Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua
hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
Organ reproduksi merupakan alat dalam tubuh yang berfungsi untuk suatu
proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian
hidupnya atau reproduksi. Agar dapat menghasilkan keturunan yang sehat
dibutuhkan pula kesehatan dari organ reproduksi.
Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) semakin disadari telah menjadi masalah
kesehatan dunia dan masalah kesehatan masyarakat yang serius tetapi
tersembunyi. Infeksi alat reproduksi dapat menurunkan fertilitas, mempengaruhi
keadaan umum dan mengganggu kehidupan seks.
Gejala yang paling sering ditemukan pada penderita ginekologik adalah
leukore (keputihan). Leukore (white discharge, flour albus) adalah gejala penyakit
yang ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi, dan bukan berupa
darah. Keputihan adalah salah satu alasan yang paling sering mengapa perempuan
memeriksakan diri ke dokter, khususnya dokter ahli kebidanan dan penyakit
kandungan. Leukore dapat dibedakan antara yang fisiologik dan patologik.
Penyebab paling penting dari leukore patologik adalah infeksi. Oleh karena itu
penulis tertarik menulis makalah dengan topik Infeksi Ginekologi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vaginosis Bakterial

Vaginosis bakterial adalah penyakit infeksi akibat adanya flora abnormal


pada vagina. Vaginas bakterial disebut juga sebagai vaginitis Haemophilus,
vaginitis Corynebcaterium, vaginitis Gardnerella/anaerob, dan vaginitis nonspesifik. Risiko terkena vaginosis bakterial meningkat pada wanita dengan
riwayat kontak seksual lebih dari 1 orang dan penggunaan kondom dapat menurun
risiko terkena. Sampai saat ini, tindakan pencegahan dari vaginosis bakterial
masih terbatas namun terapi eliminasi bakteri cukup efektif.
Vaginosis bakterial menjadi penyabab keputihan tersering pada wanita usia
reproduktif. Pada pemeriksaan, vagina biasanya tidak terlalu eritem dan tidak
terdapat kelainan pada serviks. Kriteria diagnosis vaginosis bakterial menurut
Amsel meliputi: (1) evaluasi mikroskopik dari sekret vagina, (2) pelepasan
volatile amin akibat metabolisme anaerob, dan (3) penilaian pH vagina.
Evaluasi mikroskopik menggunakan preparat yang sudah ditetesi cairan
salin, dikenal juga dengan sebutan wet prep. Indikator untuk menegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik adalah ditemukannya clue cells.

Gambar 2.1 Gambaran clue cells pada pemeriksaan mikroskopik


Pelepasan volatile amin akibat metabolism anaerob dinilai dengan
meneteskan KOH 10% pada sekret vagina. Pemeriksaan ini disebut whiff test.
Hasil positif apabila setelah ditetesi maka akan tercium bau busuk. Ditemukanya
clue cells dan hasil whiff test yang positif merupakan patognomonis dari vaginosis
bakterial meskipun pada kasus yang asimptomatik. Pada pemeriksaan kadar pH,
pada infeksi vaginosis bakterial akan didapatkan pH >4.5. Untuk kepentingan
2

penelitian, skor Nugent dipakai untuk diagnosis vaginosis bakterial namun tidak
lazim dipakai pada praktik klinis.
Beberapa komplikasi ginekologi yang dapat ditemukan pada wanita dengan
vaginosis bakterial adalah vaginitis, endometrits, dan penyakit radang panggul.
Pada wanita hamil, infeksi vaginosis bakterial meningkatkan risiko lahirnya bayi
prematur.
Regimen terapi vaginosis bakterial menurut CDC 2014 dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 2.1 Regimen Terapi Vaginosis Bakterial
Rekomendasi Terapi
Metronidazol
500 mg per oral 2 kali sehari selama 7 hari
Metronidazol gel 0.75% 5 g intra vaginal sekali sehari selama 5 hari
Klindamisin krim 2%
5 g intra vaginal sebelum tidur selama 7 hari
Alternatif
Tinidazol
Klindamisin
Klindamisin ovule

2 g per oral sekali sehari selama 2 hari


1 g per oral sekali sehari selama 5 hari
300 mg per oral 2 kali sehari selama 7 hari
100 mg intra vaginal sebelum tidur selama 4 hari

Angka kesembuhan dengan regimen di atas mencapai 80-90% dalam 1


minggu pertama. Namun setelah 3 bulan, 30% wanita akan mengalami rekurensi.
Setengah kasus berkaitan dengan kontak seksual.
2.2 Infeksi Ulkus Genital
Ulkus/ulserasi adalah kehilangan jaringan epidermis dengan invasi ke
lapisan dermis. Berbeda dengan erosi, yaitu kehilangan jaringan epidermis tanpa
keterlibatan dermis. Di Amerika Serikat, penyakit infeksi ulserasi genital
terbanyak adalah infeksi herpes simpleks dan sifilis, sisanya berupa chancroid,
limpgranuloma veneru, atau granuloma inguinal.
2.2.1 Infeksi Virus Herpes Simpleks
Herpes genital merupakan penyebab ulserasi genital tersering. Virus ini
mengivasi serabut saraf sensorik dan berpindah secara retrograde ke ganglion
dorsal, dimana virus akan berkembang dan mengalami fase laten. Apabila terjadi

reaktifasi maka virus akan berpindah secara anterograde ke permukaan yang


menimbulkan respon imun.
Terdapat 2 tipe virus herpes simpleks yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-1
adalah penyebab tersering dari lesi pada daerah oral, sedangkan HSV-2 cenderung
menyebabkan herpes genital. Di Amerika Serikat, diperkirakan dari wanita
kelompok umur 14-49 tahun, 21% mengalami infeksi HSV-2, dan 60% wanita
seropositif terhadap HSV-1.

Gambar 2.2 Gambaran Herpes Genital


Virus akan menginfeksi sel epidermal dan menimbukan respon berupa
eritema dan pembentukan papul. Dengan adanya kematian sel dan lisisnya dinding
sel menimbulakan ulser yang nyeri. Lesi ini dapat sembuh namun dapat juga
mengalami infeksi sekunder. Terdapat 3 stase dari lesi yaitu (1) adanya vesikul
dengan/tanpa pustule selama 1 minggu, (2) ulserasi, dan (3) crusting.
Rasa terbakar dan nyeri hebat akan muncul setelah adanya lesi. Dapat
timbul pembengkakan lokal yang bisa minimbulkan obstruksi uretra. Lesi herpes
dapat muncul di vagina, serviks, kandung kemih, anus, dan rectum. Pasien juga
mengalami gejala viremia seperti demam tidak tinggi, nyeri kepala, kelelehan, dan
nyeri otot.
Pemeriksaan baku emas untuk herpes genital adalah kultur jaringan, namun
meskipun spesifitasnya tinggi namun sensitifitasnnya rendah. Pemeriksaan PCR

dari eksudat ada ulser dianggap lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan
kultur. Pemeriksaan serolgoi terhadapa glikoprotein G2 (HSV-2) dan glikoprotin
G1 (HSV-1) juga dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis.
Tatalaksana pada kasus ini adalah pemberian anti-viral dan analegitk.
Regimen anti-viral dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Regimen Terapi Infeksi Herpes Simpleks
Terapi Pilihan
Asiklovir
400 mg per oral 3 kali sehari 7-10 hari
200mg per oral 5 kali sehari 7-10 hari
Famsiklovir
250 mg per oral 3 kali sehari 7-10 hari
Valasiklovir
1 g dua kali sehari 7-10 hari
2.2.2 Sifilis
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
Treponeoma palidum. Diperkirakan pada tahun 2011 terdapat 49.000 kasus di
Amerika Serikat. Perjalanan sifilis tanpa pengobatan dapat dibagi menjadi 4
stadium yaitu:
1. Sifilis primer
Sifilis primer ditandai dengan adanya ulkus tidak nyeri dengan tepi rata dan
dasar bersih. Namun dapat terjadi infeksi sekunder sehingga menjadi nyeri.
Lesi muncul 10 hari sampai 12 minggu setelah terpapar, dengan rata-rata
masa inkubasi 3 minggu. Lesi dapat sembuh spontan tanpa pengobatan
dalam 6 minggu.

Gambar 2.3 Lesi Sifilis Primer


2. Sifilis sekunder
Sifilis sekunder berkembang 6 minggu ampai 6 bulan setelah munculmya
ulkus. Dapat ditandai dengan adanya lesi makulo-papular eritem pada
seluruh tubuh termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Pada daerah yang
hangat dan lembat lesi ini akan meluas, berwarna pink atau abu-abu putih,
sangat infeksius yang disebut dengan nama kondiloma lata. Karena pada
fase ini infeksi sifilis bersifat sistemik dapat ditemuka demam dan
kelemahan. Ginjal, hati, sendi, CSS dapat terlibat.

Gambar 2.4 Lesi sifilis sekunder berupa makula eritema

Gambar 2.5 Kondiloma Lata


3. Sifilis Laten

Apabila 1 tahun pertama setelah sifilis sekunder tetap tidak ada pengobatan,
maka disebut sebagai perode sifilis laten awal, apabila lebih dari 1 tahun
disebut sebagai sifilis laten akhir
4. Sifilis tertier
Sifilis tertitier dapat muncul bertahun-tahun setelah fase laten. Sifilis tertier
melibatkan sistem kardiovaskular, CSS, dan musculoskeletal
Diagnosis dari sifilis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan lapangan gelap
terhadi eksudat pada lesi dan pemeriksaan serologi TPHA dan VDRL.
Regimen terapi dari sifilis dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.3 Regimen Terapi Sifilis
Sifilis Primer, Sekunder, Laten Awal
Benzatin Penisilin G
2.4 juta IU IM dosis tunggal
Sifilis Laten Akhir, Tertier
Benzatin Penisilin G
2.4 juta IU IM 3 kali jarak 1 minggu
2.3 Infeksius Vaginitis
2.3.1 Infeksi Jamur
Penyebab infeksi jamur tersering adalah Candida albicans. Jamur ini
merupakan jamur komensal pada mulut, rectum, dan vagina. Kandidiasis sering
ditemukan pada daerah dengan iklim tropis, pasien obesitas, pasien dengan
imunosupresi, diabetes, dan ibu hamil.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan adalah rasa gata, nyeri, kemerahan
pada vulva, dan edema disertai eksoriasi. Sekret vagina biasanya berwarna kuning
sehingga sering dideskripsikan sebagai cottage-cheese like. Pemeriksaan sekret
vagina dengan KOH 10% dapat mengidentifikasi jamur. Kultur jamur tidak
direkomendasikan, kecuali pada kasus yang gagal dengan terapi empirik.

Gambar 2.6 Kandidiasis Vulvovaginal


CDC mengklasifikasikan kandidiasis vulvovaginal (KVV) menjadi KVV
dengan komplikasi dan KVV tanpa komplikasi. Kasus KKV tanpa komplikasi
jarang ditemukan dengan gejala sedang sampai berat pada wanita dengan imun
yang kompeten. Pada KKV dengan komplikasi, gejalanya lebih berat, biasanya
melibatkan pasien imunosupresi dan keluhan sering berulang. Regimen terapi dari
kandidiasi adalah pemberian anti-fungal topikal secara intravaginal 3-7 hari.
2.3.2 Trikomoniasis
Trikomoniasis adalah infeksi yang disebabkan oleh protozoa Trichomonas
vaginalis yang ditularkan secara seksual. Trikomonas merupakan penyebab 25%
infeksi vagina.
Keluhan dan gejala bisa sangat bervariasi. Cairan vagina biasanya berbuih,
tipis, berbau tidak enak, dan banyak. Warnanya bisa abu-abu, putih, atau kuning
kehijauan. Kadang terdapat eritema atau udem pada vulva dan vagina dan dapat
mengenai serviks sehinggan tampak eritem dan rapuh.

Gambar 2.7 Gambaran Mikroskopis Trikominads


Terapi dengan metronidazole 2 g per oral (dosis tunggal). Pasangan seks
pasien juga harus diobati
2.4 Supuratif Servisitis
2.4.1 Nesseria Gonorrheas
Kebanyak wanita dengan infeksi gonorrhea bersifat asimptomatik, untuk itu
wanita yang berisiko dianjurkan untuk skrining secara berkala. Faktor risiko
tersebut antara lain adanya atau riwayat menderita penyakit infeksi menular
seksual, berganti pasangan seksual, pasangan seksual dengan infeksi menular
seksual, dan pekerja seks komersial.
Kebanyakan kasus bersifat asimptomatik, pada kasus lainnya dapat
ditemukan gejala keputihan berwarna putih kekuningan, adanya riwayat
perdarahan saat berhubungan. Pada pemeriksaan apusan dengan cotton swab
dapat ditemukan perdaraha endoservikal. Gonocucs juga dapat menginfeksi
kelenjar bartholline dan skenm uretra, dan naik ke endometiruam serta tuba
fallopi.
Identifikasi genokokus dapat dengan pemeriksaan specimen endoserviks
dan uretra. Pada pasien dengan infeksi gonore disarankan untuk melakuka
pemeriksaan infeksi menular seksual lainya. Pasangan kontak seksual 60 hari
terakhir juga harus dievaluasi. Pasien tidak boleh berhubungan seksual sampai
terapi selesai.

Regimen terapi yang direkomendasikan untuk kasus gonore adalah sebagai


berikut:
Tabel 2.4 Regimen Terapi Infeksi Gonore
Terapi Pilihan
Ceftriaxon
+ Azitromisin
Alternatif
Cefixim
+ Azitromisin

250 mg IM dosis tunggal


1 g per oral dosis tunggal
400 mg per oral dosis tunggal
1 g per oral dosis tunggal

2.4.2 Klamidia Trakomatis


Klamidia trakomatis adalah infeksi menular seksual paling sering di
Amerika Serikat, dengan insiden tertinggi pada kelompok usia kurang dari 25
tahun. Klamidia trakomatis adalah parasit obligat yang menginfeksi sel epitel
endoservikal yang menimbulkan manifestasi berupa sekret mukopurulen. Jaringan
endoservikal akan mengalami edema dan pucat.
Pemeriksaan mikroskopik dari sekret dengan preparat saline akan
menemukan 20 atau lebih leukosit per lapangan pandang besar. Terapi pilihan
pada kasus ini adalah azitromisin 1 g dosis tunggal atau doksisiklin 100 mg dua
kali sehari selama 7 hari.
2.5 Penyakit Radang Panggul
Penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease) adalah infeksi pada
alat genital atas yang dapat meliputi endometrium, tuba fallopi, ovarium,
miometrium, parametrium, dan peritoneum. Penyakit ini merupakan komplikasi
infeksi bakteri pada serviks yang menyebar secara ascending menuju ke organ
gentalia bagian atas.
Secara epidemiologik di Indonesia insidennya diekstrapolasikan sebesar
lebih dari 850.000 kasus baru setiap tahun.PID merupakan kasus infeksi serius
yang paling biasa pada perempuan umur 16-25 tahun.
PID disebabkan penyebaran infeksi melalui serviks.Meskipun PID terkait
dengan infeksi menular seksual alat genital bawah tetapi prosesnya polimikrobial.
Salah satu teori patofisiologi adalah bahwa organisme menular seksual seperti
10

N.gonorrhoeae atau C.trachomatis memulai proses inflamasi akut yang


menyebabkan kerusakan jaringan sehingga memungkinkan akses oleh organisme
lain dari vagina atau serviks ke alat genital atas. Aliran darah menstruasi dapat
mempermudah infeksi pada alat genital atas dengan menghilangkan sumbat lendir
serviks, menyebabkan hilangnya lapisan endometrium dan efek protektifnya serta
menyediakan medium biakan yang baik untuk bakteri yaitu darah menstruasi.
Gejala yang paling sering dikemukakan adalah nyeri abdominopelvik.
Keluhan lain bervariasi, antara lain keluarnya cairan vagina atau pendarahan,
demam dan menggigil, serta mual dan disuria. Demam terlihat pada 60-80%
kasus.
Diagnosis PID sulit karena keluhan dan gejala-gejala yang dikemukakan sangat
bervariasi.Pada pasien dengan nyeri tekan serviks, uterus, dan adneksa, PID
didiagnosis dengan akurat hanya 65%.Karena akibat buruk PID terutama
infertilitas dan nyeri panggul kronik maka PID harus dicurigai pada perempuan
berisiko dan diterapi secara agresif. Kriteria minimum untuk diagnosis klinis
adalah sebagai berikut adanya nyeri goyang portio, nyeri tekan uterus, dan nyeri
tekan adneksa
Kriteria tambahan seperti berikut dapat dipakai untuk menambah spesifitas
kriteria minimum dan mendukung diagnosis PID
-

Suhu oral > 38,3C


Cairan serviks atau vagina tidak normal mukopurulen
Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskop sekret vagina

dengan salin
Kenaikan LED
Protein reaktif-C meningkat
Dokumentasi laboratorium infeksi serviks oleh N.gonorrhoeae

Kriteria diagnosis PID paling spesifik meliputi:


-

Biopsi endometrium disertai bukti histopatologis endometritis

11

USG Transvaginal atau MRI memperlihatakan tuba menebal penuh berisi


cairan dengan atau tanpa cairan bebas di panggul atau kompleks tuboovarial atau pemeriksaan Doppler menyarankan infeksi panggul (misal

hiperemi tuba)
Hasil pemeriksaan laparaskopi yang konsisten dengan PID.
Pada pasien PID ringan atau sedang terapi oral dan parenteral mempunyai

daya guna klinis yang sama. Sebagian besar klinisi menganjurkan terapi parenteral
paling tidak selama 48 jam kemudian dianjurkan dengan terapi oral 24 jam setelah
ada perbaikan klilnis. Rekomendasi terapi dari CDC adalah sebagai berikut:
Terapi parenteral
-

Rekomendasi terapi parenteral A


o Sefotetan 2g iv setiap 12 jam atau
o Sefoksitin 2g iv setiap 6 jam ditambah
o Doksisiklin 100 mg oral atau iv setiap 12 jam
Rekomendasi terapi parenterap B
o Klindamisin 900 mg setiap 8 jam ditambah
o Gentamisin dosis muatan iv atau im (2mg/kgBB) diikuti dengan
dosis pemeliharaan (1,5 mg/kgBB) setiap 8 jam. Dapat diganti
dengan dosis tunggal harian.
Terapi oral dapat dipertimbangkan untuk penderita PID ringan atau sedang

karena kesudahan klinisnya sama dengan terapi parenteral. Pasien yang mendapat
terapi oral dan tidak menunjukkan perbaikan setelah 72 jam harus dire-evaluasi
untuk memastikan diagnosisnya dan diberikan terapi parenteral baik dengan rawat
jalan maupun inap. Regimen terapinya adalah seftriakson 250 mg im dosis
tunggal ditambah doksisiklin 2x1 po selama 14 hari dengan atau tanpa
metronidazol 500 mg 2x1 po selama 14 hari
2.6 Kutil dan Papul pada Genital
2.6.1 Kondiloma akuminatum
Kondiloma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis yang
disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus Virus (HPV), paling sering
12

ditemukan di daerah genital. Penyakit ini biasanya asimptomatik dan terdiri dari
papilomatous papula atau nodul pada perineum, genitalia dan anus. Ada dua
bentuk umum kondiloma akuminata, yaitu kondiloma akuminata dan gigantea,
yang dikenal sebagai tumor Buschke-Lwenstein.
Sekitar 90 % kondiloma akuminata diyakini berhubungan dengan virus
HPV tipe 6 dan tipe 11. Para ahli mencurigai HPV tipe tertentu memiliki
kecenderungan onkogenik (potensial menjadi kanker), terutama tipe 16 dan tipe
18.
Cara penularan infeksi biasanya melalui hubungan seksual dengan orang
yang telah terinfeksi sebelumnya, penularan ke janin atau bayi dari ibu yang telah
terinfeksi sebelumnya dan risiko mengembangkan karsinoma sel skuamosa.

Gambar 2.8 Kondiloma Akuminata


Kebanyakan pasien dengan kondiloma akuminata datang dengan keluhan
benjolan atau terdapat lesi di perianal. Lesi sering ditemukan di daerah yang
mengalami trauma selama hubungan seksual dan mungkin soliter tetapi sering
akan ada 5 sampai 15 lesi dari 1-5 mm diameter. Kutil dapat menyatu menjadi
plak yang lebih besar dan ini lebih sering terlihat dengan imunosupresi dan
diabetes.

13

Pada perempuan, lesi dapat terjadi pada labia minora, labia mayora, pubis,
klitoris, orificium uretra, perineum, daerah perianal, anus, introitus, vagina, dan
ectocervix. Kutil anogenital dapat bervariasi secara signifikan dalam warna, dari
merah muda ke salmon merah, putih keabu-abuan sampai coklat (lesi berpigmen).
Kondiloma Akuminata umumnya berupa lesi yang tidak berpigmen. Lesi
berpigmen sebagian besar dapat terlihat pada labia mayora, pubis, selangkang,
perineum, dan daerah perianal
Banyak metode pengobatan kondiloma akuminata tetapi secara umum dapat
dibedakan menjadi topikal dan bedah, yaitu:
Podofilin. Lesi diusapi dengan podofilin tiap minggu selama 4-6 minggu.
Podofilin dicuci setelah 6 jam.
Asam trikloasetat dipakai setiap 1 sampai 2 minggu sampai lesi lepas
Krim imikuimod 5% dipakai 3 kali seminggu sampai 16 minggu. Biarkan
krim di kulit selama 6 10 jam
Terapi krio, elektrokauter atau terapi laser dapat digunakan untuk lesi yang
lebih besar.
2.6.2 Moluskum Kontagiosum
Moluskum kontagiosum (MK) merupakan penyakit yang memiliki
karakteristik lesi papul berbentuk kubah yang biasanya disertai eritem (dermatitis
moluskum). Penyakit ini menular melalui hubungan seksual bagi orang dewasa
namun tidak bagi anak-anak.
Infeksi melalui seksual bagi anak-anak bisa saja terjadi pada kasus-kasus
pelecehan seksual. Meskipun penyebarannya luas, moluskum kontagiosum
biasanya terlihat di daerah genital, perineal dan seluruh tubuh pada anak-anak.
Moluskum kontagiosum disebabkan oleh lebih dari empat tipe poxvirus
yang berhubungan, dengan Molluscum Contagiosum Virus (MCV), yaitu MCV-1
sampai -4, dan varian-variannya.

14

Gambar 2.9 Moloskum Kontagiosum


Moluskum kontagiosum sering memperlihatkan papul kecil merah muda
yang dapat membesar, biasanya membesar hingga 3 cm (giant molluscum).
Seiring pembesarannya, permukaan bentuk kubah dan morfologi seperti mata
kucing dapat semakin jelas. Lesi dapat memiliki umblikasi, terdapat substansi
seperti putih dadih dapat dilihat dengan tekanan. Pada kebanyakan pasien
berkembang beberapa papul, sering pada tempat yang intertriginosa, seperti
aksilla, fossa poplitea, dan panggul. Lesi pada genital dan perianal dapat
berkembang pada anak-anak dan jarang yang memiliki kaitan dengan hubungan
seksual. Lesi ini digolongkan dalam cluster atau dalam bentuk linear. Biasanya
merupakan hasil dari koebnerisasi atau perkembangan lesi pada trauma. Eritema
dan eksema dapat muncul di sekitar lesi; hal ini disebut Moluskum dermatitis.
Papul dapat menjadi eritematosa, hal ini dipercaya merupakan respon imun dari
infeksi. Pasien dengan sindrom immunodefisiensi dapat memperlihatkan lesi yang
besar dan ekstensif baik di daerah genital maupun ekstra genital.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
seperti histopatologi yang menunjukkan gambaran seperti Henderson-Paterson

15

body, dapatlah ditegakkan diagnosis moluskum kontagiosum. Penegakan


diagnosis moluskum kontagiosum dapat dilakukan secara langsung.
Pada pemeriksaan histopatologi memperlihatkan epidermis yang hipertropi
dan hiperplastik. moluskum kontagiosum memiliki karakteristik gambaran
histopatologi. Pada bagian atas lapisan basal dapat ditemukan pembesaran sel
yang mengandung inklusi intrasitoplasmi (Henderson-Paterson body).
Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri tanpa komplikasi pada
pasien imunokompeten. Terapi terdiri dari pengeluaran material putih, eksisi
nodul dengan kuret dermal, dan mengobati dasarnya dengan ferik subsulfat
(larutan Mosel) atau asam trikloroasetat 85%, dan dapat juga dengan krioterapi
dengan nitrogen cair
2.7 Infestasi Pruritus
2.7.1 Skabies
Skabies merupakan infestasi pada kulit manusia yang disebabkan oleh
penetrasi parasit obligat Sarcoptes Scabiei varian hominis ke epidermis.
Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia telah terinfeksi skabies.
Skabies dapat menyerang pada semua kalangan meskipun lebih banyak pada
kalangan sosioekonomi yang rendah. Selain itu faktor kebersihan juga menjadi
faktor yang menunjang perkembangan dari penyakit ini. Skabies lebih prevalen
pada daerah urban/perkotaan terutama daerah-daerah yang sangat padat.
Cara transmisi dapat melalui kontak langsung maupun kontak tidak
langsung. Pada kontak langsung terjadi kontak antara kulit dengan kulit
contohnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual. Sedangkan
untuk kontak tidak langsung dapat melalui benda seperti pakaian, handuk, sprei,
bantal, dan lain-lain.

16

Gambar 2.10 Sarcoptes scabiei


Kelainan pada kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh skabies tetapi juga
oleh penderita itu sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi akibat sensitisasi
terhadap sekret dan eskret dari S.scabiei memerlukan waktu kira-kira sebulan
setelah infestasi. Pada saat itu akan terdapat kealinan kulit yang menyerupai
dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika, dan lain-lain. Intervensi
berupa garukan akan dapat menyebabkan lesi sekunder seperti erosi, eskoriasi,
krusta, dan infeksi sekunder.
Terdapat 4 tanda kardinal untuk diagnosis skabies:
1. Pruritus nokturna, gatal pada malam hari disebabkan karena aktivitas
Sarcoptes scabiei ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi.
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus/berkelok, dengan rata-rata
4.

panjang 1 cm.
Ditemukan S.scabiei pada satu atau lebih stadium hidup. Menemukan
Sarcoptes scabiei merupakan hal paling diagnostik.
Tempat predileksinya biasanya madalah tempat dengan stratum korneum

yang tipis yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan, siku bagian luar, areola

17

mammae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna, dan perut bagian bawah. Pada
bayi biasanya pada telapak tangan dan kaki.
Cara pengobatan skabies adalah seluruh anggota keluarga harus diobati
termasuk penderita yang hiposensitisasi. Jenis obat topikal:
1. Krim pemetrin 5% diaplikasikan ke seluruh permukaan kulit dari leher
sampaii ibu jari kaki. Dipakai selama 10 menit 2x sehari selama dua hari.
2. Benzyl benzoate emulsi topical 25% dipakai diseluruh tubuh dengan
interval 12 jam, kemudian di cuci 12 jam setelah aplikasi terakhir.
3. Asam salisilat 2% dan endapan balerang 4% dipakai pada bagian yang
terkena.

2.7.2 Pedikulosis Pubis


Pedikulosis pubis adalah infeksi rambut dan kulit di daerah pubis dan di
sekitarnya oleh parasit phtirus pubis.
Penyakit ini menyerang orang dewasa dan dapat digolongkan dalam
penyakit akibat hubungan seksual (p.h.s.) Serta dapat pula mengenai jenggot dan
kumis. Infeksi ini juga dapat terjadi pada anak-anak, yaitu di alis atau bulu mata
dan pada tepi batas rambut kepala.

Gambar 2.11 Pedikulosis

18

Gejala klinis yang tampak terutama adalah rasa gatal di daerah pubis dan
disekitarnya. Gejala patognomonik lainnya adalah black-dot, yaitu adanya bercakbercak hitam yang tampak jelas pada celana dalam berwarna putih yang dilihat
oleh penderita pada waktu bangun tidur. Bercak hitam ini merupakan krusta
berasal dari darah yang sering diinterpretasikan salah sebagai hematuria. Kadangkadang terjadi infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional.
Penatalaksanaan umum yakni dengan mencukur rambut kemaluan, ketiak,
atau jenggot yang terkena infeksi parasit ini. Pakaian dalam harus direbus atau
diseterika. Mitra seksual juga harus diperiksa dan diobat jika memang perlu
diobati, untuk mencegah penularan kembali penyakit pedikulosis pubis ini.
Penatalaksanaan khusus yakni dengan pemberian krim pemetrin 5% atau
losion 1%, diaplikasikankemudian dibiarkan 10 menit lalu, dicuci dengan air.
Dipakai dua kali dengan jarak 10 hari untuk membunuh telur yang baru menetas.
2.8 Infeksi Lain
2.8.1 Abses Vulva
Abses pada vulva disebabkan oleh infeksi staphylococcus, group B
streptococcus, enteroccus, e.coli dan p.mirabilis. Faktor risiko penyakit ini adalah
diabetes. obesitas, riwayat mencukur rambut kemaluan, dan imunosupresi.
Pada fase awal, manifestasi berupa selulitis, lalu berkembang menjadi abses
yang semakin lama semakin membesar. Tatalaksana pada kasus ini adalah
pemberian antibiotik dan drainase abses.
2.8.2 Abses Kelenjar Bartholin
Abses pada kelenjar Bartholin dapat disebabkan oleh infeksi Bacteroides,
Peptostreptococcus spp. aerobic E coli,. S aureus, N gonorrhoeae dan C
trachomatis. Manajemen pada kasus ini adalah pemberian antibiotik dan drainase
abses.

19

Gambar 2.12 Abses Kelenjar Bartholin


BAB 3
PENUTUP
Infeksi ginekologi mencakup berbagai infeksi bakteri, virus, jamur, dan
parasit pada vulva, vagina, serviks, dan organ genitalia dalam pada wanita.
Keputihan menjadi keluhan yang umum ditemukan pada penyakit infeksi
ginekologi. Dibutuhkan pemahaman yang baik mengenai masing-masing penyakit
infeksi ginekologi sehingga dapat menegakkan diagnosis kerja dan diagnosis
banding yang tepat, agar dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai
sehingga tatalaksana dapat diberikan dengan tepat. Dengan adanya makalah ini,
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai pendekatan diagnosis dan
tatalaksana pada kasus infeksi ginekologi.

20

Anda mungkin juga menyukai