Anda di halaman 1dari 12

Kewarganegaraan Ganda Terbatas

Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 mengenai Kewarganegaraan Republik


Indonesia, Pasal 41 mengenai Tata Cara Pendaftaran untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI
dan Pasal 42 mengenai Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI, yang dimaksud dengan
anak adalah anak yang lahir sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 diundangkan dan
belum berusia 18 tahun atau belum kawin.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI menggantikan UndangUndang Kewarganegaraan yang lama, yakni Undang-Undang No. 62 Tahun 1958. Hal ini
dimaksud untuk tetap memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak yang lahir dari
perkawinan campur antara WNI dengan WNA atau anak-anak yang karena tempat
kelahirannya mendapatkan kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya.
Penerapan Pasal 41 merupakan bentuk perubahan asas yang diterapkan dari Undang-Undang
No. 62 Tahun 1958 yang secara murni menganut asas Ius Songuinis, dimana penentuan status
kewarganegaraan ditarik dari garis keturunan ayah.
Ketentuan ini dirasa tidak memberikan perlindungan bagi anak-anak yang lahir dari
perkawinan campur antara Ibu yang berkewarganegaraan Indonesia dengan Ayahnya yang
berkewarganegaraan asing.
Dengan diterapkannya pasal 41, maka anak yang menjadi subyek pasal tersebut dapat
memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan mengajukan permohonan.
Subyek Pasal 41 adalah anak-anak yang termasuk dalam ketentuan Pasal 4, yaitu :

Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang Ayah WNI dengan Ibu WNA
(Pasal 4 huruf c).

Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang Ayah WNA dengan Ibu WNI
(Pasal 4 huruf d).

Lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang Ibu WNA yang diakui oleh seorang
ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin (Pasal 4 huruf h).

Anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah
dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan (Pasal 4 huruf l).

Penerapan Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas


Prinsip utama penerapan asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah untuk memberikan
perlindungan yang maksimal/sebaik-baiknya bagi anak yang karena latar belakang

perkawinan orang tuanya maupun karena tempat kelahiran anak tersebut selain berstatus WNI
juga memperoleh status WNA. Di sisi lain, bahwa secara hukum anak tersebut dianggap
belum cukup dewasa untuk menentukan status kewarganegaraanya sendiri (usia belum
mencapai 18 tahun atau belum kawin).
Penerapan kewarganegaraan ganda terbatas, anak tidak secara otomatis menjadi WNA
sebagai akibat latar belakang perkawinan orang tuanya maaupun tempat kelahirannya.
Setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin diwajibkan anak tersebut untuk menentukan
pilihan kewarganegaraannya karena UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan
ganda.
Jika anak yang bersangkutan memilih kewarganegaraan Indonesia, dengan demikian status
kewarganegaraannya adalah tunggal, yaitu kewarganegaraan Indonesia.

Tidak ada perubahan atas status/hak-hak kewarganegaraan Indonesianya, termasuk


masa berlaku paspor.

Jika anak yang bersangkutan tidak secara aktif melakukan pilihan maka anak tersebut
memenuhi syarat sebagai WNI yang kehilangan kewarganegaraannya. Dengan demikian,
status kewarganegaraan Indonesia yang bersangkutan menjadi gugur/hilang sehingga
statusnya menjadi WNA.

Orang-orang tanpa Kewarganegaraan


Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, menjabarkan definisi pengungsi sebagai seseorang
yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh
alasan an ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan
partai politik tertentu, berada diluar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan
perlindungan dari Negara teresebut.
Ketika seorang pengungsi meninggalkan negara asalnya atau tempat Seseorang yang stateless
adalah seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan di Negara manapun. Di Indonesia,
meskipun sulit mengidentifikasi jumlah dan lokasi dari orang orang stateless, melalui
review dibelakang meja dan diskusi dengan para LSM, academia, instansi pemerintah dan
populasi stateless (melalui aktivitas penilaian partisipatoris) dapat diketahui bahwa keadaan
tanpa kewarganegaraan dialami oleh orang orang dibawah ini:

Etnis Indonesia Cina yang tidak memiliki dokumen untuk membuktikan


kewarganegaraan Indonesia, karena status kewarganegaraannya tercatat secara salah
dalam dokumen registrasi sipil mereka dan mereka yang tidak dikenal sebagai warga
negara Cina maupun Indonesia.

Etnis Arab dan India yang tidak memiliki dokumen untuk membuktikan
kewarganegaraan mereka atau status kewarganegaraan mereka tercatat secara salah
dalam dokumen registrasi sipil mereka.

Pekerja migran Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya berdasarkan Undang


undang tahun 1958 tentang ketentuan tinggal di luar negeri yang diperpanjang dan
tidak dapat memperoleh kewarganegaraan berdasarkan Undang undang tahun 2006.

Sejumlah kecil orang Indonesia yang diasingkan keluar Indonesia karena pada saat ia
terkait konflik politik di tahun 1965 dan menjadi stateless.

Orang lainnya yang menjadi stateless karena tergolong sebagai migrant tanpa
dokumen dari Cina, yang telah lama tinggal di Indonesia. Kelompok ini bermigrasi ke
Indonesia tapi tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia karena mereka tidak lahir di
Indonesia.

Baik Kementrian Dalam Negeri maupun Kementrian Hukum dan HAM, dengan bantuan
komunitas sipil di Indonesia telah mengambil langkah langkah penting untuk mengatasi
masalah statelessness di Indonesia. Undang undang Kewarganegaraan 2006 yang baru
memungkinkan akuisisi atau penerimaan kewarganegaraan dan penerimaaan kembali
kewarganegaraan bagi orang orang yang stateless.
Masalah Kewarganegaraan

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak


mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik
Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat
tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di
Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa
menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan
pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan
anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak
terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan
anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak
nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal
tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
2. Menjadi warganegara asing

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia
dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing
sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin
Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak
murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun
pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk
memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada
dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya
kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang
memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau
belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan
anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila
anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Menurut UU Kewarganegaraan Baru :
A. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau


universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.seseorang
berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Ius berarti hukum atau pedoman, sedangkan Soli dari kata Solum yang berarti negeri. Jadi
Ius Soli adalah penentuan status kewarganegaraan berdasarkan tempat atau daerah kelahiran
seseorang.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)


ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada
anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu
(apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis
menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.

B. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA,
maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama
diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah
kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anakanak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian
kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak.
Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam
hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam
Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal.
Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal
yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum
nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada
dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal
tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang
termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anakanak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal
status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki
potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas
nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila
ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak
ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan
yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.
Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan
negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat
materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun
hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti
hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan
dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah
garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal
8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan
yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu itu semua tergatung dari ketentuan mana yang harus
diikutinya. Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum
perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini.

Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia

Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI adalah kartu
identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia.
Walaupun demikian, SBKRI hanya diberikan kepada warganegara Indonesia keturunan,
terutama keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI adalah salah satu syarat yang harus
dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan, seperti kartu tanda penduduk (KTP),
memasuki dunia pendidikan, permohonan paspor, pendaftaranPemilihan Umum, sampai
menikah dan meninggal dunia dan lain-lain. Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai
perlakuan diskriminatif dan sejak Orde Reformasi telah dihapuskan, walaupun dalam
praktiknya masih diterapkan di berbagai daerah.

Sejarah

Dasar hukum SBKRI adalah Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang Kewarga-negaraan
Republik Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan
disahkan oleh Presiden Soekarno.
Salah satu alasan utama yang selalu dikemukakan adalah bahwa kebijakan SBKRI
merupakan konsekuensi dari klaim politik pemerintahan Mao Zedong bahwa semua orang
Tionghoa di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat
Tiongkok karena asas ius sanguinis (keturunan darah). Kebijaksanaan itu kemudian
ditindaklanjuti dengan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT antara Chou En Lai dan
Mr. Soenario pada 1955.
Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah No 20/1959 tentang Pelaksanaan UndangUndang tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok

disebutkan bahwa ada berbagai kelompok WNI yang dikelompokkan sebagai WNI tunggal
atau mereka yang tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRT dan tetap
menjadi WNI, yaitu untuk mereka yang berstatus misalnya tentara, veteran, pegawai
pemerintah, yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia Internasional, petani
atau bahkan secara implisit mereka yang sudah pernah ikut Pemilu 1955. Tapi peraturan ini
tidak dilaksanakan dan tetap saja perjanjian dwikewarganegaraan dengan kewajiban memilih
kewarganegaraan RI atau RRT diterapkan kepada mereka.
Perjanjian Dwikewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU No 2/1958 pada
tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP No 20/1959 dengan masa opsi 20
Januari 1960 hingga 20 Januari 1962, sudah menyelesaikan permasalahan
dwikewarganegaraan RI-RRT. Dengan demikian, setelah perjanjian dwikewarganegaraan
tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI
Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20
Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi
untuk memilih kewarganegaraan lain-selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum
UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.

Kronologi

Orde Lama (era Soekarno)


1946 Indonesia pada tahun 1946 telah jelas mengundangkan bahwa Indonesia menganut
azas ius soli. Siapa saja yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Dengan
demikian, secara otomatis, orang Tionghoa yang ada di Indonesia sejak Proklamasi 1945
adalah WNI suku Tionghoa.
1949 Belanda mengharuskan Indonesia mendasarkan peraturan kewarganegaraannya ke
zaman kolonial bila ingin mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda. Orang Tionghoa di
Indonesia kembali diharuskan memilih ingin jadi WNI atau tidak.
1955 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRT dan Indonesia ditandatangani. Karena
ada klaim dari Mao Zedong bahwa RRT menganut azas ius sanguinis, siapa yang lahir
membawa marga Tionghoa (keturunan dari laki-laki Tionghoa) maka ia otomatis menjadi
warga negara Tiongkok. (Hal ini merupakan alasan politik untuk menggalang dukungan dari
kalangan Tionghoa perantauan seperti yang dilakukan oleh ROC Taiwan (nasionalis)). Di
KAA Bandung, Zhou Enlai menyatakan bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia berutang
kesetiaan pada negara leluhur. Mao di satu pihak meluncurkan kebijakan ini, namun di lain
pihak merasa keturunan Tionghoa di luar negeri adalah masih memihak kepada ROC yang
nasionalis.
1958 Perjanjian dituangkan dalam UU, menegaskan bahwa orang Tionghoa di Indonesia
kembali diperbolehkan memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Batas waktu

pemilihan sampai pada tahun 1962. Yang memilih menjadi WNI tunggal harus menyatakan
diri melepaskan kewarganegaraan Tiongkok.

Orde Baru (era Soeharto)


1969 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang surat pernyataan Dwi
Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila tidak menyatakan
keinginan menjadi WNI.
1978 Peraturan Menteri Kehakiman mewajibkan SBKRI bagi warga Tionghoa.
1983 Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa SBKRI hanya wajib bagi mereka
yang mengambil surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan lalu menyatakan keinginan menjadi
WNI. Jadi bagi WNI tunggal dan keturunannya (yang telah menyatakan menjadi WNI
tunggal sebelum tahun 1962 dan yang keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang
lahir setelah tahun 1962) tidak diperlukan SBKRI.
1992 Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa anak2 keturunan dari orang
Tionghoa pemegang SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang tua sebagai bukti mereka
adalah WNI.
1996 Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi atas Keputusan Presiden. Namun tidak
banyak yang tahu karena kurangnya sosialisasi.

era Reformasi
1999 Keputusan Presiden tahun 1996 itu diperkuat sekali lagi dengan Instruksi Presiden
tahun 1999.

Perkembangan terakhir

Pada tanggal 8 Juli 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Di pasal 4 butir 2 berbunyi, Bagi warga negara Republik Indonesia yang telah memiliki
Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan
kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda
Penduduk, atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut.

Sedangkan pasal 5 berbunyi, Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala
peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI,
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pada 1999, dikeluarkan Instruksi Presiden No 4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan
Presiden No 56/1996 yang menginstruksikan tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa
yang sudah menjadi WNI.
Namun sebenarnya, praktik persyaratan SBKRI masih tetap ada di birokrasi pemerintahan
karena kurangnya sosialisasi pemberlakuan Keppres ini dan juga karena lemahnya sistem
hukum Indonesia yang menyebabkan peraturan perundang-undangan dapat begitu saja
diabaikan.
Informasi Umum Mengenai Kewarganegaraan Republik Indonesia
1. Dasar
Undang-undang no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
diundangkan tanggal 1 Agustus 2006 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 63.
2. Siapakah Warga Negara Indonesia?
A. Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI) adalah:
1. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan
perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undangundang no. 12 tahun 2006 berlaku, telah menjadi Warga Negara Indonesia
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu Warga
Negara Asing ( selanjutnya disingkat WNA )
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI
5. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang seorang ibu WNI, tetapi
ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
6. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari
perkawinan yang sah dan ayahnya itu seorang WNI
7. anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu WNI
8. anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang
ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 tahun atau belum kawin

9. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
10. anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah negara Republik Indonesia selama
ayah dan ibunya tidak diketahui
11. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
12. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari ayah dan ibu
WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
13. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
B. Selain itu, tetap diakui pula sebagai Warga Negara Indonesia bagi:
1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum
kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing;
2. anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga
negara asing berdasarkan penetapan pengadilan.
C. Kewarganegaraan juga diperoleh bagi anak sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia;
2. Anak WNA yang belum berusia 5 tahun yang diangkat anak secara sah menurut
penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia.
Disamping status kewarganegaraan diperoleh melalui cara di atas, dimungkinkan pula
perolehan Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. WNA
yang kawin secara sah dengan WNI dan telah tinggal diwilayah negara Republik Indonesia
sedikitnya 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, juga dapat memperoleh
Kewarganegaraan Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warganegara
dihadapan Pejabat yang berwenang. Perolehan kewarganegaraan melalui kedua proses ini
tidak boleh mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
3. Dwikewarganegaraan terbatas
Khusus bagi anak sebagaimana kriteria diatas, dalam hal status Kewarganegaraan Indonesia
bagi anak tersebut berakibat anak berkewarganegaraan ganda, maka setelah berusia 18 tahun
atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Pernyataan ini harus disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah
anak berusia 18 tahun atau sudah kawin (Pasal 60 Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007).
Apabila anak tersebut tidak mengajukan pernyataan memilih kewarganegaraan Indonesia,
termasuk akibat lali, maka kewarganegaraan Indonesia-nya menjadi gugur sejak ia berusia 21

tahun atau 3 tahun sejak menikah. Ia diwajibkan untuk mengembalikan kepada Pemerintah
RI segala keputusan, dokumen atau surat lain yang membuktikan identitas anak sebagai WNI
dalam waktu 14 hari sejak ia kehilangan kewarganegaraan Indonesia tersebut. (lihat Ps. 65 PP
no. 2/2007)
4. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:
1. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
2. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang
bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
3. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri,
yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di
luarnegeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan;
4. masuk kedalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;(tidak
berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan dinegara lain yang
mengharuskan wajib militer);
5. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam
itu di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh WNI;
6. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing
atau bagian dari negara asing tersebut;
7. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang besifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
8. mempunyai paspor atau surat bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat
diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negaralain atas
namanya; atau
9. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun
terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan
sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka
waktu 5 tahun itu berakhir, dan setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI kepada Perwakilan RI yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan RI tersebut
telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang
bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Kehilangan kewarganegaraan Indonesia dapat terjadi pula akibat perkawinan dikarenakan
bekerjanya hukum kewarganegaraan negara pasangannya tersebut. Bagi mereka ini, jika ingin
tetap berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat
atau Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda.

5. Dapatkah kembali berkewarganegaraan RI


Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali
kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan. Khusus bagi mereka yang kehilangan
kewarganegaraan RI akibat perkawinan atau karena tinggal lebih dari 5 tahun secara terus
menerus di luar negeri, dapat memperoleh status WNI melalui proses memperoleh kembali
kewarganegaraan tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai