Anda di halaman 1dari 37

DISKUSI TOPIK

IMUNISASI PADA ANAK

Disusun Oleh:
Teresa Nadia Marpaung

Pembimbing:
dr. J. B. Lengkong, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Periode 8 Agustus 15 Oktober 2016
Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

TUJUAN DAN MANFAAT IMUNISASI

RESPON IMUN

JENIS-JENIS VAKSIN

JADWAL IMUNISASI

12

VAKSIN PADA PROGRAM IMUNISASI NASIONAL (PPI)

14

KEJADIAN IKUTAN PASKA IMUNISASI (KIPI)

25

BAB III KESIMPULAN

28

DAFTAR PUSTAKA

29

BAB I
PENDAHULUAN

Vaksinasi atau yang lazim dikenal sebagai imunisasi merupakan teknologi


yang sangat berhasil di dunia kedokteran, yang oleh Katz (1999) dikatakan
sebagai sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para
ilmuwan di dunia ini, yang merupakan suatu upaya paling efektif dan efisien
dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya. Pada tahun 1974, cakupan
imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang
disebut dengan expanded program in immunization (EPI), cakupan terus
meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat terhindar
dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan. Meskipun
demikian, masih ada satu dari empat anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan
dua juta anak meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang dapat dicegah
dengan vaksinasi.1,2
Program

imunisasi

nasional

di

Indonesia,

yang

dikenal

sebgai

Pengembangan Program Imunisasi (PPI), semakin penting kedudukannya dalam


upaya mencapai Indonesia Sehat tahun 2010. Program ini sudah mulai
dilaksanakan sejak tahun 1977 dengan jenis imunisasi yang termasuk di dalamnya
adalah hepatitis B, BCG, polio, DTP, dan campak. Pencegahan terhadap penyakit
infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi telah menampakkan hasilnya,
terbukti dengan angkat kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanus
neonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B, secara berangsur-angsur mulai
berkurang.1,2
Program imunisasi nasional ini disusun berdasarkan keadaan epidemiologi
penyakit yang terjadi pada saat itu, sehingga jadwal program imunisasi nasional
dapat berubah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, penting bagi tenaga kesehatan
dan masyarakat untuk mengetahui jadwal program imunisasi nasional terbaru
sehingga promosi program imunisasi ini dapat terus disampaikan kepada
masyarakat luas.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang amat berguna dan
efektif. Istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama, namun keduanya
sebenarnya berbeda. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi
secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin
(antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem
imun di dalam tubuh.1
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk,
yaitu immunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin
yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit
tertentu. Immunoglobulin non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi
imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang
seringkali dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidak
berlangsung

permanen

dan

hanya

bertahan

untuk

beberapa

minggu.

Imunoglobulin yang spesifik diberika kepada anak yang belum terlindungi karena
belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit
difteria, tetanus, dan hepatitis B.1,2
Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan
paparan dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang
diberikan telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit, namun
mampu mengaktivasi limfosit untuk menghasilkan antibodi dan sel memori.
Tujuan pemberian vaksin adalah untuk memberikan infeksi ringan yang tidak
berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila
terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari, anak tidak menjadi sakit
karena tubuh cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yang
masuk tersebut.1,2

EPIDEMIOLOGI
MenurutdatadariKementrianKesehatanIndonesiatentangcakupanimunisasi
dasaryangdibuatpadatahun2014,diperolehdatasebagaiberikut:
ProvinsiDKIJakarta:

BCG:92.6%
HepB:74.9%
DPT:96%
Polio:94.2%
Campak:89.2%
Imunisasidasarlengkap:80.1%

TUJUAN DAN MANFAAT IMUNISASI


Tujuan utama imunisasi adalah untuk mencapai kekebalan atau imunitas
terhadap ancaman penyakit. Selain itu, imunisasi juga bertujuan untuk melindungi
anak terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, mengurangi
prevalensi penyakit tersebut pada masyarakat, dan akhirnya mengeradikasikan
penyakit-penyakit tertentu. Selain itu, ada pula keuntungan dari vaksinasi yaitu1,2:
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidup
Vaksinasi bersifat cost-effective karena murah dan efektif
Vaksinasi tidak berbahaya (reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh
lebih jarang dari pada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit
tersebut secara alami).
Selain keuntungan di atas tersebut, imunisasi juga memiliki dampak secara
individual, sosial, dan epidemiologis. Apabila anak telah mendapatkan imunisasi,
maka 80-95% diantaranya akan terhindar dari penyakit infeksi yang ganas.
Kekebalan individu ini akan mengakibatkan pemutusan rantai penularan penyakit
dari satu anak ke anak lain atau kepada orang dewasa yang hidup bersamanya.
Inilah yang disebut keuntungan sosial karena dalam hal ini, 5-20% anak-anak
yang tidak diimunisasi juga akan terlindung, disebut herd immunity atau
kekebalan komunitas. Oleh karena itu, pendeteksian daerah penularan penyakit

melalui program imunisasi sangat membantu untuk mencari siapa target vaksinasi,
sehingga akan tepat sasaran dan lebih cepat menurunkan angka kejadian suatu
penyakit yang disebut sebagai source drying.1
Keuntungan lainnya yaitu, seiring dengan menurunnya angka kesakitan,
maka akan ditemukan juga penurunan biaya pengobatan dan perawatan di rumah
sakit. Selain itu, dengan mencegah infeksi pada seorang anak dari penyakit infeksi
yang berbahaya, maka kualitas hidup daya produktivitas anak akan ditingkatkan
baik saat ini atau pun di kemudian hari.1

RESPON IMUN7
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut
juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian
antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada
pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan
oleh sel makrofag (APC = antigen presenting cel) Pada sel T untuk antigen TD (T
dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diperoleh oleh
sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain
dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat
dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi
oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Fase imun terdiri dari :


Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC
= antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

Gambar 1 : Respon Imun Innate dan Respon Imun Adaptif


Dikutip dari Abbas, Lichtman, & Pillai : Basic Immunology: Functions and Disorders of Immune
System www.studentconsult.com

JENIS-JENIS VAKSIN1,2,3
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
Live attenuated (bakteri atau virus hidup yang dilemahkan)
Inactivate (bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif)
Vaksin hidup attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri
penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki
kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan
kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Vaksin hidup dibuat dari virus atau
bakteri liar (wild ) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan
(attinuated) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang.
Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah

virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara
melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang
anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.
Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus
berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien.
Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau
cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh
( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama
dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak
membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan
dan infeksi dengan virus liar.
Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk
patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
Antibodi dari sumber apapun (misalnya transplasental, transfusi) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan
tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan
mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam
tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila
kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan
dengan baik dan hati-hati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia
o Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ),
rubela, polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).
o Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.
Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri
atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat
tidak aktif dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).

o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka


seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak
menyebabkan penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi
imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi
yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi
berada di dalam sirkulasi darah.o Vaksin inactivated selalu
memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis pertama tidak
menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau
menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul
setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin
hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama
dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inactivated
sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan
imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated
menurun setelah beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap
penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ),
namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan
menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini
disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang
sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh antigen
pertusis dalam vaksin DPT ).
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies,


hepatitis A.

Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera,


lepra.

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B,


influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.

Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan


haemophilus influenzae tipe b.

Gabungan polisakarida (haemophillus influenzae tipe B dan


pneumokokus).

Gambar 2 : Respon Imun terhadap Imunisasi


Dikutip dari Abbas, Lichtman, & Pillai : Basic Immunology: Functions and Disorders of Immune
System www.studentconsult.com

VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN 3,7


Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan
perlindungan terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan
tubuh kita bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).

10

Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena
telah dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :
1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance) Disebut sebagai sistem
imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak ditujukan
terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh bentuk kekebalan
non-spesifik :
-

Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung
yang berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke
saluran nafas bagian bawah.

Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin berperan sebagai antibakteri

Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih
akan memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.

Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan


non- spesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit

11

dan makrofag) akan menangkap, mencerna, dan membunuh


mikroorganisme tersebut.
2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance) Sistem kekebalan spesifik
dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T dan sel B. Sistem
kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme,
melainkan sebagai prrotein saja yang akan merangsang sistem kekebalan.
Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat merangsang
sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen akan
merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular. Selanjutnya
sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan
fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibodi.
Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel
memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka
semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel
memori telah mengenali antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang
merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini
selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi
antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kekebalan pasif : Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa
tubuh mendapat bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat
kekebalan pasif tidak berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6
bulan. Misalnya bayi yang secara alami telah memiliki kekebalan pasif
dari ibunya.
2. Kekebalan aktifyang umum disebut imunisasi diperoleh melalui
pemberian vaksinasi dan berlangsung bertahun tahun, karena tubuh
memiliki sel memori terhadap antigen tertentu. Dalam rangka memacu
sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat dibuat dari :

Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)

Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)

Vaksin rekombinan

12

Virus like particle vaccine.

Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium dengan


cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme
yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak
(replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus
berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis
kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di
dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi
rangsangan suatu respons imun. Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari
virus hidup yaitu vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus,
demam kuning (yellow fever) dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan
demam tifoid.
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam
media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan penambahan
bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional, organisme tersebut
dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang dimaksukkan dalam
vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus). Vaksin
inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen
dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit dan tidak
dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Vaksin inactivated yang
tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated contoh influenza,
polio, rabies, hepatitis A. Kemudian dari seluruh bakteri yang inactivated contoh
pertusis, tifoid, kolera, lepra. Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat
juga dari polisakarida murni misalnya pneumokokus, meningokokus dan
haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan: Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses rekayasa
genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin hepatitis
B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B ke

13

dalam sel ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian menghasilkan antigen
permukaan hepatitis B murni.
Virus like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip
dengan virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk
mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang
diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip dengan seluruh
struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo particles of HPV tipe 16)

PEMBERIAN IMUNISASI2,4,9
Tata cara pemberian imunisasi, sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan
mengikuti tata cara sebagai berikut :

Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko


apabila tidak divaksinasi.

Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya


bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.

Baca dengan teliti informasi tentang produk (vaksin) yang akan


diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua.
Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya
sebelum melakukan imunisasi.

Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang


diberikan.

Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila


diperlukan.

Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah


disimpan dengan baik.

Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda


perubahan. Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal
istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan
adanya kerusakan.

14

Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan


ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang
tertinggal (catch up vaccination) bila diperlukan.

Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai


pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan,
dan posisi bayi/anak penerima vaksin.

Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :

Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh apa yang
harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang
lebih berat.
Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada
temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan
hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku
Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular
Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus lateralis
atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut
sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan
saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut
900.
Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi
dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara
sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat.

15

Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar (mereka
yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan
adalah :

Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah


gluteal.

Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk


menyerap suntikan secara adekuat.

Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila


disuntikkan di daerah gluteal

Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di


tempat suntikan yang menahun.

Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian


anterior.

16

17

Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)
Perhatian:
CARA PENYUNTIKAN VAKSIN 5,6
Subkutan

Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela, meningitis

Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Intramuskular

Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.

Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

18

JADWAL IMUNISASI
Jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia tahun 2014 adalah sebagai berikut4:

19

Gambar 3: Jadwal Imunisasi Anakn Umum 0-18 tahun


Sumber: Dikutip dari Ikatan Dokter Anak Indonesia : http://idai.or.id/publicarticles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html3

Rekomendasi imunisasi ini berlaku mulai 1 Januari 2014. Angka dalam


kolom umur tabel mencerminkan umur dalam bulan (atau tahun) mulai 0 hari
sampai 29 hari ( atau 11 bulan 29 hari untuk tahun). Adapun hal-hal yang
diperbaharui pada jadwal imunisasi 2014 adalah sebagai berikut4:
1. Vaksin Hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir
dan didahului pemberian injeksi vitamin K1. Hal tersebut penting untuk
mencegah terjadinya perdarahan akibat defisiensi vitamin K. Bayi lahir dari
ibu HbsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B dan HBIg pada ekstremitas
yang berbeda, untuk mencegah infeksi perinatal yang beresiko tinggi untuk
terjadinya hepatitis B kronik. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat
menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi.
2. Vaksin Polio. Pada saat bayi lahir atau saat dipulangkan harus diberikan
vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan
polio booster dapat diberikan vaksin polio oral (OPV) atau inaktivasi (IPV),
namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal
diberikan pada umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu
dilakukan uji antibodi.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6
minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DtaP atau kombinasi dengan

20

vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan harus
vaksin Td, di booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak. Imunisasi campak menurut Permenkes No.42 tahun 2013,
diberikan 3 kali pada umur 9 bulan, 2 tahun, dan pada SD kelas 1 (program
BIAS). Untuk anak yang telah mendapat imunisasi MMR umur 15 bulan,
imunisasi campak umur 2 tahun tidak diperlukan.
6. Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan,
PCV diberikan 3 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun
diberikan 1 kali. Keduanya perlu dosis booster 1 kali pada umur lebih dari 12
bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2
7.

tahun PCV diberikan cukup satu kali.


Vaksin Rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin
rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I
diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4
minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum
umur 16 minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
pentavalen: dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2,
dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4

8.

minggu).
Vaksin Varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan,
namun terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada

umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
9. Vaksin Influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan,
diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization)
pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak 6 <36 bulan, dosis 0,25 mL.
10. Vaksin Human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai
umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1,
6 bulan; vaksin HPV antibodi dengan interval 0, 2, 6 bulan.

VAKSIN PADA PROGRAM IMUNISASI NASIONAL (PPI)


Kementerian Kesehatan mencanangkan lima imunisasi dasar sebagai
program imunisasi nasional, yang terdiri dari imunisasi hepatitis B, BCG, DTP,

21

polio dan campak. Berikut akan dibahas secara garis besar mengenai kelima
vaksin tersebut.1,2,5
1) Hepatitis B
Virus hepatitis B (VHB) merupakan virus yang tergolong dalam famili
hepadnaviridae yang pertama kali ditemukan pada tahun 1967 oleh Baruch
Blumberg dan sejak saat itu virus tersebut telah menginfeksi lebih dari 350 juta
orang di seluruh dunia.5
a) Epidemiologi
Di seluruh dunia diperkirakan sekitar 2 milyar orang terinfeksi virus
hepatitis B dan lebih dari 240 juta diantaranya menderita infeksi hati kronik.
Sekitar 600.000 ribu orang meninggal setiap tahunnya karena infeksi hepatitis B
akut ataupun kronik. Indonesia termasuk dalam salah satu daerah endemis sedangtinggi. Prevalens HBsAg pada donor darah (1994) adalah 9.4% (2.50 36.17%),
dan pada ibu hamil 3.6% (2.1 6.7%).5
Infeksi kronik berbanding terbalik dengan umur saat infeksi, yaitu antara 80
90% pada infeksi perinatal, 30 50 % pada anak umur 1 4 tahun, dan sekitar
10% infeksi pada orang dewasa sehat.5
b) Transmisi
Infeksi dapat terjadi secara vertikal atau pada saat perinatal yang ditularkan
dari ibu ke anak, melalui hubungan seksual, atau dapat juga terjadi secara
perkutaneus/parenteral/horizontal dimana infeksi VHB ditularkan melalui injeksi,
transfusi darah atau produk darah, dialisis, akupuntur, tattoo, maupun kontak
dengan lingkungan sekitar yang terkontaminasi.5
Bayi baru lahir dari ibu HBsAg positif diketahui mempunyai risiko sampai
dengan 90% terinfeksi VHB kronik yang selanjutnya dapat menyebabkan
penyakit hati kronik seperti sirosis hepatis dan kanker hepatoselular.5
c) Pencegahan

22

Pencegahan dapat dilakukan secara umum maupun khusu. Pencegahan


umum dapat dilakukan dengan pemeriksaan uji tapis darah dan produk darah,
modifikasi perilaku (seksual) yang sehat, penggunaan alat suntik sekali pakai,
sterilisasi instrumen medis, serta skrining VHB pada ibu hamil. Pada pencegahan
khusus, hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberi vaksin hepatitis B
untuk semua bayi baru lahir.5
Vaksin hepatitis B merupakan vaksin rekombinan yang dibuat dari sel ragi,
mengandung antigen permukaan virus hepatitis B (HBsAg). Vaksin hepatitis B
merupakan cara yang paling efektif dalam memutuskan transmisi VHB. Vaksin
rekombinan ini akan menimbulkan seroproteksi pada lebih dari 95%.5
Jadwal untuk imunisasi hepatisis B-1 diberikan segera setelah bayi lahir,
paling baik dalam 12 jam pertama untuk memutuskan transmisi VHB dari ibu
kepada bayi. Jadwal imunisasi hepatitis B adalah pada bulan ke 0, 1, dan bulan
ke 6. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi di masyarakat, Kementerian
Kesehatan menganjurkan jadwal: 0 (vaksin monovalent), 2,3, 4 bulan (vaksin
DTP Hepatitis B). Dosis yang diberikan yaitu 0.5 mL intramuskuler (IM) pada
vastus anterolateral femoris.5

d) Bayi Lahir dari Ibu HBsAg Positif


Untuk bayi yang baru lahir dari ibu HBsAg positif, perlu mendapat
Hepatitis B Immuneglobulin (HBIg) 0.5 mL IM dan vaksin hepatitis B pada 2
tempat yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Selanjutnya imunisasi hepatitis B
dapat diberikan sesuai jadwal. Bayi tersebut kemudian perlu diperiksa HBsAg dan
anti-HBs pada usia 9 12 bulan atau 1 3 bulan setelah dosis terakhir diberikan.
Bila HBsAg dan anti-HBs negatif (<10 mIU/mL), maka bayi diberi 3 dosis vaksin
hepatitis B dengan interval 2 bulan dan diperiksa HBsAg dan anti-HBs lagi dalam
1 3 bulan setelah dosis terakhir diberikan.5

23

e) Bayi Prematur
Bayi prematur perlu mendapat imunisasi hepatitis B. Untuk bayi prematur
dengan berat lahir < 2000 gram, dosis pertama saat lahir tidak dihitung dan bayi
perlu mendapat 3 dosis vaksin hepatitis B tambahan.5
f) Proteksi
Efektifitas proteksi vaksin HB dan HBIg adalah 85 95% dalam mencegah
infeksi HVB dan kronisitas. Bila diberikan hanya vaksin HB saja, maka
efektivitasnya adalah sekitar 75%.5
g) Kontraindikasi dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut untuk pemberian vaksin
HB. Pada bayi baru lahir, sebelum diberikan vaksin HB perlu diberikan suntikan
vitamin K1. Pada pemberian vaksin HB ini, efek samping sistemik jarang terjadi,
akan tetapi terkadang dapat timbul demam ringan selama 1 2 hari.5

2) BCG
Vaksin Bacille Calmaette Gurin (BCG) adalah vaksin hidup yang
mengandung M. bovis yang dibiak berulang selama 13 tahun sehingga didapatkan
basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG
berguna untuk mencegah penyakit TBC yang berat dan komplikasinya, namun
tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis.5
Efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit yaitu sekitar 40 78%,
namun sektiar 70% kasus TB berat (meningitis) ternyata mempunyai parut BCG.
Saat ini vaksin BCG yang baru sedang dikembangkan yaitu vaksin BCG
rekombinan, strain M. tuberculosis yang dilemahkan, vaksin subunit dan DNA.5

24

a) Jadwal
Imunisasi BCG terbaik diberikan pada bayi umur 2 sampai 3 bulan.
Kementrian Kesehatan RI menganjurkan imunisasi BCG pada umur 0-12 bulan
agar cakupan lebih luas. Bila BCG diberikan setelah umur 3 bulan, perlu
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Bila uji tuberkulin negatif, maka vaksin
BCG dapat diberikan. Namun bila uji tuberkulin tidak memungkinkan untuk
dilakukan, maka BCG dapat diberikan dengan syarat anak perlu diobservasi
selama 7 hari. Bila di tempat suntikan terdapat reaksi lokal cepat (accelerated
local reaction) maka perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostik tuberkulosis).5
b) Dosis
Dosis vaksin BCG yaitu 0.05 ml untuk bayi yang umurnya kurang dari 1
tahun dan 0.1 ml untuk anak lebih dari 1 tahun. Pemberian secara intradermal
pada inersio M. deltoideus kanan sesuai konvensi dan kesepakatan IDAI.5
Vaksin BCG harus disimpan pada suhu 2 8oC. Vaksin yang telah
dilarutkan harus segera dipergunakan dalam waktu 3 jam, naum tetap harus
disimpan dalam suhu 2 8oC dan tidak boleh terkena sinar matahari.5
c) Kontraindikasi dan KIPI
Kontraindikasi pemberian vaksin BCG adalah pasien imunokompromais
yang dapat disebabkan oleh karena kondisi keganasan, pengobatan steroid jangka
panjang, atau bayi yang telah dicurigai terinfeksi HIV, gizi buruk, dan uji
tuberkulin > 5 mm.5
Pemberian vaksin BCG intradermal akan menimbulkan reaksi lokal minor
berupa eritema, indurasi, dan nyeri, dan juga diikuti oleh ulserasi dan akan timbul
jaringan parut kecil dalam beberapa bulan. Limfadenitis supuratif dapat terjadi di
aksila atau di leher. Pada anak dengan imunodefisiensi berat, dapat terjadi BCGitis diseminasi.5

25

3) Polio
Virus polio termasuk virus RNA golongan Picornaviridae genus
Enterovirus. Terdapat tiga jenis virus polio yaitu virus polio 1, polio 2, dan polio
3. Kasus polio liar tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia sejak tahun 1995 dan
Indonesia direncanakan bebas polio tahun 2005 oleh WHO. Namun pada bulan
Maret tahun 2005, ditemukan 1 kasus polio di daerah Sukabumi, Jawa Barat.
Kejadian luar biasa kasus polio tersebut menyebar ke 10 provinsi di Indonesia dan
sampai tanggal 21 Maret 2006 ditemukan pada 305 anak yang terkena.5
a) Transmisi Virus dan Gejala yang Timbul
Virus polio masuk ke tubuh melalui saluran cerna, bereplikasi di faring,
saluran cerna kemudian dapat menyebar secara hematogen ke susunan saraf pusat
dan jaringan saraf pusat.5
Pada infeksi virus polio, gejala yang timbul dapat sangat beragam mulai dari
tanpa gejala sampai dengan timbulnya meningitis asptik dan paralitik. Sebanyak
90 95% individu yang terinfeksi polio bersifat asimtomatis, sekitar 5% bersifat
abortif, sekitar 1% mengalami poliomyelitis non-paralitik dan hanya sekitar 0.1%
yang mengalami poliomyelitis-paralitik.
b) Pencegahan
Tindakan pencegahan infeksi virus polio dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, dengan memerhatikan
kebersihan makanan dan minuman dan memberantas vektor seperti lalat dan lipas,
serta memberikan imunisasi polio bagi anak.5
Ada 2 macam vaksin polio yang tersedia yaitu jenis vaksin polio oral (Oral
Polio Vaccine) dan vaksin polio inaktivasi (Inactivated Polio Vaccine). Vaksin
polio oral atau OPV ini merupakan vaksin hidup yang dilemahkan. Vaksin ini
dibuat oleh Hilary Koprowski tahun 1951 pada tikus dan pada tahun 1955 Albert
Bruce Sabin memodifikasinya dengan membiakkan biakan jaringan ginjal kera

26

Macca rhesus. Vaksin ini mengandung tiga strain 1, 2, 3 virus polio (Sabin), dan
bahan preservatif Neomisin dan Kanamisin. Keuntungan yang didapat dari
penggunan jenis vaksin ini adalah OPV dapat diberikan secara oral, relatif tidak
mahal, menimbulkan imunitas humoral dan imunitas lokal di mukosa usus.
Pemberian OPV secara masal dapat memutuskan rantai penularan virus polio liar,
sehingga OPV menjadi vaksin pilihan utama untuk eradikasi polio. Sedangkan
kerugian pada pemberian OPV ini adalah timbulnya 1 kelumpuhan untuk setiap 3
juta dosis yang diberikan, baik pada anak yang divaksin atau orang sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena OPV mengandung virus hidup yang dilemahkan.5
Kejadian lumpuh setelah imunisasi disebut vaccine associated paralytic
poliomyelitis (VAPP). Selain itu dapat pula terjadi mutasi virus vaksin di mukosa
usus, yang dikenal sebagai vaccine-derived poliovirus (VDPV). Hal ini dapat
disebabkan oleh defisiensi imunitas dari resipien, dan lebih sering terjadi pada
daerah dengan cakupan imunisasi yang rendah. Di Indonesia, pada tahun 2005
terdapat 46 kasus VDPV terjadi bersamaan dengan KLB polio di Madura.5
Vaksin polio inaktivasi atau IPV mengandung 3 strain virus polio inaktivasi
dengan formaldehid. IPV menimbulkan imunitas humoral namun sedikit imunitas
lokal pada mukosa usus, sehingga virus polio liar masih dapat berkembang biak
dalam usus anak yang telah mendapat IPV. Vaksin ini tidak dapat mencegah
penyebaran virus polio liar. Keuntungan yang didapat dari pemberian vaksin IPV
adalah masalah VAPP yang tidak muncul setelah pemberian vaksin karena IPV
tidak mengandung virus hidup yang dilemahkan. Sedangkan kerugiannya adalah
IPV sedikit menimbulkan kekebalan di mukosa usus, pemberian parenteral (IM),
dan harganya yang lebih mahal.5
c) Jadwal dan Dosis
Vaksin polio oral diberikan pada bayi bari lahir sesaat sebelum pulang dari
rumah sakit untuk menghindari penyebaran virus polio ke bayi lainnya.
Selanjutnya vaksin polio diberikan bersama vaksin DTP atau vaksin kombinasi
lainnya seperti DTP-Hib pada umur 2, 4, 6 bulan atau DTP-HB pada umur 2, 3, 4
bulan dan imunisasi ulangan DTP diberikan pada umur 18 bulan dan 5 tahun.

27

Dosis yang diberikan yaitu 2 tetes atau 0.1 mL untuk OPV dan 0.5 mL secara IM
atau subkutan untuk IPV.5
d) Kontraindikasi dan KIPI
Kontraindikasi pemberian vaksin polio ini adalah apabila ditemukan adanya
reaksi alergi berat terhadap komponen vaksin atau setelah dosis sebelumnya.
Kejadian ikutan paska imunisasi yang mungkin terjadi adalah 1 kasus VAPP pada
setiap 3 juta dosis untuk pemberian OPV dan pada IPV yaitu kadang timbul reaksi
lokal ringan dan sementara.5
4) DTP
Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif yang mempunyai 3
galur yaitu gravis, intermedius, belfanti, dan mitis; yang semuanya dapat
memproduksi toksin. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang
anaerobik, gram positif, yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk
drumstick.

Bordetella pertussis adalah bakteri batang gram negatif dan

mengandung antigen antara lain toksin pertussis (PT), filamen hemagglutinin


(FHA), pertactine aglutinogen fimbriae.5
a) Vaksin DTP
Vaksin DTPw mengandung purified diphteriae toxoid 20 Lf, purified
tetanus toxoid 7.5 Lf, inactivated B. pertussis 12 OU. Potensi toksoid difteria
dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah
toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria.1,2,5
b) Transmisi
Difteria dan pertusis menyebar melalui saluran napas. Tetanus menyebar
melalui luka, gigi, dan telinga yang terinfeksi oleh spora atau kuman C. tetani.5

28

c) Pencegahan
Pencegahan dilakukan secara umum dan khusu. Pada pencegahan umum
dapat dilakukan perawatan luka, menjaga kesehatan gigi, mengobati infeksi
telinga menahun (OMSK). Hal ini merupakan pencegahan utama terjadinya
tetanus. Sedangkan untuk pencegahan khusus, dapat dilakukan imunisasi DTP
baik dengan menggunakan vaksin DTPw atau pun DTPa.1,2,5
d) Jadwal
Untuk imunisasi dasar, DTP diberikan pada umur 2, 4, 6 bulan; untuk
imunisasi ulangan, DTP diberikan pada umur 18 bulan dan 5 tahun, bersama
dengan vaksin polio (OPV atau IPV). Imunisasi ulangan selanjutnya, dengan
vaksin Td, diberikan pada umur 10-12 tahun dan umur 18 tahun.5
Untuk anak yang berumur lebih dari 7 tahun, diberikan vaksin Td. Bila
vaksin Td tidak tersedia, dapat diberikan vaksin DT. Vaksin DTP tidak boleh
diberikan pada anak berumur lebih dari 7 tahun.5

e) Vaksin DTP Aseluler


Vaksin DTPw merupakan vaksin yang imunogenik, namun mempunyai efek
samping lokal maupun sistemis termasuk gejala susunan saraf pusat yang serius
(ensefalopati) yang bersifat temporal association dengan imunisasi. Oleh karena
itu, dikembangkan vaksin DTP aseluler (DTPa) dengan KIPI yang lebih sedikit.
Vaksin DTPa tidak mengandung kuman pertusis utuh (whole cell), namun
mengandung antigen yang diperlukan seperti pertusis toxin, perctatin, filamentous
hemagglutinin yang berguna untuk mencegah pertusis secara klinis. Salah satu
vaksi DTPa yang beredar di Indonesia mengandung toksoid difeteria 25 Lf,
toksoid tetanus 10 Lf, inactivated pertussis toxin (PT) 25 mcg, filamentous

29

hemagglutinin (FHA) 25 mcg, dan perctatin (outer membrane protein 69 kilo


Dalton) 8 mcg. Vaksin DTaP (pertusis aselular) dapat memberikan imunogenesitas
terhadap anti PT, anti FHA, dan anti perctatine sama baiknya dengan DTPw
dalam berbagai jadwal imunisasi.1,2,5
f) Kontraindikasi dan KIPI
Kontraindikasi mutlak vaksin DTPw maupun DTPa adalah riwayat
anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya dan ensefalopati sesudah
pemberian vaksin pertusis sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapat
perhatian khusus (precaution) adalah riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonikhipresponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan
riwayat kejang demam dalam 3 hari sesudah imunisasi.5
Tabel 1 KIPI lokal 24 jam setelah DTPa dan DTPw (per 1000 dosis)

Sumber: Intisari Imunisasi untuk Mahasiswa Kedokteran, Dept. Ilmu Kesehatan Anak, FK-UI,
2013

Tabel 2 - KIPI sistemik imunisasi DTPa dan DTPw (per 1000 dosis)

Sumber: Intisari Imunisasi untuk Mahasiswa Kedokteran, Dept. Ilmu Kesehatan Anak, FK-UI,
2013

30

5) Campak
Virus campak merupakan virus RNA yang sangat menular, termasuk dalam
famili Paramyxovirus. Tahun 1954, Peebeles dan Enders berhasil membiakkan
virus campak pada kultur jaringan, yang berasal dari darah penderita campak
bernama David Edmonston.1,2
Campak terdapat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2008,
beberapa KLB terjadi terutama pada daerah dengan cakupan imunisasi campak
yang rendah, misalnya di Bangka Belitung terjadi 6 kali KLB, di Jawa Barat 31
kali, Jawa Tengah 12 kali, dan Jawa Timur 32 kali.5
Strategi untuk mengurangi kematian akibat penyakit campak adalah
pencapaian dan mempertahankan angka cakupan, mengusahakan agar semua anak
mendapat imunisasi campak kedua, mengimplementasikan
didukung

surveilens yang

fasilitas laboratorium, dan melaksanakan program penatalaksanaan

kasus secara adekuat di klinik.1


a) Transmisi
Penyakit campak ditularkan secara langsung dari droplet infeksi atau agak
jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread).5
b) Pencegahan
Pencegahan dilakukan secara umum dan khusus. Secara umum, pencegahan
dapat dilakukan dengan menghindari anak dari kontak dengan penderita campak,
memberikan ASI dan nutrisi yang memadai serta seimbang, mengandung vitamin
yang cukup terutama vitamin A. Pencegahan khusus yang dilakukan adalah
dengan pemberian imunisasi campak. Vaksin campak aman, efektif, mempunyai
proteksi jangka panjang, dan tidak mahal. Vaksin campak mengandung virus
campak strain CAM 70 dan preservatif Kanamisin sulfat dan Eritromisin.5

31

Dosis vaksin campak yaitu 0.5 mL subkutan, dianjurkan pada deltoid.


Setelah dilarutkan, vaksin campak harus disimpan dalam suhu 2 80oC, terhindar
dari sinar dan digunakan dalam waktu 8 jam.1,2,5
c) Jadwal
Imunisasi campak diberikan dua kali, yang pertama diberikan pada saat usia
9 bulan dan yang kedua diberikan pada usia 6 7 tahun dalam program Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).5
d) Efektivitas Vaksin
Imunisasi campak merangsang imunitas seluler dan humoral seperti infeksi
alamiah, namun dengan titer yang lebih rendah. Imunisasi yang diberikan pada
bayi umur 8 9 bulan akan menghasilkan seroproteksi sekitar 89.6% (Interquatile
range: 82 95%).5
e) Kontraindikasi dan KIPI
Imunisasi tidak dianjurkan pada anak dengan status imunodefisiensi primer,
kanker, atau transplantasi organ, mendapat pengobatan imunosupresif jangka
panjang, atau pasien TB yang tidak diobati. Anak yang terinfeksi HIV tanpa
imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat
imunisasi campak.5
Kejadian ikutan paska imunisasi yang dapat timbul yaitu demam dengan
suhu 39.5oC atau lebih, yang ditemukan pada 5 15% kasus, yang umumnya
terjadi pada hari ke-5 sampai 6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 5 hari.
Ruam dapat dijumpai pada 5% dan timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi,
dan berlangsung selama 2 4 hari.5

KEJADIAN IKUTAN PASKA IMUNISASI (KIPI)

32

Pada pemberian imunisasi dapat terjadi reaksi akibat pemberian vaksin.


Reaksi ini dapat bersifat lokal maupun sistemik. Sebagian besar hanya ringan dan
biasanya hilang sendiri. Hal ini sangat penting diketahui oleh tenaga kesehatan
termasuk dokter dan orangtua, tetapi orangtua tetap harus diberikan informasi
mengenai risiko dan keuntungan dari pemberian vaksinasi.1,2
Definisi KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam
kurun waktu 1 bulan setelah pemberian imunisasi, dan diperkirakan sebagai akibat
dari imunisasi. Disebut juga sebagai reaksi simpang atau adverse events following
immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi
baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau kesalahan program, koinsiden, reaksi suntikan, atau hubungan
kausal yang tidak dapat ditentukan. Pengamatan KIPI antara 42 hari sampai 6
bulan. Tetapi untuk kasus KIPI di lapangan, batasan waktu yang digunakan adalah
30 hari.5
KIPI akan timbul setelah pemberian vaksin dalam jumlah besar, pada
jumlah penerima vaksin yang terbatas, mungkin KIPI belum tampak. Beberapa
kendala ditemukan kesulitan mendapatkan data KIPI karena beberapa sebab,
seperti data kurang rinci dan akurat, surveilens belum luas dan menyeluruh,
sehingga sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang sebenarnya. Data
menunjukkan bahwa kejadian yang berhubungan dengan imunisasi akan semakin
meningkat dengan bertambahnya cakupan imunisasi dan penggunaan vaksin yang
semakin meningkat.1,2,5
Gejala klinis yang ditemukan dapat terjadi secara cepat maupun lambat.
Dapat sebagai gejala lokal atau sistemik, reaksi susunan saraf pusat, atau gejala
lainnya. Maka sebaiknya setelah diberikan imunisasi, perlu diobservasi beberapa
saat sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI reaksi cepat, observasi dapat
dilakukan selama 15 menit. Gejala lokal yang terjadi seperti kemerahan, bengkak,
dan nyeri pada lokasi injeksi. Gejala umum seperti demam ringan hingga
hiperpireksia, anak menangis terus menerus, kejang demam, hipotonik
hiporesponsif, sianosis, dan reaksi anafilaksis.5
Pada pemberian vaksin polio oral dapat ditemukan kejadian vaccine derived
polio virus (VDPV) atau kontak yang dinamakan vaccine associated polio

33

paralytic (VAPP). Kasus poliomyelitis paralitik yang berkaitan dengan vaksin


dapat terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV. Pada sebagian kecil dapat mengalami
gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Pada pemberian vaksin campak, dapat
dijumpai kejadian ruam sekitar 5% dan timbul hari ke 7-10 sesudah imunisasi
berlangsung 2-4 hari. Pada kasus reaksi KIPI berat, dapat terjadi ensefalitis atau
ensefalopati pasca imunisasi.5
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI)
mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi yaitu klasifikiasi lapangan
menurut WHO dan klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991/94. Klasifikasi
lapangan ini digunakan di lapangan dan berguna untuk pencatatan dan pelaporan
KIPI. Klasifikasi lapangan mencakup kesalahan program atau teknik pelaksanaan
(programmatic errors), reaksi suntikan, reaksi/induksi vaksin, faktor kebetulan
(koinsiden), dan penyebab yang tidak diketahui.5
Vaccine safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI berdasarkan
kausalitas yaitu tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated), bukti tidak
cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely), bukti
memperkuat

penolakan

hubungan

kausal

(possible),

bukti

memperkuat

penerimaan hubungan kausal (probable), dan bukti memastikan hubungan kausal


(very like).5
Apabila terjadi kejadian ikutan pasca imunisasi, apapun penyebabnya
masyarakat cenderung selalu bersikap menolak. Untuk itu, pelaporan KIPI yang
cepat dan tepat diikuti tindak lanjut yang benar dapat mengatasi maslah tersebut.
Insiden umumnya terjadi secara kebetulan. KIPI yang harus dilaporkan adalah
semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti:1,2,5

Abses pada tempat suntikan


Semua kasus limfadenitis BCG
Semua kematian yang diduga berhubungan dengan imunisasi
Semua kasus rawat inap yang berkaitan dengan imunisasi
Insiden medik berat lainnya.

34

Gambar 4: Contoh Formulir Pelaporan KIPI


Sumber: IntisariImunisasiuntukMahasiswaKedokteran.Jakarta:DepartemenIlmuKesehatan
AnakFKUIRSCM;2013

BAB III
KESIMPULAN

Imunisasi merupakan bagian yang penting dalam tahap kehidupan seorang


anak karena berfungsi sebagai pencegahan primer terhadap penyakit infeksi.
Dalam imunisasi aktif atau vaksinasi, sistem imunitas tubuh dirangsang untuk
mengenali dan memproduksi antibodi terhadap suatu bakteri atau virus penyebab
penyakit tertentu sehingga tubuh memiliki pertahanan yang lebih baik jika
sewaktu-waktu terinfeksi.

35

Di Indonesia ada lima jenis vaksin wajib yang dicanangkan oleh


Kementerian Kesehatan antara lain imunisasi hepatitis B, BCG, DTP, polio dan
campak. Pemberian imunisasi ini sebaiknya dilakukan sesuai dengan jadwal yang
telah dibuat untuk memaksimalkan hasil akhir dari pemberian imunisasi tersebut.
Meskipun pemberian vaksin ini memiliki sejumlah keunggulan, ada pula
kekurangan dan efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian imunisasi ini.
Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua dan petugas kesehatan untuk
mengerti secara menyeluruh tentang program imunisasi yang ada di Indonesia
sehingga bersama-sama kita dapat mencapai tujuan dan hasil akhir yang
maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman


Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia
2. RanuhI.PedomanImunisasidiIndonesia.Jakarta:SatgasImunisasi,Ikatan
DokterAnakIndonesia;2008.
3. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. 2014. Basic Immunology: Functions
and Disorders of Immune System. 4th Edition. Philadelpia : Elsevier. Available
from : www.studentconsult.com

36

4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi IDAI 2014 [online].


Available

from

http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-

imunisasi-idai-2014.html [Accesed October, 4th 2016]


5. Soedjatmiko, Gunardi H, Sekartini R, Medise B. Intisari Imunisasi untuk
Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI
RSCM;2013.
6. NationalInstitutesofHealthTheNationalInstituteofAllergyandInfectious
Diseases (NIAID). How Vaccines Work | Vaccines.gov [Internet].
Vaccines.gov. 2016 [cited 28 August 2016]. Available from:
http://www.vaccines.gov/more_info/work/
7. Behrman, Kliegman, jenson: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th edition,
Saunders.Hal620623
8. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di
Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005

37

Anda mungkin juga menyukai