Anda di halaman 1dari 41

BAB-2

STRATEGI DASAR PERENCANAAN PAJAK:


FORMULA UMUM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

alah satu teknik/pendekatan yang dapat digunakan untuk meminimisasi Beban Pajak Penghasilan (dalam
tahun berjalan) adalah dengan cara merujuk pada elemen-elemen atau formula umum penghitungan
Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebagai basis perhitungan beban atau pajak penghasilan yang terutang. Dari
sudut pandang perencanaan, minimisasi Penghasilan Kena Pajak dalam tahun berjalan dapat diinterpretasi
sebagai maksimisasi Penghasilan Kena Pajak di kemudian hari. Interpretasi demikian itu dapat dikatakan
konsisten dengan konsep dasar yang menyatakan bahwa pajak memang harus dibayar, tetapi kalau
dimungkinkan sebaiknya pajak ditunda atau ditangguhkan pembayarannya. Dengan menggunakan formula
umum perhitungan Penghasilan Kena Pajak sebagai kerangka acuannya, maka minimisasi Penghasilan Kena
Pajak atau pajak yang terutang dalam tahun berjalan, pada dasarnya dilakukan melalui upaya-upaya untuk
mengeksploitasi (maksimisasi, minimisasi, optimalisasi, pengaturan, atau pengelolaan) komponen atau
elemen-elemen Penghasilan Kena Pajak, dengan (a) mempertimbangkan peraturan perpajakan, (b) faktorfaktor internal dan eksternal yang mempengaruhi aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan perusahaan.
Secara lebih spesifik, proses minimisasi Penghasilan Kena Pajak atau pajak penghasilan yang terutang dalam
tahun berjalan dapat dilakukan sebagai berikut:
(i)

Mengidentifikasi dan memanfaatkan tarif pajak yang relevan dalam membuat keputusan-keputusan
menyangkut aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan;
(ii)
Memaksimumkan penghasilan yang dikenakan pajak tertentu dan penghasilan bukan obyek pajak;
(iii)
Maksimisasi biaya atau pengurang penghasilan dan menghindarkan terjadinya pengeluaran atau
biaya yang tidak diperkenankan untuk diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan;
(iv)
Memanfaatkan setiap fasilitas perpajakan, seperti: kredit pajak luar negeri, depresiasi yang
dipercepat, revaluasi aset, kompensasi kerugian).
(v)
Mendesain transaksi-transaksi bebas atau hemat pajak (merger atau akuisisi-bebas pajak, distribusi
dividen-non kas (barang atau properti dan saham), pembelian saham treasuri, kompensasi karyawan
berbentuk natura, kompensasi karyawan berbasis saham-ESOP, SAR).
FORMULA UMUM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Undang-undang Pajak Penghasilan membedakan wajib pajak ke dalam dua kategori: (i) wajib pajak dalam
negeri, dan (ii) wajib pajak luar negeri. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, wajib pajak
dalam negeri masih dibedakan lebih lanjut ke dalam tiga kategori: (i) wajib pajak yang menyelenggarakan
pembukuan, (ii) wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dan (iii) wajib pajak tertentu yang
diatur berdasar Peraturan Menteri Keuangan. Sesuai dengan penggolongan wajib pajak tersebut, penentuan
jumlah penghasilan kena pajak dilakukan berdasar: (i) metode pembukuanuntuk wajib pajak yang
menyelenggarakan pembukuan, (ii) menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) untuk
wajib pajak-orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dan (iii) menggunakan Norma
Penghitungan Khusus untuk wajib pajak tertentu. Demikian pula halnya dengan wajib pajak luar negeri.
Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, wajib pajak-luar negeri masih dibedakan lebih lanjut
ke dalam dua kategori: (i) wajib pajak yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, dan (ii) wajib pajak luar negeri lainnya.
Undang-undang Pajak Penghasilan meskipun tidak bertentangan dengan standar akuntansi keuangan
(prinsip akuntansi komersial Indonesia -istilah yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan)
namun mempunyai ketentuan menyangkut definisi, penggolongan, pengukuran, dan pengakuan terhadap
elemen-elemen laporan keuangan termasuk pengecualian; khususnya terhadap pendapatan dan biaya yang
dalam beberapa hal berbeda. Adanya perbedaan prinsip-prinsip di antara kedua disiplin akuntansi tersebut
berpotensi untuk membuat terjadinya perbedaan antara laporan keuangan komersial -sebagai hasil akhir dari
proses akuntansi berdasar prinsip akuntansi komersial Indonesia- dengan laporan keuangan fiskal -sebagai
hasil akhir dari proses akuntansi berdasar ketentuan perundang-undangan perpajakan. Secara garis besar,
perbedaan antara laporan keuangan pada kedua disiplin akuntansi dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori: (i) beda permanen (permanent differences), seperti misalnya: penghasilan bukan obyek pajak, biaya

tidak dapat dikurangkan, dan (ii) beda waktu (temporary differences) seperti misalnya: biaya/beban
depresiasi, deplesi, amortisasi aset tetap, nilai persediaan, piutang usaha. Meskipun demikian, baik Undangundang perpajakan maupun Standar Akuntansi Keuangan (prinsip akuntansi komersial Indonesia) keduanya
tidak menyarankan apalagi mengharuskan perusahaan sebagai wajib pajak menyelenggarakan dua sistem
akuntansi atau sistem pembukuan secara paralel. Justru sebaliknya, perusahaan seharusnya hanya
menyelenggarakan satu sistem akuntansi/pembukuan yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan atau
Prinsip Akuntansi komersial di Indonesia (tidak berarti bahwa perusahaan yang menyelenggarakan
pembukuan berdasar ketentuan Undang-undang Perpajakan tidak diperkenankan). Hal ini tampak pada
prosedur penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk tujuan pengisian Surat Pemberitahuan Pajak
PenghasilanTahunan (SPT PPh-Tahunan), yang pada prinsipnya harus didasarkan pada laporan keuangan
(khususnya laporan laba-rugi) komersialnya. Dengan berbasis pada laporan keuangan (laba-rugi) komersial
tersebut, secara garis besar prosedur penghitungan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan membuat
penyesuaian dan/atau koreksi fiskal (positif dan negatif) melalui dua tahap: (i) penghitungan penghasilan
neto fiskal, dan (ii) penghitungan penghasilan kena pajak. Setiap tahap atau prosedur penghitungan
Penghasilan Kena Pajak tersebut, secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Elemen-Elemen Penghasilan Kena Pajak

Sebagai basis perhitungan pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan sebagai wajib pajak dalam suatu
tahun pajak, Penghasilan Kena Pajak pada setiap tahun pajaknya terdiri dari dua komponen: (i) komponen
penghasilan neto fiskal, dan (ii) komponen kompensasi kerugian fiskal. Jadi, Penghasilan Kena Pajak dalam
suatu tahun pajak dapat dikhtisarkan sebagai berikut:
Elemen Penghasilan Neto Fiskal
(-)
(=)

Penghasilan Neto Fiskal


Kompensasi Kerugian Fiskal
Penghasilan Kena Pajak

Jumlah
A
(B)
C

Sebagai elemen Penghasilan Kena Pajak, penghasilan neto fiskal itu sendiri ditentukan berdasar informasi
akuntansi yang dihasilkan dari proses akuntansi berdasar prinsip akuntansi komersial Indonesia, dengan cara
menjumlahkan dan/atau mengurangkan saldo rekening-rekening terkait dengan elemen-elemen penghasilan
neto komersial, sebagaimana dijelaskan berikut ini.
A. Penghasilan Neto Fiskal
Pada dasarnya, penghasilan neto fiskal terdiri dari 5 komponen atau elemen sebagai berikut: (1) penghasilan
neto komersial, (2) penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan tidak termasuk obyek pajak, (3)
penyesuaian fiskal positif, (4) penyesuaian fiskal negatif, dan (5) fasilitas penanaman modal -sebagai
pengurang penghasilan neto. Secara matematis, saling hubungan antara penghasilan neto komersial dengan
penghasilan neto fiskal dapat dinyatakan sebagai berikut:

(-)
(+)
(-)
(-)
(=)

Elemen-Elemen Penghasilan Neto Fiskal


Penghasilan Neto Komersial
Penghasilan Dikenakan PPh Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak
Penyesuaian Fiskal Positif
Penyesuaian Fiskal Negatif
Fasilitas Penanaman Modal Pengurang Penghasilan Neto
Penghasilan Neto Fiskal

Jumlah
A
(B)
C
(D)
(E)
F

Perhatikan bahwa sebagai basis penghitungan penghasilan neto fiskal, pada dasarnya adalah data laporan
keuangan (laporan laba-rugi) atau jumlah penghasilan neto komersial, yang disesuaikan dengan 4 faktor
penyesuaian, yang meliputi: (i) penghasilan yang dikenakan pajak final dan penghasilan bukan obyek pajak,
(ii) penyesuaian/koreksi fiskal positif (penghasilan yang secara fiskal diakui lebih besar dibanding
penghasilan yang diakui secara komersial dan biaya yang secara fiskal diakui lebih kecil dibanding biaya
yang diakui secara komersial), (iii) penyesuaian/koreksi fiskal negatif (penghasilan yang secara fiskal diakui
lebih kecil dibanding penghasilan yang diakui secara komersial dan biaya yang secara fiskal diakui lebih
besar dibanding biaya yang diakui secara komersial), dan (iv) fasilitas penanaman modal berupa

pengurangan penghasilan neto. Secara ringkas, masing-masing elemen penghasilan neto fiskal dan faktor
penyesuaian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Penghasilan Neto Komersial
Sebagai komponen penghasilan neto fiskal, penghasilan neto komersial (dalam setiap tahun pajak) dari suatu
perusahaan terdiri dari dua sub-komponen: (i) penghasilan neto komersial-dalam negeri, dan (ii) penghasilan
neto komersial-luar negeri. Penghasilan neto komersial dalam negeri, pada dasarnya adalah penghasilan neto
menurut prinsip akuntansi komersial yang berlaku di Indonesia (PSAK). Penghasilan neto komersial dalam
negeri merupakan selisih lebih dari semua penghasilan yang diterima atau diperoleh melalui kegiatan usaha
dan dari di Indonesia, termasuk penghasilan yang dikenai PPh-Final dan penghasilan bukan obyek pajak, dan
pengeluaran atau biaya & kerugian yang diakui sesuai dengan standar akuntansi keuangan (prinsip akuntansi
komersial yang berlaku di Indonesia) yang diterapkan secara konsisten atau taat azas; sebelum dilakukan
penyesuaian fiskal berdasar ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Dengan demikian, penghasilan neto komersial dalam negeri dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam dua
kategori: (1) penghasilan neto dari usaha, dan (2) penghasilan neto dari luar usaha.
Penghasilan neto dari usaha merupakan selisih lebih peredaran usaha di atas harga pokok penjualan
dan biaya usaha lainnya (biaya administrasi & umum dan biaya distribusi/pemasaran). Di dalam laporan
laba-rugi komersial untuk perusahaan dagang dan manufaktur pada khususnya, penghasilan neto dari usaha
tersebut tidak lain adalah laba usaha. Sedang penghasilan neto dari luar usaha merupakan selisih lebih
penghasilan dari luar usaha di atas biaya & kerugian di luar usaha. Termasuk dalam kategori penghasilan dari
luar usaha, antara lain adalah: penghasilan dari penyertaan modal di Indonesia (bunga, dividen), penghasilan
dari penjualan/pengalihan dan persewaan harta, royalti dan penghasilan lainnya yang bukan merupakan
penghasilan dari kegiatan usaha atau tidak ada kaitannya dengan kegiatan usaha pokok perusahaan. Sedang
biaya dari luar usaha merupakan pengeluaran atau biaya yang berkaitan dengan atau secara langsung
berhubungan dengan aktivitas atau usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari
luar usaha.
Sub-komponen penghasilan neto komersial yang kedua adalah penghasilan neto komersial-luar negeri,
yang merupakan selisih lebih penghasilan di atas biaya dan/atau kerugian yang berasal dari: kegiatan usaha
di luar negeri, harta yang ditempatkan atau penyertaan modal di luar negeri, seperti: penghasilan bunga,
sewa, dividen, royalti. Secara matematis, elemen-elemen penghasilan neto komersial (dari dalam dan luar
negeri) dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Komponen Penghasilan Neto Komersial
(-)
(=)
(-)
(=)
(-)
(=)
(+)
(-)
(=)
(+)
(=)

Peredaran Usaha (Hasil Penjualan)


Krg: Retur dan potongan penjualan
Peredaran usaha (hasil penjualan) neto
Krg: Harga pokok penjualan
Laba kotor penjualan
Krg: Biaya usaha (biaya administrasi, umum, dan pemasaran)
Penghasilan neto dari usaha (laba usaha)
Penghasilan dari luar usaha
Biaya dari luar usaha
Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri
Penghasilan Neto Komersial Luar Negeri
Penghasilan Neto Komersial

Jumlah
A
(B)
C
(D)
E
(F)
G
H
(I)
J
K
L

Penghasilan Dikenakan PPh-Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak


Untuk menentukan penghasilan neto fiskal yang dikenai pajak penghasilan berdasar ketentuan umum (pasal17, Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2008), penghasilan neto komersial tersebut di atas (butir-A)
harus dikurangi dengan penghasilan dari sumber di Indonesia yang dikenai PPh-Final dan penghasilan yang
tidak termasuk Obyek Pajak.
Termasuk dalam kategori penghasilan yang dikenai PPh-Final, antara lain adalah: penghasilan jasa
giro/bunga deposito dan tabungan lainnya; penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa
efek; penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan. Sedang termasuk dalam kategori
penghasilan bukan Obyek Pajak di antaranya adalah: penghasilan dividen atau bagian laba yang diterima

oleh atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, dan BUMD dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi
persyaratan tertentu; iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun dan penghasilan dari modal yang
ditanamkan (dalam bidang-bidang tertentu) oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan; bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi; penghasilan yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia (yang memenuhi persyaratan tertentu).
Di dalam akuntansi keuangan -sistem akuntansi berdasar prinsip-prinsip akuntansi komersial di
Indonesia-, penghasilan yang dikenai PPh-Final biasanya diakui/dicatat sama seperti halnya penghasilan
yang pajaknya dipotong/dipungut oleh pihak lain (pemberi penghasilan) tetapi tidak bersifat final dan
penghasilan obyek pajak yang pajaknya tidak dipungut/dipotong oleh pihak lain, yaitu berdasar jumlah bruto
dengan mengakui beban pajak penghasilan yang dipotong/dipungut oleh pemberi penghasilan (seperti
misalnya penghasilan sewa, royalti, bunga/jasa giro bank). Sebagai contoh, pendapatan bunga/jasa giro bank
dalam bulan Januari sebesar Rp10,00 juta dan dikenai PPh-Final sebesar 20% dicatat sebagai berikut:
Tanggal
31 Januari

Rekening & Deskripsi


Bank
Beban Pajak Penghasilan (Final)
Penghasilan Bunga/Jasa Giro Bank

Debit
Rp8.000.000,00
2.000.000,00

Kredit
Rp10.000.000,00

Prosedur pencatatan semacam itu (berdasar jumlah bruto sebelum dikurangi pajak yang dipotong/dipungut
oleh pemberi penghasilan) akan sangat membantu di dalam mengidentifikasi keberadaan penghasilan yang
dikenai PPh-Final, yang harus dikurangkan dari penghasilan neto komersial untuk menentukan penghasilan
neto fiskal dalam setiap tahun pajaknya. Alternatifnya, perusahaan dapat mencatat dan menyajikannya di
dalam laporan laba-rugi komersial dalam jumlah neto sesudah pajak secara terpisah dari penghasilan obyek
pajak yang pajaknya tidak dipungut/dipotong oleh pihak lain dan penghasilan obyek pajak yang pajaknya
dipungut/dipotong PPh-Final oleh pihak lain.
Berbeda halnya dengan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak dan penghasilan obyek pajak
yang pajaknya dipungut/dipotong oleh pihak lain tetapi tidak bersifat final. Pencatatan dan penyajian (di
dalam laporan laba-rugi komersial) untuk penghasilan obyek pajak yang pajaknya dipungut/dipotong oleh
pihak lain sebaiknya dibedakan dengan pencatatan dan pelaporan atas penghasilan obyek pajak yang
dikenakanPPh-Final dan penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak.
Untuk penghasilan obyek pajak yang pajaknya dipungut/dipotong oleh pihak lain dan tidak bersifat
final selalu dicatat berdasar jumlah bruto (sebelum dikurangi pajak) dengan mengakui adanya Uang Muka
PPh (atau dapat juga didebit pada rekening Utang PPh). Karena bukan pajak final, beban pajak atas
penghasilan diperhitungkan kelak pada saat pembuatan SPT PPh-Tahunan, pada akhir tahun pajak berjalan.
Sebagai contoh, diterima penghasilan jasa konsultan sebesar Rp100,00 juta dipotong PPh-Tidak Final 1,5%
dicatat sebagai berikut:
Tanggal

Rekening & Deskripsi


Kas/Bank
Uang Muka (Utang) PPh-Psl --Penghasilan Jasa Konsultan

Debit
Rp98.500.000,00
1.500.000,00

Kredit
Rp100.000.000,00

Dengan demikian, dapat dengan mudah diidentifikasi perbedaannya dengan penghasilan obyek pajak yang
dipungut/dipotong pajak final. Prosedur pencatatan tersebut di atas identik dengan pencatatan atas angsuran
PPh Pasal-25 yang dibayar sendiri oleh perusahaan pada setiap bulan.
Keberadaan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak relatif tidak mudah untuk dapat
diidentifikasi berdasar informasi akuntansi yang dihasilkan dari sistem pembukuan berdasar prinsip
akuntansi komersial di Indonesia. Pertama, karena merupakan penghasilan bukan obyek pajak, maka tidak
ada beban pajak yang dipungut/dipotong oleh pihak lain (pemberi penghasilan). Kedua, pada umumnya
perusahaan menggunakan nama-nama akun/rekening yang sama untuk akuntansi komersial dan akuntansi
perpajakan. Sebagai contoh, suatu perseroan terbatas wajib pajak-badan dalam negeri menerima dividen kas
atau bagian laba atas penyertaan modalnya pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia akan dicatat sebagai berikut:

Tanggal
31 Des

Rekening & Deskripsi


Kas
Penghasilan Dividen

Debit
Rp10.000.000,00

Kredit
Rp10.000.000,00

Prosedur pencatatan tersebut di atas tidak berbeda halnya dengan penghasilan obyek pajak yang dikenai
pajak penghasilan berdasar tarif umum (Pasal-17), yang pajaknya tidak dipotong/dipungut oleh pihak lain
(pemberi penghasilan). Dalam kondisi demikian, maka Undang-undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya merupakan satu-satunya referensi untuk mengidentifikasi keberadaan penghasilan yang
tidak termasuk Obyek Pajak.
Sistem pemberian kode akun/rekening yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat membedakan
antara penghasilan obyek pajak dan penghasilan bukan obyek pajak, serta penghasilan yang dikenai PPhFinal dan penghasilan yang tidak dipungut PPh-Final akan sangat membantu penghitungan atau penentuan
penghasilan neto fiskal sebagai komponen penghasilan kena pajak.
Penyesuaian atau Koreksi Fiskal Positif
Penyesuaian fiskal positif adalah koreksi terhadap penghasilan neto komersial (butir-A), selain yang berupa
penghasilan yang dikenai PPh-Final dan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak; yang bersifat
menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya sebagai komponen penghasilan neto komersial.
Kecuali di dalam akuntansi komersialnya, perusahaan menerapkan metode-metode akuntansi terkait
dengan pengakuan pendapatan yang berbeda dengan metode akuntansi yang diperkenankan oleh ketentuan
perpajakan (seperti misalnya: penjualan konsinyasi, sales basis untuk transaksi penjualan angsuran, metode
kontrak selesai untuk kegiatan kontrak berjangka panjang), koreksi fiskal positif yang menambah
penghasilan neto komersial relatif jarang atau tidak banyak terjadi. Untuk transaksi penjualan konsinyasi,
dalam banyak hal ketentuan perpajakan akan mengakui penghasilan neto (hasil penjualan minus harga pokok
penjualan) dalam tahun terjadinya pengiriman/penyerahan barang kepada komisioner (consignee), sedang
menurut prinsip akuntansi komersial akan diakui kemudian setelah komisioner berhasil menjual barang
kepada konsumen. Demikian pula halnya pada transaksi penjualan angsuran dan kegiatan kontrak berjangka
panjang. Ketentuan perpajakan mengharuskan metode angsuran (installment basis) dan metode persentase
penyelesaian digunakan sebagai dasar pengakuan penghasilan neto dari transaksi penjualan angsuran dan
kontrak jangka panjang. Sedang prinsip akuntansi komersial memungkinkan perusahaan untuk menggunakan
metode penjualan (sales basis) dan metode kontrak selesai. Untuk tahun pajak berjalan, perbedaan metode
akuntansi tersebut bisa jadi berakibat pada terjadinya penghasilan neto komersial yang lebih kecil dibanding
penghasilan neto fiskalnya; tetapi bisa juga sebaliknya.
Berbeda halnya dengan penyesuaian fiskal positif yang bersifat menambah penghasilan neto komersial
karena berkurangnya biaya komersial (yang pada umumnya perusahaan relatif sering atau banyak terjadi).
Dua faktor membuat beberapa biaya komersial tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal, yaitu:
perbedaan dalam definisi atau penggolongan, dan metode pengukuran yang dianut antara disiplin akuntansi
komersial/keuangan dengan disiplin akuntansi perpajakan/ketentuan pajak. Di dalam sistem pembukuan
berdasar prinsip akuntansi komersial di Indonesia, tipe penyesuaian yang bersifat menambah penghasilan
neto melalui berkurangnya biaya komersial ini dapat diidentifikasi melalui saldo akun/rekening seperti
misalnya: (i) Biaya Tidak Dapat Dikurangkan, (ii) Prive Pemilik. Termasuk dalam tipe penyesuaian ini, di
antaranya adalah:
(i)

Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9 ayat (1) huruf b UU PPh (prive pemilik). Termasuk dalam
tipe penyesuaian ini adalah pengeluaran perusahaan biasanya terjadi pada perusahaan yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham- untuk pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan
pribadi, biaya perjalanan pribadi/keluarga, biaya premi asuransi pribadi/keluarga, dan pengeluaran
lainnya untuk kepentingan pribadi pemilik, pemegang saham, sekutu, atau anggota yang menurut
ketentuan perpajakan tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal. Tipe penyesuaian atau koreksi
fiskal positif ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila prinsip akuntansi komersial diterapkan
sebagaimana mestinya (patuh pada konsep dasar entitas). Prinsip akuntansi komersial mengakui
pengeluaran perusahaan untuk kepentingan pribadi pemilik sebagai Prive Pemilik, sebagai
antisipasi dari bagian laba (profit sharing) sehingga diperlakukan sebagai pengurang modal. Namun
demikian, karena personalia manajemen pada umumnya perusahaan yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham adalah juga para pemilik perusahaan (manajer-pemilik); maka besar kemungkinan

(ii)

(iii)

(iv)

(v)

konsep dasar entitas tidak mudah untuk diterapkan (sepenuhnya). Oleh karena itu, penegasan
terhadap tipe penyesuaian fiskal positif ini dianggap perlu.
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9, ayat (1) huruf c UU-PPh (bukan biaya fiskal). Termasuk
dalam tipe penyesuaian ini adalah pembentukan atau pemupukan/penyisihan (dana) cadangan yang
menurut ketentuan perpajakan tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal, kecuali untuk jenisjenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang memerlukan adanya cadangan untuk menutup
beban/kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, seperti misalnya:
(a) cadangan piutang tak tertagih, untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang (accounts receivable factoring),
(b) cadangan untuk usaha asuransi, termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial,
(c) cadangan penjaminan, untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
(d) cadangan biaya reklamasi,untuk usaha pertambangan,
(e) cadangan biaya penanaman kembali,untuk usaha kehutanan, dan
(f) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri, untuk usaha
pengolahan limbah industri.
Di dalam akuntansinya, terhadap jenis-jenis usaha atau perusahaan tertentu tersebut ketentuan
perpajakan memperkenankan untuk mengakui biaya/kerugian terkait -sesuai dengan karakteristik
usahanya- berdasar metode cadangan (taksiran); meskipun dibatasi jumlah maksimumnya. Sedang
untuk perusahaan atau jenis-jenis usaha lainnya, metode cadangan demikian itu tidak diperkenankan
untuk dipakai sebagai dasar pengakuan biaya atau kerugian terkait. Ketentuan perpajakan demikian
itu berbeda dari prinsip akuntansi komersial di Indonesia. Sebagai contoh, kerugian piutang pada
perusahaan dagang dan industri manufaktur menurut ketentuan perpajakan harus diakui berdasar
metode penghapusan langsung (jumlah piutang yang sesungguhnya tidak tertagih).
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9, ayat (1) huruf e, UU-PPh (bukan biaya fiskal). Sesuai
dengan prinsip taxability and deductibility, ketentuan perpajakan tidak memperkenankan imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit
in-kind) untuk diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto. Menurut
ketentuan Pasal-4 ayat (3) huruf d UU-PPh- imbalan berupa natura/kenikmatan yang diberikan
kepada karyawan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan, sehingga bagi Wajib Pajak yang
memberikan imbalan berupa natura/kenikmatan juga tidak dapat dibebankan/diakui sebagai biaya
fiskal atau pengurang penghasilan bruto), kecuali:
(a) pemberian natura berupa penyediaan makanan/minuman di tempat kerja bagi seluruh karyawan,
(b) pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpencil yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan,
(c) pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan yang mengharuskannya (seperti
misalnya: pakaian & peralatan khusus untuk keselamatan kerja, pakaian seragam untuk petugas
keamanan, antar-jemput karyawan, akomodasi untuk awak kapal).
Penyesuaian berdasar ketentuan pasal-9, ayat (1) huruf f UU-PPh (profit sharing). Pembayaran
gaji, honorarium dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan/jasa, bunga, sewa, royalti yang
diberikan kepada pemilik perusahaan dan/atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa (sesuai
dengan ketentuan Pasal-18, ayat 4 UU PPh) dalam jumlah yang melebihi batas kewajaran tidak
boleh diakui/dibebankan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto. Batas kewajaran itu
sendiri didasarkan pada standar yang berlaku umum untuk pekerjaan/jasa dengan kualifikasi yang
sama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang independen atau tidak mempunyai hubungan istimewa.
Selisih lebih jumlah yang melebihi batas kewajaran tersebut harus diperlakukan sebagai bagian dari
distribusi atau pembagian laba (profit sharing).
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9 ayat (1) huruf g UU-PPh (bukan biaya fiskal). Sesuai
dengan prinsip taxability and deductibility, bantuan atau sumbangan dan hibah yang diberikan oleh
perusahaan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan tidak mempunyai hubungan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan tidak boleh
diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto. Menurut ketentuan Pasal 4, ayat
(3) huruf a UU-PPh- bantuan atau sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh badan

(vi)
(vii)

(viii)

(ix)

(x)

(xi)

keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak terdapat hubungan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; sehingga bagi
Wajib Pajak pemberi bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan juga tidak dapat diakui/dibebankan
sebagai biaya fiskal. Sedang zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal
(dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) penghasilan yang dikenai zakat merupakan Obyek Pajak
yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan, dan (2) pembayaran zakat dilakukan kepada Badan Amil
Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan pembentukannya oleh
Pemerintah. Namun zakat atas harta dan zakat atas penghasilan yang tidak memenuhi persyaratan
tersebut tidak dapat diakui atau dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto atau harus
diperlakukan sama seperti halnya bantuan atau sumbangan (pengurang modal).
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf h UU-PPh (bukan biaya fiskal.). Pajak
Penghasilan badan dan kredit pajak tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal (merupakan
pengurang laba yang menjadi haknya para pemilik perusahaan).
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf j UU-PPh (bukan biaya fiskal). Sesuai
dengan prinsip taxability and deductibility, pembayaran gaji kepada para anggota perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi tidak dapat diakui/dibebankan sebagai biaya fiskal. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf
i UU-PPh, gaji yang diterima oleh para anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi bukan merupakan penghasilan;
sehingga bagi perusahaan yang memberikan gaji juga bukan merupakan biaya fiskal (distribusi laba
atau profit sharing).
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k UU-PPh (bukan biaya fiskal). Sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan tidak dapat diperlakukan sebagai
biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto (sehingga praktis merupakan pengurang modal).
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-11 dan 11A UU-PPh (selisih lebih biaya penyusutan harta
tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud sebagai biaya komersial di atas statusnya
sebagai biaya fiskal). Penghasilan neto komersial merupakan penghasilan bruto komersial setelah
dikurangi dengan, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya
penyusutan harta tetap berwujud dan harta tak berwujud secara komersial. Biaya penyusutan harta
tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud secara komersial tersebut bisa jadi terlalu besar
jumlahnya apabila dibandingkan dengan biaya fiskal terkait menurut ketentuan Pasal-11 dan 11A
UU-PPh). Oleh karena itu, untuk sampai pada penghasilan neto fiskal; penghasilan neto komersial
harus ditambah dengan selisih lebih biaya penyusutan dan amortisasi secara komersial di atas biaya
penyusutan dan amortisasi menurut ketentuan fiskalnya.
Penyesuaian berdasar ketentuan umum Pasal-4 dan Pasal-6 UU-PPh. Termasuk dalam tipe
penyesuaian ini adalah: (i) adanya penghasilan Obyek Pajak yang dikenai PPh tidak bersifat final
yang tidak diakui secara komersial, (ii) adanya biaya-biaya atau kerugian lainnya yang diakui secara
komersial tetapi tidak dapat diakui secara fiskal, dan (iii) adanya kerugian usaha di luar negeri baik
melalui bentuk usaha tetap (BUT) maupun bukan BUT, setelah dilakukan penyesuaian fiskal positif
dan negatif.
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat pengakuan biaya dalam hal-hal
tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah. Tipe penyesuaian
ini diperlukan apabila perusahaan di dalam mengakui biaya secara komersial dalam hal-hal tertentu
atau bagi wajib pajak tertentu berbeda waktu dengan pengakuannya secara fiskal, dan berakibat
penghasilan neto komersial lebih rendah dibanding penghasilan neto fiskalnya; seperti misalnya
pengakuan biaya terkait penghasilan untuk Bank Yang BerupaBunga Kredit Non-Performing (Surat
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-184/PJ/2002 dan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor: SE-08/PJ.42/2002).

Penyesuaian atau Koreksi Fiskal Negatif.

Peyesuaian/koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (diluar unsur
penghasilan yang dikenai PPh-Final dan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak) yang bersifat
mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya komersial.
Kecuali di dalam akuntansi komersialnya, perusahaan menerapkan metode-metode akuntansi terkait
dengan pengakuan pendapatan yang berbeda dengan metode akuntansi yang diperkenankan oleh ketentuan
perpajakan (seperti misalnya: penjualan konsinyasi, sales basis untuk transaksi penjualan angsuran, metode
kontrak selesai untuk kegiatan kontrak berjangka panjang), koreksi fiskal negatif yang mengurangi
penghasilan neto komersial relatif jarang atau tidak banyak terjadi. Untuk transaksi penjualan konsinyasi,
dalam banyak hal ketentuan perpajakan akan mengakui penghasilan neto (hasil penjualan minus harga pokok
penjualan) dalam tahun terjadinya pengiriman/penyerahan barang kepada komisioner (consignee), sedang
menurut prinsip akuntansi komersial akan diakui kemudian setelah komisioner berhasil menjual barang
kepada konsumen, atau ketentuan perpajakan mengakui penghasilan lebih awal daripada metode akuntansi
komersial. Demikian pula halnya pada transaksi penjualan angsuran dan kegiatan kontrak berjangka panjang.
Ketentuan perpajakan mengharuskan metode angsuran (installment basis) dan metode persentase
penyelesaian digunakan sebagai dasar pengakuan penghasilan neto dari transaksi penjualan angsuran dan
kontrak jangka panjang, sedang prinsip akuntansi komersial memungkinkan perusahaan untuk menggunakan
metode penjualan (sales basis) dan metode kontrak selesai (terdapat peluang ketentuan perpajakan mengakui
penghasilan lebih awal daripada prinsip akuntansi komersial). Untuk tahun pajak berjalan, perbedaan metode
akuntansi tersebut ada kemungkinan berakibat pada terjadinya penghasilan neto komersial yang lebih besar
dibanding penghasilan neto fiskalnya.
Demikian pula halnya dengan penyesuaian fiskal negatif yang bersifat mengurangi penghasilan neto
komersial karena bertambahnya biaya-biaya komersial; pada umumnya perusahaan relatif jarang atau tidak
banyak terjadi). Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya biaya fiskal senantiasa dapat diakui sebagai
biaya komersial. Justru sebaliknya, terdapat beberapa jenis biaya komersial yang tidak dapat diakui sebagai
biaya fiskal. Sebagai akibatnya, tidak mudah untuk mengidentifikasi keberadaan tipe penyesuaian fiskal
negatif sebagai akibat dari bertambahnya biaya komersial. Oleh karena itu, Undang-undang atau ketentuan
perpajakan merupakan satu-satunya rujukan yang harus digunakan didalam mengidentifikasi keberadaan tipe
penyesuaian/koreksi fiskal negatif yang berakibat pada bertambahnya biaya komersial.
Di antara tipe penyesuaian/koreksi fiskal negatif yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau
menambah biaya-biaya tersebut adalah:
(i)

(ii)

(iii)

Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, dan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat pengakuan penghasilan dalam hal-hal
tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah. Tipe penyesuaian
ini diperlukan apabila perusahaan didalam mengakui penghasilan secara komersial dalam hal-hal
tertentu atau bagi wajib pajak tertentu berbeda waktu dengan pengakuannya secara fiskal, dan
berakibat penghasilan neto komersial lebih besar dibanding penghasilan neto fiskalnya; seperti
misalnya pengakuan penghasilan dari/berupa: (1) Pengalihan Harta/Agunan Berupa Tanah dan/atau
Bangunan Bagi Wajib Pajak Tertentu (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP141/PJ/1999); (2) Keuntungan Karena Pembebasan Utang Yang Diperoleh Debitur Tertentu Dari
Perjanjian Restrukturisasi Utang Usaha (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP563/PJ/2001); (3) Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non-Performing (Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor: KEP-184/PJ/2002 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE08/PJ.42/2002).
Penyesuaian berdasar ketentuan umum Pasal-6 UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya. Tipe
penyesuaian/koreksi fiskal negatif ini diperlukan apabila terdapat biaya-biaya dan kerugian lainnya,
yang tidak diakui secara komersial namun dapat diakui secara fiskal (termasuk dalam hal ini
perbedaan metode akuntansi yang mengacu pada prinsip akuntansi komersial dengan metode
akuntansi yang diperkenankan oleh ketentuan perpajakan, seperti misalnya metode perhitungan
harga pokok penjualan dan penilaian persediaan, metode pengakuan kerugian piutang).
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-11 dan 11A UU-PPh (selisih lebih biaya penyusutan harta
tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud sebagai biaya fiskal di atasstatusnya sebagai
biaya komersial). Penghasilan neto komersial merupakan penghasilan bruto komersial setelah
dikurangi dengan, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya
penyusutan harta tetap berwujud dan harta tak berwujud secara komersial. Biaya penyusutan harta
tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud secara komersial tersebut bisa jadi kurang
jumlahnya apabila dibandingkan dengan biaya fiskal terkait menurut ketentuan Pasal-11 dan 11A

UU-PPh). Oleh karena itu, untuk sampai pada penghasilan neto fiskal; penghasilan neto komersial
harus dikurangi dengan selisih lebih biaya penyusutan dan amortisasi secara komersial di atas biaya
penyusutan dan amortisasi menurut ketentuan fiskalnya.
Fasilitas Pajak Pengurang Penghasilan Neto (FPPN)
Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-31A UU-PPh-Fasilitas Penanaman Modal Berupa Pengurangan
Penghasilan Neto). Ketentuan Pasal-31A UU PPh ayat (1) menyatakan bahwa kepada Wajib Pajak yang
melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk: (1)
pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman modal yang dilakukan, (2)
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, (3) kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari
10 tahun, (4) pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10%,
kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah. Fasilitas pajak
terkait dengan penanaman modal dibidang usaha tertentu atau di daerah tertentu yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional berupa pengurangan penghasilan neto, tidak dapat dipersamakan dengan: (i)
Penghasilan Yang Dikenai PPh Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak, dan (ii) penyesuaian
Fiskal Negatif. Penghasilan Yang Dikenai PPh-Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak serta
penyesuaian Fiskal Negatif dikurangkan dari penghasilan neto komersial di dalam penghitungan penghasilan
neto fiskal, karena sudah diakui sebagai elemen penghasilan neto komersial (penghasilan dan/atau biaya
komersial) namun bukan merupakan elemen penghasilan dan biaya fiskal. Sedang proporsi atau bagian dari
penanaman modal yang diperlakukan sebagai pengurang penghasilan neto merupakan fasilitas perpajakan,
yang tidak/belum diakui sebagai elemen penghasilan dan/atau biaya di dalam akuntansi komersialnya.
Sebagai fasilitas perpajakan, proporsi atau bagian dari penanaman modal yang dapat dikurangkan dari
penghasilan neto tidak mempengaruhi nilai perolehan aset/investasi terkait sebagai basis perhitungan beban
penyusutan/amortisasinya di kemudian hari, nilai kewajiban/utang, penghasilan/laba, dan biaya/kerugian.
Dengan komponen dari setiap variabel penghasilan neto fiskal (PNF) sebagaimana dikemukakan
tersebut di atas, secara garis besar; prosedur penentuan atau penghitungan penghasilan neto fiskal (PNF)
yang dimulai dari peredaran usaha atau hasil penjualan dapat diikhtisarkan pada tabel-1. Perhatikan bahwa
variabel penghasilan neto komersial (PNK) terdiri dari beberapa komponen penghasilan neto dari usaha atau
kegiatan dan dari luar usaha, baik yang berasal dari sumber di dalam maupun sumber di luar negeri.
Tabel-1: Prosedur Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal
No
1

2
3
4
5

Deskripsi
Peredaran usaha
(-) Harga pokok penjualan
(-) Biaya usaha lainnya
(=) Penghasilan neto dari usaha (D = A B C)
Penghasilan dari luar usaha
(-) Biaya dari luar usaha
(=) Penghasilan neto dari luar usaha (G = E F)
Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri (H = D + G)
(+) Penghasilan Neto Komersial Luar Negeri
(=) Jumlah Penghasilan Neto Komersial (J = H + I)
(-) Penghasilan Dikenai PPh Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak
Penyesuaian Fiskal Positif (berdasar ketentuan UU PPh):
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf b, (prive pemilik)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf c, (pembentukan/pemupukan dana cadangan)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf e, (imbalan berupa natura/kenikmatan)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf f, (Imbalan di luar batas kewajaran)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf g, (bantuan/sumbangan dan harta hibahan)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf h, (PPh badan dan kredit pajak)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf j, (gaji, bagian laba yang diterima anggota pemilik)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf k, (sanksi berupa bunga, denda, kenaikan pajak terutang)
(+) Penyesuaian selisih biaya penyusutan dan amortisasi aset tetap (komersial > fiskal)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal-7 PP Nomor 138 tahun 2000, DJP Nomor KEP-184/PJ/2002 (biaya tertentu)
(+) Penyesuaian berdasar Pasal 4 dan Pasal-6 UU PPh (penghasilan Obyek Pajak Final, bukan biaya fiskal)
( =) Jumlah penyesuaian fiskal positif (L= jumlah 1 s/d 11)
Penyesuaian Fiskal Negatif (berdasar ketentuan UU PPh):
(-) Penyesuaian berdasar Pasal-7 PP No: 138 Tahun 2000 (penghasilan dalam hal dan untuk WP tertentu)
(-) Penyesuaian berdasar Pasal-6 UU PPh (bukan biaya/kerugian fiskal tetapi dapat diakui secara komersial)

Jumlah
A
(B)
(C)
D
E
(F)
G
H
I
J
(K)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
L
(1)
(2)
-

7
8

(-) Penyesuaian selisih kurang biaya penyusutan dan amortisasi aset tetap (fiskal > komersial)
(=) Jumlah penyesuaian fiskal negatif [M = Jumlah (1) s/d (3)]
(-) Fasilitas penanaman modal berupa pengurangan penghasilan neto
(=) Penghasilan Neto Fiskal [O = J K + L M N]

(3)
-

(M)
(N)
O

Dengan menggunakan variabel-variabel yang terdirii: (i) PNF -untuk menyatakan Penghasilan Neto
Fiskal, (ii) PNK -untuk menyatakan Penghasilan Neto Komersial, (iii) PT dan PBOP masing-masing untuk
menyatakan Penghasilan Tertentu Dikenai PPh Final dan Penghasilan Bukan Obyek Pajak, (iv) PFP -untuk
menyatakan Penyesuaian Fiskal Positif, (v) PFN -untuk menyatakan Penyesuaian Fiskal Negatif, dan (vi)
FPPN -untuk menyatakan Fasilitas Pajak berupa Pengurang Penghasilan Neto; maka prosedur penentuan
atau penghitungan Penghasilan Neto Fiskal (PNF) yang berbasis Penghasilan Neto Komersial (PNK)
sebagaimana dikemukakan di atas, secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
Penghasilan Neto Fiskal (PNF) = (PNK) (PT + PBOP) + (PFP) (PFN) (FPPN)

B. Kompensasi Kerugian Fiskal


Komponen atau elemen penghasilan kena pajak yang kedua adalah kompensasi kerugian fiskal. Undangundang perpajakan memang menentukan perhitungan pajak penghasilan dilakukan pada setiap tahun pajak,
namun tidak berarti mengabaikan penghasilan (atau lebih tepatnya, kerugian yang terjadi) pada tahun-tahun
pajak sebelumnya. Pemungutan pajak penghasilan tidak cukup hanya dikenakan/dipungut apabila
perusahaan memperoleh penghasilan dan tidak dikenakan/dipungut manakala perusahaan menderita kerugian
pada setiap tahun pajaknya. Penghasilan merupakan suatu aliran yang terjadi dari sejak suatu perusahaan
didirikan atau memulai usahanya sampai dengan kelak pada saat perusahaan dibubarkan atau dilikuidasi.
Pajak penghasilan harus dikenakan hanya atas penghasilan yang sesuai dengan definisi yang dianut atau
ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu- setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak, dengan nama
dan dalam bentuk apapun. Pemungutan/pengenaan pajak penghasilan yang mengabaikan atau tidak
mempertimbangkan adanya kerugian yang terjadi pada tahun-tahun pajak sebelumnya (sehingga tidak
memberikan fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya) berpotensi untuk
membuat pajak atas penghasilan berubah sifatnya menjadi pajak atas modal. Pajak penghasilan harus sedapat
mungkin dibedakan dari pajak-pajak yang lain, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan
atas barang mewah (PPn-BM), serta pajak atas modal; agar tidak terjadi apa yang disebut pajak ganda
(double taxation).
Contoh-1: Kompensasi Kerugian

Suatu perusahaan wajib pajak badan dalam negeri didirikan dengan modal yang (sudah) ditempatkan dan
disetor sebesar Rp25,00 milyar pada awal tahun 2008. Dalam kurun waktu 5 tahun pertama, perusahaan
memperoleh penghasilan neto (laba/rugi fiskal) sebesar Rp5,00 milyar yang terdiri dari:
Tahun
Penghasilan Neto (Laba/Rugi) Fiskal
2008
Penghasilan Neto (Laba) Fiskal
2009
Penghasilan Neto (Laba) Fiskal
2010
Penghasilan Neto (Rugi) Fiskal
2011
Penghasilan Neto (Rugi) Fiskal
2012
Penghasilan Neto (Laba) Fiskal
Jumlah Penghasilan Neto (Laba/Rugi) Fiskal

Jumlah
Rp2.000.000.000,00
2.500.000.000,00
(750.000.000,00)
(250.000.000,00)
1.500.000.000,00
Rp5.000.000.000,00

Dengan asumsi dalam kurun waktu 5 tahun tersebut perusahaan tidak mendistribusikan laba kepada
para pemiliknya, maka sesuai dengan definisi penghasilan yang dianut oleh Undang-undang Pajak
Penghasilan; modal perusahaan di dalam neraca pada akhir tahun 2012 harus berjumlah Rp28,75 milyar
yang terdiri dari: (i) Modal Awal Rp25,00 milyar, dan (ii) Sisa Laba Tahun Lalu (Laba yang Ditahan) sebesar
Rp3,75 milyar [(1 0,25) X Rp5,00 milyar], sebagaimana tampak pada tabel berikut.
Modal pada awal tahun 2008

Rp25.000.000.000,00

10

(+) Sisa Laba Tahun-Tahun Lalu [(1 0,25) X (Rp6,00 milyar Rp1,00 milyar)]
(=) Modal pada akhir tahun 2012

3.750.000.000,00
Rp28.750.000.000,00

Perubahan-perubahan yang terjadi pada saldo modal sehingga pada akhir tahun 2012 berjumlah Rp28,75
milyar tersebut dapat diikhtisarkan sebagai berikut (rupiah dalam jutaan):
Deskripsi
Akhir 2008
Akhir 2009
Akhir 2010
Modal awal
25.000,00
25.000,00
25.000,00
Laba Ditahan (*)
1.500,00
3.375,00
3.375,00
Rugi Thn Lalu Belum Dikompensasi
0,00
0,00
(750,00)
Rugi Thn Lalu Tdk Dpt Dikompensasi
0,00
0,00
0,00
Jumlah modal akhir
Rp26.500,00
Rp28.375,00
Rp37.625,00
(*) Laba ditahan merupakan akumulasi jumlah neto laba fiskal sesudah pajak

Akhir 2011
25.000,00
3.375,00
(1.000,00)
0,00
Rp27.375,00

Akhir 2012
25.000,00
3.750,00
0,00
0,00
Rp28.750,00

Pengenaan pajak penghasilan tanpa mempertimbangkan kerugian fiskal pada tahun-tahun pajak
sebelumnya (laba fiskal dikenakan pajak dan rugi fiskal tidak dikenakan pajak, atau tanpa fasilitas
kompensasi kerugian) akan membuat modal perusahaan di dalam neraca pada akhir tahun 2012 menjadi
hanya sebesar Rp28,50 milyar yang terdiri dari:
Modal pada awal tahun 2008
(+) Sisa Laba Tahun-Tahun Lalu [(1 0,25) X (Rp6,00 milyar) (Rp1,00 milyar)]
(=) Modal pada akhir tahun 2012

Rp25.000.000.000,00
3.500.000.000,00
Rp28.500.000.000,00

Saldo modal sebesar Rp28,50 milyar pada akhir tahun 2012 tersebut sama halnya dengan perusahaan
dikenakan pajak penghasilan sebesar 25% atas laba fiskal per tahun dan pajak atas modal pada awal tahun
2008 sebesar 4% (dalam kurun waktu 5 tahun) sebagai berikut:
Modal pada awal tahun 2008
(+) Sisa Laba Tahun-Tahun Lalu [(1 0,25) X Rp6,00 milyar]
(-) Pajak Atas Modal (0,04 X Rp25,00 milyar)
(=) Modal pada akhir tahun 2012

Rp25.000.000.000,00
4.500.000.000,00
(1.000.000.000,00)
Rp28.500.000.000,00

Salah satu cara untuk menghindarkan atau mencegah terjadinya kondisi semacam itu (inkonsistensi dengan
definisi penghasilan dan perubahan sifat pajak atas penghasilan menjadi pajak atas modal), Undang-undang
Pajak Penghasilan memberikan fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian yang diderita oleh perusahaan
pada tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, untuk memberikan kepastian; Undang-undang Pajak
Penghasilan juga membatasi jangka waktu kompensasi kerugian (menurut ketentuan umum Pasal-6 ayat (2)
UU PPh selama 5 tahun berturut-turut yang dimulai pada tahun pajak berikut setelah terjadinya kerugian,
atau lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun untuk perusahaan yang memperoleh fasilitas penanaman
modal-ketentuan Pasal 31 A ayat (1) huruf c).
Dengan fasilitas kompensasi kerugian (fiskal) demikian itu, untuk kurun waktu 5 tahun tersebut pada
akhirnya perusahaan akan dikenakan pajak atas penghasilan hanya berdasar penghasilan kena pajak sebesar
Rp5,00 milyar (laba fiskal Rp6,00 milyar minus rugi fiskal Rp1,00 milyar). Sebagai komponen penghasilan
kena pajak, kompensasi kerugian dikurangkan dari penghasilan neto (laba fiskal) dalam tahun-tahun pajak
berikutnya sebagai berikut.
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah

Penghasilan Neto Fiskal


Rp2.000.000.000,00
2.500.000.000,00
(750.000.000,00)
(250.000.000,00)
1.500.000.000,00
Rp5.000.000.000,00

Kompensasi Kerugian
0,00
0,00
0,00
0,00
(Rp1.000.000.000,00)
(Rp1.000.000.000,00)

Penghasilan Kena Pajak


Rp2.000.000.000,00
2..500.000.000,00
0,00
0,00
500.000.000,00
Rp5.000.000.000,00

Perhatikan bahwa Penghasilan Kena Pajak sebagai basis perhitungan beban dan/atau pajak penghasilan yang
terutang dalam tahun pajak berjalan berjumlah sama dengan Penghasilan Neto atau Laba Fiskal minus
Kompensasi Kerugian Fiskal. Dalam tahun pajak di mana penghasilan neto fiskal negatif (mengalami
kerugian fiskal dalam tahun 2010 dan 2011) memang perusahaan tidak dikenakan pajak penghasilan, karena
penghasilan kena pajaknya nihil (bahkan negatif). Namun dengan fasilitas kompensasi kerugian, pajak
penghasilan pada tahun pajak berikut setelah terjadinya kerugian fiskal tidak dikenakan terhadap seluruh

11

penghasilan neto atau laba fiskalnya, tetapi hanya berdasar penghasilan kena pajak (setelah terlebih dahulu
dikurangi dengan kompensasi kerugian tahun 2010 dan tahun 2011). Sebagai akibatnya, perusahaan hanya
dikenakan pajak penghasilan dalam tiga tahun pajak (tahun 2008, 2009, dan tahun 2012) dan atas dasar
penghasilan kena pajak sebesar Rp5,00 milyar. Dengan variabel PNF untuk menyatakan Penghasilan Neto
atau Laba Fiskal, dan KKF untuk Kompensasi Kerugian Fiskal, maka secara matematis Penghasilan Kena
Pajak (PKP) pada setiap tahun pajaknya dapat dinyatakan sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak (PKP) = (PNF) (KKF)

Sisa Kerugian Tahun Lalu Tidak Dapat Dikompensasikan


Pembatasan jangka waktu kompensasi kerugian bisa membuat perusahaan kehilangan peluang atau tidak bisa
mengompensasikan seluruh kerugian fiskalnya. Kerugian fiskal tahun 2010 sebesar Rp750,00 juta tersebut
misalnya, tidak seluruhnya dapat dikompensasikan apabila dalam tahun 2011 sampai dengan tahun 2015
perusahaan hanya memperoleh laba fiskal kurang dari Rp750,00 juta. Demikian pula halnya dengan kerugian
fiskal sebesar Rp250,00 juta dalam tahun 2011, tidak seluruhnya dapat dikompensasikan apabila dalam tahun
2012 hingga 2015 perusahaan hanya memperoleh laba fiskal kurang dari Rp750,00 juta dan dalam tahun
2016 hanya memperoleh laba fiskal kurang dari Rp250,00 juta. Ketidakmampuan perusahaan untuk
mengompensasikan seluruh kerugian fiskalnya dalam batas waktu yang ditetapkan akan berakibat pada
berkurangnya modal perusahaan (dimulai dari sisa laba tahun lalu, hingga modal awal atau modal dasarnya).
Adanya sisa kerugian tahun-tahun lalu yang tidak bisa dikompensasikan sedapat mungkin harus
dihindarkan, karena berakibat perusahaan membayar pajak dalam jumlah berlebih. Ketidakmampuan
perusahaan untuk memanfaatkan fasiltas pajak berupa kompensasi kerugian, akan membuat modal (awal)
perusahaan tidak dapat terpulihkan. Perencanaan pajak yang efektif dapat membantu manajemen untuk
menghindarkan adanya sisa kerugian yang tidak dapat dikompensasikan tersebut. Untuk lebih jelasnya
diberikan contoh sebagai berikut.
Contoh-2: Sisa Kerugian Tahun Lalu Tidak Dapat Dikompensasikan

Misalnya perusahaan pada contoh-1 di atas dalam tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 hanya memperoleh
laba fiskal sebesar Rp750,00 juta, yang terdiri dari masing-masing sebesar Rp150,00 juta per tahun.
Sebagai akibatnya, perusahaan tidak terutang atau tidak perlu membayar pajak penghasilan dalam tahun
2011 hingga 2016. Akan tetapi, juga sebaliknya hanya Rp750,00 juta dari total kerugian fiskal sebesar
Rp1,00 milyar dalam tahun 2010 dan 2011 yang dapat dikompensasikan. Sedang sisa kerugian fiskal sebesar
Rp250,00 juta (masing-masing Rp150,00 juta dari kerugian fiskal tahun 2010 dan Rp100,00 juta kerugian
fiskal tahun 2011) tidak lagi dapat dikompensasikan. Kerugian fiskal tahun 2010, dikompensasikan masingmasing sebesar Rp150,00 juta per tahun dari laba fiskal tahun 2012 s/d 2015 (Rp600,00 juta = 4 X Rp150,00
juta), sedang kerugian fiskal tahun 2011 hanya dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2016 sebesar
Rp150,00 juta. Dengan demikian, sebesar Rp150,00 juta dari sisa kerugian tahun 2010 dan sebesar Rp100,00
dari sisa kerugian tahun 2011 tidak dapat dikompensasikan seperti tampak berikut (rupiah dalam ribuan):
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Jumlah

Laba (Rugi)
Fiskal
Rp2.000.000,00
2.500.000,00
(750.000,00)
(250.000,00)
150.000,00
150.000,00
150.000,00
150.000,00
150.000,00
Rp5.250.000,00

Kompensasi
Kerugian
0,00
0,00
0,00
0,00
(150.000,00)
(150.000,00)
(150.000,00)
(150.000,00)
(150.000,00)
(Rp750.000,00)

Sisa Kerugian Tdk Dpt


Dikompensasikan
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
150.000,00
100.000,00
Rp250.000,00

Penghasilan Kena
Pajak
Rp2.000.000,00
2.500.000,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Rp4.500.000,00

Sebagai akibatnya, saldo modal perusahaan akan berjumlah Rp28,07 5 milyar pada akhir tahun 2015 dan Rp
28,125 milyar pada akhir tahun 2016 sebagaimana tampak berikut (rupiah dalam ribuan). Sampai dengan

12

akhir tahun 2016 (beroperasi selama 9 tahun pajak), laba fiskal berjumlah seluruhnya Rp5,25 milyar dan rugi
fiskal Rp1,00 milyar; sehingga seharusnya saldo modal pada akhir tahun 2016 berjumlah Rp28,18 75 milyar
{Rp25,00 milyar + [(1- 0,25)(Rp4,25 milyar)]}; karena seharusnya hanya dikenakan pajak berdasar
penghasilan kena pajak sebesar Rp4,25 milyar.
Deskripsi
Modal pada awal tahun 2008
(+) Sisa Laba Tahun Lalu [(1 0,25) X Rp4,50 milyar]
(-) Sisa Kerugian Tahun Lalu Belum Dikompensasi
(-) Sisa Kerugian Tidak Dapat Dikompensasi
(=) Modal pada akhir tahun

Tahun 2014
Rp25.000.000,00
3.375.000,00
(400.000,00)
0,00
Rp28.075.000,00

Tahun 2015
Rp25.000.000,00
3.375.000,00
(250.000,00)
(150.000,00)
Rp28.075.000,00

Tahun 2016
Rp25.000.000,00
3.375.000,00
0,00
(250.000,00)
Rp28.125.000,00

Namun dari total kerugian fiskal tersebut sebesar Rp150,00 juta (yang terjadi dalam tahun 2010) dan sebesar
Rp100,00 juta (yang terjadi dalam tahun 2011) di antaranya sudah kadaluwarsa (tidak bisa
dikompensasikan). Sebagai akibatnya, pada kasus tersebut dalam waktu 9 tahun pajak perusahaan dikenakan
pajak berdasar penghasilan kena pajak sebesar Rp4,50 milyar (tahun 2008 dan tahun 2009). Adanya sisa
kerugian yang tidak dapat dikompensasikan tersebut membuat: (1) perusahaan pada akhirnya dikenakan
pajak berdasar penghasilan kena pajak yang terlalu besar (Rp4,50 milyar > Rp4,25 milyar). Dengan
demikian, saldo modal yang seharusnya berjumlah Rp28,18 75 milyar berkurang menjadi hanya sebesar
Rp28,125 milyar pada akhir tahun 2016. Selisih saldo modal sebesar Rp Rp62,50 juta tersebut tidak lain
adalah sama dengan tarif pajak dikali selisih penghasilan kena pajak sebagai basis perhitungan pajaknya
[Rp62,50 juta = 0,25 X (Rp4,50 milyar Rp4,25 milyar)]. Adanya sisa kerugian yang tidak dapat
dikompensasikan membuat perusahaan harus dikenakan pajak yang lebih besar (Rp1,12 5 milyar) dari jumlah
yang seharusnya (Rp1,0625 milyar).
Deskripsi
Modal awal
Laba Ditahan (*)
Rugi Thn Lalu Belum Dikompensasi
Rugi Thn Lalu Tdk Dpt Dikompensasi
Jumlah modal akhir

Akhir 2009
25.000,00
3.375,00
0,00
0,00
Rp28.375,00

Akhir 2010
25.000,00
3.375,00
(750,00)
0,00
Rp27.625,00

Akhir 2011
25.000,00
3.375,00
(1.000,00)
0,00
Rp27.375,00

Akhir 2015
25.000,00
3.375,00
(250,00)
(150,00)
Rp27.975,00

Akhir 2016
25.000,00
3.375,00
0,00
(250,00)
Rp28.125,00

Efek dari adanya sisa kerugian yang tidak dapat dikompensasikan adalah perusahaan harus membayar
pajak yang lebih besar dalam jumlah sama dengan tarif pajak dikali sisa kerugian yang tidak dapat
dikompensasikan tersebut. Kondisi demikian harus dihindarkan karena tidak sejalan dengan salah satu
prinsip perencanaan pajak yang menyatakan: pajak harus dibayar tetapi tidak perlu dibayar lebih.
Contoh-3: Sisa Kerugian Tahun Lalu Tidak Dapat Dikompensasikan

Dua perusahaan sejenis wajib pajak-badan dalam negeri dengan peredaran bruto yang relatif sama jumlahnya
(dan kurang dari Rp4,80 miliar per tahun), memperoleh penghasilan kena pajak (laba fiskal) sebesar Rp2,00
miliar dalam kurun waktu 10 tahun pertama sejak perusahaan memulai usahanya sebagai berikut:
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Deskripsi
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Laba (Rugi) Fiskal
Jumlah

Perusahaan-A
Rp(300.000.000,00)
(200.000.000,00
0,00
25.000.000,00
50.000.000,00
75.000.000,00
100.000.000,00
500.000.000,00
750.000.000,00
1.000.000.000,00
Rp2.000.000.000,00

Perusahaan-B
Rp50.000.000,00
75.000.000,00
100.000.000,00
125.000.000,00
150.000.000,00
200.000.000,00
250.000.000,00
300.000.000,00
350.000.000,00
400.000.000,00
Rp2.000.000.000,00

Meskipun kedua perusahaan memperoleh total penghasilan kena pajak (laba fiskal) yang sama besarnya
dalam kurun waktu 10 tahun (Rp2,00 miliar), namun Perusahaan-A terpaksa membayar pajak yang lebih
besar dibanding Perusahaan-B. Hal ini disebabkan oleh karena Perusahaan-A tidak dapat mengompensasikan
seluruh kerugian fiskalnya.

13

Dari kerugian fiskal sebesar Rp300,00 juta dalam tahun-1 hanya sebesar Rp150,00 juta yang dapat
dikompensasikan (tahun-4, tahun-5, dan tahun-6). Sedang dari kerugian fiskal sebesar Rp200,00 juta dalam
tahun-2, sebesar Rp100,00 juta di antaranya tidak dapat dikompensasikan (kadaluwarsa). Sebagai akibatnya,
Perusahaan-A harus membayar/terutang pajak penghasilan dari total penghasilan kena pajak (laba fiskal)
sebesar Rp2.250,00 juta (tahun-8, tahun-9, dan tahun-10), atau sebesar seluruhnya Rp281,25 juta (0,50 X
0,25 X Rp2.250,00 juta). Memang Perusahaan-A tidak harus membayar/terutang pajak penghasilan pada
setiap tahun pajaknya, dan baru terutang dan berkewajiban untuk membayar pajak dalam tiga tahun pajak
terakhir (tahun-8, tahun-9, dan tahun-10). Namun secara keseluruhan (dalam kurun waktu 10 tahun),
Perusahaan-A membayar pajak sebesar Rp31,25 juta [0,50 X 0,25 X (Rp2.250,00 juta Rp2.000,00 juta)]
lebih besar dari total penghasilan kena pajak atau laba fiskalnya.
Berbeda halnya dengan Perusahaan-B, distribusi penghasilan kena pajak atau laba fiskalnya membuat
perusahaan senantiasa terutang pajak penghasilan pada setiap tahun pajaknya. Namun untuk keseluruhan
jangka waktu 10 tahun, Perusahaan-B cukup membayar pajak penghasilan sebesar Rp250,00 juta (0,50 X
0,25 X Rp2.000,00 juta). Distribusi penghasilan kena pajak (laba fiskal) Perusahaan-B, meskipun tidak stabil
namun membuat perusahaan terbebas dari potensi membayar pajak berlebih. Sekali lagi hal ini menunjukkan
peran dan arti pentingnya perencanaan pajak.
2. Tarif Pajak Penghasilan

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya berlaku sama baik
untuk perusahaan Wajib Pajak-Badan maupun untuk perusahaan perorangan Wajib Pajak-Orang Pribadi
dalam negeri (yang menyelenggarakan pembukuan), bahkan unutuk perusahaan bentuk usaha tetap. Namun
perbedaan status pajak dari kedua bentuk (badan usaha) perusahaan (WP-Badan dan WP-Orang Pribadi
dalam negeri) membuat beban pajak penghasilan di antara keduanya menjadi berbeda. Terlepas dari adanya
fasilitas pajak berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk perusahaan perorangan Wajib PajakOrang Pribadi dalam negeri -yang besarya tergantung pada status pajak perkawinan dan keadaan Wajib
Pajak-orang pribadi terkait pada awal tahun pajak, perbedaan beban pajak penghasilan perusahaan tersebut
disebabkan oleh karena: perbedaan tarif pajak yang berlaku untuk masing-masing kelompok perusahaan.
Menurut ketentuan Pasal-17 UU-PPh, perusahaan perorangan (Wajib Pajak-Orang Pribadi dalam
negeri) dikenakan pajak penghasilan berdasar tarif progresif sebesar: (i) 5% dari jumlah penghasilan kena
pajak sampai dengan Rp50,00 juta pertama; (ii) 15% dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp50,00
juta hingga Rp250,00 juta; (iii) 25% dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp250,00 juta hingga
Rp500,00 juta; dan (iv) 30% dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp500,00 juta. Sedang untuk
perusahaan Wajib Pajak-Badan dalam negeri pada dasarnya dikenakan pajak penghasilan berdasar tarif
proporsional sebesar 25%. Di samping tarif pajak yang proporsional (sama untuk setiap rupiah penghasilan
kena pajak) perusahaan Wajib Pajak-Badan dalam negeri yang memenuhi persyaratan tertentu diberikan
fasilitas pajak sebagai berikut: (i) pengurangan tarif pajak sebesar 50% untuk bagian Penghasilan Kena Pajak
yang berasal dari peredaran bruto sebesar Rp4,80 milyar, yang berlaku untuk jumlah peredaran bruto sampai
dengan Rp50,00 milyar (Pasal 31 E, UU PPh), dan (ii) pengurangan tarif sebesar 5% untuk perusahaan yang
berbentuk perseroan terbuka, yang sekurang-kurangnya 40% dari keseluruhan jumlah saham yang telah
disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia [Pasal-17 ayat (1) huruf b dan ayat (2 a) UU PPh].
Pada akhirnya, tarif pajak proporsional yang dikenakan terhadap perusahaan Wajib Pajak-Badan dalam
negeri hanya merupakan tarif dasar. Sebagai akibatnya, dua perusahaan yang berpenghasilan kena pajak
sama besar; tetapi berbeda status pajaknya akan dikenakan pajak berdasar tarif efektif yang juga berbeda.
Secara garis besar, tarif efektif pajak penghasilan perusahaan dapat digeneralisasi sebagai berikut.

Perusahaan perorangan (WP-Orang Pribadi dalam negeri) 5% Tarif Efektif < 30%;
Perusahaan WP-Badan dalam negeri, dengan peredaran bruto s/d Rp4,80 milyar sebesar 12,5%;
Perusahaan WP-Badan dalam negeri, dengan peredaran bruto lebih dari Rp4,80 milyar s/d Rp50,00
milyar 12,5% Tarif Efektif < 25%;
Perseroan terbuka, yang kurang dari 40% jumlah saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia (peredaran bruto lebih dari Rp50,00 milyar) sebesar 25%;
Perseroan terbuka, yang 40% atau lebih jumlah saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia (peredaran bruto lebih dari Rp50,00 milyar) sebesar 20%.

Status pajak atau bentuk perusahaan (perusahaan perorangan sebagai wajib pajak orang-pribadi atau
badan usaha sebagai wajib pajak-badan) sebagaimana dikemukakan mempengaruhi tarif pajak penghasilan

14

yang harus dipakai sebagai basis perhitungan pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan atas
penghasilan kena pajaknya. Di samping itu, untuk perusahaan wajib pajak-badan pada khususnya; jumlah
peredaran bruto (skala usaha) dalam tahun pajak berjalan juga mempengaruhi tarif pajak penghasilan yang
harus diaplikasikan di dalam penghitungan pajak penghasilan yang terutang. Oleh karena itu, pemilihan
bentuk atau status perusahaan (sebagai wajib pajak) dan skala usaha perusahaan merupakan faktor-faktor
yang harus dipertimbangkan; agar perusahaan dapat menghemat pajak. Untuk memberikan gambaran tentang
efek pemilihan bentuk atau status perusahaan (sebagai wajib pajak) dan skala usaha perusahaan diberikan
contoh-contoh sebagai berikut.
Contoh-4: Perusahaan Perorangan Vs Badan Usaha Dengan Bruto Kurang dari Rp4,80 Milyar

Suatu perusahaan akan memulai usahanya pada awal tahun 2011, dengan investasi awal sebesar Rp3,00
milyar; yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp0,75 milyar dan total ekuitas (setoran
modal oleh pemilik) sebesar Rp2,25 milyar. Perusahaan akan beroperasi dengan peredaran bruto sebesar
Rp4,50 milyar (tingkat perputaran total aset sebanyak 1,5 kali); sehingga diharapkan akan memperoleh
penghasilan kena pajak (sebelum dikurangi biaya bunga) sebesar Rp625,00 juta per tahun.
Dengan asumsi skala usaha yang dinyatakan dalam bentuk peredaran bruto sebesar Rp4,50 milyar per
tahun tersebut, maka efek pemilihan bentuk atau status pajak perusahaan terhadap pajak penghasilan yang
terutang oleh perusahaan pada setiap tahun pajaknya adalah sebagai berikut:
No
1
2
3
4

Deskripsi
Penghasilan kena pajak sebelum biaya bunga
Biaya bunga
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan:
Tarif 5,0%
Tarif 12,5%
Tarif 15,0%
Tarif 25,0%
Tarif 30,0%
Jumlah pajak penghasilan
Tarif efektif pajak (jumlah-4/3)

Perorangan
Rp625.000.000,00
(75.000.000,00)
Rp550.000.000,00

Badan
Rp625.000.000,00
(75.000.000,00)
Rp550.000.000,00

Hemat Pajak Badan


----------------------------------------------------------------

Rp2.500.000,00
------------------30.000.000,00
62.500.000,00
15.000.000,00
Rp110.000.000,00
20,0%

---------------------Rp68.750.000,00
---------------------------------------------------------------Rp68.750.000,00
12,5%

Rp2.500.000,00
(68.750.000,00)
30.000.000,00
62.500.000,00
15.000.000,00
Rp41.250.000,00
7,50%

Dengan skala usaha kecil (peredaran bruto sampai dengan Rp4,80 milyar) perusahaan yang diorganisasi
sebagai wajib pajak badan memperoleh fasilitas pajak berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif dasar,
sehingga dikenakan pajak berdasar tarif sebesar 12,5% [25% - (0,50 X 25%)]. Sebagai akibatnya, dengan
memilih bentuk badan usaha tertentu (sebagai WP-Badan) perusahaan memperoleh penghematan pajak
(relatif dalam perbandingannya dengan perusahaan perorangan sebagai WP-Orang Pribadi) sebesar Rp41,25
juta atau sebesar 7,5% dari jumlah penghasilan kena pajaknya.
Contoh-5: Perusahaan Perorangan Vs Badan Dengan Peredaran Bruto Rp4,80 Milyar s/d Rp50,00 Milyar

Suatu perusahaan akan memulai usahanya pada awal tahun 2011, dengan investasi awal sebesar Rp30,00
milyar; yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp7,50 milyar dan total ekuitas (setoran
modal oleh pemilik) sebesar Rp22,50 milyar. Perusahaan akan beroperasi dengan peredaran bruto sebesar
Rp48,00 milyar (tingkat perputaran total aset sebanyak 1,5 kali); sehingga diharapkan akan memperoleh
penghasilan kena pajak (sebelum dikurangi biaya bunga) sebesar Rp4,50 milyar per tahun.
Dengan asumsi skala usaha yang dinyatakan dalam bentuk peredaran bruto sebesar Rp48,00 milyar per
tahun tersebut, maka efek pemilihan bentuk atau status pajak perusahaan terhadap pajak penghasilan yang
terutang oleh perusahaan pada setiap tahun pajaknya adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
No
1
2
3
4

Deskripsi
Penghasilan kena pajak sebelum biaya bunga
Biaya bunga
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan:
Tarif 5,0%
Tarif 12,5%
Tarif 15,0%
Tarif 25,0%
Tarif 30,0%

Perorangan
Rp4.500.000,00
(750.000,00)
Rp3.750.000,00

Badan
Rp4.500.000,00
(750.000,00)
Rp3.750.000,00

Hemat Pajak Badan


----------------------------------------------------

Rp2.500,00
---------------30.000,00
62.500,00
975.000,00

----------------Rp46.875,00
----------------843.750,00
-----------------

Rp2.500,00
(46.875,00)
30.000,00
(781.250,00)
975.000,00

15

Jumlah pajak penghasilan


Tarif efektif pajak (jumlah-4/3)

Rp1.070.000,00
28,53%

Rp890.625,00
23,75%

Rp179.375,00
4,78%

Dengan skala usaha menengah (peredaran bruto Rp4,80 milyar sampai dengan Rp50,00 milyar) perusahaan
wajib pajak-badan dikenakan pajak berdasar dua macam tarif; yaitu: (i) 12,5% untuk bagian penghasilan
kena pajak yang memperoleh fasilitas pajak, dan (ii) 25% untuk bagian penghasilan kena pajak yang tidak
memperoleh fasilitas pajak. Bagian penghasilan kena pajak yang memperoleh dan yang tidak memperoleh
fasilitas pajak ditentukan berdasar formula perhitungan sebagai berikut:
(i) Bagian PKP-Dengan Fasilitas Pajak = (Rp4,80 Milyar)/(Peredaran Bruto) X (Total PKP)
(ii) Bagian PKP-Tanpa Fasilitas Pajak = (Peredaran Bruto Rp4,80 Milyar)/(Peredaran Bruto) X (Total PKP)

Sebagaimana tampak pada tabel di atas, pemilihan bentuk badan usaha tertentu (sebagai WP-Badan),
perusahaan memperoleh penghematan pajak (relatif dalam perbandingannya dengan perusahaan perorangan
sebagai WP-Orang Pribadi) sebesar Rp179,375 juta atau 4,78% dari total penghasilan kena pajaknya.
Contoh-6: Perusahaan Perorangan Vs Badan Dengan Peredaran Bruto Lebih Rp50,00 Milyar

Suatu perusahaan akan memulai usahanya pada awal tahun 2011, dengan investasi awal sebesar Rp100,00
milyar; yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp25,00 milyar dan total ekuitas (setoran
modal oleh pemilik) sebesar Rp75,00 milyar. Perusahaan akan beroperasi dengan peredaran bruto sebesar
Rp150,00 milyar (tingkat perputaran total aset sebanyak 1,5 kali); sehingga diharapkan akan memperoleh
penghasilan kena pajak (sebelum dikurangi biaya bunga) sebesar Rp12,50 milyar per tahun.
Dengan asumsi skala usaha yang dinyatakan dalam bentuk peredaran bruto sebesar Rp150,00 milyar
per tahun tersebut, maka efek pemilihan bentuk atau status pajak perusahaan terhadap pajak penghasilan
yang terutang oleh perusahaan pada setiap tahun pajaknya adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
No
1
2
3
4

Deskripsi
Penghasilan kena pajak sebelum biaya bunga
Biaya bunga
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan:
Tarif - 5%
Tarif -15%
Tarif -25%
Tarif -30%
Jumlah pajak penghasilan
Tarif efektif pajak (jumlah-4/3)

Perorangan
Rp12.500.000.00
(2.500.000,00)
Rp10.000.000,00

Badan
Rp12.500.000,00
(2.500.000,00)
Rp10.000.000,00

Hemat Pajak Badan


-------------------------------------------------------

Rp2.500,00
30.000,00
62.500,00
2.850.000,00
Rp2.945.000,00
29,45%

----------------------------------------Rp2.500.000,00
--------------------Rp2.500.000,00
25,00%

Rp2.500,00
30.000,00
(2.437.500,00)
2.850.000,00
Rp445.000,00
4,45%

Dengan skala usaha besar (peredaran bruto lebih Rp50,00 milyar) perusahaan wajib pajak-badan dikenakan
pajak berdasar tarif dasar sebesar tarif proporsional 25%. Sedang perusahaan perorangan (sebagai WP-Orang
Pribadi) tetap dikenakan pajak berdasar tarif progresif 5% hingga 30%, sesuai dengan lapisan penghasilan
kena pajaknya. Perhatikan bahwa semakin besar skala usaha perusahaan (diukur berdasar jumlah peredaran
brutonya), semakin kecil potensi penghematan pajak yang bisa didapat oleh perusahaan yang diorganisasi
sebagai wajib pajak-badan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh karena memang pemerintah lebih mendorong
masyarakat untuk menggunakan perusahaan berbentuk badan usaha, untuk meningkatkan efisiensi pajak.
3. Distribusi Penghasilan Kena Pajak Sebagai Strategi Penghematan Pajak

Pada masa lalu tarif progresif tidak hanya diberlakukan kepada perusahaan perorangan (sebagai WP-Orang
Pribadi), tetapi juga kepada perusahaan wajib-pajak badan. Tarif progresif kepada perusahaan wajib pajakbadan tersebut membuat badan usaha sebagai bentuk perusahaan dapat dimanfaatkan untuk mendistribusikan
penghasilan kena pajak kepada lebih dari satu wajib pajak, sehingga diperoleh penghematan pajak. Untuk
mengurangi kecenderungan semacam itu, Undang-undang Perpajakan memberlakukan ketentuan hubungan
istimewa karena adanya hubungan kepemilikan; dengan menerapkan tarif (marjinal) rendah hanya berlaku
untuk perusahaan investor (perusahaan induk) dan tarif marjinal tinggi kepada perusahaan investee (anak
perusahaan). Namun implementasi ketentuan hubungan istimewa yang timbul sebagai akibat dari adanya

16

hubungan kepemilikan sangat rumit dan memerlukan biaya administrasi yang relatif besar, sehingga kurang
efektif. Boleh jadi, hal itu merupakan salah satu alasan mengapa tarif progresif tidak lagi diberlakukan
kepada perusahaan wajib pajak-badan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan efektivitas distribusi
penghasilan kena pajak kepada beberapa wajib pajak sebagai strategi untuk memperoleh penghematan pajak.
Contoh-7: Distribusi Penghasilan Kena Pajak Kepada Lebih Dari Satu Perusahaan (Wajib Pajak)

Seorang pengusaha besar pada awal tahun 2011 bermaksud untuk menjalankan usaha dengan investasi awal
Rp100,00 milyar, yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp25,00 milyar dan total ekuitas
Rp75,00 milyar. Tiga alternatif bentuk perusahaan dipertimbangkan oleh pengusaha tersebut:
(i)
Mengorganisasi kegiatan usahanya dalam bentuk 1 (satu) perusahaan perorangan berskala besar
(total aset Rp100,00 milyar), dengan peredaran bruto dan penghasilan kena pajak (sebelum biaya
bunga) yang diharapkan masing-masing sebesar Rp150,00 milyar dan Rp12,50 milyar per tahun;
(ii)
Mengorganisasi kegiatan usahanya dalam bentuk 5 (lima) perusahaan perorangan berskala
.menengah (total aset masing-masing Rp20,00 milyar), dengan peredaran bruto dan penghasilan kena
pajak (sebelum biaya bunga) yang diharapkan masing-masing Rp30,00 milyar dan Rp2,50 milyar per
tahun;
(iii)
Mengorganisasi kegiatan usahanya dalam bentuk 50 (lima puluh) perusahaan perorangan berskala
kecil (total aset masing-masing Rp2,00 milyar), dengan peredaran bruto dan penghasilan kena pajak
(sebelum biaya bunga) masing-masing sebesar Rp3,00 milyar dan Rp250,00 juta per tahun.
Tidak sebagaimana diharapkan, pada kasus kegiatan usaha yang diorganisasi dalam bentuk perusahaan
perorangan, distribusi penghasilan kena pajak kepada lebih dari satu perusahaan sebagai upaya untuk
memperoleh penghematan pajak menjadi tidak efektif betapapun progresifnya tarif pajak. Hal ini disebabkan
oleh karena pajak penghasilan yang terutang oleh pemilik perusahaan sebagai wajib pajak-orang pribadi
didasarkan pada penjumlahan dari laba usaha yang dihasilkan oleh setiap perusahaan sebagai komponen
penghasilan kena pajaknya, berapapun jumlah perusahaannya. Sebagaimana tampak pada tabel berikut ini,
pada kasus di atas pajak penghasilan yang terutang oleh pemilik sebagai wajib pajak-orang pribadi akan
berjumlah sama besar pada ketiga alternatif jumlah perusahaan yang dimiliki (rupiah dalam ribuan):
No
1
2
3
4

Deskripsi
Penghasilan kena pajak (sblm biaya bunga)
Biaya bunga
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan:
Tarif- 5%
Tarif -15%
Tarif- 25%
Tarif- 30%
Jumlah pajak penghasilan
Tarif efektif

1 perusahaan
Skala Besar
Rp12.500.000,00
(2.500.000,00)
Rp10.000.000,00

5 perusahaan
Skala Menengah
Rp12.500.000,00
(2.500.000,00)
Rp10.000.000,00

50 perusahaan
Skala Kecil
Rp12.500.000,00
(2.500.000,00)
Rp10.000.000,00

Rp2.500,00
30.000,00
62.500,00
2.850.000,00
Rp2.945.000,00
29,45%

Rp2.500,00
30.000,00
62.500,00
2.850.000,00
Rp2.945.000,00
29,45%

Rp2.500,00
30.000,00
62.500,00
2.850.000,00
Rp2.945.000,00
29,45%

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tarif dasar pajak penghasilan untuk perusahaan wajib pajakbadan, pada prinsipnya bersifat proporsional. Namun adanya fasilitas pajak yang diberikan kepada
perusahaan berskala kecil dan menengah (dinyatakan dalam bentuk jumlah peredaran bruto), maka dalam
batas-batas tertentu tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak-badan memiliki sifat progresivitas. Karena
pajak penghasilan dari setiap perusahaan wajib pajak-badan ditentukan secara independen, maka distribusi
penghasilan kena pajak kepada lebih dari satu perusahaan berskala kecil dan menengah cukup efektif sebagai
upaya untuk memperoleh penghematan pajak. Namun untuk mengorganisasi kegiatan usaha ke dalam suatu
badan usaha (perusahaan) sebagai wajib pajak-badan, seorang pengusaha dituntut untuk bersedia berbagi
dengan pihak lain (sebagai suatu badan usaha harus dimiliki oleh lebih dari satu orang, kecuali untuk badan
usaha milik daerah-BUMD dan badan usaha milik negara-BUMN).
Jika pengusaha tersebut pada contoh-6 bersedia untuk berbagi dengan pengusaha lainnya, dan
kemudian mengorganisasi kegiatan usaha atau bisnisnya ke dalam perusahaan-perusahaan berbentuk badan
usaha (wajib pajak-badan); maka penghematan pajak yang dapat diharapkan melalui distribusi penghasilan
kena pajak akan tampak sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

17

No
1
2
3
4

Deskripsi
Penghasilan kena pajak (sblm biaya bunga):
- Setiap perusahaan
- Seluruh perusahaan
Biaya bunga:
- Setiap perusahaan
- Seluruh perusahaan
Penghasilan kena pajak:
- Setiap perusahaan
- Seluruh perusahaan
Pajak penghasilan setiap perusahaan:
Tarif- 12,5%
Tarif -25,0%
Jumlah pajak penghasilan setiap perusahaan
Jumlah pajak penghasilan seluruh perusahaan
Tarif efektif

1 perusahaan
Skala Besar

5 perusahaan
Skala Menengah

50 perusahaan
Skala Kecil

Rp12.500.000,00
Rp12.500.000,00

Rp2.500.000,00
Rp12.500.000,00

Rp250.000,00
Rp12.500.000,00

(2.500.000,00)
(2.500.000,00)
Rp10.000.000,00
Rp10.000.000,00

(500.000,00)
(2.500.000,00)
Rp2.000.000,00
Rp10.000.000,00

(50.000,00)
(2.500.000,00)
Rp200.000,00
Rp10.000.000,00

Rp2.500.000,00
Rp2.500.000,00
Rp2.500.000,00
25,0%

Rp40.000,00
420.000,00
Rp460.000,00
Rp2.300.000,00
23,0%

Rp25.000,00
Rp25.000,00
Rp1.250.000,00
12,5%

Perhatikan bahwa dengan berbagi dengan pengusaha yang lain dan mengorganisasi kegiatan usaha atau
bisnis perusahaan ke dalam perusahaan-perusahaan sebagai wajib pajak-badan, masing-masing sebanyak 5
perusahaan berskala menengah dan 50 perusahaan berskala kecil (skala usaha perusahaan diukur berdasar
jumlah peredaran brutonya); kedua orang pengusaha bisa memperoleh penghematan pajak sebesar 2%
hingga 12,5% dari total penghasilan kena pajaknya. Mengorganisasi kegiatan usaha ke dalam beberapa
perusahaan wajib pajak-badan berskala kecil lebih hemat pajak dibanding satu perusahaan wajib pajak-badan
berskala menengah, dan mengorganisasi kegiatan usaha ke dalam beberapa perusahaan wajib pajak-badan
berskala menengah lebih hemat pajak daripada satu perusahaan wajib pajak-badan berskala besar.
4. Penghitungan PKP Bagi Wajib Pajak Tidak Menyelenggarakan Pembukuan

Penentuan jumlah penghasilan kena pajak bagi wajib pajak-dalam negeri yang tidak menyelenggarakan
pembukuan (hanya oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,80 milyar per tahun) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Formula perhitungan PKP, bagi WP-Orang Pribadi dalam negeri yang menggunakan NPPN

No
1
2
3
4
5
6

Deskripsi
Peredaran bruto
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan = % dari penghasilan bruto)
(+) Penghasilan neto lainnya
(=) Jumlah seluruh penghasilan neto
(-) Penghasilan tidak kena pajak
(=) Penghasilan kena pajak

WP-OP
Rp000,00
000,00
000,00
Rp000,00
(000,00)
Rp000,00

AKTIVITAS OPERASI, INVESTASI DAN PENDANAAN

Untuk mencapai tujuannya, setiap perusahaan harus melakukan aktivitas operasi (pengadaan barang/jasa
kepada masyarakat atau konsumen), aktivitas investasi, dan aktivitas pendanaan. Kebijakan atau desain
aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan bisa berdampak pada perbedaan jumlah penghasilan kena pajak
dan oleh karena itu juga pajak penghasilan yang terutang.
Gambar-1: Saling Hubungan Antara Aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.
Saling Hubungan Antar Aktivitas Perusahaan
AKTIVITAS INVESTASI
(Mendapatkan sumbersumber/aset yang diperlukan
oleh perusahaan)

AKTIVITAS PENDANAAN
(Mendapatkan modal yang
diperlukan oleh perusahaan)

18

AKTIVITAS OPERASI
(Memanfaatkan sumber-sumber /aset
untuk memperoleh laba/ penghasilan
bagi perusahaan)

Tujuan perencanaan pajak adalah menghemat beban pajak atau memaksimisasi penghasilan sesudah
pajak pada setiap tahun pajak. Oleh karena itu, perencanaan pajak harus difokuskan pada upaya untuk
mengidentifikasi setiap kemungkinan adanya dua atau lebih alternatif jumlah penghasilan kena pajak yang
dapat dihasilkan dari suatu aktivitas dan/atau transaksi. Secara diagramatik, saling hubungan di antara ketiga
aktivitas pokok dari setiap perusahaan dapat dilukiskan pada gambar-1.
Efek Aktivitas Operasi

Manajemen harus membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan aktivitas operasinya untuk meminimisasi
atau menghemat pajak, dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti: kompetisi, teknologi, dan faktorfaktor lingkungan lain (termasuk pajak) yang mempengaruhi aktivitas bisnis atau usaha perusahaan di dalam
usahanya untuk memperoleh penghasilan atau laba.
Contoh-8: Efek Dari Aktivitas Operasi

Suatu perusahaan dagang wajib pajak-badan dalam negeri yang membeli dan menjual kembali barang
dagangannya secara tunai, mempunyai anggaran volume penjualan dalam tahun pertama operasinya (tahun
2010) sebanyak rata-rata 1.000 unit per bulan dengan harga @ Rp750.000,00. Untuk merealisasikan
anggaran penjualan tersebut, dua alternatif kebijakan pembelian & persediaan dipertimbangkan oleh
manajemen sebagai berikut:
(i)

(ii)

Perusahaan melakukan pembelian barang dagangan 2 kali sebanyak seluruhnya 15.000 unit dalam
satu tahun, masing-masing pada awal bulan Januari sebanyak 7.500 unit dengan harga @
Rp475.000,00 per unit dan pada awal bulan Juli sebanyak 7.500 unit dengan harga @ Rp525.000,00
per unit.
Perusahaan melakukan pembelian barang dagangan 2 kali sebanyak seluruhnya 13.500 unit dalam
satu tahun, masing-masing pada awal bulan Januari sebanyak 6.750 unit dengan harga @
Rp475.000,00 per unit, dan pada awal bulan Juli juga sebanyak 6.750 unit dengan harga @
Rp525.000,00 per unit.

Masing-masing kebijakan terkait dengan aktivitas operasi (pembelian/pengadaan barang dagangan &
persediaan pada akhir periode) tersebut akan membuat laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak
dalam tahun pajak 2010 yang berbeda. Bahkan kebijakan akuntansi terkait dengan metode penentuan kos
barang dijual dan penilaian terhadap persediaan pada akhir periode juga akan berakibat pada perbedaan laba
bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak sebagaimana tampak pada tabel berikut (Catatan: metode
kos masuk terakhir keluar pertama atau Kos-MTKP disertakan meskipun tidak akseptabel menurut ketentuan
perpajakan, semata-mata untuk mengingatkan kepada pembaca, khususnya apabila perusahaan bermaksud
untuk menerapkan metode akuntansi tersebut untuk tujuan pelaporan keuangan komersialnya; sehingga
membawa konsekuensi adanya beda waktu atau timing/temporary differences):
(a) Total pembelian barang dagangan sebanyak 15.000 unit setahun (rupiah dalam ribuan)
No
1
2
3
4
5

Deskripsi
Peredaran bruto (12.000 unit)
Tersedia dijual (15.000 unit)
Persediaan akhir (3.000 unit)*
Kos barang dijual (12.000 unit)
Laba bruto

Kos-MPKP
Rp9.000.000,00
7.500.000,00
(1.575.000,00)
5.925.000,00
Rp3.075.000,00

Metode Penilaian Persediaan


Kos-Rerata
Rp9.000.000,00
7.500.000,00
(1.500.000,0)
6.000.000,00
Rp3.000.000,00

Kos-MTKP
Rp9.000.000,00
7.500.000,00
(1.425.000,00)
6.075.000,00
Rp2.925.000,00

* Kos-MPKP Rp525.000,00 per unit; Kos-Rerata Rp500.000,00 per unit; Kos-MTKP Rp475.000,00 per unit

Perhatikan bahwa sebagai akibat dari perbedaan kebijakan akuntansi terkait dengan penentuan kos
barang dijual dan penilaian persediaan, dari serangkaian transaksi yang terjadi terdapat lebih dari satu

19

alternatif laba bruto sebagai penghasilan obyek pajak atau komponen penghasilan kena pajak. Pada dasarnya,
untuk tujuan pelaporan keuangan fiskal manajemen harus menetapkan hanya satu kebijakan atau metode
akuntansi terkait dengan penentuan kos barang dijual dan nilai persediaannya. (Catatan: pada contoh ini
dikemukakan secara lengkap 3 alternatif metode untuk menekankan bahwa masing-masing metode
membawa konsekuensi yang berbeda, baik pada nilai persediaan pada akhir periode, kos barang yang dijual
dan laba bruto dalam periode berjalan, meskipun metode kos masuk terakhir keluar pertama-MTKP tidak
diperkenankan atau tidak akseptabel menurut Undang-undang atau ketentuan perpajakan). Untuk mengetahui
efek perbedaan kebijakan manajemen terkait dengan aktivitas operasi (pembelian atau pengadaan, penjualan
kembali dan persediaan barang dagangan pada akhir periode); terlebih dahulu harus ditentukan besarnya laba
bruto sebagai penghasilan obyek pajak atau komponen penghasilan kena pajak menurut masing-masing
alternatif kebijakan akuntansi (penentuan kos barang dijual & penilaian persediaan), apabila aktivitas
pembeliannya dilakukan 2 kali setahun sebanyak seluruhnya 13.500 unit dengan cara yang sama sbb:
(b) Total pembelian barang dagangan sebanyak 13.500 unit setahun (rupiah dalam ribuan)
No
1
2
3
4
5

Deskripsi
Peredaran bruto (12.000 unit)
Tersedia dijual (13.500 unit)
Persediaan akhir (1.500 unit)*
Kos barang dijual (12.000 unit)
Laba bruto

Kos-MPKP
Rp9.000.000,00
6.750.000,00
(787.500,00)
5.962.500,00
Rp3.037.500,00

Metode Penilaian Persediaan


Kos-Rerata
Rp9.000.000,00
6.750.000,00
(750.000,0)
6.000.000,00
Rp3.000.000,00

Kos-MTKP
Rp9.000.000,00
6.750.000,00
(712.500,00)
6.037.500,00
Rp2.962.500,00

* Kos-MPKP Rp525.000,00 per unit; Kos-Rerata Rp500.000,00 per unit; Kos-MTKP Rp475.000,00 per unit

Seperti halnya kebijakan total pembelian barang dagangan sebanyak 15.000 unit setahun, kebijakan
pembelian barang dagangan sebanyak 13.500 unit setahun juga menghasilkan lebih dari satu alternatif laba
bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak. Hal ini disebabkan oleh karena semata-mata adanya
perbedaan kebijakan akuntansi terkait dengan metode penentuan kos barang dijual dan penilaian persediaan.
Namun perhatikan bahwa, masing-masing alternatif laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak
berbeda di antara kedua alternatif kebijakan terkait dengan aktivitas operasinya. Jika pada total pembelian
sebanyak 15.000 unit setahun diperoleh laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak berkisar antara
Rp2.925,00 juta hingga Rp3.075,00 juta; maka kebijakan total pembelian sebanyak 13.500 unit setahun akan
menghasilkan laba bruto berkisar antara Rp2.962,50 juta hingga Rp3.037,50 juta. Hal ini disebabkan oleh
karena perbedaan kuantitas persediaan pada akhir tahun pajak (3.000 unit pada total pembelian sebanyak
15.000 unit setahun dan hanya 1.500 unit pada total pembelian sebanyak 13.500 unit setahun). Dengan
mengesampingkan efek kebijakan akuntansi tersebut, efek perbedaan kebijakan terkait dengan aktivitas
operasi (pembelian dan persediaan) terhadap penghasilan kena pajak dapat diikhtisarkan sebagai berikut
(rupiah dalam ribuan):
Efek Aktivitas Operasi Terhadap Penghasilan Kena Pajak (rupiah dalam ribuan)
No
1
2
3

Kebijakan Akuntansi
Metode Kos-MPKP
Metode Kos-Rerata
Metode Kos-MTKP

Pemb 15.000 unit


Rp3.075.000,00
3.000.000,00
2.925.000,00

Aktivitas Operasi
Pemb 13.500 unit
Rp3.037.500,00
3.000.000,00
2.962.500,00

Selisih
(Rp37.500,00)
Rp37.500,00

Perhatikan bahwa aktivitas operasi (pengadaan barang/jasa) mempunyai efek terhadap kemampuan
perusahaan untuk memperoleh penghasilan kena pajak. Dengan kapasitas penjualan atau peredaran bruto
yang sama (12.000 unit setahun), masing-masing kebijakan pembelian dan persediaan membuat perusahaan
dihadapkan pada tiga alternatif jumlah penghasilan kena pajak sebagai berikut: (i) semakin berimbang antara
pembelian dengan kapasitas penjualannya semakin kecil variasi penghasilan kena pajaknya, dengan jumlah
minimum yang relatif tinggi (Rp2.962,50 juta pada metode Kos-MTKP) dan jumlah maksimum yang relatif
rendah (Rp3.037,50 juta pada metode Kos-MPKP), dan (ii) semakin tidak seimbang antara pembelian
dengan kapasitas penjualannya semakin besar variasi penghasilan kena pajaknya, dengan jumlah minimum
relatif rendah (Rp2.925,00 juta metode Kos-MTKP) dan jumlah maksimum yang relatif tinggi (Rp3.075,00
juta pada metode Kos-MPKP).
Tidak setiap kebijakan akuntansi dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memperoleh
penghasilan kena pajak. Pada metode Kos-MPKP misalnya, manajemen dihadapkan pada dua alternatif
jumlah penghasilan kena pajak (Rp3.075,00 juta versus Rp3.037,50 juta), tergantung pada pilihan terkait

20

dengan aktivitas pembeliannya. Perbedaan tersebut semata-mata disebabkan oleh karena adanya perbedaan
kuantitas persediaan pada akhir tahun pajak. Pertanyaan fundamentalnya adalah, untuk apa perusahaan
memiliki persediaan sebanyak 3.000 unit, jika kemampuan jualnya hanya sebanyak 1.000 unit per bulan ?
Penghasilan kena pajak atau laba yang lebih besar dan semata-mata disebabkan oleh karena besarnya
persediaan akhir tahun dapat dikatakan hanya di atas kertas, tanpa didukung oleh kemampuan perusahaan
untuk membayar pajak. Sebaliknya pada metode Kos-MTKP, manajemen dihadapkan pada dua alternatif
jumlah penghasilan kena pajak (Rp2.962,50 juta versus Rp2.925,00 juta), tergantung pada pilihan terkait
dengan aktivitas pembeliannya. Dengan pembelian (13.500 unit) yang lebih seimbang dengan kapasitas
penjualannya (12.000 unit), perusahaan bisa memperoleh penghasilan kena pajak yang lebih besar.
Kebijakan pembelian demikian itu tidak diragukan lebih mencerminkan kemampuan perusahaan untuk
membayar pajak. Sedang metode Kos-Rerata bersifat netral, apabila dikaitkan dengan kebijakan terkait
dengan aktivitas pengadaan barang atau jasa; sehingga lebih menegaskan lagi esensi dari pertanyaan
fundamental tersebut di atas.
Analisis arus kas (sesudah pajak-dengan asumsi seluruh transaksi penjualan dan pembelian barang
dagangan dilakukan secara tunai) dapat mengklarifikasi efek kebijakan pembelian dan persediaan terhadap
profitabilitas perusahaan untuk menghasilkan laba, sebagaimana tampak berikut ini (rupiah dalam ribuan):
Efek Aktivitas Operasi Terhadap Profitabilitas dan Arus Kas dari Operasi
No
A
1
2
3
4

Deskripsi
Pembelian 15.000 unit setahun
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan (25%)
Penghasilan sesudah pajak
Laba tunai (Arus kas dari operasi)*

B
1
2
3
4

Pembelian 13.500 unit setahun


Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan (25%)
Penghasilan sesudah pajak
Laba tunai (Arus kas dari operasi)*

Kos-MPKP

Metode Akuntansi
Kos-Rerata

Kos-MTKP

Rp3.075.000,00
(768.750,00)
2.306.250,00
731.250,00

Rp3.000.000,00
(750.000,00)
2.250.000,00
750.000,00

Rp2.925.000,00
(731.250,00)
2.193.750,00
768.750,00

Rp3.037.500,00
(759.375,00)
2.278.125,00
1.490.625,00

Rp3.000.000,00
(750.000,00)
2.250.000,00
1.500.000,00

Rp2.962.500,00
(740.625,00)
2.221.875,00
1.509.375,00

* (Penerimaan kas dari penjualan) (Pengeluaran kas untuk pembelian + Pajak penghasilan).

Perhatikan bahwa kebijakan pembelian yang lebih seimbang dengan kapasitas penjualan perusahaan
membuat perbedaan antara laba akuntansi dengan arus kas dari operasi (laba tunai) sesudah pajak semakin
kecil. Di samping itu, perbedaan arus kas dari operasi (laba tunai) sesudah pajak antar metode akuntansi juga
relatif kecil dibanding perbedaan laba akuntansinya. Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa: (i) kebijakan
terkait dengan aktivitas operasi berdampak pada profitabilitas perusahaan, dan (ii) kebijakan persediaan yang
mendekati kapasitas penjualan lebih disarankan.
Efek Terhadap Profitabilitas

Setiap perusahaan dihadapkan pada dua pasar, yaitu: (i) pasar barang/jasa (pasar input & output), dan (ii)
pasar modal. Untuk bisa mempertahankan kontinyuitas dan mengembangkan usahanya, setiap perusahaan
dituntut untuk bisa akses atau berkompetisi pada kedua pasar tersebut. Kemampuan perusahaan untuk akses
atau berkompetisi di pasar modal pada khususnya, juga mutlak diperlukan agar manajemen bisa membuat
keputusan-keputusan investasi dan pendanaan yang optimal. Ketidakmampuan perusahaan untuk akses ke
pasar modal menyebabkan manajemen tidak bisa membuat keputusan investasi dan pendanaan yang optimal.
Efek Aktivitas Investasi

Secara garis besar aktivitas investasi adalah upaya penetapan jumlah dan struktur aset perusahaan.
Ketidakmampuan perusahaan untuk akses ke pasar modal akan membuat keputusan atau aktivitas investasi
yang dilakukan oleh manajemen menjadi tidak optimal, sehingga sedikit-banyak akan berdampak pada
kemampuan perusahaan untuk memperoleh penghasilan kena pajak.
Contoh-9: Efek Aktivitas Investasi

21

Dengan asumsi investasi di sektor riil (pasar barang & jasa) bersifat instan -berjangka waktu satu tahunandan harus merupakan kelipatan Rp100,00 juta, suatu perusahaan wajib pajak badan-dalam negeri dihadapkan
pada berbagai alternatif investasi untuk ekspansi atau perluasan usaha pada awal tahun 2010 sebagaimana
tersebut pada tabel dibawah ini.
Kemampuan perusahaan untuk bisa akses ke pasar modal menentukan seberapa besar investasi yang
akan dilakukan pada awal tahun 2010. Jika perusahaan tidak bisa akses ke pasar modal, sehingga tidak bisa
mendapatkan sumber dana dari kreditur (dan harus mengandalkan sumber dana hanya dari pemilik), maka
besar-kecilnya investasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan akan tergantung pada seberapa besar
kesanggupan pemilik untuk menyediakan dana dengan jumlah maksimum sebesar Rp800,00 juta (karena
investasi sebesar Rp200, 00 juta terakhir sudah tidak lagi menghasilkan keuntungan).
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Besaran
Investasi
Rp100,00 juta ke-1
Rp100,00 juta ke-2
Rp100,00 juta ke-3
Rp100,00 juta ke-4
Rp100,00 juta ke-5
Rp100,00 juta ke-6
Rp100,00 juta ke-7
Rp100,00 juta ke-8
Rp100,00 juta ke-9
Rp100,00 juta ke-10

Tingkat ROIsebelum pajak


250 %
200 %
150 %
100 %
50 %
25 %
15 %
5%
0%
-5%

Arus Kas
Awal tahun (t0)
Akhir tahun (t1)
Rp(100.000.000,00)
Rp350.000.000,00
(100.000.000,00)
300.000.000,00
(100.000.000,00)
250.000.000,00
(100.000.000,00)
200.000.000,00
(100.000.000,00)
150.000.000,00
(100.000.000,00)
125.000.000,00
(100.000.000,00)
115.000.000,00
(100.000.000,00)
105.000.000,00
(100.000.000,00)
100.000.000,00
(100.000.000,00)
95.000.000,00

Berikut adalah ikhtisar penghasilan kena pajak, beban pajak penghasilan, dan penghasilan sesudah pajak
yang dapat diperoleh oleh perusahaan dari aktivitas investasinya pada berbagai alternatif jumlah dana yang
dapat disediakan oleh pemilik perusahaan (rupiah dalam ribuan):
(i) Keputusan investasi, jika perusahaan tidak bisa akses ke pasar modal
Jumlah Dana Disediakan oleh Pemilik
No
Deskripsi
Rp400,00 juta
Rp600,00 juta
Rp800,00 juta
1
Penerimaan kas (dari investasi)
Rp1.100.000,00
Rp1.375.000,00
Rp1.595.000,00
2
Krg: Pengeluaran kas (Investasi-ekspansi)
(400.000,00)
(600.000,00)
(800.000,00)
3
Selisih (= Penghasilan kena pajak)
Rp700.000,00
Rp775.000,00
Rp795.000,00
4
Pajak penghasilan (25%)
(175.000,00)
(193.750,00)
(198.750,00)
5
Penghasilan sesudah pajak
Rp525.000,00
Rp581.250,00
Rp596.250,00
6
ROI-sesudah pajak
131,25%
96,88%
74,53%

Perhatikan bahwa semakin besar jumlah investasi, semakin rendah tingkat pengembaliannya. Akan
tetapi, haruskah perusahaan berinvestasi hanya sebesar Rp400,00 juta atau bahkan sebesar Rp100,00 juta
saja sehingga tingkat pengembaliannya justru jauh lebih tinggi lagi (187,50%)? Keputusan investasi yang
optimal harus mempertimbangkan biaya modal. Investasi harus dilakukan sejauh pengembalian investasi
dapat menutup biaya modal. Setiap perusahaan harus berhenti invest sampai dengan tingkat pengembalian
investasi (marjinal) tersebut sama dengan biaya modalnya. Dengan mempertimbangkan biaya modal, bisa
jadi investasi sebesar Rp800,00 juta masih dapat dibenarkan karena biaya modalnya besar kemungkinan
masih jauh dibawah 74,53%. Akan tetapi benarkah demikian, apa yang terjadi apabila pemilik perusahaan
juga tidak mempunyai dana yang diperlukan oleh perusahaan? Haruskah perusahaan tidak melakukan
ekspansi atau memperluas usahanya? Untuk itulah akses ke pasar modal mutlak diperlukan agar manajemen
bisa membuat keputusan investasi yang optimal.
Sekarang apa yang dapat dilakukan oleh manajemen apabila perusahaan bisa akses ke pasar modal
berdasar suku bunga 20% (sebelum pajak) atau 15% [1 0,25)(20%)] sesudah pajak. Jika perusahaan bisa
akses ke pasar modal, maka terlepas dari seberapa besar jumlah dana yang dapat disediakan oleh pemilik;
jumlah investasi yang harus dilakukan oleh manajemen adalah Rp600,00 juta (kelipatan investasi yang
menghasilkan keuntungan sebesar satu tingkat di atas suku bunga yang berlaku di pasar modal). Dengan lain
perkataan, dihadapkan pada alternatif investasi dan kemampuan untuk akses ke pasar modal berdasar suku
bunga 20% tersebut, investasi sebesar Rp600,00 juta merupakan investasi yang optimal. Jumlah investasi
yang optimal sebesar Rp600,00 juta tersebut dapat dievaluasi sebagai berikut (rupiah dalam ribuan).

22

(ii) Keputusan investasi, perusahaan bisa akses ke pasar modal berdasar suku bunga 20%
Jumlah Dana Disediakan oleh Pemilik
No
Deskripsi
Rp400,00 juta
Rp600,00 juta
Rp800,00 juta
1
Penerimaan kas: Investasi- Sektor Riil (t1)
Rp1.375.000,00
Rp1.375.000,00
Rp1.375.000,00
Investasi-Pasar modal (t1)
(240.000,00)
--------------------240.000,00
Jumlah penerimaan kas (t1)
Rp1.135.000,00
Rp1.375.000,00
Rp1.615.000,00
2
Pengeluaran kas: Investasi-Sektor Riil (t0)
Rp(600.000,00)
Rp(600.000,00)
Rp(600.000,00)
Investasi -Pasar modal (t0)
200.000,00
-------------------(200.000,00)
Jumlah pengeluaran kas (t0)
Rp(400.000,00)
Rp(600.000,00)
Rp(800.000,00)
3
Selisih (= Penghasilan kena pajak)
Rp735.000,00
Rp775.000,00
Rp815.000,00
4
Pajak penghasilan (25%)
(183.750,00)
(193.750,00)
203.750,00
5
Penghasilan sesudah pajak
Rp551.250,00
Rp581.250,00
Rp611.250,00
6
ROI -sesudah pajak
137,81%
96,88%
76,41%

Perhatikan bahwa dengan akses ke pasar modal, perusahaan bisa berinvestasi di sektor riil (melakukan
ekspansi usaha) senantiasa dalam jumlah Rp600,00 juta terlepas dari berapapun jumlah dana yang dapat
disediakan oleh pemilik perusahaan. Jumlah investasi sebesar Rp600,00 juta tersebut dapat dikatakan
sebagai investasi yang optimal. Perhatikan juga bahwa berapapun dana yang dapat disediakan oleh pemilik
dapat dikelola oleh manajemen untuk menghasilkan laba yang lebih besar atau profitabilitas yang lebih
tinggi, dibandingkan dengan apabila perusahaan tidak bisa akses ke pasar modal. Semakin besar jumlah dana
yang dapat disediakan oleh pemilik perusahaan (untuk jumlah di atas investasi yang optimal) bukannya
semakin tinggi tingkat pengembalian atau profitabilitasnya, tetapi justru sebaliknya semakin rendah
(menurun) tingkat pengembalian yang didapat dari investasinya.
Efek Dari Aktivitas Pendanaan

Secara garis besar, aktivitas pendanaan dapat didefinisikan sebagai upaya penetapan jumlah dan struktur
modal perusahaan. Agar manajemen dapat membuat keputusan menyangkut jumlah dan struktur modal yang
optimal, setiap perusahaan dituntut untuk bisa akses atau berkompetisi di pasar modal. Struktur modal yang
optimal (kalau benar ada), dicapai pada tingkat biaya modal yang paling rendah (minimum). Oleh karena itu,
aktivitas pendanaan harus bertujuan pada minimisasi biaya modal. Semakin rendah biaya modal, semakin
banyak peluang investasi yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan. Dengan demikian, biaya modal yang
relatif rendah dibanding biaya modal perusahaan pesaing merupakan keunggulan strategik yang dimiliki oleh
suatu perusahaan. Itulah sebabnya mengapa struktur modal yang optimal juga membantu meningkatkan
kemampuan perusahaan untuk memperoleh penghasilan kena pajak atau profitabilitas perusahaan. Contoh
berikut ini dapat memberikan gambaran tentang efek dari aktivitas pendanaan/pembiayaan terhadap
penghasilan kena pajak atau profitabilitas perusahaan.
Contoh-10: Efek Aktivitas PendanaanTerhadap Profitabilitas

Dua perusahaan wajib pajak-badan dalam negeri yang bergerak dalam industri yang sama, pada awal tahun
2010 mengoperasikan total dan struktur aset yang sama tetapi berbeda dalam struktur modalnya
sebagaimana tampak berikut ini (rupiah dalam ribuan):
No

Deskripsi
Aset

Perusahaan-A

Total aset

2
3
4

Utang dan Ekuitas


Total utang (dengan suku bunga tetap 12%)
Total ekuitas
Total utang dan ekuitas

Perusahaan-B

Rp500.000,00

Rp500.000,00

Rp250.000,00
250.000,00
Rp500.000,00

500.000,00
Rp500.000,00

Perusahaan A merupakan tipikal perusahaan yang tidak bisa akses ke pasar modal, yang ditengarai oleh
struktur modal yang semata-mata mengandalkan pada sumber dana yang berasal dari pemilik atau pemegang
saham (ekuitas). Sedang perusahaan-B merupakan tipikal perusahaan yang bisa akses ke pasar modal,
dengan struktur modal yang berupa kombinasi antara utang dan ekuitas.
No
1

Deskripsi
Laba sblm bunga dan pajak

ROA = 15%
A
B
Rp75,00
Rp75,00

ROA = 12%
A
B
Rp60,00
Rp60,00

ROA = 9%
A
B
Rp45,00
Rp45,00

23

2
Beban bunga
3
Penghasilan kena pajak
4
Pajak penghasilan (25%)
5
Penghasilan sesudah pajak
6
Return on equity (ROE)*
* (Penghasilan sesudah pajak)/(Total ekuitas)

Rp75,00
(18,75)
Rp56,25
11,25%

(30,00)
Rp45,00
(11,25)
Rp33,75
13,50%

Rp60,00
(15,00)
Rp45,00
9,00%

(30,00)
Rp30,00
(7,50)
Rp22,50
9,00%

Rp45,00
(11,25)
Rp33,75
7,00%

(30,00)
Rp15,00
(3,75)
Rp11,25
4,50%

Faktor lingkungan terpenting yang akan menentukan profitabilitas kedua perusahaan adalah kondisi
perekonomian atau industri pada umumnya, yang biasanya diukur atau dinyatakan dalam bentuk tingkat laba
relatif atau rentabiltas dari total aset (ROA = jumlah laba sebelum bunga & pajak atau EBIT dibagi total aset)
-kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba relatif dalam perbandingannya dengan total asetnya.
Tabel di atas menunjukkan ikhtisar efek profitabilitas dari kedua perusahaan pada berbagai alternatif kondisi
perekonomian atau industri pada umumnya sebagaimana tercermin pada rentabilitas dari total asetnya
tersebut (rupiah dalam jutaan).
Perhatikan bahwa dalam kondisi perekonomian apapun (ditunjukkan oleh retabilitas ekonomis- atau
return on total assets-ROA), jumlah penghasilan kena pajak perusahaan-A senantiasa lebih besar dibanding
jumlah penghasilan kena pajak perusahaan-B. Hal ini disebabkan oleh karena perusahaan-A kehilangan
peluang untuk mengurangkan atau tidak berhak untuk mengklaim adanya biaya bunga sebagai pengurang
dari penghasilan netonya (karena tidak mempunyai utang di dalam struktur modalnya). Sebagai
konsekuensinya, perusahaan-A harus membayar pajak penghasilan yang juga senantiasa lebih besar
dibanding perusahaan-B. Selisih beban pajak penghasilan tersebut berjumlah sama dengan tarif pajak dikali
beban bunga (= Tp X Biaya bunga). Sebaliknya, perusahaan-B yang mempunyai utang di dalam struktur
modalnya bisa memperoleh penghematan pajak sebesar tarif pajak dikali beban bunga atas utang terkait.
Perhatikan bahwa dalam kondsi perekonomian apapun (tercermin pada ROA), beban pajak penghasilan
perusahaan-B berjumlah Rp7,50 juta ( 0,25 X Rp30,00 juta) lebih rendah dibanding perusahaan-A.
Efek selanjutnya tergantung pada kondisi perekonomian atau industri pada umumnya. Pada tingkat
ROA sebesar 15% (lebih tinggi dari suku bunga utang), penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan-B
karena mempunyai utang di dalam struktur modalnya berdampak positif bagi para pemilik perusahaan. Hal
ini tampak pada rentabilitas modal sendiri (return on equity-ROE) perusahaan-B (13,50%) yang lebih tinggi
dibanding perusahaan-A (11,25%). Pada hal kemampuan untuk memperoeh pendapatan (revenue generating
ability) kedua perusahaan berjumlah sama besarnya.
Pada tingkat rentabilitas ekonomis (ROA) sebesar 12% (sama dengan suku bunga utang), penghematan
pajak yang didapat oleh perusahaan-B karena mempunyai utang di dalam struktur modalnya berdampak
netral bagi para pemilik perusahaan. Hal ini tampak pada rentabilitas modal sendiri (ROE) perusahaan-B
(9,00%) yang sama dengan perusahaan-A (9,00%).
Pada tingkat rentabilitas ekonomis (ROA) sebesar 9% (lebih rendah dari suku bunga utang),
penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan-B karena mempunyai utang di dalam struktur modalnya
berdampak negatif bagi para pemilik perusahaan. Hal ini tampak pada rentabilitas modal sendiri (ROE)
perusahaan-B (4,50%) yang lebih rendah dibanding perusahaan-A (7,00%). Dalam kondisi terakhir
penghematan pajak dari biaya bunga menjadi sia-sia atau tidak bermanfaat.
Sebagai perusahaan yang tidak mempunyai utang di dalam struktur modalnya, ROE perusahaan-A
selalu berjumlah sama dengan (1 Tp)(ROA). Berbeda halnya dengan perusahaan-B yang mempunyai utang
di dalam struktur modalnya. ROE perusahaan-B bisa jadi lebih besar, sama dengan, atau kurang dari (1 Tp)
(ROA). Dengan lain perkataan, efek penghematan pajak dari beban bunga atas utang terhadap para
pemilik/pemegang saham perusahaan bisa jadi positif, netral, atau negatif.
Ketidakmampuan perusahaan untuk akses ke pasar modal juga membuat kemampuannya untuk
memberikan imbalan kepada para pemodal (capital providers) yang relatif lebih kecil dibanding kemampuan
perusahaan yang bisa akses ke pasar modal. Perusahaan memberikan imbalan kepada para pemodal dalam
bentuk utang (kreditur) berupa bunga, dan imbalan kepada para pemodal dalam bentuk ekuitas berupa
penghasilan/laba bersih sesudah pajak. Tabel berikut ini menunjukkan kemampuan relatif dari kedua
perusahaan di dalam memberikan imbalan kepada para pemodal tersebut (rupiah dalam ribuan):
No
1
2
3
4

Deskripsi
Laba sblm bunga dan pajak
Beban bunga
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan (25%)

ROA = 15%
A
B
Rp75,00
Rp75,00
(30,00)
Rp75,00
Rp45,00
(18,75)
(11,25)

ROA = 12%
A
B
Rp60,00
Rp60,00
(30,00)
Rp60,00
Rp30,00
(15,00)
(7,50)

ROA = 9%
A
B
Rp45,00
Rp45,00
(30,00)
Rp45,00
Rp15,00
(11,25)
(3,75)

24

5
6
7

Laba bersih (= pemilik)


Bunga atas utang (= kreditur)
Total imbalan kpd pemodal

Rp56,25
Rp56,25

Rp33,75
30,00
Rp63,75

Rp45,00
Rp45,00

Rp22,50
30,00
Rp52,50

Rp33,75
Rp33,75

Rp11,25
30,00
Rp41,25

Perhatikan bahwa perusahaan-B sebagai tipikal perusahaan yang bisa akses ke pasar modal
berkemampuan untuk memberikan imbalan kepada para pemodal yang lebih besar dibanding perusahaan-A.
Selisih lebih kemampuan untuk memberikan imbalan kepada para pemodal tersebut berjumlah Rp7,50 juta,
sama dengan penghematan pajak dari bunga atas utang yang didapat oleh perusahaan-B. Akan tetapi, hemat
pajak yang didapat oleh perusahaan-B dalam kondisi ROA (9%) < dari suku bunga utang (12%) bisa
dikatakan tidak bermanfaat. Perhatikan bahwa dalam kondisi ROA sebesar 9%, para pemilik perusahaan
memperoleh imbalan sebesar Rp11,25 juta atau 4,5% dari penyertaan modalnya. Sedang imbalan yang
diterima oleh para kreditur berjumlah Rp30,00 juta atau 12% dari modal yang ditempatkan di dalam
perusahaan. Pertanyaan krusialnya adalah siapakah pihak yang sebenarnya memiliki perusahaan tersebut?
TARIF PAJAK RELEVAN

Penggolongan penghasilan ke dalam kategori penghasilan bukan obyek pajak (PBOP), penghasilan obyek
pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum pasal-17 atau seringkali disebut PKP, penghasilan obyek
pajak dikenakan pajak tertentu bersifat final (POPT), dan struktur tarif pajak yang progresif membuat beban
pajak penghasilan antar perusahaan dalam suatu tahun pajak berbeda tergantung pada proporsi dari masingmasing kategori penghasilan dan jumlah atau besaran penghasilan kena pajaknya. Untuk memperoleh
penghasilan, baik yang berupa penghasilan bukan obyek pajak (PBOP), penghasilan kena pajak atau
penghasilan obyek pajak dikenakan pajak berdasar tarif umum-pasal 17 (PKP = POPTU), dan penghasilan
obyek pajak tertentu (POPT) diperlukan upaya & pengorbanan yang berupa biaya dan fasilitas atau investasi
yang sama. Tidak ada penghasilan yang bisa didapat oleh perusahaan tanpa pengorbanan atau biaya.
Pengecualian suatu penghasilan dari pengenaan pajak dapat dipandang sebagai fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah atau otoritas pajak. Oleh karena itu, untuk tujuan pengambilan keputusan terkait dengan aktivitas
operasi (seperti: penghentian atau penutupan segmen), investasi (seperti penggantian aset tetap, perluasan
usaha atau ekspansi), dan pendanaan (seperti penerbitan sekuritas utang, pelunasan utang sebelum tanggal
jatuh tempo); tarif pajak menurut ketentuan pajak (statutory rates) dapat dikatakan kurang relevan. Untuk
membuat keputusan-keputusan manajerial demikian itu, tarif pajak harus dapat dibedakan lebih lanjut ke
dalam: (i) tarif efektif (effective rate), dan (ii) tarif marjinal (marginal rate); yang untuk masing-masing
wajib pajak dan untuk wajib pajak tertentu pada setiap tahun pajaknya bisa jadi berbeda. Untuk memberikan
gambaran tentang perbedaan dari ketiga tarif pajak (statutory, effective, dan marginal rate) diberikan contoh
sebagai berikut:
Contoh-11: Statutory Rate Vs Effective Rate

Suatu perusahaan wajib pajak-badan dalam negeri memperoleh penghasilan dalam dua tahun pajak terakhir
sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
Deskripsi
Penghasilan bukan obyek pajak (PBOP)
Penghasilan kena pajak (POPTU)
Penghasilan obyek pajak tertentu (POPT)
Jumlah

Tahun 2009
Rp1.000.000,00
1.500.000,00
2.500.000,00
Rp5.000.000,00

Tahun 2010
Rp2.500.000,00
1.500.000,00
1.000.000,00
Rp5.000.000,00

Dengan asumsi ketentuan perpajakan untuk dua tahun tersebut, tarif pajak (statutory rate) yang
berlaku adalah sebagai berikut: (i) tarif pajak untuk penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar
tarif umum-pasal 17 adalah proporsional sebesar 28%, dan (ii) tarif pajak untuk penghasilan obyek pajak
tertentu yang dikenakan pajak bersifat final sebesar 15%. Perbedaan proporsi penghasilan dalam dua tahun
pajak tersebut membuat beban pajak yang sesungguhnya pada masing-masing tahun pajak menjadi sebagai
berikut (rupiah dalam ribuan):
Deskripsi
Pajak atas penghasilan bukan obyek pajak (PBOP)
Pajak atas penghasilan kena pajak (PKP = POPTU)
Pajak atas penghasilan obyek pajak tertentu (POPT)
Jumlah pajak penghasilan (1)

Tahun 2009
Rp375.000,00
375.000,00
Rp750.000,00

Tahun 2010
Rp375.000,00
150.000,00
Rp525.000,00

25

Jumlah penghasilan (2)


Tarif efektif [(1)/(2) X 100%]

Rp5.000.000,00
15,0 %

Rp5.000.000,00
10,5 %

Perhatikan bahwa semakin besar proporsi penghasilan bukan obyek pajak (PBOP) dan penghasilan
obyek pajak yang dikenakan pajak tertentu berdasar tarif final lebih rendah dari tarif umum-pasal 17 atau
penghasilan kena pajak (POPTU atau PKP), semakin rendah beban pajak penghasilan perusahaan. Beban
pajak yang semakin rendah tersebut membuat tarif efektif pajak perusahaan menjadi juga semakin rendah.
Pada contoh di atas tarif efektif dalam tahun pajak 2009 sama dengan tarif pajak final (15,0%) tetapi lebih
rendah dari tarif umum (15,0 % < 25,0 %). Sementara itu dengan total penghasilan yang sama besar, tarif
efektif untuk tahun 2010 lebih rendah dari tarif efektif tahun 2009 (10,5 % < 15,0 %) dan jauh lebih rendah
baik dari tarif umum (10,5% < 25%) maupun tarif pajak final (10,5% < 15,0%). Meskipun dalam dua tahun
tersebut berlaku tarif pajak menurut undang-undang perpajakan (statutory rates) dan perusahaan
memperoleh penghasilan yang sama besarnya, namun beban pajak pada kedua tahun pajak berbeda
jumlahnya. Tarif efektif pajak tidak lain adalah tarif pajak untuk beban pajak yang sesungguhnya relatif
dalam perbandingannya dengan jumlah penghasilan dalam suatu tahun pajak.
Pada struktur tarif yang progresif sebagaimana halnya pajak penghasilan untuk wajib pajak perorangan,
besar-kecilnya beban pajak atas penghasilan kena pajak atau penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak
berdasar tarif umum (PKP atau POPTU) tergantung pada besar-kecilnya penghasilan kena pajak dalam suatu
tahun pajak. Semakin besar penghasilan kena pajak, semakin besar pula beban pajak yang sesungguhnya.
Dalam kondisi demikian (tarif pajak yang bersifat progresif), tarif pajak dapat dibedakan ke dalam: (i) tarif
pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan (statutory rates), (ii) tarif efektif (effective rate), dan (iii) tarif
marjinal (marginal rates)
Contoh-12: Statutory rates, effective rate, dan marginal rate

Menurut ketentuan perpajakan (UU-PPh No 17 tahun 2000), tarif pajak penghasilan yang berlaku untuk
perusahaan perseorangan (wajib pajak-perorangan) ditetapkan sebagai berikut:
Deskripsi Lapisan Penghasilan Kena Pajak
1. Untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp25,00 juta pertama
2. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp25,00 juta kedua
3. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp50,00 juta kedua
4. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp100,00 juta kedua
5. Untuk penghasilan kena pajak dalam jumlah di atas Rp200,00 juta

Tarif
5%
10 %
15 %
25 %
35 %

Sesuai dengan ketentuan tarif pajak (statutory rates) tersebut di atas, beban dan tarif pajak pada berbagai
alternatif jumlah penghasilan kena pajak dapat ditentukan sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
No
PKP (1)
PPh (2)
PKP (3)
PPh (4)
T.E (5)
1
Rp0,00
Rp0,00
2
25.000,00
1.250,00
Rp25.000,00
Rp1.250,00
5,00 %
3
50.000,00
3.750,00
25.000,00
2.500,00
7,50 %
4
75.000,00
7.500,00
25.000,00
3.750,00
10,00 %
5
100.000,00
11.250,00
25.000,00
3.750,00
11,25 %
6
125.000,00
17.500,00
25.000,00
6.250,00
14,00 %
7
150.000,00
23.750,00
25.000,00
6.250,00
15,83 %
8
175.000,00
30.000,00
25.000,00
6.250,00
17,14 %
9
200.000,00
36.250,00
25.000,00
6.250,00
18,125 %
10
225.000,00
45.000,00
25.000,00
8.750,00
20,00 %
11
250.000,00
53.750,00
25.000,00
8.750,00
21,50 %
12
275.000,00
62.500,00
25.000,00
8.750,00
22,73 %
13
300.000,00
71.250,00
25.000,00
8.750,00
23,75 %
14
325.000,00
80.000,00
25.000,00
8.750,00
24,62 %
15
350.000,00
88.750,00
25.000,00
8.750,00
25,36 %
(2) Jumlah kolom (1) dikali tarif yang berlaku dengan memperhatikan lapisan PKP
(3) Jumlah penghasilan kena pajak pada baris terkait minus jumlah penghasilan kena pajak pada baris sebelumnya
(4) Jumlah kolom (3) dikali tarif sesuai ketentuan Undang-undang
(5) Jumlah kolom (2) dibagi jumlah kolom (1)
(6) Tarif marjinal sesuai dengan ketentuan Undang-undang

T.M (6)
5,00 %
10,00 %
15,00 %
15,00 %
25,00 %
25,00 %
25,00 %
25,00 %
35,00 %
35,00 %
35,00 %
35,00 %
35,00 %
35,00 %

26

Perhatikan bahwa tarif efektif pajak penghasilan (kolom-5) berbeda tergantung pada besaran
penghasilan kena pajak, semakin besar penghasilan kena pajak semakin tinggi pula tarif efektif pajaknya.
Tarif efektif pajak penghasilan adalah rasio beban pajak penghasilan relatif terhadap total penghasilan kena
pajak; sehingga pada hakekatnya merupakan rerata tarif pajak atas total penghasilan kena pajak.
Sebagaimana tampak pada tabel, kenaikan tarif efektif semakin berkurang. Sementara kenaikan penghasilan
kena pajak berjumlah Rp25,00 juta berakibat pada kenaikan tarif efektif tertinggi sebesar 5% (yang terjadi
pada kenaikan penghasilan kena pajak dari semula nihil menjadi Rp25,00 juta) hingga 0,74% (yang terjadi
pada kenaikan penghasilan kena pajak dari Rp325,00 juta hingga Rp350,00 juta); bahkan kenaikan tarif
efektif bisa kurang dari 0,74% (untuk setiap kenaikan penghasilan kena pajak sebesar Rp25,00 juta dari
jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp350,00 juta). Dengan statutory rates yang tertinggi sebesar 35%
(untuk penghasilan kena pajak di atas Rp200,00 juta), sebagai akibatnya tarif efektif pajak akan senantiasa
lebih rendah atau kurang dari 35% berapapun besarnya penghasilan kena pajak.
Sedang tarif marjinal (kolom-6) adalah tarif yang ditetapkan oleh Undang-undang sesuai dengan
lapisan penghasilan kena pajaknya. Seperti halnya tarif efektif, semakin besar jumlah penghasilan kena pajak
semakin tinggi pula tarif marjinalnya. Namun kenaikan tarif marjinal berbeda dengan kenaikan tarif efektif.
Kenaikan tarif marjinal sama dengan progresivitas tarif yang ditetapkan oleh undang-undang perpajakan
(yang sesuai dengan statutory rates ada 5 macam tarif marjinal, masing-masing: 5%, 10%, 15%, 25%, dan
35%). Sebagaimana tampak pada tabel di atas, sementara penghasilan kena pajak mengalami kenaikan
sebesar Rp25,00 juta namun tarif marjinal bisa sebesar 5% hingga 35%; tergantung pada posisi kenaikan
penghasilan kena pajak relatif dalam perbandingannya dengan jumlah penghasilan kena pajak sebelum
mengalami kenaikan. Sebagai akibatnya, tarif marjinal bisa jadi sama dengan tetapi tidak pernah lebih
rendah atau kurang dari tarif efektifnya.
Contoh-13: Statutory rates, effective rate, dan marginal rate

Menurut ketentuan perpajakan (UU-PPh No 36 tahun 2008), tarif pajak penghasilan yang berlaku untuk
perusahaan perseorangan (WP-orang pribadi dalam negeri) ditetapkan sebagai berikut:
Deskripsi Lapisan Penghasilan Kena Pajak
1. Untuk penghasilan kena pajak s/d Rp50,00 juta pertama
2. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp50,00 juta s/d Rp250,00 juta
3. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp250,00 juta s/d Rp500,00 juta
4. Untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp500,00 juta

Tarif
5%
15%
25 %
30 %

Sesuai dengan ketentuan tarif pajak (statutory rates) tersebut di atas, beban dan tarif pajak pada berbagai
alternatif jumlah penghasilan kena pajak dapat ditentukan sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
No
1
2
3
4
5
10
11
12
13
14
15

PKP (1)
Rp0,00
50.000,00
150.000,00
250.000,00
350.000,00
450.000,00
550.000,00
650.000,00
750.000,00
850.000,00
950.000,00

PPh (2)
Rp0,00
2.500,00
17.500,00
32.500,00
57.500,00
82.500,00
110.000,00
140.000,00
170.000,00
200.000,00
230.000,00

PKP (3)
Rp50.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
50.000,00
50.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00
100.000,00

PPh (4)
Rp2.500,00
15.000,00
15.000,00
25.000,00
25.000,00
12.500,00
15.000,00
30.000,00
30.000,00
30.000,00
30.000,00

T.E (5)
5,00 %
11,67 %
13,00 %
16,43 %
18,33 %
20,00 %
21,54 %
22,67 %
23,53 %
24,21 %

T.M (6)
5,00 %
15,00 %
15,00 %
25,00 %
25,00 %
25,00 %
30,00 %
30,00 %
30,00 %
30,00 %
30,00 %

Perhatikan bahwa tarif efektif pajak penghasilan (kolom-5) berbeda tergantung pada besaran
penghasilan kena pajak, semakin besar penghasilan kena pajak semakin tinggi pula tarif efektif pajaknya.
Sebagai rasio beban pajak penghasilan relatif terhadap total penghasilan kena pajak; pada hakekatnya tarif
efektif pajak penghasilan merupakan rerata tarif pajak atas total penghasilan kena pajak. Sebagaimana
tampak pada tabel, kenaikan tarif efektif semakin berkurang; yang dimulai dari 10% (untuk kenaikan
penghasilan kena pajak dari semula nihil menjadi Rp50,00 juta) hingga 0,57% (untuk kenaikan penghasilan

27

kena pajak dari semula Rp850,00 juta menjadi Rp950,00 juta). Bahkan kenaikan tarif efektif pajak
penghasilan bisa kurang dari 0,57%, untuk setiap kenaikan penghasilan kena pajak sebesar Rp100,00 juta
dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp950,00 juta. Dengan statutory rates yang tertinggi sebesar 30%
(untuk penghasilan kena pajak di atas Rp500,00 juta), sebagai akibatnya tarif efektif pajak akan senantiasa
lebih rendah atau kurang dari 30% berapapun besarnya penghasilan kena pajak.
Dengan jumlah penghasilan kena pajak merupakan kelipatan dari Rp50,00 juta, maka tarif efektif
adalah rata-rata tertimbang dari statutory rates. Pada tingkat penghasilan kena pajak sebesar Rp100,00 juta
misalnya, tarif efektif dapat ditentukan sebagai berikut: [1(0,05) + 1(0,15) = (0,05 + 0,15)/(1 + 1) = 0,10]
atau 10%; dan pada tingkat penghasilan kena pajak sebesar Rp250,00 juta: [1(0,05 + 4(0,15) = (0,05 + 0,60)/
(1 + 4) = 0,13] atau 13%.. Demikian pula tarif efektif untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp500,00 juta
adalah 19% [(0,05 + 0,60 + 1,25)/(1 + 4 + 5)]; dan tarif efektif untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp1,00
milyar adalah 24,5% [(0,05 + 0,60 + 1,25 + 3,00)/(1 + 4 + 5 + 10)]. Sesuai dengan statutory rates,
penghasilan kena pajak sebesar Rp1,00 milyar merupakan 1 kali kelipatan dari Rp50,00 juta untuk tarif
sebesar 5%, plus 4 kali kelipatan dari Rp50,00 juta untuk tarif sebesar 15%, plus 5 kali kelipatan dari
Rp50,00 juta untuk tarif sebesar 25%, plus 10 kali kelipatan dari Rp50,00 juta untuk tarif sebesar 30%.
Sedang tarif marjinal (kolom-6) adalah tarif yang ditetapkan oleh Undang-undang sesuai dengan
lapisan penghasilan kena pajak (statutory rates). Seperti halnya tarif efektif, semakin besar jumlah
penghasilan kena pajak semakin besar pula tarif marjinalnya. Namun kenaikan tarif marjinal berbeda dengan
kenaikan tarif efektif. Kenaikan tarif marjinal mengikuti atau sama dengan progresivitas tarif yang
ditetapkan oleh undang-undang perpajakan (yang sesuai dengan statutory rates ada 4 macam tarif marjinal,
yaitu: 5%, 15%, 25%, dan 30%). Sebagaimana tampak pada tabel di atas, sementara penghasilan kena pajak
mengalami kenaikan sebesar kelipatan dari Rp50,00 juta namun tarif marjinal bisa sebesar 5% hingga 30%
tergantung pada jumlah kenaikan penghasilan kena pajak relatif dalam perbandingannya dengan jumlah
penghasilan kena pajak sebelum mengalami kenaikan. Oleh karena itu, tarif marjinal bisa jadi sama dengan
tetapi tidak pernah lebih rendah atau kurang dari tarif efektifnya.
Relevansi Tarif Efektif dan Tarif Marjinal

Suatu perusahaan yang tarif efektif pajaknya lebih rendah dari perusahaan pesaing (untuk total penghasilan
yang sama besarnya) mempunyai keunggulan kompetitif (daya saing) dibanding perusahaan pesaing
tersebut. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meminimisasi tarif efektif pajak perlu senantiasa dilakukan
oleh manajemen. Informasi tentang tarif efektif sangat diperlukan oleh manajemen di dalam membuat
perencanaan laba dan pengambilan keputusan terkait dengan aktivitas operasi, investasi dan pendanaan. Hal
yang juga sama pentingnya adalah mengetahui tarif marjinal pajak perusahaan untuk dapat membuat
perencanaan dan pengambilan keputusan finansial lainnya. Untuk dapat lebih memahami arti pentingnya
efek dari tarif efektif dan tarif marjinal pajak diberikan contoh-contoh sebagai berikut.
Contoh-14: Relevansi Tarif Efektif

Dua perusahaan sejenis wajib pajak-badan dalam negeri, dalam tahun pajak 2009 mempunyai kapasitas dan
target produksi & penjualan serta struktur biaya yang sama, tetapi mempunyai tarif efektif pajak yang
berbeda sebagai berikut:
Deskripsi
Kapasitas produksi & penjualan
Target produksi & penjualan
Harga jual per unit produk (Rph)
Biaya variabel per unit produk (Rph)
Biaya tetap per tahun (Rph)
Tarif efektif pajak penghasilan

PT ABC
1.300 unit
1.250 unit
10.000.000,00
6.000.000,00
2.500.000.000,00
25 %

PT BCA
1.300 unit
1.250 unit
10.000.000,00
6.000.000,00
2.500.000.000,00
28 %

Sebagaimana tampak pada tabel berikut ini, kedua perusahaan mempunyai tingkat penjualan impas
(break even point) dan margin of safety yang sama, masing-masing 625 unit atau Rp6,25milyar [(Rp2.500,00
juta/Rp4,00 juta) X 1 unit atau (Rp2,50 milyar/0,40)], dan 50% [(Rp12,50 milyar - Rp6,25 milyar)/Rp12,50
milyar) X 100%]. Dengan asumsi realisasi produksi & penjualan dalam tahun berjalan sama dengan target
produksi dan penjualan, maka perbedaan tarif efektif pajak penghasilan membuat PT ABC berpeluang untuk
dapat menghasilkan after-tax profit margin yang lebih besar (Catatan: Tarif pajak untuk wajib pajak-badan

28

bersifat proporsional, sehingga tarif efektif pajak dari setiap perusahaan akan senantiasa sama dengan
statutory rate, yang menurut UU PPh-tahun 2008 adalah 28% untuk tahun 2009 dan 25% untuk tahun 2010
dan seterusnya).
Penghasilan atau laba sesudah pajak (after-tax profit margin) sama dengan hasil perkalian dari
persentase atau jumlah relatif penghasilan kena pajak terhadap peredaran bruto dengan (1 tarif efektif)
-yang pada PT ABC adalah (0,20) X (1- 0,25), sedang pada PT BCA adalah (0,20)(1 0,28). Perbedaan tarif
pajak sebesar 3% (dari 28% dibanding 25%) membuat PT ABC berkemampuan untuk menghasilkan aftertax profit margin 0,6% (15,0 % - 14,4 %) lebih tinggi dibanding PT BCA. Selisih after-tax profit margin
sebesar 0,6% tersebut sama dengan selisih tarif pajak dikali persentase atau jumlah relatif penghasilan kena
pajak dari peredaran brutonya [(0,28 0,25) X 20%].
No
1
2
3
4
5
6

Deskripsi
Hasil penjualan menurut target produksi & penjualan
Tingkat penjualan impas
Margin of safety
Dalam rupiah (3 = 1 2)
Dalam persentase [3 = (1 2)/ 1]
Penghasilan kena pajak
Dalam rupiah [(0,40 X 1) Rp2,50 milyar]
Dalam persentase (4/ 1)
Pajak penghasilan (5 = Tp X 4)
After tax profit margin (*):
Dalam rupiah
Dalam persentase

PT ABC
Rp12.500.000.000,00
6.250.000.000,00

PT BCA
Rp12.500.000.000,00
6.250.000.000,00

Rp6.250.000.000,00
50 %

Rp6.250.000.000,00
50 %

Rp2.500.000.000,00
20 %
Rp625.000.000,00

Rp2.500.000.000,00
20 %
Rp700.000.000,00

Rp1.875.000.000,00
15,0 %

Rp1.800.000.000,00
14,4 %

(*) PT ABC = (1 - 0,25) X [(0,40 X Rp12.500,00 juta - Rp2.500,00 juta) = Rp1.875,00 juta atau 15,0 %
PT BCA = (1 - 0,28) X [(0,40 X Rp12.500,00 juta - Rp2.500,00 juta] = Rp1.800,00 juta atau 14,4 %

Pada tarif pajak proporsional, tarif efektif pajak penghasilan dapat dinyatakan dari peredaran bruto
sebagai statutory rate dikali persentase ata jumlah relatif penghasilan kena pajak dari peredaran bruto. Pada
tingkat penghasilan kena pajak sebesar 20% dari peredaran bruto misalnya, tarif pajak penghasilan sebesar
25% (PT ABC) akan ekuivalen dengan 5% (0,25 X 20%) dari peredaran bruto; dan tarif pajak penghasilan
sebesar 28% (PT BCA) akan ekuivalen dengan 5,6% (0,28 X 20%) dari peredaran brutonya.
Contoh-15: Relevansi Tarif Marjinal

Suatu perusahaan perseorangan (wajib pajak perorangan) sedang mempertimbangkan untuk memperluas
usahanya dengan bekerja dua shift per hari selama 5 hari kerja per minggu terhitung sejak awal tahun 2010.
Berikut adalah ikhtisar laba-rugi perusahaan dalam tahun pajak 2009:
No
1
2
3
4
5
6
7

Deskripsi
Hasil penjualan
Biaya variabel (50%)
Laba kontribusi (50%)
Krg: Biaya tetap
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan
Laba bersih sesudah pajak

Jumlah
Rp1.200.000.000,00
600.000.000,00
600.000.000,00
350.000.000,00
250.000.000,00
32.500.000,00
Rp217.500.000,00

%
100,00
50,00
50,00
29,17
20,83
2,71
18,13

Tanpa memperluas usahanya (atau dengan tetap bekerja 1 shift per hari) diharapkan dalam tahun pajak 2010
perusahaan akan tetap dapat mempertahankan after tax profit margin yang sama dengan tahun sebelumnya
sebesar Rp217,50 juta atau 18,13%. Ekspansi akan berdampak pada kenaikan biaya tetap sebesar Rp150,00
juta per tahun (dari semula sebesar Rp350,00 juta menjadi Rp500,00 juta), namun tetap dapat
mempertahankan rasio biaya variabel terhadap hasil penjualan sebesar 50% atau rasio laba kontribusi sebesar
50% seperti halnya pada tahun sebelumnya.
Perhatikan bahwa tingkat penghasilan kena pajak perusahaan (sebelum ekspansi) berjumlah Rp250,00
juta, yang berarti tarif pajak yang relevan bagi perusahaan tidak lagi tarif efektif sebesar 13% [(Rp32,50 juta/
Rp250,00 juta) X 100%] tetapi tarif marjinal sebesar 25% untuk tambahan penghasilan kena pajak sampai
dengan Rp250,00 juta dan 30% untuk tambahan penghasilan kena pajak di atas Rp250,00 juta.

29

(i)

(ii)

Penjualan minimum agar ekspansi berupa penambahan jumlah jam kerja tidak berakibat mengurangi
laba bersih yang dapat diperoleh dari aktivitas operasi sebanyak satu shift per hari dapat ditentukan
berdasar formula penjualan impas sebagai berikut:
Penjualan minimum-shift II = (Biaya tetap shift II)/ (Rasio laba kontribusi)
= (Rp150,00 juta)/(0,50)
= Rp300,00 juta.
Penjualan minimum agar ekspansi berupa penambahan jumlah jam kerja menghasilkan laba bersih
sesudah pajak sebesar Rp187,50 juta [(1 0,25) X Rp250,00 juta] sehingga tarif marjinal 25%
berlaku penuh, dapat ditentukan berdasar formula penjualan impas dengan terlebih dulu menentukan
jumlah penghasilan kena pajak yang harus dihasilkan setelah memperhitungkan tarif pajak marjinal
sebesar 25% sebagai berikut:
Penghasilan kena pajak-shit II
Penjualan minimum -shift II

= (Rp187,50 juta)/ (1 - 0,25)


= Rp250,00 juta
= (Rp150,00 juta + Rp250,00 juta)/(0,50)
= Rp800,00 juta

Hasil perhitungan penjualan minimum yang harus dicapai dari aktivitas operasi shift-II agar diperoleh laba
sesudah pajak sebesar Rp187,50 juta tersebut dapat diverifikasi sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
No
1
2
3
4
5
6
7

Deskripsi
Hasil penjualan
Biaya variabel (50%)
Laba kontribusi (50%)
Krg: Biaya tetap
Penghasilan kena pajak
Pajak penghasilan
Laba bersih

Shift-I
Jumlah
Rp1.200,00
600,00
Rp600,00
350,00
250,00
32,50
Rp217,50

%
100,00
50,00
50,00
29,17
20,83
2,71
18,13

Shift-II
Jumlah
%
Rp800,00
100,00
400,00
50,00
Rp400,00
50,00
150,00
18,75
250,00
31,25
62,50
7,81
Rp187,50
23,44

Shift-I + II
Jumlah
%
Rp2.000,00
100,00
1.000,00
50,00
Rp1.000,00
50,00
500,00
25,00
500,00
25,00
95,00
4,75
Rp405,00
20,25

Kenaikan penjualan di atas Rp800,00 juta akan membuat penghasilan kena pajak menjadi lebih dari
Rp500,00 juta, sehingga terkena pajak berdasar tarif marjinal 30%. Dengan kenaikan hasil penjualan dari
shift-II sebesar Rp1,00 milyar dari semula Rp1,20 milyar menjadi Rp2,20 milyar misalnya, akan membuat
penghasilan kena pajak mengalami kenaikan sebesar Rp350,00 juta [(0,50 X Rp1,00 milyar) Rp150,00
juta] dari semula Rp250,00 juta menjadi Rp600,00 juta. Dari total kenaikan penghasilan kena pajak
Rp350,00 juta tersebut, sebesar Rp250,00 juta dikenakan pajak berdasar tarif 25%, dan sebesar Rp100,00
juta sisanya dikenakan pajak berdasar tarif 30%. Sebagai akibatnya, dengan jumlah penghasilan kena pajak
sebesar Rp600,00 juta, perusahaan akan terutang pajak sebesar Rp125,00 juta sehingga tarif efektif pajaknya
menjadi 20,83% (Rp125,00 juta/Rp600,00 juta), dan after-tax profit marginnya menjadi 21,59%.
MAKSIMISAI PENGHASILAN BUKAN OBYEK PAJAK

Undang-undang Pajak Penghasilan membedakan penghasilan ke dalam tiga kategori: (i) penghasilan obyek
pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum pasal-17 (PKP); (ii) penghasilan obyek pajak dikenakan
pajak tertentu (POPT); dan (iii) penghasilan bukan obyek pajak (PBOP). Adanya penghasilan obyek pajak
yang dikenakan pajak tertentu dan penghasilan bukan obyek pajak memberikan peluang kepada manajemen
untuk memperoleh penghematan pajak. Penghasilan bukan obyek pajak harus dimaksimisasikan karena
memberikan peluang kepada manajemen untuk dapat memberikan imbalan yang lebih besar kepada para
pemegang saham.
Undang-undang Pajak Penghasilan memang mengakui adanya penghasilan bukan obyek pajak, namun
sangat membatasi keberadaannya sehingga praktis tidak dimungkinkan suatu perusahaan untuk memperoleh
penghasilan bukan obyek pajak tanpa adanya penghasilan obyek pajak (kecuali untuk perusahaan dalam
bidang-bidang usaha tertentu). Di samping itu, tidak setiap perusahaan berpeluang untuk memperoleh
penghasilan bukan obyek pajak. Untuk dapat merealisasikan penghasilan bukan obyek pajak, perusahaan
harus mendesain transaksi atau aktivitas operasinya (bahkan harus dimulai dari aktivitas investasi dan
pendanaan) sesuai dengan ketentuan pajak. Sesuai dengan ketentuan pajak, dalam hal biaya yang diperlukan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bukan obyek pajak (biaya 3 MP) tidak dapat

30

diidentifikasi secara terpisah; total biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan harus
dialokasikan secara proporsional kepada penghasilan bukan obyek pajak dan penghasilan obyek pajak.
Seperti halnya penghasilan obyek pajak, penghasilan bukan obyek pajak tidak bisa diperoleh tanpa biaya.
Menurut ketentuan pajak, dalam hal biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan bukan obyek pajak tidak dapat diidentifikasi secara terpisah; total biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan harus dialokasikan secara proporsional.
Sebagai contoh, suatu perusahaan dalam tahun pajak 2009 memperoleh penghasilan bruto obyek Psl-17
sebesar Rp500,00 juta dan penghasilan bukan obyek pajak sebesar Rp250,00 juta. Untuk merealisasikan
penghasilan tersebut diperlukan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar
seluruhnya Rp825,00 juta.
(i)

Dengan asumsi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bukan obyek pajak
tidak bisa diidentifikasi secara terpisah, maka total biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan sebesar Rp825,00 juta dialokasikan secara proporsional kepada penghasilan obyek pajak-Psl
17 dan penghasilan bukan obyek pajak. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai basis perhitungan pajak
yang terutang dalam tahun pajak berjalan adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi
Total penghasilan bruto
Krg: Biaya 3 MP
Penghasilan Kena Pajak (Rugi Fiskal)

(ii)

Total
Rp750.000,00
825.000,00
Rp(75.000,00)

PBOP
Rp250.000,00
275.000,00
Rp(25.000,00)

POP, Psl-17
Rp500.000,00
550.000,00
Rp(50.000,00)

Diasumsikan bahwa biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
berjumlah seluruhnya Rp825,00 juta, terdiri dari biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
khusus untuk penghasilan bukan obyek pajak sebesar Rp175,00 juta (didukung oleh bukti-bukti
memadai); dan sisanya sebesar Rp650,00 juta merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan obyek pajak Psl-17 (juga didukung oleh bukti-bukti yang memadai). Atas dasar
asumsi demikian maka jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai basis perhitungan pajak penghasilan
yang terutang dalam tahun pajak 2009 adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi
Total penghasilan bruto
Krg: Biaya 3 MP
Penghasilan Kena Pajak (Rugi Fiskal)

Total
Rp750.000,00
825.000,00
Rp(75.000,00)

PBOP
Rp250.000,00
175.000,00
Rp75.000,00

POP, Psl-17
Rp500.000,00
650.000,00
Rp(150.000,00)

Untuk memaksimumkan penghasilan bukan obyek pajak, setiap perusahaan dituntut untuk dapat
mengidentifikasi dan mendokumentasi transaksi-transaksi biaya yang diperlukan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan bukan obyek pajak secara terpisah dari biaya-biaya yang diperlukan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan obyek pajak. Kecuali hal demikian dapat
dilakukan, perusahaan akan tidak bisa memanfaatkan keberadaan penghasilan bukan obyek pajak untuk
memperoleh penghematan pajak. Sifat dan jenis usaha serta faktor-faktor internal daan eksternal yang
mempengaruhi aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan perusahaan sangat berperan dalam menentukan
kemampuan untuk memaksimumkan jumlah penghasilan bukan obyek pajak. Di samping itu, Undangundang perpajakan berubah dari waktu ke waktu, dan hampir dapat dipastikan kesempatan untuk bisa
merealisasikan penghasilan bukan obyek pajak akan semakin kecil dan berbeda antar perusahaan. Sesuai
dengan ketentuan Psl 4 ayat 3 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000, seperti dikutip berikut ini,
tampak bahwa tidak setiap perusahaan sebagai Wajib Pajak mempunyai peluang yang sama untuk bisa
merealisasikan penghasilan bukan obeyk pajak. Suatu jenis penghasilan yang bagi perusahaan tertentu
termasuk dalam kategori bukan obyek pajak, bisa jadi merupakan penghasilan obyek pajak bagi perusahaan
yang lain. Demikian pula sebaliknya, penghasilan tertentu yang bagi suatu perusahaan merupakan obyek
pajak, bisa jadi termasuk penghasilan bukan obyek pajak bagi perusahaan lainnya.
Tabel: Penghasilan Bukan Obyek Pajak (Ketentuan Pasal 4, ayat 3 UU, PPh tahun-2000)
a.
b.
c.

bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima oleh: (i) keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
(ii) badn keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, dan pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, atau enguasaan antara pihak-pihak yng bersangkutan,
warisan
harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam psl 2 yat 1 huruf (b) sebagai pengganti

31

d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

saham atau penyertaan modal,


penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah,
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa,
dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan
atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah; dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia,
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar
oleh pembei kerja maupun pegawai; dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang- bidang tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, dan kongsi,
bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana,
penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia; dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: (i) merupakan
perusahaan kecil, menengah, atau menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
dan (ii) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Perhatikan substansi dari item-item yang menurut ketentuan Psl 4 ayat 3 UU-PPh tahun 2000 di atas
tidak termasuk obyek pajak. Di samping tidak seluruh item merupakan penghasilan, dalam arti tambahan
kemampuan ekonomis untuk memberikan kompensasi kepada para pemilik atau pemegang saham atas
investasinya di dalam perusahaan, juga dapat dipastikan bahwa tidak setiap perusahaan berpeluang untuk
bisa memperoleh penghasilan bukan obyek pajak. Faktor-faktor internal dan eksternal, dan sifat serta jenis
usaha perusahaan merupakan penting yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk dapat
merealisasikan penghasilan bukan obyek pajak.
MAKSIMISASI PENGHASILAN TERTENTU-DIKENAKAN PAJAK FINAL

Undang-undang Pajak Penghasilan mendefinisikan penghasilan dalam arti luas. Namun disisi yang lain,
untuk pengenaan atau pemungutan pajaknya, Undang-undang Pajak Penghasilan (Uu No. 17 tahun 2000)
membedakan penghasilan tersebut ke dalam 3 kategori: (i) penghasilan sebagai obyek pajak yang dikenakan
pajak berdasar tarif umum Psl-17 (Psl 4 ayat 1); (ii) penghasilan dipungut pajak tertentu, khusus nya pajak
final (Psl 4 ayat 2); dan (iii) penghasilan bukan obyek pajak (Psl 4 ayat 3). Baik penghasilan yang
merupakan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum Psl -17, penghasilan yang dipungut pajak
tertentu bersifat final, maupun penghasilan bukan obyek pajak semuanya merupakan aliran masuk sumbersumber ke dalam perusahaan sebagai Wajib Pajak. Oleh karena itu, bagi para pemodal penggolongan
penghasilan demikian relatif tidak relevan. Bagi para pemodal, satu-satunya pertanyaan terkait dengan semua
penghasilan tersebut adalah seberapa besar jumlah pajak yang terutang? Dengan lain perkataan, para
pemodal hanya berkepentingan pada jumlah penghasilan neto sesudah pajak sebagai indikator tentang
kemampuan perusahaan untuk memberikan imbalan atas investasi mereka di dalam perusahaan.
Dengan dasar pemikiran yang sama, minimisasi pajak yang terutang dalam tahun berjalan juga dapat
dilakukan melalui maksimisasi penghasilan tertentu yang dipungut pajak final, berdasar tarif yang pada
umumnya kurang dari tarif marjinal tertinggi atau kurang dari 30%, seperti diatur dalam Psl 4 ayat-2, UU
PPh tahun 2000. Penghasilan tertentu yang dipungut pajak final diatur secara lebih spesifik dalam pasalpasal 21, 22, 23, dan pasal 26. Terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang dipungut pajak final tersebut
perencanaan pajaknya harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Bagi perusahaan sebagai Wajib Pajak,
penghasilan-penghasilan yang dipungut pajak final dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori: (i) pajak atas
penghasilan-penghasilan tertentu yang dikenakan secara terpisah dari penghasilan obyek pajak yang
dikenakan pajak berdasar tarif umum Psl-17, dan (ii) pajak penghasilan tambahan (surcharge).
Termasuk dalam kategori penghasilan tertentu yang dikenakan pajak secara terpisah dari penghasilan
obyek pajak Psl-17, antara lain adalah: penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (untuk
WP-Badan digabungkan dengan penghasilan lainnya), penghasilan dari penjualan saham di bursa efek,
penghasilan berupa bunga deposito, tabungan, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Tarif pajak atas
penghasilan tertentu yang bersifat final sangat bervariasi, di mualai dari 0,1% hingga 20%, dan dengan basis
pajak yang juga bervariasi (ada nilai bruto transaksi, nilai atau harga beli, nilai atau harga kontrak).
Termasuk dalam kategori pajak final yang pada hakekatnya merupakan pajak penghasilan tambahan
(surcharge) adalah pajak penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak penghasilan

32

berdasar tarif umum Psl-17 dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang tidak ditanamkan kembali di Indonesia (atau
pajak atas repatriasi laba-Psl 26 ayat 4).
Efek dari adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final, bisa jadi: (i) positif, dalam arti
mengurangi beban dan pajak yang terutang; (ii) netral, dalam arti tidak mengurangi beban dan pajak yang
terutang; atau (iii) negatif, dalam arti justru membuat beban dan pajak yang terutang menjadi lebih besar
dibanding tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final; tergantung pada besaran tarif pajak
final relatif dalam perbandingannya dengan tarif pajak marjinalnya. Secara garis besar saling hubungan
antara tarif pajak final dengan tarif marjinal dan efeknya terhadap beban atau pajak penghasilan yang
terutang dapat dinyatakan sebagai berikut:
Efek posistif, jika tarif pajak final (TF) < tarif marjinal (TM)
Efek netral, jika tarif pajak final (TF) = tarif marjinal (TM)
Efek negatif, jika tarif pajak final (TF) > tarif marjinal (TM)
Sebagai contoh, tiga perusahaan sejenis wajib pajak-perorangan (perusahaan A, B, dan C) dalam suatu
tahun pajak memperoleh total penghasilan yang terdiri dari: (i) penghasilan obyek pajak Psl-17, dan (ii)
penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final berdasar tarif 15%; dengan komposisi yang berbeda satu
sama lain sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
Deskripsi
Penghasilan obyek pajak Psl-17
Penghasilan dikenakan pajak final
Total penghasilan neto

Perusahaan-A
Rp25.000,00
25.000,00
Rp50.000,00

Perusahaan-B
Rp225.000,00
25.000,00
Rp250.000,00

Perusahaan-C
Rp475.000,00
25.000,00
Rp500.000,00

Perhatikan bahwa tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final, maka sesuai dengan
jumlah penghasilan serta statutory rates menurut ketentuan Psl-17 UU PPh tahun 2008 tarif pajak marjinal
yang berlaku pada masing-masing perusahaan adalah: 5% untuk perusahaan-A, 15% untuk perusahaan-B,
dan 25% untuk perusahaan-C. Tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final tersebut,
jumlah pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan oleh masing-masing perusahaan adalah: (i)
sebesar Rp2,50 juta untuk perusahaan-A, (ii) sebesar Rp32,50 juta untuk perusahaan-B, dan (iii) sebesar
Rp95,00 juta untuk perusahaan-C. Sedang jumlah pajak penghasilan yang terutang oleh masing-masing
perusahaan dalam tahun pajak berjalan sebagai akibat dari adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak
final (berdasar tarif 15%) adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
Deskripsi
1 Dengan penghasilan obyek pajak final:
a. Penghasilan obyek pajak Psl-17
b. Penghasilan tertentu
c. Jumlah penghasilan neto (= PKP)
d. Pajak penghasilan terutang:
PPh Psl-17, tarif 5%
PPh Psl-17, tarif 15%
PPh Psl-17, tarif 25%
PPh final (0,15 X b)
Jumlah PPh terutang
e. Tarif efektif ( jumlah d : c)
2. Tanpa penghasilan obyek pajak final:
a. Jumlah penghasilan neto (= PKP)
b. Pajak penghasilan terutang:
PPh psl-17, tarif 5%
PPh Psl-17, tarif 15%
PPh Psl-17, tarif 30%
Jumlah PPh terutang
c. Tarif efektif ( jumlah b : a)

Perusahaan-A

Perusahaan-B

Perusahaan-C

Rp25.000,00
25.000,00
Rp50.000,00

Rp225.000,00
25.000,00
Rp250.000,00

Rp475.000,00
25.000,00
Rp500.000,00

Rp1.250,00
0,00
0,00
3.750,00
Rp5.000,00
0,10

Rp2.500,00
26.250,00
0,00
3.750,00
Rp32.500,00
0,13

Rp2.500,00
30.000,00
56.250,00
3.750,00
Rp92.500,00
0,185

Rp50.000,00

Rp250.000,00

Rp500.000,00

2.500,00
0,00
---------------Rp2.500,00
0,05

2.500,00
30.000,00
----------------Rp32.500,00
0,13

Rp2.500,00
30.000,00
62.500,00
Rp95.000,00
0,19

33

Bagi perusahaan-A, keberadaan penghasilan tertentu yang dipungut pajak final berdampak negatif
(penghematan pajak negatif); sebagaimana tampak pada jumlah pajak yang terutang yang lebih besar dan
tarif efektif pajaknya yang lebih tinggi (dibanding apabila tidak ada penghasilan tertentu yang dikenakan
pajak final). Hal ini disebabkan oleh karena jumlah penghasilan yang dikenakan pajak berdasar tarif umum
(Pasal-17) masih kurang dari Rp50,00 juta (batas tarif marjinal sebesar 5%), sementara itu penghasilan
tertentu dikenakan pajak berdasar tarif 15% lebih tinggi dari tarif marjinalnya. Sebagai konsekuensinya, tarif
efektif pajak perusahaan dengan penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final (=10%), jauh lebih tinggi
dengan tarif efektif pajak tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final (=5%). Atas
penghasilan tertentu perusahaan terutang pajak Rp2,50 juta [(0,15 0,05 X Rp25,00 juta] lebih besar.
Berbeda halnya dengan perusahaan-B, keberadaan penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final
berdampak netral. Tarif marjinal pajak perusahaan sesuai dengan tingkat penghasilan kena pajaknya adalah
15%, sama dengan tarif pajak final yang dikenakan atas penghasilan tertentu. Sebagai akibatnya, tarif efektif
pajak dengan dan tanpa penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final sama besarnya (=13%).
Sebaliknya bagi perusahaan-C, keberadaaan penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final berdampak
positif (penghematan pajak positif sebesar Rp2,50 juta atau 0,50%). Hal ini disebabkan oleh karena atas
penghasilan tertentu hanya dikenakan pajak sebesar 15%, sementara tarif marjinal pajak perusahaan sesuai
dengan tingkat penghasilan kena pajaknya adalah 25%. Atas penghasilan tertentu perusahaan dapat
menghemat pajak sebesar Rp2,50 juta [(0,25 0,15) X Rp25,00 juta].
MAKSIMISASI BIAYA FISKAL

Komponen Penghasilan Kena Pajak yang kedua adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan. Menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan, pada dasarnya hanya biaya yang
berhubungan langsung dengan usaha atau kegiatan yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan bruto atau biaya fiskal.
Secara garis besar, sebagai pengurang penghasilan bruto, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: (i) kos barang dijual, (ii) pengeluaran
yang masa manfaatnya tidak lebih dari satu tahun atau pengeluaran pendapatan (revenue expenditures), dan
(iii) pengeluaran yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun (capital expenditures).
Untuk meminimisasi pajak yang terutang atau memperoleh penghematan pajak, biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan harus dimaksimisasikan; dalam arti jika terhadap biaya
tertentu (yang menurut ketentuan pajak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal) terdapat dua atau lebih
alternatif jumlahnya maka sebagai biaya fiskal harus dipilih jumlah yang terbesar. Terdapat beberapa biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang termasuk dalam kategori pengeluaran
pendapatan (revenue expenditures) dan pengeluaran modal (capital expenditures) yang berhubung faktor
lingkungan (regulasi, faktor internal dan eksternal organisasi/perusahaan) berjumlah alternatif pada setiap
tahun pajaknya. Di antara biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang jumlahnya
bersifat alternatif tersebut dikemukakan berikut ini.
(i) Kos Barang Dijual atau Harga Pokok Penjualan
Kos barang dijual adalah salah satu contoh tipe biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau biaya fiskal yang jumlahnya bisa jadi bersifat alternatif; terutama apabila perusahaan
melakukan pembelian barang dagangannya lebih dari satu kali dalam satu tahun dan dengan harga satuan
yang berbeda pada setiap kali pembelian, serta tidak seluruh barang yang dibeli habis terjual dalam tahun
yang sama. Sebagai contoh, suatu perusahaan dagang yang menggunakan tahun kalender sebagai tahun
pajaknya memulai usahanya pada awal tahun 2009. Sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh
perusahaan, manajemen telah menetapkan kebijakan (anggaran) pembelian dan penjualannya dalam tahun
pajak 2009 sebagai berikut:
(a) pembelian-1, 5.000 unit dengan harga @ Rp5.000,00 per unit atau sebesar seluruhnya Rp25,00 juta;
(b) pembelian-2, 5.000 unit dengan harga @ Rp5.500,00 per unit atau sebesar seluruhnya Rp27,50 juta;
(c) penjualan dalam satu tahun, sebanyak 9.500 unit dengan harga @ Rp7.500,00 per unit.
Dalam kondisi demikian, sekurang-kurangnya terdapat tiga alternatif jumlah kos barang dijual sebagai
biaya fiskal atau biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dalam tahun 2009 sebagai
komponen pengurang penghasilan atau peredaran bruto, tergantung pada metode penentuan kos barang

34

dijual & penilaian persediaan yang digunakan (persisnya dua alternatif, karena metode Kos-MTKP tidak
akseptabel menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan) sebagai berikut (rupiah dalam ribuan).
Perhatikan bahwa kos barang dijual sebagai biaya fiskal berbeda pada masing-masing alternatif metode
penilaian persediaan dan penentuan kos barang dijual. Sebagai biaya fiskal, kos barang dijual terbesar
pertama diperoleh apabila perusahaan menggunakan metode Kos-MTKP (tidak akseptabel menurut Undangundang Pajak Penghasilan), disusul kemudian oleh metode Kos-Rerata, dan metode Kos-MPKP yang
menghasilkan kos barang dijual terkecil (dalam kondisi terjadi kenaikan harga). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa dalam kondisi terjadi kenaikan tingkat harga; metode Kos-MTKP merupakan metode
penilaian persediaan yang paling hemat pajak sayangnya tidak akseptabel menurut ketentuan Undang Pajak
Penghasilan- disusul kemudian oleh metode Kos-Rerata. Sedang metode Kos-MPKP kurang membantu
upaya manajemen untuk memperoleh penghematan pajak.
Deskripsi
1. Persediaan awal tahun
2. Pembelian-1, 5.000 unit
Pembelian-2, 5.000 unit
3. Kos barang tersedia dijual, 10.000 unit
4. Krg: Persediaan akhir tahun, 500 unit*
5. Kos barang dijual, 9.500 unit

Kos-MPKP
0,00
Rp25.000,00
27.500,00
Rp52.500,00
2.750,00
Rp49.750,00

Kos-Rerata
0,00
Rp25.000,00
27.500,00
Rp52.500,00
2.625,00
Rp49.875,00

Kos-MTKP
0,00
Rp25.000,00
27.500,00
Rp52.500,00
2.500,00
Rp50.000,00

* Kos-MPKP @ Rp5.500,00 per unit; Kos Rerata @ Rp5.250,00 per unit; Kos-MTKP @ Rp5.000,00 per unit

Dari penjelasan efek metode penilaian persediaan dan penentuan kos barang dijual di atas, sedikitbanyak metode penilaian persediaan membawa dampak pada kemampuan perusahaan untuk memperoleh
atau menghasilkan kas (cash generating ability of the firm) dari aktivitas operasinya (pada setiap tahun
pajaknya, tetapi tidak untuk keseluruhan tahun pajak sampai dengan tidak ada lagi efek perbedaan metode
terhadap nilai persediaan dan kos barang yang dijual). Dengan asumsi seluruh transaksi pembelian dan
penjualan dilakukan secara tunai, sedang biaya usaha atau biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya berjumlah nihil (atau sama besar pada ketiga alternatif metode penilaian
persediaan), dan perusahaan dikenakan pajak berdasar tarif proporsional 25%; maka efek dari masingmasing metode penentuan kos barang dijual dan penilaian persediaan terhadap cash generating ability
perusahaan tersebut dari aktivitas operasinya adalah sebagai berikut:
Efek metode penilaian persediaan terhadap cash generating ability perusaha an
Deskripsi
1. Penerimaan kas (= penjualan)
2. Pengeluaran kas
2.1 Pembelian-1
2.2 Pembelian-2
2.3 Pajak Penghasilan-25% *
Jumlah pengeluaran kas
3. Arus kas bersih dari operasi

Kos-MPKP
Rp71.250.000,00
25.000.000,00
27.500.000,00
5.375.000,00
57.875.000,00
Rp13.375.000,00

Arus Kas dari Aktivitas Operasi


Kos-Rerata
Rp71.250.000,00
25.000.000,00
27.500.000,00
5.343.750,00
57.843.750,00
Rp13.406.250,00

Kos-MTKP
Rp71.250.000,00
25.000.000,00
27.500.000,00
5.312.500,00
57.812.500,00
Rp13.437.500,00

* Penghasilan Kena Pajak: Metode Kos-MPKP= Rp21,50 juta; Metode Kos-Rerata = Rp21,375 juta; Kos-MTKP = Rp21,25 juta

Sebagaimana tampak pada tabel di atas, untuk transaksi pembelian dan penjualan serta penerimaan dan
pengeluaran kas yang sama; perbedaan metode penilaian persediaan membuat penghasilan kena pajak dan
oleh karena itu juga pajak penghasilan yang juga berbeda. Oleh karena pajak harus dibayar, perbedaan beban
pajak penghasilan membuat sedikit-banyak perbedaan pada arus kas bersih dari operasi perusahaan.
Perhatikan bahwa metode Kos-MTKP menghasilkan arus kas dari operasi yang terbesar disusul kemudian
arus kas dari operasi menurut metode Kos-Rerata, dan metode Kos-MPKP yang terkecil. Jumlah arus kas
dari operasi tersebut berbeda sebesar Rp31,25 juta atau tarif pajak dikali perbedaan jumlah penghasilan kena
pajak (0,25 X Rp125,00 juta). Arus kas dari operasi tersebut berbanding terbalik dari penghasilan kena pajak,
dengan penghasilan kena pajak terbesar diperoleh pada metode MPKP disusul kemudian oleh metode KosRerata, dan terkecil metode Kos-MTKP dengan jumlah yang semakin berkurang sebesar Rp125,00 juta.
Perbedaan jumlah penghasilan kena pajak yang semakin berkurang sebesar Rp125,00 juta tersebut tidak lain
merupakan perbedaan dari jumlah kos barang dijual dan/atau nilai persediaan akhir pada masing-masing
metode penilaian persediaan. Sebagaimana tampak pada tabel di atas, semakin kecil pajak penghasilan yang
terutang semakin besar kemampuan perusahaan untuk memperoleh kas dari aktivitas operasinya. Dengan

35

demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode akuntansi yang hemat pajak dapat membantu
manajemen dalam meningkatkan cash generating ability perusahaan.
(ii) Biaya penyusutan (amortisasi) aset tetap (aset tak berwujud)
Biaya penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tak berwujud adalah tipe biaya fiskal yang untuk masa atau
tahun pajak tertentu bisa bersifat alternatif jumlahnya. Sementara itu, eksistensi dan besaran biaya
penyusutan aset tetap atau biaya amortisasi aset tak berwujud tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan
di dalam memperoleh penghasilan (revenue generating ability). Oleh karena itu, seperti halnya kos barang
yang dijual dan/atau biaya pemakaian bahan baku/penolong harus dimaksimisasikan pada setiap tahun
pajaknya. Memang tidak setiap aset tetap dan aset tak berwujud mempunyai konsekuensi biaya penyusutan
atau biaya amortisasi yang bersifat alternatif pada setiap tahun pajaknya. Hanya aset tetap dan aset tak
berwujud tertentu yang penyusutan atau amortisasi pada setiap tahun pajaknya bersifat alternatif, yaitu aset
tetap dan aset tak berwujud yang metode penyusutan atau metode amortisasinya menurut ketentuan
perpajakan bersifat alternatif (mutually exclusives), seperti misalnya untuk aset tetap bukan bangunan.
Untuk menentukan besarnya biaya penyusutan aset tetap bukan bangunan, Undang-undang Pajak
Penghasilan memberikan kesempatan kepada para wajib pajak untuk menggunakan salah satu di antara dua
metode penyusutan: (i) metode garis lurus, dan (ii) metode saldo menurun ganda. Untuk itu, masa manfaat
aset tetap bukan bangunan dikelompokkan ke dalam 4 kategori: (a) kelompok-I dengan masa manfaat 4
tahun, (b) kelompok-II dengan masa manfaat 8 tahun, kelompok-III dengan masa manfaat 16 tahun, dan
kelompok-IV dengan masa manfaat 20 tahun. Dengan demikian tarif penyusutan pada masing-masing
alternatif metode dan kelompok masa manfaatnya adalah sebagai berikut:
Tarif penyusutan aset tetap bukan bangunan
No
1
2
3
4

Kelompok Aset
Kelompok-I
Kelompok-II
Kelompok-III
Kelompok-IV

Masa
Manfaat
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun

Tarif Penyusutan per tahun


Garis Lurus
Saldo Menurun
25,00 %
50,00 %
12,50 %
25,00 %
6,25 %
12,50 %
5,00 %
10,0 %

Sebagai contoh, suatu perusahaan wajib pajak dalam negeri menempatkan aset tetap kelompok-I sebesar
nilai perolehan Rp200,00 juta pada awal tahun 2009, dan memperoleh penghasilan neto (sebelum dikurangi
biaya penyusutan) sebesar Rp125,00 juta per tahun dalam masa 4 tahun. Penghasilan kena pajak dan pajak
penghasilan yang terutang pada masing-masing metode penyusutan selama masa manfaat aset tetap tersebut
adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
(a) Metode Garis Lurus
Tahun
Penghasilan Neto
2009
Rp125.000,00
2010
125.000,00
2011
125.000,00
2012
125.000,00
Jumlah
Rp500.000,00

B. Penyusutan *
Rp50.000,00
50.000,00
50.000,00
50.000,00
Rp200.000,00

Phsl Kena Pajak


Rp75.000,00
75.000,00
75.000,00
75.000,00
Rp300.000,00

Pajak Penghasilan
Rp21.000,00
21.000,00
21.000,00
21.000,00
Rp84.000,00

* Tarif penyusutan sebesar 25% (100 % dibagi 4) dikali nilai perolehan aset tetap

Perhatikan efek metode depresiasi yang menghasilkan beban depresiasi yang sama pada setiap tahun
terhadap tren penghasilan kena pajak dan beban pajak penghasilan terkait.
(b) Metode Saldo Menurun Ganda
Tahun
Penghasilan Neto
2009
Rp125.000,00
2010
125.000,00
2011
125.000,00
2012
125.000,00
Jumlah
Rp500.000,00

B. Penyusutan *
Rp100.000,00
50.000,00
25.000,00
25.000,00
Rp200.000,00

PKP
Rp25.000,00
75.000,00
100.000,00
100.000,00
Rp300.000,00

Pajak Penghasilan
Rp 7.000,00
21.000,00
28.000,00
28.000,00
Rp84.000,00

36

* Tarif penyusutan dikali nilai buku aset tetappada awal tahun, seluruh nilai buku pada awal tahun untuk tahun terakhir.

Perhatikan bahwa untuk seluruh masa manfaat aset tetap, total biaya penyusutan, total penghasilan
kena pajak, dan oleh karena itu juga total pajak penghasilan berjumlah sama. Namun perhatikan, jumlah
biaya penyusutan, penghasilan kena pajak, dan oleh sebab itu juga pajak penghasilan berbeda pada setiap
tahun pajaknya. Pada metode garis lurus, ketiga variabel berjumlah sama besar pada setiap tahun pajaknya,
sedang pada metode saldo menurun ganda ketiga variabel semakin berkurang jumlahnya. Sebagaimana
tampak pada tabel di atas, secara garis besar metode saldo menurun ganda lebih konsisten dengan prinsip
maksimisasi biaya fiskal pada setiap tahun pajaknya. Perhatikan tabel diatas, pada tahun 2009, terdapat dua
alternatif biaya penyusutan yang dapat diperkenankan masing-masing Rp50,00 juta (metode garis lurus) dan
Rp100,00 juta (metode saldo menurun ganda), demikian pula pada tahun-tahun berikutnya. Dengan
menggunakan metode saldo menurun ganda memungkinkan perusahaan dapat memaksimumkan biaya
penyusutan pada setiap tahun pajaknya. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan metode saldo
menurun ganda sebagai metode penyusutan yang lebih hemat pajak dibanding metode garis lurus.
Seperti telah dikemukakan, karena pajak harus dibayar maka penghematan pajak juga berarti membantu
manajemen untuk meningkatkan cash generating ability perusahaan dari aktivitas operasinya. Meskipun
pada setiap kasus, nilai waktu uang harus dipertimbangkan untuk memastikan atau menentukan seberapa
besar kenaikan atau tambahan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi perusahaan tersebut.
(iii) Biaya Tidak Dapat Dikurangkan
Berbeda halnya dengan biaya yang dapat dikurangkan, biaya fiskal atau pengurang penghasilan yang harus
dimaksimumkan, biaya yang tidak bisa dikurangkan ada kalanya harus diminimisasi tetapi juga justru
sebaliknya bisa jadi harus dimaksimisasikan. Setiap biaya mempunyai efek terhadap profitabilitas (laba
sebelum pajak atau penghasilan kena pajak), namun tidak setiap biaya mempunyai efek langsung terhadap
laba tunai (arus kas dari aktivitas operasi) sesudah pajak. Akan tetapi, karena setiap biaya mempunyai efek
terhada laba akuntansi dan pajak penghasilan merupakan fungsi dari laba akuntansi (profitabilitas), maka
dapat dipastikan setiap biaya mempunyai efek terhadap laba tunai (arus kas dari operasi) sesudah pajak.
Keberadaan biaya yang tidak dapat dikurangkan akan berdampak pada kenaikan laba sebelum pajak
(penghasilan kena pajak) dan oleh karena itu juga beban atau pajak penghasilan yang terutang. Oleh karena
pajak penghasilan merupakan persentase dari laba sebelum pajak (penghasilan kena pajak), maka kenaikan
beban atau pajak penghasilan yang terutang akan senantiasa lebh rendah dibanding kenaikan laba sebelum
pajak. Sebagai akibatnya, keberadaan biaya yang tidak dapat dikurangkan akan senantiasa berakibat pada
kenaikan laba bersih (profitabilitas) sesudah pajak. Untuk alasan demikian itulah, jika dimungkinkan maka
biaya yang tidak dapat dikurangkan harus dimaksimisasikan.
Akan tetapi, seperti halnya biaya yang dapat dikurangkan (biaya fiskal); pada dasarnya juga terdapat
dua kategori biaya yang tidak dapat dikurangkan: (i) biaya yang memerlukan pengeluaran kas, dan (ii) biaya
yang tidak memerlukan pengeluaran kas. Untuk biaya yang tidak dapat dikurangkan dan memerlukan
pengeluaran kas, mengurangi laba tunai (arus kas dari aktivitas operasi) sesudah pajak sebanyak dua kali: (i)
sebesar biaya terkait, dan (ii) sebesar kenaikan beban atau pajak penghasilan yang terutang. Untuk alasan
demikian itulah, barangkali keberadaan biaya yang tidak dapat dikurangkan harus diminimisasikan. Berbeda
halnya dengan biaya yang tidak dapat dikurangkan dan tidak memerlukan pengeluaran kas, yang hanya
mengurangi laba tunai (arus kas dari aktivitas operasi) sesudah pajak sebanyak satu kali, sebesar efeknya
terhadap beban atau pajak penghasilan yang terutang.
Termasuk dalam kategori biaya yang tidak dapat dikurangkan dan memerlukan pengeluaran kas, antara
lain: (i) pengeluaran atau biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota pemilik
perusahaan, (ii) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura, (iii) biaya atau pengorbanan dalam jumlah yang melebihi batas kewajaran, (iv) pemberian
hibah, bantuan atau sumbangan tertentu, (v) sangsi administrasi berupa bunga, denda/kenaikan pajak. Pada
prinsipnya, pengeluaran atau pengorbanan demikian harus dihindarkan atau paling tidak diminimisasikan.
Sedang termasuk dalam kategori biaya yang tidak dapat dikurangkan dan tidak memerlukan
pengeluaran kas, di antaranya adalah pemberian fasilitas/kenikmatan kepada eksekutif perusahaan berupa
perumahan dinas, kendaraan dinas milik perusahaan.
MAKSIMISASI FASILITAS PERPAJAKAN LAINNYA

37

Perhitungan pajak penghasilan pada khususnya dilakukan pada setiap akhir tahun pajak. Oleh karena itu,
minimisasi beban atau tarif efektif pajak pada setiap tahun pajak adalah tujuan perencanaan pajak. Untuk
mencapai tujuan tersebut setiap perusahaan harus berupaya untuk dapat memanfaatkan semaksimal mungkin
setiap fasilitas pajak yang diberikan oleh pemerintah. Seperti halnya Undang-undang perpajakan yang lain,
Undang-undang Pajak Penghasilan juga memberikan fasilitas pajak, antara lain berupa (i) kredit pajak luar
negeri, (ii) kompensasi kerugian.
Metode atau teknik yang dapat digunakan untuk memperoleh manfaat pajak dari masing-masing
fasilitas pajak tersebut berbeda satu sama lain, tergantung pada karakteristik dan esensi dari fasilitas pajak
terkait. Namun pada umumnya, manfaat pajak yang bisa diperoleh dari setiap fasilitas pajak adalah berupa
alternatif jumlah pengurang beban atau pajak yang terutang. Alternatif jumlah pengurang beban atau pajak
yang terutang tersebut ada yang relatif mudah diidentifikasi (seperti misalnya: efek dari kebijakan atau
alternatif metode akuntansi) dan ada yang relatif sulit bahkan menuntut perencanaan atau desain transaksitransaksi yang berhubungan dengan aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.
Pada fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian, Undang-undang Pajak menetapkan batas waktu
kompensasi kerugian selama 5 tahun setelah tahun terjadinya kerugian. Sebagai akibatnya, secara teoritis
terdapat sekurang-kurangnya dua pendekatan atau alternatif jumlah kompensasi pada setiap tahun setelah
terjadinya kerugian, yaitu: (i) seluruh kerugian dikompensasikan pada tahun-tahun awal dalam batas waktu 5
tahun, dan (ii) seperlima atau 20% dari jumlah kerugian dikompensasikan pada setiap tahun setelah
terjadinya kerugian selama 5 tahun berturut-turut. Masing-masing pendekatan atau alternatif mempunyai sisi
positif dan negatif sebagaimana tampak pada contoh berikut:
Contoh-16: Kompensasi Kerugian

Suatu perusahaan wajib pajak-badan dalam negeri menderita kerugian fiskal sebesar Rp2,50 milyar dalam
tahun pajak 2009, sebagaimana tercermin pada jumlah atau saldo ekuitasnya pada akhir tahun pajak 2009
berikut ini (rupiah dalam ribuan):
No
1
2
3
4
5

Komponen Ekuitas
Modal saham biasa, 1.000 lembar nominal @ Rp10.000,00
Agio saham
Laba yang di tahan
Rugi fiskal-2009
Jumlah ekuitas

Jumlah
Rp10.000.000,00
1.000.000,00
6.500.000,00
(2.500.000,00)
Rp15.000.000,00

Sesuai dengan perencanaan yang dibuat oleh manajemen untuk masa 5 tahun ke depan setelah terjadinya
kerugian fiskal dalam tahun pajak 2009 (2010 s/d 2014) diharapkan perusahaan akan memperoleh laba
fiskal (penghasilan neto sebelum dikurangi kompensasi kerugian) sebesar seluruhnya Rp7,50 milyar yang
terdiri dari: (i) tahun 2010 = Rp1,00 milyar, (ii) tahun 2011 = Rp1,25 milyar, (iii) tahun 2012 = Rp1,50
milyar, (iv) tahun 2013 = Rp1,75 milyar, dan (v) tahun 2014 = Rp2,00 milyar.
Mekanisme dan efek kompensasi kerugian menurut masing-masing pendekatan terhadap laba bersih
sesudah pajak pada setiap tahun pajaknya tampak sebagai berikut.
(i) Seluruh kerugian dikompensasikan pada tahun-tahun awal dalam batas waktu 5 tahun (ribuan rupiah):
No
1
2
3
4
5

Deskripsi
Phsl Neto
Komp. Kerugian
Phsl Kena Pajak
Pajak Phsl 25%
Laba Bersih

2010
Rp1.000.000
(1.000.000)
-

2011
Rp1.250.000
(1.250.000)
-

2012
Rp1.500.000
(250.000)
Rp1.250.000
(312.500)
Rp937.500

2013
Rp1.750.000
Rp1.750.000
(437.500)
Rp1.312.500

2014
Rp2.000.000
Rp2.000.000
(500.000)
Rp1.500.000

Sedang ayat-ayat jurnal terkait dengan prosedur kompensasi kerugian dan pencatatan/pengakuan jumlah
pajak penghasilan yang terutang, serta pemindahbukuan saldo laba dalam tahun berjalan ke rekening laba
yang ditahan (modal atau ekuitas) pada setiap akhir tahun pajaknya adalah sebagai berikut (rupiah dalam
ribuan):
Akhir
Tahun
2010

Rekening dan Deskripsi


Rugi-Laba
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)

Jumlah
Debit
Rp1.000.000,00

Kredit
Rp1.000.000,00

38

2011
2012

2013

2014

Rugi-Laba
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)
Laba yang Ditahan
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Laba yang Ditahan
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Laba yang Ditahan

Rp1.250.000,00
Rp1.250.000,00
Rp312.500,00
Rp312.500,00
Rp1.500.000,00
Rp312.500,00
250.000,00
937.500,00
Rp437.500,00
Rp437.500,00
Rp1.500.000,00
Rp437.500,00
1.312.500,00
Rp500.000,00
Rp500.000,00
Rp2.000.000,00
Rp500.000,00
1.500.000,00

Perhatikan bahwa dengan pendekatan ini seluruh kerugian fiskal dalam tahun pajak 2009 dikompensasikan
dari seluruh laba fiskal tahun 2010, seluruh laba fiskal tahun 2011, dan sisanya sebesar Rp0,25 milyar
dikompensasikan dari sebagian laba fiskal tahun 2012. Sebagai akibatnya, perusahaan tidak terutang pajak
penghasilan untuk tahun pajak 2010 dan 2011; dan hanya terutang pajak penghasilan sebesar Rp312,50 juta
(0,25 X Rp1.500,00 juta Rp250,00 juta) pada akhir tahun 2012. Perhatikan pula bahwa dari total laba fiskal
untuk masa 6 tahun (2009 s/d 2014) sebesar Rp5,00 milyar, pada akhirnya hanya sebesar Rp5,00 milyar
(Rp7,50 milyar Rp2,50 milyar) yang dikenakan pajak, masing-masing sebesar Rp312,50 juta dalam tahun
pajak 2012, Rp437,50 juta dalam tahun 2013, dan Rp500,00 juta dalam tahun 2014 atau sebesar seluruhnya
Rp1,25 milyar (0,25 X Rp5,00 milyar). Sebagai akibatnya, total hak-hak pemegang saham yang semula
Rp15,00 milyar pada akhir tahun 2009 menjadi Rp21,25 milyar [Rp15,00 milyar + Rp2,50 milyar + (1
0,25)(Rp7,50 milyar Rp2,50 milyar)] pada akhir tahun 2014. Efek pendekatan kompensasi kerugian
tersebut terhadap saldo rekening modal pada setiap akhir tahun pajaknya tampak sebagai berikut (rupiah
dalam jutaan):
Deskripsi
Modal saham
Agio saham
Laba yang ditahan
Rugi tahun 2009
Jumlah ekuitas

2010
Rp10.000,00
1.000,00
6.500,00
(1.500,00)
Rp16.000,00

2011
Rp10.000,00
1.000,00
6.500,00
(250,00)
Rp17.250,00

2012
Rp10.000,00
1.000,00
7.437,50
Rp18.437,50

2013
Rp10.000,00
1.000,00
8.750,00
Rp19.750,00

2014
Rp10.000,00
1.000,00
10.250,00
Rp21.250,00

(ii) Kompensasi kerugian sebesar 20% setiap tahun selama waktu 5 tahun (ribuan rupiah):
No
1
2
3
4
5

Deskripsi
Phsl Neto
Komp. Kerugian
Phsl Kena Pajak
Pajak Phsl 25%
Laba Bersih

2010
Rp1.000.000
(500.000)
Rp500.000
125.000
Rp375.000

2011
Rp1.250.000
(500.000)
Rp750.000
187.500
Rp562.500

2012
Rp1.500.000
(500.000)
Rp1.000.000
250.000
Rp750.000

2013
Rp1.750.000
(500.000)
Rp1.250.000
312.500
Rp937.500

2014
Rp2.000.000
(500.000)
Rp1.500.000
375.000
Rp1.125.000

Ayat-ayat jurnal terkait dengan kebijakan dan prosedur untuk mengompensasikan kerugian, dan pencatatan
pajak penghasilan yang terutang, serta pemindahbukuan saldo laba tahun berjalan ke rekening laba yang
ditahan (modal atau ekuitas) dapat diikhtisarkan sebagai berikut (ribuan rupiah):
Akhir
Tahun
2010

Rekening dan Deskripsi


Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan

Jumlah
Debit
Rp125.000,00

Kredit
Rp125.000,00

39

2011

2012

2013

2014

Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)
Laba yang Ditahan
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)
Laba yang Ditahan
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)
Laba yang Ditahan
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)
Laba yang Ditahan
Beban Pajak Penghasilan
Utang Pajak Penghasilan
Rugi-Laba
Beban Pajak Penghasilan
Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian)
Laba yang Ditahan

Rp1.000.000,00
Rp125.000,00
500.000,00
375.000,00
Rp187.500,00
Rp187.500,00
Rp1.250.000,00
Rp187.500,00
500.000,00
562.500,00
Rp250.000,00
Rp250.000,00
Rp1.500.000,00
Rp250.000,00
500.000,00
750.000,00
Rp312.500,00
Rp312.500,00
Rp1.750.000,00
Rp312.500,00
500.000,00
937.500,00
Rp375.000,00
Rp375.000,00
Rp2.000.000,00
Rp375.000,00
500.000,00
1.125.000,00

Atas dasar ayat-ayat jurnal tersebut di atas maka dapat ditentukan efek dari kebijakan atau pendekatan dan
mekanisme kompensasi kerugian terhadap saldo rekening hak-hak pemegang saham (modal atau ekuitas)
perusahaan dari tahun ke tahun sebagai berikut (rupiah dalam jutaan):
Deskripsi
Modal saham
Agio saham
Laba yang ditahan
Rugi fiskal 2009
Jumlah ekuitas

2010
Rp10.000,00
1.000,00
6.875,00
(2.000,00)
Rp15.875,00

2011
Rp10.000,00
1.000,00
7.437,50
(1.500,00)
Rp16.937,50

2012
Rp10.000,00
1.000,00
8.187,50
(1.000,00)
Rp18.187,50

2013
Rp10.000,00
1.000,00
9.125,00
(500,00)
Rp19.625,00

2014
Rp10.000,00
1.000,00
10.250,00
Rp21.250,00

Perhatikan bahwa kedua pendekatan, pada akhirnya menghasilkan beban pajak dan oleh karena itu juga
saldo hak-hak pemegang saham yang sama dalam masa 5 tahun setelah terjadinya kerugian fiskal pada tahun
2009. Namun kedua pendekatan menghasilkan beban pajak penghasilan pada setiap tahun pajak dan oleh
karena itu juga saldo hak-hak pemegang saham pada setiap akhir tahun yang berbeda. Pendekatan pertama
yang mengompensasikan kerugian pada tahun-tahun awal membuat seluruh kerugian yang terjadi pada tahun
2009, sudah habis dikompensasikan dalam tahun 2012. Efek positif dari pendekatan ini adalah, jika segala
sesuatunya berjalan sebagaimana diharapkan maka: (i) sejak tahun 2013 tidak ada lagi kekhawatiran bahwa
sebagian dari kerugian fiskal tahun 2009 tidak bisa dikompensasikan, dan (ii) perusahaan kembali terutang
dan membayar pajak penghasilan baru dimulai dalam tahun 2012. Namun sebagai konsekuensi dari tidak
adanya laba yang didapat dalam masa 3 tahun (tahun 2009 s/d tahun 2011), perusahaan tidak bisa
mendistribusikan dividen dalam masa 3 tahun tersebut. Pendekatan kedua yang mengompensasikan kerugian
dalam jumlah yang sama pada setiap tahun pajak membuat seluruh kerugian fiskal tahun 2009 baru habis
dikompensasikan dalam tahun 2014. Sebagai akibatnya: (i) manajemen senantiasa dihadapkan pada
kekhawatiran akan adanya kemungkinan tidak seluruh kerugian fiskal tahun 2009 dapat dikompensasikan
pada setiap tahun pajaknya, dan (ii) perusahaan sudah kembali terutang dan membayar pajak penghasilan
sejak tahun 2010 (tahun pertama sejak terjadinya kerugian). Namun pendekatan ini juga mempunyai sisi
posistif, jika segala sesuatunya berjalan sebagaimana diharapkan perusahaan sudah kembali bisa
mendistribusikan dividen mulai tahun 2010 (satu tahun setelah terjadinya kerugian fiskal).

40

Sebagai contoh, apabila jumlah laba fiskal yang diharapkan oleh perusahaan dalam masa 5 tahun setelah
terjadinya kerugian dalam tahun 2009 sebesar Rp7,50 milyar ternyata hanya dapat direalisasikan sebesar
Rp2,00 milyar terdiri dari: (i) tahun 2010 = Rp1.000,00 juta, (ii) tahun 2011 = Rp500,00 juta, (iii) tahun
2012 = Rp250,00 juta, (iv) tahun 2013 = Rp250,00 juta; (v) tahun 2014 = nihil. Sebagai akibatnya, (i) akan
terdapat sisa kerugian sebesar Rp500,00 juta yang tidak dapat dikompensasikan, (ii) tidak semua rencana
kompensasi kerugian menurut pendekatan kedua dapat diimplementasikan, karena laba fiskal pada tahun ke
3, 4 dan 5 kurang dari Rp500,00 juta. Dengan demikian, mekanisme pengompensasian kerugian pada
masing-masing pendekatan akan tampak sebagai berikut.
Perhatikan bahwa kedua kebijakan kompensasi kerugian berakibat sama, terdapat sisa kerugian tahun
2009 yang tidak bisa dikompensasikan sebesar Rp500,00 juta. Pada pendekatan-2, sisa kerugian dalam masa
6 tahun sebesar Rp500,00 juta tersebut, masih harus ditambah dengan pajak penghasilan yang dibayar
berlebih sebesar Rp125,00 juta (0,25 X Rp500,00 juta) dalam tahun 2010. Manajemen bisa membuat
prediksi dan merencanakan laba untuk tahun-tahun mendatang, namun realisasinya bisa jadi berbeda.
Sebagaimana tampak pada tahun 2012, 2013 dan 2014 manajemen merencanakan kompensasi kerugian pada
setiap tahun sebesar Rp500,00 juta, namun karena jumlah laba tidak mencukupi maka kompensasi kerugian
hanya dapat dilakukan sebesar maksimum sama dengan laba tahun berjalan.
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sisa

Laba Fiskal
(Rp2.500.000,00)
1.000.000,00
500.000,00
250.000,00
250.000,00
(Rp500.000,00)

Kompensasi Kerugian
Pendekatan-1
Pendekatan-2
(Rp2.500.000,00)
(Rp2.500.000,00)
1.000.000,00
500.000,00
500.000,00
500.000,00
250.000,00
250.000,00
250.000,00
250.000,00
(Rp500.000,00)
(Rp500.000,00)

Penghasilan Kena Pajak


Pendekatan-1
Pendekatan-2
Nihil
Rp500.000,00
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Rp500.000,00

Terdapat beberapa hal perlu dicatat terkait dengan kebijakan atau pendekatan dan mekanisme
kompensasi kerugian tersebut sebagaimana dikemukakan di atas.
(a) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian hanya
secara prospektif (tahun-tahun berikut setelah tahun terjadinya kerugian) dengan batas waktu maksimum
5 tahun. Sebagai akibatnya terdapat kemungkinan tidak seluruh kerugian dapat dikompensasikan (jika
dalam batas waktu 5 tahun, jumlah keseluruhan laba fiskal kurang dari jumlah kerugian), sehingga
berakibat pada: (1) berkurangnya ekuitas/modal perusahaan, (2) telah terjadi pengenaan pajak atas
penghasilan dalam jumlah berlebih, dan (3) besar kemungkinan telah terjadi distribusi kepada pemilik
yang tidak berasal dari laba perusahaan (dividen likuidasi) dan bebas atau tidak dikenakan pajak. Hal ini
merupakan konsekuensi dari fasilitas kompensasi kerugian yang tidak atau kurang komprehensif. Untuk
menghindarkan kemungkinan terjadinya ketiga hal tersebut, idealnya kompensasi kerugian dapat
dilakukan secara retroaktif dan secara prospektif.
(b) Dengan kompensasi kerugian yang hanya bersifat retroaktif, minimisasi pajak bisa dicapai hanya
apabila kerugian dikompensasikan pada tahun-tahun awal setelah terjadinya kerugian. Penundaan untuk
mengompensasikan sebagian atau kurang dari jumlah seluruh kerugian akan memperbesar risiko adanya
sebagian kerugian yang tidak bisa dikompensasikan dan pembayaran pajak secara berlebih. Namun
kebijakan untuk selalu mengompensasikan kerugian pada tahun-tahun awal (setelah terjadinya kerugian)
bisa membuat perusahaan tidak dapat mendistribusikan dividen pada tahun-tahun awal (setelah
terjadinya kerugian) tersebut, sehingga membatasi kemampuan perusahaan untuk bisa akses ke pasar
modal. Akan tetapi, oleh karena pajak harus dibayar (mempengaruhi arus kas dari aktivitas operasi)
maka kebijakan untuk mengompensasikan kerugian pada tahun-tahun awal setelah terjadinya kerugian
dapat dikatakan lebih konsisten dengan konsep nilai waktu uang: pajak harus dibayar tetapi apabila
dimungkinkan sebaiknya pajak dibayar belakangan. Kerugian dalam suatu tahun pajak membuat
manajemen akan dihadapkan pada permasalahan kompleks tersebut. Oleh karena itu, suatu strategi yang
dapat digunakan untuk mendistribusikan penghasilan kena pajak kepada setiap tahun pajak; sehingga
perusahaan terhindar dari kerugian dalam suatu tahun pajak harus diimplementasikan oleh manajemen.

41

Anda mungkin juga menyukai