1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan
memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya.
Nursalam (2007) menyatakan, komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat menyusun
dan menghantarkan suatu pesan dengan cara yang mudah sehingga orang lain dapat mengerti
dan menerima maksud dan tujuan pemberi pesan Menurut Potter dan Perry (1993),
komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Makalah
ini difokuskan pada komunikasi interpersonal yang terapeutik. Komunikasi interpersonal
adalah interaksi yang terjadi antara sedikitnya dua orang atau dalam kelompok kecil,
terutama dalam keperawatan. Komunikasi interpersonal yang sehat memungkinkan
penyelesaian masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan personal.
2. Prinsip-prinsip Komunikasi
Adapun prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers yaitu :
Perawat harus mengenal dirinya sendiri
Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, percaya, dan menghargai
Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien
Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien, baik fisik maupun mental
Perawat harus dapat menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi pasien
Kejujuran dan terbuka
Mampu sebagai role model
Altruisme
Bertanggung jawab
3. Komponen-komponen dalam Komunikasi
a. Sender (pemberi pesan): individu yang bertugas mengirimkan pesan.
b. Receiver (penerima pesan): seseorang yang menerima pesan. Bisa berbentuk pesan yang
diterima maupun pesan yang sudah diinterpretasikan.
c. Pesan : informasi yang diterima, bisa berupa kata, ide atau perasaan. Pesan akan efektif
bila jelas dan terorganisir yang diekspresikan oleh si pengirim pesan.
d. Media: metode yang digunakan dalam pesan yaitu kata, bisa dengan cara ditulis,
diucapkan, diraba, dicium. Contoh: catatan atau surat adalah kata; bau badan atau cium
parfum adalah penciuman (dicium), dan lain-lain.
e. Umpan balik: penerima pesan memberikan informasi/ pesan kembali kepada pengirim
pesan dalam bentuk komunikasi yang efektif. Umpan balik merupakan proses yang kontinue
karena memberikan respons pesan dan mengirimkan pesan berupa stimulus yang baru kepada
pengirim pesan.
4. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi
a.Situasi/suasana
Situasi/suasana yang hiruk pikuk atau penuh kebisangan akan mempengaruhi
baik/tidaknya pesan diterima oleh komunikan, suara bising yang diterima komunikan saat
proses komunikasi berlangsung membuat pesan tidak jelas, kabur, bahkan sulit diterima. Oleh
karena itu, sebelum proses komunikasi dilaksanakan, lingkungan harus diciptakan
sedemikian rupa supaya tenang dan nyaman. Komunikasi yang berlangsung dan dilakukan
pada waktu yang kurang tepat mungkin diterima dengan kurang tepat pula. Misalnya, apabila
perawat memberikan penjelasan kepada orang tua tentang cara menjaga kesterilan luka pada
saat orang tua sedang sedih, tentu saja pesan tersebut kurang diterima dengan baik oleh orang
tua karena perhatian orang tua tidak berfokus pada pesan yang disampaikan perawat,
melainkan pada perasaan sedihnya.
b.Kejelasan pesan
Kejelasan pesan akan sangat mempengaruhi keefektifan komunikasi. Pesan yang kurang jelas
dapat ditafsirkan berbeda oleh komunikan sehingga antara komunikan dan komunikator dapat
berbeda persepsi tentang pesan yang disampaikan. Hal ini akan sangat mempengaruhi
pencapaian tujuan komunikasi yang dijalankan. Oleh karena itu, komunikator harus
memahami pesan sebelum menyampaikannya pada komunikan, dapat dimengerti komunikan
dan menggunakan artikulasi dan kalimat yang jelas.
5. Pentingnya Komunikasi dalam Pelayanan Kesehatan
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya selalu memerlukan orang lain dalam
menjalankan dan mengembangkan kehidupannya. Hubungan dengan orang lain akan terjalin
bila setiap individu melakukan komunikasi diantara sesamanya. Kepuasan dan kenyamanan
serta rasa aman yang dicapai oleh individu dalam berhubungan sosial dengan orang lain
merupakan hasil dari suatu komunikasi. Komunikasi dalam hal ini menjadi unsur terpenting
dalam mewujudkan integritas diri setiap manusia sebagai bagian dari sistem sosial.
Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari memberikan dampak yang sangat
penting dalam kehidupan, baik secara individual maupun kelompok. Komunikasi yang
terputus akan memberikan dampak pada buruknya hubungan antar individu atau kelompok.
Tatanan klinik seperti rumah sakit yang dinyatakan sebagai salah satu sistem dari kelompok
sosial mempunyai kepentingan yang tinggi pada unsur komunikasi.
Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan
kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga
menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal
melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja Komunikasi di lingkungan rumah
sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan
ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu
konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur hubungan
antar individu yang bekerja di rumah sakit, baik hubungan secara horisontal ataupun
hubungan secara vertikal. Hubungan yang terjalin antar tim multidisplin termasuk
keperawatan, unsur penunjang lainnya, unsur adminitrasi sebagai provider merupakan
gambaran dari sisi konsumen internal. Sedangkan konsumen eksternal lebih mengarah pada
sisi menerima jasa pelayanan, yaitu klien baik secara individual, kelompok, keluarga maupun
masyarakat yang ada di rumah sakit.Seringkali hubungan buruk yang terjadi pada suatu
rumah sakit, diprediksi penyebabnya adalah buruknya sistem komunikasi antar individu yang
terlibat dalam sistem tersebut.
Ellis (2000) menyatakan jika hubungan terputus atau menjadi sumber stres, pada umumnya
yang ditunjuk sebagai penyebabnya adalah komunikasi yang buruk.Keperawatan yang
menjadi unsur terpenting dalam memberikan pelayanan dalam hal ini perawat berperan
sebagai provider. Fokus perhatian terhadap buruknya komunikasi juga terjadi pada tim
keperawatan. Hal ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah:
(1) Lemahnya pemahaman mengenai penggunaan diri secara terapeutik saat melakukan
intraksi dengan klien.
(2) Kurangnya kesadaran diri para perawat dalam menjalankan komunikasi dua arah secara
terapeutik.
(3) Lemahnya penerapan sistem evaluasi tindakan (kinerja) individual yang berdampak
terhadap lemahnya pengembangan kemampuan diri sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu diupayakan suatu hubungan interpersonal yang
mencerminkan penerapan komunikasi yang lebih terapeutik. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalkan permasalahan yang dapat terjadi pada komunikasi yang dijalin oleh tim
keperawatan dengan kliennya. Modifikasi yang perlu dilakukan oleh tim keperawatan adalah
melakukan pendekatan dengan berlandaskan pada model konseptual sebagai dasar ilmiah
dalam melakukan tindakan keperawatan. Sebagai contoh adalah melakukan komunikasi
dengan menggunakan pendekatan model konseptual proses interpersonal yang dikembangkan
oleh Hildegard E.Peplau.
Seorang anak berusia 4 tahun memberikan informasi tentang apa yang sudah dialaminya
ketika belajar dikelasnya,.Hari ini aku dipuji sama ibu guru karena gambar yang ku buat
sangat bagus. Atau anak ingin memberitahukan apa yang diinginkannya Aku ingin
permen.
Elemen proses komunikasi dimulai dari referen, yaitu suatu ide yang ingin disampaikan baik
berupa objek, emosi atau tindakan. Pengirim pesan, yaitu subjek yang berperan untuk
menyampaikan referen. Pesan, yaitu informasi yang dikirimkan atau diekspresikan oleh
pengirim. Saluran, medium pembawa pesan, baik berupa panca indera manusia maupun
media elektronik. Penerima pesan, merupakan sasaran dan arah pesan yang disampaikan dan
sebagai pemberi respon. Kemampuan pengirim dan penerima, merupakan pengetahuan yang
dimiliki oleh pengirim dan penerima. Dalam melakukan komunikasi tinjau lebih dahulu
pengetahuan lawan bicara, hindari pemakaian istilah yang tidak dipahami oleh lawan bicara.
Respon atau umpan balik akan ada jika pengirim pesan memberikan kesempatan kepada
penerima pesan untuk memberi penjelasan.
2.1. Tipe Komunikasi F. Philip Rice
Menurut F. Philip Rice ada enam tipe komunikasi, yaitu :
1. Tipe Terbuka
Merupakan tipe komunikasi saling terbuka antara satu individu dengan individu yang lain.
Individu I dan individu II secara leluasa dapat bercerita, mengekspresikan perasaanya dan
pikirannya serta berdiskusi.
1. Tipe Permukaan
Komunikasi tipe ini terjalain bukan pada hal-hal penting : tidak riil, tidak detail dan hanya
sekedar basa-basi sebatas permukaan. Komunikasi dapat terwujud karena tidak ada saling
terbuka, penyebabnya bias perasaan takut mengecewakan, malu dan sebagainya.
1. Tipe Mengabaikan
Antara individu I dan individu II saling menghindar, sehingga tidak terjalin komunikasi. Tipe
ini hampir sama dengan tipe permukaan. Hanya saja, pada tipe ini cara bicara antar individu
saling terbawa emosi.
1. Tipe Komunikasi Salah
Tipe komunikasi yang terlalu menuntut keinginan diri sendiri. Bila tidak sesuai dengan yang
duharapkan individu akan marah. Akibatnya lawan bicara takut berbuat salah.
1. Tipe Komunikasi Satu Arah
Komunikasi yang dilakukan oleh satu figur dominan yang berkomunikasi. Hanya ia yang
boleh menentukan kapan lawan boleh bicara atau tidak.
1. Tipe Tanpa Ada Komunikasi
Komunikasi jarang terjadi meskiipun sebetulnya diantara individu tidak ada konflik nyata.
2.3. Tahapan Perkembangan Bicara Anak
Menangis adalah percakapan sosial pertama sang bayi. Tangisan di bulan pertama
terdengar monoton, baik ketika ia lapar, sakit, ataupun merasa tak nyaman. Melalui tangisan,
bayi berinteraksi dengan lingkungan. Ia tengah berkomunikasi untuk menyampaikan
kebutuhannya kepada orang lain.
Sebaliknya, dengan menangis si kecil belajar, setiap tangisan ternyata punya makna
tersendiri. Penggunaannya berbeda-beda dan bisa ditangkap maksudnya oleh orang lain.
1-4 BULAN: BAHASA TUBUH DAN SUARA VOKAL (smiling, cooing)
Sampai usia 4 bulan, bayi masih banyak berkomunikasi dengan cara menangis. Namun di
usia 1,5 bulan si kecil mulai memunculkan tangis yang berbeda-beda. Tangisannya tidak lagi
monoton seperti ketika baru lahir. Contoh:
Bila sakit diungkapkan dengan tangisan melengking keras diselingi rengekan dan
rintihan.
Bila merasa tak nyaman akibat kepanasan atau cari perhatian umumnya bayi
mengeluarkan rengekan yang terputus-putus.
Tangisan lapar terdengar keras dan panjang diselingi gerakan mengisap pada mulut
mungilnya.
Di usia ini, selain menangis bayi berkomunikasi dengan menggumam bunyi vokal meski
belum begitu jelas. Umumnya terdengar seperti bunyi aaah atau oooh.
Ada juga yang bergumam uuuh dan eeeh. Gumaman ini biasanya keluar saat bayi
mengutarakan perasaan, seperti senang atau tak suka. Ketika gembira diajak bermain,
gumaman
yang
keluar
mungkin
bernada
panjang
aaah.
Gumaman ini sebetulnya merupakan hasil tekanan pada otot-otot bicaranya.
Di usia 4 bulan, bayi mulai tertawa nyaring dan mampu mengeluarkan suara dari
tenggorokan. Jadi, tak lagi hanya sebatas gumaman. Ia juga mulai mengekspresikan
keterampilannya menunjukkan bahasa tubuh. Kendati bentuknya masih amat sederhana,
seperti tersenyum saat memandang wajah orang yang dikenalnya, mengerutkan dahi ketika
merasa tak nyaman, dan mulai memalingkan wajah ke arah sumber bunyi ketika dipanggil.
5-7 BULAN: KELUAR OCEHAN (babbling)
Di usia ini bayi mulai mengeluarkan suara ocehan pendek berupa suku kata (gabungan huruf
mati dan huruf hidup), seperti ba, da. Ocehannya masih terbatas pada bunyi-bunyi
eksplosif awal yang muncul karena adanya perubahan mekanisme suara.
Bayi amat senang dengan bentuk komunikasi berupa ocehan ini. Jika gembira bermain, bayi
akan mengeluarkan ocehan yang lebih lama dan panjang. Ocehan ini kelak akan berkembang
menjadi celoteh (memadukan berbagai suku kata) dan selanjutnya menjadi kata demi kata.
Di usia ini, bayi juga mulai belajar mengomunikasikan perasaannya tidak melulu lewat
tangisan. Kalau ia tak suka, misalnya, ia mengeluarkan suara seperti melenguh. Sebaliknya,
jika sedang merasa senang, ocehannya bertambah keras. Bahkan akan menjerit kesenangan
meski belum dengan nada tinggi.
7-8 BULAN: OCEHAN MENINGKAT (babbling)
Ocehan bayi makin panjang, semisal bababa atau dadada. Kuantitasnya juga meningkat
dengan cepat di antara bulan ke-6 sampai ke-8. Di tenggang waktu ini, orangtua diharapkan
memberi stimulasi yang tepat dengan lebih sering mengajak bayi bercakap-cakap dalam
intonasi naik turun dan ekspresif agar mudah ditangkap.
8-12 BULAN: KELUAR CELOTEHAN PANJANG (lalling)
Ocehan konsonan-vokal seperti dadada, uh-uh-uh dan mamama akan meningkat jadi
celoteh yang maknanya dalam. Pertama, berceloteh adalah dasar bagi perkembangan
berbicara. Kedua, celoteh adalah bagian dari komunikasi bayi dengan orang lain. Ini terlihat
ketika ia mendapat respons terhadap celotehnya, bayi akan lebih giat berceloteh dibandingkan
bila ia berceloteh sendirian. Ketiga, dengan berceloteh bayi merasa menjadi bagian dari
kelompok sosial karena celotehnya ditanggapi. Ini akan membuat bayi mengembangkan rasa
percaya dirinya yang kelak akan sangat menentukan kemandiriannya.
11-14 BULAN: KATA-KATA PERTAMANYA NYARIS LENGKAP (speaking)
Secara spesifik, bayi mampu mengucapkan satu patah kata yang berarti meskipun belum
sempurna/lengkap, misalnya ma untuk mama, pa untuk papa, num untuk minum, dan
nen untuk menetek. Di usia ini bayi juga sudah mampu melakukan tugas yang diminta
seperti lempar bolanya! atau ayo minum sambil orangtua menunjuk benda yang
dimaksud.
2.4. Mengenal Temperamen Anak
Salah satu yang menpengarui atau menentukan kepribadian anak yaitu temperamen. Utnuk
dapat berkomunikasi dengan baik, perawat hendaknya memhami temparamen anak yang dia
asuh terlebih dahulu. Menurut Hipocrates (460 375 SM) teperamen manusia ada 4 yang
kadarnya berbeda. Namun terdapat temperamen yang paling menonjol diantara keempatnya.
1. Tipe Phelgmatic
Anak cenderung pendiam meskipun dalam keadaan sakit, dia tidak banyak bicara. Perawat
harus lebih proaktif untuk memancingnya berbicara.
1. Tipe Sanguine
Anak dengan tipe sanguine lebih senang bermain. Cirinya adalah cenderung gembira, ceria
dan mudah akrab dengan orang lain, pandai bercerita, tidak mudah marah maupun sedih.
Hanya saja sulit untuk diajak serius.
1. Tipe Choleric
Anak terlihat gesit dan nyaris tidak pernah diam. Paling tidak suka diatur, punya kemauan
sendiri dan cukup keras. Anak temperamen ini cenderung mengabaikan perasaan orang lain
daan sulit bertenggang rasa terhadap usaha dan perasaan yang tengah dilakukan. Untuk
menghadapi anak seperti ini harus bersikap bijaksana.
1. Tipe Melankolis
Anak sangat sensitive dan berperasaan halus, cenderung pendiam dan tertutup dan kurang
bias mengekspresikan perasaannya. Perawat mesti pandai- pandai menjaga perasaanya.
Jangan sampai menyinggung dan membuat hatinya terluka. Bila dia berbuat salah tegur
dengan halus dan terfokus terhadap kesalahan yang dilakukannya. Hindari cara-cara kasar
dan melabelinya dengan sebutan negatif.
3.anak usia sekolah [5-12 tahun]-anak mencapai alas an dan penjelasan atas segala sesuatu
namun tidak membutuhkan pengesahan.-anak tertarik dalam aspek fungsional objek dan kegiatan
(apa yang akanterjadi, kenapa hal ini terjadi.-anak memperhatikan intergritas tubuh.-anak
harus diijinkan untuk memanipulasi perlengkapan(missal;memegangpalu perkusi)-anak
memahami penjelasan sederhana dan mendemonstrasikannya.Anak harus diijinkan untuk
mengekspresikan rasa takut dan keheranan.Tehnik dan alat untuk meningkatkan
komunikasi.1.papan komunikasi dengan kata - kata, huruf/gambar yang
menunjukankebutuhan dasar (toilet, air)2.kertas dan pensil untuk menunjukan ekspresi dari
kebutuhan / pikiran.3.melibatkan keluarga dan teman dalam pengiriman perawatan
jiwa.4.penggunaan sikap non verbal seperti kedipan mata /gerakan jari
untukmerespon.5.menggunakan kata yang dapat dipahami anak, menghindari
terminologymedis.2.4. hambatan komunikasi pada anak.Dalam berkomunikasi dengan anak
perawat akan menemui beberapahambatan dalam proses komunikasi tersebut hal ini
meliputi:1.keterbatasan dalam perkembangan bahasa, konsep dan pengalaman.2.keterbatasan
dalam memahami konsep abstrak.3.kadangkala kurang atau tidak tanggap dalam diajak
bicara.4.ucapan kata tidak jelas.
Kabupaten Temanggung.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Djojonegoro Kabupaten
Temanggung dengan populasi Keluarga Pasien di Rumah Sakit Umum
Djojonegoro Kabupaten Temanggung yang selama ini mengikuti atau menunggu
saudaranya yang sedang sakit di rumah sakit tersebut. Pengambilan sampel
menggunakan teknik pengambilan sampel Incedental Sampling yaitu teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yang kebetulan
bertemu dengan peneliti dapat dijadikan sampel, bila dipandang orang tersebut
yang kebetulan ditemui itu merasa cocok / sesuai sebagai sumber data. Dalam
penelitian ini diambil sebanyak 40 orang dengan pertimbangan dengan sejumlah
itu dianggap mewakili dari keluarga pasien yang lainnya.
Dari analisis hasil penelitian dalam uji hipotesis penelitian dipergunakan rumus
statistik Analisis Regresi Dua Prediktor untuk mengetahui Uji Korelasi /
Hubungan diketahui hasilnya yaitu Freg (Fo) = 6,773 > Ft 1 % = 5,25.
Penggabunagn hasil tersebut menunjukkan bahwa korelasi dinyatakan sangat
kuat atau hipotesis penelitian diterima. Dengan demikian hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini bahwa Ada Hubungan Komunikasi Antar Persona Perawat
Dan Keluarga Pasien Serta Kepuasan Keluarga Pasien Dengan Persepsi Tentang
Citra Rumah Sakit Umum Djojonegoro Kabupaten Temanggung dinyatakan
terbukti kebenarannya.
Sumbangan Relatif Variabel Komunikasi Antar Persona Perawat Dan Keluarga
Pasien sebesar 86,392% dan Variabel Kepuasan Keluarga Pasien sebesar 13,608
%, sedangkan Sumbangan Efektif Variabel Komunikasi Antar Persona Perawat
Dan Keluarga Pasien sebesar 23, 14 % serta Kepuasan Keluarga Pasien sebesar
3,645 %. Dengan demikian besar sumbangan variabel Komunikasi Antar Persona
Perawat Dan Keluarga Pasien lebih besar dari variabel Kepuasan Keluarga Pasien.
Dengan demikian faktor komunikasi antar persona perawat menentukan citra
rumah sakit.
Perubahan emosi yang sering terlihat adalah berupa reaksi penolakan terhadap kondisi
yang terjadi. Gejala-gejala penolakan tersebut misalnya:
a)
Tidak percaya terhadap diagnose, gejala, perkembangan serta keterangan yang di berikan
petugas kesehatan
Menolak ikut serta dalam perawatan dirinya secara umum khususnya tindakan yang
mengikut sertakan dirinya
e)
Menolak nasehat-nasehat misalnya, istirahat baring, berganti posisi tidur, terutama bila
nasehat tersebut demi kenyamanan klien.
2.3 Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi
2.3.1 Pendekatan fisik
Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian, yang dialami, peruban
fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa di capai dan di kembangkan serta
penyakit yang dapat di cegah progresifitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah di
laksanakan dan di carikan solusinya karena rill dan mudah di observasi
2.3.2 Pendekatan psikologis
Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada perubahan prilaku, maka
umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini
perawat berperan sebagai konselor, advokat, supporter, interpreter terhadap sesuatu yang
asing atau sebagai penampung masalah-masalah yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrap
bagi klien.
2.3.3 Pendekatan social
Pendekatan ini di lakukan untuk menikatkan keterampilan berinteraksi dalam lingkungan.
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan
kelompok merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan
sesama lisan maupun dengan petugas kesehatan.
2.3.4 Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya dengan Tuhan atau agama
yang dianutnya terutama ketika klien dalam keadaan sakit.
2.4 Teknik Komunikasi Pada Lansia
Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia, selain pemahaman
yang memadai tentang karakteristik lansia, petugas kesehatan atau perawat juga harus
mempunyai teknik-teknik khusus agar komunikasi yang di lakukan dapat berlangsung secara
lancer dan sesuai dengan tujuan yang dim inginkan.
Beberapa teknik komunikasi yang dapat di terapkan antara lain:
2.4.1 Teknik asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara dengan
menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan memperhatikan ketika pasangan
bicara agar maksud komunikasi atau pembicaraan dapat di mengerti. Asertif merupakan
pelaksanaan dan etika berkomunikasi. Sikap ini akan sangat membantu petugas kesehatan
untuk menjaga hubungan yang terapetik dengan klien lansia.
2.4.2 Responsif
Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien merupakana
bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika perawat mengetahui adanya perubahan sikap
atau kebiasaan klien sekecil apapun hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang
perubahan tersebut misalnya dengan mengajukan pertanyaan apa yang sedang bapak/ibu
fikirkan saat ini, apa yang bisa bantu? berespon berate bersikap aktif tidak menunggu
permintaan bantuan dari klien. Sikap aktif dari petugas kesehatan ini akan menciptakan
perasaan tenang bagi klien
2.4.3 Fokus
Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi komunikasi
yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan di luar materi yang di
inginkan, maka perawat hendaknya mengarahkan meksud pembicaraan. Upaya ini perlu di
perhatikan karena umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak
relevan untuk kepentingan petugas kesehatan.
2.4.4 Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisikaupun psikis secara bertahap
menyebabkan emosi klien relative menjadi labil perubahan ini perlu di sikapi dengan
menjaga kesetabilan emosi klien lansia, mesalnya dengan mengiyakan , senyum dan
mengagukan kepala ketika lansia mengungkapkan perasaannya sebagai sikap hormat
menghargai selama lansia berbicara. Sikap ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien
lansia sehingga lansia tidak menjadi beben bagi keluarganya dengan demikaian di harapkan
klien termotovasi untuk menyadi dan berkarya sesuai dengan kemapuannya selama memberi
dukungan baik secara materiil maupun moril, petugas kesehatan jangan terkesan menggurui
atau mangajari klien karena ini dapat merendahan keparecayaan klien kepada perawat atau
petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi motivasi, meningkatkan
kepercayaan diri klien tanpa terkesen menggurui atau mengajari misalnya: saya yakin
bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk itu bapak/ibu dapat melaksanakanya.
dan bila diperlukan kami dapat membantu.
2.4.5 Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses komunikasi tidak
berlangsung dengan lancer. Klarifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan ulang dan
memberi penjelasan lebih dari satu kali perlu di lakukan oleh perawat agar maksud
pembicaraan kita dapat di terima dan di persepsikan sama oleh klien bapak/ibu bisa
menerima apa yang saya sampaikan tadi..? bisa minta tolong bapak/ibu untuk menjelaskan
kembali apa yang saya sampaikan tadi?
2.4.6 Sabar dan Iklas
Seperti di ketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami perubahanperubahan yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan perubahan ini bila tidak di
sikapai dengan sabar dan iklas dapat menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga
komunikasi yang di lakukan tidak terapetik, solute namun dapat berakibat komunikasi
berlangsung emosional dan menimbulkan kerusakan hubungan antara klien dengan petugas
kesehatan.
2.5. Hambatan Berkomunkasi Dengan Lansia
Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan tergannggu
apabila ada sikap agresif dan sikan nonasertif
2.5.1 Agresif
Sikap agresif dalam berkomunikasi biasanya di tandai dengan prilaku-prilaku di bawah ini:
a) Berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain (lawan bicara)
b) Meremehkan orang lain
c) Mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain
d) Menonjolkan diri sendiri
e) Pempermalukan orang lain di depan umum, baik dalam perkataan maupun tindakan
2.5.2
non asertif
Tanda tanda dari non aserti ini adalah
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Dapatkan perhatian klien sebelum berbicara. Pandanglah dia agar dia dapat melihat mulut
anda
d)
Atur lingkungan sehinggga menjadi kondusif untuk komunikasi yang baik. Kurangi
gangguan visual dan auditory. Pastikan adanya pencahayaan yang cukup.
e)
Ketika merawat orang tua dengan gangguan komunikasi, ingat kelemahannya. Jangan
menganggap kemacetan komunikasi merupakan hasil bahwa klien tidak kooperatif.
f)
Jangan berharap untuk berkomunikasi denagn cara yang sama dengan orang yang tidak
mengalami jangguan. Sebaliknya bertindaklah sebagai partner yang tugasnya memfasilitasi
klien untuk mengungkapkan perasaan dan pemahamannya.
g)
Berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya gunakan kalimat pendek dengan
bahasa yang sederhana.
Serasikan bahasa tubuh anda denagn pembicaraan anda, misalnya ketika melaporkan hasil
tes yang di inginkan, pesan yang menyatakan bahwa berita tersebut adalah bagus seharusnya
di buktikan dengan ekspresi, postur dan nada suara anda yang menggembirakan (misalnya
denagn senyum, ceria atau tertawa secukupnya).
j)
k) Berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan menjawab pertanyaan anda.
l)
Biarkan ia membuat kesalahan jangan menegurnya secara langsung, tahan keinginan anda
menyelesaikan kalimat.
Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas kesehatan memperoleh sumber
informasi atau data klien dan mengefektifkan rencana / tindakan dapat terealisasi dengan baik
dan tepat.
Hubungan efektif dan proaktif antara orang tua dan sekolah adalah vital bagi
keberhasilan menyeluruh dalam menghadapi siswa ADHD. Umumnya, orang tua mencoba
untuk bertindak demi kepentingan anak sepanjang waktu. Tindakan mereka biasanya
berdasarkan informasi yang dapat mereka peroleh pada waktu itu. Jika ternyata ada
kontradiksi antara apa yang disebut nasihat professional dan atas apa yang orang tua lakukan,
biasanya ada alasan kuat untuk ini. Orang tua harus menemukan cara mereka sendiri dalam
menerima mereka dan menghadapi masalah lingkungan mereka sendiri.
Merupakan hal yang biasa, bahwa orang tua dari anak ADHD mengalami konflik antara
yang satu dan yang lainnya. Misalnya, si Bapak menyalahkan si ibu karena tidak mengawasi
si anak. Si ibu menjelaskan, bahwa segala yang di usahakannya tidak berhasil. Sementara si
bapak, meskipun ada potensiuntuk membantu situasi tersebut, namun dapat member reaksi
dengan cara tidak membantu, seperti menghindari pulang ke rumah sampai si anak tidur atau
memihak si anak melawan ibunya.
Beberapa cara membantu orang tua adalah mencoba menempatkan mereka ke dalam cara
pandang depan yang meskipun menjengkelkan, namun tidak mengancam jiwa, serta
mendorong mereka agar proaktif dan tidak reaktif. Nasihat tau saran yang paling penting
adalah agar mereka memiliki kesabaran luar biasa. Kontak telepon, saling berkirim sms, atau
mengirim faks, rapat orang tua dengan guru secara periodic, dan penyediaan buku
penghubung sehari-hari,semuanya merupakan sarana untuk membantu mencegah terjadinya
kesalapahaman antara orang tua dan sekolah. Komunikasi yang baik akan menjamin setiap
manipulasi dari situasi anak khusus dapat di hindari dengan kontak yang erat dan proaktif.
Dua pertimbangan yang harus di ingat setiap saat adalah:
1)
Anak ADHD dapat merasakan banyak tekanan atas hubungan keluarga, khususnya anak
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
kemudian hari.
Beberapa unsur penting pelatihan orang tua adalah:
Pendidikan keluarga mengenai ADHD.
Keterampilan memecahkan masalah.
Memperbaiki pengawasan orang tua.
Mengurangi ketegangan
Meningkatkan pengaruh medikasi.
Keterampilan berkomunikasi.
Reframing atau restrukturisasi
8)
Psikoterapi individual.
Bila materi tersebut hanya diucapkan saja mereka akan mudah melupakannya karena
daya ingat mereka amat terbatas. Karena itu dalam melakukan terapi digunakan sebanyak
mungkin kartu-kartu bergambar dan alat bantu visual lain untuk membantu mereka
mengingat, hal ini juga berlaku untuk anak autis yang hanya mengalami gangguan di bidang
verbal.
Untuk melatih penderita agar bisa berkomunikasi, kita harus menyesuaikan diri dengan
gaya komunikasi mereka. Orang tua dan pendidik bisa menggunakan ekspresi wajah, gerak
isyarat, mengubah nada suara, menunjuk gambar, menunjuk tulisan, menggunakan papan
komunikasi dan menggunakan simbol-simbol. Cara-cara tersebut tidak hanya digunakan
secara tersendiri, tetapi juga dapat digabungkan sehingga membentuk pesan yang lebih kuat.
Masalah yang timbul adalah di Indonesia belum ada alat yang secara terintegrasi dengan
unsur-unsur tersebut diatas. Yang ada adalah alat-alat yang harus didatangkan dari luar negeri
atau dibuat sendiri, ini jelas tidak praktis. Melihat dengan meningkatnya jumlah penderita
autis, maka dibutuhkan sebuah alat yang mampu mengintegrasikan unsur-unsur visual dan
audio yang dapat berinteraksi untuk menunjang pelatihan komunikasi pada anak autis.
Sebagai pemecahan teknologi multimedia yang mengemas dan mampu mengintegrasikan
unsur visual dan audio secara interaktif untuk mendidik anak autis, karena CD-ROM yang
merupakan bagian dari teknologi itu mampu menampung data yang setara dengan 11.000
tumpukan kertas ukuran A4, bahkan lebih dengan menggunakan teknik kompresi data. 4
Arh,Meningkatkan komunikasi pada anak autis, artikel pada harian Kompas (21-04- 2002)
21/3.
Selain itu dengan aplikasi multimedia interaktif ini dimungkinkan pemilihan materi yang
hendak dipelajari secara bebas, misalnya pada hari ini pengenalan warna yang akan
dipelajari, esok hari mungkin pengenalan huruf, atau kombinasi keduanya dalam satu hari,
tergantung dari minat anak tersebut, dan ini semua dikemas dalam sebuah CD-ROM. Dengan
menggunakan printer, kartu bergambar obyek dapat dicetak sehingga dapat digunakan tiap
waktu, anak autis dalam metoda tatalaksana membutuhkan suasana belajar yang kontinyu,
sehingga ia menjadi terlatih.
Tetapi dengan dengan begitu banyak fitur aplikasi multimedia interaktif ini tidak
ditujukan untuk menjadi one stop solution, karena dalam pelatihan anak autis tetap
diperlukan media lain, aplikasi multimedia interaktif ini membatasi diri hanya untuk menjadi
pelengkap.
Dalam aplikasi multimedia interaktif ini terdapat isi atau content yang akan
dikomunikasikan kepada anak autis berupa pembelajaran pengenalan obyek sehari-hari.
Dalam aplikasi multimedia interaktif wahana yang menjembatani agar isi atau content ini
dapat tersampaikan adalah graphical user interface atau antar muka grafis.
Graphical user interface (GUI) adalah sarana untuk berinteraksi dengan isi atau content
yang hendak disampaikan, bila desain GUI tidak dapat dimengerti sudah dapat dipastikan
aplikasi tersebut menjadi mubazir karena isi atau content tidak dapat dimengerti oleh
komunikan.
Pada anak autis, dengan mengikuti aturan yang telah menjadi standar di dunia maka GUI
akan dibuat sesederhana mungkin dengan tidak mengabaikan unsur komunikasinya sehingga
isi atau content dapat disampaikan dengan baik kepada penderita.
gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang
sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada
definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam
kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja bersama
khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses
berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah
serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap
apa yang dapat dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan negosiasi
yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat, mendefinisikan
istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat
merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam
batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan
menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau
ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Efektifitas hubungan kolaborasi
profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam
interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka
menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan
memperbaiki kualitas hidup.
a)
yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan korelasi positif
antara kualitas hubungan dokter-perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan
institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian
yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari
tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim
dan kondisi sosial masih medukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat
dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara
berkomunikasi diantara keduanya.
Dari hasil observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter.
Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi medis
yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang
meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan
beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak
kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang
selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat
sebagai
b) Pembahasan
1) Pemahaman kolaborasi
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya
dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru
menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang
arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang
sama.
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, apa diagnosa
pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk
sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola
berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga
diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat
medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis
sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu
seperti gabungan bimbingan pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak
formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi
memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik
untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana
pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat diberikan
kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien,
merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali
sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang
dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang
membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan
atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien.
Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah
sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan
pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan
menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang
direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien.
Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan.
(Lindeke dan Sieckert, 2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik
bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek
profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk
pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara
dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama
sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan
berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi
terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
2)
komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota
tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai
pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim.
Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari
praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien
dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah
penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat
dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana
membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak
dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif meliputi
kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan kordinasi.
Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu
dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin
bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab,
mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam
pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk
membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas
menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk
masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik
keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai
tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat
juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi
perubahan. (www. kompas.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007)
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi dalam
lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator demi
terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan sistem atau kebijakan yang
mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan
pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan
strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokter-perawat
dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan mengevaluasi
pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter dan perawat saling bertukar
informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan
sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan
proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan
berkala untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan diantara
anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu
ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara
komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam
pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien
yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
hanya sebagai tempat beribadah, shalat dan belajar agama. Surau bagi mereka
merupakan sarana komunikasi dan silaturahmi yang paling dipentingkan. Di
suraulah mereka saling berkomunikasi, berbagi cerita, pikiran dan pendapat
hingga musyawarah.
Sebagai sarana komunikasi, surau betul-betul dimanfaatkan untuk membangun
hubungan silaturahmi yang erat antar sesama jama`ah, antara sesama orangorang tua, antara orang-orang tua dengan anak-anak dan remaja, termasuk
antara sesama anak-anak dan remaja yang ada di kampung tersebut.
Surau juga menjadi sarana komunikasi pendidikan dan pembelajaran keagamaan
yang epektif dalam masyarakat kampong durian. Melalui surau program-program
pendidikan dan pembelajaran keagamaan dilakukan seperti belajar mengaji,
belajar pengetahuan keagamaan, praktek ibadah dan sebagainya. Bagi mereka,
surau selain sebagai pesantren kecil yang membentuk jiwa keagamaan dan
ibadah masyarakat , juga merupakan sarana membangun komunikasi
keagamaan antar jama`ah dan masyarakat.
Pentingnya peran surau dalam masyarakat kampong durian semakin terbukti
dengan dibangunnya kembali satu surau lagi di hujung kampung durian ini.
Padahal dari sisi jarak bangunan surau yang lama dengan surau baru ini hanya
lebih kurang 200 meter saja. Belum lagi dilihat dari sisi jumlah penduduknya
yang hanya sekitar 28 kk. Tapi inilah bukti lebih lanjut mengenai pentingnya
surau bagi masyarakat kampong durian untuk membangun komunikasi,
silaturahmi, pendidikan dan pembinaan keagamaan bagi jama`ahnya, terutama
anak-anak dengan pendidikan keagamaan, mengaji dan sebagainya.
Pentingnya surau bagi masyarakat kampong durian dalam membangun
komunikasi pendidikan dan keagamaan tidak dapat dipungkiri lagi. Karena itu
untuk membangun hubungan sosial yang akrab dan harmonis dengan komunitas
ini, surau dapat dijadikan sebagai salah satu sarana utama dalam menjalin
komunikasi dan silaturahmi ini.
B. KEYAKINAN DI KALIMANTAN.
1.Agama
Kaharingan adalah kepercayaan penduduk asli Kalimantan Tengah yang hanya terdapat di
daerah Kalimantan sehingga untuk dapat diakui sebagai agama maka digabungkan dalam
agama Hindu. Penganut Agama Hindu Kaharingan tersebar di daerah Kalimantan Tengah dan
banyak terdapat di bagian hulu sungai, antara lain hulu sungai Kahayan, sungai Katingan dan
hulu sungai lainnya.
C.KEANEKARAGAMAN BUDAYA
Suatu daerah sudah pasti memiliki tradisi dan adat-istiadat yang berbeda
dengan daerah lainnya. Ini merupakan keragaman yang patut kita hargai. Karena
keragaman itu yang dapat memperkaya kebudayaan nasional Bangsa Indonesia.
Kebiasaan makan sirih dan pinang (Areca catechu L) sudah dikenal sejak lama
oleh masyarakat Indonesia. Tepatnya sekitar abad ke-6 masehi. Kebiasaan
tersebut sudah dikenal oleh masyarakat di Kalimantan sejak lama, tepatnya
pada abad ke-9 sampai ke-10 Masehi. Hal tersebut kemudiaan menyebar
keseluruh pulau Kalimantan tertuama di Kalimantan Tengah. Masyarakat Kalteng
pada umumnya juga sangat menggemari makan sirrih pinang. Orang tua sampai
ke anak-anak menggemarinya. Namun kebanyakkan adalah orang tua paruh
baya sampai kepada kakek-nenek sangat menyukai makanan yang satu ini..
Biasanya untuk nenek-kakek, mungkin tidak kaut lagi untuk mengunyah sirih
pinang maka hal tersebut dapat diantisipasi dengan ditumbuk terlebih dahulu
menggunakan semacam lesung kecil dan penumbuk sampai kira-kira semua
bahannya sudah hancur baru dikelurkan lalu dimakan. Warna bibir seseorang
yang makan sirih pinang berwarna merah ini karena percampuran antara daun
sirih, pinang, kapur, gambir dan sedikit tembakau. Residunya berupa ludah yang
berwarna merah dan sisa-sisa serat dari buah pinang. Pecandu memamah sirih
pinang punya sensasi tersendiri setelah makan sirih pinang. Memamah sirih
pinang tidak mengenal waktu, kegiatan tersebut dapat dilakukan pagi, siang,
sore bahkan pada malam hari. Sama halnya dengan pecandu rokok yang tidak
mengenal waktu untuk menikmati rokok. Sirih adalah tanaman tropis yang
tumbuh di Madagaskar, Timur Afrika, dan Hindia Barat. Jenis sirih yang terdapat
di Semenanjung Malaysia ada empat jenis, yaitu sirih Melayu, sirih Cina, sirih
Keling, dan sirih Udang. Sementara pinang berasal dari tanah Malaya (Malaysia).
Untuk pecandu berat sirih pinang biasanya cara untuk mengatasinya dengan
cara membawa perlengkapan dalam suatu tempat yang dapat terbuat dari
anyaman rotan, kaleng, tas pinggang, dan lain-lain. Semua perlengkapan
dimasukkan kedalam wadah tersebut berupa daun sirih, pinang yang sebagian
sudah di belah, kapur, daun atau getah gambir, tembakau. Hal tersebut yang
menjadi kebiasaan yang berkembang di masyarakat Kalimantan, baik daerah
kota sampai ke daerah pedalaman, masyarakat biasa sampai para pejabat
pemerintahan, tua muda mengemarinya.
Apakah makan sirih dan pinang memiliki efek negatif? Sebenarnya makan sirih
dan pinang sama halnya dengan kebiasaan minum kopi, teh atau mengisap
rokok. Pada mulanya setiap orang yang menginang (makan sirih dan pinang)
tidak lain untuk penyedap mulut. Kebiasaan ini kemudian berlanjut menjadi
kesenangan dan terasa nikmat sehingga sulit untuk dilepaskan. Kebiasaan
menginang di samping untuk kenikmatan juga berfungsi sebagai obat untuk
merawat gigi, terutama agar gigi tidak rusak atau berlubang. Fungsi menginang
yang lain yaitu menyangkut tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan. Hal
ini tercermin dari kebiasaan menginang, hidangan penghormatan untuk tamu,