Anda di halaman 1dari 15

MENCERAIKAN ISTERI SAAT ISTERI NIFAS KARENA DIA SELALU MENUNTUT

CERAI
enarfrurzh
Sejak beberapa tahun yang lalu, terjadi perselisihan antara saya dan isteri, lalu saya
mengucapkan kata talak, ketika itu saya sangat marah dan tidak sadar dengan apa yang saya
katakan karena kerasnya pertikaian. Salah seorang syekh berfatwa kepada saya bahwa talak
tersebut tidak jatuh ketika kondisi saya seperti itu. Pada bulan lalu, isteri saya melahirkan, ketika
dia masih dalam masa nifas, kembali terjadi pertikaian. Kali ini isteri mengunci pintu kamar dan
menyembunyikan kuncinya agar kami selesaikan urusannya, sehingga saya sangat marah. Maka
ketika bertikai, saya berkata kepadanya, 'Kamu ingin hidup sendiri?' Lalu dia berkata, 'Ceraikan
aku agar aku tenang dari neraka ini.' Maka sayapun menceraikannya. Saya berusaha untuk
mendapatkan kunci agar dapat keluar dari rumah, sayapun juga berkata bahwa saya akan
menceraikannya setelah selesai masa nifasnya, maksudnya untuk menenangkan suasana dan agar
saya dapat keluar rumah. Akan tetapi dia ngotot agar cerai tersebut dijatuhkan sekarang juga.
Maka saya katakan, 'Engkau saya cerai.' Setelah itu kami bicarakan bersama apa yang baru saja
terjadi. Isteri saya berkata, 'Aku bersumpah demi Allah yang Maha Mulia, bahwa aku tidak sadar
ketika minta dicerai dan aku tidak bermaksud demikian.'
Pertanyaannya adalah; Apakah talak telah jatuh? Jika talaknya jatuh, apakah dianggap sebagai
talak pertama atau dianggap talak kedua? Berapa lama masa iddahnya dan kapan saya boleh
merujuknya. Karena dia masih dalam keadaan nifas dan beberapa hari lagi akan suci.
Apakah saya harus memaksakan kepadanya syarat-syarat yang saya sampaikan agar saya
merujuknya dan agar masalahnya tidak berulang kembali. Seorang syekh berfatwa bahwa talak
seperti itu telah jatuh namun dia diharamkan karena dijatuhkan saat nifas.

Alhamdulillah
Talak yang disyariatkan adalah talak seorang suami kepada isterinya dalam keadaan suci yang
belum digauli. Apabila dia mentalqnya saat isterinya dalam keadaan haidh atau nifas, maka itu
termasuk talak bid'i (bid'ah).
Para ahli fiqih berbeda pendapat soal talak bid'i. Jumhur ulama berpendapat bahwa talak seperti
itu jatuh. Sebagian berpendapat bahwa talak seperti itu tidak jatuh, karena dia adalah talak bid'i
yang diharamkan. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,
(1 :: )
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." (QS. Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya adalah saat sang isteri berada dalam keadaan suci dan belum dijimak. Yang
berpendapat seperti ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah dan diikuti oleh
sejumlah ulama.

Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 20/58, "Talak bid'I ada beberapa macam; Di
antaranya seorang suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh atau nifas atau dalam keadaan
suci yang sudah digauli. Pendapat yang shahih dalam masalah ini adalah bahwa talak seperti itu
tidak jatuh."
Syekh Ibnu Baz rahimahullah berkata, "Karena syariat Allah mengajarkan agar mentalak isteri
dalam keadaan suci dari nifas dan haid dan dalam keadaan belum digauli suaminya pada masa
suci dan inilah talak yang sesuai syariat, maka jika dia mentalaknya dalam keadaan haid, atau
nifas atau dalam keadaan suci tapi sudah digauli, maka talak tersebut dinamakan talak bid'ah.
Menurut pendapat yang shahih dari para ulama, bahwa talak seperti itu tidak jatuh. Berdasarkan
firman Allah Ta'ala,
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." (QS. Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya adalah sang isteri dalam keadaan suci tanpa jimak. Demikian perkataan para ulama
dalam masalah talak terhadap isteri dalam masa iddah, yaitu hendaknya mereka ditalak dalam
keadaan suci sebelum digauli, atau dalam keadaan hamil. Inilah yang disebut talak pada masa
iddah (dapat menghadapi iddahnya secara wajar)." (hal. 44)
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan
kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari ) yang disertai rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, Darah yang dilihat seorang wanita
ketika mulai merasa sakit adalah darah nifas. Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari.
Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan
nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.
Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh
pembawa syariat hal. 37: Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada
seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah
darah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah kotor, dan bila demikian yang
terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan
oleh banyak hadits.
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, pada hal menurut kebiasaannya sudah
berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si
wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena
selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka
tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti selama masa (40) hari, maka
hendaklah hal tersebut dijadikan patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa
mendatang. Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,
hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada
sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan
suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa, dan boleh

digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu
tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk
manusia, seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka
darah yang keluar itu bukan darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang
berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai
hamil, dan pada umumnya 90 hari.
Hukum-Hukum Nifas
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa
hal berikut ini:
1. Iddah. Dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab jika talak jatuh
sebelum istri melahirkan, iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas.
Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu setelah haid lagi,
sebagaimana telah dijelaskan.
2. Masa ila. Masa haid termasuk masa ila, sedangkan masa nifas tidak.
Ila yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau
selama lebih dari empat bulan. Apabila ia bersumpah demikian dan si istri menuntut suami
menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna
masa tersebut suami diharuskan menggauli istrinya, atau menceraikan atas permintaan istri.
Dalam masa ila selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap
suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid,
masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
1. Baligh. Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita
tidak mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi dengan
datangnya haid yang mendahului kehamilan.
1. Haid jika berhenti lalu kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu
diyakini darah haid. Misalnya seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi
setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari
ketujuh dan kedelapan, maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu
adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari
keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa
fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya, dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi
wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha apa yang

diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu hal-hal yang wajib diqadha wanita
haid. Inilah pendapat yang masyhur menurut para fuqaha dari madzhab Hanbali.
Pendapat yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai
nifas maka termasuk darah nifas. Jika tidak, maka ia darah haid. Kecuali jika darah itu keluar
terus menerus maka merupakan darah istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang
disebutkan dalam kitab al-Mughni juz I, hal : 349, bahwa Imam Malik mengatakan : Apabila
seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari; yakni sejak berhentinya, maka itu
termasuk nifas. Jika tidak, berarti ia darah haid. Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keraguraguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu
dan pemahamannya. Padahal al-Quran dan sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu. Allah
tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan
dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi dengan mengqadha. Adapun jika seseorang
dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari
tanggungannya, sebagaimana firman Allah:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya(QS. alBaqarah : 286)

Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..(QS. at- taghabun : 16)
Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak
terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami
tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hambali.
Tapi pendapat yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang
menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syari yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali
riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Utsman bin Abu al-Ash bahwa istrinya datang
kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, Jangan kau dekati aku!.
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin
saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau istrinya belum suci benar, atau
takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu alam.
Perbedaan Darah Haid, Istihadhah, dan Nifas
No
Perbedaan

Haid

Istihadhah

Nifas

1.

Masa

Antara 1 sampai 15 hari

40 hari

2.

Waktu keluar

Tertentu

Tidak tertentu
waktunya

Sebelum atau sesudah


melahirkan

3.

Bau

Berbau busuk

Sebagaimana darah
biasa.

4.

Warna

Hitam

Merah segar

5.

Kekentalan

Kental

Tidak kental

6.

Tempat
keluar[1]

Dari rahim bagian dalam.

Dari rahim bagian


bawah, atau dari urat
yang berada di sisi
rahim

Kelunakan dan
Kerasnya

Keras

Lunak

Tidak memiliki.
5

Masa Iddah

Memiliki masa iddah

Larangan

Shalat, Puasa, Jima,


Thawaf

Tidak memiliki

Dihukumi wanita suci.

TANYA JAWAB SEPUTAR MASALAH


HAID, ITIHADHAH DAN NIFAS
Hukum Wanita Yang Mengalami Haid Pertama
Pertanyaan:

Sebagaimana haid

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh ditanya: Tentang hukum wanita yang baru
pertama kali mengalami haid?
Jawaban:
Pendapat yang benar, yang tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengambil pendapat-pendapat
lainnya selain pendapat ini adalah bahwa jika seorang wanita yang belum pernah mengalami
haid mengeluarkan darah pada suatu waktu yang diperkirakan sebagai masa haid, maka ia harus
meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya sehingga habis masa haidnya. Masa itu adalah
masa haid, dan tidak perlu baginya untuk menunggu sampai berulangnya peristiwa serupa (untuk
menetapkan sebagai masa haidnya).
Kaum wanita pada masa sekarang dan juga pada masa-masa sebelumnya hanya melaksanakan
pendapat ini.
Ini adalah pendapat yang benar dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Adapun pendapat-pendapat ulama madzhab Hanbali sejauh yang saya ketahui adalah
sama dengan pendapat ini, kemudian mereka mentabirkannya lima belas hari. Yang benar,
pendapat ini adalah pendapat yang tidak ada dalil yang menguatkannya, untuk itu jika seorang
wanita masih mengeluarkan darah hingga enam belas hari atau tujuh belas hari, atau delapan
belas hari, maka ia harus meinggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, Seorang wanita harus meninggalkan shalat, puasa serta
ibadah lainnya selama masih mengalir darinya darah yang bukan darah istihadhah (darah
penyakit) dan darah istihadhah itu dapat dikenali.
Darah istihadhah adalah darah yang keluar terus menerus dalam jumlah yang banyak (defenisi
darah istihadhah menurut Syaikhhul Islam). Dan perlu saya beritahukan di sini bahwa ketika
Allah menyebutkan tentang haidh, Allah tidak menyebutkan batas umur haidh, tidak
menyebutkan masa haid dan tidak merinci permulaan masa haid, begitu pula Sunnah Rasulullah
shallallaahu alahi wa sallaam- tidak menyebutkan bahwa permulaan haid adalah begini dan
begitu. Pada dasarnya bahwa darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita adalah darah haid,
memang benar jika disebutkan bahwa ada darah yang dinamakan darah istihadhah, akan tetapi
darah istihadhah ini memiliki hukum tersendiri dan darah tersebut dapat dibedakan dengan darah
haid. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi kaum wanita kecuali harus melakasanakan pendapat ini.
Bahkan sekalipun seseorang hendak mengobati wanita sehingga mereka melaksanakan pendapat
tentu mereka tidak mampu dan tidak melaksanakan pendapat orang tersebut. Dan ini meskipun
bukan hujjah tapi bisa menerangkan bahwa apa yang disebutkan di dalam pendapat ini terdapat
kesulitan.[2]
Melihat Cairan Berwarna Kuning atau Darah Keluar Dari Farj-nya Sebelum Haid
Pertanyaan:
Apa yang harus diperbuat oleh seorang wanita bila ia melihat cairan berwarna kuning atau darah
keluar dari farji-nya sebelum tiba masa haid?

Jawaban:
Asy-Syaikh Abdullah bin Jibrin ketika ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab, Apabila
seorang wanita mengenali kebiasaan hari haidnya dengan hitungan atau dengan warna darah atau
dengan waktu, maka ia meninggalkan shalat di waktu kebiasaan tersebut. Setelah suci ia mandi
dan shalat. Adapun darah yang keluar mendahului darah haid (sebelum datang waktu kebiasaan
haid), maka teranggap darah fasid (rusak/penyakit) dan ia tidak boleh meninggalkan shalat dan
puasa karena keluarnya darah fasid tersebut. Tetapi hendaklah ia mencuci darah tersebut setiap
waktu dan berwudlu setiap mau shalat dan ia tetap shalat walaupun darah tersebut keluar terus
menerus. Wanita yang mengalami seperti ini teranggap seperti keadaannya wanita yang
istihadlah.
Haid Setelah Lima Puluh Tahun
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh ditanya: Bagaimanakah hukumnya jika haid
masih datang setelah umur lima puluh tahun?
Jawaban:
Yang benar adalah bahwa haid tidak dibatasi dengan usia lima puluh tahun, bahkan jika terus
mengeluarkan darah pada waktu putarannya, dengan sifat darah haidh dan sesuai dengan masa
haidnya, maka berarti wanita itu sedang dalam masa haid. Akan tetapi jika wanita itu telah lama
tidak mengalami haidh setelah umur lima puluh tahun, maka darah yang keluar itu tidak
dianggap darah haid akan tetapi dianggap darah penyakit.
Adapun ucapan Aisyah radhiyallahu anha , Jika seorang wanita telah mencapai umur lima
puluh tahun, maka ia telah keluar dari batas waktu haidh. Ucapannya ini disebutkan oleh
Ahmad, ucapan Aisyah ini berita yang menggambarkan tentang kondisi wanita pada umumnya.
Hal ini ia ucapkan untuk melakukan sikap mawas diri terhadap pokok-pokok syariat, karena pada
dasarnya darah yang keluar itu tetap dianggap haid kecuali ada dalil yang menyatakan bahwa
darah itu bukan darah haidh.[3]
Keluar Darah Seperti Darah Haid Setelah Berusia Tujuh Puluh Tahun
Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman as-Sadi ditanya: Jika seorang wanita telah mencapai umur tujuh puluh
tahun kemudian keluar darah seperti darah haid, apakah ia harus berhenti shalat?
Jawaban
Wanita yang telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haid
dan tidak bisa dibantah bahwa darah itu adalah darah haid, maka tidak diragukan lagi bahwa ia
harus meninggalkan shalatnya, karena pendapat yang benar adalah bahwa keluarnya darah haidh

itu tidak ada batasan umur termuda juga tidak ada batasan umur tertuanya, dan hukum darah
tersebut adalah hukum darah haid.[4]
Ketika Wanita Samar Terhadap Darah yang Keluar Darinya
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: Jika seorang wanita samara terhadap darah
yang keluar darinya sehingga tidak bisa membedakan antara darah haidh dengan darah
istihadhah atau lainnya, apakah yang harus dilakukan wanita tersebut?
Jawaban:
Pada dasarnya darah yang keluar dari wanita adalah darah haid dan umumnya wanita telah
mengetahui darah haid, jika darah yang keluar itu bukan darah haid maka berarti darah itu adalah
darah istihadhah, dan jika darah yang keluar itu bukan darah istihadhah berarti darah itu adalah
darah haidh.[5]
Apakah Seorang Wanita Harus Segera Bersuci Dengan Tidak Melihat Adanya Darah
Keluar?
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: Pada hari terakhir dari masa haidh seorang
wanita dan sebelum habis masa haidhnya ia tidak melihat bekas darah, haruskah wanita berpuasa
pada hari itu sementara ia belum melihat gumpalan putih atau apa yang harus ia kerjakan?
Jawaban:
Jika kebiasaan wanita itu tidak melihat gumpalan putih pada akhir masa haidnya sebagaimana
kebiasaan kaum wanita, maka ia harus melaksanakan puasa. Akan tetapi jika kebiasaan wanita
itu mendapatkan gumpalan putih pada akhir masa haidnya, maka ia belum boleh melaksanakan
puasa sebelum ia melihat gumpalan putih.
Terus Menerus Mengeluarkan Cairan Berwarna Kuning Setelah Bersuci.
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: Ada seorang wanita setelah habis masa
haidnya tidak mengalami keluarnya gumpalan putih akan tetapi ia mengeluarkan cairan berwarna
kuning terus menerus, bagaimana hukumnya ini?
Jawaban:
Jika wanita itu tidak mengeluarkan cairan putih sebagai tanda berakhirnya masa haid, maka
cairan kuning itu telah menggantikan kedudukan cairan atau gumpalan putih, karena cairan putih

adalah merupakan tanda dan tanda itu bisa dipastikan dalam satu macam bentuk, karena tanda
berakhirnya masa haidh tidak bisa dipastikan dengan satu macam petunjuk akan tetapi banyak
petunjuk yang menunjukan pada hal itu, pada umumnya tanda berakhirnya masa haidh pada
sebagian besar wanita adalah terdapatnya cairan/gumpalan putih, akan tetapi bisa jadi tanda
habisnya masa haid itu adalah selain itu, dan terkadang pula seorang wanita tidak mengeluarkan
cairan putih dan tidak pula mengeluarkan cairan kuning sebagai tanda habisnya masa haid,
melainkan kering begitu saja hingga ia mendapatkan masa haidh selanjutnya, setiap wanita bisa
memiliki kebiasaan yang berbeda dalam hal mengakhiri masa haidhnya.[6]
Saat Haid Darah Terhenti 2 Hari Lalu Keluar Lagi, Hukumnya?
Assalaamualaikum,
Ustadz, Ana mau nanya tentang haid. Misalnya di bulan Ramadhan haid selama 6 hari, kemudian
bersih 2 hari tapi datang lagi 2 hari. Saya pernah nanya ke guru kalau yang dua hari yang suci itu
harus dibayar karena belum sampai 15 hari. Apakah benar demikian ustadz? Terima kasih atas
jawabannya.
Wassalaamualaikum.wb.wb
Jawaban
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ahli fiqih kalau ditanya seperti ini, mereka punya rumus mudah. Mereka membuat batas
minimal dan maksimal masa haid sekaligus masa minimal dan maksimal masa suci dari haid.
Misalnya al-Imam asy-Syafii rahimahullah-, beliau dalam mazhabnya menyebutkan bahwa
masa haid seorang wanita minimalnya sehari semalam dan maksimalnya 15 hari. Kemudian
masa suci dari haid minimalnya 15 hari, sedangkan maksimalnya tanpa batas.
Dengan dibuatnya rumus di atas, maka pertanyaan anda bisa dijawab dengan mudah. Yang jadi
titik masalah adalah apakah jeda 2 hari terputus dari keluarnya darah itu termasuk haid atau suci
dari haid?
Dengan rumus di atas, maka bisa dipastikan bahwa dua hari yang tidak keluar darah itu tetap
dianggap haid. Tidak bisa dianggap suci dari haid, karena batas minimal masa suci dari haid
adalah 15 hari. Dan dikuatkan lagi dengan jumlah hari haid ditambah hari yang dianggap sebagai
haid, semua masih di bawah angka 15 hari. Jumlahnya baru 10 hari.
Maka dengan demikian, dalam mazhab asy-Syafii, keterangan dari ustadz yang anda tanyakan
itu benar adanya. Dua hari yang anda anggap sebagai masa suci dari haid itu tidak bisa dianggap
sebagai masa suci. Meski pada hakikatnya memang sama sekali tidak ada darah yang keluar
selama 2 hari itu. Namun secara hukum, anda masih dianggap mendapat haid dan haram
berpuasa. Sebab seorang wanita yang haid tidak boleh berpuasa dan wajib menggantinya di
bulan lain.

Al-Adatu Muhakkamah
Mungkin anda bertanya, dari masa para ahli fiqih mendapatkan rumus-rumus itu. Adakah dalildalil sharih dan shahih yang menyebutkan batas minimal dan maksimal itu?
Jawabnya adalah dari hasil pengamatan dan ijtihad para fuqaha. Mereka melakukan eksperimen
dan penelitian pada faal tubuh wanita. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan dan membuat
rumus batas mininal dan maksimal.
Di sini yang berlaku adalah sebuah kaidah al-adatu muhakkamah, yaitu suatu yang sudah
menjadi kebiasaan, meski tanpa dalil yang sharih dari Nabi shallallaahu alahi wa sallam, bisa
dijadikan sebagai dasar hukum.
Tentu saja karena merupakan hasil ijtihad, angka-angka hari di atas tidak merupakan hal yang
mutlak. Sangat mungkin terjadi perbedaan rumus oleh fuqaha lainnya.
Misalnya al-Hanafiyah mengatakan bahwa paling cepat haid itu terjadi selama tiga hari tiga
malam, dan bila kurang dari itu tidaklah disebut haid tetapi istihadhah. Sedangkan paling lama
menurut madzhab ini adalah sepuluh hari sepuluh malam, kalau lebih dari itu bukan haid tapi
istihadhah. Dasar pendapat mereka adalah hadis berikut ini:
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam bersabda: Haid itu paling
cepat buat perawan dan janda tiga hari. Dan paling lama sepuluh hari. (HR. Tabarani dan
Daruquthni dengan sanad yang dhaif)
Sedangkan al-Malikiyah mengatakan paling cepat haid itu sekejap saja, bila seorang wanita
mendapatkan haid dalam sekejap itu, batallah puasanya, salatnya dan thawafnya. Namun dalam
kasus iddah dan istibra lamanya satu hari.
Sedangkan pendapat al-Hanabilah sama dengan pendapat asy-Syafiiyah.
Wallahu alam bishshawab, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Bolehkah Wanita Berziarah Kubur Saat Sedang Haid?
Pertanyaan:
Assalammu alaikum wr.wb.
Ustadz, bolehkah seorang wanita yang sedang haid melakukan ziarah kubur? Apakah ada hadist
yang menjelaskan tentang hal tersebut? Saya ucapkan terimakasih atas jawabannya.
Wassalammu alaikum wr.wb

Jawaban:
Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Alhamdulillah, wash-shalatu wassalamu ala rasulillah, wa badu
Hukum ziarah ke kubur dianjurkan dalam Islam. Karena didalamnya terkandung pesan agar kita
ingat bahwa sebentar lagi kita pun akan ada di dalamnya. Dan semua orang pastilah akan
menjadi penghuninya, cepat atau lambat.
Meski ziarah kubur ini dahulu pernah dilarang, namun Rasulullah -shallallaahu alahi wa
sallam- kemudian me-nasakh pelarangan itu dengan sabda beliau:
Dari Buraidah -radhiyallaahu anhu- bahwa Rasulullah -shallallaahu alahi wa sallambersabda, Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang silahkan berziarah. (HR.
Muslim)
Wanita yang sedang haid termasuk orang yang sedang tidak suci. Dan bagi mereka, dilarang
untuk memegang mushaf al-Quran, membacanya dan memasuki masjid. Tapi tidak ada larangan
untuk mendatangi kubur untuk sekedar berziarah. Sebab kubur itu bukan tempat yang suci,
sehingga wanita yang sedang berhadats besar (haid) tidak terlarang memasukinya. Yang terlarang
adalah masuk ke masjid, dengan dalil:
Dari Aisyah radhiyallaahu anha, berkata bahwa Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam
bersabda, Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haid. (HR. Bukhari, Abu
Daud dan Ibnu Khuzaimah).
Yang termasuk dilarang juga untuk wanita haid adalah menyentuh mushaf Al-Quran, dengan
dalil:
Dan tidak menyentuhnya kecuali muthahharun (yang suci). (QS. Al-Waqiah: 79)
Meski banyak pendapat tentang maksud mutahharun di ayat ini, namun umumnya ulama sepakat
bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haid dilarang menyentuh mushaf
al-Quran. Demikian juga dengan membaca atau melafadzkan al-Quran dengan lisan, jumhur
ulama mengatakan tidak boleh bila sedang haid. Dasarnya adalah hadits Ali radhiyallaahu
anhu bahwa dia berkata,
Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam tidak terhalang dari membaca al-Quran kecuali
dalam keadaan junub.
Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita haid membaca Al-Quran dengan catatan
tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidnya terlalu lama. Juga
dalam membacanya tidak terlalu banyak atau tidak dilafadzkan dengan lisan. Ini adalah pendapat
Malik. Demikian disebutkan dalam kitab Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal. 133.

Namun khusus untuk kuburan, tidak ada larangan bagi siapapun untuk mendatanginya, baik
sedang haid atau tidak. Sebab kuburan bukan tempat suci.
Wallahu alam bish-shawab, Wassalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc

Wanita Haid Membaca al-Quran dan Masuk Masjid


Pertanyaan:
Assalaamualaikum wr. wb.
Saya ingin bertanya mengenai masalah haid, sbb:
Bolehkah wanita yang sedang haid membaca al-Quran, memegang mushaf, menghafal ayatayat al-Quran, apa landasannya?
Bolehkah wanita yang sedang haid masuk ke dalam masjid.
Terima kasih
Wassalaamualaikum wr. wb.
Jawaban:
1. Jika membaca al-Quran diniatkan untuk tidak semata-mata membacanya, tetap dengan niat
berdoa, seperti membaca doa, Rabbana aatina fid dunyaa hasanah., Rabbana dhalamanaa
anfusanaa, Subahnal ladzi syakhkhara lana haadza.. (doa naik kendaraan) dan sebagainya,
atau dengan niat berdzikir, seperti membaca al-matsurat yang di dalamnya terdapat bacaan
bebarapa ayat al-Quran, atau dengan niat mendalili suatu hukum, atau membenarkan bacaan
yang salah dan yang lainnya, maka semua ulama sepakat atas kebolehannya.
Adapun jika membacaal-Quran diniatkan untuk semata-mata membaca, maka terdapat tiga
pendapat:
Pendapat Pertama:
Pendapat jumhur Ulama (Syafii, Ahmad dan Abu Hanifah), mereka berpendapat bahwa wanita
yang haid atau nifas diharamkan membaca Al-Quran. Dalilnya adalah sebagai berikut:

Dari Ali radhiyallaahu anhu berkata, Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam


membacakan al-Quran kepada kami dalam segala keadaan selama tidak dalam keadaan junub.
(HR. Tirmidzi)


Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam bersabda, Bacalah Al-Quran selama salah
seorang diantara kamu tidak terkena junub. Jika junub maka tidak, walaupun satu huruf. (HR.
Daruquthni mauquf -tidak sampai kepada Nabi r, tapi hanya sampai kepada sahabat-).

Dari Ali radhiyallaahu anhu dia berkata, Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alahi
wa sallam keluar dari WC kemudian membacakan Al-Quran, memakan daging bersama kami.
Dan tidak ada yang menghalangi sesuatu pun untuk membaca Al-Quran selain junub.

Didatangkan air wudhu kepada Ali radhiyallaahu anhu. Lalu dia berkumur, menghirup
air ke hidung tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, mencuci tangannya tiga kali, mengusap
kepalanya, kemudian mencuci kedua kakinya kemudian berkata, Demikian saya melihat
Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam berwudhu kemudian membaca ayat al-Quran.
Kemudian berkata, Demikian ini bagi orang yang tidak sedang junub, adapun orang yang
sedang junub maka tidak boleh, walaupun satu ayat.
Para ulama menganalogikan orang yang haid dengan orang yang junub karena kedua-keduanya
adalah orang wajib mandi.
Pendapat kedua:
Imam Bukhari, Ibnu Hazm dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa wanita yang sedang haid
dibolehkan membaca al-Quran dengan alasan bahwa hadits yang dikemukakan orang jumhur
tidak dapat dijadikan dalil karena semua hadits tersebut derajatnya dhaif.
Pendapat ketiga:
Imam Malik berpandangan bahwa wanita yang sedang haid atau nifas dibolehkan membaca alQuran selama darahnya masih mengalir. Sedangkan jika darahnya berhenti mengalir maka dia
tidak boleh membaca al-Quran hingga mandi terlebih dahulu. Alasannya adalah karena haid dan
nifas tidak bisa disamakan dengan junub, karena junub berlangsung sebentar dan bisa langsung
mandi, sedangkan haid dan nifas berlangsung lama.
Jika orang yang haid dan nifas dilarang membaca al-Quran akan mengakibatkan kelupaan pada
ayat-ayat yang sudah dihafal, atau bahkan bisa menimbulkan kegersangan ruhiyah dan ini adalah
kemudharatan yang harus dihilangkan. Jadi orang yang haid dan nifas dibolehkan membaca alQuran walau keadaannya tidak suci. Dan jika darahnya sudah berhenti keluar maka kondisinya
adalah seperti orang yang junub yang bisa mandi, hingga dia tidak boleh lagi membaca al-Quran
hingga mandi terlebih dahulu. Inilah pendapat pertengahan dan pendapat yang saya pandang
lebih kuat dan realistis.
2. Wanita yang sedang haid diharamkan untuk masuk masjid, berdasarkan dalil berikut ini:
a. Firman Allah subhaanahu wa taala:
(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. (QS. An-Nisaa: 43)

b. Hadits Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam,


Dari Aisyah -Radhiyallahu Anha- berkata, Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk orang yang haid dan junub. (HR. Abu
Daud)
Wallahu Alam bishawwab.
Ust Iman Sulaiman Lc.
Bolehkah Wanita Haid Mengikuti Pengajian di Masjid?
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: Bolehkah wanita haid mengikuti pengajian
yang diadakan di masjid?
Jawaban:
Wanita yang haidh tidak diperbolehkan berdiam di masjid. Apabila hanya lewat saja tidak apaapa dengan syarat tidak mengotori masjid dengan darahnya yang sedang keluar. Karena tidak
boleh berdiam di masjid maka tidak diperbolehkan pula untuk mendengarkan pengajian dan
dzikir yang diadakan di masjid, kecuali apabila ada tempat khusus di luar masjid yang dari
tempat itu ia bisa mendengar suara yang ada di masjid, dengan pengeras suara misalnya, maka
diperbolehkan baginya untuk mendengarkan pengajian. Karena wanita yang haidh tidak dilarang
untuk mendengarkan pengajian, dzikir dan bacaan al-Qur`an berdasarkan hadits Nabi
shallallaahu alahi wa sallam bahwa beliau tiduran di kamar `Aisyah sambil membaca al-Qur`an
sementara `Aisyah dalam keadaan haidh. Adapun pergi ke masjid dan berdiam di dalamnya
untuk mendengarkan dzikir atau bacaan al-Qur`an, maka tidak diperbolehkan.
Karena itulah saat beliau diberitahu pada Haji Wada` bahwa Shafiyah mendapatkan haid, beliau
berkata: Apakah ia akan menjadikan kita tertahan? Nabi shallallaahu alahi wa sallam
mengira bahwa Shofiyah belum melaksanaka Thawaf Ifadhah. Maka mereka memberitahukan
kepada beliau bahwa Shofiyah telah melaksanakan Thawaf Ifadhah. Ini menunjukkan bahwa
wanita haid tidak boleh berdiam di masjid dan untuk beribadah di dalamnya. Diriwayatkan pula
dari beliau bahwa beliau memerintahkan para wanita untuk keluar ke tempat shalat `Ied untuk
melaksanakan shalat `Ied dan memerintahkan para wanita yang sedang haid untuk menjauhi
tempat shalat tersebut.[7]
Mendapatkan Haid Setelah Masuk Waktu Shalat
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: Jika seorang wanita mendapatkan haid jam
satu siang umpamanya, saat itu ia belum melaksanakan shalat Dhuhur, apakah diharuskan
baginya untuk mengqadha shalat Dhuhur itu pada saat habis masa haidnya?
Jawaban:
Ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini, diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa tidak diharuskan baginya untuk mengqadha shalat Dhuhur itu, karena ia
tidak berbuat kelalaian dan juga tidak berdosa sebab memang dibolehkan baginya untuk
menunda shalat Dhuhur itu hingga akhir waktu shalat. Ada juga yang berpendapat bahwa ia
harus mengqadha shalat Dhuhur itu berdasarkan ungkapan yang bersifat umum pada sabda
Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam yang berbunyi.
Artinya: Barangsiapa yang dapat melaksanakan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti ia
telah medapatkan shalat itu.
Untuk berhati-hati, maka yang lebih baik baginya adalah mengqadha shalat tersebut, karena
yang perlu diqadha adalah satu shalat itu saja, yang tidak akan menyulitkannya.

Anda mungkin juga menyukai