Anda di halaman 1dari 38

Diskusi Topik ILMU KESEHATAN ANAK

Kejang Demam, Ensefalitis dan Meningitis

Penyaji:
Andrew Lukman (NIM: 07120110067)
Pembimbing:
dr. Irene. A.O, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 30 NOVEMBER 2015 6 FEBRUARI 2016
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK - JAKARTA

BAB I
Pendahuluan
Kejang Demam
Kejang demam ialah kejang yang terjadi pada anak usia 6-60 bulan dengan
kenaikan suhu tubuh 38o C yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam sederhana biasanya tonik-klonik, serangan berhubungan dengan
demam, yang berlangsung selama 15 menit, dan tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam kompleks biasanya > 15 menit, dengan gejala fokal, dan / atau
berulang dalam waktu 24 jam. Status epileptikus demam adalah kejang demam yang
berlangsung> 30 menit. 1,2,4
Antara 2% dan 5% dari bayi neurologis yang sehat dan anak-anak mengalami
setidaknya 1, biasanya sederhana, kejang demam. Kejang demam sederhana tidak
memiliki peningkatan risiko kematian meskipun mereka tentang ke orang tua.
Kejang demam Sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum
tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam.4 Kejang demam kompleks adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8 % kejangn demam.4
Antiperetik dengan parasetamol dosis yang digunakan adalah 10 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5
10 mg/kgBB/kali, 3 4 kali sehari. Antikonvulsan dengan diazepam oral dosis 0,3
mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada
30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8
jam pada suhu > 38,5oC.

Ensefalitis
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan
oleh virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan
masalah pada fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.6,7
Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer (acute viral ensefalitis)
disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis. Dan ensefalitis
sekunder (post infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi infeksi virus
saat itu.7
Kejadian terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian
tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.6 Secara umum gejala berupa trias
ensefalitis adalah Demam, Kejang dan penurunan kesadaran.6
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan
fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan apabila
pasien panas. Mannitol juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam
periode 8-12 jam.6,7

Meningitis
Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi pada
selaput otak (meninges), meliputi dura mater, araknoid mater, dan pia mater.8
Ketiganya berfungsi sebagai pelapis otak dan medulla spinalis. Proses peradangan
atau inflamasi ini dapat didasari oleh beberapa etiologi (infeksi dan non-infeksi), serta
dapat diidentifikasi oleh adanya peningkatan kadara leukosit di dalam likuor
cerebrospinal (LCS).8,9
Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset demam
yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga dapat
mengeluhkan gejala lain seperti Mual dan muntah, Kejang, Fotofobia dan Penurunan
kesadaran.8
Pada anak yang kejang, dapat diberikan terapi sesuai dengan tatalaksana
kejang. Yaitu pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB secara intravena perlahan-lahan,
apabila kejang masih berlanjut, kembali berikan diazepam dengan dosis dan cara yang
sama. Jika kejang masih belum berhenti, berikan fenobarbital dengan dosis awal 1020 mg/kg BB, secara intramuskular, 24 jam kemudia, diberikan dosis maintenance 45 mg/kg BB h hari.8,9,10

BAB II
Tinjuan Pustaka

Kejang Demam
Definisi
Kejang demam ialah kejang yang terjadi pada anak usia 6-60 bulan dengan
kenaikan suhu tubuh 38o C yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam sederhana biasanya tonik-klonik, serangan berhubungan dengan
demam, yang berlangsung selama 15 menit, dan tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam kompleks biasanya > 15 menit, dengan gejala fokal, dan / atau
berulang dalam waktu 24 jam. Status epileptikus demam adalah kejang demam yang
berlangsung> 30 menit. 1,2,4

Epidimiologi
Antara 2% dan 5% dari bayi neurologis yang sehat dan anak-anak
mengalami setidaknya 1, biasanya sederhana, kejang demam. Kejang demam
sederhana tidak memiliki peningkatan risiko kematian meskipun mereka tentang ke
orang tua. Kejang demam kompleks mungkin memiliki jangka panjang kenaikan
sekitar 2 kali lipat dalam kematian, dibandingkan dengan populasi umum selama
berikutnya 2 tahun, mungkin sekunder untuk hidup bersama patologi. Tidak ada efek
merugikan jangka-panjang memiliki 1 kejang demam sederhana. Secara khusus,
berulang kejang demam sederhana tidak merusak otak. Dibandingkan dengan kontrol
usia yang sama, pasien dengan kejang demam tidak memiliki peningkatan kejadian
kelainan perilaku, kinerja skolastik, fungsi neurokognitif, atau perhatian. Anak-anak
yang berkembang kemudian epilepsi mungkin mengalami kesulitan seperti. Kejang

demam berulang pada sekitar 30% dari mereka yang mengalami episode pertama, di
50% setelah 2 atau lebih episode, dan 50% dari bayi <1 thn di demam kejang onset.
Beberapa faktor yang mempengaruhi risiko kekambuhan. Meskipun sekitar 15% dari
anak-anak dengan epilepsi memiliki kejang demam, hanya 2-7% dari anak-anak yang
mengalami kejang demam melanjutkan untuk mengembangkan epilepsi di kemudian
hari. Ada beberapa prediktor epilepsi setelah kejang demam.4,5

Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:2,3,4

Demamnya sendiri : Kebutuhan O2 meningkat

Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap
otak

Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi

Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit

Gabungan semua faktor diatas

Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam.
Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang
demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis
(DPT) dan morbili (campak).

Faktor resiko
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain
itu juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan
khusus, dan kadar natrium rendah. 1,4

Faktor risiko berulangnya kejang demam1,2,4


Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah :
1. Riwayat kejang demam d alam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan
berulang 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10 % - 15
% kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang paling besar pada tahun
pertama.

Patofisiologi1,5
Masih belum jelas, hippocampus dan termoregulator dihippothalamus imatur
sehingga rentan kejang (agespecificity of the brains sensitivity to fever). Percobaan
otak tikus in vitro, peningkatan temperatur pdhipocampus menginduksi aktivitas
epileptiform
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang 1.Untuk
mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari

metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah glukosa.
Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi
paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel
neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan
sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel
neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas

muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah
dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang
tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih 4.

Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,


meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan
otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme
anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia


sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron.

Klasifikasi1,2,4
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana

merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam. Suhu yang tinggi merupakan


keharusan pada kejang demam sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri,
akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya
pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila dalam riwayat
penderita pada umur umur sebelumnya terdapat periode - periode dimana anak
menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; maka pada
kejang yang terjadi kemudian harus berhati hati, mungkin kejang yang ini ada
penyebabnya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika
suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang
tiba tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada
kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik
klonik seperti kejang grand mal; kadang kadang hanya kaku umum atau mata
mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam
waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak,
dalam hal ini juga kejang demamsederhana masih mungkin.

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)


Kejang dengan salah satu ciri berikut :
1. Kejang lama lebih dari 15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi
pada 8 % kejangn demam4. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang

umum yang didahului kejang parsial(4). Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau
lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16 % diantara anak yang mengalami kejang demam.

Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang disebabkan oleh infeksi
susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media kut, bronkitis, furunkulosis.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. 4

Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2
golongan, yaitu:1,2,3
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).
Modifikasi kriteria Livingston:2
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh
demam.

Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang telah
dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf Anak
IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:

Umur anak ketika kejang antara 6 bulan 6 tahun

Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15menit

Kejang bersifat umum

Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam

Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal


tidak menunjukkan kelainan

Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali

Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan
gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi perlu

diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada kelainan
lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis).

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah. 1,4

b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitiskarena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:1,4
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2. Bayi antara 12 18 bulan dianjurkan.
3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara
klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang

demam. Oleh karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat


dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan
Foto X ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema

Diagnosis Banding
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan
kejang, harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar
susunan saraf pusat (otak). Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis
meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan
meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik maka perlu pertimbangan pungsi
lumbal.

Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Saat Kejang

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3 0,5 mg/kgBB perlahan lahan dengan kecepatan 1
2 mg/menit atau dalam waktu 3 5 menit,dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal.
Dosis diazepam rektal adalah 0,5 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10
kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau
dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal
kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit.Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap
kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena
dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosis awal 10 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya
adalah 4 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.Bila dengan fenitoin
kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamapakah
kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
b. Pemberian Obat Pada Saat Demam

1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya
kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat

diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kgBB/kali diberikan


4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 10 mg/kgBB/kali, 3 4
kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye
terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat
tidak dianjurkan.

2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut
cukup tinggi dan menyebabkanataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25
% - 39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejangdemam.

3. Pemberian Obat Rumat


a. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai
berikut (salahsatu) :
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya

hemiparesis, paresis

todd, cerebral

palsy, retardasi mental,

hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

Kejang demam > 4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakanindikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau
fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.2,3

b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang
demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,
maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dandalam jangka
pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsihati. Dosis asam valproat 15 40
mg/kgBB/hari dalam 2 3 dosis, dan fenobarbital 3 4mg/kgBB/hari dalam 1 2
dosis.

Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak
yang mengalamikejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat
jarang. Angka kejadian pascavaksinasi DPT adalah 6 9 kasus per 100.000 anak yang
divaksinasi, sedangkan setelahvaksinasi MMR 25 34 per 100.000 anak. Dianjurkan
untuk memberikan diazepam oral ataurektal bila anak demam, terutama setelah

vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol


pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.1,2

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saatkejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat efek samping obat

Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya
kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan
pertama. Apabila melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, LennoxBuchthal (1973) mendapatkan:

Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50%
dan pria 33%.

Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya
kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayatkejang 25%.

Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya


Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Livingston (1954) mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9%
yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam
temyata 97% yang menjadi epilepsi.

Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:

Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.

Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.

Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian
hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam
hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981") Pada
penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal Project di
Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak pasca kejang demam diikuti
perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak didapatkan kematiansebagai akibat
kejang

demam. Anak dengan kejang demam ini lalu dibandingkan dengan

saudara kandungnya yang normal, terhadap tes iQ dengan menggunakan


WISC. Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93 pada anak yang pernah mendapat

kejang demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya (kontrol).
Anak yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah abnormal atau dicurigai
menunjukkan gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah daripada
saudara kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative Perinatal
Project ini hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris oleh The National Child
Development-Study* Didapatkan bahwa anak yang pernah mengaiami KD kinerjanya
tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun.2,3,4,5,6
Pada penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan IQ
waktu diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya yang
tanpa kejang demam.4

Encefalitis
Definisi
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan
oleh virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan
masalah pada fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.6,7
Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer (acute viral ensefalitis)
disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis. Dan ensefalitis
sekunder (post infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi infeksi virus
saat itu.7
Insiden dan epidemiologi
Usia, musim, lokasi geografis, kondisi iklim regional, dan sistem kekebalan tubuh
manusia berperan penting dalam perkembangan dan tingkat keparahan penyakit. Di
AS, terdapat 5 virus utama yang disebarkan nyamuk: West Nile, Eastern Equine
Encephalitis, Western Equine Encephalitis, La Crosse, dan St. Louis Encephalitis.
Tahun 1999, terjadi wabah virus West Nile (disebarkan oleh nyamuk Culex)di kota
New York. Virus terus menyebar hingga di seluruh AS. Insidensi di USA dilaporkan
2.000 atau lebih kasus viral ensefalitis per tahun, atau kira-kira 0,5 kasus per 100.000
penduduk.
Virus Japanese

Encephalitis adalah arbovirus yang

paling

umum di

dunia

(virus yang ditularkan oleh nyamuk pengisap darah atau kutu) dan bertanggung jawab
untuk 50.000 kasus dan 15.000 kematian per tahun di sebagian besar dari Cina, Asia
Tenggara, dan anak benua India.7
Kejadian terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian
tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.6
Patogenesis:
Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan

saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus akan


menyebar dengan beberapa cara:
1. Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir
permukaan atau organ tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah
kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organorgan tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di
daerah pertama kali masuk (permukaan selaput lendir)
kemudian menyebar ke organ lain.
4. Penyebaran

melalui

saraf:

virus

berkembang

biak

di

permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.


Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien,
tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang
biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti
oleh kelainan neurologis.
Manifestasi klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ;
1.Demam
2.Kejang
3.Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi
umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala
yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran
menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil.Tanda-tanda
deficit neurologist tergantung pada lokasi dan luas abses.6,7
Diagnosis
1

Gejala Klinis

Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahanlahan.6
Mulainya sakit biasanya akut, walaupun tanda-tanda dan gejala sistem saraf
sentral (SSS) sering didahului oleh demam akut non spesifik dalam beberapa hari.
Pada anak, manifestasi klinik dapat berupa sakit kepala dan hiperestesia,
sedangkan pada bayi dapat berupa iritabilitas dan letargi. Nyeri kepala paling
sering pada frontal atau menyeluruh, remaja sering menderita nyeri retrobulbar.
Biasanya terdapat gejala nausea dan muntah, nyeri di leher, punggung dan kaki,
dan fotofobia. Masa prodromal ini berlangsung antara 1-4 hari kemudian diikuti
oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari keterlibatan meningen
dan parenkim serta distribusi dan luasnya lesi pada neuron. Gejala-gejala tersebut
dapat berupa gelisah, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang.
Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis,
hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak. Tanda rangsang meningeal dapat
terjadi bila peradangan sampai meningen. Selain itu, dapat juga timbul gejala dari
infeksi

traktus

respiratorius

atas

(mumps,

enterovirus)

atau

infeksi

gastrointestinal (enterovirus) dan tanda seperti exantem (enterovirus, measles,


rubella, herpes viruses), parotitis, atau orchitis (mumps atau lymphocytic
chotiomeningitis).6,7

Pemeriksaan Penunjang
i) Pencitraan/ radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum
melakukan LP (lumbal punksi) atau ditemukan tanda neurologis fokal.
Pencitraan mungkin berguna untuk memeriksa adanya abses, efusi subdural,
atau hidrosefalus.7
Pada CT-scan dapat ditemukan edema otak dan hemoragik setelah satu
minggu.Pada virus Herpes didapatkan lesi berdensitas rendah pada lobus
temporal, namun gambaran tidak tampak tiga hingga empat hari setelah
onset.CT-scan tidak membantu dalam membedakan berbagai ensefalitis virus.6

MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan gadolinium


merupakan pencitraan yang baik pada kecurigaan ensefalitis. Temuan khas
yaitu peningkatan sinyal T2-weighted pada substansia grisea dan alba. Pada
daerah

yang

terinfeksi

dan

meninges

biasanya

meningkat

dengan

gadolinium.Pada infeksi herpes virus memperlihatkan lesi lobus temporal


dimana terjadi hemoragik pada unilateral dan bilateral.6,7
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus (aktivitas
lambat bilateral).Pada Japanese B encephalitis dihubungkan dengan tiga tanda
EEG: 1)gelombang delta aktif yang terus-menerus ;2)gelombang delta yang
disertai spike (gelombang paku) ;3)pola koma alpha.Pada St Louis ensefalitis
karakteristik EEG ditandai adanya gelombang delta yang difus dan gelombang
paku tidak menyolok pada fase akut.Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, apabila didapat lesi fokal pada
pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah tersebut dapat dilakukan biopsi
tetapi apabila pada CT-scan dan EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap
dilakukan dengan melihat tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak
didapatkan maka biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang
biasanya menjadi predileksi virus Herpes simpleks.7
ii)

Laboratorium
Biakan dari darah, viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga

sukar mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour srebrospinalis atau
jaringan otak ; dari feces untuk jenis enterovirus,sering didapatkan hasil
positif.
Analisis CSS (cairan serebrospinal) menunjukkan pleositosis (yang
didominasi oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm 3 pada 95% pasien.
Pada 48 jam pertama infeksi, pleositosis cenderung didominasi oleh sel
polimorfonuklear, kemudian berubah menjadi limfosit pada hari berikutnya.
Kadar glukosa CSS biasanya dalam batas normal dan jumlah ptotein
meningkat. PCR (polymerase chain reaction) dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis ensefalitis.[8,9]

Pemeriksaan

PCR

(polymerase

chain

reaction)

pada

cairan

serebrospinal biasanya positif lebih awal dibandingkan titer antibody.


Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas 100% dan ada
yang melaporkan hasil postif pada 98% kasus yang telah terbukti dengan
biposi otak.Tes PCR untuk mendeteksi West Nile virus telah dikembangkan di
California.PCR digunakan untuk mendeteksi virus-virus DNA.Herpes virus
dan Japenese B encephalitis dapat terdeteksi dengan PCR.
Diagnosis banding
Diagnosis banding dari ensefalitis adalah:
1. Sepsis dan bakteremia
2.
Kejang demam
3.
Measles
4.
Mumps
5.
Reye Syndrome6
Penatalaksanaan
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien
koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara
enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap
gangguan asam basa darah.

Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan


fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan apabila
pasien panas. Apabila didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi
Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari dilanjutkan pemberian 0,25-0,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian Dexamethasone tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial
yang meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol juga dapat diberikan
dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 8-12 jam. Perawatan yang baik berupa
drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik pada pasien ensefalitis yang
mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorokan serta adanya
paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada pasien herpes ensefalitis (EHS)

dapat diberikan Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari.


Pada beberapa penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes
ensefalitis dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini
Acyclovir IV telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat
pilihan pertama. Dosis Acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10
hari.6

Meningitis
Definisi
Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi pada
selaput otak (meninges), meliputi dura mater, araknoid mater, dan pia mater.8
Ketiganya berfungsi sebagai pelapis otak dan medulla spinalis. Proses peradangan
atau inflamasi ini dapat didasari oleh beberapa etiologi (infeksi dan non-infeksi), serta
dapat diidentifikasi oleh adanya peningkatan kadara leukosit di dalam likuor
cerebrospinal (LCS).8,9

Epidemiologi
Tingkat insidensi meningitis bervariasi, sesuai dengan etiologi spesifiknya. Di
negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dilaporkan bahwa insidensinya sekitar
10x lipat lebih sering dibandingkan dengan di negara-negara yang sudah maju. Hal ini
utamanya diakibatkan oleh kurangnya akses ke upaya-upaya pencegahan.8,9,10

Meningitis Bakterial
Di Ameriksa Serikat, sebelum diberlakukannya pemberian rutin vaksin
conjugate-pneumococcal, insidensi dari meningitis bakteri mencapai sekitar 3000
kasus per tahun. Neissiria meningitides ditemukan pada 4 kasus per 100.000 anak,
sedangkan Streptococcus pneumonia ditemukan pada 7 kasus per 100.000 anak. 3
Angka ini menurun setelah diterapkan aturan untuk pemberian rutin dari vaksin
conjugate-pneumococcal. Akhir-akhir ini, baru dikenalkan vaksin meningococcal di
Amerika Serikat, yang diharpakan dapat makin menurunkan insidensi meningitis
bakterial.
Selain itu, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
mortalitas meningitis pada anak. Meningitis tuberkulosis masih sering ditemukan di
Indonesia, oleh karena tingginya insidensi tuberkulosis pada anak. Angka kejadian
tertinggi ditemukan pada kelompok usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka mortalitas
berada di kisaran 10-20%. Dengan pada sekitar 80% dari semua kasus, ditemukan

gejala sisa, hanya sekitar 20% pasien yang dapat terus hidup normal tanpa adanya
gangguan neurologis.9,10
Secara umum, mortalitas dari meningitis bakterial, bervariasi menurut usia dan
etiologinya. Angka mortalitas

tertinggi

adalah Meningitis

bakterial

akibat

Streptococcus pneumonia. Sedangkan berdasarkan usia, mortalitas tertinggi adalah


pada 1 tahun peratma kehidupan.
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi ada di kelompok umur 2 bulan hingga 2
tahun. Umumnya terdapat pada anak-anak yang kurang gizi dan yang daya tahan
tubuhnya rendah. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (510%), dengan 30% di antaranya, akan ditemukan gejala sisa, biasanya adalah defisit
neurologis.

Meningitis Viral 8,9,10


Insidensi meningitis viral ini 20 kali lebih tinggi pada tahun pertama
kehidupan. Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral adalah enterovirus, mumps
(gondongan), measles (campak), varicella zoster (VZV), dan HIV. Insidensi
meningitis oleh virus mumps dan measles telah jauh berkurang, akibat telah
dimasukkannya vaksin MMR sebagai vaksinasi wajib. Oleh karena itu, akhir-akhir
ini, kasus meningitis viral telah menurun jauh, karena pada tahun 1997, menurut
WHO, mumps adalah penyebab tersering meningitis virus ( 20% dari seluruh kasus
meningitis).

Meningitis Jamur 8,9,10


Meningitis akibat infeksi jamur insidensinya amat rendah, namun dapat
mengancam kehidupan. Semua orang dapat terkena meningitis jamur, namun risiko
lebih tinggi terdapat pada orang dengan sistem imunitas yang lebih lemah dan
leukemia. Penyebab tersering dari meningitis jamur adalah Cryptococcus dan
Candida.
Faktor Risiko8
Faktor risiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
pathogen, yang masih lemah, terkait dengan usia muda. Dimana pada usia muda ini,

sistem imun bayi belum sepenuhnya adekuat untuk melawan infeksi. Beberapa faktor
risiko lainnya yang berkaitan dengan meningkatnya insidensi meningitis, adalah bayi
yang lahir dengan berat badan rendah. Bayi-bayi ini memiliki insidensi 3x lebih tinggi
dibandingkan bayi dengan berat badan lahir normal. Risiko tambahan lainnya adalah
kolonisasi bakteri patogen di dalam tubuh bayi, dapat diakibatkan oleh kontak erat
antara individu dengan penderita penyakit invasif, perumahan yang pada penduduk,
kemiskinan, dan jeins kelamin laki-laki.
Patogenesis 8,9,10
Meningitis bakteri
Konsep dari patofisiologi meningitis bakterialis, adalah terjadinya
suatu proses yang kompleks, dengan ikut berperannya komponen-komponen
bakteri dan mediator inflamasi, menimbulkan respons peradangan pada
selaput otak (meninges). Hal ini mengakibatkan perubahan fisiologis dalam
otak, yaitu peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak,
yang dapat berakibat gejala neurologis permanen.
Infeksi dapat mencapai meninges melalui beberapa cara:
-

Secara hematogen, melalui infeksi yang terjadi di tempat lain


(contoh: faringitis, tonsillitis, endocarditis, pneumonia, dan infeksi

gigi).
Perluasan secara langsung dari suatu infeksi di jaringan sekitar otak

(sinus paranasalis, sinus cavernosus, abses otak)


Implantasi bakteri yang terjadi pada pasien dengan trauma kepala

terbuka, pungsi lumbal, dan tindakan bedah otak


Pada neonatus, terdapat kemungkinan akan aspirasi cairan amnion
yang terinfeksi, pada saat bayi melalui jalan lahir & transmisi
secara transplasental dari ibu

Dari sekian banyak cara, yang paling sering adalah akibat penyebaran
hematogen. Saluran nafas adalah port of entry utama untuk berbagai bakteri
penyebab meningitis. Proses terjadinya meningitis bakteri secara hematogen,
melalui saluran nafas, adalah sebagai berikut:
-

Kolonisasi bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring


Bakteri menembus sistem pertahanan mukosa

Bakteri memperbanyak dirinya di dalam aliran darah, menghindari

serangan dari sel-sel sistem imun tubuh (fagosit, makrofag, dll)


Bakteri masuk ke dalam liquor cerebrospinal
Bakteri kembali memperbanyak diri di dalam liquor cerebrospinal
Timbul peradangan pada meninges dan otak

Meningitis viral
Virus dapat memasuki tubuh melalui beberapa jalan, contohnya adalah
kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam
tubuh, virus akan menyebar dan menimbulkan viremia, melalui cara-cara
seperti berikut:
-

Penyebaran virus bersifat setempat, terbatas pada beberapa organ

tertentu
Penyebaran secara hematogen, virus masuk ke dalam darah,
menyebar langsung ke organ, dan berkembang biak di dalam organ

tersebut
Penyebaran melalui sistem limfatik, virus masuk ke dalam sistem

drainase limfatik, lalu menyebar ke organ-organ


Penyebaran melalui saraf, dimana virus yang sebelumnya berada di
sistem limfatik, menyebar ke saraf dan bereplikasi di saraf, lalu
menginfeksi organ yang diinervasi oleh saraf tersebut

Meningitis Jamur
Infeksi primer paling sering berasal dari inhalasi ragi yang berada di
lingkungan sekitar. DI dalam tubuh kita, jamur ini akan membentuk suatu kapsul
polisakarida yang resisten terhadap fagositosis, sehingga jamur dapat beradaptasi
dengan baik terhadap kondisi di dalam tubuh kita. Sebagai bagian dari mekanisme
pertahanan, tubuh kita meresepon dengan mencentuskan reaksi inflamasi yang akan
memicu reaksi kompleks primer paru kelenjar limfe.
Pada sebagian besar kasus, infeksi akan terbatas pada jaringan paru.
Manifestasi klinis yang timbul, sangat mirip dengan gejala pneumonia (sesak, demam,
dan nyeri pleuritik). Namun, pada infeksi jamur ini, seiring dengan berjalannya
waktu, gejala akan memudar, tetapi jamur dapat dorman di dalam parenkim paru,
sampai pertahanan tubuh kita melemah. Setelah sistem imun tubuh kita melemah,
koloni jamur tersebut telah cukup kuat untuk kembali menimbulkan infeksi, dan
beberapa akan menyebar dari paru ke aliran darah. Di sinilah awal terjadinya

meningitis, dengan predileksi infeksi ini, utamanya didapatkan pada ruang


subaraknoid.
Infeksi

jamur

yang

paling

sering

menyebabkan

meningitis

adalah

Cryptococcus neoformans, oleh karena itu, infeksi ini yang akan dibahas lebih lanjut
untuk patogenesisnya. Jamur ini dikatakan memiliki karakteristik berupa produksi
phenoloxidase, adanya polisakarida, dan kemampuan berkembang dengan cepat pada
suhu tubuh manusia. Sifat-sifat ini, memiliki keterkaitan dengan invasi terhadap
sususan saraf pusat. Pada suatu studi, dikatakan juga bahwa melanin yang ada di
dalam tubuh kita, bertindak sebagai suatu antioksidan yang meilindungi organisme ini
dari mekanisme pertahanan sistem imun tubuh.8

Manifestasi Klinis 8,9,10


Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset demam
yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga dapat
mengeluhkan gejala lainnya seperti:
-

Mual dan muntah


Kejang
Fotofobia
Penurunan kesadaran

Meningitis Bakterial
Tidak terdapat satupun gejala patognomonik dari meningitis bakterial. Gejala
klinis meningitis bakterial sangatlah luas, tidak spesifik, sehingga ada kalanya
beberapa kasus dimana anak tersebut menderita meningitis, namun tidak ada gejala.
Gejala klinisnya bervariasi pada usia pasien, lama sakit, dan respon tubuh terhadap
infeksi.
Meningitis yang terjadi pada bayi baru lahir amatlah sulit untuk didiagnosis.
Hal ini dikarenakan tidak adanya gejala khas. Biasanya pasien mengeluhkan demam,
namun itupun hanya ditemukan pada sekitar 50% dari seluruh kasus meningitis.
Selain itu, keluhan pasien adalah tampak lemah, tidak mau makan, muntah,
penurunan kesadaran, leher yang kaku, serta respirasi yang tidak beraturan, dan
gejala-gejala sepsis. Oleh karena itu, pada setiap pasien sepsis, kita harus mencurigai
adanya kemungkinan meningitis.

Pada bayi berusia di kisaran 3 bulan 2 tahun, gejala yang biasanya timbul
adalah demam, kejang, muntah, dan gelisah. Selain itu, tumbuh dan kembang anak
juga dapat terhambat. Diagnosis baru dapat lebih ditegakkan melalui pemeriksaan
fisik. Dapat ditemukan tanda-tanda yang jelas, seperti ubun-ubun yang tegang dan
menonjol, serta dapat ditemukan tanda kaku kuduk. Perlu ditekankan bahwa gejala
klinis dan pemeriksaan fisik yang bermakna pada anak berusia kurag dari 1 tahun,
tidak dapat diandalkan sebagai dasar diagnosis. Disarankan untuk dilakukan pungsi
lumbal untuk mendapatkan liquor cerebrospinal, lalu dianalisis. Kembali lagi, bahwa
pada setiap anak yang demam berkepanjangan ataupun berulang, perlu dicurigai
kemungkinan adanya meningitis.
Pada anak yang telah lebih dewasa, berusia di atas 2 tahun, dapat ditemui
gejala yang lebih khas, berupa gangguan tingkah laku, dan penurunan kesadaran yang
lebih jelas. Pada pemeriksaan fisik, selain kaku kuduk yang positif, tanda Kernig dan
Brudzinski dapat ditemukan positif secara lebih nyata.
Terdapat juga pembagian gejala klinis yang didasarkan sesuai stadiumnya,
terbagi menjadi tiga, yaitu:
-

Stadium prodromal
o Gejala biasanya diawali dengan terjadinya iritasi selaput
otak
o Meningitis mulai perlahan, biasanya kenaikan suhu hanya
hingga batasan sub-febris
o Gejala klinis yang dapat timbul adalah anak menjadi apatis
dan tidurnya sering terganggu
o Pada stadium ini, kelainan neurologis belum ada yang
tampak

Stadium transisi
o Stadium prodromal akan berlanjut menjadi stadium transisi
o Gejala klinis yang dikeluhkan biasanya adalah demam yang
lebih jelas dan mungkin terdapat penurunan kesadaran,
serta adanya kejang
o Biasanya pada stadium ini, telah ditemukan reflex fisiologis
yang meninggi (hiperrefleksia), dan terdapat kelumpuhan

nervus III, IV, dan VI, dengan manifestasi klinis berupa


nistagmus

- Stadium terminal
o Pada stadium ini, segala kelumpuhan telah terlihat lebih
nyata
o Penurunan kesadaran semakin parah, pupil melebar, serta
pasien dapat tidak bereaksi sama sekali terhadap stimulus
suara ataupun nyeri
o Pada inspeksi, dapat terlihat pernafasan Cheyne-Stokes
(cepat dan dalam)
o Suhu tubuh pasien semakin lama semakin tinggi, hingga
timbullah hiperpireksia (suhu tubuh > 41.5 OC) dan anak
akan meninggal

Secara keseluruhan, kelainan-kelainan yang berasal dari susunan saraf pusat


ini, disebabkan oleh inflamasi lokal pada meninges dan gangguan suplai darah ke
saraf. Saraf kranial yang paling sering terkena adalah nervus IV, VI, dan VII.
Ditemukannya tanda meningeal, diakibatkan karena adanya nekrosis korital dan
vaskulitis oklusif.

Meningitis Viral
Pada umumnya, gejala klinis yang ditimbulkan meningitis viral, tidaklah
seberat meningitis bakterial.
Penyakit biasanya berlangsung mendadak, walaupun tidak menutupi
kemungkinan adanya demam, beberapa hari sebelumnya. Gejala klinis yang
dikeluhkan juga tidak ada yang spesifik, contohnya adalah demam, nyeri kepala, dan
leher yang kaku, serta muntah. Gejala lainnya yang lebih jarang ditemukan adalah
penurunan kesadaran, fotofobia, paresthesia, myalgia, dan kejang. Bila etiologi
meningitisnya adalah Echovirus atau Coxsackie, maka dapat ditemui ruam pada kulit.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik, temuannya juga sama dengan meningitis
bakteri. Tanda-tanda rangsang meningeal seperti kaku kudu, Kernig, dan Brudzinski,
positif.

Berikut ini dilampirkan table gejala yang secara kasar dapat membantu
mengarahkan dalam mencari etiologi meningitis viral.
Etiologi
Enterovirus
Morbilivirus
Herpes simplesk virus
Epstein-barr virus

Gejala Klinis
Gastroenteritis, rash, faringitis
Koplik spot, rash makulopapular
Erupsi vesikel
Faringitis,
limfadenopati,
dan

HIV
Mumps virus

splenomegaly
Imunodefisiensi dan pneumonia
Parotitis

Meningitis Jamur
Gejala klinis yang ditimbulkan meningitis jamur, sama seperti dengan
meningitis viral ataupun bakterial. Sedikit perbedaan yang ditemukan adalah
timbulnya gejala lebih bertahap. Tambahan gejala yang mungkin didapatkan
pada meningitis jamur adalah pasien dapat mengeluhkan halusinasi.

Pemeriksaan Penunjang8,9,10
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk memperoleh liquor cerebrospinal,
untuk nanti dianalisa lebih lanjut. Hal ini cukup sering dilakukan untuk
menegakkan etiologi meninigitis.
Indikasi
Indikasi untuk dilakukan tindakan ini adalah:
-

Terdapat kejang
Ditemukannya defisit neurologis berupa paresis ataupun paralisis

nervus kranialis
Penurunan kesadaran hingga koma
Ubun-ubun yang besar dan menonjol
Kaku kuduk (+)
Leukemia
Sepsis

Kontraindikasi dan Komplikasi


Kontraindikasi mutlak untuk dilakukannya pungsi lumbal adalah jika
pasien sedang pada fase syok, terdapat infeksi di daerah sekitar pungsi, dan
adanya tanda-tanda tekanan intrakranial meninggi.
Komplikasi dari dilakukannya tindakan ini adalah dapat terjadinya
infeksi dan sakit kepala. Selain itu, perlu hati-hati juga akan tertusuknya saraf
oleh jarum pungsi karena penusukan yang tidak tepat ataupun jarum yang
patah.
Diagnosis 8,9,10
Meningitis Bakterial
Menegakkan diagnosis meningitis bakterial tidaklah mudah. Apabila
didasarkan pada manifestasi klinis, tidak ada yang spesifikm gejala-gejala seperti
demam, sakit kepala, dan kaku kuduk, dapat ditemukan pada meningitis dengan
etiologi apapun. Diagnosis pasti meningitis hanya dapat ditegakkan dengan analisis
liquor cerebrospinal melalui pungsi lumbal. Oleh karena itu setiap pasien dengan
kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.
Umumnya, liquor cerebrospinal berwarna keruh, akan tetapi, pada stadium
awal penyakit, dapat ditemukan liquor cerebrospinal yang masih jernih. Reaksi Nonne
dan Pandy umumnya didapatkan positif kuat. Jumlah selnya bisa mencapai ribuan per
millimeter kubik cairan, yang sebagian besar adalah sel polimorfonuklear (PMN).
Kadara gula pada LCS ditemukan menurun, begitu juga kadar klorida.
Ketika liquor cerebrospinal diperiksa langsung di bawah mikroskop, mungkin
ditemukan kuman penyebab, walaupun kemungkinannya amat kecil. Pada
pemeriksaan darah tepi di pasien dengan meningitiss bakterial, umumnya ditemukan
leukositosis, dengan hitung jenis menunjukkan shift to the left. Temuan klinis
bermakna lainnya adalah, biasanya disertai dengan anemia megaloblastik.

Meningitis Viral
Diagnosis meningitis viral hanya dapat ditegakkan melalui isolasi virus.
Namun, pada praktek sehari-hari, jarang dilakukan pemeriksaan serologis, oleh karena
banyaknya jenis virus yang dapat menyebabkan meningitis.

Diagnosis biasanya dapat didasarkan atas usia pasien dan gejala klinis yang
ada. Walaupun, sekali lagi, gejala klinis tidak dapat menggambarkan etiologi pasti
meningitis virus. Biakan LCS dapat dilakukan, guna menyingkirkan kemungkinan
penyebab lainnya.

Meningitis Jamur
Standar diagnostik untuk meningitis jamur dibuat dari hasil hapusan liquor
cerebrospinal. Pada pemeriksaan LCS, ditemukan penurunan kadar glukosa (< 40
mg/dL), protein yang berkisar di 100-200 mg/dL.

Tatalaksana
Pengobatan pada kasus meningitis bakterial harus dilakukan sesegera
mungkin, bahkan saat diagnosis baru mulai terarah ke meningitis. Namun, idealnya
haruslah dilakukan kultur darah dan analisis liquor cerebrospinal terlebih dahulu,
sebelum antibiotik mulai diberikan.
Pada bayi dan anak-anak, tatalaksana meningitis bakteri meliputi terapi
antibiotic yang tepat dan terapi suportif. Dimaksud dengan terapi suportif disini
adalah, misalnya pemberian cairan untuk mencegah gangguan elektrolit dan
memastikan balans cairan berada pada level yang normal. Anak harus menerima
cairan cukup untuk menjaga output urin dan perfusi jaringan yang memadai, serta
menghindari dehidrasi.
Selain itu, perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat
memempengaruhi aktivitas bakterisidal dari antibiotik, saat di dalam liquor
cerebrospinal.
Pada anak yang kejang, dapat diberikan terapi sesuai dengan tatalaksana
kejang. Yaitu pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB secara intravena perlahan-lahan,
apabila kejang masih berlanjut, kembali berikan diazepam dengan dosis dan cara yang
sama. Jika kejang masih belum berhenti, berikan fenobarbital dengan dosis awal 1020 mg/kg BB, secara intramuskular, 24 jam kemudia, diberikan dosis maintenance 45 mg/kg BB h hari.

Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan.
Namun, pada umumnya, lama pengobatan berkisar antara 10-21 hari. Pada beberapa
kasus, perlu dilakukan lumbal pungsi ulanganm untuk memverifikasi apakah terapi
yang telah diberikan, berjalan sesuai dengan harapan atau tidak.
Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak pada tahun 2004, terapi
empirik untuk nenoatus dengan meningitis bakterial adalah sebagai berikut:
-

Usia 0-7 hari


o Injeksi ampisilin 150 mg/kg BB/hari, setiap 8 jam + injeksi
cefotaxim 100mg/ kg bb/ hari, setiap 12 jam; atau
o Injeksi ceftriaxon 50 mg/kg bb/hari, setiap 24 jam; atau
o Injeksi ampisilin 150 mg/kg bb/hari, setiap 8 jam + injeksi

gentamycin 5 mg/kg bb/ hari, setiap 12 jam


Usia > 7 hari
o Injeksi ampisilin 200 mg/kg bb/ hari, setiap 6 jam + injeksi
gentamycin 7,5 mg/kg bb/ hari, setiap 12 jam; atau
o Injeksi ampisilin 200 mg/kg bb/hari, setiap 8 jam
o Injeksi ceftriaxone 75 mg/kg bb/hari, setiap 24 jam

Pemberian antibiotik pada pasien yang dicurigai meningitis, harus dilakukan


dengan cepat. Pemilihan antibiotic inisial, harus yang memiliki kemampuan melawan
3 patogen tersering: Streptococcus pneumonia, Neisseria menigitidis, dan
Haemophillus influenza.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tumbelaka,Alan

R.,Trihono,

Partini

P.,Kurniati,Nia.,Putro

Widodo,Dwi.

Penanganan Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran


Berkelanjutan

Ilmu

RSCM.Jakara,2005

Kesehatan

Anak

XLVII.Cetakan

pertama,FKUI-

2. Lumbantobing,S.M:Kejang Demam.Balai Penerbit FKUI,Jakarta,2007


3. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediateric II : Kejang
Pada Anak. Cetakan ke2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.
4. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak : Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta 2007.
5. Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric
Emergency Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London
6. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.
Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak.
Cetakan ke-2. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000;hal373-5.
7. Prober, Charles G. Meningoensefalitis. Nelson, Waldo E. Dalam: Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Ed.15 Vol.2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
1996;hal880-2.
8. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th edition. Philadelphia: Elsevier
saunders; 2005
9. American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK,
Baker CJ, Long SS, McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee
on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, Ill: American Academy of
Pediatrics; 2006: p.452560
10. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta:
BP IDAI; 1999

Anda mungkin juga menyukai