Anda di halaman 1dari 24

Ujian Tengah Semester

Take Home
Mata Kuliah:
Keuangan Negara dan Daerah

Dosen: Abdul Halim, Prof., Dr., M.B.A., Ak., CA

Disusun Oleh:
Sri Rachmawati Rachman
15/391689/PEK/21135

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

Soal 1
A. Pengertian keuangan Negara dan Daerah

Pengertian keuangan negara menurut UU No 17 Tahun 2003 adalah semua hak


dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Pengertian keuangan daerah menurut PP No 58 Tahun 2005 adalah semua hak


dan kewajiban daerah

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

B. Landasan Hukum Pengelolaan

Keuangan Negara dan Daerah Sejak

Kemerdekaan Hingga Sekarang.

Landasan hukum pengelolaan keuangan negara:

Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945

ICW stbl. 1925 No.488 yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku
tahun 1867.

UU Darurat Nomor 3 Tahun 1954


UU

Nomor

Tahun

1968

Tentang

Perubahan

Pasal

Indische

Comptabiliteitswet (Stbl. 1925 Nomor 448)

UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan danTanggung Jawab Keuangan


Negara

Landasan hukum pengelolaan keuangan daerah:


ICW stbl. 1925 No.488
UU

Nomor

Tahun

1968

Tentang

Comptabiliteitswet (Stbl. 1925 Nomor 448)

Perubahan

Pasal

Indische

UU No 18 tahun 1965 Tentang Pokok Keuangan Daerah.


PP No 36 Tahun 1972 Tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban Dan
Pengawasan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1975 tentang Contoh-contoh
Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
PP No 6 Tahun 1976 mengenai tata cara penyusunan APBD yang menggantikan
PP No 36 Tahun 1972.
UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah.
UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Peraturan Pemerintah No 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan keungan daerah.
Kepmendagri

No

29

tahun

2002

Tentang

Pedoman

Pengurusan,

Pertanggungjawaban Dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara


Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
UU No33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
PP Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

C. Asas-asas Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah


Dalam

rangka

mendukung

terwujudnya

good

governance

dalam

penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara


profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Aturan pokok Keuangan Negara
telah dijabarkan ke dalam asas-asas umum, yang meliputi baik asas-asas yang telah
lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas
universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai
pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan
keuangan negara. Penjelasan dari masing-masing asas tersebut adalah sebagai
berikut:

1.) Asas kesatuan, yaitu menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara
disajikan dalam satu dokumen anggaran;
2.) Asas universalitas, yaitu mengharuskan agar setiap transaksi keuangan
ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran;
3.) Asas tahunan membatasi masa berlakunya angaran untuk suatu tahun
tertentu;dan
4.) Asas spesialitas, yaitu mewajiban agar kredit anggaran yang disediakan
terinci secara jelas peruntukannya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara terdapat penambahan asas baru dalam pengelolaan keuangan
negara. Adapun asas-asas pengelolaan keuangan negara menurut UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu:
1.) Asas akuntabilitas berorientasi pada hasil adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan
negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi nagara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangudangan yang berlaku;
2.) Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara
hak dan kewajiban pengelolaan keuangan negara;
3.) Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian berdasarkan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.) Asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan
dan rahasia negara;
5.) Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri
adalah aas yang memberikan kebebasan bagi badan pemeriksa keuangan
untuk melakukan pemeriksaan keuangan nagara dengan tidak boleh
dipangaruhi oleh siapapun.

Soal 2
Penyusunan APBN tidak terlepas dari asumsi makro ekonomi yang menjadi barometer
dan patokan dalam pertumbuhan ekonomi. Paradigma penggunaan asumsi makro
ekonomi dalam penyusunan APBN dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa stabilitas
ekonomi diperlukan dalam rangka mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan. Adapun indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar dalam
penyusunan APBN tersebut adalah sebagai berikut:
a.

Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan eonomi merupakan masalah perekonomian jangka panjang dan

menjadi kenyataan yang dialami oleh suatu bangsa. Ditinjau dari sudut ekonomi,
perkembangan ekonomi menimbulkan dua efek penting, yaitu kemakmuran atau taraf
hidup masyarakat meningkat dan memeberikan kesempatan kerja baru karena semakin
bertambahnya jumlah penduduk. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
diharapkan dapat mencapai stabilitas moneter dan ekonomi yang mantap dan dinamis.
Setiap persen pertumbuhan ekonomi menunjukan tingkat perbaikan kesejahteraan bagi
rakyat yang terpinggirkan, terutama dalam bentuk pengurangan kemiskinan dan
pengangguran, dan mengurangi ketimpangan. APBN merupakan salah satu negara
untuk mengendalikan arah pembangunan. Dalam penyusunan APBN, pemerintah dapat
mengalokasikan skala dana yang akan digunakan dalam perbaikan kesejahteraan
masyarakat. Dengan skala yang diprioritaskan tersebut, maka dana yang dikeluarkan
dalam APBN tersebut dapat digunakan sebagaimana mestinya.
b.

Tingkat Inflasi
Inflasi berkaitan erat dengan kesejahteraan dan pendapatan riil masyarakat.

Apabila terjadi persentase inflasi yang lebih tinggi dari pada kenaikan pendapatan
nominal, maka kesejahteraan masyarakat akan turun. Pemerintah perlu memperhatikan
tingkat inflasi dalam penyusunan APBN. Ketika terjadi inflasi dan harga harga barang
barang secara umum naik, maka diperlukan lebih banyak anggaran dalam APBN.
Dalam penentuan prakiraan maju, tingkat inflasi harus dimasukkan sehingga besaran
kebutuhan dana untuk beberapa tahun kedepan dapat diperkirakan. Begitu juga ketika

terjadi perubahan tingat inflasi, perhitungan kebutuhan dana dalam prakiraan maju juga
akan disesuaikan.
Inflasi yang relatif rendah dan stabil merupakan prasyarat utama bagi
tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan. Untuk mencapai kondisi tersebut di tengah kuatnya tekanan inflasi
yang bersumber dari berbagai faktor eksternal dan faktor internal, diperlukan kebijakan
yang tepat demi terjaganya stabilitas ekonomi makro ekonomi, dan pengendalian inflasi
ke depan. Koordinasi yang baik dan harmonisasi kebijakan antara Bank Indonesia dan
Pemerintah akan menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel. Berbagai upaya telah dan
akan terus dilakukan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk menjamin
tersedianya pasokan dan lancarnya distribusi barang dan jasa. Koordinasi yang
komprehensif dan terpadu antara pusat dan daerah, serta antara Pemerintah dan Bank
Indonesia tersebut diharapkan dapat menjaga kestabilan harga domestik, yang pada
akhirnya dapat mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat pada sasaran inflasi yang
telah ditetapkan.
C.

Tingkat Suku Bunga

Dengan adanya tingkat bunga, pemerintah dapat mengambil kebijakan terkait investasi.
Bank bank juga dapat menentukan tingkat bunga yang dijual kepada masyarakat.
Selain itu pemerintah juga bisa mengambil kebijakan terkait penjualan obligasi negara
dengan berpedoman pada tingkat bunga BI. Sehingga penerimaan pembiayaan dapat
ditentukan dalam APBN. Tingkat suku bunga merupakan salah satu variabel yang
memengaruhi masyarakat dalam memilih bentuk kekayaan yang ingin dimilikinya,
apakah dalam bentuk uang, financial asset, atau benda-benda riil seperti tanah, rumah,
mesin, barang dagangan dan lain-lain. Mana yang memberikan tingkat bunga yang lebih
tinggi akan lebih diminati.
D.

Nilai Tukar

Nilai tukar rupiah wajib diketahui dalam penyusunan APBN karena terkait erat dengan
beban belanja yang harus dialokasikan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga
utang luar negeri maupun subsidi barang barang impor seperti BBM yang sangat vital
menunjang perekonomian nasional. Pengeluaran pembiayaan berupa valas harus diukur

dalam nilai mata uang rupiah. Jika kurs dijaga pada nilai yang kuat, maka anggaran
belanja bunga dan pengeluaran pembiayaan lebih hemat. Subsidi BBM yang minyaknya
diimpor harus dibiayai dengan anggaran yang tidak sedikit, sehingga perhitungan kurs
yang tepat akan memberikan besaran yang tepat pula dalam memprediksi kebutuhan
belanja subsidi. Jika kurs yang ditetapkan dalam APBN terlalu tinggi, bisa terjadi
surplus anggaran karena kebutuhan subsidi lebih kecil. Tetapi jika kurs dipatok terlalu
rendah maka ketika nilai rupiah melemah, penutupan defisit anggaran dengan
pembiayaan tak terelakan lagi. Selain itu, banyaknya barang dan jasa yang diimpor dari
luar negeri, sehingga diperlukan besaran yang akurat dalam menentukan besarrnya
kebutuhan dana dalam nilai rupiah. Kurs penting dalam perhitungan pendapatan bea
masuk dan pajak warga negara asing yang tidak dibayarkan dalam mata uang rupiah,
sehingga besaran pendapatan dapat diukur secara tepat dalam APBN.
E.

Harga Minyak Dunia

Harga minyak dunia tentunya memberikan dampak terhadap penyusunan anggaran


APBN. Jika harga minyak internasional naik, maka dampak terhadap APBN adalah
negatif, yaitu beban subsidi BBM dan listrik jauh lebih tinggi dari kenaikan penerimaan
negara dari kenaikan harga minyak. Hal ini akan menyebabkan pemerintah harus
memotong anggaran-anggaran lainnya, agar APBN tetap dapat sehat dan tidak kolaps,
yang akan menyebabkan krisis ekonorni yang lebih besar, karena masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola anggaran
dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Jika ini terjadi, maka orang akan
memindahkan investasi dan uangnya keluar negeri. Arus modal keluar akan
mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah. Nilai tukar rupiah yang melemah akan
mengakibatkan harga-harga komoditas naik lebih tinggi lagi. Harga-harga yang naik
akan semakin memberatkan perekonomian.
F.

Lifting Minyak dan Gas

Pengertian lifting minyak bumi antara lain adalah sejumlah minyak mentah dan atau gas
bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point atau point of
sales) atau kepemilikan sebuah perusahaan secara fisik dan legal atas hak minyak
mentah yang dalam kontrak bagi hasil biasanya mengandung dua komponen yang

terdiri atas: biaya dan keuntungan, produksi minyak hasil tambang siap jual, atau tingkat
produksi hasil tambang minyak. Asumsi lifting minyak tersebut dalam APBN
difungsikan sebagai dasar perhitungan penerimaan PNBP migas. Sementara itu,
pengertian eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan,
dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan
serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Soal 3
DAMPAK DESENTRALISASI DAN PERIMBANGAN KEUANGAN
PEMERINTAH PUSAT- DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Tekanan reformasi di Indonesia berdampak pada terjadinya pergeseran


paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik di pemerintah pusat ke
arah sistem pemerintahan yang desentralistik di pemerintah daerah. Hal ini
mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat dengan melibatkan peranan pemerintah
daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dan ini jelas dengan lahirnya undang-undang
otonomi daerah yang terdiri dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU
Nomor 33 Tahun 2004 telah terjadi perubahan mendasar mengenai hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dibuatnya undang- undang ini tidak
lain adalah demi menjaga keharmonisan antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang
serta meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta memelihara
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
mengandung pengertian yang luas, artinya bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah
tujuan pemerintah pusat adalah ingin menerapkan bentuk keadilan serta berusaha

mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintah yang lebih baik menuju terwujudnya


clean government dan good governance.
Adapun dalam perimbangan keuangan tersebut adalah dengan dilakukan melalui
desentralisasi fiskal, dengan pengertian bahwa untuk mendukung terlaksananya otonomi
daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, dan daerah diberikan kewenangan
untuk

mendayagunakan

sumber

keuangannya

sendiri

dan didukung

dengan

perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Idealnya, desentralisasi ini diharapkan
akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan
partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong
pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) diseluruh daerah dengan memanfaatkan
sumberdaya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki
alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik
ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.
(Mardiasmo, 2002)
Desentralisasi memberikan implikasi yang bervariasi terhadap kegiatan
pembangunan antar daerah, tergantung pada pengaturan kelembagaan, dan desain
menyeluruh dari pembagian wewenang dan perimbangan keuangan antar pemerintah
pusat dan daerah. Dengan adanya desentralisasi terjadi perubahan-perubahan besar
dalam desain kebijakan hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah yang drastis dan
radikal. Tentu saja perubahan ini akan berdampak positif dan negatif, bahkan rawan
terhadap gejolak konflik. (Halim dan Mujib, 2009)
Risiko paling besar adalah ketika sumber utama penerimaan pemerintah
diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa diikuti langkah-langkah kebijaksanaan yang
menjamin mobilisasi pendapatan daerah untuk membiayai berbagai pelayanan publik

yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Seperti dalam pelaksanaan di


lapangan, masih sering terjadi ketimpangan-ketimpangan; misalnya, terjadi salah urus,
tidak transparan, dan tidak akuntabel, sehingga sulit memberikan pertanggungjawaban
kepada publik. Kelemahan dalam pengelolaan keuangan negara ini lah yang memicu
terjadinya tindak penyelewengan dan bukan tidak mungkin hal ini justru akan
melahirkan raja-raja kecil di daerah yang dapat membuka pintu keleluasaan korupsi di
tingkat lokal.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis merumusakan

beberapa rumusan masalah antara lain:


1.

Bagaimanakah perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah?

2.

Apakah desentralisasi berimplikasi terhadap menjamurnya tindak pidana korupsi di


daerah?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Konsep Desentralisasi
Secara normatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi dipahami sebagai penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan
desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat
pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak
(taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang
dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.
Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai
bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik,
perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi.
Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political
Decentralization); Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization);
Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic
or Market Decentralization).

2.1.1 Desentralisasi Adminitratif


Desentralisasi Adminitratif yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan
untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan
untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama
menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsifungsi
pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan
yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
bentuk, yaitu :
1.

Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah


Pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan Pemerintah Pusat di
Daerah.

2.

Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan


yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak
Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah
Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu
melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak
langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya,
Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan
diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali
sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan
devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi dikenal sebagai
distributed institutional monopoly of administrative decentralization.

3.

Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan wewenang


untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler
yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian
wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang
menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan
pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi
wewenang (sovereign-authority).
Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumentasi

bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan
kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan
masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain, desentralisasi administratif
dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas pelayanan umum.
Karakteristik yang demikian dipandang sebagai desentralisasi yang bertujuan fragmatis
karena telah mengesampingkan variabel politik.
2.1.2 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi.
Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan
kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka
mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.

Pada prinsipnya kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan ketergantungan


daerah terhadap pusat berkurang, sehingga mampu mencapai kemandirian daerah
sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri.

Menurut Halim (2007),

ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan


Asli Daerah (PAD) harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sejalan dengan Waluyo, (2007)
yang mengatakan bahwa idealnya semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi dengan
menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga daerah dapat benar- benar
otonom,

tidak

lagi

tergantung

ke

pemerintah

pusat.

Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang sangat sentral
dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Daerah disebutkan bahwa PAD bertujuan
memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.

2.1.3 Desentralisasi Ekonomi


Desentralisasi ekonomi bukan sekedar pembagian keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah, tetapi paling tidak harus diterjemahkan dalam tiga aspek perubahan
penting, yaitu:
1. Pendaerahan pengelolaan pembangunan ekonomi (perencanaan, pembiayaan,
pelaksanaan, dan evaluasi) yang sebelumnya lebih didominasi pemerintah pusat
dialihkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak perlu
lagi terlampau banyak intervensi secara langsung dalam pembangunan ekonomi

daerah, tetapi perlu diberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk berkreasi
dan mengambil inisiatif dalam pembangunan ekonomi di daerahnya masing-masing.
2. Swastanisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Di masa lalu, dengan kebijakan
pembangunan yang sentralis atau top down, pemerintah cenderung terlalu banyak
menangani dan mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebenarnya dapat
ditangani secara lebih efisien oleh swasta atau rakyat, baik secara individu maupun
melalui badan usaha. Peran pemerintah yang terlalu dominan dalam pembangunan
ekonomi selain memboroskan penggunaan anggaran negara, juga telah banyak
mematikan kreativitas ekonomi rakyat dan kelembagaan lokal. Di masa yang akan
datang, jika desentralisasi ekonomi benar-benar akan diwujudkan, maka
rasionalisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi harus benar-benar dilakukan.
Paradigma lama yang menganggap pembangunan adalah seolah-olah adalah karya
agung pemerintah harus diubah menjadi pembangunan merupakan kreativitas
rakyat. Kegiatan ekonomi yang dapat dilaksanakan oleh rakyat atau swasta harus
diserahkan kepada rakyat atau swasta.
3. Organisasi dan kelembagaan pembangunan ekonomi juga harus mengalami
perubahan. Di masa lalu, untuk memberhasilkan kebijakan pembangunan yang
top down, pemerintah sering membentuk organisasi dan kelembagaan baru (yang
oleh pemerintah dianggap modern) dan meminggirkan organisasi dan
kelembagaan lokal.

2.2

Implementasi Kebijakan Desentralisasi Fiskal Di Indonesia


Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran

yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal
tersebut, maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi
(kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing
daerah. Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia diawali dengan realitas kurang
jelasnya pengelolaan dana yang berasal dari pusat yang telah dialokasikan untuk daerah.
Kemudian timbul berbagai permasalahan yang meliputi beberapa aspek yaitu
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Permasalahan tersebut kemudian diakomodasi oleh pemerintah pusat dengan
pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas yang diikuti dengan desentralisasi fiskal,
dimana kabupaten/kota sebagai penjurunya. Desentralisasi secara nyata dimulai sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 (sebagaimana telah dua kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan pelaksanaan otonomi daerah
yang diberikan oleh pemerintah pusat secara gradual, yang telah dimulai sejak zaman
kolonialisme Belanda, walaupun mulai efektif pada saat berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999. Mulai efektifnya pelaksanaan otonomi daerah tersebut ditandai
dengan adanya pelimpahan wewnang dari pemerintah pusat kepada daerah yang diikuti
dengan desentralisasi di bidang keuangan (desentralisasi fiskal) yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2005. Dalam ketentuan peraturan tersebut, perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional,

demokratis,

transparan,

dan

efisien

dalam

rangka

pendanaan

penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan


kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Pada awal-awal periode implementasi desentralisasi fiskal tersebut,
struktur keuangan daerah ditandai dengan tingginya ketergantungan APBD, khususnya
daerah kabupaten/kota terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu
sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelanggaraan asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Salah satu bentuk pelaksanaan desentralisasi
fiskal diwujudkan dalam bentuk penentuan sumber-sumber PAD yang dapat digali dan
dipergunakan sendiri sesuai dengan potensi masing-masing. Berdasarkan asas
desentralisasi, sumber penerimaan daerah meliputi PAD, dana perimbangan, dan lainlain pendapatan. Adapun lain-lain pendapatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 dapat meliputi pendapatan dari hibah dan dana darurat. Hibah tersebut
dapat didefinisikan sebagai penerimaan daerah yang berasal dari luar negeri dan dalam
negeri, dalam bentuk uang barang atau jasa
Penerapan sistem transfer di Indonesia di cirikan dengan sering adanya
perubahan formula untuk block grants (DAU) dan juga conditional grants (DAK),
peningkatan cakupan sektor dari DBH dan penerapan earmarked pengeluaran dari
alokasi DBH yang diterima oleh daerah, dan perubahan total alokasi block grants DAU

dan DAK, serta belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments
atau dalam hal ini target pencapaian standar pelayanan minimum (SPM). Pada awalnya,
dana pusat yang diserahkan kepada daerah hanya berupa dana perimbangan berupa
DAU, DAK, dan DBH. Tetapi sejak tahun 2002 terdapat jenis dana belanja daerah yang
lain yang menyangkut dana otonomi khusus dan penyeimbang dengan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan
terakhir munculnya dana keistimewaan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
2.4

Desentralisasi Korupsi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 merupakan dasar hukum berlakunya sistem desentralisasi. Pemerintah Daerah


diberikan hak dan kewajiban dalam mengatur daerahnya sendiri (asas otonomi). Tujuan
utama dari desentralisasi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan,

dan keistimewahan suatu daerah.

Pemerintah daerah dan DPRD

menyelenggarakan tugas pemerintah dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi


seluas-luasnya.
Kekuasaan besar yang dimiliki pemerintah daerah, sangat rawan untuk
disalahgunakan. Lord Acton seorang bangsawan Inggris terkenal dengan kalimat
pendeknya mengemukakan kekuasaan cenderung korup. Diktum ini sesuai dengan
wajah penguasa dengan konsep desentralisasi sekarang ini. Desentralisasi telah

membentuk Raja-Raja baru di daerah. Pihak eksekutif maupun legislatif (DPRD)


telah melakukan perselingkuhan dalam melanggengkan praktik korup. Dua lembaga
yang memiliki otoritas dalam hal mengatur dan mengelolah anggaran.
Fakta tumbuh suburnya praktik korupsi yang dilakukan pemerintah daerah dapat
juga dilihat berdasarkan data kasus korupsi yang dilansir oleh KPK (2015)
memperlihatkan bahwa banyaknya pihak eksekutif dan legislatif yang tersangkut kasus
korupsi. Berikut ini data penanganan korupsi berdasarkan instansi tahun 2004-2015:

Tabel 2.1:

Sumber: www.kpk.go.id (2015)


Praktik korupsi yang dipertontonkan pemerintah daerah telah berjalan cukup
lama. Kontrol kekuasaan yang dimiliki telah dipergunakan sedemikian rupa untuk
merampok uang negara. Kepiawaian kepala daerah dalam melakukan praktik korupsi,
berbanding lurus dengan praktik korupsi yang dilakukan anggota legislatif. Modus
praktik korupsi yang dilakukan juga bermacam-macam. Persekongkolan mereka dalam
menganggarong uang daerah terdiri dari beberapa modus. Pertama, penyelewengan
uang anggaran APBD. Modus ini dilakukan dengan menilep uang APBD dengan

merekayasa pos-pos penggunaan anggaran. Misalnya

pos eksekutif direkayasa

sedemikian rupa sehingga disulap menjadi pos legislatif. Kedua, penggelembungan atau
mark up terhadap dana proyek. Dana proyek pembangunan dianggarkan sangat tinggi
dari nilai yang sesungguhnya, sehingga selisih anggaran tersebut ditilap oleh
eksekutif dan legislatif. Keempat, biaya operasional fiktif. Salah satu modus operandi
ini banyak dilakukan pada dana kunjungan kerja atau studi banding.
Praktek korupsi yang terjadi selama satu dekade pelaksanaan otonomi daerah
sebetulnya berakar dari lemahnya pengawasan dan rendahnya komitmen yang dimiliki
oleh aparatur negara. Program otonomi daerah yang hanya terfokus pada pelimpahan
wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan, dan administrasi dan Pemerintah
Pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat, hanya
memberi peluang kepala elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan
politik daerah, yang rawan terhadap korupsi ataupenyalahgunaan wewenang. Kedua,
tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan
wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotongstruktur hierarki
pemerintahan, sehingga tidak efektif bagi kontrol Pemerintah Pusat ke daerah karena
tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan Pemda
kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah baik gubernur, bupati maupun Walikota, tidak
lagi ditentukan oleh Pemerintah Pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala
daerah oleh DPRD dan bertanggung jawab ke DPRD. Hubungan Pemerintah Pusat dan
daerah adalah hubungan yang sifatnya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk
memberi policy guidance kepada Pemda. Hal ini mengakibatkan tidak ada institusi
negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah.

Desentralisasi korupsi juga diakibatkan oleh legislatif yang gagal dalam


menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol, akhirnya terjadi kolusi yang erat
antara Pemda dan DPRD sehingga kontrol dari kalangan civil societymasih lemah. Hal
yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bahwa adanya lembaga kontrol seperti
DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemda) tidak
berarti penyelewengan dan korupsi akan menjadi hilang, bahkan kolusi bisa terjadi
antara pihak eksekutif dengan legislatif, sehingga korupsi yang terstruktur ini akan
semakin sulit dikontrol oleh masyarakat. (Halim dan Mujib, 2009)

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan

Berbagai persoalan menyertai pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam rangka


otonomi daerah di Indonesia. Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa desentralisasi
fiskal merupakan instrumen, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal merupakan salah
satu instrumen yang digunakan pemerintah dalam mengelola pembangunan guna
mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Sedangkan tujuan akhir dari
desentralisasi fiskal adalah kesejahteraan masyarakat.
kesejahteraan masyarakat

setelah adanya

Implikasi, peningkatan

implementasi otonomi

daerah dan

desentralisasi seharusnya menjadi tujuan utama yang harus dicapai. Salah satu indikator
yang menunjukkan peningkatan kesejahteraan tersebut adalah peningkatan pertumbuhan
ekonomi daerah dan nasional.
Oleh karena itu, selain berkutat pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan
kebijakan, keuangan, dan administrasi dan Pemerintah Pusat ke daerah, seharusnya
pemerintah mulai memikirkan bagaimana meningkatkan pengawasan serta melakukan
manajemen pengeluaran yang baik dan sesuai value for money. Ini sangat krusial,
mengingat tujuan otonomi daerah yang paling mendasar adalah semakin nyamannya
kehidupan masyarakat karena pelayanan publik yang bermutu.

Daftar Pustaka

Halim, Abdul dan Mujib, Ibnu, 2009. Problem Desentralisasi Dan Perimbangan
Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah Peluang Dan Tantangan Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Daerah. Sekolah Pascasarjanan UGM. Yogyakarta.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daera.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Daerah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Dana Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai