%20amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324.
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal
120-122.
Hasil Pembelajaran:
1. Anatomi dan fisiologi hati
2. Epidemiolgi Abses Hepar
3. Etiologi Abses Hepar
4. Gambaran Abses Hepar
5. Penatalaksanaan Abses Hepar
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang
paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial
hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status
ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan
bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang
abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati
piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek
epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta
prognosisnya. (2)
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 %
berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria dekstra,
epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama
yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh
fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut
kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi
struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan
fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat
sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer
yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan
benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran
cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu: (3,4,5,6)
Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu penting
untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di dalam usus.
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah
penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar, konversi
galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta pembentukan banyak
senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh
yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar lipoprotein, serta sintesis
lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta
interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam amino.
Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B 12, tembaga, dan
besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam hati adalah
vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B12 juga disimpan secara normal.
Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat
bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh karena itu,
bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan
apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hati
sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah,
Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi
fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi
lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk
protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan
detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid, penisilin,
ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon yang disekresi oleh
kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin dan
terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron.
Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang
bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat
kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali
dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan
debris dari darah.
B.
EPIDEMIOLOGI
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik
dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan
terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara
epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di
RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara
0,29 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40
tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi.
Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih
mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara 0,29-1,47 %
sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di
rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di
Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan
perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade
keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal.
Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih
sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa
muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di
daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi
yang buruk. (2,7)
C.
ETIOLOGI
D.1 Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit nonpatogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)
PATOGENESIS
E.1 Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang
dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks
oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus.
Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin
dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian
menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan
mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit
dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba
yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui
vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis
jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil
periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu,
dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)
karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran
limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya
penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy paste
dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar
serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
E.2 Abses Hepar Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu
studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati
dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran
hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga
peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena
portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan
menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat
memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang
berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem
biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya
proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan
cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses
fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga
terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan
inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma
tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya
kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan
kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus.
Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan
anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior
dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik. (1,10)
E. GAMBARAN KLINIS
F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu
kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b.
c.
d.
e.
f.
Temperatur naik
Malnutrisi
Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
Nyeri perut kanan atas
Fluktuasi
DIAGNOSIS
G.1 Abses hati amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba.
Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat
demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping
itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma
yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes
serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria
Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan
kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura,
atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut
kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup.
Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan
gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning,
CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat
menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan
bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5
mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar
dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster
sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak
sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak
gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses
yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak
septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai
jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar
dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses.
Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman
Klebsiella. (1,2,)
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat
pada segmen VII dan VIII.(8)
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras
yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin
penyengatan tetap terlihat pada fase tunda. (2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG
antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang
multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercakbercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama
makin bertambah tebal. (16)
H.
PENATALAKSANAAN
I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17)
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang
besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis
intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk
kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 10 hari.
Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat
nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x
800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis
tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih
aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.
Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anakanak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300
mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3
minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3
minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500
mg/hari selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila
terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan,
perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau
diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses
dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri
hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru,
peritoneum, dan perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik
dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan
aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang
jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur
abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya
dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
I.2 Abses hati piogenik (1,2,7,10)
Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati
piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun
tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna.
Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu
diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri
dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa
jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin
generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob
terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif.
Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus
abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi
komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi.
I.
KOMPLIKASI
J.1 Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat
terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang
dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi
pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga
dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi
infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan
bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.
Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana
ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ
peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan
terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)
J.2 Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke
dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam
perikard atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau
reaktifasi abses. (1)
J.
PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2%
dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang
membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum
yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom
hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit,
status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi.
Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi
peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan
ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik
perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang
menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta
bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia.
Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau
subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati,
hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati
piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan
drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses
multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit
immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak
dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau
Kolesistitis akut
Manifestasi Klinis
Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase
USG : lesi lokal/ difus di hati
Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.
4. Plan
Pemeriksaan Penunjang
Hasil USG tanggal 11/mei/2016
Hepar
:
besar,
massa
hiperecoic, batas tegas, tepi
irreguler ukuran 8,7 x 7,8 pada
lobus dextra.
Kesan : Abses hepar lobus
dextra
HASIL
10,4
3,89
NILAI RUJUKAN
4.00 10.0
4.00 6.00
SATUAN
[103/uL]
[106/uL]
HGB
HCT
PLT
SGOT
SGPT
Albumin
Kreatinin
Ureum
Bilirubin total
Bilirubin direk
Proten total
HbsAg
11,2
32,1
305
51
54
0,9
22
7,9
0,6
Reaktif
12.0 16.0
37.0 48.0
150 400
<38
<41
2,5-5,0
0,7-1,3
13-43
<1.1
<0.30
6.6-8.7
[g/dL]
[%]
[103/uL]
u/L
u/L
gr/dL
mmol/l
mg/dl
mg/dl
mg/dL
mg/dL
gr/dL
Diagnosis
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisis serta lab penunjang, diagnosis pasien tersebut adalah
Abses Hepar.
Penatalaksanaan
- IVFD NaCl 0,9 % 16 tpm
- Cefotaxim 1gr/12j/iv
- Ranitidin /12j/iv
- Santagesik/8j/iv
- Paracetamol infus /8j/drips
- Curcuma tab 1 x 1
Follow Up Pasien
Tanggal
11/05/2016
(UGD)
Perjalanan penyakit
TD: 110/70 mmHG
N
: 84 x/i
P
: 20 x/i
S
: 390C
Instruksi
R/
- IVFD NaCl 0,9 % 16 tpm
- Cefotaxim 1gr/12j/iv
- Ranitidin /12j/iv
- Santagesik/8j/iv
- Paracetamol infus /8j/drips
- Curcuma tab 1 x 1
12/05/2016
13/05/2016
14/05/2016
R/
IVFD NaCl 0,9 % 16 tpm
Cebactam1gr/12j/iv
Ranitidin /12j/iv
Santagesik/8j/iv
Paracetamol infus /8j/drips
Curcuma tab 1 x 1
R/
IVFD NaCl 0,9 % 16 tpm
Cebactam1gr/12j/iv
Ranitidin /12j/iv
Santagesik/8j/iv
Paracetamol infus /8j/drips
Curcuma tab 1 x
R/
S : nyeri berkurang, mual
- IVFD NaCl 0,9 % 16 tpm
sdh tidak ada, demam tidak
- Cebactam1gr/12j/iv
ada
- Ranitidin /12j/iv
TD: 110/80 mmHG
- Santagesik/8j/iv
N
: 84 x/i
- Paracetamol infus /8j/drips
P
: 20 x/i
Curcuma tab 1 x
0
S
: 37 C
Pendidikan:
Mengedukasi pasien dan keluarga agar selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan,
menjaga higienitas untuk mencegah terjadinya kekambuhan.
Konsultasi:
Dijelaskan perlunya untuk berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Interna jika terjadi
komplikasi.
Rujukan:
Diperlukan jika terjadi komplikasi serius yang harusnya ditangani di rumah sakit dengan
sarana dan prasarana yang lebih memadai.
Pemeriksaan cairan pungsi abses hepar: sitologi dan kultur untuk keperluan diagnosis
untuk menemukan bakteri patogen dan untuk pemberian antibiotic
USG abdomen ulang untuk melihat kantong abses setelah dilakukan pungsi abses
karena tidak seluruh cairan abses bisa diambil karena cairan telah mengental.
Pemeriksaan Alpha-Fetoprotein (AFP) dan CEA untuk melihat adanya kecenderungan
kearah keganasan pada hepar.
Pemeriksaan feces rutin untuk melihat adanya parasit (amuba) ataupun telur atau larva
cacing pada feces.
Prognosis:
Pendamping,