genetik dari penyakit defisiensi G6PD penting untuk menentukan apakah seseorang akan
menderita penyakit ini. Gen G6PD terdapat pada lokus q28 kromosom X dan merupakan
penyakit genetik bersifat resesif-terpaut kelamin yang lebih banyak diderita oleh pria daripada
wanita. Penyakit akibat defisiensi G6PD pada wanita akan muncul bila terdapat dua kopi gen
yang defektif dalam genomnya. Selama terdapat satu kopi nor-mal gen G6PD pada seorang
wanita akan diproduksi enzim normal sehingga wanita tersebut hanya seorang karier (pembawa
sifat) dengan fenotipe normal. Pada pria hanya terdapat satu kromosom X sehingga satu gen
yang defektif pasti menyebabkan defisiensi G6PD.
Dari penelitian pada level DNA diketahui bahwa gen G6PD pada manusia berukuran
18.500 pb, mempunyai 13 exon, 12 'coding' exon, 2269 nukleotida mRNA, dan 515 asam amino
(WHO, 1989). Struktur 3 dimensi yang lengkap dari enzim ini belum dapat ditentukan. G6PD
adalah bentuk enzim yang aktif, terbentuk dari dua atau empat subunit yang identik dengan berat
molekular masing-masing subunit sekitar 59 kilo Dalton. Dari data molekular di atas timbul
pertanyaan, "Apakah penyebab defisiensi G6PD berada di tingkat molekular?"
Dewasa ini studi dalam penyakit G6PD memperlihatkan kerusakan molekular pada
berbagai varian G6PD. Perubahan dari A menjadi G pada nukleotida 376 pada exon 5
menyebabkan subtitusi dari asparagin menjadi asam aspartat pada posisi asam amino 126.
Peru~ahan tersebut berkaitan dengan kecepatan elektroforesis yang lebih besar pada varian A dan
A- ( varian yang umum di Afrika) dibandingkan varian B (normal). Mutasi kedua pada varian Ayaitu perubahan G menjadi A pada nukleotida 202 pada exon 4 yang melibatkan substitusi valine
oleh methionine pada asam amino ke 28 dan diduga berkaitan dengan penurunan kestabilan
enzim G6PD (Gelehrter et al., 1998). Pada varian Mediterranean yang dapat menyebabkan
anemia hemolitik terdapat adanya perubahan C menjadi T pada nukleotida ke 563 pada exon 6
dan substitusi serine menjadi fenilalanin pada asam amino 188. Perubahan molekular ini
menurunkan aktivitas katalitik dan stabilitas enzim pada varian Mediterranean yang mempunyai
prevalensi di beberapa populasi Mediterrania dan Asia (Saha et al., 1994).
berdasarkan aktivitas G6PD pada sel darah merah, kecepatan elektroforesis, konstanta Michaelis
(Km), kecepatanrelatif penggunaan 2-deoksiglukosa-6-fosfat, dan stabilitas thermal. (WHO,
1967). (Beut1er E., 1996, Hematologically Important Mutations: Glucose-6-phosphate
Dehydrogenase, Blood Cells, Molecules, and Diseases 29:49-56.)
Difesiensi G6DP
Defisiensi Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan defek enzim herediter dari
eritrosit manusia yang paling sering ditemukan (Zhao,2010). Enzim G6PD bekerja pada jalur
fosfat pentosa metabolisme karbohidrat. Diwariskan secara X-linked, oleh karena itu mutasi pada
gen
G6PD,
ditemukan
lebih
banyak
pada
laki-laki
daripada
perempuan
yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membrane eritrosit dari oksidan. Defisiensi
enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat mempermudah dan
mempercepat hemolisis. Yang paling sering mengalami defisiensi adalah G6PD. G6PD adalah
enzim "housekeeping" yang melakukan fungsi-fungsi vital di seluruh sel tubuh. Namun, dalam
eritrosit yang tidak memiliki nukleus, mitokondria, organel lainnya, ada hambatan tertentu pada
metabolisme dan enzim ini memiliki peran penting. G6PD mengkatalisis langkah pertama dari
jalur fosfat pentosa (jalur heksosa monofosfat), sejumlah reaksi sampingan dari jalur utama
glikolisis dalam eritrosit dan dalam semua sel tubuh (Katherina, 2012)
Metabolisme glukosa melalui jalur heksosa monofosfat meningkat beberapa kali ketika
eritrosit terpapar dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal bebas. G6PD
menginisiasi jalur ini dengan menjadi katalis oksidasi glukosa-6-fosfat menjadi 6phosphogluconolactone oleh ko-enzim nikotinamida adenin-dinucleotidephosphate (NADP),
yang dikurangi menjadi NADPH. 6-phosphogluconolactone menghidrolisis secara spontan untuk
6-phosphogluconate. Ini berfungsi sebagai substrat untuk 6-phosphogluconate dehidrogenase dan
NADP. Langkah kedua dalam jalur enzimatik ini juga berhubungan dengan pengurangan
NADP+ untuk NADPH. NADPH dihasilkan sebagai akibat dari reaksi mengurangi glutation
teroksidasi (GSSG) untuk mengurangi glutation (GSH) dalam reaksi dikatalisis oleh glutation
reduktase. GSH kemudian mengurangi hidrogen peroksida, oksidan kuat yang dihasilkan dalam
metabolisme sel dan sebagai konsekuensi dari respon inflamasi, dan oksidan endogen dan
eksogen lainnya, pada reaksi katalis oleh glutathione peroksidase (Katherina, 2012).
Fungsi utama dari jalur fosfat pentosa adalah menghasilkan kapasitas pengurangan
melalui produksi NADPH dan akhirnya GSH. Hanya ini mekanisme yang tersedia bagi eritrosit
untuk menghasilkan kapasitas pengurangan dan sehingga penting untuk kelangsungan hidup sel,
sedangkan pada sel lain dari tubuh berarti produksi NADPH tetap ada dan jalur pentosa fosfat
hanya untuk 60% dari produksi NADPH(Greene,1993). GSH dihasilkan melalui jalur fosfat
pentosa, seperti diuraikan di atas, melindungi hanya terhadap stres oksidan dalam eritrosit.
Dalam eritrosit yang normal tanpa tekanan G6PD, aktivitas G6PD hanya sekitar 2% dari total
kapasitas. Ini meningkatkan kemungkinan terhadap tantangan dari stres oksidan dan GSH
dipertahankan pada tingkat stabil. Namun, eritrosit defisiensi G6PD telah sangat mengurangi
aktivitas G6PD (10 sampai 20% dari normal pada G6PD A (-) dan 0 sampai 10% dari normal
pada G6PD Mediteranian dan varian serupa). Peningkatan stress oksidan dapat menyebabkan
penipisan GSH ditandai sebagai kemampuan dari defisiensi G6PD untuk menghasilkan NADPH
terlampaui oleh tingginya tingkat kehilangan GSH(Greene,1993). Stres oksidan tidak
terkompensasi dalam eritrosit normal (atau lebih mudah dalam eritrosit defisiensi G6PD)
menghasilkan oksidasi hemoglobin menjadi methem-globin, pembentukan Heinz body, dan
kerusakan membran. Jika terjadi sangat berat akan mengakibatkan hemolisis, sementara bila
terjadi lebih ringan tetapi stres oksidan tidak terkompensasi akan mengurangi kemampuan
eritrosit dan meningkatkan kemungkinan bahwa eritrosit akan dikeluarkan dari sirkulasi ke
sistem retikuloendotelial. Akibat hilangnya eritrosit , hematopoiesis ditingkatkan karena tubuh
berusaha untuk mempertahankan fungsi normal vaskular, dan ada banyak retikulosit yang
dikeluarkan (eritrosit muda dilepaskan dari sumsum tulang). Retikulosit biasanya mencapai
kurang dari 1% eritrosit total, tapi berikut hemolisis dapat terdiri sampai 15% dari eritrosit
(Greene,1993). Efek dari usia eritrosit pada aktivitas eritrosit-G6PD G6PD adalah enzim agedependent. Dalam G6PD B yang normal aktivitas eritrosit dari G6PD menurun secara
eksponensial, dengan waktu paruh 62 hari. Namun, meskipun ini kehilangan aktivitas enzim
G6PD B eritrosit yang lebih tua mengandung aktivitas G6PD yang cukup untuk
mempertahankan kadar GSH dalam menghadapi suatu stres oksidan dan usia rata-rata G6PD B
eritrosit adalah 100 hingga 120 hari (Greene,1993). Pada eritrosit dengan defek G6PD A (-)
adalah karena ketidakstabilan enzim yang lebih besar. Secara baru terbentuk G6PD A (-) eritrosit
mempunyai aktivitas enzimatik yang sama seperti eritrosit yang baru dibentuk dari individu
G6PD B. Namun, aktivitas G6PD dari sel ini menurun dengan cepat. Waktu paruh dari G6PD A
(-) eritrosit hanya 13 hari, dan pada individu G6PD A (-) populasi terdiri dari campuran eritrosit
terus menurunkan tingkat aktivitas (Greene,1993). Pada individu G6PD A (-) ras afrika, enzim
G6PD lebih besar ketidakstabilannya, waktu paruh eritrosit ini hanya sekitar 8 hari. Retikulosit
yang dilepaskan ke dalam sirkulasi pada orang ras afrika telah mengurangi kadar G6PD dan
eritrosit dewasa memiliki tingkat enzim biasanya dibawah 1% aktivitas normal (Katherina, 2012)
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah:
konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria WHO anemia
adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita.1
Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar
hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini digunakan
untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan.1 Anemia merupakan tanda adanya
penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya.
Anamnesis, pemeriksaan fi sik dan pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi
penderita anemia. (Amaylia Oehadian.2012)
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia, juga
kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang terjadi perlahan-lahan,
karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen.1 Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor1 :
Daftar Pustaka
Beuler, E., Vulliamy T., Luzatto, L.,1996, Hematologically Importartant Mutations: Glucose-6Phosphate Dehydrogenase, Blood Cells, Molecules, and Diseases 22(4):49-56.
Gelehrter, T.D.,Collins,F.S.,GinsburgD., 1998, Principles of Medical Genetics, 200! ed, Williams
& Wilkins
WHO Technical Report Series, 1967, Standardization of procedures for the Study of Glucose-6Phosphate Dehydrogenase, WHO, Geneva.
WHO Working Group, 1989, Glucose-6- phosphate dehydrogenase deficiency. Bull WHO
67:601-611.
Saha, N., Saha, A., Tay, ].S.H., ]eyaseelan, K., Basair, .J.B., Chew, S.E., 1994, Molecular
Characterisation of Red Cell Glucose-6- Phosphate Dehydrogenase Deficiency in
Singapore Chinese, American Journ. of Hematology 47:273-277.
Cappellini,M.D. and Fiorelli,G., 2008, Glucosa-6-Phosphate Dehidrogenase Deficiency, Lancet
371: 64-74.
Greene,L.S.,1993, G6PD Deficiency as Protection Against falciparumMalaria: An
Epidemiologic Critique of Population andExperimental Studies, Yearbook Of Physical
Anthropology 36:153178. 3.
Rinaldi,I. dan Sudoyo,A.W., 2009, Anemia Hemolitik Non Imun,Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V: 1157-59
Amaylia Oehadian. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia Subbagian Hematologi
Onkologi Medik, Bagian Penyakit Dalam RS Hasan Sadikin. Bandung CDK-194/ vol. 39
no. 6, th. 2012