Anda di halaman 1dari 6

Nama Peserta: dr.

Akmaliyah Sholiha Salsabila


Nama Wahana: RSUD Lasinrang Pinrang
Topik: disritmia ; VES Bigemini
Tanggal (Kasus): 31 Maret 2016
Nama Pasien: Nn. Rahmawati
No. RM: 14 87 80
Tanggal Presentasi:
Pendamping: dr. Agussalim /
dr. Rifai
Tempat Presentasi: RSUD Lasinrang Pinrang
Objek Presentasi:
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatu Bayi
Anak
Remaja Dewasa Lansia
Bumil
s
Deskripsi: Perempuan, 21 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri dada yang
dialami sejak tadi pagi, sesak ada, berdebar-debar ada, riwayat trauma tidak ada. Terdapat
riwayat berobat dengan keluhan yang sama di poliklinik makassar dengan keluhan yang
sama 2 bulan yang lalu.
Tujuan: Menegakkan diagnosis VES dan penatalaksanannya
Bahan
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
Bahasan:
pustaka
Cara
Diskusi
Presentasi
e-mail
Pos
Membahas:
dan diskusi
Data Pasien:
Nama: Nn. Rahmawati
No. Registrasi: 14 87 80
Nama Klinik: RSUD Lasinrang Pinrang
Data Utama Untuk Bahan Diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Seorang perempuan 21 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama nyeri dada,
tembus belakang mulai dari 30 menit yang lalu. Tidak menjalar ke leher, tidak ada
kram-kram. Nyerti ulu hati tidak ada, tidak ada mual tidak muntah.
2. Riwayat Pengobatan: (-)
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Trauma (-), Riwayat BAK berdarah (-), berpasir (-), nanah (-)
4. Riwayat Keluarga:
Keluhan sama dalam keluarga (-)
5. Riwayat Pekerjaan/Kebiasaan:
Pensiunan
6. Lain-lain:
Tidak ada
Daftar Pustaka:
1. Deters LA, Costabile RA, Leveillee RJ, Moore CR, Patel VR. Benign Prostat
Hyperplasia.
[Online].;
2014
[cited
2015
2
5].
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/437359.
2. Reksoprodjo S. Hipertrofi Prostat. In Ilmu Bedah. Jakarta: Binapura Aksara; 2004. p.
134.
3. Rosette Jdl, Perachino M, Thomas D, Madersbacher S, Desgrandchamps F, Alivizatos
G, et al. Guidelines on Benign Prostat Hyperplasia. European Association of Urology.

2001 September; 40(3): p. 256-63.


Hasil Pembelajaran:
1. Definisi benign prostat hyperplasia (BPH)
2. Anatomi terkait BPH
3. Etiologi/faktor penyebab BPH
4. Diagnosis BPH
5. Penatalaksanaan BPH

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subjektif
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sejak 1 hari yang lalu.
Sebelumnya pasien mengeluh susah buang air kecil sejak 5 tahun terakhir. Sebelumsebelumnya pasien merasakan sulit memulai buang air kecil dan harus didahului
mengedan untuk memulai buang air kecil. Selain itu pancaran kencing dirasakan makin
lemah dengan kaliber yang makin kecil. Penderita juga merasakan rasa tidak puas setiap
habis kencing dan biasanya diikuti dengan kencing menetes pada akhir kencing. Penderita
juga sering-sering merasakan ingin buang air kecil. Pasien biasanya buang air kecil setiap
2-3 jam sekali meskipun tidak banyak minum. Pada malam hari pasien kerapkali
terbangun karena rasa ingin buang air kecil, biasanya 5-6 kali dalam semalam. Tidak ada
keluhan kencing berpasir atau kencing bernanah. Tidak pernah ada riwayat demam tinggi
sebelumnya. Tidak ada riwayat kecelakaan atau trauma. Tidak ada riwayat perdarahan
spontan atau perdarahan yang sukar berhenti pada saat luka.
2. Objektif
Pemeriksaan Fisik
Status Internus
SP: SS/GC/CM, BB = 68 kg
GCS = 15
T = 130/70 mmHg, N = 88 x/menit, P = 20 x/menit, S = 36,80C
Kepala: kelainan (-)
Mata: Anemis (-), Iketus (-)
Thorax
- Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris kiri = kanan,
Palpasi
: Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkus
: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonki -/-, wheezing -/- Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat
Palpasi
: Iktus jantung teraba di linea midclavicula sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bising tidak ada, bunyi jantung tambahan tidak ada
Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas, distendedpada regio suprapubic
Palpasi
: Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) regio suprapubic, VU
distended
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Rectal Touche
Sphincter ani mencekik, ampula kosong, teraba massa prostat ukuran 3-4 cm,
permukaan licin, konsistensi kenyal, pole atas tidak teraba, terfiksasi.
3. Assessment

Benign prostat hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral


yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah. Berdasarkan Teori Dihidro Testosteron (DHT), Testosteron adalah hormon pria
yang dihasilkan oleh sel Leydig. Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua
testis, sehingga timbulnya pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal.
Jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi
testosteron, sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Sebagian besar
testosteron dalam tubuh berada dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk
Serum Binding Hormon (SBH). Sekitar 2 % testosteron berada dalam keadaan bebas.
Hormon yang bebas inilah yang memegang peranan dalam proses terjadinya
pembesaran kelenjar prostat. Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat
dengan menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk
DHT reseptor komplek yang akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA) yang
dapat menyebabkan terjadinya sintetis protein sehingga dapat terjadi proliferasi sel
(MC Connel 1990). Perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen dapat terjadi
dengan bertambahnya usia 50 tahun ke atas.
Etiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Adanya obstruksi
jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi melemah, dan rasa belum puas
selesai miksi. Gejala iritasi disebabkan oleh hipersentivitas otot detrusor, berarti
bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala
obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi
karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesica sering berkontraksi
meskipun belum penuh. Keadaan ini membuat sistem skoring diperlukan untuk
menentukan beratnya keluhan penderita hipertropi prostat. Apabila vesica urinaria
menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urine di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total,
sehingga penderita tidak mampu lagi miksi karena produksi urine terus terjadi maka
pada suatu saat vesica urinaria tidak mampu lagi menahan urine, sehingga tekanan
vesica urinaria terus meningkat. Apabila tekanan vesica urinaria menjadi lebih tinggi
daripada tekanan sphincter dan obstruksi, akan terjadi Inkotinensia Paradoks. Retensi
kronik menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi. Pada waktu miksi penderita harus
selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau haemorhoid.
Karena selalu terdapat sisa urine, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menyebabkan cystitis dan bila terjadi refluks dapat menyebabkan
timbulnya pyelonefritis.
Pemeriksaan Fisis

Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu (a) rectal
toucher (b) clinical grading dan (c) intraurethra grading.
a. Rectal Toucher
Rectal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong.
Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal
toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan
rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian grade
sebagai berikut :
0 1 cm.: Grade 0
1 2 cm.: Grade 1
2 3 cm.: Grade 2
3 4 cm.: Grade 3
Lebih 4 cm.: Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan
masuk ke dalam cavum rectum.
b. Clinical grading
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine.
Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh
berkemih sampai selesai, kemudian dimasukkan kateter ke dalam kandung kemih
untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc.. Normal
Sisa urine 0 50 cc. Grade 1
Sisa urine 50 150 cc.... Grade 2
Sisa urine >150 cc.. Grade 3
Sama sekali tidak bisa kemih Grade 4
c. Intraurethra grading
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra. Pengukuran
ini harus dapat dilihat dengan penendoskopi dan sudah menjadi bidang dari urologi yang
spesifik.
4. Plan
Diagnosis
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisis, diagnosis pasien tersebut adalah Retensio urine ec
Hipertropi Prostat Grade III.
Penatalaksanaan
Untuk mengatasi keluhan retensio urine pasien, maka dilakukan pemasangan kateter urin
ukuran 18 F, dan volume urine yang keluar sebanyak 500 cc. Selanjutnya pasien
dianjurkan untuk kontrol di Poliklinik Bedah untuk terapi definitif terhadap hipertropi
prostat nya.
Pengobatan untuk hipertropi prostat ada 2 macam Konservatif dan Operatif. Pada kasus
ini, Hipertropi Prostat Grade III, dapat dilakukan pembedahan reseksi endoskopik/TURP
(Transurethral Resection of Prostate), apabila diperkiraan prostat sudah cukup besar
sehingga reseksi tidak cukup dengan satu jam sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka
(Open Prostatectomy).
Pendidikan:
Dilakukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui indikasi operasi, teknik
operasi secara garis besar, serta risiko yang mungkin terjadi pasca-operasi
Konsultasi:

Dijelaskan perlunya untuk berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Bedah untuk dilakukan
terapi pembedahan mengatasi Hipertropi Prostat.
Rujukan:
Diperlukan jika terjadi komplikasi serius yang harusnya ditangani di rumah sakit dengan
sarana dan prasarana yang lebih memadai
Makale,
Peserta,

Pendamping,

dr. Thomas Darmawan

dr. Benyamin Massang

dr. Paris Sampeliling

Anda mungkin juga menyukai