Anda di halaman 1dari 7

Taharah

1. PENGERTIAN DAN PENTINGNYA THAHARAH


Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran atau najis hissi (yang dapat
terlihat) seperti kencing atau lainnya, dan najis manawi (yang tidak kelihatan zatnya) seperti
aib dan maksiat.
Adapun menurut istilah syara, thahrah ialah bersih dari najis baik najis haqiqi, yaitu khabats
(kotoran) atau najis hukmi, yaitu hadats.242
Khabats ialah sesuatu yang kotor menurut syara*. Adapun hadats ialah sifat syara yang
melekat pada anggota tubuh dan ia dapat menghilangkan thaharah (kesucian).
Imam an-Nawawi mendefinisikan thaharah sebagai kegiatan mengangkat hadats atau
menghilangkan najis atau yang serupa dengan kedua kegiatan itu, dari segi bentuk atau
maknanya.243 Tambahan di akhir definisi yang dibuat oleh ulama Madzhab Hanafi bertujuan
supaya hukum-hukum berikut dapat tercakup, yaitu tayamum, mandi sunnah, memperbarui
wudhu, membasuh yang kedua dan ketiga dalam hadats dan najis, mengusap telinga,
berkumur, dan kesunnahan thaharah, thaharah wanita mustahadhah, dan orang yang
mengidap kencing berterusan.
Definisi yang dibuat oleh ulama Madzhab Maliki dan Hambali244 adalah sama dengan
definisi ulama Madzhab Hanafi. Mereka mengatakan bahwa thaharah adalah menghilangkan
apa yang menghalangi shalat, yaitu hadats atau najis dengan menggunakan air ataupun
menghilangkan hukumnya dengan tanah.
Jenis Thaharah
Dari definisi di atas, maka thaharah dapat dibagai menjadi dua jenis, yaitu thaharah hadats
(menyucikan hadats) dan thaharah khabats (menyucikan kotoran).
Menyucikan hadats adalah khusus pada badan. Adapun menyucikan kotoran adalah
merangkumi badan, pakaian, dan tempat. Me nyucikan hadats terbagi kepada tiga macam,
yaitu hadats besar dengan cara mandi, menyucikan hadats kecil dengan cara wudhu, dan
ketiga adalah bersuci sebagai ganti kedua jenis cara bersuci di atas, apabila memang tidak
dapat dilakukan karena ada udzur, yaitu tayamum. Menyucikan kotoran (khabats) juga dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu mem basuh, mengusap, dan memercikkan.
Oleh sebab itu, thaharah mencakup wudhu, mandi, menghilangkan najis, tayamum, dan
perkara-perkara yang berkaitan dengannya.
Pentingnya Thaharah
Thaharah amat penting dalam Islam baik thaharah haqiqi, yaitu suci pakaian, badan, dan
tempat shalat dari najis; ataupun thaharah hukmi, yaitu suci anggota wudhu dari hadats, dan
suci seluruh anggota zahir dari janabah (junub); sebab ia menjadi syarat yang tetap bagi
sahnya shalat yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari. Oleh karena shalat adalah
untuk menghadap Allah SWT, maka menunaikannya dalam keadaan suci adalah untuk
mengagungkan kebesaran Allah SWT. Meskipun hadats dan janabah bukanlah najis yang
dapat dilihat, tetapi ia tetap merupakan najis manawi yang menyebabkan tempat yang
terkena olehnya menjadi kotor. Oleh sebab itu, apabila ia ada, maka ia menyebabkan cacatnya
kehormatan dan juga berlawanan dengan prinsip kebersihan. Untuk menyucikannya, maka
perlu mandi. Jadi, thaharah dapat menyucikan rohani dan jasmani sekaligus.

Islam sangat memerhatikan supaya penganutnya senantiasa bersih dalam dua sisi; maddi
(lahiriah) dan manawi (rohani).245 Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat mementingkan
kebersihan, dan juga membuktikan bahwa Islam adalah contoh tertinggi bagi keindahan,
penjagaan kesehatan, dan pembinaan tubuh dalam bentuk yang paling sempurna, juga
menjaga lingkungan dan masyarakat supaya tidak menjadi lemah dan berpenyakit. Karena,
membasuh anggota lahir yang terbuka dan bisa terkena debu, tanah dan kuman- kuman setiap
hari serta membasuh badan dan mandi setiap kali berjunub, akan menyebabkan badan
menjadi bersih dari kotoran.
Menurut kedokteran, cara yang paling baik untuk mengobati penyakit berjangkit dan
penyakit-penyakit lain ialah dengan cara menjaga kebersihan. Menjaga kebersihan adalah
suatu langkah untuk mengantisipasi diri dari terkena penyakit. Sesungguhnya antisipasi lebih
baik daripada mengobati.
Allah SWT memuji orang yang suka ber- suci (mutathahhirin) berdasarkan firman-Nya,
"... Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri."
(al-Baqarah: 222)
Allah SWT memuji ahli Masjid Quba dengan firman-Nya,
"... Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang
yang bersih." (at-Taubah: 108)
Seorang Muslim hendaklah menjadi contoh bagi orang lain dalam soal kebersihan dan
kesucian, baik dari segi lahir maupun batin. Rasulullah saw. bersabda kepada sekelompok
sahabatnya,

"Apabila kamu datang ke tempat saudara- saudara kamu, hendaklah kamu perindah atau
perbaiki kendaraan dan pakaian kamu, sehingga kamu menjadi perhatian di antara manusia.
Karena, Allah tidak suka perbuatan keji dan juga keadaan yang tidak teratur."246

2. Artinya:
Apabila engkau tidak menemukan air maka bertayamumlah dengan tanah yang
bersih, usaplah wajahmu dan tan ganmu dengan tanah itu" (S. AI Maidah : 6)

Rukun

Para ulama berrbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4
saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya
dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.

4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya
ada 4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran

7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk


yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota
wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau
menambahkan kewajiban muwalat.

6 (enam) rukun menurut As-Syafi`iyah menambahinya dengan niat dan tertib yaitu
kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh
terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib

7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan
muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota
dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas
wudhu`.

RUKU
MEMBASU MEMBASU MENGUSA MEMBASU TERTI
ADDAL
NIAT
MUWALAT
N
H WAJAH H TANGAN P KEPALA
H KAKI
B
K
Hanafi

Rukun
Rukun
Rukun
Rukun

Maliki Ruku
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun

Rukun
Rukun
n
Syafi`i Ruku
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun

n
Hanbali Ruku
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun

n
1. Niat
Niat wudhu` adalah ketetapan di dalam hati seseorang untuk melakukan serangkaian ritual
yang bernama wudhu
2. Membasuh Wajah
Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut
(manabit asy-sya`ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan hingga batas telinga kiri.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku
Secara jelas disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke siku. Dan para ulama
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa siku harus ikut dibasahi
4. Mengusap kepala
Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan ke bagian yang
diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air.

Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap tidak semua bagian
kepala, melainkan sekadar dari kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.

Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang diwajib diusap pada


bagian kepala adalah seluruh bagian kepala. Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan
untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun depannya.

Asy-syafi`iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah sebagian
dari kepala, meskipun hanya satu rambut saja. Dalil yang digunakan beliau adalah
hadits Al-Mughirah : Bahwa Rasulullah SAW ketika berwudhu` mengusap ubunubunnya dan imamahnya (sorban yang melingkari kepala).

5. Mencuci kaki hingga mata kaki.


Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah membasahi mata
kakinya itu juga.
6. Tartib
Yang dimaksud dengan tartib adalah mensucikan anggota wudhu secara berurutan dari yang
awal hingga yang akhir.

Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak merupakan bagian dari fardhu wudhu`,


melainkan hanya sunnah muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutan di dalam AlQuran, bagi mereka tidaklah mengisyaratkan kewajiban urut-urutan.

bersikeras mengatakan bahwa tertib urutan anggota yang dibasuh merupakan bagian
dari fardhu dalamwudhu`. Sebab demikianlah selalu datangnya perintah dan contoh
praktek wudhu`nya Rasulullah SAW. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau
berwudhu` dengan terbalik-balik urutannya. Dan membasuh anggota dengan cara
sekaligus semua dibasahi tidak dianggap syah.

7. Al-Muwalat / Tidak Terputus


Maksudnya adalah tidak adanya jeda yang lama ketika berpindah dari membasuh satu
anggota wudhu` ke anggota wudhu` yang lainnya. Ukurannya menurut para ulama adalah
selama belum sampai mengering air wudhu`nya itu.
8. Ad-Dalk
Yang dimaksud dengan ad-dalk adalah mengosokkan tangan ke atas anggota wudhu setelah
dibasahi dengan air dan sebelum sempat kering. Hal ini tidak menjadi kewajiban menurut
jumhur ulama, namun khusus Al-Malikiyah mewajibkannya. Sebab sekedar menguyurkan
air ke atas anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti yang dimaksud dalam AlQuran.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU`
Ada 6 perkara.
HAL-HAL YANG
NO
MEMBATALKAN
Al-Hanafiyah
Al-Malikiyah
As-Syafi`i
Al-hanabalah
WUDHU`
Batal jika kelua
Keluarnya sesuatu lewat dua
sesuatu yang lazim
1
Batal
Batal
Batal
lubang qubul atau dubur
juga dari lubang yang
lazim
Batal walaupun
Tidur yang bukan dalam
2
Batal
Batal jika pulas
Batal
dalam posisi
posisi tamakkun
tamakkun

Hilang Akal Karena Mabuk,


Batal
Batal
Tidur Atau Sakit
Menyentuh Kemaluan
4
Tidak batal
Batal
dengan telalapak tangan
Menyentuh kulit lawan jenis
Batal jika merasa
5
Tidak Batal
yang bukan mahram
lezat
Keluarnya Sesuatu dari
6
Batal
Tidak Batal
badan
1.
Keluarnya sesuatu lewat dua lubang qubul atau dubur.
3

Batal

Batal

Batal

Batal

Batal

Batal dengan syahw

Tidak Batal

Menurut al-Malikiyah keluar sesuatu yang tidak lazim seperti batu, darah atau nanah
tidak membatalkan wudhu jika sesuatu tersebut terbentuk didalam usus (bukan
karena menelan batu)

2. Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun di atas bumi (tidak memungkinkan keluar
sesuatu dari dubur).

Menurut al-Hanabalah tidur membatalkan wudhu secara mutlaq.

Menurut al-Malikiyah tidur pulas dapat membatalkan wudhu baik tamakkun aatau
tidak, sementara tidur tidur ringan tidak membatalkan wudu

3. Hilang Akal Karena Mabuk, Tidur Atau Sakit


4. Menyentuh Kemaluan dengan telalapak tangan
Menurut Madzhab Hanafi menyentuh kemaluan dengan tangan tidak batal wudu.
5. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram

Menurut as-Syafii membatalkan wudu tampa lapis selain rambut, kuku dan gigi.

Menurut al-Hanafiyah tidak batal wudu samasekali.

Menurut al-Malikiyah membatalkan wudhu apabila dengan kelezatan atau


bermaksud kelezatan walaupun dengan lapis tipis, baik kulit, rambut. Juga Menyentuh
amrod aljamil hukumnya sama.

Menurut al-Hanabalah membatalkan wudhu dengan syahwat, Ajnabi atau


Muhrim. Tidak batal wudu bagi yang di sentuh.

6. Keluarnya Sesuatu dari badan, seperti darah, nanah dan semacamnya, akibat luka atau
lainnya.
Catatan :

Mereka sepakat bahwa Murtad juga menyebabkan batalnya wudu kecuali al


Hanafiyah.

Namun al Hanafiyah berpendapat Ketawa dalam solat juga menyebabkan batal


wudu.

Tidak Batal

makan daging kambing atau unta menurut al-Hanabalah termasuk yang


membatalkan wudu, dan juga memandikan jenazah.

Ragu terhadap hadats membatalkan wudu menurut al-Malikiyah.

3. Artinya:
" Aku niat melakukan tayammum agar dapat mengerjakan shalat, fardlu karena
Allah ta ala "

4. BAB 07 HAID
Haid secara bahasa berarti: Mengalir, sedangkan secara terminologis (istilah) rnenurut
para ahli fiqih berarti: Darah yang biasa keluar pada diri seorang wanita pada hari-hari
tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan meninggalkan ibadah dan
menjadi patokan selesainya iddah bagi wanita yang dicerai. Biasanya darahnya
berwarna hitam atau merah kental (tua) dan panas. la mempunyai daya dorong, tetapi
kadang-kadang ia keluar tidak seperti yang di-gambarkan di atas, karena sifat-sifat
darah haid sesuai dengan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Usia Wanita
Haid Semua ulama mazhab sepakat bahwa wanita itu tidak akan haid kalau belum
berusia sembilan tahun. Maka bila datang sebelum usia tersebut, semua sepakat bahwa
itu darah penyakit. Bagitu juga darah yang ke luar dari wanita berusia lanjut. Hanya
mereka berbeda pendapat tentang batas usia lanjut yang haidnya telah
berhenti. Hambali
: Lima puluh tahun. Hanafi
: Lima puluh lima
tahun. Maliki : Tujuh puluh tahun. Syafii : Selama masih hidup haid itu masih
mungkin, sekalipun biasanya berhenti setelah berusia enam puluh dua
tahun. Imamiyah : Batasnya berhenti lima puluh lima tahun bagi wanita-wanita yang
bukan keturunan Quraisy dan juga bagi wanita yang diragukan apakah ia Quraisy atau
bukan. Sedangkan wanita Quraisy biasanya enam puluh tahun. Lamanya Waktu
Haid Hanafi dan Imamiyah: Paling sedikitnya haid itu tiga hari, dan paling banyak
sepuluh hari. Dan darah itu tidak keluar terus-menerus selama tiga hari, atau darah
yang keluar lebih dari sepuluh hari, maka ia bukan darah haid. Hambali dan Syafii:
Paling sedikitnya selama satu hari satu malam, dan paling banyaknya selama lima belas
hari. Maliki: Paling banyaknya lima belas hari bagi wanita yang tidak hamil, sedangkan
sedikitnya tidak ada batas. Semua ulama mazhab sepakat bahwa haid itu tidak ada
batas masa sucinya, yang dipisah dengan dua kali haid. Sedangkan paling sedikitnya tiga
belas hari, menurut Hanafi, Syafii dan Maliki paling sedikit 15 hari. Imamiyah: Paling
sedikitnya masa suci itu adalah paling banyaknya masa haid, yaitu sepuluh hari. Ulama
mazhab berbeda pendapat terjadinya haid dengan hamil secara bersamaan. Apakah
kalau ia sudah nampak hamil masih bisa haid? Syafii, Maliki dan kebanyakan ulama
Imamiyah: Haid dan hamil masih bisa secara bersamaan. Hanafi, Hambali dan
Syaikh al-Mufid dari golongan Imamiyah: Tidak bisa berkumpul secara
bersamaan. Hukum-hukum Haid Bagi wanita haid diharamkan semua yang
diharamkan pada orang yang junub, baik menyentuh Al-Quran dan berdiam di dalam
masjid. Pada hari-hari haid diharamkan berpuasa dan shalat, hanya ia wajib
menggantinya (mengqhada) hari-hari puasa Ramadhan yang ditinggalkannya, tetapi
kalau shalat tidak usah diganti, karena berdasarkan bcberapa hadis dan demi menjaga
(terhindar) kesukaran karena banyaknya mengulang-ulang shalat, tapi kalau puasa
tidak. Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haid, tapi kalau telah terjadi, maka
sah talaknya, hanya menurut empat mazhab orang yang mentalaknya itu berdosa,
sedangkan menurut Imamiyah talaknya itu batal kalau suami itu telah

menyetubuhinya, atau suaminya masih berada di sisinya, atau istri itu masih belum
hamil. Dan sah mentalak istri yang sedang haid, istri yang sedang hamil dan belum
disetubuhi serta bagi wanita yang sedang ditinggal suaminya. Keterangan lebih rinci,
Insya Allah akan dijelaskan nanti dalam bab talak. Semua ulama mazhab sepakat
bahwa mandi haid tidak cukup tanpa wudhu, karena wudhunya wanita haid dan
mandinya tidak dapat menghilangkan hadas. Mereka juga sepakat untuk mengharamkan
menyetubuhi wanita pada hari-hari haid. Sedangkan kalau menikmatinya di antara lutut
dan pusar, menurut Imamiyah dan Hambali: Boleh secara mutlak, baik dengan alingaling maupun tidak. Pendapat Maliki yang terkenal adalah tidak boleh walau ada alingaling (batas). Hanafi dan Syafii: Diharamkan kalau tanpa aling-aling tetapi bila dengan
aling-aling adalah boleh. Pendapat kebanyakan ulama fiqih Imamiyah: Kalau suaminya
telah dikalahkan oleh nafsu seksualnnya, lalu ia mendekati istrinya yang sedang haid,
maka ia harus membayar kifarah (denda) dengan satu dinar kalau ia mengerjakannya
pada masa awal haid; Tetapi jika ia mengerjakannya pada pertengahan haid, ia harus
membayarnya setengah dinar; dan kalau ia mengerjakannya pada akhir masa haid, ia
harus membayarnya seperempat dinar. Syafii dan Maliki: Disunnahkan bersedekah,
tetapi tidak diwajibkan. Sedangkan wanitanya (istrinya) tidak perlu (ada kewajiban)
membayar kifarah, menurut semua ulama mazhab tetapi ia tetap berdosa kalau ia
suka dan menurutinya Cara-cara Mandi Mandi haid sama seperti mandi junub, baik dari
segi airnya, ia wajib air muthlak, dari sucinya, wajib suci badannya, dan tidak ada
sesuatu yang mencegah sampainya air ke badan, niat, memulai dari kepala, kemudian
dari bagian tubuh yang kanan, lalu bagian tubuh yang kiri, menurut Imamiyah, dan
cukup dengan menceburkan semua badannya sekaligus ke dalam air. Empat Mazhab:
Meratakan air ke semua badannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada
pembahasan tentang mandi junub, tanpa ada perbedaan.

Anda mungkin juga menyukai