. Riwayat Kehidupan Keluarga
- Pasien anak ke-2 dari 7 bersaudara (,,,,,)
- Hubungan pasien dengan keluarga kurang baik. Ayah
pasien adalah seorang pedagang, ibunya adalah seorang
ibu rumah tangga.
- Riwayat keluarga dengan gejala yang sama tidak ada.
F. Situasi Sekarang
Pasien tinggal bersama orang tua dan adiknya
G. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
Pasien merasa dirinya tidak sakit
II.

STATUS MENTAL :
A. Deskripsi Umum :
Penampilan
Tampak seorang laki-laki memakai baju hitam,
celana panjang jeans, perawakan sedang, wajah sesuai

usia, perawatan diri cukup.


Kesadaran
: Berubah
Aktivitas psikomotor : Meningkat
Pembicaraan
: Spontan, lancar, Intonasi biasa,

Logorrhea
Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
B. Keadaan Afektif (mood), perasaan, dan empati,
perhatian :
Mood

: sulit dinilai
5

Afek
Empati

: Hipertimia
: tidak dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (kognitif) :


1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan
sesuai dengan pendidikan.
2. Daya konsentrasi
: Terganggu
3. Orientasi
:
Orientasi waktu : Tidak terganggu
Orang
: Tidak terganggu
Tempat
: Tidak terganggu
4. Daya ingat
:
Jangka panjang : Tidak terganggu
Jangka pendek
: Tidak terganggu
Jangka segera
: Tidak terganggu
5. Pikiran abstrak
: Tidak terganggu
6. Bakat kreatif
: Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : kurang
D. Gangguan Persepsi :
1. Halusinasi
:
- Auditorik : mendengar suara perempuan yang
mengomentari perilakunya
2. Ilusi
: Tidak ada
3. Depersonalisasi
: Tidak ada
4. Derealisasi
: Tidak ada
E. Proses Berpikir :
1. Arus pikiran :
Produktivitas
: Kesan membanjir
Kontinuitas
: Flight of idea
Hendaya berbahasa
: Tidak ada hendaya dalam
berbahasa
2. Isi pikiran :
Preokupasi
: Tidak ada
Gangguan isi pikiran
:
Waham Kejaran (-)
Waham Bizzare (+)
: Pasien juga meyakini bahwa
utusan nabi, dapat berkomunikasi dan bertemu
dengan nabi Luth dan nabi Haidir.
Waham kebesaran (+) : Pasien

meyakini

bahwa

pasien adalah keturunan raja luwu ke 10, memiliki

hubungan

dekat

dengan

bupati

bantaeng

presiden Jokowi
F. Pengendalian impuls
: terganggu
G. Daya nilai :
Norma sosial
: Terganggu
Uji daya nilai
: Terganggu
Penilaian realitas
: Terganggu
H. Tilikan (insight)

dan

Derajat 1 (Pasien menyangkal


I. Taraf dipercaya
III.

bahwa dirinya sakit)


: Dapat dipercaya

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT:


1. Status Internus
a. Keadaan umum
: Baik
b. Kesadaran
: Composmentis
c. Tanda vital
- Tekanan darah
: 120/80 mmHg
- Nadi
: 89x/menit
- Suhu
: 36,8 C
- Pernapasan : 20x/menit
d. Konjungtiva : Anemis (-), Ikterus (-)
e. Cor, Pulmo dan Abdomen dalam batas normal.
f. Ekstremitas atas dan bawah tidak ditemukan kelainan
2. Status Neurologi
a. GCS
: E4M6V5 (Composmentis)
b. Rangsang meningeal
: Tidak dilakukan
c. Tanda ekstrapiramidal
Tremor tangan
: Tidak ada
Cara berjalan
: Normal
Keseimbangan
: Baik
d. Sistem saraf motorik
: Dalam batas normal
e. Sistem saraf sensorik
: Dalam batas normal
f. Pupil : Bulat isokor diameter ODS
2,5mm / 2,5 mm
g. Refleks cahaya : +/+
h. Kesan
: normal

IV.

IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA :


Seorang laki laki 27 tahun masuk UGD jiwa RSKD
Provinsi Sulawesi Selatan diantar oleh keluarganya dengan
keluhan mengamuk. Mengamuk dirasakan sejak tiga bulan
yang lalu dan keluhan memberat sejak pagi hari sebelum

masuk rumah sakit. Pasien masuk ke RSKD Provinsi Sulawesi


Selatan untuk yang ke-3 kalinya. Pasien mengamuk dengan
marah dan mengancam keluarganya. Selain itu tampak pasien
juga

ingin

memukul

keluarganya.

Pasien

curiga

bahwa

keluarganya ingin mencelakainya dan selalu mengawasinya.


Pasien mengatakan bahwa tubuhnya dirasuki dan merasa
seseorang
mendengar

ingin

membunuhnya.

suara

perempuan

Pasien
yang

mengaku

selalu

mengomentari

perilakunya. Di rumah pasien sangat gelisah, pasien juga


selalu mondar mandir. Pasien sering berbicara sendiri, teriakteriak, dan ketawa ketawa. Pasien meyakini bahwa dirinya
adalah keturunan raja luwu ke-10, memiliki hubungan dekat
dengan bupati Bantaeng dan presiden Jokowi. Pasien juga
meyakini bahwa utusan nabi dan dapat berkomunikasi dan
bertemu dengan nabi Luth dan nabi Haidir. Pasien sebulan ini
selalu banyak bicara, banyak rencana untuk masa depan tapi
tidak kesampaian dan tidak bisa tenang.
Perubahan perilaku pasien dimulai pada tahun 2009,
pasien sering ngawur dan bertingkah aneh. Saat itu pasien
kuliah di ITB dan mendapat banyak tekanan kuliah. Hal ini juga
dipicu oleh perasaan sakit hati karena wanita yang dicintainya
sejak SMA menikah dengan pria lain. Pasien pernah dirawat di
RSKD pada tahun 2010. Pasien terakhir dirawat tahun 2012.
Dan sudah lama tidak kontrol dan minum obat. Pasien pernah
mendapatkan obat Haloperidol dan Chlorpromazine. Sebelum
sakit, pasien adalah orang yang ramah, dan berprestasi.
Riwayat keluarga dengan gejala yang sama tidak ada, riwayat
trauma tidak ada, infeksi tidak ada, rwayat kejang tidak ada.
Riwayat penggunaan obat obatan tidak ada.
Dari hasil pemeriksaan fisik, status internus dan status
neurologis didapatkan dalam batas normal.

Pada pemeriksaan status mental didapatkan seorang


laki-laki

memakai

baju

hitam,

celana

panjang

jeans,

perawakan sedang, wajah sesuai usia, perawatan diri cukup.


Kesadaran berubah, perilaku dan aktivitas psikomotorik gelisah
dan meningkat, pembicaraan spontan, logorrhea, intonasi
meningkat, dan cukup koperatif, afek pasien hipertimia,
empati tidak dapat dirabarasakan.
Kontuinitas flight of idea, gangguan isi pikiran terdapat
waham kebesaran (+) pasien meyakini bahwa pasien adalah
keturunan raja luwu ke 10, memiliki hubungan dekat dengan
bupati bantaeng dan presiden Jokowi dan waham bizzare (+)
pasien juga meyakini bahwa utusan nabi, dapat berkomunikasi
dan bertemu dengan nabi Luth dan nabi Haidir, daya nilai
terganggu, tilikan 1 pasien tidak mengakui dirinya sakit.
V.

EVALUASI MULTIAKSIAL :
Aksis I :
Berdasarkan alloanamnesis, autoanamnesis dan
pemeriksaan status mental didapatkan gejala klinis yang
bermakna yaitu mengamuk, marah, mengancam, dan
ingin memukul, sangat gelisah, mondar-mandir, berbicara
sendiri, teriak-teriak dan ketawa-ketawa, selalu banyak
bicara, banyak rencana untuk masa depan tapi tidak
kesampaian dan tidak bisa tenang, ketakutan bahwa ada
yang ingin membunuhnya, meyakini bahwa dirinya adalah
keturunan raja luwu ke-10, memiliki hubungan dekat
dengan bupati Bantaeng dan presiden Jokowi, meyakini
menjadi

utusan

nabi

dan

dapat

berkomunikasi

dan

bertemu dengan nabi Luth dan nabi Haidir.


Keadaan ini menimbulkan penderitaan (Distress)
pada

pasien

(Disability)

dan

pada

keluarga
fungsi

serta

terdapat

psikososial,

hendaya

pekerjaan

dan

penggunaan waktu senggang sehingga dapat disimpulkan


bahwa pasien menderita gangguan jiwa.
Pada pemeriksaan status internus dan neurologi
tidak

ditemukan

gangguan

adanya

mental

kelainan,

organik

dapat

sehingga

adanya

disingkirkan

dan

didiagnosis gangguan jiwa non organik.


Pada

pemeriksaan

status

mental

didapatkan

hendaya berat dalam menilai realita berupa adanya


waham kebesaran dan waham bizzare serta memiliki
halusinasi

auditorik

sehingga

disimpulkan

pasien

menderita skizofrenia. Selain itu didapatkan psikomotor


gelisah, pembicaraan logorrhea, intonasi meningkat, afek
hipertimia, produktivitas banjir kata-kata, kontuinitas flight
of idea maka berdasarkan PPDGJ III disimpulkan pasien ini
masuk dalam kategori

gangguan skizoafektif tipe

manik (F25.0)
Aksis II :
Ciri kepribadian tidak khas karena sebelum pasien
mengalami perubahan perilaku, pasien dikenal sebagai
orang yang ramah dan berprestasi.
Aksis III :
Tidak terdapat gangguan fisik
Aksis IV :
Stressor tidak jelas
Aksis V :
GAF scale saat ini : 50-41 gejala berat (Serius) , disabilitas
berat.
VI.

DAFTAR MASALAH :
Organobiologik
Tidak ditemukan kelainan fisik yang bermakna, namun
diduga terdapat ketidak seimbangan neurotransmitter,
maka dari itu pasien memerlukan farmakoterapi

Psikologik

10

Ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai realita


berupa adanya waham bizard dan waham kebesaran serta
halusinasi auditorik sehingga memerlukan psikoterapi.
Sosiologik
Ditemukan adanya hendaya dalam bidang sosial,

pekerjaan, dan penggunaan waktu senggang sehingga


memerlukan sosioterapi.
VII.

RENCANA TERAPI :
Psikofarmakoterapi :
o Haloperidol 5 mg 3x1
o Chlorpromazin 100 mg 0-0-1
o Trihexyphenidil 2 mg 3x1
o Depakote tab 250 mg 2x1
Psikoterapi :
- Ventilasi : Memberi kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan isi hati dan keinginannya sehingga
-

pasien merasa lega.


Konseling: Memberikan
kepada

pasien

tentang

penjelasan

dan

penyakitnya,

pengertian

agar

pasien

memahami cara menghadapinya, serta memotivasi


-

pasien agar tetap rutin minum obat.


Sosioterapi : Memberikan penjelasan kepada pasien,
keluarga

pasien

dan

orang

disekitarnya

tentang

gangguan yang dialami pasien sehingga mereka dapat


menerima dan menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk membantu proses pemulihan pasien.
VIII.

PROGNOSIS :
Ad Vitam

: Dubia ad malam.

Ad Sanatiorem

: Dubia ad malam.

Faktor Pendukung :

Tidak ada kelainan organobiologi.


Tidak ada riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.
Keluarga mendukung penuh kesembuhan pasien.

Faktor penghambat

Pasien tidak teratur minum obat


11

IX.

Faktor ekonomi
Onset penyakit sudah lama (kurang lebih 8 tahun)
Pasien masuk untuk ketiga kalinya

FOLLOW UP :
Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan

penyakitnya, efektifitas terapi serta kemungkinan terjadinya efek


samping dari obat yang diberikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

12

Gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu


yang ditandai dengan adanya gejala kombinasi antara gejala
skizofrenia dan gejala gangguan afektif.Penyebab gangguan
skizoafektif tidak diketahui, tetapi empat model konseptual telah
dikembangkan.Gangguan dapat berupa tipe skizofrenia atau tipe
gangguan mood.Gangguan skizoafektif mungkin merupakan tipe
psikosis ketiga yang berbeda, yang bukan merupakan gangguan
skizofrenia maupun gangguan mood. Keempat dan yang paling
mungkin,

bahwa

heterogen

gangguan

gangguan

yang

skizoafektif
menetap

adalah

ketiga

kelompok

kemungkinan

pertama.1
Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan
episodik gejala gangguan mood maupun gejala skizofreniknya
menonjol dalam episode penyakit yang sama, baik secara
simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. Bila gejala
skizofrenik dan manik menonjol pada episode penyakit yang
sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif tipe manik..2
Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham,
halusinasi, perubahan dalam berpikir, perubahan dalam persepsi
disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik itu
manik maupun depresif.2,3
Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif berdasarkan
DSM-V-TR,

merupakan

suatu

mencoba

mengklarifikasi

produk

beberapa

beberapa

revisi

yang

diagnosis,

dan

untuk

memastikan bahwa diagnosis memenuhi kriteria baik episode


manik maupun depresif dan menentukan lama setiap episode
secara tepat.1
Pada
pemeriksaan

setiap

diagnosis

medis

lengkap

banding

gangguan

harus

dilakukan

psikotik,
untuk

menyingkirkan penyebab organik.Semua kondisi yang dituliskan


di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood perlu
dipertimbangkan.Sebagai

suatu

kelompok,

pasien

dengan

13

gangguan skizoafektif mempunyai prognosis di pertengahan


antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien
dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien
dengan

gangguan

skizoafektif

memiliki

prognosis

yang

lebihburuk daripada pasien dengan gangguan depresif maupun


gangguan bipolar, tetapi memiliki prognosis yang lebih baik
daripada pasien dengan skizofrenia.1
1. DEFINISI
Gangguan

Skizoafektif

mempunyai

gambaran

baik

skizofrenia maupun gangguan afektif.Gangguan skizoafektif


memiliki gejala khas skizofrenia yang jelas dan pada saat
bersamaan juga memiliki gejala gangguan afektif yang
menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua yaitu, tipe
manik dan tipe depresif.1,3
2. SEJARAH
Di tahun 1913 George H. Kirby dan pada tahun 1921
August Hoch keduanya menggambarkan pasien dengan ciri
campuran skizofrenia dan gangguan afektif (mood).Karena
pasiennya tidak mengalami perjalanan demensia prekoks
yang memburuk, Kirby dan Hoch mengklasifikasikan mereka
di dalam kelompok psikosis manic-depresif Emil Kraepelin.Di
tahun 1933 Jacob Kasanin memperkenalkan istilah gangguan
skizoafektif untuk suatu gangguan dengan gejala skizofrenik
dan gejala gangguan mood yang bermakna.Pasien dengan
gangguan ini juga ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba,
seringkali pada masa remajanya.Pasien cenderung memiliki
tingkat fungsi premorbid yang baik, dan seringkali suatu
stressor yang spesifik
keluarga

pasien

sering

mendahului onset gejala.Riwayat


kali

terdapat

suatu

gangguan

mood.Kasanin percaya bahwa pasien memiliki suatu jenis

14

skizofrenia. Dari 1933 sampai kira-kira tahun 1970, pasien


yang gejalanya mirip dengan gejala pasien-pasien Kasanin
secara

bervariasi

diklarifikasi

menderita

gangguan

skizoafektif, skizofrenia atipikal, skizofrenia dalam remisi, dan


psikosis sikloid.4
3. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi

seumur

hidup

dari

gangguan

skizoafektif

adalah kurang dari 1 persen, kemungkinan dalam rentang 0,5


sampai 0,8 persen. Namun, angka tersebut adalah angka
perkiraan, karena di dalam praktik klinis diagnosis gangguan
skizoafektif sering kali digunakan jika klinisi tidak yakin akan
diagnosis. Prevalensi gangguan telah dilaporkan lebih rendah
pada laki-laki dibandingkan para wanita; khususnya wanita
yang menikah; usia onset untuk wanita adalah lebih lanjut
daripada usia untuk laki-laki seperti juga pada skizofrenia.
Laki-laki

dengan

gangguan

skizoafektif

kemungkinan

menunjukkan perilaku antisosial dan memiliki pendataran


atau ketidaksesuaian afek yang nyata.
4. ETIOLOGI
Sulit untuk menentukan penyebab penyakit yang telah
berubah begitu banyak dari waktu ke waktu.Dugaan saat ini
bahwa

penyebab

gangguan

skizoafektif

mungkin

mirip

dengan etiologi skizofrenia.Oleh karena itu teori etiologi


mengenai

gangguan

skizoafektif

juga

mencakup

kausa

genetik dan lingkungan.


Penyebab gangguan skizoafektif adalah tidak diketahui,
tetapi empat model konseptual telah diajukan.
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe
skizofrenia atau suatu tipe gangguan mood.

15

2. Gangguan

skizoafektif

mungkin

merupakan

ekspresi

bersama-sama dari skizofrenia dan gangguan mood.


3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe
psikosis

ketiga

yang

berbeda,

tipe

yang

tidak

berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu gangguan


mood.
4. Kemungkinan

terbesar

adalah

bahwa

gangguan

skizoafektif adalah kelompok gangguan yang heterogen


yang

meliputi

semua

tiga

kemungkinan

pertama.

Sebagian besar penelitian telah menganggap pasien


dengan gangguan skizoafektif sebagai suatu kelompok
heterogen.
5. TANDA DAN GEJALA
Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan
episodik

gejala

gangguan

mood

maupun

gejala

skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit yang sama,


baik secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa
hari. Bila gejala skizofrenik dan manik menonjol pada episode
penyakit yang sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif
tipe manik. Dan pada gangguan skizoafektif tipe depresif,
gejala depresif yang menonjol.2
Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham,
halusinasi, perubahan dalam berpikir, perubahan dalam
persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan
baik itu manik maupun depresif.2,3
Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ-III):3 Harus ada sedikitnya
satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):

16

a) thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang


atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi
pikiran

ulangan,

walaupun

sama, namun kualitasnya

isinya

berbeda ; atau thought

insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk


ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
thought broadcasting= isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b) delusion

of

control

waham

tentang

dirinya

dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau


delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang dirinya = secara jelas merujuk kepergerakan
tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan

khusus).

delusional

perception

pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna


sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar
secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu
bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).

17

e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja,


apabila disertai baik oleh waham yang mengambang
maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu minggu atau berbulanbulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
g) Perilaku

katatonik,

seperti

keadaan

gaduh-gelisah

(excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau


fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara
yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial;
tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Adanya

gejala-gejala

khas

tersebut

diatas

telah

berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak


berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal). Harus ada
suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut
dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri
secara sosial.
6. DIAGNOSIS

18

Konsep

gangguan

diagnostik

baik

skizoafektif

skizofrenia

maupun

melibatkan
gangguan

konsep
mood,

beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik untuk gangguan


skizoafektif mencerminkan perubahan yang telah terjadi di
dalam kriteria diagnostik untuk kedua kondisi lain.
Kriteria diagnostik utama untuk gangguan skizoafektif
(Tabel 1) adalah bahwa pasien telah memenuhi kriteria
diagnostik untuk episode depresif berat atau episode manik
yang bersama-sama dengan ditemukannya kriteria diagnostik
untuk fase aktif dari skizofrenia.Disamping itu, pasien harus
memiliki waham atau halusinasi selama sekurangnya dua
minggu

tanpa

adanya

gejala

gangguan

mood

yang

menonjol.Gejala gangguan mood juga harus ditemukan untuk


sebagian besar periode psikotik aktif dan residual.Pada
intinya,

kriteria

dituliskan

untuk

membantu

klinisi

menghindari mendiagnosis suatu gangguan mood dengan ciri


psikotik sebagai suatu gangguan skizoafektif.
Tabel

1.

Kriteria

Diagnostik

untuk

Gangguan

Skizoafektif (DSM-V)
Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif
A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana,
pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau
suatu episode campuran dengan
gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia.
Catatan: Episode depresif berat harus termasuk kriteria A1:
mood terdepresi.
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau
halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang
menonjol.
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood

19

ditemukan untuk sebagian


bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari
penyakit.
D. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu
zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi
medis umum.
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar (F25.0) : jika gangguan termasuk suatu
episode manik atau campuran (atau suatu manik
suatu episode campuran dan episode depresif berat)
Tipe depresif (F25.1) :jika gangguan hanya termasuk
episode depresif berat.
DSM-V juga membantu klinisi untuk menentukan apakah
pasien menderita gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau
gangguan

skizoafektif,

tipe

depresif.

Seorang

pasien

diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada


adalah dari tipe manik atau suatu episode campuran dan
episode depresif berat.5
Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori
yang terpisah karena cukup sering dijumpai sehingga tidak
dapat diabaikan begitu saja. Kondisi-kondisi lain dengan
gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau
membentuk sebagian penyakit skizofrenik yang sudah ada,
atau di mana gejala-gejala itu berada bersama-sama atau
secara

bergantian

dengan

gangguan-gangguan

waham

menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam kategori yang


sesuai dalam F20-F29.Waham atau halusinasi yang tak serasi
dengan suasana perasaan (mood) pada gangguan afektif
tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis gangguan
skizoafektif.

20

Tabel 2. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif


berdasarkan PPDGJ-III

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejalagejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia
dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang
satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang
sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode
penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun

episode manik atau depresif.


Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan
gejala skizofrenia dan gangguan afektif tetapi dalam episode

penyaki yang berbeda.


Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif
setelah mengalami suatu episode psikotik, diberi kode
diagnosis F20.4 (Depresi Pasca-skizofrenia). Beberapa pasien
dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis
manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau campuran dari
keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua
episode manik atau depresif (F30-F33)

Tabel 3. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif


Tipe Manik Berdasarkan PPDGJ III

Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe


manik yang tunggal maupun untuk gangguan berulang

dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe manik.


Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan
afek yang tak begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas

atau kegelisahan yang memuncak.


Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu

21

atau lebih baik lagi dua, gejala skizofrenia yang khas


(sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia, F20.- pedoman
diagnostic (a) sampai dengan (d)).
7. DIAGNOSIS BANDING
Semua kondisi yang dituliskan di dalam diagnosis banding
skizofrenia dan gangguan mood perlu dipertimbangkan di
dalam diagnosis banding gangguan skizoafektif.Pasien yang
diobati dengan steroid, penyalahgunaan amfetamin dan
phencyclidine (PCP), dan beberapa pasien dengan epilepsi
lobus temporalis secara khusus kemungkinan datang dengan
gejala skizofrenik dan gangguan mood yang bersamasama.Diagnosis banding psikiatrik juga termasuk semua
kemungkinan

yang

biasanya

dipertimbangkan

untuk

skizofrenia dan gangguan mood.Di dalam praktik klinis,


psikosis pada saat datang mungkin mengganggu deteksi
gejala gangguan mood pada masa tersebut atau masa lalu.
Dengan demikian, klinisi boleh menunda diagnosis psikiatrik
akhir

sampai

gejala

psikosis

yang

paling

akut

telah

terkendali.1,3
8. PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS
Sebagai

suatu

kelompok,

pasien

dengan

gangguan

skizoafektif mempunyai prognosis di pertengahan antara


prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien
dengan gangguan mood.Sebagai suatu kelompok, pasien
dengan gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang jauh
lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif,
memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan
gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik
daripada pasien dengan skizofrenia. Generalitas tersebut
telah didukung oleh beberapa penelitian yang mengikuti

22

pasien selama dua sampai lima tahun setelah episode yang


ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan
juga perjalanan gangguan itu sendiri.
Data

menyatakan

bahwa

pasien

dengan

gangguan

skizoafketif, tipe bipolar, mempunyai prognosis yang mirip


dengan prognosis pasien dengan gangguan bipolar I dan
bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang
perlahan-lahan; tidak ada faktor pencetus; menonjolnya
gejala pskotik, khususnya gejala defisit atau gejala negatif;
onset yang awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi;
dan riwayat keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masingmasing karakeristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang
baik.Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama dari
Schneider tampaknya tidak meramalkan perjalanan penyakit.
Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang
berhubungan

dengan

jenis

kelamin

pada

hasil

akhir

gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan bahwa


perilaku bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan
gangguan skizoafektif daripada laki-laki dengan gangguan
tersebut.Insidensi

bunuh

diri

di

antara

pasien

dengan

gangguan skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.


9. TERAPI
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif
adalah perawatan di rumah sakit, medikasi, dan intervensi
psikososial.Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk
gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan
dan antimanik diikuti jika semuanya diindikasikan dan bahwa
antipsikotik

digunakan

hanya

jika

diperlukan

untuk

pengendalian jangka pendek.Jika protokol thymoleptic tidak


efektif

di

dalam

berkelanjutan,

mengendalikan
medikasi

gejala

antipsikotik

atas

dasar
dapat

23

diindikasikan.Pasien

dengan

bipolar,

mendapatkan

harus

gangguan

skizoafektif,

percobaan

tipe

lithium,

carbamazepine (Tegretol), valproate (Depakene), atau suatu


kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif.
Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus
diberikan percobaan antidepresan dan terapi elektrokonvulsif
(ECT) sebelum mereka diputuskan tidak responsif terhadap
terapi antidepresan.5
10. STRATEGI DAN TEKNIK PSIKOTERAPI DAN
PSIKOSOSIAL
Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang

sama
Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan

yang memadai
Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke
personal dan ke masalah sosial.

11. STRATEGI DAN TEKNIK FARMAKOLOGIKAL DAN FISIK


a. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
b. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
c. Anti anxietas dan antidepressant.
12. KESIMPULAN
Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan jiwa
yang gejala skizofrenia dan gejala afektif terjadi bersamaan
dan

sama-sama

menonjol.

Prevalensi

gangguan

telah

dilaporkan lebih rendah pada laki-laki dibandingkan para


wanita; khususnya wanita yang menikah; usia onset untuk
wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki seperti
juga pada skizofrenia. Teori etiologi mengenai gangguan
skizoafektif mencakup kausa genetik dan lingkungan.Tanda
dan gejala klinis gangguan skizoafektif adalah termasuk
semua tanda dan gejala skizofrenia, episode manik, dan
24

gangguan depresif. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya


dibuat apabila gejala2 definitif adanya

skizofrenia

dan

gangguan afektif bersama-sama menonjol pada saat yang


bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain,
dalam

episode

gangguan

yang

sama.

skizoafektif

Sebagian

mengalami

diantara

episode

pasien

skizoafektif

berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran


keduanya.Terapi

dilakukan

dengan

melibatkan

keluarga,

pengembangan skill sosial dan berfokus pada rehabilitasi


kognitif.Pada
psikotik

farmakoterapi,

dengan

anti

digunakan

depresan

bila

kombinasi

memenuhi

anti

kriteria

diagnostik gangguan skizoafektif tipe depresif.Sedangkan


apabila gangguan skizoafektif tipe manik terapi kombinasi
yang diberikan adalah antara anti psokotik dengan mood
stabilizer.Prognosis

bisa

diperkirakan

dengan

melihat

seberapa jauh menonjolnya gejala skizofrenianya, atau gejala


gangguan afektifnya. Semakin menonjol dan persisten gejala
skizofrenianya maka pronosisnya buruk, dan sebaliknya
semakin

persisten

gejala-gejala

gangguan

afektifnya,

prognosis diperkirakan akan lebih baik.

25

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis maka pasien ini didiagnosis dengan
Skizoafektif tipe manik. Hal ini didasarkan karena gejala yang
disampaikan pasien. Pasien memiliki waham bizarre dimana
pasien meyakini bahwa pasien adalah keturunan Raja Luwu yaitu
anak ke 10 dan memiliki hubungan yang dekat dengan Bupati
Bantaeng.

Dari

pemeriksaan

status

mental

didapatkan

pembicaraan logorrhea, afek hipertimia, aserta rus pikiran yaitu


produktivitas membanjir.
Pada pasien ini memenuhi kriteria untuk Skizoafektif tipe
manik berdasarkan PPDGJ III yaitu :
a. Adanya waham menetap (Gejala Skizofrenia)
b. Terdapat trias manik yaitu hiperaktivitas motoric, flight of
ideas, dan afek hipertimia (Gejala gangguan afek)
c. Kedua gejala (a) dan (b) sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan.
d. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan
keluarga yang berkaitan dengan sifat keluhan keluhannya
dan dampak dari perilakunya.
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila
gejala gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif
bersama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari sesudah yang lain, dalam episode yang sama.Pada

26

farmakoterapi, digunakan kombinasi anti psikotik dengan anti


depresan

bila

skizoafektif

memenuhi

tipe

kriteria

diagnostik

gangguan

apabila

gangguan

depresif.Sedangkan

skizoafektif tipe manik terapi kombinasi yang diberikan adalah


antara anti psokotik dengan mood stabilizer.Prognosis bisa
diperkirakan dengan melihat seberapa jauh menonjolnya gejala
skizofrenianya,

atau

gejala

gangguan

afektifnya.

Semakin

menonjol dan persisten gejala skizofrenianya maka pronosisnya


buruk, dan sebaliknya semakin persisten gejala-gejala gangguan
afektifnya, prognosis diperkirakan akan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atmajaya. Jakarta : PT Nuh Jaya. 2013.
2. Kaplan, I. H. and Sadock, J. B. Sinopsis Psikiatri Ilmu Perilaku
Psikiatri Klinis, Edisi Ketujuh. Binarupa Aksara Publisher:
Jakarta.
3. Supratanda, Feri Eka. Penatalaksanaan Skizoafektif Tipe
Depresif

Dengan

Sindrom

Ekstrapiramidal.

Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung.


4. Olfson, Mark. Treatment Patterns for Schizoaffective Disorder
and

Schizophrenia

Among

Medicaid

Patients.Psychiatric

Services. 2009.
5. American Psychiatric Association. Diagnosis dan Statistical
Manual

of

Mental

disorders

(DSM

TM).

American

Psychological Association (APA): Washington DC.

27

LAMPIRAN
28

WAWANCARA
Pukul 12.59 WITA, pasien berada di UGD Jiwa RSKD Dadi
Seorang laki-laki, wajah sesuai umur 27 tahun, postur tubuh
sedang, kulit sawo matang, memakai baju kaos warna hitam,
celana panjang jeans, perawakan sedang, perawatan diri cukup,
wajah sesuai usia.
DM
F
DM
DM

:
:
:
:

Assalamu alaikum wr wb, siang pak


Walaikum salam, siang juga dok
Saya Agni dokter muda di sini. Maaf, boleh tahu siapa nama ta Pak?
Sama siapa ke sini pak?
:

F
DM
F
DM
F
DM

:
:
:
:
:
:

Sama saudara saya dok,


Oh iye pak, apa pekerjaan ta Pak ?
Tidak ada dok, di rumahji saja dok bantu-bantu istriku urus rumah sam
Apa pendidikan terakhir ta pak ?
Sebenarnya dulu saya kuliah di ITB dok tapi berhenti ma kuliah dok. Ti
Maaf Pak, sudah menikah ?

F
DM

: Sudah dok, saya sudah punya istri dan dua orang anak
: Tabe pak kita apanya Pak FL? Siapa nama ta?
29

KP
DM
KP
DM

:
:
:
:

Saya saudaranya FL dok nama saya FD dok.


Ohh kenapa kita bawa saudara ta ke sini pak ?
Begini dok, ini FL dok sering mengamuk di rumahnya dok.
Sejak kapan itu mengamuk terus pak?

KP
DM
KP
DM
KP
DM

:
:
:
:
:
:

Lama mi dok, tapi tambah parah ki mengamuk nya tadi pagi dok.
Ini sudah keberapa kalinya kita bawa saudara ta ke rumah sakit pak?
Ini sudah ke tiga kalinya dok.
Tabe pak, mengamuknya saudara ta bagaimana pak? Na kasi pecah ka
Ini adik ku kalau mengamuk dok kayak mau na pukul ki dok tapi tidak
Terus bagaimana lagi pak?

KP
DM

: Biasa juga dia ancam mau bunuhki dok. Kalau di rumah dia juga sering
: Kenapa dia mondar-mandir pak? Ada kah dia dengar- dengar biasa? At

KP

: Kalau ditanya ada bede dia dengar suara-suara dok. Suara perempua

DM
KP
DM
KP
DM
KP

:
:
:
:
:
:

kidok jadi ketakutan mi juga dok karena dia rasa juga ada yang mau b
Ada mungkin sesuatu atau orang yang bisa dia lihat yang tidak bisa ki
Tidak adaji dok.
kalau di rumah pendiam ji saudarata pak?
Tidak dok. Dia sering bicara-bicara sendiri dok baru dia bicara terus-m
Apa saja dia cerita pak?
Edede banyak sekali dok. Kadang dia cerita kuliahnya dok. Belum sele

SMA nya dia cerita lagi bilang ada motor mau dia beli dok. Banyak sk
DM
KP
DM
KP

:
:
:
:

dia itu akrab sama pak jokowi.


Kalau kita stop ceritanya bagaimana pak?
Marahki dok. Bias mau na pukulki dok..jadi saya dengar saja ceritanya
Ohh iye pak. Awalnya perubahan perilakunya saudara ta itu karena ap
Dulu dok dia kuliah di salah satu universitas di Bandung dok. Itu tahu

DM
KP
DM
KP
DM
KP
DM
KP
DM
KP
DM
KP
DM
KP

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

dok.
Oh jadi sejak itu berubah perilakunya pak?
Iya dok.tambah parah lagi dok waktu ada cewek yang dia suka dok, ta
Bagaimana perubahan perilakunya pak?
Yah begitu mi dok. Sering mi bicara-bicara sendiri dok. Kadang juga kit
Kita bilang ke 3 kali nya mi ini masuk rumah sakit di?
Iya dok
Kapan pertama kalinya dirawat di sini pak?
Waktu tahun 2010 dok. Terakhir rawat inap itu tahun 2012 dok.
Rajin ji minum obat nya pak?
Tidak dok. Memang sudah sekitar 1 tahun dia tidak minum obat. Tidak
Pak FL dulu waktu lahir normal ? cukup bulan? Siapa yang bantu?
Iya dok, normalji, cukup bulan juga, kalau yang bantu dukun dok.
Minum ASI?
Iya dok.

30

DM
KP
DM
KP
DM
KP
DM
KP

:
:
:
:
:
:
:
:

Waktu sekolah banyak ji temannya ?dia ikuti ji pelajaran dengan baik?


Banyak temannya dok, dia juga ikutiji pelajaran dengan baik dok. Dia j
Anak keberapa?
Anak ke 2 dari 7 bersaudara dok
Bagaimana hubungan dengan keluargata?
Baik ji dok
Sama siapa pak FL tinggal di rumah?
Sama keluargaku dok

DM
P
DM
P
DM
P
DM
P
DM
P
DM
P
DM
P
DM
P
DM
P

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Pak FL kita tau dimana ki sekarang?


Iya dok. Rumah sakit dadi toh dok.
Kita tau sekarang pagi , siang atau malam pak?
Siang dok. Itu mi na panas sekali dok.
Iye pak. sekolah dimana waktu SD ?
SD di Luwu dok
Pak saya sebutkan ki kata-kata, ulangiki nah. Apel, koin, meja
Apel, koin, meja
Pak kita tahu apa maksudnya panjang tangan ?
Anu dok. Itu orang yang panjang tangannya. Yang suka mencuri curi
Misalnya nih pak, kalau ada anak anak di pertamina main korek Apak
Biarkanmi dok, kalo capekki itu main main berhenti sendiriji.
kita merasa sakit sekarang pak ?
Tidak dok. Saya baik-baik ji dok. Jangan mi kasi ka obat lagi dok. Tidak
pak pernah kena infeksi selaput otak dulu ? atau malaria? Atau Demam
Tidakji dok, demam-demam biasa saja
Kalau kejang ? Atau pernah jatuh/ kecelakaan yang sampai terbentur k
Tidak ji dok.

DM

: Merokok ki pak?

: Tidak ji dok.

DM

: Tabe pak pernah ki minum alcohol atau pakai sabu-sabu?

: Ahh tidak dok. Jangan sembarang kita bilang dok. Saya itu keturunan R
sembarang ka dok. Saya lapor ki itu.

Tidak saya tuduh ji pak. Saya Cuma Tanya ki. Bagus lah kalau tidak pe
DM

Oh iya Pak, sudah selesai saya tanya-tanya. Terima kasih atas waktuny
Keterangan :
DM

: Dokter Muda

KP

: Keluarga Pasien

: Pasien

31

REFERAT
GANGGUAN KONVERSI
(F.44)

BAB I

32

PENDAHULUAN
Gangguan konversi (conversion disorders) menurut DSM-5 didefinisikan
sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala
neurologis (ex : paralisis, kebutaan, dan parastesia) yang tidak dapat dijelaskan
oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui 4.
Gangguan konversi lebih umum terjadi pada abad ke-19 daripada
sekarang dan terlihat terutama pada wanita. Pada abad ke-20, gejala konversi saat
ini biasanya muncul pada pasien di bagian nonpsikiatrik, seperti di bagian
neurologi, bangsal medis dan UGD. DSM-IV melaporkan insidens terjadinya
gangguan konversi adalah 10 / 100.000 sampai 300 / 100.000 pada sampel
populasi umum dan menyatakan bahwa gejala konversi telah dilaporkan sebagai
fokus pengobatan pada 1-3% dari seluruh penyakit yang terdapat di klinik
kesehatan mental. Rasio wanita dibanding pria 2:1. Awitan gangguan konversi
dapat terjadi kapanpun dari usia anak-anak sampai usia tua. Namun, yang
tersering adalah terjadi pada remaja dan dewasa muda 1,9,10.
Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis,
buta, dan mutisme. Gangguan konversi sering kali berkaitan dengan gangguan
kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionic. Gejala depresi dan
cemas sering menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien-pasien ini beresiko
tinggi mengalami bunuh diri. Gejala gangguan konversi dapat di bagi menjadi
gejala sensorik, gejala motorik, gejala bangkitan, dan gejala klinis lainnya1.
Hampir semua gejala awal dari pasien dengan gangguan konversi
membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Untuk itu
diperlukan penatalaksanaan yang efektif dalam mengobati pasien dengan
gangguan konversi

BAB II

33

TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini
secara khas terjadi dengan adanya stres dan memunculkan disfungsi berat.
Kumpulan gejala yang saat ini disebut dengan gangguan konversi dengan
gangguan somatisasi dikenal dengan sebutan histeria, reaksi konversi atau reaksi
disosiatif.1
Gangguan konversi (disosiasi) menurut PPDGJ-III adalah

adanya

kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal dibawah kendali


kesadaran antara ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaan segera
(awareness of indentity and immediate sensations), dan kontrol terhadap gerakan
tubuh.2 Menurut DSM-5 didefinisikan sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh
adanya satu atau lebih gejala neurologis (ex : paralisis, kebutaan, dan parastesia)
yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui.
Di samping itu, diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan
dengan awal munculnya gejala.3
II. EPIDEMIOLOGI
Gangguan konversi lebih umum terjadi pada abad ke-19 daripada sekarang
dan terlihat terutama pada wanita. Pada abad ke-20, gejala konversi saat ini
biasanya muncul pada pasien di bagian nonpsikiatrik, seperti di bagian neurologi,
bangsal medis dan UGD.
Insiden gangguan konversi di Islandia dilaporkan 15 kasus per 100.000
orang. Di US dilaporkan bahwa insiden individu gejala konversi persisten
diperkirakan 2-5/100.000 per tahun. Satu studi melaporkan bahwa gangguan
konversi menyumbang 1,2-11,5% dari pasien konsultasi kejiwaan yang dirawat
inap dan bedah di rumah sakit.3
Rasio wanita dibanding pria 2:1 sampai 10:1. Pada anak-anak, anak
perempuan juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki-laki. Pria
dengan gangguan ini sering kali mengalami kecelakaan kerja atau kecelakaan

34

militer. Awitan gangguan konversi dapat terjadi kapanpun, dari usia kanak-kanak
sampai usia tua, namun yang tersering pada remaja dan dewasa muda. Gangguan
ini juga banyak terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan strata pendidikan
yang rendah, tingkat kecerdasan rendah, kelompok sosioekonomi rendah, dan
anggota militer uang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini
sering berkomorbiditas dengan gangguan depresi, gangguan cemas, skizofrenia,
dan frekuensinya meningkat pada keluarga yang anggotanya menderita gangguan
depresi.1
III. GEJALA KLINIS
Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis,
buta, dan mutisme. Gangguan konversi sering kali berkaitan dengan gangguan
kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionic. Gejala depresi dan
cemas sering menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien-pasien ini beresiko
tinggi mengalami bunuh diri. Gejala gangguan konversi dapat di bagi menjadi
gejala sensorik, gejala motorik, gejala bangkitan, dan gejala klinis lainnya.
Gejala sensorik meliputi timbulnya keadaan anestesi dan parestesi,
terutama pada ekstremitas tetapi distribusinya tidak sesuai dengan penyakit saraf
pusat maupun saraf tepi. Gejala khas misalnya : sock and glove anesthesia. Gejala
gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan menimbulkan
ketulian, kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejalanya dapat
unilateral maupun bilateral, namun evaluasi neurologis tidak menunjukkan
kelainan apapun.
Gejala motorik terdiri atas gerak yang abnormal, gangguan gaya berjalan,
kelemahan dan paralisis. Kadang-kadang terdapat tremor, gerakan tik, dan
menghentak-hentak. gangguan gaya berjalan pada gangguan konversi adalah
astasia-abasia, yaitu gerak batang tubuh berupa ataksia hebat, kasar, tak beraturan
dan disertai dengan sentakan-sentakan dan disertai dengan gerakan lengan seperti
membanting dan melambai. Gangguan motorik yang sering terjadi adalah paralisis
dan paresis yang unilateral maupun bilateral. Meskipun demikian, tidak
ditemukan adanya kelainan pada otot, reflex tetap normal, serta tidak terdapat
fasikulasi maupun atrofi otot 1,10.

35

Gejala bangkitan atau pseudoseizure merupakan gejala yang mungkin


didapat pada gangguan konversi. Dokter yang merawat mungkin akan menemui
kesulitan membandingkan pseudoseizure dengan bangkitan yang sebenarnya.4
Pada gangguan Disosiatif kemampuan kendali dibawah kesadaran dan
kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari
ke hari atau bahkan jam ke jam.2 Tidak adanya gangguan fisik merupakan fitur
diagnostik yang penting. Individu dengan gangguan konversi sering memiliki
tanda-tanda fisik tetapi tidak memiliki tanda-tanda neurologis yang mendukung
gejalanya.4
Beberapa gejala psikologis berhubungan dengan gangguan konversi, antara
lain1,4:

Keuntungan Primer: Pasien memperoleh keuntungan primer dengan


mempertahankan konflik internal diluar kesadarannya. Gejala memiliki nilai

simbolik, yang mencerminkan konflik psikologis dibawah sadar.


Keuntungan sekunder: Pasien akan memperoleh keuntungan nyata dengan
menjadi sakit, misalnya dibebaskan dari kewajiban dalam situasi kehidupan
yang sulit, mendapat dukungan dan bimbingan yang dalam situasi normal

tidak akan didapatkan, dapat mengontrol perilaku orang lain.


La belle indifference adalah sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala
serius yang dialaminya. Pasien tampaknya tak peduli dengan hendaya berat
yang dialaminya. Ada atau tidaknya La belle indifference bukan dasar
penilaian yang akurat untuk menehakkan gangguan konversi.
Berdasarkan PPDGJ-III gangguan konversi (disosiasi) dibedakan atas 10

macam, yaitu2:
F444.0 Amnesia Disosiatif
F.44.1 Fugue Disosiatif
F.44.2 Stupor Disosiatif
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
F44.4 Gangguan motorik Disosiatif
F.44.5 Konvulsi Dsosiatif
F.44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
F44.7 Gangguan Disosiatif (konversi) campuran

36

F44.8 Gangguan Disosiatif (konversi) lainnya


F44.9 Gangguan Disosiatif (konversi) YTT
Berikut adalah diagnosis beradarkan gejala menurut DSM-V4:
Specify symptom type:
(F44.4) With weakness or paralysis
(F44.4) With abnormal movement (e.g., tremor, dystonie movement, myoclonus,
gait disorder)
(F44.4) With swallowing symptoms
(F44.4) With speech symptom (e.g., dysphonia, slurred speech)
(F44.5) With attacks or seizures
(F44.6) With anesthesia or sensory loss
(F44.6) With special sensory symptom (e.g., visual, olfactory, or hearing
disturbance)
(F44.7) With mixed symptom
Specify if:
Acute episode; Symptoms present for less than 6 months.
Persistent: Symptoms occurring for 6 months or more.
Specify if:
With psyctiological stressor (specify stressor)
Without psychoiogicai stressor
IV. KRITERIA DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis pasti Gangguan Disosiatif (Konversi), maka
menurut pedoman diagnostik PPDGJ III hal-hal di bawah ini harus ada 2:

Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang

tercantum pada F44.- (misalnya F44.0 amnesia Disosiatif)


Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala tersebut
Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu yang
jelas dengan problem dan kejadian-kejadian yang stressful atau hubungan
interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh penderita)
Sedangkan menurut DSM V, untuk mendiagnosis Gangguan Disosiatif

(Konversi), berikut kriteria diagnosisnya2,4:


Satu atau lebih gejala motorik atau fungsi sensorik yang berubah.

37

Gejala klinis yang ditemukan terdapat ketidakcocokan antara gejala dengan

kondisi neurologis atau medis yang diakui.


Gejala atau defisit sulit dijelaskan oleh gangguan medis lainnya atau mental.
Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau gangguan klinis yang
signifikan dalam sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang fungsional penting
lainnya atau jaminan evaluasi medis.
Berdasarkan pedoman diagnostic PPDGJ III, Gangguan Disosiatif

(konversi) dibedakan atau diklasifikasikan atas beberapa pengolongan yaitu :


F44.0 Amnesia Disosiatif
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai
kejadian penting yang baru terjadi (selective), yang bukan
disebabkan oleh gangguan mental organik dan terlalu luas
untuk dapat dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum terjadi

atau dasar kelelahan.


Diagnostik pasti memerlukan :
1. Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian
stressfull atau traumatic yang baru terjadi (hal ini mungkin
hanya dapat dinyatakan bila ada saksi yang member
informasi) ;
2. Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi atau
kelelahan berlebihan.

F44.1 Fugue Disosiatif


Untuk diagnosis pasti harus ada :
1. Ciri-ciri amnesia disosiatif ;
2. Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang umum
dilakukan

sehari-hari ;

3. Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada (makan,


mandi, dsb) dan melakukan interaksi dengan orang-orang
yang belum dikenalnya (misalnya membeli karcis atau
bensin, menanyakan arah, memesan makanan).
F.44.2 Stupor Disosiatif
Untuk diagnosis pasti harus ada :
1. Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakangerakan volunteer dan respon normal terhadap rangsangan

38

luar seperti misalnya cahaya, suara, dan perabaan


2.

(sedangkan kesadaran tidak hilang) ;


Tidak ditemukan adanya gangguan fisik atau gangguan

jiwa lain yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut ;


3. Adanya masalah atau kejadian-kejadian baru yang penuh
stressfull.
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
Gangguan ini menunjukkan adanya kehilangan sementara
aspek penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap
lingkungannya. Dalam beberapa kejadian, individu tersebut
berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain,

kekuatan gaib, malaikat atau kekuatan lain.


Hanya gangguan trans yang involunter (diluar kemampuan
individu) dan bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan
bukan merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya, yang

boleh dimasukkan dalam pengertian ini ;


Tidak ada penyebab organic (misalnya epilepsy, cedera kepala,
intoksikasi) dan bukan bagian dari gangguan jiwa tertentu

(misalnya skizofrenia, gangguan kepribadian multiple)


F44.4 Gangguan Motorik Disosiatif
Bentuk yang paling umum dari gangguan ini adalah
ketidakmampuan untuk menggerakkan seluruh atau sebagian

dari anggota gerak (tangan atau kaki)


Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari
penderita mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan

prinsip fisiologik maupun anatomik.


F44.5 Konvulsi Disosiatif
Konvulsi disosiatif (pseudoseizure) dapat sangat mirip dengan
kejang epileptik dalam hal gerakan-gerakannya, akan tetapi
sangat jarang disertai lidah menggigit, luka serius karena jatuh
saat serangan dan mengompol. Juga tidak dijumpai kehilangan
kesadaran atau hal tersebut diganti dengan keadaan seperti
stupor atau trans.
F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif

39

Gejala anestesi pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang tegas


(menggambarkan pemikiran pasien mengenai fungsi tubuhnya dan bukan
menggambarkan kondisi klinis sebenarnya) ;
Meskipun ada gangguan penglihatan (gangguan ketajaman penglihatan,
kekaburan atau tunnel vision) mobilitas pasien serta kemampuan
motoriknya seringkali masih baik.
Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
hilang rasa dan penglihatan.
F44.7 Gangguan Disosiatif (Konversi) Campuran
Campuran dari gangguan-gangguan tersebut di atas.
F44.8 Gangguan Disosiatif (Konversi) lainnya
F44.8.0 Sindrom ganser
Ciri-ciri dari gangguan ini adalah jawaban kira-kira,
yang biasanya disertai beberapa gejala disosiatif lainnya.
F44.81 Gangguan kepribadian multiple
Ciri utama adanya dua atau lebih kerpibadian yang jelas
pada satu individu dan hanya satu yang tampil untuk
setiap saatnya. Masing-masing kepribadian tersebut
adalah lengkap, dalm arti memiliki ingatan, perilaku dan
kesenangan sendiri-sendiri yang mungkin sangat berbeda
dengan kepribadian pramorbidnya.
F44.82 Gangguan konversi sementara terjadi pada masa kanak
dan remaja F44.88 Gangguan Disosiatuf lainnya YDT
F44.9 Gangguan konversi YTT (2)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis gangguan ini mengharuskan bahwa faktor psikologis harus
berkaitan dengan permulaan atau perburukan gejala.5 Lakukan pemeriksaan yang
sesuai dengan gejala yang muncul5,6,7:

Pemeriksaan fisis sesuai gejala yang muncul, seperti pada pasien dengan
gejala motorik dilakukan pemeriksaan fisis neurologi untuk menilai
motorik seperti tonus, releks fisiologis, refleks patologis, kekuatan, dsb

namun hasil dari pemeriksaannnya normal.


Pemeriksaan laboratorium
40

Pemeriksaan radiologi
EEG
EMG

VI. PENATALAKSANAAN
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien dengan
gangguan ini dapat dilakukan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi
perilaku. Bila pasien menolak psikoterapi maka dokter dapat menyarankan bahwa
psikoterapi yang dilakukan akan difokuskan pada masalah stres dan bagaimana
mengatasinya.1
Hipnosis, anti cemas, dan terapi relaksasi sangat efektif dalam beberapa
kasus. Pemberian amobarbital atau lorazepam dapat membantu memperoleh
riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami peristwa traumatik.
Pendekatan psikodinamik misalnya psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi
tilikan, menuntun pasien memahami konflik intrapsikis dan simbol dari gejala
gangguan konversi. Psikoterapi jangka pendek juga dapat digunakan. Semakin
lama pasien menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga
pengobatan akan semakin sulit.1
Terapinya berupa meyakinkan pasien bahwa tidak ada proses patologi yang
mendasari dan gejala-gejala yang dialami akan membaik seiring dengan waktu.
Konfrontrasi langsung tidak akan membawa manfaat.6
VII. PROGNOSIS
Hampir 90-100% gejala awal membaik dalam waktu beberapa hari sampai
kurang dari sebulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami gangguan ini
lagi namun 25% mengalami episode tambahan saat mengalami tekanan. Prognosis
baik berkaitan dengan awitan mendadak, ada stresor bermakna, riwayat premorbid
baik, tidak ada komorbid, dan tidak ada proses hukum sedang berlangsung.1,9

41

BAB III
KESIMPULAN
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini
secara khas terjadi dengan adanya stres dan memunculkan disfungsi berat.
Kumpulan gejala yang saat ini disebut dengan gangguan konversi dengan
gangguan somatisasi dikenal dengan sebutan histeria, reaksi konversi atau reaksi
disosiatif.
Pada gangguan konversi (functional neorological symptom disorder)
terdapat satu atau lebih berbagai jenis gejala. Dapat berupa gejalan motorik,
sensorik, kejang psikogenik atau non-epilepsi, episode unresponsiveness
menyerupai sinkop atau koma, berkurang atau hilangnya volume suara
(disfonia/aphonia), perubahan

artikulasi (disartria), sensasi benjolan di

tenggorokan (globus), dan diplopia.


Pasien memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan konflik
internal diluar kesadarannya. Pasien juga akan memperoleh keuntungan nyata
dengan menjadi sakit, misalnya dibebaskan dari kewajiban dalam situasi
kehidupan yang sulit, mendapat dukungan dan bimbingan yang dalam situasi
normal tidak akan didapatkan, dapat mengontrol perilaku orang lain. La belle

42

indifference adalah sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala serius yang
dialaminya. Pasien tampaknya tak peduli dengan hendaya berat yang dialaminya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hadisukanto, Gitayanti. 2010. Gangguan Konversi. Dalam: Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta: FKUI. 268-272
2. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku: Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya.
3. Powsner Seth. 2015. Conversion Disorder in Emergency
Medicine Clinical

Presentation.

(http://emedicine.medscape.com/article/805361-clinical#b4)
4. Akaka, Jeffrey dkk. 2013. Diagnostic and statistical manual of mental disorder
fifth edition (DSM-5). Arlington : American Psychiatric Publishing. 318-321
5. Vyas JN, Ahuja Niraj. 2008. Textbook of Postgraduate Psychiatry, second
edition, volume 1. New Delhi: Jaypee Brothers, medical publishers.
6. Davey Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 419
7. Marshall
SA.
2015.
Conversion
Disorder
in

Workup.

(http://emedicine.medscape.com/article/287464-workup)
8. Kaplan, Sadock. Buku ajar psikiatri klinis/benjamin J sadock, Virginia A
Sadock; alih bahasa profitasari, tiara mahatmi nisa; editor bahasa indonesia
Husni Mutaqqin, Retna Neary Elseria Sihombing. Ed.2. Jakarta EGC. 2010.
14. 270-280
9. Anonim. Conversion Disorder. Dalam: Diagnostic Criteria DSM-IV-TR.
Washington, DC: American Psychiatric Associaton; 2005. Hal. 452-457.

43

10. J. Loewenstein Richard. Conversion Disorder. Dalam: Review of General


Psychiatry. 5th Edition. USA : Medical Publishing Divison; 2000. Hal. 307310.

LAMPIRAN

44

Anda mungkin juga menyukai