Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Berbagai kejadian bencana yang terjadi di Indonesia dalam
kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir telah memporakporandakan
berbagai

aspek

infrastruktur,

kehidupan

kehidupan

Masyarakat.

komunitas,

kelompok

Perekonomian,
dan

keluarga,

kesehatan, pendidikan adalah aspek-aspek yang paling besar


mengalami kerugian akibat bencana. Dimulai dari bencana tsunami
yang sangat besar pada tahun 2004 di Aceh dan Nias, tsunami di
Pangandaran, gempa di Yogyakarta, banjir di banyak daerah di
pulau Jawa termasuk Jakarta dan berbagai bencana skala besar,
menengah dan kecil lainnya. Semua bencana membawa dampak
negatif dan bersifat destruktif.

Kerugian yang mudah terlihat

adalah korban jiwa (meninggal atau sakit), hancur dan musnahnya


gedung-gedung sekolah, perkantoran, jembatan, rumah-rumah
penduduk dan bangunan lainnya serta rusak dan musnahnya harta
benda.

Kerugian

dan

lumpuhnya

perekonomian

merupakan

dampak negatif yang disebabkan secara langsung dan tidak


langsung oleh kerugian-kerugian di bidang lainnya. Kerugian setiap
aspek saling berkaitan dengan aspek lainnya, misalnya kerusakan
gedung-gedung

sekolah

menyebabkan

terhambatnya

proses

pendidikan masyarakat.
Bencana seringkali didefinisikan sebagai suatu kejadian yang
tidak dapat diprediksi sebelumnya, tidak dapat diantisipasi, datang
tiba-tiba dan bersifat sangat merusak.

Untuk beberapa jenis

bencana, seperti tsunami dan gempa, definisi tersebut mungkin


tepat karena tidak ada satupun ahli atau lembaga di dunia ini yang
dapat mencegah terjadinya bencana. Namun untuk bencana banjir,
tanah

longsor

dan

kebakaran

mungkin

tidak

dapat

selalu

menggunakan definisi tersebut. Banyak ahli mengatakan bahwa


bencana banjir yang semakin sering terjadi disebabkan oleh
pemanasan

global

(global

warming)

sebagai

akibat

perilaku

manusia yang tidak peduli, tidak bertanggung jawab dan tidak


bersahabat lingkungannya.
yang

mempunyai

penggunaan

Kebakaran hutan di negara-negara

hutan-hutan

bahan-bahan

tropis,

kimia

efek

yang

rumah

merusak

kaca

lapisan

dan
ozon

dituding menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pemanasan


global. Bencana tanah longsor dikatakan sebagai sebab karena
penggundulan hutan secara besar-besaran.
Perilaku

manusia

yang

cenderung

merusak

dan

mengakibatkan bencana tersebut kemudian dipandang sebagai


akibat dari melemahnya bahkan punahnya nilai-nilai dan normanorma kelembagaan sosial yang semula dimiliki oleh kelompokkelompok

masyarakat

tradisional.

Sebaliknya,

kemajuan

pembangunan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang


dibanggakan sebagai modernisasi ternyata menjadi salah satu
penyebab
kehidupan

lemah

dan

masyarakat,

rusaknya
termasuk

nilai-nilai

dan

kelembagaan

norma-norma
sosial.

Bila

dicermati, kedua hal tersebut ternyata saling berkaitan dan


menyebabkan terjadinya lingkaran bencana. Bukan saja bencana
alam tetapi juga bencana sosial. Pada bagian selanjutnya, penulis
akan mencoba menggambarkan pentingnya memelihara nilai-nilai
kelembagaan

sosial

sebagai

modal

untuk

memelihara

dan

mengembangkan

lingkungan,

kebijakan

Pemerintah

dalam

menanggulangi bencana dan menghidupkan kembali kelembagaan


sosial untuk menanggulangi berbagai masalah bencana yang
terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Pengembangan Kelembagaan Pengalaman Proyek-

proyek Bank Dunia (Arturo Israel, LP3ES)


Menurut Arturo, konsep umum mengenai lembaga meliputi
apa yang ada pada tingkat lokal atau masyarakat, unit manajemen
proyek, badan, parastatus, departemen-departemen di pemerintah
maupun milik swasta. Kelembagaan lebih dipandang sebagai suatu
manajemen

dan

keterkaitan

antara

sumber

daya

manusia,

keuangan dan hubungan atau sistem kerja antara suatu lembaga


dengan lembaga lainnya.

Sebagai contoh konkrit, hasil kerja

lembaga dapat berupa infrastruktur, penyediaan barang atau


pelayanan (jasa), seperti pembangunan irigasi dan pengobatan bagi
orang sakit.

Hasil yang dapat diperoleh dari pengembangan

kelembagaan adalah mekanisme kegiatan yang teratur dan saling


mendukung (terkoordinasi) yang pada akhirnya memberikan situasi
dan kondisi yang kondusif dalam pemberian pelayanan dan
terpenuhinya

kebutuhan

masyarakat,

seperti

kelembagaan

perkeretaapian. Hasil pengembangan kelembagaan perkeretaapian


tidak diukur dari berapa jumlah masyarakat yang dapat menaiki
kereta api sebagai alat transportasinya tetapi apakah semua
penumpang dapat berangkat dan tiba tepat waktu, apakah tingkat
kecelakaan kereta api relatif kecil dan dapat menurun setiap
tahunnya, apakah penumpang merasa nyaman bepergian dengan

kereta api dan berbagai hasil positif lainnya yang mungkin tidak
dapat dinilai dalam waktu singkat dan abstrak (bukan dalam bentuk
barang yang dapat diraba atau dilihat).
Evaluasi terhadap berbagai proyek yang dilaksanakan oleh
Bank Dunia menunjukkan bahwa proyek-proyek pengembangan
kelembagaan terutama di sub sektor keuangan mempunyai tingkat
keberhasilan yang relatif lebih tinggi dibandingkan proyek-proyek
lainnya sekalipun anggaran untuk proyek-proyek pengembangan
kelembagaan relatif jauh lebih kecil dari proyek-proyek lain.
Pemerintah

dan

masyarakat

cenderung

lebih

mengutamakan

pembangunan irigasi yang berbentuk waduk atau DAM yang secara


fisik dapat dilihat hasilnya daripada membangun sistem pengairan
atau irigasi tersebut karena membutuhkan waktu lebih lama agar
hasilnya dapat dirasakan. Pengembangan kelembagaan dalam hal
sistem pengairan memerlukan pelatihan-pelatihan, pengaturanpengaturan hubungan dan mekanisme kerja.

Hasil kegiatan-

kegiatan dalam pengembangan kelembagaan bersifat abstrak dan


memerlukan waktu cukup lama sebelum mencapai hasil yang
diharapkan

bahkan

beberapa

kelembagaan

yang

sudah

ada

cenderung melemah karena berbagai sebab. Dari studi-studi


evaluasi yang dilakukan, dikelompokkan beberapa faktor yang
dapat mengurangi keacakan kelompok sehingga dapat memelihara
kelembagaan, yaitu :
1.
2.

Faktor-faktor eksogen
Individu-individu

menonjol

atau

kelompok-kelompok

individu

yang

3.

Perencanaan

yang

efektif

dan

pelaksanaan

program

pengembangan kelembagaan
4.

Aplikasi yang efektif mengenai teknik-teknik manajemen

5.

Harga-harga relatif yang memadai, dan

6.

Cukupnya komitmen politik


Persaingan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi

prestasi lembaga. Pada saat suatu lembaga berupaya untuk lebih


menonjol, memperoleh laba yang lebih besar atau penghargaan
lebih maka hal ini akan berpengaruh terhadap hubungannya
dengan lembaga-lembaga lainnya yang saling berkaitan dalam
hubungan kelembagaan. Persaingan tidak selalu merupakan hal
yang negatif walaupun seringkali meningkatkan potensi konflik.
Persaingan dapat membawa hasil yang positif selama persaingan
tersebut digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan kinerja
dan prestasi suatu lembaga.

Namun pendekatan umum yang

dianjurkan untuk memperbaiki prestasi lembaga adalah : kesadaran


yang lebih bsar terhadap isu-isu, penekanan pada sub sektor dan
kegiatan dengan kekhususan yang rendah serta strategi untuk
meminimalkan kebutuhan terhadap kapasitas lembaga.
B.

Pengembangan Kelembagaan Lokal : Suatu Dokumen

Analisis

dengan

Kasus-kasus

(Local

Institutional

Development : An Analytical Sourcebook with Cases)


(Norman Uphoff)
Wilayah
pedesaan

aktivitas

memiliki

pengembangan

sifat

multi

kelembagaan

jaringan

atau

lokal

di

hubungan.

Pengembangan di bidang (lembaga) sumber daya manusia akan


berkaitan dengan lembaga keuangan, lembaga teknologi, lembaga
pertanian dan sebagainya.

Pengembangan kelembagaan juga

berkaitan dengan kegiatan dan pengambilan keputusan pada


berbagai tingkatan.

Yang disebut tingkatan lokal adalah pada

tingkat kelompok (group level), tingkat komunitas dan tingkat


kerjasama

komunitas

tradisional).

dalam

Beberapa

suatu

faktor

wilayah

penting

(misalnya

dan

manfaat

pasar
dari

pengembangan kelembagaan lokal adalah :


1.

Pengembangan kelembagaan lokal mendukung terciptanya

manajemen sumber daya alam, antara lain : pengelolaan hutan,


pengairan/irigasi dan pemeliharaan sumber-sumber air.
2.

Pengembangan

kelembagaan

lokal

untuk

pembangunan

infrastruktur di pedesaan, misalnya dalam transportasi, penyediaan


air dan komunikasi.
3.

Pengembangan kelembagaan lokal untuk pelayanan kesehatan

primer.
4.

Pengembangan lokal untuk pertanian.

5.

Pengembangan lokal untuk perusahaan non pertanian.


Banyak

pengalaman

proyek-proyek

Bank

Dunia

yang

mengalami kegagalan dalam upaya pemanfaatan sumber daya


alam, pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pertanian
dan usaha non pertanian bukan karena manajer atau pemimpin dan
tenaga-tenaga pelaksana proyek yang kurang ahli tetapi karena
proyek-proyek tersebut tidak mengakomodir nilai-nilai budaya dan

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di wilayah proyek


dan

tidak

menggunakan

kekuatan

maupun

partisipasi

dari

kelembagaan lokal yang sudah ada. Belajar dari kegagalan yang


terjadi maka perlu diketahui strategi yang dibutuhkan dalam
pengembangan kelembagaan lokal. Strategi tersebut adalah :
1.

Cara-cara memberi dukungan, melalui Promosi, Fasilitasi,

Pendampingan dan pendekatan proses pembelajaran


2.

Pengembangan kapasitas sumber daya manusia, melalui

pendekatan-pendekatan pelatihan yang menggunakan cara-cara


baru dan pengembangan kepemimpinan.
3.

Penguatan kapasitas kelembagaan dengan cara bekerja sama

dengan lembaga-lembaga yang mapan, pendekatan katalis dan


bekerja sama dengan organisasi alternatif.
4.

Pembentukan jaringan kelembagaan dan pemberian dukungan

dasar.
5.

Penataan kembali tingkatan kelembagaan yang berorientasi

kepada tingkatan nasional secara legal, menggunakan strategi


desentralisasi dan penataan orientasi birokrasi ke arah yang
berpihak kepada masyarakat.
6.

Menggunakan metode-metode mobilisasi sumber-sumber lokal

untuk menghimpun partisipasi masyarakat atau individu-individu


yang memiliki kekuatan maupun campuran keduanya, pengelolaan
pajak, pendapatan dari dari pengguna barang atau penerima
pelayanan, bantuan bergulir dan tabungan, penerimaan dari

sumber-sumber produktif, pengumpulan iuran atau pendapatan dari


sektor barang dan jasa serta kontribusi dari tenaga kerja.
7.

Metoda-metoda manajemen sumber daya lokal, yaitu penataan

administrasi keuangan dan pengawasan.


8.

Pemeliharaan peralatan dan fasilitas (sarana dan prasarana).

9.

Menghubungkan atau membuat jaringan dengan sumber-

sumber di wilayah yang lebih luas dengan memobilisasi sumbersumber lokal, yaitu dengan cara mengkontribusikan sebagian
pendapatan pajak di tingkat lokal untuk biaya pembangunan yang
didukung dari wilayah atau pemerintahan di atasnya, pemberian
bantuan dari pemerintahan yang lebih luas kepada masyarakat di
tingkat lokal, kontribusi dalam bentuk barang, pembagian tanggung
jawab, prosedur yang sistematis dan disepakati oleh semua pihak
serta masukan-masukan (bantuan) dari pihak luar.
10. Kontribusi atau bantuan dari pihak donor.
C.

Alternatif

Konsep

Kelembagaan

untuk

Penajaman

Operasionalisasi dalam Penelitian Sosiologi (Syahyuti)


Syahyuti mengemukakan beberapa pandangan mengenai
definisi lembaga sebagai organisasi dan lembaga sebagai institusi
serta definisi kelembagaan (institusi) yang dikemukakan oleh para
ahli.

Syahyuti sendiri menyatakan bahwa terdapat empat cara

untuk membedakannya, yaitu :


1. bahwa

kelembagaan

cenderung

organisasi cenderung modern,

tradisional

sedangkan

2. kelembagaan berasal dari masyarakat itu sendiri sedangkan


organisasi datang dari atas,
3. kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum di
mana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga
dan
4. organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Kelembagaan
(institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu :
a) berkenaan dengan aspek sosial,
b) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan
perilaku individu dalam sistem sosial.
c) berkaitan dengan perilaku atau seperangkat tata kelakuan
atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama
dalam kehidupan masyarakat,
d) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki
sanksi dalam kehidupan masyarakat dan
e) pemaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara
yang baku untuk memecahkan masalah yang terjadi
dalam

sistem

sosial

tertentu.

Rumusan

operasional

kelembagaan mungkin akan lebih mudah digambarkan


dengan

contoh

bahwa

apabila

perangkat

komputer

dianalogkan sebagai organisasi maka software yang dapat


menggerakkan komputer agar bisa digunakan adalah
kelembagaan.

Contoh lain : apabila tubuh manusia

dianalogkan sebagai suatu organisasi maka mekanisme


aliran

darah

atau

sirkulasi

darah

atau

mekanisme

pencernaan adalah kelembagaannya.


D.

Kerangka

Teoritis

mengenai

Pengembangan Kelembagaan

Kelembagaan

dan

Mencermati

beberapa

definisi

dan

gambaran

mengenai

kelembagaan dan pengembangan kelembagaan menurut para ahli


sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, penyusun
merumuskan

kelembagaan

sebagai

hubungan

kerja

yang

sistematis, teratur dan saling mendukung di antara beberapa


lembaga, baik sejenis maupun tidak sejenis dan terikat dengan
seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama
dalam

rangka

mencapai

satu

atau

lebih

tujuan

yang

menguntungkan semua pihak yang ada di dalam kelembagaan itu


sendiri dan keuntungan bagi pihak-pihak di luar kelembagaan
tersebut.

Pemahaman

penyusun

mengenai

pengembangan

kelembagaan adalah seperangkat metoda, strategi dan cara untuk


memulihkan,
hubungan

memperbaiki

kerja

dalam

dan

meningkatkan

kelembagaan

sehingga

sinkronisasi
meningkat

prestasinya.
III.

ANALISIS

TERHADAP

PENGEMBANGAN

KELEMBAGAAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN BENCANA


Membaca tulisan Lexy Armanjaya mengenai Manajemen Bencana
ala Sleman yang dimuat dalam korba Tempo (15 Maret 2007),
penyusun melihat bahwa Lexy memahami bahwa berbagai kejadian
bencana yang terjadi di Indonesia banyak yang disebabkan oleh
rusaknya tatanan kelembagaan-kelembagaan yang sudah ada sejak
dulu dalam masyarakat.
menggambarkan

bahwa

Walaupun tidak secara tersurat, Lexi


perusakan

hutan

terjadi

karena

kelembagaan dalam masyarakat yang semula sangat menjaga dan


memelihara kelestarian lingkungan hidup telah terkontaminasi oleh
faktor ekonomi yang menggiurkan yang ditawarkan oleh lembaga-

lembaga

yang

tingkat

persaingannya

sangat

tinggi

untuk

melakukan monopoli dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya


dengan penebangan-penebangan hutan secara liar tanpa dilakukan
reboisasi. Penyusun sependapat dengan Lexy. Berbagai kejadian
bencana yang terjadi seperti gunung meletus, tsunami dan gempa
adalah jenis-jenis bencana yang terjadi bukan karena ulah manusia
tetapi meningkatkan kapasitas dan kinerja kelembagaan dalam
mengantisipasi dan menanggulanginya akan dapat meminimalisir
kerugian yang timbul akibat bencana tersebut.
Terlepas dari nuansa dan pemahaman religius mengenai bencana
sebagai akibat kemurkaan Tuhan terhadap kesalahan manusia,
setiap umat manusia selayaknya berusaha mencari berbagai cara
untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, termasuk
masalah yang timbul akibat bencana. Kelembagaan tidak hanya
berfungsi untuk menangani dampak bencana tetapi juga untuk
mencegah terjadinya bencana.

Beberapa jenis bencana bahkan

terjadi karena banyak kelembagaan yang sudah tidak berfungsi lagi


dalam

masyarakat.

permukiman

di

Penebangan

daerah

bantaran

liar

atau

sungai

pembangunan

yang

kemudian

menyebabkan erosi dan banjir merupakan salah satu bukti bahwa


kelembagaan yang mengatur tata ruang permukiman, infrastruktur
wilayah dan kesejahteraan masyarakat tidak lagi berfungsi untuk
mencapai tujuan keuntungan semua pihak.
Kebijakan pembangunan yang ditetapkan pemerintah cenderung
mengarahkan

masyarakat

untuk

bersaing

dalam

sektor

perekonomian. Pemerintah selalu memotivasi masyarakat untuk


mendapatkan

keuntungan

dalam

tempo

yang

sesingkat-

singkatnya.

Berbagai

dikembangkan

dan

jenis

bibit

diberikan kepada

tanaman

umur

masyarakat.

pendek

Akibatnya,

banyak hutan yang seharusnya menjadi daerah cadangan air


berubah menjadi lahan tanaman palawija.

Masyarakat memang

mendapat keuntungan dari berbagai jenis tanaman umur pendek


tetapi lahan tersebut berubah menjadi lahan kritis yang diibaratkan
seperti bom waktu yang akan tiba saatnya longsor dan mungkin
menjadi bencana bagi penduduk di sekitarnya.

Di sisi lain,

pemerintah juga selama ini lebih berpihak kepada kelompokkelompok tertentu yang memiliki modal besar.

Pembangunan

ribuan villa di kawasan puncak tidak saja sekedar mencari


keuntungan yang sebesar-besarnya tetapi sudah menjadi ajang
persaingan

prestise

di

antara

pengembang

dan

kelompok

masyarakat kaya. Kelembagaan yang ada di kawasan puncak tidak


berdaya untuk menentang kebijakan pemerintah sehingga pada
akhirnya masyarakat hanya menjadi penonton kemewahan yang
terjadi di hadapannya, tinggal di rumah-rumah sederhana yang
terjepit di antara bangunan-bangunan megah dan pada saat terjadi
bencana, masyarakat miskin jugalah yang terkena naas dan paling
banyak menjadi korban. Sudah pernah terjadi bencana di kawasan
puncak dan sudah diketahui penyebabnya tetapi nampaknya
Kebijakan, Undang-undang dan Peraturan yang sudah ditetapkan
oleh Pemerintah masih belum dapat menghalau perilaku negatif
kelompok kaya dari lingkungan masyarakat miskin dan belum
memberi peluang kepada kelembagaan dalam masyarakat untuk
menyampaikan penolakannya.
Penyusun menilai bahwa kebijakan yang ditetapkan dan langkahlangkah yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Sleman tidak saja

dijiwai

oleh

Undang-undang

Pemerintahan

Daerah

yang

memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Daerah untuk


menyiapkan dan memberikan yang terbaik bagi daerahnya tetapi
mungkin juga berangkat dari rasa prihatin Pemerintah terhadap
kehidupan warganya, atau karena sudah pernah terjadi masa-masa
penantian akan meletusnya gunung Merapi sehingga kehadiran
Presiden di lokasi penampungan pengungsi menjadi suatu nota
persetujuan tidak tertulis yang tidak mungkin ditolak oleh DPRD
dan Panitia Anggaran untuk mengalokasikan dana kesiapsiagaan ? .
Apabila penyusun boleh memberi pertanyaan skeptis, apakah
semua persiapan yang dilakukan oleh Pemerintah Sleman memang
bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam
rangka meminimalisir kerugian akibat bencana yang akan terjadi
atau ada tujuan keuntungan lain di baliknya ?. Tidak ada yang
dapat menyangkal bahwa semenjak tsunami di Aceh pada tahun
2004,

segala

sesuatu

yang

berhubungan

dengan

kegiatan

kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana adalah komoditi


proyek yang tidak pernah dapat dibantah atau ditolak oleh pihak
manapun, termasuk DPRD dan Tim Anggaran.

Gunung Merapi

selama dinyatakan masih aktif pasti akan meletus, entah besok,


lusa atau bertahun-tahun yang akan datang. Kawasan di sekitar
gunung Merapi pasti akan terkena dampak dan mengalami kerugian
apabila

gunung

tersebut

meletus.

Apakah

tidak

sebaiknya

Pemerintah Sleman mulai menyadarkan masyarakatnya untuk


tinggal di daerah-daerah yang lebih aman, jauh dari jangkauan
letusan gunung Merapi ?.

Letusan gunung Merapi adalah jenis

bencana yang tidak pernah bisa diprediksi secara tepat dan


seberapa besar tingkat kerugian yang akan ditimbulkannya. Sudah

terjadi beberapa waktu yang lalu, pada saat status Merapi


dinyatakan Awas, Waspada dan Siaga, hampir sebagian besar
anggaran negara terserap untuk evakuasi warga, pemberian
bantuan bagi penduduk yang dipaksa mengungsi, disaster tour
(wisata bencana) oleh para pejabat negara dan pihak-pihak
tertentu,

pengadaan

pengusaha

dan

bantuan

yang

kegiatan-kegiatan

menguntungkan
lainnya

para

dengan

dalih

kesiapsiagaan. Tetapi yang terjadi kemudian, semua hiruk pikuk


kesiapsiagaan tersebut seperti hilang ditelan berita lain yang lebih
aktual karena ternyata Merapi belum juga meletus dan kita tidak
pernah tahu kapan akan meletus. Apabila Pemerintah Sleman telah
merintis

untuk

mengembangkan

kelembagaan

di

daerahnya

sebagai salah satu upaya penanggulangan bencana, apakah ada


yang dapat menjamin bahwa kebijakan tersebut tidak akan berubah
pada periode pemerintahan berikutnya ?. Pasca otonomi daerah,
banyak sekali peraturan daerah yang ditetapkan, dibatalkan atau
diperbaharui.

Peraturan

penanggulangan

bencana

Daerah
di

mengenai

Sleman

suatu

kesiapsiagaan
saat

bisa

saja

diperbaharui dengan peraturan yang tidak terlalu berpihak pada


kelembagaan.
Penyusun menilai bahwa Undang-undang Penanggulangan Bencana
yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah masih belum seimbang
untuk menangani berbagai kejadian bencana yang sudah maupun
yang mungkin akan terjadi di Indonesia. Pemerintah masih terpaku
ingatannya

terhadap

kerugian

akibat

bencana

yang

terjadi,

utamanya korban jiwa yang sangat besar jumlahnya pada bencana


di Aceh, Nias, Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya. Dalam
Undang-undang tersebut, Pemerintah masih menitikberatkan upaya

penanggulangan dan minimalisasi kerugian (harta benda dan


korban jiwa) dan belum memberikan cukup perhatian untuk
bencana-bencana yang timbul akibat ulah manusia. Bagian-bagian
yang menyatakan mengenai kelembagaan, penghargaan terhadap
budaya lokal, kearifan lokal dan proses penyadaran masyarakat
hanya disebutkan sepintas. Undang-undang tersebut lebih banyak
memberi ruang bagi pembentukan lembaga baru (dengan sejumlah
jabatan baru) untuk menanggulangi bencana, penyediaan barang
(alat evakuasi dan bantuan) untuk digunakan dalam menangani
korban bencana dan hanya memberi peringatan yang sepintas
pula

bagi

terjadinya

pengusaha
bencana.

yang

Sekalipun

menyebabkan
ada

kerawanan

pasal-pasal

khusus

atau
yang

memuat mengenai sanksi bagi pihak yang menyebabkan terjadinya


bencana, apakah sanksi tersebut dapat menghapuskan kedukaan
yang dialami masyarakat akibat kehilangan anggota keluarganya ?.
Apakah tidak lebih baik apabila Pemerintah lebih menekankan agar
pembangunan infrastruktur dilakukan seimbang dengan jumlah
penduduk dan tata ruang wilayah ?. Sebagai contoh, apakah kota
Jakarta

masih

perbelanjaan

memerlukan

yang

baru

pembangunan

dengan

jumlah

gedung-gedung
dan

kepadatan

penduduknya saat ini ?.


Bagaimanapun juga, penyusun mengakui bahwa Undang-undang
Penanggulangan Bencana sudah memberikan payung kecil untuk
pengembangan

kelembagaan

di

Indonesia

dalam

rangka

penanggulangan bencana. Tetapi Indonesia memerlukan payung


yang

lebih

besar

untuk

pengembangan

kelembagaan.

Pengembangan kelembagaan bukan hanya perlu dilakukan dan


ditingkatkan

untuk

menanggulangi

suatu

masalah

tetapi

pengembangan kelembagaan perlu dilakukan untuk mencegah dan


menghindari terjadinya masalah. Gunung Merapi memang pasti
akan meletus tetapi tidak setiap hari atau setiap tahun. Banjir di
Jakarta terjadi setiap tahun dan pasti akan terjadi lagi tahun yang
akan datang.

Undang-undang Penanggulangan Bencana sudah

memberikan peluang untuk pengembangan kelembagaan dalam


rangka menanggulangi dampak yang akan terjadi tetapi Undangundang tersebut belum sepenuh hati untuk memberi tempat bagi
kelembagaan untuk mencegah, menolak dan menghindari bencana
itu di tahun-tahun yang akan datang. Sudah pernah terjadi tsunami
di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1992 dan tidak ada yang akan
bisa mengetahui kapan bencana itu akan terjadi lagi, semoga tidak
akan pernah lagi,

tetapi

bencana

banjir

sungai

Benenai

di

Kabupaten Belu akan terus berlangsung seumur hidup bumi ini


selama Masyarakat masih tinggal di daerah pesisir yang datarannya
sama tinggi dengan permukaan air laut, oleh karena itu Pemerintah
sebaiknya

berupaya

agar

kelembagaan

yang

ada

di

dalam

masyarakat Kabupaten Belu berperan aktif dan dominan untuk


menyadarkan masyarakat agar memilih tinggal di daerah yang
relatif lebih aman.

Penyusun berharap agar langkah-langkah

bijaksana yang sudah ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Sleman


tidak hanya diikuti oleh Pemerintah Daerah lainnya maupun
Pemerintah Pusat tetapi kemudian dikaji lebih mendalam dan
dikembangkan lebih luas untuk tujuan murni pengembangan
kelembagaan

yang

membawa

keuntungan untuk semua pihak.

pengaruh

baik

dan

memberi

DAFTAR BACAAN
Uphoff; Local Institutional Development : An Analytical Sourcebook
with Cases; West Hartford; Kumarian Press; 1986
Arturo Israel; Pengembangan Kelembagaan : Pengalaman Proyekproyek Bank Dunia; LP3ES; Jakarta; 1990
Syahyuti;

Alternatif

Operasionalisasi

Konsep

dalam

Kelembagaan

Penelitian

Sosiologi;

untuk
Forum

Penajaman
Penelitian

Agroekonomi Vol. 21 Nomor 2; Desember 2003


Lexy Armanjaya; Manajemen Bencana ala Sleman; Koran Tempo;
Jakarta; 15 Maret 2007
Pemerintah Republik Indonesia; Undang-undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana; Fokusmedia; Bandung;
2007

Anda mungkin juga menyukai