Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyempurnaan kurikulum harus selalu dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Di antara hasil terbaru penyempurnaan tersebut adalah Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum matematika pada KTSP mengamanatkan kepada
setiap pelaku pembelajaran matematika, dalam hal ini guru dan siswa, agar senantiasa
mengarahkan aktivitas belajar matematika di sekolah pada pencapaian standar-standar
kompetensi, yaitu meliputi: (1) memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip,
teorema, dan idea matematika, (2) menyelesaikan masalah matematika (mathematical
problem solving), (3) melakukan penalaran matematika (mathematical reasoning), (4)
melakukan koneksi matematika (mathematical connection), (5) melakukan komunikasi
matematika (mathematical communication). Salah satu kelebihan dari kurikulum terbaru ini
adalah dinyatakannya pemecahan masalah (problem-solving), penalaran (reasoning),
komunikasi (communication), dan menghargai kegunaan matematika sebagai tujuan
pembelajaran matematika SD, SMP, SMA, dan SMK di samping tujuan yang berkait dengan
pemahaman konsep yang sudah dikenal guru seperti: bilangan, perbandingan, sudut, dan
segitiga. Penalaran atau reasoning merupakan salah satu kompetensi yang ada di dalam
matematika.

Penalaran sangatlah penting bagi siswa dalam mengikuti pembelajaran

matematika. Semakin tinggi pelajaran matematika haruslah siswa memiliki penalaran yang
tinggi juga.
Pertanyaan yang mungkin muncul dari para guru matematika adalah mengapa penalaran
itu begitu penting sehingga menjadi salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh
siswa. Di setiap pelajaran matematika menggunakan penalaran yang cukup tinggi sesuai
jenjang pendidikan, semkin tinggi jenjang pendidikannya makin tinggi pula penalaran yang
harus ada didalam diri siswa tersebut. Penalaran terbagi dua yaitu penalaran deduktif dan
penalaran induktif, kedua penalaran ini harus ada di dalam diri siswa. Penalaran juga
memiliki kelebihan dan kekurangannya di dalam pembelajaran matematika. Melihat dari
pentingnya penalaran bagi siswa terhadap pembelajaran matematika, maka dari itu penulis
membuat makalah yang berisi tentang penjelasan mengenai penalaran/ reasoning .

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dikemukakan dalam makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Apa pengertian dari penalaran?


Apa saja jenis-jenis penalaran?
Apa saja prinsip-prinsip penalaran?
Apa saja indikator penalaran?
Bagaimana ciri-ciri penalaran?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Untuk mengetahui apa pengertian dari penalaran.


Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis penalaran.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip penalaran.
Untuk mengetahui indikator penalaran.
Untuk mengetahui bagaimana ciri-ciri penalaran.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penalaran
Istilah penalaran merupakan terjemahan dari kata reasoning yang artinya jalan pikiran
seseorang. Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera
(pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan
pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi proposisi yang sejenis, berdasarkan
sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah
proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam
penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens)
dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis
dan konklusi disebut konsekuensi.
Penalaran merupakan tahapan berpikir matematik tingkat tinggi, mencakup kapasitas
untuk berpikir secara logis dan sistematis. Menurut Keraf (1985:5) bahwa penalaran adalah
suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk atau eviden,
menuju kepada suatu kesimpulan. Sementara menurut Bakry (1986:1) menyatakan bahwa
penalaran atau reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah
satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari
beberapa pernyataan lain yang telah diketahui.
Namun menurut Hardjosatoto (dalam Wulandari, 2011) mengatakan bahwa penalaran
menjadi salah satu kejadian dari proses berfikir. Batasan mengenai berpikir (thinking) adalah
serangkaian aktivitas mental yang banyak macamnya seperti mengingat kembali suatu hal,
berkhayal, menghafal, menghitung, menghubungkan beberapa pengertian, menciptakan
sesuatu konsep atau memperkirakan berbagai kemungkinan. Jadi dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa bernalar dan berfikir sangat berbeda, dalam penalaran dapat terjadi salah
satu pemikiran, tetapi tidak semua berpikir merupakan penalaran.
R.G. Soekadijo membuat kronologi terjadinya penalaran. Aktivitas mental dimulai dari
pengamatan indera atau observasi empirik. Proses itu di dalam pikiran menghasilkan
sejumlah pengertian dan proposisi sekaligus. Berdasarkan pengamatan-pengamatan indera
yang sejenis pula. Proses tersebut yang disebut penalaran karena berdasarkan sejumlah
proposisi yang diketahui atau dianggap benar kemudian digunakan untuk menyimpulkan
sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Gie (Lyn, 1997) berpendapat bahwa penalaran adalah proses pemikiran manusia yang
berusaha tiba pada pernyataan baru yang merupakan kelanjutan secara terurut dari pernyataan
lain yang diketahui. Pernyataan yang diketahui itu sering disebut dengan pangkal pikir
(premis), sedangkan pernyataan baru yang ditemukan disebut kesimpulan. Dari pendapat
3

tersebut maka dapat disimpulkan penalaran merupakan suatu bentuk aktivitas mental atau
pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan atau ide baru. Dalam kaitannya dengan
penarikan kesimpulan, dibutuhkan pengetahuan tentang logika dan pengetahuan tentang
struktur yang logis. Sementara menurut Russefendi (2006) matematika terbentuk sebagai
hasil pemikiran yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Artinya dalam usaha
memahami pengetahuan matematika, seseorang perlu melakukan kegiatan penalaran. Jadi
sangat penting bila kemampuan penalaran dapat dikembangkan melalui pembelajaran
matematika.
Penalaran juga merupakan aktivitas berpikir yang abstrak. Untuk mewujudkannya
diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk
bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen. Pengertiannya adalah pernyataan
atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol
yang digunakan adalah kalimat (kalimat pernyataan) dan penalaran menggunakan simbol
berupa argumen.

Argumenlah

yang

dapat

menentukan

kebenaran

konklusi

dari

premis.
Dari beberapa defenisi penalaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penalaran
adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubungkan fakta-fakta atau data yang
sistematik menuju suatu kesimpulan berupa pengetahuan. Dengan kata lain, penalaran
merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis.
Kemampuan Penalaran Matematis
Pada dasarnya setiap penyelesaian soal matematika memerlukan kemampuan penalaran.
Penalaran matematika penting untuk mengetahui dan mengerjakan matematika. Kemampuan
untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya, di dalam
maupun diluar sekolah. Kapanpun kita menggunakan penalaran untuk memvalidasi
pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya diri dengan matematika dan berfikir
secara matematika.
Kemampuan penalaran meliputi: (1) penalaran umum yang berhubungan dengan
kemampuan untuk menemukan penyelesaian atau pemecahan masalah; (2) kemampuan yang
berhubungan dengan penarikan kesimpulan, seperti pada silogisme, dan yang berhubungan
dengan kemampuan menilai implikasi dari suatu argumentasi; dan (3) kemampuan untuk
melihat hubungan-hubungan, tidak hanya hubungan antara benda-benda tetapi juga hubungan

antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk memperoleh benda-benda
atau ide-ide lain.
Adapun aktivitas yang tercakup di dalam kegiatan penalaran matematika meliputi:
menarik kesimpulan logis; menggunakan penjelasan dengan menggunakan model, fakta,
sifat-sifat dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan
hubungan; untuk menganalisis situasi matematika, menarik analogi dan generalisasi;
menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh; mengikuti aturan inferensi;
memeriksa validitas argument; menyusun argument yang valid; menyusun pembuktian
langsung, tak langsung dan menggunakan induksi matematika. (Sumarmo dalam Asrawati,
2012).
Selama mempelajari matematika di kelas, aplikasi penalaran sering ditemukan meskipun
tidak secara formal disebut belajar bernalar. Beberapa contohnya adalah:
Untuk menentukan hasil dari 7 + 8, berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki yaitu 7
+ 3 = 10 dan 8 = 3 + 5, para siswa diharapkan dapat menyimpulkan bahwa 7 + 8 adalah
sama dengan 7 + 3 + 5 = 10 + 5 = 15
Untuk menentukan hasil dari 6 x 7, berdasar pengetahuan yang sudah dimiliki para siswa
yaitu 5 x 7 = 35, maka para siswa diharapkan dapat menyimpulkan 6 x 7 = 35 + 7 = 42
Jika besar dua sudut pada suatu segitiga adalah 60 o dan 100o maka sudut yang ketiga
adalah 180o - ( 100o + 60o) = 20o. hal ini didasarkan pada teori matematika yang
menyatakan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180o.
Sejalan dengan contoh-contoh di atas, telah terjadi proses penarikan kesimpulan dari
beberapa fakta yang telah diketahui siswa, seperti yang dikemukakan oleh (Shadiq, 2004)
penalaran (jalan pikiran atau reasoning) merupakan Proses berfikir yang berusaha
menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada
suatu kesimpulan. Pada intinya, penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau
aktivitas berfikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar
berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau
diasumsikan sebelumnya.
B. Jenis- Jenis Penalaran
Penalaran dalam matematika ada dua jenis, yaitu penalaran induktif dan penalaran
deduktif.
a. Penalaran Induktif
Penalaran Induktif adalah proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang berlaku
umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Penalaran induktif digunakan oleh
5

beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, biologi, dan sebagainya untuk
membangun suatu teori baru.
Penalaran induktif merupakan proses berpikir yang mendasarkan kesimpulan umum
pada kondisi khusus (Sumarni,2006). Pendapat yang sama disampaikan oleh Markman &
Gentner (Ssantrock,2008), Penalaran induktif adalah penalaran dari hal-hal spesifik ke
umum. Yakni, mengambil kesimpulan (membentuk konsep) tentang semua anggota suatu
kategori berdasarkan observasi dari beberapa anggota. Kondisi khusus atau hal yang
spesifik merupakan premis, sedangkan hal umum merupakan konklusi.
Secara umum, langkah-langkah penalaran induktif yang digunakan dalam matematika
sebagai berikut :
1) Mengamati pola-pola yang terjadi,
2) Membuat dugaan (konjektur) tentang pola umum yang mungkin berlaku,
3) Membuat generalisasi,
4) Membuktikan generalisasi secara deduktif.
Contoh :
Premis

: 3 + 7 = bilangan genap
5 + 9 = bilangan genap

Kesimpulan

: Jumlah dua bilangan ganjil adalah bilangan genap.

Penalaran induktif dalam matematika dibagi menjadi dua bagian yaitu generalisasi dan
analogi.
1) Generalisasi
Generalisasi merupakan proses penalaran yang berdasarkan pada pemeriksaan hal-hal
secukupnya kemudian memperoleh kesimpulan untuk semuanya atau sebagian besar hal-hal
tadi. Untuk memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh dalam penyimpulan, maka dilakukan
pemeriksaan dengan induksi matematika. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan apakah
penyimpangan yang diperoleh berlaku untuk semua.
2) Analogi
Analogi merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang serupa
kemudian menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga akan benar untuk hal lain.
b. Penalaran Deduktif
Menurut Suherman (2001) bahwa matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti
proses pengerjaan matematik harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima
generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian
deduktif. Meskipun demikian untuk membantu pemikiran, pada tahap-tahap permulaan
seringkali kita memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.

Dalam matematika penalaran yang digunakan adalah penalaran deduktif yaitu proses
berpikir berdasarkan atas suatu pernyataan dasar yang berlaku umum untuk menarik suatu
kesimpulan yang bersifat khusus. Aturan yang berlaku secara umum tersebut, pada umumnya
dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya dan setelah terbukti kebenarannya baru diterapkan
untuk kasus-kasus yang bersifat khusus.
Kegiatan yang tergolong penalaran deduktif (dalam Sumarmo, 2010), yaitu:
1) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu;
2) menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan, inferensi, memeriksa validitas argumen,
membuktikan dan menyusun argumen yang valid; menyusun pembuktian langsung,
pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika.
Contoh :
Premis 1 : Jika segitiga itu sama kaki maka kedua sudut alasnya kongruen
Premis 2 : Segitiga itu sama kaki
Konklusi : Kedua sudut alasnya kongruen.
Penalaran deduktif dibagi menjadi dua bagian yaitu kondisional dan silogisma.
a.

Kondisional
Penalaran kondisional merupakan bagian dari berfikir yaitu mengubah informasi yang

diberikan untuk memperoleh kesimpulan. Masalah yang ada dalam kondisional menjelaskan
kepada kita tentang adanya hubungan antara dua kondisi atau keadaan, yang dinyatakan
dengan hubungan jika ... maka ....
Penalaran kondisional terdiri dari empat bagian, yaitu:
1. Memperkuat anteseden
2. Memperkuat konsekuen
3. Menyengkal anteseden
4. Menyangkal konsekuen
b. Silogisme
Silogisme adalah bentuk kedua dari penalaran deduktif. Ciri-ciri silogisme yaitu terdiri
dari 2 premis yang bernilai benar, melibatkan kata kuantitatif misalnya beberapa,
semua/setiap, tak satu pun atau yang lainnya. Kesimpulan yang diperoleh dalam silogisme
bisa bernilasi benar, bernilai salah atau belum tentu bernilai benar atau bernilai salah.
Penalaran induktif dan deduktif walaupun saling berlawanan, akan tetapi penggunaannya
dalam matematika keduanya saling melengkapi. Bruner (dalam Sumarmo, 2010) yang
menyatakan bahwa ketika orang memberikan alasan, maka akan melewati informasi yang ada
dengan salah satu atau kedua cara berikut:
1) Mereka berusaha menarik kesimpulan secara otomatis dari konsep-konsep, pola-pola
atau aturan-aturan yang dipandang terbaik mencirikan hubungan-hubungan atau pola-

pola yang mereka rasakan untuk semua elemen (kata, simbol, gambar, suara, pergerakan
dan sebagainya) dalam suatu kumpulan rangsangan.
2) Mereka berusaha mendeduksi konsekuensi-konsekuensi atau implikasi-implikasi dari
suatu aturan, sekelompok premis atau pernyataan menggunakan jaminan yang dipandang
masuk akal secara logis atau melalui
informasi yang telah diketahui dalam soal-soal atau yang diasumsikan benar oleh
sekelompok orang yang melakukan diskursus.
C. Prinsip-Prinsip Penalaran
Prinsip-prinsip penalaran atau aksioma penalaran merupakan dasar semua penalaran
yang terdiri atas tiga prinsip. Adapun, aksioma atau prinsip dasar dapat didefinisikan bahwa
suatu pernyataan mengandung kebenaran universal yang kebenarannya itu sudah terbukti
dengan sendirinya. Ketiga prinsip penalaran yang dimaksudkan adalah prinsip identitas
(identity), prinsip nonkontradiksi (non-contradiction), dan prinsip eksklusi tertii (excluded
middle).
1) Prinsip identitas menyatakan bahwa sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri.
Sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain.
Prinsip identitas menuntut sifat yang konsisten dalam suatu penalaran jika suatu
himpunan beranggotakan sesuatu maka sampai kapan pun tetap himpunan tersebut
beranggotakan sesuatu tersebut.
2) Prinsip nonkontradiksi menyatakan bahwa sesuatu tidak mungkin merupakan hal
tertentu dan bukan hal tertentu dalam suatu kesatuan. Prinsip ini menyatakan juga bahwa
dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin ada pada suatu benda
dalam waktu dan tempat yang sama. Prinsip nonkontradiksi memperkuat prinsip
identitas, yaitu dalam sifat yang konsisten tidak ada kontradiksi di dalamnya.
3) Prinsip eksklusi tertii menyatakan bahwa sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu
atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan
tengah. Prinsip eksklusi tertii menyatakan juga bahwa dua sifat yang berlawanan penuh
(secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya
salah satu yang dapat dimilikinya sifat p atau non p. Prinsip ketiga ini memperkuat
prinsip identitas dan prinsip nonkontradiksi, yaitu dalam sifat yang konsisten tidak ada
kontradiksi di dalamnya, dan jika ada kontradiksi maka tidak ada sesuatu di antaranya
sehingga hanyalah salah satu yang diterima.
D. Indikator Penilaian

Pada dokumen peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004 dijelaskan (dalam


Asrawati, 2012) tentang indikator-indikator penalaran yang harus dicapai siswa yang merujuk
pada indikator penalaran adalah sebagai berikut:
1. Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan diagram. Terkait
dengan materi yang diangkat dalam peneltian ini adalah kemampuan menyajikan
2.

pernyataan matematika secara tertulis berupa gambar atau diagram.


Mengajukan dugaan. Kemampuan siswa mencari atau menemukan beberapa alternatif
cara penyelesaian suatu soal yang berbeda sehingga mendapatkan hasil yang berbeda,

3.

meskipun terkadang hasil dari penyelesaian yang didapatkan sama.


Melakukan manipulasi matematika. Merupakan kemampuan siswa untuk mencari
hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip untuk menyelesaikan suatu masalah

4.

matematika dan menuju kepada suatu kesimpulan


Menyusun bukti dan memberikan alasan terhadap kebenaran solusi. Kemampuan siswa
memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi, yang kemudian bukti tersebut

5.

dijelaskan dengan menggunakan model yang berupa gambar, diagram atau grafik.
Menarik kesimpulan dari pernyataan. Kemampuan siswa untuk membuat suatu
pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya

6.

telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya melalui manipulasi matematika.


Memeriksa kesahihan suatu argument. Kemampuan siswa dalam menjawab soal dengan
jawaban yang benar sesuai dengan langkah-langkah matematika atau dengan kata lain,
ketika siswa mampu melakukan perhitungan matematika secara benar dan lengkap maka
salah satu indikator kemampuan penalaran dan komunikasi matematika siswa yaitu

7.

memeriksa kesahihan suatu argument sudah tercapai


Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Kemampuan siswa dalam melakukan pembuktian jawaban yang diperoleh dari soal-soal
yang diberikan sehingga dapat menarik kesimpulan bersifat umum atau disebut penalaran
induktif. Dalam penalaran induktif terdapat proses generalisasi atau analogi, dimana kita
ketahui bahwa generalisasi adalah proses penalaran yang mengandalkan beberapa
pertanyaan yang mempunyai sifat tertentu untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat
umum.
Sementara Menurut Sumarmo (Yulia, 2012: 22) mengungkapkan bahwa indikator siswa

telah menguasai kemampuan penalaran matematis adalah sebagai berikut:


1.

Menarik kesimpulan logis;

2.

Memberi penjelasan menggunakan gambar, fakta, sifat, hubungan yang ada;

3.

Memperkirakan jawaban dan proses solusi;

4.

Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis, membuat analogi, generalisasi, dan


menyusun serta menguji konjektur;

5.

Mengajukan lawan contoh;

6.

Mengajukan aturan inferensi, memeriksa validitas argument, dan menyusun argument


yang valid;

7.

Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung, dan pembuktian dengan


induksi matematika.
Selanjutnya berdasarkan NCTM (Yaniawati: 2009) bahwa indikator penalaran

matematika yaitu:
1. Membuat dan menguji konjektur
2. Merumuskan yang bukan contoh
3. Mengikuti argument yang logis
4. Mempertimbangkan validitas dari argument yang valid
5. Mengontruksi argument yang valid
6. Mengontruksi bukti-bukti untuk pernyataan matematik, termasuk bukti tidak langsung
dan bukti dengan induksi matematik.
Secara singkat dapat dijelaskan maksud dari beberapa indikator penalaran. Diantaranya
adalah sebagai berikut :
1.

Mengajukan dugaan
Kemampuan mengajukan dugaan merupakan kemampuan siswa dalam merumuskan
berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

2.

Melakukan manipulasi matematika


Kemampuan manipulasi matematika merupakan kemampuan siswa dalam mengerjakan
atau menyelesaikan suatu permasalahan dengan menggunakan cara sehingga tercapai
tujuan yang dikehendaki.

3. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran

solusi
Siswa mampu menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti
terhadap kebenaran solusi apabila siswa mampu menunjukkan lewat penyelidikan.
4.

Menarik kesimpulan dari pernyataan


Kemampuan menarik kesimpulan dari pernyataan merupakan proses berpikir yang
memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah
pemikiran.

5.

Memeriksa kesahihan suatu argumen

10

Kemampuan memeriksa kesahihan suatu argumen merupakan kemampuan yang


menghendaki siswa agar mampu menyelidiki tentang kebenaran dari suatu pernyataan
yang ada.
6. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi

Kemampuan menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi merupakan kemampuan siswa dalam menemukan pola atau cara dari suatu
pernyataan yang ada sehingga dapat mengembangkannya ke dalam kalimat matematika.
E. Ciri-Ciri Penalaran

Ciri-ciri penalaran adalah sebagai berikut:


1) Adanya suatu pola pikir yang disebut logika. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Berpikir logis ini diartikan
sebagai berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu;
2) Proses berpikirnya bersifat analitik. Penalaran merupakan suatu kegiatan yang
mengandalkan diri pada suatu analitik, dalam kerangka berpikir yang dipergunakan
untuk analitik tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Adapun ciri-ciri penalaran yang lain adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Dilakukan dengan sadar,


Didasarkan atas sesuatu yang sudah diketahui,
Sistematis,
Terarah, bertujuan,
Menghasilkan kesimpulan berupa pengetahuan, keputusan atau sikap yang baru,
Sadar tujuan,
Premis berupa pengalaman atau pengetahuan, bahkan teori yang telah diperoleh,
Pola pemikiran tertentu,
Sifat empiris rasional

Jurnal I (New York)


UNDERSTANDING ENGLISH LANGUAGE LEARNERS NEEDS IN
MATHEMATICS EDUCATION
Otilia C. Barbu, PhD1
New york
http://jehdnet.com/journals/jehd/Vol_3_No_1_March_2014/9.pdf,
abstract:
11

Penelitian ini meneliti pemahaman saat peserta didik berbahasa Inggris (ELLs)
pendidikan matematika dan mencoba untuk merumuskan gambaran yang koheren dari proses
ini. Itu kertas dibagi menjadi tiga bagian utama: (a) pemahaman konseptual dari hubungan
antara pembelajaran matematika dan proses kognitif, dan mengakibatkan implikasi untuk
ELLs, (b) peran struktur bahasa dalam proses belajar mengajar matematika dan implikasi
untuk ELLs, dan (c) diskusi pengajaran yang diusulkan dan strategi untuk ELLs belajar. Arah
untuk penelitian dan holistik kesimpulan juga disediakan.
Keyword: Bahasa Inggris peserta didik, pendidikan matematika, alih kode, dan teori beban
kognitif
1. Memahami hubungan antara pembelajaran matematika dan proses kognitif dan
implikasinya dihasilkan untuk ELLs
Kegiatan pembelajaran dan pembentukan pengetahuan yang rumit proses psikologis
yang telah aktif belajar dalam psikologi kognitif di tiga dekade terakhir. Cara di mana
informasi baru ditambahkan ke pengetahuan yang sudah ada adalah pentingnya penting untuk
memahami proses pembelajaran matematika di sekolah. Informasi baru menjadi pengetahuan
jika dapat dihubungkan secara logis cara untuk informasi yang sudah tersimpan dalam otak.
Di tingkat SD, proses pembelajaran matematika dapat dilihat sebagai terdiri dari dua blok
yang mendasar: a) belajar konsep-konsep baru (atau definisi), dan b) membangun koneksi
baru (bukti, hubungan, teorema) antara konsep.
Matematika pengetahuan tidak dapat dipahami atau berkomitmen untuk jangka
panjang memori di bagian terisolasi; konsep baru harus berhubungan dengan orang-orang
yang ada di cara yang logis, dan berdasarkan seperangkat aturan. Dalam kasus ELLs,
diharapkan bahwa tingkat tambahan kompleksitas akan ada - yang menerjemahkan informasi
baru dari Inggris ke bahasa asli sebelum membentuk koneksi untuk pengetahuan yang ada.
Pengetahuan yang ada dapat baik formal maupun informal, dan menggunakannya sebagai
dasar untuk akumulasi ilmiah lebih lanjut adalah salah satu NCTM standar rekomendasi.
Selain itu, Gutstein et al. (1997) menyatakan bahwa, "bukti menegaskan bahwa
membantu guru membangun pengetahuan informal yang anak-anak di kelas matematika
membantu anak-anak menggunakan kecerdasan mereka dengan baik, membuat berarti keluar
dari situasi matematika, belajar matematika dengan pemahaman, dan menghubungkan
pengetahuan informal mereka ke sekolah matematika "(p.711). Dengan demikian, penting
untuk ELLs untuk belajar konsep-konsep baru, menerjemahkan mereka untuk bahasa asli,

12

dan bentuk hubungan antara konsep-konsep baru dan mereka sudah ada mengatur
pengetahuan matematika informal.
Menempa hubungan antara konsep-konsep matematika yang disajikan dalam kelas
dan informal pengetahuan siswa menyoroti salah satu potensi jebakan untuk ELLs. Misalnya,
Campbell et al. (2007) mempresentasikan kasus preservice EL guru sekolah dasar yang
mengalami kesulitan dalam memecahkan matematika adalah masalah dirumuskan sebagai
enggak masalah. Para penulis menyimpulkan bahwa guru, pada kenyataannya, memiliki
keterampilan matematika yang diperlukan untuk memecahkan masalah, tapi dia tidak
memiliki pengetahuan informal mengenai pertandingan bisbol, pengetahuan diambil untuk
diberikan oleh penulis masalah ini. contoh khusus ini menggambarkan kompleksitas dari
situasi ELL; bahkan jika siswa memahami kata-kata bahasa Inggris, mereka mungkin tidak
selalu memiliki representasi yang jelas maknanya dalam konteks tertentu.
Campbell et al. (2007) juga menunjukkan masalah lain yang berkaitan dengan
instruksi yang sangat bergantung pada pengetahuan siswa yang ada: jumlah terbatas memori
tersedia untuk menyimpan informasi baru. Dengan asumsi bahwa guru menyadari
keterbatasan

dalam

pengetahuan

informal

ELLs

dan

bahwa

ia

bersedia

untuk

mengkompensasi itu dengan penjelasan tambahan, para siswa ini harus menghafal tambahan
jumlah informasi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang berbahasa Inggris. dengan
memperkenalkan informasi linguistik ini asing, belum tentu terhubung ke matematika
Konsep diselidiki, ELLs mungkin menghadapi risiko tidak dapat benar menyerap informasi
penting.
Dalam keadaan ini, sangat penting bahwa guru menemukan "umum ground
"pengetahuan informal untuk semua siswa sebelum mencoba untuk membangun pemahaman
yang sudah ada sebelumnya.
Isu asing informasi linguistik yang berlebihan hadir tidak hanya di proses mengajar,
tetapi juga dalam proses pengujian standar saat ini. Itu penulis mencatat bahwa, "ada bukti
prima facie bahwa penulis tes tidak linguistic dan budaya sadar akan kesulitan yang kata-kata
dan kalimat tertentu adalah kata masalah menyebabkan siswa, terutama mereka mengambil
tes di kedua atau tambahan bahasa "(Campbell et al., 2007, hal. 13).
Kunci untuk pemahaman yang benar tentang proses kognitif yang terlibat dalam mengajar
dan belajar matematika adalah hubungan antara teori beban kognitif dan proses abstraksi
reflektif. Teori beban kognitif berpusat pada atribut memori, baik panjang atau jangka
pendek, sedangkan abstraksi reflektif merupakan proses pemeragaan aktif dari konsep belajar
(yaitu, re-pemikiran masalah dan melakukan struktur direnovasi ke memori jangka panjang).
13

Hubungan antara kedua pendekatan diwakili oleh memori, dan kita tidak bias memahami
proses pembelajaran matematika dengan menganalisis secara terpisah.
Dalam kerangka kerja mereka diusulkan untuk mengintegrasikan budaya dan bahasa
siswa di proses pengajaran, penulis menyarankan bahwa "refleksi pada budaya, bahasa dan
sosial-terletak pengalaman sebelumnya, di samping refleksi pada konten matematika dan
proses dan pemahaman kognitif siswa, dimasukkan ke dalam model mengajar matematika
"(Campbell et al., 2007, hal. 16). Proses pengajaran harus terus dievaluasi ulang dan terdiri
beberapa siklus perencanaan dan instruksi pelaksanaan. Kerangka kerja ini dianggap sangat
bermanfaat bagi ELLs: dalam kasus ketika guru dan siswa yang datang dari berbagai budaya,
membangun kesamaan memerlukan analisis terus menerus dan pelajaran
perencanaan.
Dengan demikian, penulis mengusulkan kerangka kerja untuk program pendidikan
guru dengan empat komponen: "(a) isi akademik; (B) proses matematika dan kognitif; (C)
matematika dan kontekstual bahasa; dan (d) budaya / pengalaman hidup "(hal. 20). konten
akademis membawa ke perhatian pengetahuan matematika siswa - lebih kaya dasar ini,
semakin banyak siswa akan mampu memproses dan menganalisis informasi baru.
Komponen kedua, proses matematika dan kognitif yang bersangkutan dengan identifikasi dan
pengembangan keterampilan pengolahan kognitif yang diperlukan untuk belajar matematika.
keterampilan kognitif dan metakognitif dapat diajarkan terutama oleh menggunakan contoh
bijaksana, tetapi juga dengan mempertanyakan, perencanaan, atau menarik kesimpulan.
Tujuan dari instruksi, dalam pandangan penulis, "menjadi salah satu yang
memungkinkan siswa untuk mengambil kendali atas pembelajaran mereka sendiri melalui
latihan dan pengembangan proses yang semakin kompleks dimodelkan oleh guru dalam
kegiatan dan demonstrasi, dan dalam teks dan bahan "(hal. 22). Dalam kasus ketika siswa
mengalami kesulitan dalam mentransfer strategi belajar dalam satu masalah untuk masalah
lain, metode yang disukai adalah pengurangan kekhususan tujuan. Menurut Ini strategi, beban
kognitif berkurang karena siswa diarahkan memahami situasi yang disajikan dalam masalah
bukan berfokus pada tujuan dibutuhkan oleh masalah.
Komponen ketiga dari kerangka yang diusulkan diwakili oleh hubungan antara
matematika dan bahasa kontekstual. Pada dasarnya, peneliti prihatin dengan tingkat di mana
bahasa digunakan dalam masalah '
Pernyataan sesuai dengan tingkat bahasa Inggris dari ELLs. Satu Saran adalah untuk
guru untuk meningkatkan peran bahasa alam di instruksi karena membantu siswa menengahi

14

antara proses mental, simbolik ekspresi, dan organisasi logis, serta "menemukan tandingan
dan di mengembangkan argumen validitas "(Campbell, 2007, hal. 23).
Komponen keempat, pengalaman budaya / kehidupan, pada dasarnya berkaitan dengan basis
pengetahuan informal yang siswa perlu memiliki untuk memahami konsep-konsep
matematika. Karena banyak dari ELLs berasal dari berbeda latar belakang budaya,
pengetahuan dasar informal mereka tidak dapat diterima begitu saja. Di contoh di atas, tidak
mengetahui rincian tentang pertandingan bisbol dapat membuktikan nyata hambatan dalam
memahami atau menerapkan aturan matematika sederhana.
2. Metode:
Hari ini komunitas riset setuju bahwa hasil yang sukses untuk ELLs dalam belajar
matematika hanya dapat terjadi jika proses dilihat secara holistic (Bukan semata-mata fokus
perbaikan pada kosa kata dan pemahaman). Dalam sebuah penelitian diterbitkan pada tahun
2002, Moschkovich menyelidiki tiga perspektif peran bahasa pada proses pembelajaran:
"memperoleh kosakata, membangun makna dan berpartisipasi dalam wacana "(Moschkovich,
2002, hal. 191). Masing-masing perspektif ini didasarkan pada konsep mencakup- secara
bertahap lebih besar. Memperoleh kosa kata itu didirikan pada konsep leksikon - siswa harus
belajar arti yang benar kata-kata matematika dan simbol. Membangun makna didirikan pada
konsep matematika register (Halliday, 1978) dan dipahami oleh Moschkovich sebagai
"berbagai bahasa yang terkait dengan situasi tertentu penggunaan" (Moschkovich, 2002, hal.
194). Konsep register kontras dengan konsep dari leksikon dari perspektif inklusi non-verbal
dan kontekstual. Untuk, seperempat dipandang sebagai 25 sen dalam masalah uang tertentu
atau sebagai seperempat dari keseluruhan dalam situasi umum. partisipasi ELL dalam wacana
matematika adalah terletak pada kedua praktek ini (memperoleh kosakata dan membangun
makna).
Konsep wacana mewakili lebih dari kata-kata (leksikon) dan makna (Register), karena
mengacu juga untuk model tindakan, pemikiran, penalaran, dan berkomunikasi, seperti itu,
"praktek Wacana matematika dapat dipahami dalam umum berbicara dan bertindak dalam
cara-cara yang orang matematis yang kompeten bicara dan bertindak "(Moschkovich, 2002,
hal. 199). Sementara kosa kata dan registry pada umumnya stabil, wacana matematika,
sebagai-sosiokultural terletak perspektif, tergantung pada berbagai faktor. Penulis
menyarankan bahwa dengan mengalihkan fokus dari instruksi dari kosakata sederhana dan
registry belajar wacana matematika, guru dapat membantu ELLs untuk fokus pada
pembelajaran matematika.
15

Pembelajaran menunjukkan bahwa penggunaan bahasa yang disederhanakan di kelas


matematika

menunjukkan

hasil

positif,

tetapi

penulis

memperingatkan

terhadap

penyederhanaan dari matematika konsep yang harus diajarkan. Mereka juga berpendapat
bahwa ajaran matematika harus juga terkait dengan kosakata bangunan.
3. Hasil diskusi dan kesimpulan
Morales et al. (2003) berpendapat bahwa mengajar adalah lebih dari sederhana
komunikasi linguistik antara guru dan siswa. Sebaliknya, mereka berpendapat untuk
digunakan dari strategi mengajar multimodal. Alasan di balik usulan ini adalah cara yang di
mana informasi baru ditransformasikan menjadi pengetahuan. Dari kompleksitas tanda-tanda
yang digunakan oleh guru selama penjelasan, siswa yang terus menerus membentuk kembali
dan beradaptasi informasi untuk masuk ke dalam matriks pengetahuan mereka yang sudah
ada.
Para penulis menjelaskan bahwa, "yang kaya kompleks tanda-tanda, semakin banyak
sumber daya yang siswa dapat memilih dan menggunakan untuk membuat makna baru
"(Morales et al., 2003 p. 134). Itu penulis menyajikan kasus seorang mahasiswa bilingual
kelas lima yang memecahkan geometris yang Masalah dengan terus membangun makna saat
bergerak antara teks tertulis, teks lisan, tokoh geometris, dan genggam kalkulator (simbol
matematika) nya.
Berdasarkan pengamatan ini, penulis menyarankan bahwa guru menggunakan
beberapa saluran komunikasi dalam rangka meningkatkan pemahaman matematika ELLs '.
Moschkovich (1999) membahas masalah pembelajaran matematika dengan populasi Latino
dari perspektif wacana matematika. Menurut para standar NCTM, penekanan di kelas
matematika harus berangkat dari "Diam dan individu kegiatan ... yang lebih verbal dan
sosial" tradisional (p. 6). penekanan baru ini ditempatkan pada wacana matematika siswa
diharapkan untuk memodifikasi cara di mana guru mendekati instruksi. Namun, untuk ELLs,
ini Rekomendasi dipandang sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, hal itu akan
memberikan mereka dengan lebih banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam diskusi
bermakna dan akibatnya meningkatkan keterampilan bahasa mereka. Di sisi lain, ada risiko
tinggi bahwa mereka akan dinilai sebagai yang kekurangan di bidang matematika. Penulis
juga menunjukkan bahwa "kemampuan keseluruhan siswa dalam satu bahasa tidak selalu
mencerminkan kecakapan dalam wacana matematika dalam bahasa itu "(hal. 8) dan
menunjukkan bahwa siswa Latino akan mendapatkan keuntungan dari terjemahan Spanyol.
Dalam kasus di mana siswa sudah belajar konsep-konsep matematika dalam bahasa Spanyol,
16

yang bilingual terjemahan akan membantu membuat transisi lebih mudah. Bagi mereka yang
tidak tahu material, terjemahan dapat membantu juga untuk meningkatkan kemampuan
Spanyol.
Penulis menyarankan empat ide yang dapat membantu instruksi matematika Latino:
"(1) menghormati keragaman pengalaman siswa Latino ', (2) mengetahui siswa dan
pengalaman mereka, (3) menghindari model defisit, dan (4) memberikan kesempatan bagi
diskusi matematika "(hal. 9). Mengingat keragaman besar mahasiswa Latino, itu adalah
diharapkan bahwa mereka akan memiliki latar belakang yang berbeda dan pengetahuan
informal.
Dalam konteks ruang kelas multibahasa, salah satu cara untuk membangun umum
tanah untuk semua peserta diwakili oleh revoicing (Enyedy et al. 2008). Secara tradisional
prosedur ini telah dilihat sebagai cara untuk meningkatkan kelas partisipasi dalam diskusi
matematika. Namun, selain ini, penulis juga menemukan bahwa revoicing memainkan peran
positif dalam fungsi kelas lainnya. Revoicing dapat penting dalam kasus ketika ELLs tidak
memiliki kemampuan linguistik yang diperlukan untuk partisipasi efektif dalam wacana
matematika; guru dapat membantu membuat ide-ide mereka didengar oleh seluruh kelompok
dan dengan demikian memungkinkan mereka untuk dianggap sebagai anggota yang
kompeten dari matematika komunitas belajar.
Para penulis memperkenalkan konsep revoicing untuk posisi sebagai pengakuan atas
fakta bahwa salah satu fungsi dari revoicing terdiri dalam posisi gagasan pembicara dalam
kaitannya dengan) umum konteks matematika, b) ide-ide orang lain, dan c) tugas tertentu di
tangan.
Saran yang dibuat oleh berbagai penulis yang berpusat pada ide untuk menemukan
beberapa cara untuk transmisi pengetahuan dan evaluasi yang cermat dari siswa basis
pengetahuan informal. Peran guru, sebagai mediator antara mungkin beberapa budaya di
kelas yang sama menjadi sangat kompleks, dan dalam banyak kasus mereka tidak terikat
untuk sukses jika penelitian dan masyarakat tidak menawarkan mereka semua bantuan yang
mereka butuhkan.

Jurnal II (Belanda)
PROPORTIONAL REASONING IN THE LABORATORY: AN INTERVENTION
STUDY IN VOCATIONAL EDUCATION (2012)

17

By: Arthur Bakker & Djonie Groenveld & Monica Wijers & Sanne F. Akkerman & Koeno P.
E. Gravemeijer, Belanda
Abstract:
Berdasarkan wawasan ke dalam sifat pengetahuan matematika SMK, kami merancang
alat komputer dengan mana siswa di sekolah laboratorium di sekolah menengah tingkat
sekolah kejuruan bisa mengembangkan kemampuan yang lebih baik dalam proporsional
penalaran yang terlibat dalam dilusi. Kami melakukannya karena kami telah mengidentifikasi
Perhitungan konsentrasi zat kimia setelah pengenceran sebagai daerah bermasalah di
pendidikan kejuruan teknisi laboratorium. Pra dan pasca tes hasil memang acara bahwa 47
siswa berusia 16-23 signifikan meningkatkan penalaran proporsional mereka dalam hal ini
domain dengan waktu instruksi singkat (50-90 menit). efek ukuran kebanyakan besar. Itu
Pendekatan menggunakan alat visual yang melatarbelakangi aspek matematika laboratorium
pekerjaan sehingga menggambarkan bagaimana kejuruan pengetahuan matematika dapat
dikembangkan secara efektif dan efisien.
kata kunci: Janus-head sifat matematika kejuruan. Sebanding penalaran. abstraksi terletak.
Hibriditas. matematika kerja
1. Pendahuluan:
Bahwa intervensi yang bertujuan untuk mengembangkan proporsional seperti
penalaran harus membantu untuk menghubungkan operasi aritmatika untuk tindakan yang
berkaitan dengan pekerjaan dari pengenceran. Salah satu keuntungan dari alat komputer
adalah bahwa mereka dapat membantu dalam menyoroti hanya mereka operasi yang desainer
berniat siswa untuk terlibat dengan, sambil mendorong ke latar belakang lainnya, misalnya,
kimia atau alasan praktis untuk pengenceran (misalnya, spektrofotometer mampu andal
mengukur konsentrasi hanya rendah). Keuntungan kedua dari computer simulasi adalah
bahwa tugas memakan waktu dapat dipercepat sehingga siswa dapat berkonsentrasi hanya
pada aspek-aspek tugas utama mereka menemukan sulit (lih pendekatan yang diambil di
Bakker, Kent, Noss, & Hoyles (2009) dan di Hoyles et al. (2010)). Selanjutnya, alat computer
memungkinkan untuk membuat kesalahan yang, di laboratorium nyata, yang harus dicegah
sebanyak mungkin.
Sejalan dengan literatur tentang pendidikan berbasis kompetensi (Van den Berg & De
Bruijn, 2009) kita mengasumsikan bahwa hubungan yang jelas untuk tugas-tugas yang
dilakukan oleh profesi merangsang pembelajaran karena siswa kemudian dapat lebih
mengintegrasikan berbagai jenis pengetahuan yang terlibat (lihat juga Coben, 2003). Van
18

Merrinboer dan Kirschner (2007) mencatat bahwa siswa sering mengeluh tentang modul
kursus terputus dan kurangnya relevansi apa yang mereka seharusnya belajar untuk profesi
masa depan mereka. Mereka berpendapat bahwa menghindari kompartementalisasi dan
memfasilitasi pemindahan memerlukan mengambil pandangan holistik dalam pembelajaran
desain. Ini mensyaratkan bahwa "instruksi idealnya dimulai dengan sederhana tapi 'Seluruh'
model realitas, yang kemudian disampaikan kepada peserta didik sesuai dengan suara prinsip
pedagogis "(hal. 9). Berikut pandangan holistik ini, alat komputer harus fokus pada
pengetahuan disiplin seperti matematika sehubungan dengan pekerjaan inti tugas dan
memberikan siswa kesempatan untuk mengintegrasikan berbagai jenis pengetahuan (lih Nab,
Pilot, Brinkkemper, & Ten Berge, 2007).
Namun, bahkan pendekatan holistik membutuhkan sequencing (Bakker & Derry,
2011). Karena lingkungan real-tugas mungkin menghadapi peserta didik dengan tingkat detail
dan bekerja stres yang mengganggu pembelajaran, Van Merrinboer dan Kirschner (2007)
menyarankan beberapa fitur desain seperti informasi prosedural just-in-time dan umpan balik.
Dari pengalaman mereka dengan mempromosikan kemahiran techno-matematika di tempat
kerja, Hoyles et al. (2010) menyimpulkan bahwa tugas-tugas belajar lebih berhasil jika
kompleksitas mendasari matematika bisa menjadi berlapis; yaitu, dibahas dalam beberapa
tahap kesulitan (misalnya, ketika merekonstruksi skema pensiun, tugas belajar dimulai
dengan premi reguler per bulan, menunda pengaruh manajemen biaya dan pengindeksan
untuk tugas-tugas berikutnya). Dalam desain alat komputer untuk penalaran proporsional di
laboratorium, kami telah ditarik pada pelajaran ini. Dalam makalah ini, kami berhipotesis
bahwa siswa secara efektif dan efisien dapat belajar untuk menghitung konsentrasi dengan
perangkat lunak yang melatarbelakangi alasan proporsional dari tugas pekerjaan inti,
memberikan bantuan just-in-time dan lapisan kompleksitas matematika SMK terlibat.
2. Metode
Bekerja sama dengan dua guru dari dua sekolah laboratorium yang berbeda (sekolah
menengah pendidikan kejuruan), kami merancang alat komputer yang disimulasikan
beberapa tindakan otentik dan perhitungan yang terlibat dalam mengukur konsentrasi zat. Ini
melibatkan subtasks seperti memilih faktor pengenceran yang tepat, menafsirkan strip skala
dan output dari spektrofotometer, menggunakan rumus kepunahan, dan menghitung
konsentrasi belakang untuk menentukan konsentrasi dalam sampel asli. Alat penawaran lebih
membantu tombol untuk langkah-langkah utama dalam perhitungan, dan umpan balik pada
kebenaran siswa jawaban. Bertujuan untuk kemajuan berlapis dari yang sederhana sampai
19

yang lebih tugas dan ide-ide yang kompleks, kami berakhir dengan lima jenis tugas yang
mempersiapkan siswa untuk tugas kerja kunci disebutkan di file kualifikasi
3. Kesimpulan dan diskusi
Hipotesis kami adalah bahwa siswa secara efektif dan efisien dapat meningkatkan
proporsional mereka penalaran tentang konsentrasi dengan perangkat lunak kami dirancang.
Dalam software ini, perhitungan yang terletak di tugas pekerjaan inti konsentrasi
menentukan, just-in-time bantuan dan umpan balik diberikan, dan kami berlapis kompleksitas
yang terlibat, dimulai dengan sederhana strip warna dan bergerak dari menggunakan grafik
untuk

menggunakan

rumus

matematika.

Sebagaimana

dimaksud

di

atas,

kita

dioperasionalkan efisiensi dalam hal membutuhkan waktu instruksi singkat dan


membutuhkan alat relatif murah komputer, dan efektivitas sebagai peningkatan nilai tes
siswa. Hipotesis ini didukung oleh perbedaan yang signifikan antara skor keseluruhan pada
pra dan pasca tes, dan sebagian besar efek ukuran besar di kedua sekolah 2 dan 3 yang dapat
diartikan sebagai keuntungan pembelajaran yang jelas dalam periode waktu yang singkat.
Alat komputer, sebagai diuji di sini, adalah hasil dari sekitar 300 jam pemrograman, yang
kami anggap relative murah mengingat ribuan siswa yang dapat menggunakan alat ini bebas
secara online di kedatangan tahun.
Hasil pada item yang berbeda berbeda. Mengingat kesamaan antara item 2 dan 3
dengan tugas dipraktekkan menggunakan alat komputer, tidaklah mengherankan bahwa siswa
menunjukkan peningkatan yang lebih besar pada item-item. Isi angka 4 secara implisit
dipraktekkan di tugas komputer, sehingga lebih banyak pengalaman dengan tugas-tugas
seperti itu mungkin telah merangsang siswa untuk mencerminkan lebih pada isu-isu yang
terlibat dalam memilih proporsi yang tepat dari termos dan pipet. Efek ukuran umumnya
lebih besar di sekolah 3 dapat dijelaskan oleh fakta bahwa adalah di daerah pedesaan dengan
lebih sedikit masalah khas sekolah dalam kota, tapi kami berpikir bahwa yang paling
kemungkinan penjelasan adalah periode singkat antara sesi pembelajaran dan post-test (1
minggu bukannya 6 minggu).
Orang mungkin bertanya-tanya bagaimana umum hasilnya, mengingat bahwa kita
tidak bisa bekerja dengan random sampel siswa. Hasil antara sekolah 2 dan 3, meskipun
wilayah di sangat berbeda dari negara (dalam kota dan pedesaan, masing-masing), yang
sangat mirip, bahkan pada tingkat barang.
Selain itu, penelitian kami tidak fokus pada sampel yang mewakili populasi, tetapi
pada proses dan kecenderungan-jenis penelitian yang jauh lebih umum dalam pendidikan dan
20

psikologi (Frick, 1998). Pada tiga sekolah yang berbeda, guru dengan latar belakang disiplin
ilmu yang berbeda menekankan bahwa alat tersebut dapat digunakan dengan baik baik dalam
matematika dan pelajaran kimia, dan bahkan dalam program pendidikan lainnya seperti
farmasi. Salah satu guru kimia mengatakan: "Kami biasanya memakai penutup mata. Kami
hanya mencari kimia, karena pengajaran kimia adalah kami pekerjaan. Kami tidak mencari
perhitungan. "Hal ini menunjukkan bahwa alat tersebut dapat berfungsi dengan baik di batas
dua disiplin ilmu ini, dan muncul untuk mengatasi Janus berkepala (bermuka dua) atau alam
hybrid pengetahuan yang dikembangkan di sini.
Penalaran proporsional terlibat dalam menentukan konsentrasi setelah pengenceran
adalah khas kasus penalaran dengan abstraksi terletak. Pada satu titik, programmer komputer
kita berseru: "? Mengapa saya menghabiskan 300 jam pemrograman pada satu perkalian"
Dalam nya mata, inti matematika dari tugas pekerjaan hanya penggandaan konsentrasi
ditemukan dan faktor pengenceran. Namun, ketika menghitung konsentrasi asli dia, kita, dan
banyak guru kita diminta untuk bekerja dengan alat ini, sering harus berpikir keras tentang
bagaimana memecahkan gangguan konsentrasi. Alasannya adalah bahwa konteks dan bahasa
membuatnya kompleks: Apa terjadi dengan konsentrasi jika kita mengambil 50 ml dari
sampel dan tambahkan air demineralisasi untuk sampai labu 250 mL penuh? Memiliki
pengetahuan yang terbatas kimia, kita kadang-kadang merasa tidak aman tentang reaksi kimia
atau proses yang kita mungkin tidak menyadari. diskusi dengan guru kimia sering berakhir
dalam keputusasaan karena kebingungan yang melekat dalam penggunaan bahasa.
Apakah ini faktor pengenceran 5? 1/5? 1 + 4? 1 sampai 4? Lebih umum, perhitungan
terletak di web alasan (Bakker & Derry, 2011), banyak yang kimia atau praktis, dan hanya
beberapa di antaranya adalah matematika: Kita perlu untuk mencairkan karena, jika tidak,
spektrofotometer tidak bisa mengukur secara andal, tapi kita tidak harus tiba di terlalu rendah
konsentrasi, baik. Dalam praktek, guru kimia memberitahu siswa mereka tidak untuk
mengukur terlalu dekat batas pengukuran Kisaran, sehingga beberapa estimasi untuk berapa
banyak untuk mencairkan dalam konteks tertentu juga diperlukan.
Pada artikel ini, kami berharap untuk menunjukkan bagaimana kejuruan pengetahuan
matematika dapat secara efektif dan efisien dikembangkan di sekolah melalui penggunaan
alat-alat komputer khusus
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendukung pembangunan ini di tempat kerja
yang sebenarnya (misalnya, pra-dan posttests tidak mungkin dalam riset yang dilakukan oleh
Hoyles et al. (2010)). Mengingat bahwa itu akan menjadi mahal untuk mengembangkan alat
tersebut untuk semua aspek matematika menantang pekerjaan, salah satu.
21

Oleh karena itu pertanyaan-pertanyaan kunci untuk penelitian masa depan adalah bagaimana
terletak dan spesifik alat seperti itu harus untuk pelajar dan situasi tertentu. Sejalan dengan
karya Ainley, Pratt, dan Hansen (2006) di tujuan dan utilitas, dan Dierdorp, Bakker,
Eijkelhof, dan van Maanen (2011) untuk mengadaptasi tugas profesional untuk tugas-tugas
pendidikan, itu akan menarik untuk menguji apakah konteks kejuruan mungkin membantu
desainer untuk menghubungkan keterlibatan siswa dan fokus dalam desain tugas dalam
pendidikan umum.
Jurnal III (Finlandia)
THINKING AND CONTENT LEARNING OF MATHEMATICS AND SCIENCE AS
COGNITIONAL DEVELOPMENT IN CONTENT AND LANGUAGE INTEGRATED
LEARNING (CLIL): TEACHING THROUGH A FOREIGN LANGUAGE IN
FINLAND
By: Aini-Kristiina Jppinen Institution for Educational Research, University of Jyvskyl,
Finland
http://www.unifg.it/sites/default/files/allegatiparagrafo/20-012014/jappinen_thinking_and_content_learning_in_mathematics_and_science.pdf
Abstract:
Makalah ini menyajikan studi tentang berpikir dan belajar proses matematika dan
ilmu dalam mengajar melalui bahasa asing, di Finlandia. Entitas berpikir dan proses
pembelajaran konten, dalam penelitian ini, dianggap sebagai pengembangan cognitional.
Pengajaran melalui bahasa asing di sini disebut Content dan Language Integrated.Belajar atau
CLIL. CLIL mengacu pada semua program yang beragam, termasuk beberapa bentuk
perendaman dan pendidikan bilingual, di mana bahasa asing merupakan media instruksi,
mempengaruhi seluruh proses pembelajaran peserta didik. Berpikir dan konten belajar di
CLIL memanifestasikan dirinya sebagai sistem penalaran CLIL analogis, berdasarkan dua
bahasa, dan diasumsikan mempengaruhi perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif
dipelajari dengan 669 Finlandia peserta didik L1 utama berusia 7-15 di masyarakat sekolah
yang komprehensif. Kelompok eksperimen, 335 peserta didik, diajarkan melalui Inggris,
Perancis atau Swedia. Kelompok eksperimen dibandingkan dengan control kelompok 334
peserta didik, diajarkan melalui bahasa ibu, yaitu Finlandia. Cognitional pengembangan
dipelajari dalam hal konsep individu dan struktur konseptual yang di sini disebut skema

22

makna. Hasil empat pengukuran pada tahun 2002-2003 di disajikan mana perbedaan statistik
yang ditemukan antara eksperimental dan kelompok kontrol dalam pembangunan cognitional.
Kata kunci: CLIL, konten dan bahasa pembelajaran terpadu, mengajar melalui bahasa asing,
berpikir, belajar konten, perkembangan kognitif
1. Pendahuluan:
Globalisasi dan perubahan sosial yang berkelanjutan di bidang ekonomi, budaya dan
politik (mis Robertson, 2001; Urry, 2003) membuat tuntutan khusus pada Eropa pendidikan
(Komisi Eropa, 2000, 2001; Reding, 2001). Perubahan ini termasuk pertanyaan
meningkatkan efisiensi dan lingkup pembelajaran bahasa. Mengajar konten melalui bahasa
asing dapat dianggap sebagai sebuah pendekatan untuk naik ke tantangan ini.
pendekatan Eropa mengajar konten melalui bahasa asing berasal dari perendaman
Kanada (mis Cummins, 1995, 2001; Swain & Johnson, 1997) tetapi sangat disesuaikan
dengan keadaan budaya, bahasa atau sosial Eropa. Cara Eropa menggunakan bahasa asing
sebagai alat dalam mengajar isi bervariasi untuk gelar besar, sebagai akibat dari multikultural
dan multibahasa keragaman di Eropa (Hartiala, 2000; Marsh & Hartiala, 2001).
2. Mode Konten dan Language Integrated Learning atau CLIL
Bentuk-bentuk pengajaran melalui bahasa asing sering disebut Konten dan Language
Integrated Learning atau CLIL. Istilah ini diadopsi secara luas, misalnya, oleh Komisi Eropa
(de Bot, 2001; Komisi Eropa, 2000, 2001; Reding, 2001). Dalam tulisan ini, CLIL mengacu
pada semua situasi di mana ada hubungan antara bahasa asing yang digunakan sebagai media
pengajaran dan konten yang diajarkan, termasuk pencelupan dan beberapa bentuk pendidikan
bilingual (mis Baetens Beardsmore, 1982; Baker & Prys Jones, 1998; Met, 1991).
Dalam CLIL, belajar bahasa asing tidak tujuan langsung pendidikan tapi bagian alami
dari proses pembelajaran secara keseluruhan. Karena keragaman mereka, Eropa program
CLIL memiliki berbagai tujuan yang berkaitan dengan budaya, lingkungan, bahasa, isi, dan /
atau belajar. Ini berarti bahwa, dalam banyak kasus, bahasa belajar atau mengajar bukanlah
titik fokus dari program CLIL meskipun bahasa selalu salah satu fitur kunci dari lingkungan
belajar CLIL. Eropa CLIL dapat dilakukan dari anak usia dini hingga pendidikan tinggi, oleh
native atau guru non-pribumi, dalam bahasa apapun, subjek atau kuantitas, dan selama
apapun periode (Hartiala, 2000; Marsh & Hartiala, 2001).
Program CLIL kontemporer Eropa adalah cukup baru dan produktif gejala.
Akibatnya, ada kelangkaan cukup penelitian CLIL meskipun penelitian pada perendaman dan
23

pendidikan bilingual (Baker, 1996; Bialystok, 1999; Bialystok & Majumder, 1998; Cummins,
2001; Mohan & Beckett, 2003) memberikan pengetahuan yang berguna untuk pendekatan
CLIL.
3. CLIL di Finlandia
Finlandia adalah salah satu pelopor dalam CLIL Eropa, terutama di masyarakat
pendidikan utama di mana, pada tahun 1996, 8% dari primer Finlandia dan 15% dari sekolah
umum sekunder diasumsikan menggunakan bahasa asing sebagai pengantar (Nikula &
Marsh, 1996). Sejak itu, jumlah CLIL program telah meningkat.
Di Finlandia, CLIL biasanya tidak terbatas pada minoritas budaya atau bahasa,
kecuali perendaman di Swedia, namun ditujukan untuk pendidikan utama public L1 peserta
didik untuk menyediakan semua orang dengan kesempatan yang lebih baik untuk kehidupan
kerja dan akses ke multikultural dan plurilingual dunia (lih Leung, 2003). Paling Finlandia
peserta didik CLIL juga mendapatkan pengajaran formal bahasa target. Pada saat yang sama,
instruksi dari bahasa ibu yang terorganisasi dengan baik (Adams & Wu, 2002; Vlijrvi et al.,
2002).
Karena peningkatan cepat CLIL, beberapa lembaga pendidikan Finlandia dan ahli
menjadi khawatir tentang proses pembelajaran konten yang diajarkan dan pengembangan
keterampilan bahasa ibu, meskipun sebagian besar peserta didik CLIL Finnish mendapatkan
instruksi di Finlandia dan Finlandia, bersama dengan penggunaan bahasa asing. Oleh karena
itu, tampaknya penting untuk mempelajari berpikir dan belajar konten proses peserta didik
CLIL Finlandia.
Bahasa Inggris adalah bahasa CLIL paling umum karena digunakan sebagai lingua a
franca di banyak perusahaan Finlandia dan konteks internasional. Kedua yang paling umum
adalah Swedia tetapi ada juga banyak CLIL di Jerman, Perancis dan Rusia. mata pelajaran
yang paling umum diajarkan adalah matematika, biologi, geografi, musik, menggambar,
pendidikan jasmani, kerajinan, sejarah, ilmu pengetahuan domestik, fisika, kimia, dan seni.
Di Finlandia, perendaman mengambil tempat di Swedia, perendaman total biasanya
sedini (Mis Swain & Johnson, 1997). Ini berarti bahwa peserta didik pertama diajarkan
semata-mata melalui Swedia, porsi Finlandia meningkat dengan waktu. Para guru yang
penutur asli dari Swedia yang tidak diperbolehkan untuk menggunakan Finlandia dalam
instruksi, meskipun kebanyakan dari mereka fasih dalam bahasa Finlandia (Bjrklund, 1997).
Finlandia lainnya program CLIL dari Inggris, Perancis, Rusia Jerman atau dapat mewujudkan
berbeda jumlah dari kedua bahasa, tergantung pada subjek atau topik yang diajarkan. Itu
24

Guru biasanya dapat menggunakan Finlandia dengan murid yang sama dalam pengaturan
selain CLIL. Sejumlah besar guru bukan penutur asli dari luar negeri bahasa meskipun
mereka memiliki perintah yang baik dari itu (Hartiala, 2000; Nikula, 1997)
4. CLIL Berpikir dan Konten Belajar Belajar sebagai Cognitional Pengembangan
Meskipun proses belajar bahasa asing atau bahasa ibu telah difokuskan pada pada
beberapa penelitian, berpikir sehubungan dengan pembelajaran konten adalah daerah hampir
belum dijelajahi di Eropa (lih Walker & Tedick, 2000). Karena itu, banyak pertanyaan belum
terjawab (lih Mohan et al, 2001.): Apakah ini jenis lingkungan belajar bahasa mendukung
berpikir dan belajar individual proses? Apa saja fitur bermasalah CLIL? Bagaimana mungkin
administrator, politisi, dan guru mengembangkan lingkungan CLIL agar peserta didik akan
didukung dalam cara yang terbaik?
Makalah ini berfokus pada berpikir dan belajar konten proses Finlandia CLIL peserta
didik dibandingkan dengan peserta didik diajarkan melalui bahasa ibu (Finlandia), tidak pada
pembelajaran bahasa atau masalah linguistik. Bagaimana kita bisa belajar, kemudian,
pengaruh penggunaan bahasa asing di CLIL peserta didik berpikir dan konten pembelajaran
proses, yaitu, pembangunan cognitional mereka?
Dalam bentuk saat ini, CLIL adalah ciptaan baru. Belum ada apapun yang
memuaskan kerangka teori untuk menjelaskan bagaimana peserta didik CLIL memahami isi
diajarkan di lingkungan CLIL beragam, yaitu, bagaimana mereka memahami, menggunakan,
dan menerapkan konsep dan skema makna dalam dua sistem semantik dua yang berbeda
bahasa. Dengan kata lain, apa yang belajar CLIL? Artikel ini akan menyajikan beberapa
jawaban untuk pertanyaan ini. Metode penelitian studi yang tidak mengikuti yang baru-baru
ini digunakan untuk mempelajari kognisi manusia (lih Eysenck & Keane, 1999).
Kelangkaan penelitian CLIL dan sifat khusus dari lingkungan CLIL, karena efek
simultan dan beberapa dari dua bahasa dan dua semantic sistem, diperlukan pendekatan baru
dan inovatif. CLIL belajar adalah campuran dari bahasa, budaya, dan isinya. penelitian ini
adalah berdasarkan ide Vygotsky (1986) dan Bruner (1971, 1983, 1986, 1990, 1996) bahwa
hubungan antara bahasa dan pikiran pada dasarnya berhubungan dengan lingkungan dan
budaya. Bahasa tidak hanya sesuatu yang pelajar berpikir tentang tetapi juga bagian dari
proses berpikir pelajar itu sendiri. belajar CLIL juga meliputi (1978) ide Halliday bahwa
pelajar berpikir dengan bahasa, yang, mencerminkan pengalaman dan mencapai pemahaman.
Bahasa asing tidak hanya alat dari instruksi tetapi merupakan alat penting dalam proses
berpikir pembelajar.
25

Penelitian ini juga didasarkan pada ide yang diterima secara luas (mis Cole & Cole,
1996) bahwa bahasa dan pikiran adalah fungsi psikologis akhirnya dipisahkan bahwa tidak
dapat dikurangi satu sama lain meskipun mereka mendalam bercampur dalam semua
perkembangan normal. Sejauh dan cara mereka mempengaruhi satu sama lain adalah,
Namun, masalah yang rumit. Hal ini menjadi semakin rumit ketika asing Bahasa adalah alat
belajar dan memiliki efek luar biasa pada pemikiran. Dari pada dua faktor kita sekarang
memiliki tiga: dua sistem bahasa, pemikiran, dan konten belajar. Namun, dua bahasa dan
konten pembelajaran membentuk satu kesatuan karena bahasa asing dan bahasa ibu keduanya
terlibat dalam pembelajaran proses konten. Hal ini memungkinkan untuk belajar belajar
konten melalui proses berpikir dan berpikir melalui pembelajaran konten. CLIL peserta didik
diasumsikan untuk menafsirkan lingkungan CLIL dengan menciptakan sistem penalaran
analogis berdasarkan dua bahasa yang mempengaruhi, sering sadar, situasi belajar dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari itu. Sebagai Gambar 1 menunjukkan, analogis CLIL
penalaran merupakan dasar untuk CLIL berpikir dan konten belajar. Proses penalaran
analogis karena didasarkan pada membandingkan persamaan dan perbedaan antara dua
bahasa dalam semantik, budaya, dan rasa sosial. Analogis CLIL penalaran membentuk dasar
untuk belajar konten sebagai pemikiran representasional, yaitu, berarti pembuatan konsep dan
makna skema, dan membawa tentang modifiability kognitif konsep dan konseptual sistem.
Untuk mempelajari konsekuensi dari analogis CLIL penalaran, belajar dan berpikir telah
dihubungkan satu sama lain. Untuk tujuan ini, 18 unities diciptakan dan dimodifikasi
(Jppinen, 2002). Kesatuan dari analogis CLIL penalaran di sini hanya disebut 'kognisi' untuk
dapat beroperasi dengan istilah tunggal dan menghubungkannya dengan perkembangan
cognitional. kognisi ini adalah pasang lima kritis daerah penemuan pembelajaran, diadaptasi
dari Bruner (1971) dan 10 kategori berpikir, diadaptasi dari operasi Piaget (mis Cole & Cole,
1996; Keating, 1980 di Cole & Cole, 1996). Penelitian ini difokuskan pada pengembangan
kognisi ini sebagai pengembangan cognitional.
Penemuan penting bidang pelajaran yang dipelajari adalah: (1) kesadaran yang ada
konsep dan kemampuan untuk memahami, menggunakan, menerapkan, dan menjelaskan
mereka, (2) kesadaran skema makna dan kemampuan untuk membuat link antara mereka, (3)
kemampuan untuk mengeksploitasi informasi dalam situasi pemecahan masalah dan
merumuskan hipotesis, (4) kemampuan untuk memecahkan masalah yang sulit untuk
menjelaskan kepada diri sendiri atau ketika konsep yang satu belum diperoleh terlibat, dan
(5) kemampuan untuk mengeksploitasi arus informasi, untuk membuat perbandingan dan
bentuk antitesis, dan memilih antara dua atau lebih alternatif.
26

10 kategori pemikiran melalui mana daerah pembelajaran penemuan penting


dipelajari termasuk: (1) mengklasifikasi sesuai dengan lebih dari satu konkuren faktor, (2)
mewujudkan keteguhan sifat, (3) mewujudkan kesamaan dari perubahan, (4) mewujudkan
kompensasi atau kesetaraan perubahan, (5) mewujudkan yang timbal balik atau berbaliknya
dari perubahan, (6) memerhatikan dan charting alternative untuk tindakan, (7) berpikir ke
depan kemajuan proses dalam terang yang berbeda alternatif dan pilihan, (8) mengubah
kemungkinan menjadi hipotesis dan pengujian hipotesis, (9) menjadi sadar proses berpikir
sendiri, dan (10) berpikir di luar batas konvensional.
Kognisi tetap sama di masing-masing empat langkah untuk membuatnya mungkin
untuk mempelajari perkembangan kognitif. Hanya isi dari pengukuran bervariasi, sesuai
dengan topik dalam kurikulum, Tabel 1. kognisi dipilih atas dasar pra-pengujian yang
berlangsung di musim gugur 2001. Tujuannya adalah untuk membandingkan kombinasi yang
berbeda dari pemikiran kategori dan daerah pembelajaran penemuan penting dan untuk
memilih dan memodifikasi kognisi cocok untuk setiap kelompok usia.
5. Metode
Penelitian ini dilakukan di 12 sekolah komprehensif utama Finlandia yang disediakan
kelompok eksperimen dan kontrol. Rentang usia 669 peserta didik adalah 7-15 tahun.
Sekolah-sekolah yang terletak di Helsinki (ibukota, lebih 500.000 penduduk), Tampere
(sekitar 200.000 jiwa), dan Turku (sekitar 190.000 penduduk) yang bersama-sama mewakili
sekitar 20% dari populasi Finlandia. Kelompok eksperimen, 335 peserta didik, diajarkan
melalui bahasa Inggris, Perancis atau Swedia. Mereka dibandingkan dengan kelompok
kontrol dari 334 peserta didik diajarkan melalui Finlandia yang merupakan bahasa ibu dari
semua peserta didik yang terlibat dalam pembelajaran. Jumlah CLIL dalam bahasa Inggris
adalah sekitar 60%, jumlah Perancis 30%, dan jumlah Swedia sekitar 10%. Artikel ini
menyajikan hasil empat pengukuran. Pengukuran pertama M1 Menyediakan tingkat awal
penelitian. Hal itu dilakukan pada musim semi 2002.
M2, M3, dan M4 bersangkutan perkembangan kognitif (Jppinen, 2003). Pertama
pengukuran tindak lanjut M2 dibuat pada musim gugur 2002, M3 kedua di musim semi 2003,
dan yang ketiga pengukuran tindak lanjut M4 pada musim gugur 2003. Artikel ini
menyajikan hanya mereka kognisi di mana ada perbedaan yang signifikan antara
eksperimental dan kelompok kontrol di semua tiga atau dua terakhir tindak lanjut pengukuran
setelah tingkat awal yang sama. Kognisi yang sama di tes matematika dan ilmu pengetahuan,
dan sebagian besar peserta didik diuji di kedua mata pelajaran.
27

6. Diskusi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk tidak memeriksa seberapa baik konten yang
diajarkan melalui bahasa asing. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk melihat bagaimana
peserta didik dieksploitasi, dalam proses pemikiran mereka, konsep dan skema arti mereka
telah belajar melalui bahasa asing. Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk mengetahui
tentang konsekuensi dari sistem penalaran CLIL analogis sebagai kognitif pengembangan.
Menurut penelitian ini, lingkungan CLIL Finlandia dalam arus public L1 Pendidikan telah
berhasil, secara umum, dalam menawarkan kondisi yang menguntungkan untuk berpikir dan
konten pembelajaran dalam matematika dan ilmu pengetahuan. Dalam kebanyakan kasus,
Pembangunan cognitional di lingkungan CLIL menyerupai pembangunan dalam
mengajar melalui bahasa ibu. Dalam beberapa kasus, di kelompok usia kedua, perkembangan
kognitif kelompok eksperimen tampaknya bahkan lebih cepat dari bahwa pada kelompok
kontrol. Satu demikian dapat disimpulkan bahwa CLIL penalaran analogis.
Sistem bekerja di lingkungan CLIL Finlandia di mana bahasa ibu dari semua peserta
didik adalah Finlandia dan mereka diajarkan melalui bahasa Inggris, Perancis atau Swedia.
Khususnya pada kelompok usia kedua, CLIL pelajar berusia 10-14, cognitional pembangunan
di kelompok eksperimen ini kadang-kadang bahkan lebih cepat dari dalam kelompok kontrol.
Namun, yang lebih muda CLIL pelajar, berusia 7-9, memiliki beberapa kesulitan dengan
topik ilmiah yang lebih abstrak tertentu yang tidak dapat sangat cocok untuk diajarkan
melalui bahasa asing. Pada kelompok usia ketiga, eksperimental dan kelompok kontrol
berbeda sangat sedikit dari satu sama lain. Satu penjelasan yang mungkin untuk ini adalah
bahwa jumlah pengajaran melalui bahasa asing adalah lebih kecil pada kelompok usia ketiga
daripada di pertama atau kedua. Hal ini disebabkan, pertama, untuk tingkat kesulitan mata
pelajaran yang membatasi jumlah CLIL atau, kedua, fakta bahwa kelayakan untuk studi lebih
lanjut bahwa, secara umum, di Finlandia harus dijamin.
Hasil positif dari lingkungan CLIL Finlandia berarti pengajaran yang melalui bahasa
asing mendukung pemikiran CLIL peserta didik dan pembelajaran konten. Ada faktor-faktor
yang dianggap memiliki positif mempengaruhi cognitional pengembangan peserta didik
CLIL Finlandia. peserta didik memiliki sejumlah besar pelajaran bahasa ibu selama masa
studi mereka di sekolah komprehensif, selain untuk berpartisipasi dalam isi pengajaran
melalui bahasa asing. kebanyakan CLIL peserta didik juga menghadiri pelajaran subjek yang
dilakukan di Finlandia saja. Finlandia CLIL peserta didik dalam kelompok usia kedua dan
ketiga juga biasanya terlibat dalam belajar bahasa formal, selain pelajaran CLIL, yang
menjamin pembelajaran tata bahasa dan fitur lainnya yang diperlukan dari bahasa target.
28

Mengajar dan belajar matematika dari bahasa ibu, di Finlandia, berkualitas tinggi,
sebagai hasil dari PISA Study 2000 show (OECD, 2002). Ini berikut terutama dari dua faktor
yang khas dari lingkungan belajar Finlandia. Pertama, belajar bahasa ibu sangat dihargai dan
instruksi adalah terorganisir dengan baik (misalnya Adams & Wu, 2002;. Kirsch et al, 2002;
Vlijrvi et al., 2002). Kedua, pendidikan guru Finlandia berlangsung di universitas dan
tinggi kualitas. Status sosial guru juga tinggi.
Kita juga harus mempertimbangkan kemungkinan variabel lain ada yang telah, untuk
Misalnya, lingkungan rumah, status sosial ekonomi orang tua, mungkin ujian masuk untuk
kelas CLIL, atau sifat peserta didik memasuki CLIL yang mungkin semua telah
mempengaruhi

hasil.

Faktor-faktor

ini,

bagaimanapun,

dibawa

ke

pertimbangan.

Diasumsikan bahwa pengaruh faktor-faktor ini akan menjadi jelas di tingkat awal cognitional,
dan pengukuran tindak lanjut diharapkan untuk mengungkap perkembangan cognitional sama
atau berbeda. Beberapa yang lain faktor yang juga diperkirakan akan menurun bias, salah
satunya adalah bahwa eksperimen dan kelompok kontrol berasal dari sekolah yang sama
dalam jenis yang sama dari perkotaan pengaturan sosial.
Salah satu faktor yang mungkin untuk meningkatkan bias mungkin kurangnya guru
dan observasi material. Misalnya, metode pengajaran yang menekankan kritis dan kreatif
dukungan pemikiran gaya dan proses yang membantu peserta didik belajar untuk lebih baik
mengelola dalam tes yang membutuhkan lebih beraneka ragam dan berpikir canggih.
Namun, sejumlah besar guru menggunakan metode pengajaran yang beragam dan latar
belakang profesional serupa dari CLIL dan bahasa ibu guru itu diasumsikan untuk
mengurangi bias. titik kritis lain yang mengakibatkan bias yang mungkin memiliki menjadi
omset beberapa peserta didik selama penelitian. Meskipun sebagian besar guru terinspirasi
oleh studi di keempat pengukuran, beberapa yang kurang komitmen yang diperlukan dan
putus. Untuk menghindari jenis bias, sarana sebagai sum variabel hanya termasuk peserta
didik yang telah berpartisipasi dalam setidaknya dua pengukuran mana yang harus baik M3
atau M4.
Meskipun tingkat cognitional umum peserta didik CLIL 'dan pengembangan adalah
tinggi, dibandingkan dengan kelompok kontrol, beberapa kesulitan yang ditemukan dalam
pertama kelompok umur dengan topik sentral sangat abstrak atau kurang. Dalam penelitian
ini, jenis topik yang terkait, misalnya, untuk isi spasial. Hal ini menunjukkan bahwa, pada
awalnya, di lingkungan CLIL, guru harus mempertimbangkan dengan hati-hati isi diajarkan
melalui bahasa asing dengan peserta didik yang lebih muda. Mereka harus membuat pilihan
antara apa yang penting untuk diajarkan dalam bahasa ibu dan apa yang bijaksana untuk
29

mengajar melalui bahasa asing. Dengan peserta didik muda, itu akan menjadi baik jika topik
yang diajarkan melalui bahasa asing terkait terutama dengan segera lingkungan pelajar.
Kemudian, di sisi lain, ketika berpikir proses telah dikembangkan, penggunaan bahasa asing
sebagai media pembelajaran tampaknya menjadi keuntungan dalam develoment cognitional.
Menurut temuan studi ini, tampaknya bahwa lingkungan CLIL Finlandia dukungan
berpikir dan belajar konten, khususnya, dalam situasi di mana pelajar harus membandingkan
konsep yang berbeda dan skema makna dengan masing-masing lain. Ini diasumsikan karena
sistem penalaran CLIL analogi yang didasarkan pada persis jenis situasi di mana pelajar
membuat perbandingan antara dua sistem semantik dua bahasa dan dua atau lebih yang
mendasari budaya. CLIL peserta didik dapat mendapatkan latihan khusus dalam
mengklasifikasikan konsep dan berarti skema, di memerhatikan dan menciptakan hubungan
antara konsep dan makna skema, dan di hypothesising hal yang beragam.
Belajar di lingkungan CLIL tampaknya, pada awalnya, lebih menuntut dari dalam
lingkungan di mana bahasa ibu adalah media pembelajaran. Namun, sebagai studi
menunjukkan, Finlandia peserta didik CLIL tampaknya untuk mencapai, dari waktu ke
waktu, kemampuan yang diperlukan dan tingkat cognitional. Kesimpulan utama dari
penelitian ini adalah bahwa lingkungan belajar menuntut dan bahasa-diperkaya memiliki,
secara umum, efek positif pada pengembangan cognitional Finlandia utama CLIL pelajar.
Jurnal IV(Nigeria)
MODELLING THE RELATIONSHIP BETWEEN MATHEMATICAL REASONING
ABILITY AND MATHEMATICS ATTAINMENT
Benson Adesina Adegoke
Institute of Education, University of Ibadan
E-mail: doctoradegoke@yahoo.com
2013
Abstrak
Pada artikel ini, penulis berupaya untuk menjelaskan indikator kemampuan penalaran
matematika dan meneliti hubungan, menggunakan teknik pemodelan regresi struktural, antara
kemampuan penalaran matematika dan pencapaian siswa dalam matematika. Sampel terdiri
dari 240 Sekolah Menengah Satu Siswa (Usia 14-16 tahun) yang dipilih secara acak dari
empat sekolah menengah atas di Isokan dan Irewole Pemerintah Daerah Area Osun, Nigeria.
30

Sebuah 24-item Matematika Kemampuan Penalaran Test (MAT) dan Pencapaian 36-item
dalam Matematika Test (AMT) dibangun untuk menjelaskan indikator kemampuan penalaran
matematika dan untuk menilai seberapa jauh indikator ini masuk ke dalam sukses dalam
pekerjaan matematika sekolah. Skor siswa dalam MAT dan AMT dianalisis dengan
menggunakan perkiraan kemungkinan maksimum LISREL versi 8.88. Hasil dari model
regresi struktural menunjukkan bahwa empat pengertian mendasar (yaitu: kelas, variabel,
ketertiban dan klasifikasi) yang mengukur kemampuan penalaran matematika dan dua,
keberhasilan dalam kemampuan penalaran matematika andal diprediksi keberhasilan dalam
pencapaian matematika. Temuan ini menunjukkan perlunya guru matematika untuk memount program intervensi yang akan membantu siswa mengembangkan dan meningkatkan
kemampuan penalaran matematika mereka dan pada akhirnya meningkatkan pencapaian
mereka dalam matematika.
Kata kunci: kemampuan penalaran matematika; Pencapaian di Matematika; Pembelajaran
matematika di Nigeria; Pemodelan regresi struktural.
1. Pengantar
Matematika adalah kendaraan yang sangat baik untuk pengembangan dan
peningkatan kompetensi intelektual seseorang dalam penalaran logis, visualisasi spasial,
analisis dan pemikiran abstrak. Siswa mengembangkan berhitung, penalaran, kemampuan
berpikir, dan keterampilan pemecahan masalah melalui pembelajaran dan penerapan
matematika. Ini dinilai tidak hanya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam
kehidupan sehari-hari dan di tempat kerja. Pengembangan scientifically- sangat terampil dan
teknologi `tenaga kerja berdasarkan membutuhkan landasan yang kuat dalam matematika.
Pemerintah Federal Nigeria menyadari bahwa dia membutuhkan warga negara yang
bisa menunjukkan pengetahuan yang memadai Matematika agar negara itu untuk mengatasi
meningkatnya kompleksitas kegiatan ekonomi di dunia saat ini. Hal ini mungkin
menunjukkan mengapa matematika dibuat mata kuliah wajib untuk semua siswa di tingkat
sekolah menengah di Nigeria. Hal ini tercermin dalam Kebijakan Nigeria Nasional
Pendidikan (Pemerintah Federal Nigeria, [FGN], 2004). Tidak diragukan lagi, penekanan
pada pendidikan matematika fungsional akan memastikan bahwa Nigeria memiliki tenaga
kerja yang semakin kompetitif untuk memenuhi tantangan abad ke-21.

31

Namun, meskipun pentingnya matematika, tingkat siswa sekolah menengah 'prestasi,


terus menjadi rendah (Uwadiae, 2012). Rata-rata, antara 2009 dan 2012, kurang dari 50%
dari siswa yang duduk untuk Matematika di Sertifikat Pemeriksaan Sekolah Menengah
(SSCE) dilakukan oleh Afrika Barat Pemeriksaan Council (WAEC) dan Dewan Ujian
Nasional (NECO) memperoleh minimal kredit lulus di Matematika. Kecenderungan miskin
prestasi dalam matematika di kalangan siswa sekolah menengah terus menarik perhatian dari
pemangku kepentingan utama (orang tua, peneliti, guru, dan badan-badan memeriksa) dalam
pendidikan di Nigeria (Uwadiae, 2012).
Dalam upaya mereka untuk meningkatkan tingkat siswa prestasi dalam matematika,
peneliti (Adegoke, 2011; Awofala, Awoyemi, Fatade, & Nneji, 2012) telah membuat beberapa
saran. Di antara saran tersebut mencakup penerapan metode pengajaran integratif, strategi
konseling dan penggunaan bahasa asli dalam pengajaran matematika (Adegoke, 2011).
Meskipun semua saran ini, sedikit atau tidak ada perbaikan telah diamati. Dalam berlangsung
mencari cara untuk meningkatkan keberhasilan dalam matematika, lihat pengaruh
kemampuan penalaran matematika pada keberhasilan prestasi siswa dalam matematika
mungkin menyarankan program intervensi yang dapat memulai pada oleh guru matematika.
Bahkan, beberapa studi seperti Choudhury dan Das, 2012; Heng - Yuku dan Sullivan (2000)
dan Nunes, Bryant, Barnes, dan Sylva (2012) telah menyarankan bahwa ada hubungan antara
kemampuan penalaran matematika dan pencapaian dalam matematika. Secara khusus Nunes,
Bryant, Barnes, dan Sylva (2012) dalam penelitian mereka menemukan bahwa kemampuan
penalaran matematika andal memprediksi prestasi siswa dalam matematika. Demikian pula,
Choudhury dan Das, 2012 dalam studi mereka di Malaysia menemukan bahwa kemampuan
geometris (kemampuan untuk berpikir dengan angka spasial) adalah prediktor yang baik dari
prestasi siswa dalam matematika. Hasil penelitian tersebut telah mengusulkan perlunya
perubahan kurikulum matematika.
Dalam rangka untuk menempatkan penelitian ini dalam perspektif sangat jelas, sangat
penting untuk membedakan antara kemampuan (potensi sukses) dan pencapaian (sukses yang
sebenarnya) dalam studi subjek. Menurut Lee (1967) kemampuan untuk berhasil dalam
subjek didefinisikan sebagai kekuatan individu untuk memahami dan memanipulasi
pengertian dasar yang diperlukan untuk studi sementara pencapaian dalam studi subjek, di
sisi lain, diambil sebagai diakuisisi tingkat penguasaan atas kompleksitas struktur
konvensional, mulai dari awal sederhana dan terus-menerus melanjutkan ke pekerjaan yang
lebih sulit. Berdasarkan definisi ini, kemampuan ini terkait dengan tugas sekolah dan tentu
32

saja diperlukan untuk pencapaian di dalamnya. Ini sangat, karena, beberapa pemahaman yang
mendasar (meskipun tidak secara eksplisit menuntut) secara implisit terkandung dalam studi
subjek. Lee lebih menekankan bahwa pencapaian dalam subjek sekolah memerlukan urutan
kerja, yang bertumpu pada penerimaan sebelumnya dari unsur-unsur tertentu dasar, konsep,
dan pikiran. Di tingkat sekolah, karena itu, tampaknya kemungkinan bahwa penilaian
keberhasilan siswa dalam menangkap gagasan-gagasan dasar mungkin terbukti pointer
berguna untuk kemungkinan nya sukses dalam studi subjek dan karenanya dari perkiraan
kemampuannya di subjek itu sendiri.
Salah satu karya paling awal pada kemampuan penalaran matematika dilakukan oleh
Brown pada tahun 1916 (Adegoke, 2003). Namun, (1961) karya Brown telah, pada
kenyataannya, dinilai pencapaian matematika dan kemampuan penalaran tidak matematika.
Sebagian besar barang yang terkandung dalam karya Brown tercermin pekerjaan kelas
normal pada matematika. Karya-karya selanjutnya dari Hamley pada tahun 1934 (Adegoke,
2003) memberikan dasar untuk tes matematika yang berhubungan dengan tugas sekolah.
Sebuah suksesi potongan-potongan kecil dari karya (mis Blackwell, 1940, Bennett, 1948;
Jenkins, 1939) dan yang telah mengikuti Hamleys kerja menyarankan bahwa tes tersebut bisa
berfungsi sebagai kemampuan matematika penalaran tes.
Hamley (Adegoke, 2003) hipotesis bahwa tiga tahap dapat dibedakan dalam proses
penalaran matematika. Ini adalah;
a) Membagi materi yang diberikan dalam kelas, masing-masing ditentukan oleh
beberapa karakteristik pemersatu.
b) Mendeteksi urutan yang berlaku dalam setiap kelas.
c) Mencari tahu korespondensi dari hubungan antara anggota dua atau lebih kelas.
Hamley merasa bahwa kemampuan untuk berhasil dalam studi matematika bisa sesuai
dengan kemampuan untuk melaksanakan tiga proses ini klasifikasi, ketertiban, dan
pengakuan dari korespondensi dalam berurusan dengan bahan-bahan sederhana yang
mendasar untuk matematika, yaitu, nomor aritmatika, aljabar simbol dan angka spasial.
Jenkins (1939) memperkenalkan tahap tambahan ke dalam skema ini penalaran matematika,
ketika ia menyarankan bahwa kemampuan untuk mengenali beberapa variabel konstan dalam
suatu kelompok didahului identifikasi kelompok yang sebagai sebuah kelas. Dari analisis
baterai tes dibangun dan diberikan kepada kelompok anak-anak berusia 13 sampai 15 tahun
di London, Lee (1967) menunjukkan bahwa ada bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa
33

tes benar-benar mengukur kemampuan matematika daripada pencapaian. Choudhury dan Das
(2012), Berrett dan Williams (1997) Fishbein dan Nachieli (1998) dan Adegoke (2003)
menggunakan ide-ide yang terkandung dalam Hamleys dan Jenkins bekerja untuk
mengembangkan matematika tes kemampuan penalaran mereka.
Karya-karya Hamley dan Jenkins (Adegoke, 2003) sisanya pada asumsi bahwa
pengertian dasar matematika ada dua macam:
a. Pengertian angka aritmatika, simbol aljabar dan angka spasial. Studi matematika tidak
dapat melanjutkan sama sekali tanpa ini, karena mereka menyediakan bahan dengan
yang matematika bekerja. Mereka juga menunjuk bidang subjek disebut matematika.
b. Pengertian variabel, kelas, ketertiban, dan korespondensi. Gagasan ini memainkan
peranan besar dalam pekerjaan matematika, karena sebagian besar masalah ini
diselesaikan dengan mengakui kelas antara data yang diberikan, membuat pesanan
dalam kelas-kelas ini dan memilih korespondensi mengambil kesimpulan yang unik.
Variabel adalah kuantitas yang dapat mengambil nilai yang berbeda meskipun struktur
dasar tetap sama di seluruh; genap adalah variabel, karena ada banyak angka seperti semua
memiliki milik dibagi tepat oleh dua. Sebuah kelas adalah sekelompok jumlah memiliki
karakteristik umum, sekelompok nomor bahkan demikian kelas, karakteristik umum yang
bahkan-ness nomor atau properti yang masing-masing adalah persis habis dibagi dua.
Pesanan diperoleh ketika jumlah disusun secara berurutan sesuai dengan aturan tetap atau
hukum; sehingga genap dapat diatur dalam urutan menaik atau menurun. Sebuah
korespondensi

diperoleh

ketika

dua

kelas

memerintahkan

kuantitas

ditempatkan

berdampingan di sedemikian rupa sehingga masing-masing pasangan terikat oleh hukum


yang dapat diucapkan, dengan demikian, urutan angka ganjil dan bahkan menunjukkan
korespondensi di mana setiap anggota satu kelas berbeda dari anggota yang sesuai dari kelas
lainnya.
Pengertian tentang variabel, kelas, ketertiban dan korespondensi dapat dilihat pada
setiap tahap pekerjaan matematika, dan karenanya dapat dianggap sebagai dasar yang
diperlukan untuk studi matematika. Bersama-sama dengan pengertian tentang angka
aritmatika, simbol aljabar dan angka spasial, mereka menyediakan dasar untuk tes
kemampuan matematika (Lee, 1967). Dari sudut psikologis, ini setara dengan hipotesis
bahwa empat tahap dapat dibedakan dalam proses dinamis penalaran matematika, yaitu
mereka mengenali variabel, mengklasifikasi, pemesanan dan mengakui korespondensi ketika
34

memecahkan masalah matematika sekolah. Tujuan pertama dari penelitian ini adalah, oleh
karena itu, untuk menentukan sejauh mana empat proses yang dinamis ini indikator dan
langkah-langkah yang cukup kemampuan penalaran matematika.
Di Nigeria, kurikulum mata pelajaran sekolah menengah biasanya disiapkan oleh
Nigeria Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Council (NERDC). kurikulum matematika
yang telah dipersiapkan oleh NERDC pada tahun 2005 terdiri dari empat bagian utama. Ini
adalah Nomor dan numerations, Aljabar, Geometri, dan Statistik. Pengawasan dari kurikulum
menunjukkan bahwa dalam waktu empat bagian ini, total sekitar lima puluh topik yang
berbeda diajarkan termasuk persentase dalam aritmatika, persamaan kuadrat dalam aljabar,
lingkaran teorema dalam geometri dan ukuran pemusatan, dispersi, dan teori probabilitas
dalam statistik. Ini adalah konsep dasar matematika yang siswa Nigeria harus belajar selama
pendidikan sekolah menengah mereka. tingkat siswa pencapaian dalam matematika adalah
sejauh mana mereka mampu menguasai konsep-konsep dasar matematika. Dalam penekanan
penelitian ini adalah, bagaimanapun, pada tiga bagian, yaitu, Jumlah dan numerations,
Aljabar, dan Geometri. Hal ini karena, penelitian ini berpusat pada sekolah menengah atas
salah satu siswa (Abad 14-16). Di Nigeria, biasanya, penelitian secara mendalam dari statistik
dimulai dengan siswa di sekolah menengah atas dua (Abad 16 -18).
Dalam penelitian ini, oleh karena itu, tujuan kedua adalah untuk menyajikan model
struktural dari hubungan yang ada antara mendasar tentang kemampuan penalaran
matematika dan pencapaian dalam matematika. Dalam rangka untuk mempelajari hubungan
antara pengertian mendasar dari kemampuan penalaran matematika dan pencapaian dalam
matematika penulis mengembangkan sebuah model Struktural Regression (SR) (lihat Gambar
1). SR adalah varian dari model persamaan struktural. Contoh-contoh lainnya adalah Path
Analysis (PA) dan Analisis Faktor Konfirmatori (CFA) (Lihat Adegoke, 2012; Kline, 2005
untuk informasi lebih rinci tentang Structural Equation Modelling). Sebuah hasil model SR
dari sintesis model path (PA) dan model pengukuran CFA.

35

Gambar 1: Model regresi Struktural kemampuan penalaran Matematika dan Prestasi


Matematika.
Seperti di PA, SR memungkinkan uji hipotesis tentang efek kausal langsung dan tidak
langsung. Namun, tidak seperti PA, efek ini menggabungkan komponen pengukuran yang
mewakili variabel diamati sebagai indikator dari faktor yang mendasari seperti di CFA.
Dalam model SR, peneliti dapat menguji hipotesis tentang hubungan struktural dan
pengukuran dalam model tunggal (Adegoke, 2012; Kline, 2005).
Pada gambar 1, MRA dan AM adalah faktor atau sifat-sifat laten dan mereka tidak
secara langsung diukur melainkan dinilai secara tidak langsung dengan menggunakan skor
dari indikator. Misalnya, MRA ini dinilai melalui kemampuan siswa untuk mengenali empat
proses pengakuan variabel (VAR) klasifikasi (CLA), agar (ROO), dan pengakuan dari
korespondensi (COR) dalam menangani bahan sederhana yang dasar untuk matematika ,
yaitu, jumlah aritmatika, simbol aljabar, dan tokoh spasial. AM adalah pada gilirannya
diprediksi oleh MRA, faktor kedua, yang dinilai melalui nilai dalam jumlah dan penomoran
(NNU), aljabar (ALG), dan geometri (GEO). Pada gambar Es mewakili kesalahan dalam
pengukuran variabel yang diamati dan Ds mewakili Gangguan (varians) di sifat laten (atau
faktor). Karena penyebab variabel eksogen tidak terwakili dalam model, mereka bebas untuk
bervariasi dan covary (Kline, 2005). Namun, perlu diketahui bahwa Ds terkait dengan sifat
laten pada gambar mencerminkan penyebab dihilangkan dari variabel laten bukan variabel
yang diamati.

36

Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah untuk menentukan kebugaran dari model dua
faktor kemampuan penalaran matematika dan pencapaian di Matematika dan menentukan
sejauh mana indikator kemampuan penalaran matematika memprediksi pencapaian dalam
matematika. Tujuan-tujuan ini direalisasikan melalui penilaian dari parameter kemungkinan
maksimum dari model hipotesis, dan hubungan antara indikator dan sesuai sifat laten dan
hubungan antara sifat-sifat laten.
Secara khusus, lima pertanyaan penelitian dijawab. Ini adalah:
1)
2)
3)
4)
5)

Apakah sifat dari hubungan antara indikator dari masing-masing variabel laten?
Apakah model ini cocok dengan data yang diamati?
Jika model sesuai dengan data yang diamati, apa model statistik fit?
Apakah sifat dari faktor loadings dari masing-masing sifat laten?
Sejauh mana kemampuan penalaran matematika memprediksi pencapaian di

Matematika?
2. Metode
A. Peserta
Para peserta 240 Satu Menengah (Usia 14-16 tahun) siswa secara acak diambil dari 10
sekolah Menengah di Isokan, dan Irewole lokal Area Pemerintahan, Osun, Nigeria. Dalam
penelitian ini, hanya siswa di kelas sains mengambil bagian. Dari masing-masing sekolah,
kelas sains utuh digunakan. Di antara 240 siswa sampel, 127 (52,9%) laki-laki, sementara 113
(47,1%) adalah perempuan. Usia mereka berkisar antara 14 dan 16 tahun (Mean usia = 15,43;
SD = 1.79).
B. Bahan
Untuk survei ini, dua instrumen yang digunakan. Ini adalah:
a) Pencapaian di Matematika Test (AMT)
b) Matematika Penalaran Kemampuan Test (MAT)
AMT: ini terdiri dari 36 item pilihan ganda dengan empat pilihan (ABCD). Penulis
artikel ini dikembangkan item dari tiga bagian utama matematika (Nomor dan penomoran,
Aljabar, Geometri, dan Geometri) seperti yang ditentukan oleh Nigeria Pendidikan Penelitian
dan Pengembangan Dewan, (NERDC, 2005). Awalnya ada 60 item. Barang-barang ini
menjadi sasaran untuk pilot pengujian antara 30 SSII siswa di Ayedaade PERDA lokal, Osun,
Nigeria. Dua puluh empat item yang indeks kesulitan entah di bawah 0,30 atau di atas 0,71
dihapus. Untuk 36 item yang tersisa, masing-masing dari empat bagian utama terdiri dari
37

sembilan item. Uji cetak biru ditempatkan di bawah Pengetahuan, Pemahaman dan Berpikir
digunakan untuk menetapkan validitas isi dari final 36 item. Indeks kesulitan setiap item
berkisar antara 0,38 dan 0,75, sedangkan indeks diskriminasi berkisar antara 0,43 dan 0,51.
Indeks keandalan setiap bagian: Jumlah dan penomoran, Aljabar, dan Geometri yang 0.71,
0.76, dan 0.69 masing-masing. Ini didirikan dengan menggunakan Kuder Richardson 20
formular. Skor diperoleh maksimal dalam setiap bagian adalah 12, yaitu, setiap item menarik
skor 1 untuk respon yang tepat dan 0 untuk jawaban yang salah.
MRAT: Penulis artikel ini dibangun instrumen ini. Itu dibangun dengan
menggabungkan proses dasar pengakuan variabel, kelas, ketertiban dan korespondensi
dengan tiga tipe dasar bahan yang digunakan dalam studi Matematika, menjadi nomor
aritmatika tersebut, simbol aljabar, dan tokoh spasial. Seperti yang disarankan oleh Lee
(1967), tes terpisah yang dirancang untuk memperkirakan kapasitas untuk menangani
masing-masing dari empat proses dalam hal masing-masing dari tiga jenis bahan membuat
dua belas sub tes di semua. Awalnya bawah setiap sub tes, ada empat item, yaitu, draft copy
terdiri dari 48 item. Barang-barang ini menjadi sasaran untuk pilot tes HIV di antara 35 siswa
di Ayedaade Local Area Pemerintahan, Osun, Nigeria. Di masing-masing sub tes, item
dengan tingkat kesulitan rendah (p <0,30) dihilangkan. Dalam draft akhir, ada dua 24 item.
Kesulitan dan membedakan indeks dari setiap item berkisar antara 0,37 dan 0,70; dan 0,30
dan 0,57 masing-masing. Indeks keandalan setiap bagian berkisar antara 0,69 dan 0,81. Skor
diperoleh maksimal dalam MRAT adalah 24, yaitu, setiap item dengan benar menjawab
tertarik skor 1 sedangkan respon yang salah tertarik 0.
Contoh item yang digunakan dalam DAGING meliputi:
1. Klasifikasi-ilmu hitung Jumlah (bersih): Dalam setiap baris angka, ada lima nomor di
sebelah kiri. Empat memiliki sesuatu yang sama dan satu berbeda. Menggarisbawahi satu
yang berbeda. Ketika Anda melakukan ini, menempatkan lingkaran di salah satu nomor di
sebelah kanan yang terbaik bisa mengambil tempat yang Anda telah digarisbawahi.
Kiri

kanan

45, 54, 63, 27, 30

33, 36, 66, 93,

Dalam masalah ini, di sisi kiri, 30 telah digarisbawahi, karena tidak habis dibagi 9. Di
sisi kanan, 36 telah dilingkari karena merupakan satu-satunya dari empat angka di sebelah
kanan yang habis dibagi oleh 9
38

2. Orde-Arithmetic Jumlah (ROO-AN). Baris berikut ini menunjukkan awal dari serangkaian
nomor, dan beberapa nomor yang hilang. Mengisi ruang kosong dengan angka yang Anda
pikir harus ada. 1, 3, 5, 7, 9, ---, --C. Prosedur
Tiga asisten peneliti direkrut untuk studi ini. Mereka semua mahasiswa pascasarjana
di Institut Pendidikan, University of Ibadan, Nigeria. Mereka telah menerima pelatihan
formal dalam administrasi tes. Namun, penulis artikel ini menjelaskan tujuan dari studi
mereka. Penulis juga berkeliling untuk memantau bagaimana tes diberikan. Pengumpulan
data berlangsung empat minggu. Administrasi dari masing-masing tes berlangsung selama
waktu normal dijadwalkan untuk matematika di meja waktu sekolah resmi. Hal itu untuk
menghindari gangguan terhadap program sekolah. Untuk MEET, siswa selesai itu rata-rata,
dalam 50 menit, meskipun waktu yang diizinkan adalah satu jam. Data yang dikumpulkan
dianalisis dengan menggunakan estimasi kemungkinan maksimum LISREL Versi 8.80
(Hubungan Struktur Linear; Joreskog & Srbom, 2003).
Statistik deskriptif (Pearson Koefisien korelasi, berarti, dan standar deviasi) dihitung
dengan menggunakan LISREL Versi 8.80. Juga statistik varians-kovarians diperoleh. Tabel 1
menyajikan Pearson koefisien korelasi product moment antara variabel. Berarti dan standar
deviasi

dari

masing-masing

dari

enam

variabel

yang

disajikan

di

atas

meja.

Penelitian Pertanyaan Satu: Apa sifat dari hubungan antara indikator dari variabel
laten? Dalam penelitian ini, sebagaimana ditentukan dalam bagian sebelumnya, indikator
39

hipotesis kemampuan penalaran matematika adalah proses dasar pengakuan dari variabel,
kelas, ketertiban dan korespondensi dan untuk pencapaian dalam matematika mereka jumlah
dan penomoran, aljabar dan geometri. Hal ini dicatat dari Tabel 1 bahwa, satu, semua variabel
yang cukup dan secara signifikan berkorelasi dengan satu sama lain. Dua, hubungan antara
ukuran kemampuan matematika dan langkah-langkah pencapaian dalam matematika moderat
dan positif. Bahkan, teliti hubungan antara masing-masing mengukur kemampuan penalaran
matematika dan setiap langkah pencapaian matematika menunjukkan bahwa kemampuan
penalaran matematika adalah prediksi yang baik dari pencapaian dalam matematika.
Korelasi tertinggi (r = 0,860) antara pengakuan variabel dalam bahan tertentu, dan
jumlah dan penomoran. mengamati hubungan yang tinggi dan positif antara pengakuan
variabel dan jumlah dan penomoran menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan tinggi
mengenali beberapa variabel konstan dalam grup nomor kemungkinan untuk melakukannya
dengan baik di masalah yang berhubungan dengan jumlah dan penomoran.
Korelasi terendah (r = 0,516) antara pengakuan korespondensi dalam bahan tertentu
dan tokoh spasial. Meskipun dalam penelitian ini, koefisien korelasi dapat muncul rendah,
moderat dan yang lebih penting, signifikan secara statistik. statistik varians-kovarians yang
diperoleh memberikan kepercayaan pada fakta bahwa terdapat hubungan yang positif dan
tinggi di antara indikator numerik dan pencapaian dalam matematika.
Pertanyaan Penelitian Dua: Apakah model hipotesis cocok dengan data yang diamati?
Dari perkiraan kemungkinan maksimum, model kemerdekaan Chi analisis square
menunjukkan bahwa variabel dalam penelitian ini berkorelasi 2 (13, N = 240) = 352,52, p
<0,05. Nilai fungsi fit minimum Chi Square adalah 2 (21, N = 240) = 635,55, p <0,05.
Meskipun dalam model situasi fit sangat baik, model hipotesis fungsi fit statistik Chi Square,
tidak boleh, indeks fit penting lainnya ketika diperiksa, disarankan wajar keseluruhan fit
Model.
Pertanyaan Penelitian Tiga: Jika model sesuai dengan data, apa model statistik fit?
Model statistik fit diperiksa meliputi: Root-Mean Square-Kesalahan dari Approximation
(RMSEA) = 0,33 dengan Keyakinan selang 90% (1,18-1,69); Perbandingan Fit Index (CFI) =
0.71; Bernorma Fit Index (NFI) = 0.71; dan parsimoni Goodness of Fit Index (GFI) = 0,44.
Nilai ini menandakan keseluruhan memuaskan model fit (Lihat Hu dan Bentler, 1999; Kline,
2005).

40

Pertanyaan Penelitian Empat: Apakah sifat dari faktor loadings dari masing-masing
sifat laten? Dilaporkan dalam Tabel 2 adalah perkiraan kemungkinan non standar dan standar
maksimum untuk semua parameter dari dua faktor (Penalaran Matematika Kemampuan dan
Tertinggi di Matematika) Model SR.

Juga disajikan pada Gambar 2 adalah solusi standar dari model regresi hipotesis.

Gambar 2: Solusi Standar model regresi struktural hipotesis.


Dari Tabel 2 dan Gambar 2, dapat diamati bahwa hampir semua faktor pembebanan
(koefisien standar) berkisar dari yang moderat (0,30, kemampuan penalaran matematika
pengakuan korespondensi antara materi yang diberikan) menjadi tinggi (0,84, kemampuan
penalaran matematika untuk klasifikasi ) dan signifikan secara statistik, p <0,05. Z-statistik
dalam setiap kasus lebih besar dari 1,96. Hal ini menunjukkan bahwa empat indikator yaitu:

41

pengakuan variabel, kelas, ketertiban dan korespondensi sah dapat diukur kemampuan
penalaran matematika.
Pertanyaan Penelitian Lima: Sejauh mana kemampuan matematika penalaran
memprediksi pencapaian di Matematika? Dari Gambar 2, koefisien yang diperoleh dari 1,19
(x = 11,25) menunjukkan bahwa kemampuan penalaran diprediksi pencapaian dalam
matematika cukup baik. koefisien yang diperoleh dari 1,19 menunjukkan bahwa untuk setiap
kenaikan satu unit penuh dalam kemampuan penalaran, pencapaian di meningkat matematika
dengan 1,19 unit.
3. Diskusi
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan empat indikator dasar
matematika kemampuan penalaran tes dan mengembangkan model yang bisa membantu
menjelaskan hubungan antara kemampuan penalaran matematika dan pencapaian dalam
matematika sekolah menengah. beban faktor analisis regresi struktural menunjukkan bahwa
keempat pengertian dasar pengakuan variabel, klasifikasi, pengakuan ketertiban, dan
pengakuan dari korespondensi antara materi yang diberikan dalam masalah-masalah
matematika, adalah ukuran dari kemampuan penalaran matematika. Temuan ini konsisten
dengan karya-karya filsuf sebelumnya seperti Lee (1967) dan Hamley (1934).
Bukti empiris dari literatur (misalnya Adegoke, 2003; Berret & Williams, 1997
FISCHBEIN & Nachieli, 1998; Heng-Yuku & Sullivan, 2000) menunjukkan bahwa
kemampuan untuk berhasil dalam studi matematika bisa sesuai dengan kemampuan untuk
melaksanakan empat proses pengakuan dari variabel, klasifikasi, pemesanan, dan pengakuan
korespondensi. Hal ini karena gagasan ini memainkan peranan besar dalam pekerjaan
Matematika, karena sebagian besar masalah ini diselesaikan dengan mengakui kelas antara
data yang diberikan, membuat pesanan dengan kelas-kelas ini, dan memilih korespondensi
untuk mengarah ke kesimpulan yang unik. Kemampuan untuk melaksanakan proses ini
diperlukan dalam menangani matematika sederhana yang mendasar untuk matematika, yaitu
nomor aritmatika, simbol aljabar, dan tokoh spasial.
Untuk matematika prestasi, jumlah dan penomoran, aljabar, dan geometri, sebagai
faktor loadings dari model regresi struktural menunjukkan indikator yang valid pencapaian
dalam matematika. Karya-karya sebelumnya dari filsuf seperti Hamley (1934) dan Jenkins
(1939) menunjukkan bahwa angka ilmu hitung, simbol aljabar, dan tokoh-tokoh spasial yang
42

mendasar matematika. Bahkan, studi matematika tidak dapat melanjutkan sama sekali tanpa
ini, karena mereka menyediakan bahan dengan yang hebat matematika bekerja. Mereka juga
menunjuk bidang subjek disebut matematika. Di semua negara Anglo-telepon (Ghana, Sierra
Leone, Gambia, Nigeria dan Senegal) di Afrika Barat, kurikulum matematika sekolah
menengah mencakup topik-topik dalam aljabar, geometri dan statistik. Lebih dari item untuk
pemeriksaan publik biasanya diambil dari topik ini (lihat Matematika Silabus Afrika Barat
Pemeriksaan Council, 2011).
Pemeriksaan nilai tes baku menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang diperoleh tanda
konsisten rendah untuk tes kemampuan matematika sementara mendapatkan tanda tinggi
secara konsisten untuk tes sesuai pencapaian matematika. Di sisi lain, cukup banyak siswa
mencetak atas rata-rata pada tes kemampuan dan bawah rata-rata pada tes pencapaian.
Analisis data menunjukkan bahwa dua baterai kemampuan dan pencapaian tes Matematika
berbagi kesamaan dalam keberhasilan yang di bekas tampaknya untuk memprediksi
keberhasilan dalam yang terakhir, dalam arti di mana kemampuan dan pencapaian dalam
studi subjek yang didefinisikan dalam bagian awal artikel ini. Temuan ini menguatkan bukti
empiris dari literatur (misalnya Choudhury dan Das, 2012; Heng- Yuku & Sullivan, 2000;
Nunes, Byrant, Barros, & Sylva, 2012). Misalnya, dalam penelitian mereka, Nunes, Bryant,
Barros, dan Sylva (2012) menemukan bahwa kemampuan penalaran matematika tidak
membuat kontribusi independen untuk prediksi prestasi matematika. Demikian pula,
Choudhury dan Das (2012) dalam penelitian mereka menemukan bahwa kemampuan
geometris kontribusi signifikan terhadap prestasi siswa dalam matematika di Malaysia.
Thesefindings menunjukkan bahwa kemampuan untuk berhasil dalam studi matematika bisa
sesuai dengan kemampuan untuk melaksanakan empat proses pengakuan dari variabel,
klasifikasi, pemesanan, dan pengakuan korespondensi. Hal ini karena gagasan ini memainkan
peranan besar dalam pekerjaan Matematika, karena sebagian besar masalah ini diselesaikan
dengan mengakui kelas antara data yang diberikan, membuat pesanan dengan kelas-kelas ini,
dan memilih korespondensi untuk mengarah ke kesimpulan yang unik. Kemampuan untuk
melaksanakan proses ini diperlukan dalam menangani matematika sederhana yang mendasar
untuk matematika, yaitu nomor aritmatika, simbol aljabar, dan tokoh spasial.
4. Implikasi
Temuan dan Rekomendasi Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat siswa
dari kemampuan matematika penalaran memainkan peran utama dalam pencapaian mereka
43

dalam matematika. Oleh karena itu penting bahwa guru memperhatikan hal ini, dan yang
lebih penting me-mount program intervensi yang dapat membantu siswa mengembangkan
kemampuan penalaran mereka. Hal ini dapat dicapai dengan memberi mereka tugas-tugas
kognitif yang tidak perlu kurikulum berbasis. Contoh tugas tersebut termasuk menemukan
nomor hilang dalam berbagai nomor yang tercantum dalam salah satu masalah yang
digunakan dalam penelitian ini (Lihat dua contoh yang diberikan di bawah AMT).

Jurnal V (Jerman)
REASONING AND PROOF: METHODOLOGICAL KNOWLEDGE AS A
COMPONENT OF PROOF COMPETENCE1
Aiso Heinze, Kristina Reiss
Universitt Augsburg, Germany
2007

Abstract:
Pengetahuan metodologis merupakan komponen penting dari kompetensi bukti. Dalam
tulisan ini, kami berpendapat bahwa tiga aspek yang berbeda dari pengetahuan metodologis
dapat dibedakan, yang kita gambarkan sebagai skema bukti, bukti struktur, dan rantai
kesimpulan. Aspek-aspek teoritis dipandu bagian dari studi wawancara pada pengetahuan
metodologis siswa sekunder ', yang berfungsi sebagai suplemen kualitatif studi kuantitatif
skala besar. Kami menyajikan beberapa hasil penyelidikan ini di mana siswa harus
mengevaluasi bukti yang benar dan salah.
1.

Pendahuluan
Selama beberapa tahun terakhir, penalaran, bukti dan argumentasi di kelas matematika

telah menjadi isu penting dalam penelitian pendidikan matematika. Ada peningkatan jumlah
studi empiris tentang hal ini; hasil mereka sebagian didukung oleh hasil dari studi banding
internasional seperti TIMSS dan PISA dan diskusi intensif mereka dalam komunitas ilmiah.
Penelitian kami adalah bagian dari konteks ini. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
faktor-faktor kognitif dan non-kognitif yang berperan dalam kompetensi bukti siswa. Kami

44

akan menyarankan kerangka teori dan menyajikan hasil empiris, yang menunjukkan bahwa
pengetahuan metodologis siswa merupakan prasyarat penting dari kompetensi bukti mereka.
2.

Kerangka Teori dan Pertanyaan Penelitian


A. Peran bukti dalam matematika dan di kelas matematika
Aksioma, definisi, teorema dan bukti mereka, dan dugaan membentuk perancah

matematika sebagai suatu disiplin ilmu. Matematika adalah disiplin membuktikan, yang
merupakan perbedaan utama antara matematika dan disiplin ilmu lainnya. Jelas, matematika
juga merupakan hasil dari proses sosial, tetapi ada tingkat tinggi relatif koherensi dan
konsensus di antara matematika (Heintz, 2000; Man In, 1977). Untuk mengevaluasi bukti,
komunitas matematika menggunakan konstruk teoritis dari bukti formal: mulai dari "nyata"
salah satu bukti mencoba untuk mendekati bukti formal dengan menambahkan informasi
(yang merupakan bagian dari pengetahuan umum bersama oleh komunitas ilmiah) sampai
matematikawan yakin bahwa bukti nyata yang benar.
Peran bukti dalam matematika memiliki konsekuensi untuk mengajar bukti di kelas
matematika. Di satu sisi, dasar pengetahuan bersama siswa berbeda dari komunitas
matematika. Akibatnya, kita harus menerima jenis lain dari bukti di kelas. Di sisi lain, para
siswa harus mendapatkan gambar otentik matematika dan, khususnya, di sekolah-sekolah
tinggi mereka harus siap untuk matematika ilmiah, yang memainkan peran penting dalam
banyak domain di tingkat universitas. Dengan demikian, bukti di dalam kelas akan bertujuan
konsensus dalam komunitas matematika, tapi mungkin akan kurang ketat di alam (lih diskusi
di Knipping, Dreyfus & Krummheuer 2002, dan Heinze & Reiss, 2002). Pendekatan ini
adalah dasar untuk penelitian kami.
B. Pengetahuan Metodologis Sebagai Komponen Kompetensi Bukti
Hasil penelitian, yang didasarkan pada analisis dari bukti siswa, menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang konsep dan aturan (atau teorema) tidak cukup untuk melakukan
pembuktian matematis (Reiss, Klieme & Heinze, 2001). Selain ini, pemahaman dan
pengetahuan tentang prosedur pembuktian matematika yang benar adalah prasyarat yang
diperlukan. pengetahuan metodologis ini terdiri dari tiga aspek, yaitu independen satu sama
lain. Kami akan menjelaskan tiga aspek ini sebagai skema bukti, bukti struktur dan rantai
kesimpulan.

45

1. Skema Bukti: Sebuah bukti matematika adalah pola penalaran deduktif. Ini berarti
bahwa untuk setiap kesimpulan dalam bukti ada argumen yang mendukung dengan
karakter deduktif. jenis lain dari argumen seperti argumen empiris-induktif, mengacu
pada otoritas yang lebih tinggi, atau argumen persepsi yang tidak memadai untuk
bukti matematis. Perhatikan bahwa dalam definisi kita argumen dengan karakter
deduktif tidak harus selalu benar.
2. Struktur Bukti: Bukti dimulai di tempat tertentu dan berakhir pada pernyataan
tertentu. Penegasan ini terbukti jika semua argumen yang valid dari sudut pandang
struktural. Dengan kata lain: bukti harus membuktikan apa yang harus membuktikan,
dan penggunaan pernyataan sebagai argumen tidak memadai. Selain itu, kesenjangan
yang membentuk gangguan dalam struktur argumentasi tidak diterima sebagai bagian
dari bukti matematis.
3. Rantai kesimpulan: Setiap langkah dari bukti dapat disimpulkan dari langkah
sebelumnya (mungkin didukung oleh informasi matematika tambahan).
Seperti disebutkan di atas, ketiga aspek ini adalah independen satu sama lain.
Misalnya, seorang mahasiswa yang mencoba untuk membuktikan pernyataan tapi
menggunakan argumen melingkar (lihat contoh di Bagian 3.1), bertentangan dengan aspek
kedua (struktur bukti) tetapi belum tentu yang pertama atau ketiga aspek (skema bukti, rantai
kesimpulan). Sebuah "bukti" yang didasarkan pada argumen empiris-induktif seperti contoh
dalam Bagian 2.3.4 bertentangan dengan aspek pertama tetapi belum tentu aspek kedua atau
ketiga. Dan akhirnya, adalah mungkin untuk membangun sebuah "bukti" yang bertentangan
dengan aspek ketiga, tapi bukan yang pertama atau kedua (misalnya, jika ada pembagian
dengan nol sebagai langkah bukti).
Berikut ini kami akan menjelaskan temuan dari penyelidikan empiris yang berbeda
tentang pengetahuan metodologis siswa. Ada beberapa studi rinci, yang menyelidiki tiga
aspek atau bagian dari itu. Selain itu, ada beberapa studi berdasarkan item pilihan ganda,
yang mencakup semua tiga aspek. Kami akan menunjukkan kemudian, bahwa beberapa item
pilihan menanggung resiko untuk memberikan informasi hanya permukaan dan mungkin
tidak memungkinkan analisis mendalam dari proses pemecahan masalah siswa.
C. Pengetahuan Metodologis Untuk Melakukan Bukti - Temuan Empiris
1. skema bukti siswa
Salah satu penelitian yang paling rinci tentang skema bukti siswa telah diterbitkan
dalam sebuah studi oleh Harel dan Sowder (1998). Para penulis menyelidiki skema bukti 2
46

dari 128 mahasiswa menggunakan observasi kelas, tes, dan wawancara. Mereka bisa
mengidentifikasi 17 skema yang berbeda bukti, yang dapat ditugaskan untuk tiga kelas: (1)
keyakinan eksternal (misalnya mengacu pada otoritas yang lebih tinggi), (2) skema bukti
empiris (misalnya induktif atau argumen persepsi), dan (3) analitis skema bukti (misalnya
deduktif-aksiomatik skema bukti).
Sebuah penyelidikan oleh Martin & Harel (1989) dengan 101 sekolah dasar guru
preservice memberikan beberapa data kuantitatif. Dalam penelitian ini, para siswa diminta
untuk mengevaluasi bukti yang berbeda dari pernyataan teoritis angka pada skala dari 1 (=
tidak ada bukti matematis) ke 4 (= bukti matematis). bukti yang disajikan diklasifikasikan
dalam berbagai jenis induktif, argumentasi masing-masing deduktif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hanya 10% dari siswa ketat ditolak (= 1) semua argumentasi induktif,
80% memberi evaluasi positif (= 3 atau 4) untuk setidaknya satu argumentasi induktif.
Argumen deduktif yang, secara umum, lebih baik dievaluasi maka yang induktif. Sungguh
luar biasa bahwa banyak siswa yang diterima baik, argumen induktif dan deduktif.
Pemenang (1983) dijelaskan penyelidikan dengan 365 siswa dari kelas 10 dan 11.
Dalam pelajaran matematika biasa mereka membuktikan pernyataan, bahwa setiap jumlah
bentuk n3 - n habis dibagi 6 (n integer). Keesokan harinya para siswa disajikan tiga solusi
dari masalah "Buktikan bahwa 593-59 habis dibagi 6." Solusi pertama adalah perhitungan
sederhana, yang kedua adalah bukti dari pernyataan umum dengan n = 59, dan solusi ketiga
adalah referensi ke pernyataan umum dan buktinya. Sekitar sepertiga dari siswa lebih suka
solusi kedua. Selain itu, 23% dari siswa tidak dapat menerima validitas universal pernyataan
matematika terbukti.
2. Struktur Bukti
Selden dan Selden (1995) menyelidiki kemampuan siswa untuk membangun atau
memvalidasi struktur bukti pernyataan matematika. Mereka menganalisis data dari tes dan
ujian dari 61 siswa, yang mengikuti kursus matematika pengantar di tingkat universitas.
Mereka disajikan item kepada mereka, yang bertujuan untuk identifikasi struktur logika
pernyataan tertulis informal. Ada 8,5% jawaban yang benar, dan jawaban ini diberikan oleh
hanya 13,5% dari siswa. Selden dan Selden (1995) menyimpulkan bahwa defisit dalam
mengidentifikasi struktur logis dari pernyataan akan melibatkan defisit dalam membangun
struktur bukti untuk laporan tersebut.

47

3. Rantai kesimpulan
Sulit untuk menyelidiki kemampuan siswa untuk mengevaluasi atau membangun
sebuah kesimpulan logis dalam bukti matematis. Kesalahan mungkin karena defisit dalam
kompetensi logis serta alasan lain seperti defisit dalam pengetahuan konseptual. Ada
beberapa temuan empiris mengenai kebalikan dari implikasi logis (mis Heinze & Kwak,
2002; Kchemann & Hoyles, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa mengalami
kesulitan dengan aspek khusus dari pembuktian matematis jika terisolasi dari konteks yang
realistis.
4. Beberapa item pilihan mengukur pengetahuan metodologis
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian empiris diterbitkan di mana
pengetahuan metodologis diselidiki menggunakan tes pilihan ganda yang dikembangkan oleh
Healy dan Hoyles (1998). Tes ini terdiri dari pernyataan matematika sederhana, masingmasing diikuti oleh setidaknya empat "bukti" yang berbeda. Ada solusi induktif empiris,
solusi dalam gaya formal dengan argumen melingkar dan dua solusi yang benar, satu dalam
gaya formal dan satu dalam gaya naratif. Para siswa diminta untuk memvalidasi ini "bukti"
dan untuk menjawab pertanyaan dalam format pilihan ganda untuk setiap solusi ini, misalnya
mereka ditanya apakah solusinya rusak, apakah solusinya menunjukkan bahwa pernyataan itu
berlaku universal atau apakah itu berlaku untuk kasus-kasus khusus saja. Selain itu, siswa
diminta mana dari solusi mereka seperti kebanyakan dan yang solusi akan mendapatkan tanda
terbaik dari guru.
Dalam sebuah survei bangsa lebar dengan hampir 2.500 siswa berprestasi dari kelas
10 Healy dan Hoyles (1998) menemukan bahwa sebagian besar siswa mampu mengenali
bukti yang benar. Namun, evaluasi bukti tergantung pada faktor-faktor yang berbeda seperti
presentasi resmi dari argumen. Siswa menganggap bahwa bukti yang benar dalam gaya narasi
memiliki kesempatan yang lebih rendah untuk mendapatkan tanda yang baik dari guru
daripada solusi formal. Sebaliknya, siswa lebih suka gaya narasi, ketika mereka dibangun
bukti. Selain itu, mereka sering digunakan argumen empiris meskipun mereka sadar bahwa
argumen ini tidak benar.
Penyelidikan kami dengan hampir 700 siswa kelas 8 di Jerman menunjukkan bahwa
itu jauh lebih sulit bagi siswa untuk menilai benar "bukti" dari bukti yang benar: sedangkan
67% dijelaskan bukti yang benar sebagai benar, hanya 35% memberikan jawaban yang benar
48

untuk benar " bukti "(Reiss, Hellmich & Thomas, 2002). Selain itu, dalam kasus terakhir
siswa dilakukan lebih baik dalam mengevaluasi argumen melingkar dari dalam mengenali
masalah argumen empiris. Mereka memiliki hasil yang lebih baik mengenai memvalidasi
bukti yang benar dalam gaya narasi dari mengenai bukti yang benar dalam gaya formal.
Temuan dari studi dengan 81 siswa kelas 13 di Jerman mengungkapkan bahwa
bahkan pada akhir siswa tingkat menengah atas memiliki defisit dalam ketiga aspek
pengetahuan metodologis (Tabel 1, Reiss, Klieme & Heinze, 2001). Membandingkan hasil ini
dengan temuan kami dari kelas 8 dapat dikatakan bahwa di kelas 13 siswa lebih mengenali
masalah argumentasi empiris. Namun, persentase siswa yang menolak solusi melingkar
masih sekitar sepertiga. Sebuah analisis lebih lanjut dari data telah menunjukkan bahwa
bagian-bagian penting dari kompetensi bukti adalah pengetahuan metodologis, pengetahuan
deklaratif, dan metakognisi (Reiss, Klieme & Heinze, 2001).
3.

Pengetahuan Metodologis - Sebuah Studi Wawancara


A. Pertanyaan Penelitian Dan Desain Penelitian
Seperti telah disebutkan item pilihan ganda dibatasi untuk jawaban tertentu. Hampir

tidak ada informasi mengapa siswa memilih jawaban yang spesifik. Selain itu, tidak jelas
apakah siswa memahami item pilihan ganda seperti yang diharapkan oleh peneliti. Oleh
karena itu, kami ingin mendapatkan informasi rinci tentang pengetahuan metodologis siswa.
pertanyaan penelitian kami adalah sebagai berikut:

Apa defisit utama dalam pengetahuan metodologis siswa?


Apakah ide-ide dan pikiran siswa saat memecahkan item pilihan ganda dalam domain
pengetahuan metodologis?
Pertanyaan penelitian tersebut dibahas dalam studi wawancara. Sebelas siswa kelas 8

dipilih dari sampel 700 siswa sesuai dengan prestasi mereka dalam tes tertulis pada item
geometri (Krell, 2002; Reiss, Hellmich & Thomas, 2002). Dalam studi wawancara, setiap
siswa diminta untuk berpikir keras ketika mengevaluasi empat solusi yang diberikan untuk
item bukti geometris.
Ada satu solusi empiris, salah satu solusi yang mengandung argumen melingkar dan
dua bukti yang benar, satu dalam gaya formal (menggunakan argumen keselarasan) dan satu
dalam gaya narasi (menggunakan argumen refleksi). Dalam setiap kasus siswa harus
mengevaluasi solusi dan kemudian untuk menjawab tiga pertanyaan: apakah bukti tersebut
49

berlaku universal atau apakah itu hanya berlaku untuk kasus-kasus khusus dan apakah bukti
mengandung kesalahan. Setelah menyelesaikan semua item pewawancara meminta siswa
untuk berpikir kedua kalinya tentang pertanyaan yang dia / dia menjawab salah. Jika
mahasiswa tidak mengubah jawabannya pewawancara memberi petunjuk yang bagian dari
bukti mungkin salah dan mengulangi pertanyaan itu.
B. Hasil
Berikut ini kami menyajikan bagian dari hasil penelitian wawancara kami. Pada Tabel
2, kami memberikan gambaran tentang hasil utama. Simbol "v" berarti bahwa item tersebut
akhirnya diselesaikan dengan benar (tanpa petunjuk, tapi setelah memberikan pemikiran
kedua apakah jawaban pertama salah). Jika mahasiswa tidak mampu mengevaluasi solusi
dengan benar, angka 1, 2 dan 3 mengklasifikasikan yang jenis kesalahan dia membuat (lih
Bagian 2.2). Simbol +, o, - memberikan informasi tentang prestasi siswa dalam tes tertulis
pada geometri (+ berarti tinggi, - berarti rendah).

Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir semua siswa mampu mengevaluasi
formal dan bukti narasi dengan benar. Namun, sebagian besar siswa menemukan bukti formal
menggunakan argumen kesesuaian menjadi lebih rumit daripada bukti narasi menggunakan
argumen refleksi. Katrin, yang memiliki kesulitan dengan kedua bukti, tidak sepenuhnya
memahami struktur bukti formal. Tampaknya dia tidak memahami argumen kongruensi.
Dalam kasus bukti narasi dia tidak yakin, apakah ada kesalahan. Buktinya didasarkan pada
50

kenyataan bahwa titik B adalah titik cermin A di mana CD adalah sumbu refleksi. Katrin
melihat bahwa juga A adalah titik cermin B. Karena ini tidak disebutkan dalam bukti, ia
berpikir bahwa ini adalah mungkin kesalahan:
Pewawancara: Jika ada kesalahan, apa yang Anda pikirkan di mana itu?
Katrin: Ya, eh, karena C ... karena CD adalah garis-berat dari AB ... ya, titik cermin, di
suatu tempat ada kesalahan. Saya tidak tahu, karena ...
Pewawancara: Apakah Anda pikir itu tidak benar bahwa B adalah titik cermin A?
Katrin: Tidak Satu juga dapat melakukan cara lain ini sekitar. Tidak peduli ...
Beberapa mahasiswa yang diterima argumen empiris dalam solusi pertama. Kami
menemukan bahwa mereka menggunakan skema bukti induktif dalam penjelasan mereka.
Anja berpendapat: "Saya berpikir bahwa saya bisa melakukan hal yang sama dengan segitiga
lainnya, juga. (...) Dalam pendapat saya ini harus bekerja. "Untuk solusi dengan argumen
melingkar hanya satu siswa, Cornelia, digunakan argumen empiris-persepsi ketika dia
dievaluasi ini" bukti ". Dia mengatakan, bahwa orang dapat melihat bahwa garis CD (garisberat) tegak lurus terhadap AB. Namun, dia juga mengatakan bahwa ada alasan lain, karena
dalam gambar ada tanda untuk sudut yang tepat di persimpangan dari AB dan CD.
Sebagian besar kesalahan siswa dalam evaluasi solusi terkait dengan masalah dalam
struktur bukti. Pertama-tama, beberapa siswa (Maria, Swantje, Michael, Katrin, Cornelia)
tidak melihat argumen melingkar di solusi kedua. Bahkan ketika kita meminta mereka
langsung apakah langkah ketiga dengan argumen melingkar benar, Maria dan Swantje setuju.
Michael, Katrin dan Cornelia berubah pendapat mereka:
Pewawancara (poin ke argumen melingkar): (...) Apakah Anda berpikir bahwa
argumen ini oke?
Cornelia: Hm, saya pikir begitu.
Pewawancara: Hm. Laporan yang diterima dalam bukti?
Cornelia: Saya tidak tahu.
Pewawancara: Anda harus menunjukkan bahwa segitiga ini sama kaki. Apakah
diperbolehkan untuk menggunakan fakta bahwa sudut-sudut ini adalah sama?
51

Cornelia: Tidak, karena mungkin itu tidak benar bahwa segitiga adalah sama kaki.
Akhirnya, banyak siswa menggunakan argumentasi melingkar ketika mereka
mengevaluasi solusi (terutama dalam kasus solusi yang salah). Para siswa berpendapat,
bahwa solusi ini benar, karena pernyataan itu benar dan mereka menerima solusi ini sebagai
bukti. Beberapa siswa ini secara eksplisit mengatakan bahwa "bukti" hanya berlaku untuk
segitiga sama kaki. Dalam kasus solusi empiris, pewawancara bertanya apakah pengukuran
adalah prosedur pembuktian yang benar dalam matematika, yang ditolak oleh para
mahasiswa ini: "Tidak ada, karena salah satu dapat mengukur sesuatu seratus kali dan dalam
kasus seratus-dan-pertama yang dilakukannya tidak bekerja. Kita harus mengembangkan
beberapa rumus atau sesuatu seperti ini. Tapi ... Saya pikir segitiga dia diukur selalu sama
kaki. Mungkin ada ada sesuatu yang lain, tapi aku tahu bahwa ini tidak bisa terjadi "(Maria).
Masalah lain adalah pemahaman tentang makna "validitas universal". Misalnya,
banyak siswa mengatakan bahwa bukti-bukti yang benar adalah benar, tetapi mereka hanya
berlaku untuk segitiga sama kaki. Oleh karena itu, mereka tidak berlaku universal. "Ini adalah
bukti hanya untuk segitiga ini. Untuk segitiga lain yang tidak sama kaki tidak memadai
"(Kristian).
4.

Diskusi
Hasil studi wawancara menunjukkan bahwa beberapa item pilihan yang agak

cenderung memberikan informasi permukaan. Beberapa siswa ditandai jawaban yang salah
dalam ujian, meskipun ide-ide mereka tentang solusi yang benar dan sebaliknya. Selain itu,
dalam beberapa kasus informasi tentang kesalahan siswa yang diukur dalam format pilihan
ganda tidak cukup mencerminkan tiga aspek pengetahuan metodologis. Hal ini terutama
terjadi untuk argumentasi empiris. Seperti disebutkan di atas, beberapa siswa dianggap solusi
empiris sebagai bukti karena kesalahan yang berkaitan dengan aspek kedua (struktur bukti).
Mereka menyatakan bahwa solusi empiris benar, karena pernyataan itu benar. Sebagian besar
siswa ini tahu (dan mengatakan secara eksplisit) bahwa argumen empiris tidak membentuk
bukti. Para siswa yang mengambil bagian dalam penelitian kami lebih muda dari peserta
penelitian lain kami melaporkan tentang. Mungkin siswa muda memiliki lebih banyak
kesulitan untuk memahami item ini.
Studi wawancara kami menunjukkan bahwa ketiga aspek pengetahuan metodologis
yang penting ketika siswa menilai bukti. Tampaknya bahwa aspek ketiga (rantai kesimpulan)
52

tidak bermasalah, karena bukti-bukti yang benar sebagian besar digambarkan sebagai yang
benar. Namun, dalam beberapa kasus itu tidak jelas apakah siswa benar-benar memahami
setiap langkah dalam bukti. Masalah dengan aspek pertama (skema bukti), khususnya,
preferensi argumen induktif, sering dipupuk dengan menggunakan argumentasi induktif di
sekolah dasar. Siswa memiliki kesulitan untuk menjembatani kesenjangan antara argumentasi
empiris dan argumentasi formal. Hal ini dikonfirmasi oleh studi yang menunjukkan bahwa
masalah siswa Taiwan berbeda: di sini, transformasi argumen resmi salah atau tidak tepat
untuk memperbaiki argumen formal dapat diamati (Lin, 2000).
Ketiga aspek pengetahuan metodologis harus diajarkan di kelas matematika. kesulitan
siswa dengan struktur bukti menunjukkan bahwa aspek ini kurang ditangani. Hasil pertama
dari studi video yang kelas, yang dilakukan baru-baru ini dalam kelompok penelitian kami,
menunjukkan bahwa guru menganggap aspek struktur bukti yang kurang penting
dibandingkan dengan dua aspek lainnya. Ketika mengajar bukti, sebagian besar guru
membayar terlalu sedikit memperhatikan struktur bukti atau ide-ide dari bukti. Secara umum,
bukti guru dalam pikirannya menentukan instruksi. Para siswa seharusnya mengikuti ini bukti
langkah tertentu demi langkah. Jarang, mereka didorong untuk mengembangkan ide-ide
mereka sendiri.
Ketika mendiskusikan hasil bagian sebelumnya kita harus memperhitungkan bahwa
sebelas siswa dalam penelitian wawancara kami harus memecahkan satu masalah geometri
(dengan empat solusi). Mengenai pembatasan ini adalah mungkin bahwa masalah siswa
dijelaskan 'dipengaruhi oleh konteks item ini. Sebuah studi tindak lanjut dengan item yang
berbeda diperlukan untuk memperjelas pertanyaan ini.

Jurnal VI(Amerika Serikat)


PROSPECTIVE ELEMENTARY AND SECONDARY SCHOOL MATHEMATICS
TEACHERS STATISTICAL REASONING
Oleh: Rabia Karatoprak , Glseren Karagoz Akar, Beng Borkan
University of Iowa, United States :2015

Abstrak
53

Penelitian ini meneliti calon guru matematika disekolah dasar (PSMTs) dan guru
matematika sekolah menengah dan penalaran statistik guru. Penelitian ini dimulai dengan
adaptasi dari Penalaran statistic Penilaian (Garfield, 2003) tes. Kemudian, tes diberikan untuk
82 celana dan 91 PSMTs dalam kota metropolitan Turki. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kedua kelompok sama-sama sukses dalam pemahaman kemandirian, dan pemahaman
pentingnya sampel besar. Namun, hasil dari pemilihan langkah yang tepat dari pusat bersamasama dengan kesalahpahaman menilai subskala yang sama menunjukkan bahwa kedua
kelompok mode yang dipilih bukan berarti sebagai rata-rata yang sesuai. Ini menyarankan
kurangnya perhatian pada variabel kategori dan selang / rasio sambil memeriksa data.
Demikian pula, kedua kelompok yang berhasil dalam menafsirkan dan komputasi
probabilitas; Namun, mereka memilik Bias equiprobability, hukum bilangan kecil dan
kesalahpahaman keterwakilan. Hasil menyiratkan perubahan beberapa pertanyaan dalam tes
statistik Penalaran Pengkajian dan bahwa pelatihan guru Program harus mencakup program
statistik berfokus pada mempelajari karakteristik sampel.
Kata kunci: penalaran statistik, Calon guru, pendidikan Statistik, SRA
1. Pendahuluan
Penalaran statistik individu tidak selalu intuitif (NCTM, 2005); Oleh karena itu,
penguatan dan pengembangan penalaran statistik individu sebagai hasil dari sekolah perlu
(Gal, 2002; Watson & Callingham, 2003; Garfield & Ben-Zvi, 2007). Dalam hal ini sangat
penting bagi calon guru untuk memiliki penalaran statistic (Garfield, 2002) karena apa yang
guru ketahui adalah apa yang siswa mereka tahu (Fennema & Franke, 1992; Heaton &
Mickelson, 2002). Namun, beberapa penelitian skala kecil menunjukkan fakta bahwa baik
PEMTs dan PSMTs kekurangan penalaran yang diperlukan untuk menentukan kapan dan
mengapa menggunakan konstruksi statistik seperti mean, median, varian dan distribusi
(Kanada, 2008; Groth & Bergner, 2006; Makar & Confrey, 2005; Leavy, 2006). Dengan cara
yang sama, sebuah studi yang dilakukan dengan 66 PEMTs dan PSMTs pada kesalahpahaman
probabilitas mereka menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki Bias equiprobablity dan
kesalahpahaman dari hukum jumlah kecil (Jendraszek, 2010).
Meskipun studi skala kecil memberikan informasi penting tentang calon guru ' makna
yang ada beberapa konstruksi statistik dan kesalahpahaman probabilitas, studi ini menunjuk
kurangnya pengetahuan dan penalaran dalam statistik di bagian seperti pemahaman
variabilitas (misalnya, Makar & Confrey, 2005), pemahaman rata-rata (misalnya, Groth &
54

Bergner, 2006) dan kesalahpahaman mengenai probabilitas, dll (misalnya, Jendraszek, 2010).
Di samping itu, Garfield (2003) yang disediakan lapangan dengan kertas dan pensil Penilaian
Penalaran statistic test (SRA) untuk memeriksa sejumlah besar penalaran statistik individu.
Dalam hal ini, ini Penelitian bertujuan untuk menentukan calon guru matematika SD dan
SMP ' jenis penalaran statistik. Memeriksa sejumlah relatif besar calon guru ' penalaran
statistik (N = 173) dengan SRA tes mungkin lebih membantu persiapan program guru dengan
apa yang harus fokus pada khusus (Shaugnessy, 2007; Bulut, 2001) karena kapasitas SRA
untuk desain instruksi sejak respon memberikan informasi mendalam tentang kedua yang
benar keterampilan penalaran dan kesalahpahaman (Sundre, 2003). Belajar baik PEMTs 'dan
PSMTs' jenis penalaran statistik dalam penjajaran satu sama lain dengan peserta yang berasal
dari kota metropolitan Turki mungkin memberikan deskripsi dari repertoar pengetahuan ini
calon guru sehubungan dengan konsep statistik. Juga, karena kedua kelompok datang dari
program pendidikan yang berbeda di tingkat universitas, membandingkan statistik mereka
penalaran mungkin menambah literatur perbedaan antara kelompok-kelompok ini didasarkan
pada yang rekomendasi spesifik untuk masing-masing program dapat dibuat.
Diinformasikan oleh penelitian tersebut pertanyaan penelitian berikut yang diselidiki:
I.
II.
III.

Apa jenis penalaran statistik calon guru matematika sekolah dasar?


Apa jenis penalaran statistik calon guru matematika sekolah menengah?
Apakah ada perbedaan antara jenis penalaran statistik calon guru matematika
sekolah dasar dengan guru matematika sekolah menengah?

Secara khusus, penelitian ini terletak di Turki, dilakukan dengan Turki calon guru
berpendidikan dalam konteks yang berbeda daripada rekan-rekan mereka di negara yang
berbeda. Namun, hasil menunjuk kesamaan dengan penelitian sebelumnya (misalnya,
Jendraszek, 2010) dan diperpanjang dengan berfokus pada penalaran calon guru tentang
masing-masing sub-skala. Dalam hal ini, hasil penelitian ini mungkin lebih membantu
program persiapan guru, kursus untuk statistik mengajar, untuk fokus secara khusus
(Shaugnessy, 2007; Bulut, 2001) pengetahuan calon guru dari variabel dan sampling
2. Literatur
Hasil pendidikan statistik mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi
melibatkan tiga tingkat yang berbeda: melek statistik, penalaran statistik dan pemikiran
statistik. Meskipun mereka tumpang tindih satu sama lain pada tingkat konten (Garfield &
Ben-Zvi, 2007; Delmas, 2002; Rumsey, 2002; Kesempatan, 2002; Garfield, 2002), Delmas
55

(2002) menunjuk perbedaan di antara tiga domain dalam hal keterlibatan kognitif yang
mereka butuhkan dari individu. Misalnya, orang melek statistik bisa tahu kapan harus
menggunakan mean, median dan modus atau kritis mengevaluasi pernyataan statistik.
Namun, kemampuan untuk membandingkan dan kontras data, untuk dapat menjelaskan
prosedur add-membagi dalam mencari mean atau berkaitan konsep dengan masing-masing
seperti kemerdekaan lainnya dari hasil dan keterwakilan milik penalaran statistik. Di sisi lain,
menerapkan ide-ide untuk masalah baru dan mengajukan pertanyaan dari diri sendiri seperti
memilih cara terbaik untuk menganalisis data atau mendiagnosis kelemahan dalam prosedur
statistik adalah terkait dengan pemikiran statistik seseorang.

Tabel 1. Delmas (2002) perbedaan antara tiga domain


Dasar literasi
Mengenali

Penalaran
Mengapa?

Berfikir
Berlaku

Menggambarkan

Bagaimana?

Kecaman

Mengulangi

Jelaskan (proses)

Mengevaluasi

Menterjemahkan

Menyamakan

Menafsirkan
Membacakan

Meskipun, perbedaan antara ketiga domain yang kabur, peneliti menekankan


pengembangan penalaran statistik sebagai hasil dari pendidikan (Gal, 2002;Watson &
Callingham, 2003; Garfield & Ben-Zvi, 2007). Hal ini terutama karena statistic penalaran
adalah untuk memahami dan alasan dengan informasi statistik dan membuat interpretasi
berdasarkan set data (Garfield, 2002). Tingkat tersebut penting bagi individu untuk
berpartisipasi dalam aksi komunitas dan menyadari seperti pertumbuhan penduduk,
penyebaran penyakit, pendidikan prestasi, tren pekerjaan dll (Watson & Callingham, 2003).
Dalam hal ini, Garfield (2002) mendalilkan keterampilan penalaran yang benar peserta didik
diharapkan untuk mendapatkan dan kesalahpahaman peserta didik tidak berkembang agar
dapat dihitung sebagai memiliki penalaran statistik.

56

Keterampilan Penalaran yang benar, Kesalahpahaman dan Penelitian Pendidikan Guru


Keterampilan penalaran yang benar melibatkan penalaran tentang; data, representasi data,
statistic langkah-langkah, ketidakpastian, sampel, dan, asosiasi. Para peneliti menyimpulkan
bahwa setelah siswa memiliki keterampilan penalaran ini, mereka mungkin dianggap sebagai
memiliki penalaran statistik (Garfield, 2002, 2003; Garfield & Gal, 1999). Namun, mereka
juga berpendapat bahwa bagi seseorang untuk dapat Alasan statistik, mereka tidak harus
memiliki beberapa kesalahpahaman tertentu. Ini adalah; kesalahpahaman tentang rata-rata,
orientasi hasil, bias tentang sampel yang baik, hukum jumlah kecil, keterwakilan
kesalahpahaman dan bias equiprobability. Berikut ini paragraf, semua aspek penalaran
statistik dibahas berkaitan dengan penelitian tentang pendidikan guru.
Statistik ini didasarkan pada data (Moore, 1990; Garfield & Ben-Zvi, 2008) dan
penalaran tentang Data melibatkan memeriksa fenomena mengidentifikasi variabel tertanam
di dalamnya (Mickelson & Heaton, 2004). Karena data hanya nomor tanpa konteks (Moore,
1990), dalam konteks, jenis kualitatif data-- atau quantitative-- dapat ditentukan. Kemudian
kesimpulan dapat ditarik berdasarkan jenis data (Garfield & Ben-Zvi, 2008). Setelah jenis
data ditentukan, maka salah satu dapat merepresentasikan data membangun dan / atau
memodifikasi grafik dan membacanya menafsirkan data dan mengenali karakteristik umum
(Garfield, 2003). Sementara menafsirkan Data statistik beberapa langkah-langkah yang
digunakan seperti langkah-langkah dari pusat (mean, median dan modus), menyebar dan
posisi. Sementara menafsirkan data mengetahui tentang kapan dan bagaimana menggunakan
mereka adalah diperlukan (Garfield, 2003). Namun demikian, beberapa mungkin berpikir
bahwa rata-rata yang paling nomor atau hal sering berarti dan median sebagai sama. Selain
itu, beberapa mungkin berpendapat bahwa kelompok dibandingkan dengan rata-rata dan
menurut rata-rata mereka dihitung dengan membagi add- Prosedur terlepas dari outlier. Para
peneliti menyatakan bahwa siswa tidak boleh menggunakan jenis (salah) penalaran ketika
menganalisis informasi statistik (Garfield, 2002, 2003; Garfield & Gal, 1999). Namun
demikian, Groth dan Bergner (2006) menemukan bahwa hanya 3 dari 46 calon guru
matematika SD bisa berpikir tentang situasi hipotetis di mana salah satu dari mean, median
dan modus mungkin menjadi ukuran yang lebih baik dari pusat meskipun semua dari mereka
bisa mendiskusikan prosedur langkah-langkah ini.
Dengan cara yang sama, Makar dan Confrey (2005) menemukan bahwa PSMTs
menggunakan bahasa sementara menggambarkan variasi dan distribusi muncul dari bentuk
distribusi daripada pemahaman mereka tentang variasi sementara membandingkan dua set
57

data. Para peneliti menyimpulkan bahwa PSMTs penalaran langkah-langkah tentang


distribusi lemah. Demikian pula, beberapa studi penelitian lainnya yang berfokus pada
Konsep statistik PEMTs 'dalam menganalisis dan membandingkan set data menunjukkan
bahwa PEMTs yang tidak dapat mengambil langkah-langkah ke rekening spread (Kanada,
2008; Leavy, 2006).
Penalaran tentang ketidakpastian juga merupakan komponen yang sangat diperlukan
dalam penalaran statistik. Saya mengacu pada pemahaman dan menggunakan ide-ide
keacakan, kesempatan, dan kemungkinan untuk mengetahui cara menentukan probabilitas
peristiwa (Garfield, 2003). Hasil dari suatu peristiwa tidak dapat ditentukan pasti bahkan jika
hasil yang mungkin adalah yang pasti (Moore, 1990). Pada saat yang sama, setiap hasil tidak
pasti. Dengan demikian fenomena yang diselidiki disebut sebagai acak (Moore, 1990) dan
kemungkinan yang bisa diukur. Namun, salah satu memiliki kecenderungan untuk
memutuskan dengan melihat hanya acara tunggal daripada serangkaian peristiwa (Konold,
Pollatsek, Nah, Lohmeier, & Lipson, 1993). Dalam hal ini hasil orientasi pendekatan
berkembang. Misalnya, seperti yang dapat dilihat pada SRA, orang yang memiliki orientasi
hasil melihat 70% kemungkinan hujan di sepuluh hari seperti itu harus hujan di masingmasing sepuluh hari (Garfield, 2003), meskipun masih ada kesempatan 30% tidak hujan
untuk setiap hari. Dengan cara yang sama, satu juga mungkin berpikir bahwa kemungkinan
peristiwa yang sama karena terjadi secara kebetulan (Lecoutre, 1992); menyimpulkan bahwa
mereka equiprobable oleh alam. Salah satu yang berpikir dengan cara ini memiliki
equiprobability bias (Lecoutre, 1992). Sebagai contoh, ketika dua dadu dilempar secara
bersamaan, kemungkinan memperoleh dua balita dan kemungkinan memperoleh satu lima
dan enam di satu dua gulungan dapat dilihat sebagai kemungkinan yang sama oleh orang
yang memiliki konsepsi ini.
Penalaran statistik juga melibatkan penalaran tentang sampel yang membutuhkan bisa
mengetahui hubungan bagian-keseluruhan antara sampel dan populasi (Watson & Moritz,
2000). Sampel adalah bagian dari populasi dan dengan memeriksa bagian ini; hasil sampel
dapat digeneralisasi untuk populasi. Untuk dapat menggeneralisasi hasil keacakan,
keterwakilan dan bias yang gagasan penting untuk dipertimbangkan (Watson & Moritz,
2000). Mengetahui tentang karakteristik sampel juga memungkinkan individu untuk
menafsirkan hubungan antara variabel, asosiasi (Garfield, 2003). Apakah ada hubungan
antara variabel atau untuk apa gelar ada hubungan adalah pertanyaan tentang. Selanjutnya,
untuk memilih sampel yang representatif, anggota harus dipilih secara acak (Gay dkk., 2009).
58

Namun pilihan hanya acak tidak menjamin keterwakilan sejak ukuran sampel juga
mempengaruhi hasil (Tversky & Kahneman, 1971). Sampel kecil bahkan jika dipilih secara
acak mungkin tidak menunjukkan semua sifat-sifat populasi sejak variabilitas ada dalam
populasi (Watson & Moritz, 2000) .
Di sisi lain, beberapa mungkin berpikir bahwa sampel yang baik harus mewakili
persentase yang tinggi dari populasi. Yang mereka mungkin berpikir bahwa jika ukuran
sampel adalah persentase besar penduduk maka itu adalah contoh yang baik (Garfield & BenZvi, 2008; Garfield, 2003). Salah satu yang memiliki kesalahpahaman ini berpikir bahwa jika
populasi Ukuran meningkat maka ukuran sampel juga harus meningkat. Namun untuk
estimasi handal ukuran mutlak sampel penting daripada ukuran sampel relatif terhadap
populasi (Smith, 2004). Sampel dipilih dengan baik dapat memberikan estimasi suara bahkan
jika sampel tidak persentase yang tinggi dari populasi (Garfield & Ben-Zvi, 2008). Dengan
kata lain, seperti yang dinyatakan sebelumnya, dipilih secara acak jumlah yang memadai
peserta sebagai sampel dapat memberikan keterwakilan dan berisi hasil. Namun, ada yang
halus tetapi merupakan masalah penting sehingga secara acak dua sampel yang mirip satu
sama lain karena mereka secara acak terpilih. Namun dua sampel ini mungkin berbeda satu
sama lain sejak acak sampel bervariasi, terutama yang kecil (Garfield & Ben-Zvi, 2008).
Dengan demikian, orang yang hanya membutuhkan waktu mempertimbangkan keacakan
mengabaikan ukuran sampel mungkin berpikir bahwa secara acak ditarik sampel apapun
harus memiliki karakteristik yang sama dari populasi tanpa mempertimbangkan ukuran
sampel (Tversky & Kahneman, 1971). Oleh karena itu, mereka mungkin menyimpulkan
bahwa sampel kecil menyerupai populasi dalam membuat kesimpulan (Garfield, 2003) sejak
diambil secara acak. ini adalahdisebut sebagai hukum bilangan kesalahpahaman kecil
(Kahneman & Tversky, 1974). Menariknya, Jendraszek (2010) menyelidiki PEMTs dan
PSMTs (N = 66) kesalahpahaman probabilitas dan menemukan bahwa kedua kelompok
memiliki equiprobability bias dan hukum bilangan kecil kesalahpahaman.
Dengan cara yang sama, orang mungkin berpikir bahwa kemungkinan sampel yang
representative tergantung pada bagaimana menyerupai penduduk (Kahneman & Tversky,
1974). Satu yang berpikir cara ini memiliki kesalahpahaman keterwakilan karena s / dia
cenderung menggunakan heuristik bukan prinsip probabilitas. Misalnya, sebagai akibat dari
membalik koin 6 kali, memperoleh HTHTHT dapat dilihat sebagai kurang mungkin
dibandingkan

mendapatkan

HTTTHT,

oleh

mereka

memegang

keterwakilan

kesalahpahaman. Beberapa penelitian yang dilakukan dengan PEMTs menunjukkan bahwa


59

hanya beberapa dari mereka (10 dari 54) mampu menunjukkan karakteristik sampel yang
bagian perwakilan dari keseluruhan (Groth & Bergner, 2005).
Demikian pula, Heaton dan Mickelson (2002) meneliti integrasi PEMTs 'penyelidikan
statistik untuk sekolah dasar kurikulum. Mereka menemukan bahwa PEMTs mengabaikan
keterwakilan data yang mereka digunakan. zen (2012) juga menemukan bahwa PEMTs
digunakan ukuran sampel sebagai satu-satunya aspek statistik dan mereka gagal untuk
berhubungan dengan konteks. Tersebut poin penelitian kurangnya calon guru pengetahuan
dalam statistic konsep-konsep seperti memahami penggunaan rata-rata atau variabilitas dll
Melakukan penelitian lebih lanjut dengan SRA mungkin memberikan informasi rinci pada
kedua PEMTs 'dan PSMTs' penalaran statistic jenis holistik. Artinya, hasil mungkin lebih
menjelaskan sub-pemahaman yang berbeda dan kesalahpahaman secara bersamaan dan
dalam penjajaran satu sama lain. Hal ini pada gilirannya mungkin membantu pendidik guru
untuk menentukan jalur khusus untuk membantu calon guru untuk Alasan statistik.
3. Metode
a. Desain penelitian
Desain penelitian studi adalah penelitian deskriptif dimana penalaran statistic guru
matematika calon, digambarkan dengan data kuantitatif dan disajikan ada perbedaan antara
PEMTs dan PSMTs (Gay dkk., 2009). Grup yang didirikan menurut untuk variabel
pengelompokan yang merupakan level mengajar guru matematika calon.
b. Peserta
Populasi target penelitian ini adalah siswa senior yang belajar di SD dan SMP matematika
sekolah mengajar program di Istanbul, Turki. Convenience sampling digunakan sebagai
metode sampling. Calon guru yang berpartisipasi dalam kursus metode pengajaranpada saat
pengumpulan data merupakan sampel. Dalam sistem pendidikan Turki, sementara pendidikan
sekolah dasar meliputi 5 melalui nilai 8, sekolah menengah meliputi pendidikan 9 melalui
nilai 12. Guru mengajar di kelas mereka diwajibkan gelar sarjana di bidang terkait. Kecuali
gelar ini diberikan oleh sebuah perguruan tinggi pendidikan, guru diharapkan memiliki
sertifikat mengajar yang diberikan oleh perguruan tinggi pendidikan. Para peserta penelitian
ini terdiri dari 91 PSMTs (80% dari sub-populasi sekunder calon) dan 82 PEMTs (50% calon
SD sub-populasi).
Tabel 2. Contoh
60

Grup
Tingkat Sekolah Dasar

Ukuran Sampel
82

%
50

Tingkat Sekolah Menengah

91

80

4. Instrumen
Peneliti dan guru menggunakan metode yang berbeda saat menilai pengajaran,
pembelajaran atau pengembangan penalaran statistik seperti penilaian kinerja atau
wawancara. Namun metode ini tidak praktis dalam kelompok besar orang (Garfield, 2003;
Tempelaar, 2004). Statistik Penalaran Assessment (Garfield, 2003), di sisi lain, adalah tes
kertas pensil yang mudah dijalankan dan skor. Selain itu, akan sangat membantu untuk desain
instruksi karena data yang diperoleh melalui tes ini memberikan informasi tentang yang benar
keterampilan penalaran dan kesalahpahaman juga (Sundre, 2003). Dengan cara yang sama,
statistic jenis penalaran dinilai dalam tes tertutup di dalam sekolah menengah dan SD
Matematika Nasional Kurikulum. Oleh karena itu statistik Penalaran Assessment (SRA) uji
digunakan dalam penelitian ini. Tes meliputi 20 beberapa item pilihan tentang probabilitas
dan statistik. Alternatif item pernyataan yang menunjukkan penalaran yang benar,
kesalahpahaman atau hanya palsu contoh. Beberapa item memiliki lebih dari satu alternatif
yang benar dan alternatif menunjukkan kesalahpahaman. Daftar alternatif ini dan item yang
diberikan pada Tabel 3 dan 4. Contoh item dari instrumen asli diberikan dalam Lampiran.
1. Prosedur Scoring
Menurut prosedur scoring asli, ada dua kategori utama; keseluruhan yang benar
keterampilan penalaran skor dan kesalahpahaman keseluruhan skor. Karena ada 8 sub-skala
di bawah dua kategori utama ini, 16 skor yang diperoleh dari sub-skala tersebut. (Lihat Tabel
3 dan Tabel 4)
Secara keseluruhan keterampilan penalaran yang benar skor diperoleh per orang dengan
cara berikut: Seseorang memilih alternatif yang benar (pilihan) mendapat 1 poin jika 0 poin.
Skor ini dari tanggapan khusus dari item kontribusi masing-masing skala ditambahkan dan
kemudian dibagi dengan jumlah item karena masing-masing skala meliputi jumlah yang
berbeda dari tanggapan. Dengan cara ini, skor dari setiap perubahan sub-skala pada skala 0
sampai 2. Misalnya skala dengan benar Menginterpretasikan Probabilitas terdiri oleh d
alternatif item 2 dan 3. Jika seseorang menjawab dengan benar salah satu dari mereka dan
tidak benar yang lain, s / ia mendapat 0,5 poin untuk benar menafsirkan Probabilitas
61

ditemukan dengan cara yang sama. Kemudian, setelah skor skor masing-masing sub-skala
kesalahpahaman 'ditemukan, mereka ditambahkan untuk mendapatkan kesalahpahaman
keseluruhan skor. Prosedur ini diulang dalam rangka untuk menemukan nilai setiap peserta.
Versi Turki Instrumen yang Teknik penerjemahan maju digunakan untuk
menerjemahkan tes dari bahasa sumber (bahasa Inggris) menargetkan bahasa (Turki).
Kemudian, validitas dan reliabilitas bukti dikumpulkan untuk Versi Turki tes. Pertama, itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh penerjemah profesional, mahasiswa belajar di
Pendidikan Matematika dan para peneliti dari studi ini pascasarjana, Internasional Elektronik
Jurnal Pendidikan Dasar Vol.7, Edisi 2, 107-124,2015 114 mandiri. Setelah terjemahan,
pertama dan kedua penulis merevisi diterjemahkan instrumen secara mandiri dan setelah
mencapai kesepakatan, versi final dibangun.
Kemudian, seorang guru Turki menguasai tata bahasa dari tes. Akhirnya opini empat
ahli 'di kesetaraan kedua versi diperoleh dan kemudian tes diselesaikan. Setelah itu, dalam
rangka membangun bukti empiris untuk kesetaraan linguistik, 61 universitas siswa yang
kompeten di kedua bahasa, mengambil pertama instrumen asli dan tiga minggu kemudian
mereka mengambil versi Turki. Jumlah peserta harus setidaknya 30 untuk studi kesetaraan ini
karena kebutuhan analisis parametrik (Gay dkk., 2009). Juga setidaknya dua minggu harus
dibiarkan antara administrasi tes sebagai tindakan pencegahan (Aksayan & Gozum, 2002).
Jika lebih pendek dari dua minggu, peserta mungkin ingat item dan skor yang lebih tinggi
mungkin muncul. Oleh karena itu, mereka merebut kembali versi Turki instrumen, tiga
minggu kemudian. Kesetaraan bentuk diperiksa di tingkat item. Tanggapan peserta yang
dikodekan sebagai 1 untuk jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah. Prosedur
coding ini dilakukan untuk setiap alternatif yang benar untuk pertanyaan dengan beberapa
jawaban yang benar. Juga kosong jawaban diberi kode 0. Karena variabel bunga dikotomis,
data yang cocok-pair dan data dapat diwakili oleh tabel 2x2, uji McNemar digunakan dalam
analisis item (Basturk, 2010). Perbedaan signifikan tidak muncul dalam item, kecuali 1, 2, 4,
10-c, 11, 13 dan 17. Versi kembali diterjemahkan dari barang-barang ini dan versi asli
dibandingkan oleh Ph.D. calon dalam pendidikan matematika yang kompeten dalam kedua
bahasa. Karena tidak ada Perbedaan diakui, cross-tabel McNemar Uji diperiksa.
Menurut Analisis McNemar item ini, perbedaan yang signifikan berasal dari
perbedaan antara jawaban yang salah dalam administrasi versi asli dan jawaban yang benar di
administrasi versi terjemahan. Hal itu terlihat bahwa sebagian besar peserta menjawab salah
62

dalam instrumen asli sedangkan mereka menjawab dengan benar dalam versi Turki.
Selanjutnya 1, 4 dan item 17 menaksir memilih rata-rata yang sesuai dan 2, 10-c, 11, dan
item-13 menilai hasil orientasi kesalahpahaman. Karena barang-barang ini terkait dengan dua
mata pelajaran dan jawaban mereka salah dalam versi asli sementara yang benar di Turki
versi, itu menyumbang data yang perbedaan yang signifikan mungkin dihasilkan dari belajar
peserta dari mata pelajaran ini daripada bahasa. Juga, koefisien korelasi diperiksa antara skor
keseluruhan yang diperoleh dari Turki dan versi bahasa Inggris dari tes. Pertama, asumsi
distribusi normal diperiksa oleh Kolmogorov-Smirnov Uji untuk mencetak baik secara
keseluruhan keterampilan penalaran yang benar dan secara keseluruhan kesalahpahaman
sejumlah versi Turki dan Inggris (Buyukozturk, 2010). Untuk kedua keseluruhan skor di
masing-masing kelompok, asumsi distribusi normal yang terus (p> 0,05) dan statistic
koefisien korelasi yang signifikan diperoleh; untuk mencetak keseluruhan keterampilan
penalaran yang benar, r = 0,639, p <0,01 dan untuk kesalahpahaman keseluruhan skor, r =
0,337, p <0,01. Sejak koefisien reliabilitas test-retest dihitung dalam studi asli di mana tes
dikembangkan, itu dihitung dalam penelitian ini, juga. Sama 61 mahasiswa mengambil Versi
Turki SRA tiga minggu kemudian. Kolmogorov-Smirnov Uji untuk kedua keseluruhan skor
di setiap administrasi menunjukkan bahwa distribusi biasanya didistribusikan.
Pearson koefisien korelasi statistik signifikan dan tinggi antara hasil dua administrasi
untuk keterampilan penalaran yang benar mencetak [r = 0,756, p <0,01] dan kesalahpahaman
mencetak gol, [r = 0,627, p <0,01] ditemukan. Dalam studi asli, keandalan untuk
keterampilan penalaran yang benar skala dan untuk skala kesalahpahaman ditemukan 0,70
dan 0,75, masing-masing. Jadi keandalan Hasil sejajar dengan studi asli.
2. Prosedur dan Analisis Data
Data dikumpulkan selama metode pengajaran jalannya sekunder dan SD matematika
sekolah program pendidikan di masing-masing universitas. Partisipasi untuk penelitian ini
adalah sukarela.
Untuk analisis data dua set delapan skor sub-skala dan dua nilai keseluruhan diperoleh
(Lihat bagian Instrumen untuk bagaimana menghitung nilai skala). Asumsi distribusi normal
diperiksa oleh Kolmogorov-Smirnov Uji untuk setiap sub-skala dan hasil menunjukkan
bahwa asumsi normalitas gagal untuk masing-masing (p <0,05). Oleh karena itu
perbandingan antara kelompok dianalisis dengan Mann Whitney U Uji untuk semua subskala kecuali Yang membedakan antara korelasi dan sebab-akibat dan kelompok hanya dapat
63

dibandingkan jika mereka adalah ukuran yang sama sub-skala. Sub-skala ini dibandingkan
dengan Uji Chi-Square karena hanya ada satu item berkontribusi terhadap sub-skala tersebut.
Pada saat yang sama, nilai dari kedua PSMTs dan PEMTs yang dianalisis secara deskriptif
untuk setiap subskala.
5. Hasil
Pada bagian ini, sub-skala tertentu (jenis) dari keterampilan penalaran yang benar dan
kesalahpahaman yang diperiksa untuk kedua kelompok. Kemudian, skor penalaran statistik
dibandingkan di dua kelompok. Dalam hal bagaimana untuk memilih rata-rata yang tepat,
nilai rata-rata kedua kelompok 'yang 0,454 dan 0,447 dan persentase yang 30,8% dan 34,1%
untuk 1 dan 46,2% dan 36,6% untuk Item 4 di SRA. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
kecil dari calon guru bisa pilih berarti sebagai rata-rata bermakna. Hasil ini juga konsisten
dengan kesalahpahaman melibatkan rata-rata subskala mengenai item pertama sehingga
61,6% dari PSMTs dan 56,1% dari PEMTs memiliki kesulitan dalam menentukan ukuran
yang tepat dari pusat. Misalnya hampir setengah dari calon guru yang memiliki
kesalahpahaman memilih modus di tempat mean dan setengah lainnya dari mereka diabaikan
outlier dalam data. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kelompok calon guru
(sekitar 6% untuk keduanya) berhasil di tidak membingungkan berarti dan median saat
memilih rata-rata yang sesuai untuk data yang diberikan diatur.
Sebagai data menunjukkan pada Tabel 5, tidak ada perbedaan yang signifikan secara
statistik (U = 3676,5; p > 0,05, r = -. 01) antara PEMTs dan skor PSMTs 'tentang bagaimana
untuk memilih yang tepat rata-rata. Hasil dari item 8, memahami probabilitas sebagai rasio,
menunjukkan bahwa kedua kelompok calon guru yang sangat sukses (95,6% dari PSMTs,
93,9% dari hewan peliharaan) dengan benar probabilitas komputasi. Di sisi lain, mereka tidak
berhasil dalam menggunakan kombinasi penalaran dengan benar komputasi probabilitas,
meskipun untuk domain ini tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua
kelompok (U = 3577;. p> 0,05, r = - 04) (Lihat Tabel-6). Secara khusus, frekuensi untuk
menjawab dengan benar item yang menilai penggunaan penalaran kombinatorial berkisar
antara 11,0% dan 31. 7%. Hasil ini juga konsisten dengan kesalahpahaman mengenai bias
equiprobability dinilai oleh item yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kelompok calon guru berpikir misalnya
kemungkinan memperoleh dua 5 dan kemungkinan memperoleh satu 5 dan satu 6 pada dua
gulungan memiliki kemungkinan yang sama karena peristiwa ini tergantung pada kesempatan
64

Penelitian ini meneliti penalaran statistik PEMTs dan PSMTs dan perbedaan antara penalaran
statistik mereka. Meskipun satu mungkin berharap sebaliknya, tidak ada perbedaan statistik
antara PEMTs 'dan PSMTs' penalaran statistik pada salah satu sub-skala. Jendraszek (2010)
berpendapat bahwa keberhasilan calon guru matematika 'pada probabilitas dan / atau statistik
terkait dengan mengambil kursus selama seluruh pendidikan mereka. Didalam studi, PSMTs
'(85,7%) dan PEMTs' (90,2%) mengambil kursus statistik. Juga anggapan bahwa kedua
kelompok mungkin telah dididik di bawah Kurikulum Nasional yang sama. Oleh karena itu,
selaras dengan temuan Jendraszek (2010), perbedaan tidak signifikan secara statistik antara
penalaran dua kelompok 'menjadi bermakna.
Di sisi lain, hasil mengenai penalaran yang berbeda subskala baik mendukung hasil
penelitian sebelumnya (Groth & Bergner; 2006, Kanada, 2008; Leavy, 2006) dan
diperpanjang dengan melaporkan apa perangkap tertentu calon guru harus dalam penalaran
statistik. Secara khusus, hasil dari pemilihan tindakan yang tepat dari pusat dan pemahaman
variabilitas bersama-sama dengan sub-skala kesalahpahaman menunjukkan bahwa PSMTs
dan PEMTs Modus bukan berarti terpilih sebagai rata-rata yang sesuai. Mereka juga tidak
memperhitungkan akun outlier pada set data. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mungkin
telah memperhatikan variabel kategoris dan selang / rasio sementara memeriksa data.
Artinya, kesulitan mereka dalam memilih rata sesuai mungkin berasal dari kurangnya
penalaran tentang berbagai jenis variabel sejak penggunaan rata ditentukan sesuai dengan
jenis data (Gay dkk., 2009). Meskipun mereka tidak memiliki kesalahpahaman bahwa
kelompok hanya dapat dibandingkan jika mereka adalah ukuran yang sama, mereka tidak
memiliki penalaran tentang langkah-langkah penyebaran; tinggi persentase kedua kelompok
tidak memperhitungkan variabilitas dalam data sementara membandingkan kelompok yang
berbeda. Dalam hal Garfield (2003) statistik domain penalaran, ini Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kedua kelompok guru matematika calon tidak memiliki penalaran
tentang data dan ukuran statistik.
Hasil mengenai

probabilitas

komputasi dan kesalahpahaman tentang

Bias

equiprobability menunjukkan bahwa calon guru yang sangat sukses dalam memecahka
Masalah / item, mengambil kelereng dari kotak, sangat mirip dengan yang mereka hadapi di
Turki buku teks. Namun, persentase yang tinggi dari mereka tidak berhasil dalam probabilitas
komputasi membutuhkan penalaran kombinatorial. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki
bias yang equiprobability. Ini Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mereka tidak mampu
memperhitungkan ruang sampel. Oleh cara yang sama, hasil dari subskala kemerdekaan
65

pemahaman menunjukkan bahwa kedua kelompok mampu menentukan equiprobability


memperoleh HHHTT atau HTHTH dari melempar koin lima kali. Namun, persentase rendah
dari mereka menjelaskan alasan mereka dengan memilih i) "Jika Anda berulang kali
membalik koin lima kali, masing-masing urutan ini akan terjadi sekitar sesering setiap urutan
lainnya. "dan ii)" Setiap dari urutan bisa terjadi ". Padahal, persentase yang tinggi dari
mereka memilih "Setiap urutan lima membalik memiliki tepat probabilitas yang sama
terjadi". Di Bahkan, masalah / barang-barang seperti melempar koin di nomor yang berbeda
kali juga terlihat sering dalam buku teks Turki. Dalam hal ini, hasil ini bersama-sama dengan
temuan dari probabilitas komputasi menyarankan bahwa calon guru mungkin telah mengenal
probabilitas teoritis; Namun, mereka tidak mungkin berpikir dari sampel membangun
Penalaran statistik guru / Karatoprak, Karagoz Akar & Brkan ruang eksperimental, yang
menunjukkan keterbatasan pada bagian mereka dalam hal menggunakan frekuensi
pendekatan .
Demikian pula, lebih dari 90% dari guru calon 'memecahkan masalah ini secara
teoritismenunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keterwakilan kesalahpahaman. Namun,
tidak memilih saya dan ii pernyataan sebagai penjelas untuk equiprobability dari urutan yang
diberikan mungkin memang diambil sebagai evincing bahwa kesalahpahaman keterwakilan
bisa disembunyikan oleh Keberhasilan calon guru dalam menghitung probabilitas dalam item
ini secara teoritis. Di hal ini, kami mengusulkan untuk memodifikasi dan / atau mengubah
item menilai keterwakilan kesalahpahaman di SRA.
Kurangnya calon guru penalaran dengan ruang sampel juga berhubungan dengan
Hasil dari penilaian sampel yang baik merupakan persentase yang tinggi dari populasi dan
hukum dari jumlah kecil kesalahpahaman. Baik kelompok calon guru tidak memperhitungkan
rekening ukuran mutlak sampel juga tidak memperhatikan ukuran sampel. Cukup tingginya
jumlah mereka mengabaikan efek sampel kecil pada hasil; yaitu, hasil bervariasi lebih dalam
sampel kecil (Yah, Pollatsek & Boyce, 1990). Sehingga mereka tidak bisa memperhitungkan
variasi rekening di sampling. Demikian pula, kedua kelompok berhasil dalam menjawab
masalah menilai memahami pentingnya sampel besar subskala. Namun, persentase rendah
dari kedua kelompok calon guru memilih "rata bisa menjadi perkiraan miskin pengeluaran
semua remaja mengingat bahwa remaja tidak dipilih secara acak untuk mengisi kuesioner
"menyarankan bahwa calon guru tidak memperhitungkan pentingnya pilihan acak dalam
membuat kesimpulan dari sampel ke populasi. Dalam hal Garfield (2003) statistik domain
penalaran, semua hasil ini injuxtaposition satu sama lain menyarankan itu, ini calon guru
66

tidak memiliki penalaran dengan pengambilan sampel sejak keacakan, keterwakilan dan bias
yang gagasan penting untuk dipertimbangkan untuk menggeneralisasi hasil dari sampel untuk
populasi (Watson & Moritz, 2000).
Sebagai sastra menyarankan, guru pengetahuan mempengaruhi siswa pengetahuan
(Heaton & Mickelson, 2002; Yolcu, 2012) .Oleh karena itu, jika calon guru mengalami
kesulitan dalam memahami konsep-konsep ini seperti penalaran tentang data, ukuran statistik,
pengambilan sampel dan penalaran kombinatorial atau kesalahpahaman seperti Bias
equiprobability dan siswa keterwakilan kesalahpahaman akan memiliki kurangnya
pemahaman konsep-konsep ini di atau kesalahpahaman ini. Dalam rangka mengembangkan
penalaran yang benar, pendidikan matematika program yang direkomendasikan untuk
menyertakan probabilitas pengajaran dan program statistik (Bulut, 2001). Namun dalam
penelitian kami 90,2% dari PEMTs mengambil kursus untuk mengajar dan probabilitas
statistik. 85,7% dari PSMTs mengambil kursus statistik. Jadi, isi program statistik di program
pendidikan guru bisa diperbaiki mengambil hasil penelitian ini menjadi pertimbangan.
Penelitian apalagi sebelumnya menunjukkan bahwa lebih kursus calon guru mengambil,
semakin tinggi kinerja mereka adalah probabilitas (Jendraszek, 2010). Karena itu, jumlah
kursus untuk mengajar statistik mungkin meningkat dalam pendidikan matematika program
sehingga keterampilan penalaran yang benar mungkin berkembang. Selain itu, peserta dari
penelitian ini adalah PEMTs dan PSMTs belajar di Istanbul. Juga peserta tidak dipilih secara
acak karena alasan praktis. Jadi hasil ini Penelitian yang kontekstual dan tidak dapat
digeneralisasi untuk semua guru matematika calon.
Oleh karena itu studi lebih dengan peserta yang berbeda terutama dari daerah lain
Turki perlu dilakukan dalam rangka untuk memiliki sebuah gagasan tentang penalaran
satistik Turki calon guru. Terakhir, instrumen diperoleh dari SRA yang tidak dikembangkan
awalnya untuk Turki konteks. Ada benar item dijawab oleh sebagian besar peserta pada kedua
kelompok. Untuk Misalnya, item 8 yang melibatkan konteks menarik keluar kelereng dari
dua kotak mungkin diganti dengan yang baru. Demikian juga, hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar peserta Internasional Elektronik Jurnal Pendidikan Dasar Vol.7, Edisi
2, 107-124,2015 menjawab item 2 benar. Item ini bisa dikeluarkan dari tes atau konteks item
dapat diubah untuk mengurangi keakraban dengan situasi masalah. Mengenai konteks sistem
pendidikan Turki, terutama untuk ujian masuk universitas, siswa sering memecahkan barang
serupa dan / atau jauh lebih sulit selama persiapan. Oleh karena itu, keakraban calon guru
mungkin mengakibatkan nilai yang tinggi dan informasi yang kurang tentang alasan mereka
67

dalam item ini. Pada saat yang sama, ada item yang pasti harus disimpan di SRA. Misalnya,
barang-barang seperti 13, 18, 19 atau 20 dapat digunakan untuk menentukan Penggunaan
calon guru penalaran kombinatorial di probabilitas komputasi. Diambil semua ini ke
rekening, instrumen baru mungkin dikembangkan atau SRA mungkin diubah.

Jurnal VII (Singapura)


PROPORTIONAL REASONING AND MATHEMATICAL BELIEFS OF STUDENTS,
TEACHERS FROM SINGAPORE AND AUSTRALIA
Foong Pui Yee & Bob Perry (Singapura & Australia : 1998)
Abstrak
Guru siswa di Australia dan Singapura diminta untuk memecahkan masalah rasio satu
langkah dan untuk melengkapi kalimat terbuka tentang sifat matematika dan matematika
pedagogi. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dalam
penalaran proporsional dari guru siswa di Australia dan Singapura melalui pendekatan dan
strategi yang mereka gunakan dalam memecahkan masalah rasio. Dari tanggapan mereka
terhadap kalimat terbuka, makalah ini menyajikan juga perbedaan dan persamaan antara
kedua kelompok negara dalam keyakinan mereka tentang sifat matematika dan bagaimana
matematika dipelajari dan diajarkan. Hubungan antara keyakinan tentang matematika dan
variabel dalam memecahkan masalah rasio dibahas dengan referensi khusus untuk kurikulum
dan pedagogis konteks di Australia dan Singapura.
1. Pendahuluan
"Fakta bahwa banyak aspek dari dunia kita beroperasi sesuai dengan aturan
proporsional membuat kemampuan penalaran proporsional extrerne1.y berguna dalam
penafsiran fenomena dunia nyata" (Post, Behr, & Lesh 1988, hal.79). penalaran proporsional
melibatkan lebih dari pengaturan dan memecahkan proporsi. Dalam pembelajaran awal
konsep, keterlibatan siswa harus mencakup pengalaman beton dengan proporsional dan tidak
ada situasi proporsional di mana siswa mengumpulkan data, membangun tabel dan
menentukan aturan untuk berhubungan pasangan nomor di meja. Dari sana situasi
68

proporsional didefinisikan sebagai mereka yang aturan dapat diekspresikan dalam bentuk y =
mx, di mana m adalah faktor konstanta yang menghubungkan dua kuantitas, X dan y. Namun,
paling sering buku teks menekankan pengembangan keterampilan prosedural daripada
pemahaman konseptual. Hal ini cenderung untuk mendorong hafalan dan menghambat
pemahaman bermakna hubungan perkalian antara jumlah saat dinyatakan sebagai aljabar
generalisasi. Bagaimana siswa dan orang dewasa menggunakan penalaran proporsional dan
memecahkan masalah proporsi telah menjadi fokus dari banyak penelitian (Fisher, 1988;
Dube, 1990; Behr, Harel, Post & Lesh, 1992; Conroy & Sutriyono, 1993, Comoy & Perry,
1996 ).
Dube (1990) memberi tugas proporsi berikut untuk 240 kelas 12 siswa bagi mereka
untuk menulis sebuah persamaan untuk mewakili pernyataan:
"Di sekolah tertentu ada 15 siswa yang pernah guru dimana S merupakan jumlah
siswa dan T merupakan jumlah guru"
Masalah ini yang akan kita sebut Siswa-dan-Guru masalah: direplikasi dari penelitian lain
(Lochhead, 1980, Clement, 1982, Davis, 1984) .Results dari studi ini menunjukkan bahwa
sebagian besar responden, di antaranya insinyur guru dan profesional lainnya, serta siswa dari
semua tingkatan membuat kesalahan pembalikan menuliskan "15s = T sebagai jawabannya.
data yang dikumpulkan dari studi ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam merumuskan
persamaan aljabar tidak terutama disebabkan sintaksis terjemahan dan gangguan dari bahasa
alami, tapi kurangnya pemahaman hubungan. secara khusus untuk masalah ini, pemahaman
konseptual rasio dan penalaran proporsional merupakan prasyarat untuk solusi sukses.
Lawton (1993) dalam studi serupa di mahasiswa menyarankan bahwa sebagian besar siswa
memiliki pemahaman relatif rapuh konsep proporsi dan yang mudah dipengaruhi oleh variasi
struktural dalam masalah. Aspek bahasa alami di mana hubungan matematika dinyatakan
dapat mengganggu proses penerjemahan ke dalam representasi aljabar. Kaput (1987)
menggunakan masalah yang sama: "Ada enam kali lebih banyak siswa sebagai profesor",
menyatakan bahwa penyebab utama dari kesalahan pembalikan, 6s = P: adalah pengaruh
yang kuat dan penggunaan otomatis aturan alam-bahasa sintaks di mana kecenderungan
adalah untuk menafsirkan "6s" sebagai "enam siswa".
Dube (1990) dalam analisisnya tentang tanggapan siswa terhadap siswa-dan - masalah
Guru, menemukan bahwa solusi jatuh ke dalam dua kategori pendekatan, yang ia disebut
holistik, dan analitik -Sintetis. Dalam pendekatan holistik siswa hanya menuliskan jawaban
69

sebagai hasil dari persepsi global seluruh masalah, sedangkan dalam pendekatan analitiksintetik, para siswa menunjukkan eksplisit dan hati-hati langkah-langkah yang ditetapkan.
Analisis lebih lanjut dari pendekatan analitik-sintetik sliowed bahwa siswa menerapkan
strategi kognitif yang bisa dikategorikan sesuai dengan cara siswa diselenggarakan konsep
mereka sebelumnya belajar dan keterampilan untuk mendapatkan persamaan diperlukan. Ada
tiga strategi utama: 1. Linguistic 2. Proporsional 3. Fungsional. Strategi pertama didasarkan
pada menerjemahkan arti dari kata-kata dalam masalah, strategi kedua didasarkan pada
pemahaman siswa tentang rasio dan proporsi dan strategi terakhir pada penggunaan fungsi
atau konsep-konsep matematika lainnya.
Klasifikasi Dube untuk pendekatan dan strategi yang akan digunakan untuk tujuan
studi ini untuk menyelidiki persamaan dan perbedaan dalam cara-cara yang guru siswa
Australia dan Singapura mendekati Siswa-dan - masalah Guru.
2. Mahasiswa Keyakinan Guru dan Matematika
Sejumlah investigasi (Mayers, 1994; Conroy dan Sutriyono, 1993; Foong, 1993)
memiliki perhatian terfokus pada keyakinan guru tentang matematika dan Iearning dan
pengajaran itu. keyakinan guru tentang matematika telah terbukti menjadi sangat penting
dalam hal praktik pembelajaran mereka mengadopsi. Penelitian telah menunjukkan bahwa
guru praktik pembelajaran mempengaruhi murid mereka 'persepsi matematika sebagai
disiplin

(Schoenfeld,

1989).

Sebuah

pandangan

tradisional

matematika

diketahui

mendominasi di antara guru dan pre-service guru siswa (Thompson, 1992). Mereka dikenal
untuk menganggap matematika baik sebagai badan kebenaran mutlak, yang ada secara
independen dari peserta didik atau sebagai satu set alat yang terdiri dari fakta-fakta, aturan
dan keterampilan.
guru siswa yang kursus yang membawa mereka dari situasi sekolah
Di mana mereka telah murid (untuk beberapa, lama) untuk lembaga pendidikan guru.
dan kemudian kembali ke situasi sekolah, kali ini sebagai guru. guru siswa datang ke lembaga
pelatihan langsung dari sekolah tinggi atau dari universitas dan mereka membawa persepsi
yang berbeda-beda, sikap terhadap dan kemampuan dalam matematika. Apapun keyakinan
mereka memiliki tentang matematika dan pedagogi matematika telah dipengaruhi tidak hanya
oleh pengalaman dan prestasi dalam matematika sekolah tetapi juga oleh guru, orang tua,
pengusaha dan rekan-rekan mereka.
70

Salah satu cara untuk memeriksa didukung keyakinan guru tentang matematika telah
mengkategorikan mereka ke dalam yang berkaitan dengan sifat matematika, pembelajaran
matematika dan mengajar matematika. Dalam penyelidikan tersebut keyakinan dapat
didefinisikan sebagai "setiap proposisi sederhana, sadar atau mnconscious, disimpulkan dari
apa yang orang katakan atau lakukan, mampu menjadi didahului dengan kalimat:" Saya
percaya bahwa ... "(Rokebach, 1968, hlm. 2). untuk tujuan penelitian ini yaitu untuk
menyelidiki juga keyakinan guru pelajar di Australia dan Singapura, subjek diminta untuk
melengkapi kalimat terbuka tentang sifat matematika dan matematika pedagogi. Tanggapan
atas pertanyaan-pertanyaan 'keyakinan' diperiksa untuk persamaan dan perbedaan antara
kedua kelompok negara dan mengidentifikasi kemungkinan kaitan antara keyakinan dan
pendekatan guru siswa digunakan dalam memecahkan masalah rasio.
3. Sampel
Total sampel terdiri dari 460 siswa yang berada di tahun pertama program pendidikan
guru mempersiapkan mereka untuk karir di sekolah [SD] primer.
Australia.
kelompok ini terdiri 178 guru mahasiswa dari dua universitas [satu Katolik dan
sekuler] di Sydney, NSW. Kedua kelompok mahasiswa [46 dan 132 masing-masing]
berada di semester pertama dari program sarjana enam semester, masing-masing
dengan kurikulum yang unik.
Singapura
kohort terdiri 282 siswa dari dua kelompok yang berbeda dalam sebuah universitas
pemerintah: 164 melakukan program diploma dua tahun dan 118 melakukan program
pasca sarjana diploma satu tahun. Para siswa dari Singapura memiliki. pendidikan
mereka di seluruh menggunakan Bahasa Inggris sebagai pengantar dan belajar sebagai
bahasa pertama., meskipun bahasa Inggris bukan bahasa ibu mereka. Matematika
yang dipelajari dan diajarkan dalam bahasa Inggris.

Tabel 1 menunjukkan komposisi usia kohort di kedua negara. Ijazah pendidikan (Dip-Ed)
siswa di Singapura yang kompatibel dengan kohort Australia di kelompok usia, sedangkan

71

diploma pasca-sarjana (PGDE) siswa dalam kelompok usia yang lebih tinggi karena mereka
sudah menyelesaikan gelar universitas mereka.

4. Tugas
Para siswa disajikan dengan masalah Strufents-dan-Guru dan diminta untuk menyelesaikan
secara individu:
Silakan bekerja masalah berikut selengkap mungkin: 'Di sekolah tertentu ada siswa l5 untuk
setiap guru. IFS adalah jumlah siswa dan T adalah jumlah guru, tuliskan persamaan, yang
mewakili situasi tertentu. '
Masalahnya disajikan pada selembar kertas dan siswa didorong untuk menulis penjelasan apa
pun yang diperlukan untuk mendukung jawaban mereka. Hal ini identik dengan masalah
digunakan dalam tiga studi sebelumnya (Dube, 1990, Conroy & Perry, 1996 dan Conroy &
Sutriyono, 1993).
Pada lembar terpisah, siswa disajikan dengan tiga kalimat yang tidak lengkap tentang
matematika, yang mereka diminta untuk menyelesaikan dengan cara apa pun yang mereka
merasa sesuai. Untuk mendorong keterbukaan maksimal respon, tidak ada kata kerja
termasuk dalam kalimat tidak lengkap, terutama bukan kata kerja 'menjadi'. Kalimat-kalimat
yang tidak lengkap adalah sebagai berikut:
Lengkapi kalimat yang diberikan:
Pertanyaan 1. Dalam opinzon saya, rnathenzatics
Question2.In pendapat saya, matematika di sekolah
Pertanyaan 3. Menurut pendapat saya, murid yang terlibat dalam proses mendapatkan
matematika
pengetahuan
Siswa diberi ruang yang cukup setelah setiap pernyataan untuk menulis ide-ide mereka
sepenuhnya. Mereka tidak diberi batas waktu tertentu untuk tugas tetapi, secara umum,
mengambil sekitar setengah jam untuk menyelesaikan kedua.

72

5. Hasil
a) Proporsional Penalaran Task
Tabel 2 menunjukkan persentase jawaban yang benar dan yang salah diberikan oleh siswa.
Serta kesalahan yang jelas, respon yang salah mencakup tanggapan yang tidak dalam bentuk
persamaan (yang diperlukan tugas), tanggapan yang tidak lengkap atau kurang dari itu.
Demikian juga, serta persamaan yang benar jelas, respon yang benar meliputi kasus-kasus
yang mengikuti garis yang benar penalaran, tetapi mungkin memiliki kesalahan sederhana
dekat akhir baris ini.
Dip-Ed kohort dari Singapura (36,4% benar) dilakukan agak lebih baik daripada kelompok
Australia (27% benar). Post-graduate diploma (PGDE) kelompok mengungguli dua
kelompok dengan 62,7% memberikan persamaan yang benar. Tanggapan dianalisis sesuai
dengan pendekatan yang dilakukan oleh siswa. menggunakan Dube (1990) classitications
saling eksklusif pendekatan holistik atau analitik-sintetik. Sebuah respon diklasifikasikan
sebagai holistik ketika siswa hanya menuliskan persamaan dengan benar atau salah tanpa
"bekerja" sebagai akibat dari persepsi global seluruh masalah. Sebuah respon diklasifikasikan
sebagai analitik-sintetik ketika ada langkah-langkah didefinisikan dengan hati-hati, bukti
analisis menggunakan semantik dan penalaran matematika, manipulasi aljabar dan
perhitungan aritmatika. Tabel 3 dan 4 memberikan rincian persentase siswa baik
menggunakan pendekatan holistik atau analitik-sintetik atau persentase keberhasilan untuk
setiap pendekatan.
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar dari Australia (70,8%) dan Singapura Dip-Ed
kohort (72,8%) menggunakan pendekatan holistik. Namun, kelompok PGDE tua dari
Singapura tersebar hampir sama antara dua pendekatan. Sebuah rincian lebih lanjut dari data
pada Tabel 3 memberikan Tabel 4 yang menunjukkan persentase jawaban yang benar dan
yang salah diberikan untuk masing-masing dari dua pendekatan.
Tabel 4 menunjukkan bahwa kohort Australia yang memberi tanggapan baik benar atau salah
lebih sering daripada tidak digunakan pendekatan holistik untuk memecahkan masalah.
pendekatan yang lebih disukai Singapura kohort 'berbeda antara kelompok Dip-Ed dan
kelompok PGDE. 59,3% dari Dip-Ed digunakan pendekatan holistik untuk respon yang benar
yang kurang dari kelompok Australia, di mana sebagai siswa PGDE lebih disukai pendekatan
analitik-sintetik untuk mendapatkan jawaban yang benar.
73

Pada semua kelompok, proporsi yang lebih besar dari guru siswa menggunakan pendekatan
holistik memperoleh salah bukan solusi yang tepat. Sebagian besar tanggapan yang salah
melakukan kesalahan pembalikan menuliskan "15s = T". tanggapan yang salah lainnya
termasuk contoh seperti "y = 15S / T"; "SET". Bagi mereka jawaban yang benar
menggunakan pendekatan holistik, persamaan yang diberikan biasanya satu bentuk "S / T =
15"; "S = 15TJ ';" S / 15 = TJ' siswa Singapura yang menggunakan pendekatan analitiksintetik lebih mungkin untuk menghasilkan solusi yang tepat ketika mereka menerapkan
.strategy proporsi daripada rekan-rekan Australia.
Jenis strategi kognitif yang digunakan oleh siswa dalam pendekatan sintetis analitis yang
analisis lebih lanjut. Tabel 5 menunjukkan persentase jawaban yang benar dan yang salah
menggunakan pendekatan analitik-sintetik yang telah diterapkan satu atau yang lain dari
(1990) tiga strategi kognitif Dube ini: 1. linguistik 2. 3.functional Proporsional. Strategi
pertama didasarkan pada menerjemahkan arti dari kata-kata dalam masalah, strategi kedua
didasarkan pada pemahaman siswa dari rasio dan proporsi dan strategi terakhir pada
penggunaan fungsi konsep-konsep matematika lainnya.
Pada Tabel 5 adalah menarik untuk dicatat bahwa, secara keseluruhan, 71,6% dari
siswa Singapura menggunakan pendekatan analitik dan yang menghasilkan persamaan yang
benar menggunakan strategi proporsional. Para siswa Australia mengalami kesulitan
menggunakan strategi proporsi, 59,3% dari mereka yang menggunakannya tidak mampu
merumuskan persamaan yang benar.
Di antara Australia dengan menggunakan pendekatan analitik-sintetik, 33,3% dari
mereka mendapatkan solusi yang tepat telah menggunakan strategi linguistik, 16,2% dari
siswa Singapura serupa. 53,3% dari tanggapan yang benar oleh para mahasiswa Australia
yang diperoleh dengan menggunakan strategi fungsional. Meskipun siswa Australia tidak
menggunakan prosedur proporsi rasio mereka mampu menggunakan penalaran proporsional
untuk merumuskan fungsi matematika yang benar untuk persamaan.
Siswa Singapura, 64,3% dari mereka yang menggunakan strategi fungsional gagal
menghasilkan persamaan yang benar. Mayoritas diterapkan fungsi matematika yang tidak
pantas seperti penambahan dan keterampilan aljabar lainnya, yang menunjukkan bahwa
mereka memahami tidak rasio dan hubungan proporsional dalam masalah.
6. Keyakinan siswa -Guru '
74

Pertanyaan 1: Menurut pendapat saya, matematika


Tanggapan dikelompokkan dalam lima kategori utama; yaitu, matematika dipandang sebagai:
Sebuah. sebuah mempengaruhi (menyenangkan, menarik, membingungkan, sulit dll);
b. yang berguna (penting, yang diperlukan: bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dll);
c. tubuh pengetahuan (berkaitan dengan ilmu-ilmu lainnya, memiliki konten yang luas,
menjelaskan hal-hal secara umum dll);
d. ilmu pasti (berkaitan dengan hasil yang benar, perhitungan, rumus, istilah teknis dll);
e. cara berpikir (membutuhkan pemikiran rasional, mendapatkan konfirmasi melalui bukti,
berkaitan dengan bagaimana untuk mengetahui dan menentukan dll);
Tanggapan kadang-kadang dikombinasikan dua atau lebih dari ide-ide atau memberikan ideide yang jatuh di luar kategori.
Tabel 6 menunjukkan bahwa guru siswa Singapura (45,7%) merujuk lebih sering
untuk hubungan antara matematika dan sikap daripada rekan-rekan Australia (31,5%).
Contoh ekspresi mereka termasuk:
"Matematika dapat menarik dan menantang"; "Adalah salah satu subjek yang paling sulit";
"Akan lebih dan lebih dan lebih dificult di tingkat yang lebih tinggi" dll
Namun siswa Australia (35,4%) memberikan pertimbangan lebih untuk kegunaan
matematika daripada siswa Singapura yang mungkin telah diambil kegunaannya untuk
diberikan. Ketika tanggapan ini dianalisis dalam hal pendekatan yang dilakukan oleh siswa
untuk memecahkan masalah rasio, ada perbedaan diabaikan antara siswa mengambil
pendekatan holistik dan mereka mengambil pendekatan analitik-sintetik.
Lebih dari siswa Singapura (20%) melihat matematika sebagai suatu pemikiran + tJav
oj '. Mereka menanggapi dengan pernyataan seperti: "tidak hanya mendapatkan jawaban
tetapi harus dilakukan dengan pemahaman."; "Itu tes fleksibilitas dan kecepatan berpikir";
"Mengembangkan pikiran untuk anal.yse dan melihat koneksi .... ,, dll Sebagian besar dari
para mahasiswa Singapura yang menggunakan pendekatan sintetik analitik dalam
memecahkan masalah rasio melihat matematika sebagai cara berpikir daripada para pelajar
yang digunakan pendekatan holistik.
75

Tanggapan dikelompokkan menjadi enam kategori utama; yaitu, matematika sekolah


dipandang sebagai:
Sebuah. memiliki nilai utilitarian;
b. mempengaruhi sikap;
c. memiliki implikasi kognitif yang luas (mis berkembang pemikiran);
d. tergantung pada pengajaran untuk kualitas;
e. perlu untuk mencocokkan bunga, kemampuan dan pemahaman siswa;
f. tergantung pada kualitas kurikulum.
Demikian seperti pada tanggapan sebelumnya keyakinan mereka tentang sifat
matematika (Tabel 6), siswa Australia pertimbangkan 'utilitas' sebagai lebih penting relatif
dalam matematika sekolah daripada pertimbangan lainnya. Lagi untuk siswa Singapore
'kegunaan' atau 'utilitas' bukan pertimbangan utama dibandingkan dengan 'mempengaruhi'
ketika mereka berpikir tentang matematika sekolah.
siswa Singapura (40%) sangat percaya bahwa matematika sekolah sangat tergantung
pada pengajaran. Beberapa yang berpendapat sebagai berikut:
"Matematika di sekolah bisa menarik jika guru mampu menjelaskan konsep jelas dan menjadi
kreatif ....."; "Matematika sekolah tidak diajarkan dengan cara yang lengkap, kadang-kadang
dia guru hanya .show Anda bagaimana melakukan penjumlahan tetapi tidak menjelaskan
secara rinci"; "... Guru saat ini menggunakan metode yang lebih bervariasi untuk membawa
ke depan konsep matematika" dll Juga siswa Australia (19,1%) peringkat faktor ini kedua
'utilitas'. siswa Australia yang percaya matematika tergantung pada pengajaran, semua
menggunakan pendekatan holistik untuk mengatasi masalah rasio sementara para pelajar
Australia yang menggunakan pendekatan sintetik analitik lebih cenderung untuk percaya
matematika di sekolah berguna.
Ada sedikit perbedaan antara kelompok siswa Singapura mengambil pendekatan
holistik dan mereka mengambil pendekatan analitik-sintetik di berbagai pendapat mereka
tentang matematika di sekolah. 40% yang sangat percaya bahwa matematika sekolah terkait
dengan ajaran yang tentang sama dibagi dalam pendekatan mereka yaitu 40,4% dari mereka

76

dalam kelompok holistik dan 39,5% dari kelompok analitik-sintetik berbagi pandangan yang
sama
Tanggapan dikelompokkan menjadi empat kategori utama; yaitu, bagaimana anakanak belajar matematika dipengaruhi oleh:
Sebuah. Faktor afektif (minat, motivasi anak-anak, en.joyment dll);
b. keaktifan dan keterkaitan untuk kehidupan sehari-hari;
c. berbagai faktor kognitif dan perkembangan (tingkat kemampuan, keterampilan berpikir
dll);
d. ketergantungan pada menghafal dan praktek
Tabel 8 menunjukkan bahwa guru siswa di kedua negara berbagi keyakinan dalam
proporsi yang kurang lebih sama bahwa anak-anak belajar matematika dipengaruhi oleh
faktor-faktor afektif. Pandangan ini diadakan terlepas dari pendekatan untuk masalah rasio di
Singapura. Untuk siswa Australia, mereka yang menggunakan pendekatan holistik (34%)
lebih mungkin untuk memegang pandangan ini dibandingkan mereka yang menggunakan
pendekatan sintetik analitik (16%).
Keyakinan bahwa matematika anak-anak belajar kebutuhan untuk aktif dan terkait
dengan kehidupan sehari-hari lebih mungkin ditemukan di kalangan siswa Australia. Dalam
dua kelompok negara, ada perbedaan diabaikan antara siswa baik menggunakan pendekatan
untuk masalah rasio.
Keyakinan bahwa perlu matematika untuk berhubungan dengan tingkat kognitif anakanak dinyatakan lebih sering oleh kelompok Singapura (23,2%) dari Australia (17,4%); dan
lebih sering dengan mereka yang menggunakan pendekatan analitik-sintetik (27,2%)
dibandingkan mereka yang menggunakan pendekatan holistik (20,5%). Juga 24,6% dari
siswa Singapura berpendapat bahwa sebagian besar menghafal dan praktek mempengaruhi
anak-anak belajar. Dua pendapat yang ditawarkan "mungkin tidak memahami konsep-konsep
tapi mungkin dicapai melalui menghafal" dan "sering membutuhkan banyak praktek di
pertanyaan yang berbeda (meskipun itu dari konsep yang sama) sebelum mereka benar-benar
mendapatkannya". siswa Singapura yang menggunakan pendekatan holistik lebih mungkin
untuk mengekspresikan keyakinan ini dibandingkan mereka yang menggunakan pendekatan
analitik-sintetik. Hanya 10,7% dari siswa Australia menganut pandangan ini.
77

7. Kesimpulan
penalaran proporsional melibatkan pemahaman tentang hubungan matematika
tertanam dalam situasi proporsional seperti di masalah Guru Siswa-dan- digunakan dalam
penelitian ini. Konteks atau kompleksitas numerik seharusnya tidak mempengaruhi orang
yang beralasan secara proporsional. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa 73% dari
mahasiswa Australia, 63,6% dari Singapura Diploma-in Education siswa dan 37,3% dari
siswa Pascasarjana tidak dapat memecahkan masalah rasio single-langkah. Hal ini
menunjukkan bahwa penalaran proporsional. keterampilan berpikir abstrak a1, tidak
berkembang dengan baik di peserta didik meskipun mereka telah melalui matematika
setidaknya SMP atau tingkat '0'. Mayoritas ini berhasil pemecah masalah menggunakan
pendekatan holistik untuk menghasilkan persamaan yang salah yang menunjukkan bahwa
mereka telah dipengaruhi oleh aturan alam-bahasa sintaks di mana mereka ditafsirkan "15S"
sebagai "lima belas siswa" dan "T 'untuk mewakili" guru "bukan" jumlah guru ". Oleh karena
itu banyak menghasilkan kesalahan pembalikan" 15S = T "sebagai jawabannya. Data juga
menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan bisa menjadi yang mempengaruhi
keberhasilan faktor. The Singapore PGDE kohort yang lulusan universitas dengan setidaknya
SMA atau 'A' matematika tingkat memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi daripada
kohort lain. secara keseluruhan, lebih Australia daripada siswa Singapura menggunakan
pendekatan holistik. lebih mahasiswa Singapura menggunakan strategi proporsional secara
rutin dalam pendekatan analitik-sintetik untuk mendapatkan respon yang benar dari siswa
Australia yang digunakan lebih strategi linguistik dan fungsional untuk menghasilkan respon
yang benar. pada saat ini, salah satu mungkin bertanya mengapa ada perbedaan antara kedua
kelompok negara dalam pendekatan dan strategi mereka. Akan menarik untuk lebih
mempelajari dan membandingkan kurikulum, buku teks dan pedagogi digunakan di Australia
dan Singapura.
Data dari laporan kepercayaan dari-guru pelajar Australia dan Singapura bisa
memberikan beberapa indikasi bagaimana persepsi siswa tentang matematika dan pedagogi
yang dipengaruhi oleh kurikulum matematika dari negara masing-masing. Hasil penelitian ini
juga mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa Australia dan Singapura berhubungan
matematika untuk domain afektif pembelajaran. lebih lagi untuk Singapura. siswa Australia
lebih menekankan pada nilai utilitarian matematika dan pembelajarannya. Mungkinkah
mereka lebih banyak terkena contoh penggunaan kehidupan nyata matematika '! Proporsi
yang lebih tinggi dari siswa Australia dari siswa Singapura percaya bahwa anak-anak belajar
78

matematika harus aktif dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari bisa mengkonfirmasi
hal ini. Di sisi lain siswa Singapura menekankan lebih dari siswa Australia kebutuhan untuk
belajar anak-anak berhubungan dengan tingkat kognitif mereka dan lebih percaya bahwa
matematika anak-anak belajar sangat dipengaruhi oleh menghafal dan praktek. siswa
Singapura lebih dari siswa Australia melihat matematika sebagai cara berpikir. Bisa
keyakinan ini menjelaskan mengapa siswa Singapura lebih cenderung untuk mendekati
masalah rasio dalam metode analitik-sintetik dan menggunakan rutin rasio dan proporsi
strategi untuk mempengaruhi respon yang benar sedangkan siswa Australia lebih cenderung
untuk berbagai strategi meskipun, tidak efisien?
Kesimpulannya studi banding ini antara Australia dan Singapura mahasiswa-guru
menimbulkan lebih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh penelitian lebih mendalam
untuk menguji banyak dugaan yang muncul dari interpretasi data.

79

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.

Penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu
kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan
yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis.

2.

Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan atau proses
berfikir yang menghubung-hubungka fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang bersifat
khusus yang sudah diketahui menuju kesimpulan yang bersifat umum (general).

3.

Penalaran deduktif adalah proses penalaran atau proses berfikir dari hal-hal yang bersifat
umum (general) yang kemudian dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan faktafakta atau evidensi-evidensi yang bersifat khusus.

4.

Proses penalaran induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting
dalam mempelajari matematika.

5.

Pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman
peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif yang digunakan untuk mempelajari
konsep matematika kegiatannya dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang
teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru
yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif.

DAFTAR PUSTAKA
80

Adegoke , Benson Adesina. 2013, Modelling The Relationship Between Mathematical


Reasoning Ability And Mathematics Attainment. Institute of Education, University of Ibadan.
Bakker. Arthur, dkk. 2012. Proportional Reasoning In The Laboratory: An Intervention
Study In Vocational Education. Gravemeijer, Belanda
Barbu, Otilia C. 2014. Understanding English Language Learners Needs In Mathematics
Education. Vol_3_No_1_March_2014. New York
Foong & Bob. 2000. Proportional Reasoning And Mathematical Beliefs Of Students,
Teachers From Singapore And Australia. Singapura
Heinze , Aiso, Reiss, Kristina .2007. Reasoning And Proof: Methodological Knowledge As A
Component Of Proof Competence1. Universitt Augsburg, Germany.
Kristiina, Aini, 2010. Thinking And Content Learning Of Mathematics And Science As
Cognitional Development In Content And Language Integrated Learning (Clil): Teaching
Through A Foreign Language In Finland. Jppinen Institution for Educational Research,
University of Jyvskyl, Finland
Perry, Bob, Pui Yee, Foong. Karatoprak, Rabia, Dkk. 2015. Prospective Elementary And
Secondary School Mathematics Teachers Statistical Reasoning. University of Iowa, United
States.
Suherman, Erman, dkk.. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
JICA- Universitas Pendidikan Indonesia.
Sukadijo, G.R. (1999). Logika Dasar Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta: Gramedia
Yaniawati, R. Poppy. (2010). e-learning Alternatif Pembelajaran Kontemporer. Bandung:
Arfino Raya.

81

Anda mungkin juga menyukai