Anda di halaman 1dari 2

7ySejarah dan Perkembangan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia baru diakui sebagai bahasa persatuan pada saat deklarasi sumpah pemuda 28
Oktober 1928 dan diakui secara yuridis pada 18 Agustus 1945 melalui UUD 1945. Tetapi
menurut sejarah, Bahasa Indonesia merupakan varian dan pengembangan dari bahasa melayu
yang telah dipakai sejak abad ke-7 tidak hanya di nusantara tapi juga hampir di seluruh asia
tenggara. Bukti awal pemakaian istilah Bahasa Melayu adalah dengan ditemukannya beberapa
prasasti di Palembang dan Bangka tertanggal tahun 683-688 M yang menggunakan bahasa
melayu kuno dan ditulis dengan aksara pallawa. Berikutnya ditemukan prasasti trengganu
tertanggal tahun 1303 yang berbahasa melayu klasik, dan perkembangan bahasa melayu sangat
pesat karena digunakan dan disebarkan oleh para pedagang yang berada seluruh kawasan malaka
dan juga karena perannya dalam penyebaran agama Islam di seluruh nusantara. Penggunaan,
penyebaran, dan perkembangan bahasa melayu yang sangat pesat terutama disebabkan oleh
kelenturan bahasa tersebut yang membuatnya mudah dimengerti dan ekspresif dengan toleransi
kesalahan sangat besar dan mudah menyerap kosakata dari bahasa lain terutama dari bahasa
Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Pada awal abad 20, bahasa melayu terpecah menjadi dua. Indonesia dibawah Belanda
mengadopsi ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901, sedangkan Malaysia dibawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson pada tahun 1904. Ejaan Van Ophuijsen disusun oleh Charles Van
Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Mamoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim
pada 1896 dan resmi diakui pada tahun 1901. Ejaan tersebut memiliki ciri-ciri penggunaan oe
seperti dalam boekoe, j seperti dalam rakjat, dj seperti dalam djakarta, tj seperti
dalam tjara, dan lainnya.
Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia mengalami dua kali perubahan dalam
ejaannya. Berikutnya adalah ejaan Republik, yang diresmikan pada 19 maret 1947 dan juga
dikenal dengan ejaan Soewandi, menggantikan ejaan Van Ophuijsen. Terdapat beberapa
perubahan pada ejaan Republik dibanding ejaan sebelumnya, diantaranya adalah huruf oe
diganti dengan huruf u seperti dalam buku, penggunaan angka 2 pada kata ulang seperti
dalam hati2, dan lainnya. Perubahan terakhir terjadi pada 16 Agustus 1972 dengan
diresmikannya ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, yang biasa disebut dengan EYD,
berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972. Kembali terdapat beberapa perubahan,
diantaranya adalah huruf j, dj, tj diganti dengan huruf y, j, c seperti dalam rakyat,
jakarta, cara, dan perubahan lainnya. Sebenarnya terdapat sebuah konsep ejaan lainnya yang
dikenal pada tahun 1959, yaitu ejaan Melindo (Melayu Indonesia), tetapi tidak jadi diresmikan.
Terdapat beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan Bahasa Indonesia.
Seperti yang telah disebut sebelumnya, pada awal abad ke-20, diresmikan ejaan Van Ophuijsen.
Pada tahun 1908, pemerintah kolonial mendirikan badan penerbit Commissie voor de
Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai
Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Layar Terkembang, Siti Nurbaya,
Salah Asuhan, dan lainnya, yang sangat berperan penting dalam perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia. Pada 16 Juni 1927, Jahja Datoek Kajo berpidato menggunakan Bahasa Indonesia
dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat), yang adalah pertama kalinya Bahasa Indonesia
digunakan pada forum resmi. Selanjutnya pada kongres sumpah pemuda 28 Oktober 1928,

Muhammad Yamin mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan tercantum
dalam dekalarasi. Majalah sastra Poedjangga Baroe pertama kali diterbitkan di Jakarta pada 1933
dan didirikan oleh para sastrawan seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn
Pane, yang sekarang dikenal sebagai angkatan pujangga baru. Pada 18 Agustus 1945, Bahasa
Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara berdasarkan pasal 36 UUD 1945. Kemudian
pada 19 Maret 1947, ejaan Republik diresmikan menggantikan ejaan Van Ophuijsen. Akhirnya
pada 16 Agustus 1972, Presiden Republik Indonesia saat itu, H. M. Soeharto, meresmikan EYD
melalui pidato kenegaraan dihadapan sidang DPR dan dikuatkan dengan Keputusan Presiden No.
57 tahun 1972.
Selain berbagai peristiwa penting diatas, Kongres Bahasa Indonesia telah tujuh kali
diselenggarakan dan menjadi ajang yang juga berperan dalam perkembangan Bahasa Indonesia
paska kemerdekaan. Kongres-kongres tersebut dihadiri oleh pakar-pakar bahasa tidak hanya dari
dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri, seperti dari Australia, Belanda, India, Jepang, Amerika
Serikat, dan juga negeri tetangga Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Seluruh kongres
tersebut telah menghasilkan keputusan-keputusan penting dan juga merupakan suatu usaha untuk
memperkuat kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di nusantara. Pada
Kongres Bahasa Indonesia V tahun 1988, dipersembahkan karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, yang masih tetap menjadi referensi sampai
sekarang.
Pada tahun 1993, Kongres Bahasa Indonesia VI diselenggarakan di Jakarta dan menghasilkan
usulan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi
Lembaga Bahasa Indonesia dan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia. Pada tahun
1998, Kongres Bahasa Indonesia VII diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta, dan
menghasilkan usulan agar dibentuk sebuah Badan Pertimbangan Bahasa.

Anda mungkin juga menyukai