Anda di halaman 1dari 9

Ketentuan-Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan Masa Sebelum dan

Setelah Bekerja

Masa Sebelum Bekerja


Ada dua kegiatan pokok yang harus dilakukan oleh organisasi/perusahaan sebelum
mempekerjakan karyawan, yaitu menyelenggarakan proses perekrutan dan proses
pengangkatan karyawan. Agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran
terhadap peraturan perundangan, maka organisasi/perusahaan perlu mempelajari
berbagai peraturan dan ketentuan yang berkaitan dengan kedua kegiatan tersebut.
Dengan demikian akan dapat menghindarkan diri dari perselisihan dengan atau
penuntutan oleh karyawan atau calon karyawan. Banyak peraturan perundangan
yang mengatur soal ketenagakerjaan yang menyangkut masa sebelum bekerja (pre
employment), tetapi secara sistematika operasional peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu yang mengatur tentang kewajiban
melaporkan lowongan pekerjaan, perekrutan calon karyawan, dan penempatan
tenaga kerja.Secara lebih rinci akan dijelaskan berikut ini.
A. Kewajiban Melaporkan Lowongan
Ketika pengusaha akan membuka lowongan pekerjaan, mereka tentu berpikir bahwa
setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk melamar pekerjaan tersebut,
sehingga informasi lowongan akan didistribusikan secara merata kepada setiap
calon karyawan. Pengusaha tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap peluang
kerja ini. Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 mengatur
tentang kesempatan dan perlakuan yang sama. Pasal 5 menyatakan bahwa setiap
tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan. Kemudian Pasal 6 menyatakan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakukan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Oleh karena itu,
berkaitan dengan informasi lowongan pekerjaan ini pemerintah mewajibkan
pengusaha untuk melaporkan adanya lowongan pekerjaan tersebut kepada menteri
terkait. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1980 mengatur tentang kewajiban lapor
lowongan pekerjaan tersebut, yaitu setiap pengusaha atau pengurus perusahaan
wajib segera melaporkan secara tertulis setiap ada atau akan ada lowongan
pekerjaan kepada Menteri/Pejabat yang ditunjuk yang memuat:
1. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.
2. Jenis pekerjaan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan.
3. Jenis Kelamin.
4. Usia.
5. Pendidikan, ketrampilan/keahlian dan pengalaman.
6. Syarat-syarat lain yang dipandang perlu.
B. Perekrutan Calon Karyawan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur tentang tata cara perekrutan,


penggunaan tenaga kerja anak dan perempuan, serta tenaga kerja asing.
1. Ketentuan Perekrutan

Dalam perekrutan calon karyawan, organisasi/perusahaan diberi kebebasan untuk memilih


apakah melakukan perekrutan sendiri ataukan menggunakan jasa penempatan tenaga
kerja. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pemberi
kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau
melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. Pelaksana penempatan tenaga kerja ini bisa
instansi pemerintah yang bertanggung jawab bidang ketenagakerjaan atau lembaga swasta
berbadan hukum yang telah memiliki ijin usaha dari menteri terkait. Jika organisasi/perusahaan
menyerahkan proses perekrutan tersebut kepada pelaksana penempatan tenaga kerja, maka
pelaksana penempatan tenaga kerja ini wajib memerikan perlindungan kepada calon tenaga
kerja tersebut sejak mulai perekrutan sampai penempatan. Oleh karena tanggungjawabnya inilah
maka pelaksana penempatan tenaga kerja swasta boleh memungut biaya penempatan tenaga
kerja dari pengusaha atau dari calon tenaga kerja.

2. Ketentuan Penggunaan Tenaga Kerja Anak dan Perempuan


Pada dasarnya organisasi/perusahaan tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur
apalagi dipekerjakan pada pekerjaan yang buruk, sangat dilarang. Pasal 68 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Kemudian
Pasal 74 ayat (1) undang-undang yang sama menyatakan bahwa siapapun dilarang
mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang buruk. Hati-hati dengan
istilah mempekerjakan ini, karena pengertian mempekerjakan tersebut tidak selalu legal formal.
Sesuai Pasal 73 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, anak sudah dianggap bekerja jika yang
bersangkutan berada di tempat kerja, kecuali pengusaha dapat membuktikan sebaliknya.
Dalam kaitan dengan pekerja anak ini, pada dasarnya tidak tertutup sama sekali
organisasi/perusahaan untuk menggunakan tenaga kerja anak. Sesuai Pasal 69 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengusaha dapat mempekerjakan
anak berusia antara 13 hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan yang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak. Jika pengusaha
terpaksa mempekerjakan anak usia antara 13 hingga 15 tahun ini maka mereka harus
menempatkannya di tempat kerja yang terpisah dari tempat kerja orang dewasa. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang ingin mempekerjakan anak adalah sebagai berikut:
a. Harus ada izin tertulis dari orang tua atau wali.
b. Perjanjian kerja dilakukan antara pengusaha dengan orang tua atau wali.
c. Waktu kerja maksimum 3 jam.
d. Pekerjaan dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
e. Harus ada perlindungan keselematan dan kesehatan kerja.
f. Harus ada hubungan kerja yang jelas.
g. Harus diberi upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Untuk tenaga kerja perempuan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 memberikan
perlindungan terhadap perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dan perempuan hamil.
Sesuai undang-undang tersebut, pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan di bawah usia
18 tahun bekerja antara pukul 23.00 hingga pukul 07.00 pagi. Demikian juga perempuan hamil

dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 hingga pukul 07.00 pagi, jika menurut keterangan
dokter bekerja antara waktu kerja tersebut akan membahayakan kandungan maupun diri
perempuan yang bersangkutan.
3. Ketentuan Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Diluar
organisasi/perusahaan
dilarang
menggunakan
tenaga
kerja
asing.
Organisasi/perusahaan yang ingin menggunakan tenaga asing harus memperoleh izin terlebih
dahulu dari menteri/pejabat terkait dan juga harus membuat perencanaan penggunaan tenaga
asing tersebut yang disahkan oleh menteri/pejabat terkait. Rencana penggunaan tenaga asing
tersebut harus memuat antara lain:
a. Alasan penggunaan tenaga kerja asing.
b. Jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi.
c. Jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing.
d. Penunjukan tenaga kerja warga Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang
dipekerjakan.
4. Ketentuan Penggunaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Organisasi /perusahaan dapat menggunakan jasa dari penyedia jasa pekerja/buruh
(outsourcing) untuk melaksanakan pekerjaan yang bukan kegiatan pokok organisasi/perusahaan
yang bersangkutan. Pekerjaan yang bukan kegiatan pokok organisasi/perusahaan adalah
kegiatan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi usaha pokok
(core business) suatu organisasi/perusahaan, seperti pelayanan kebersihan (cleaning service),
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), atau jasa pengamanan (security).
Penyedia jasa pekerja/buruh yang akan digunakan oleh perusahaan harus berbadan hukum
dan memiliki izin usaha dari instansi terkait dengan bidang ketenagakerjaan. Hubungan kerja
antara perusahaan dengan penyedia jasa pekerja/buruh dilakukan melalui perjanjian kerja yang
dibuat secara tertulis dan merupakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

C.

Penempatan Tenaga Kerja


Penempatan tenaga kerja merupakan implementasi dari adanya hubungan kerja. Sedangkan
hubungan kerja baru ada setelah ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Dengan kata lain, penempatan tenaga kerja baru dapat dilaksanakan setelah adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 secara
rinci mengatur pelaksanaan perjanjian kerja dan penempatan tenaga kerja. Beberapa hal
dijelaskan sebagai berikut.

1. Ketentuan Perjanjian Kerja


Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja dibuat atas
dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak.
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum.
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau secara lisan. Perjanjian kerja yang dibuat
secara tertulis harus memuat sekurang-kurangnya tentang:
Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha.
Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh.
Jabatan atau jenis pekerjaan.
Tempat pekerjaan.
Besarnya upah dan cara pembayarannya.
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh.
Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian kerja yang telah ditanda tangani oleh
pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah,
kecuali atas persetujuan para pihak terkait. Dan segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi
pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja menjadi tanggungjawab pengusaha.

2. Penempatan Tenaga Kerja


Tahap terakhir dari proses rekrutmen calon karyawan adalah mengangkat dan menempatkan
calon tersebut pada jabatan/posisi yang telah ditentukan/ diperjanjikan. Penempatan
karyawan/calon karyawan tersebut harus memperhatikan prinsip bahwa setiap karyawan/calon
karyawan memiliki hak dan peluang yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah
pekerjaan sesuai dengan bakat, minat, dan kompetensinya. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari
penempatan tenaga kerja adalah menempatkan calon karyawan pada jabatan/posisi yang tepat,
yaitu sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa melanggar
harkat, martabat, dan hak asasi.
Dalam kaitan penempatan tenaga kerja ini, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah
menetapkan asas penempatan tenaga kerja, yaitu bahwa penempatan tenaga kerja harus
dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, adil, dan tanpa diskriminasi. Sesuai
Penjelaskan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, asas penempatan tenaga kerja
tersebut diterangkan sebagai berikut:
a. Terbuka, artinya informasi disampaikan kepada pencari kerja secara jelas, seperti jenis
pekerjaannya, besarnya upah, dan jam kerjanya. Hal itu dimaksudkan untuk melindungi
pekerja/buruh dan untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah karyawan ditempatkan.
b. Bebas, artinya masing-masing pihak bebas memilih tanpa adanya paksaan. Calon karyawan
bebas memilih jenis pekerjaan yang diingini dan pengusaha juga bebas memilih calon karyawan
yang diingini pula. Calon karyawan dan pengusaha tidak boleh memaksakan keinginannya
masing-masing kepada pihak lain.
c. Objektif, artinya organisasi/perusahaan agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada calon
karyawan sesuai dengan kemampuan dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan serta
memperhatikan terhadap kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak
tertentu.
d. Adil, artinya penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan, tidak didasarkan pada ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, atau aliran politik.

Masa Setelah Bekerja


Hubungan kerja berakhir karena terjadinya pemutusan hubungan kerja. Dengan
berakhirnya hubungan kerja maka berakhir pula hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha. Berbagai macam penyebab terjadinya pemutusan
hubungan kerja, diantaranya adalah karena pekerja/buruh sakit berkepanjangan,
karena telah masuk dalam masa pensiun, karena meninggal dunia, karena
diberhentikan, atau karena mengundurkan diri.
Meskipun hubungan kerja telah berakhir, organisasi/perusahaan tidak boleh
menelantarkan mantan pekerja/buruhnya. Perusahaan yang mengakhiri hubungan
kerja dengan tidak baik dan tidak memperhatikan mantan karyawannya, maka akan
mengalami kesulitan pada waktu melakukan proses rekrutmen karyawan. Untuk itu,
penting bagi organisasi/perusahaan memperhatikan berbagai ketentuan berkaitan
dengan masa setelah purna kerja karyawan. Pemerintah telah mengeluarkan
berbagai peraturan perundangan menyangkut perlindungan terhadap karyawan yang
berhenti, diberhentikan, pensiun, atau meninggal dunia. Di dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ketentuan tentang perlindungan
terhadap karyawan yang berhenti, diberhentikan, pensiun, atau meninggal
dunia, diatur dalam Bab Pemutusan Hubungan Kerja. Secara lebih rinci beberapa
ketentuan pokok dijelaskan sebagai berikut.

A. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja


Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha. Menurut Khakim (2007) secara teoritis ada empat jenis pemutusan
hubungan kerja, yaitu pemutusan hubungan kerja demi hukum, pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan, pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh,
dan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha.
1. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
Pemutusan hubungan kerja demi hukum adalah pemutusan hubungan kerja yang
terjadi dengan sendirinya secara hukum. Artinya, hubungan kerja berakhir jika habis
masa waktu yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam peraturan undangundangan atau menurut adat kebiasaan (Khakim, 2007). Menurut pasal 154
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang termasuk dalam pemutusan hubungan
kerja (PHK) demi hukum adalah:
a. PHK terhadap pekerja/buruh yang masih dalam masa percobaan kerja jika telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
b. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama
kali.
c. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.

d. Pekerja/buruh meninggal dunia.


2. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengadilan adalah tindakan PHK karena
adanya putusan hakim pengadilan. Sesuai Pasal 1 angka 17 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004, hakim pengadilan di sini adalah hakim pengadilan hubungan
industrial. Dalam hal ini baik pengusaha ataupun pekerja/buruh dapat mengajukan
pembatalan perjanjian. Contoh, pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh anak
umur 14 tahun dengan waktu kerja lebih dari 3 jam sehari. Jika walinya mengajukan
pembatalan perjanjian kerja tersebut kepada pengadilan hubungan industrial,
kemudian hakim pengadilan menerima pengaduan wali dari anak yang bersangkutan
dan kemudian membatalkan perjanjian, maka pemutusan hubungan kerja tersebut
termasuk PHK oleh pengadilan.
3. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pekerja/Buruh
Menurut Khakim (2007), pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pekerja/buruh
meliputi PHK karena permintaan pengunduran diri dan PHK karena permohonan
kepada pengadilan hubungan industrial.PHK karena permintaan pengunduran diri
pekerja/buruh adalah PHK yang timbul karena kehendak murni dari pekerja/buruh
tanpa rekayasa pihak lain. Tetapi jika terdapat indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha, maka statusnya berubah menjadi PHK oleh pengusaha dan
konsekuensinyapun berubah, yaitu pekerja/buruh ber hak atas hak-haknya
sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Pekerja/buruh yang melakukan PHK karena mengundurkan diri harus memenuhi
syarat:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari
sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

a.
b.
c.
d.
e.

PHK karena permintaan penguduran diri yang diajukan sesuai dengan persyaratan
di atas tidak memerlukan penetapan dari pengadilan hubungan industrial. Bentuk
kedua PHK oleh pekerja adalah PHK karena permohonan kepada pengadilan
hubungan industrial. Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam hal pengusaha melakukan perbuatan:
Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut.
Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh.
Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan.

f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan


pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.
PHK karena sebab-sebab di atas maka pekerja berhak mendapatkan uang
pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
4. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pekerja/Buruh
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha adalah PHK yang prakarsanya berasal
dari pengusaha yang disebabkan adanya pelanggaran atau kesalahan yang
dilakukan oleh pekerja/buruh atau faktor-faktor lain seperti pengurangan tenaga
kerja, perusahaan tutup karena merugi, atau perubahan status (Khakim, 2007). PHK
oleh pengusaha terlebih dahulu harus memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Artinya, pengusaha tidak boleh
semena-mena mem PHK karyawannya.

B. Ketentuan Umum Pemutusan Hubungan Kerja


Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, secara umum prosedur pemutusan
hubungan kerja diatur sebagai berikut (Khakim, 2007).
1. Sebelum melakukan PHK semua pihak harus mengupayakan untuk menghindari terjadinya
PHK.
2. Jika keinginan melakukan PHK tidak dapat dihindari, maka pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh mengadakan perundingan. Jika perundingan berhasil
maka dibuatlah persetujuan bersama, tapi jika perundingan gagal maka pengusaha harus
mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan-alasan kepada
pengadilan hubungan industrial.
3. Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala kewajiban masing-masing, yaitu
pekerja/buruh tetap menjalankan tugas pekerjaannya dan pengusaha tetap wajib membayar
upah. Namun demikian, terhadap pekerja/buruh yang masih dalam proses pengadilan
hubungan industrial tersebut pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing dengan tetap
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

C. Hak-Hak Pekerja/Buruh yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja


Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima.
1. Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan, dan Uang Pengganti Hak
a. Uang Pesangon
Uang pesangon adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja
sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja (Khakim, 2007). Menurut Pasal
156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, perhitungan uang pesangon
sebagai berikut:

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Masa Kerja
Kurang dari satu tahun
Satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun
Dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun
Tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari empat tahun
Empat tahun atau lebih tetapi kurang dari lima tahun
Lima tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun
Enam tahun atau lebih tetapi kurang dari tujuh tahun
Tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan tahun
Delapan tahun atau lebih

Besarnya
Pesangon
1 bulan upah
2 bulan upah
3 bulan upah
4 bulan upah
5 bulan upah
6 bulan upah
7 bulan upah
8 bulan upah
9 bulan upah

Tabel 1
Perhitungan Uang Pesangon

b. Uang Penghargaan Masa Kerja


Uang penghargaan masa kerja adalah penghargaan pengusaha kepada
pekerja/buruh yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja pekerja/buruh yang
bersangkutan. Menurut Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagai berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Masa Kerja
Tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun
Enam tahun atau lebih tetapi kurang dari sembilan tahun
Sembilan tahun atau lebih tetapi kurang dari dua belas tahun
Dua belas tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas tahun
Lima belas tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan belas tahun
Delapan belas tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh satu tahun
Dua puluh satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh empat tahun
Dua puluh empat tahun atau lebih

Besarnya
Penghargaan
2 bulan upah
3 bulan upah
4 bulan upah
5 bulan upah
6 bulan upah
7 bulan upah
8 bulan upah
10 bulan upah

Tabel 2
Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja

c. Uang Pengganti Hak


Uang penggantian hak adalah uang ganti kerugian dari pengusaha kepada pekerja
sebagai penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan ke tempat
dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan, dan lainlain yang ditetapkan P4D/P4P (pengadilan hubungan industrial) sebagai akibat
adanya pengakhiran hubungan kerja (Khakim, 2007). Menurut Pasal 156 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, uang penggantian hak meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterma;

c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
2. Besarnya Uang Pesangon, Uang Penghargaan, dan Uang Pengganti Hak
Pada dasarnya pekerja/buruh berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan uang pengganti kerugian jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun
demikian, besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
pengganti kerugian tergantung pada jenis dan penyebab PHK. Berikut beberapa
ketentuan pokok yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menyangkut besarnya pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang pengganti kerugian jika terjadi PHK.
a. Jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat terjadi perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan maka ada dua kemungkinan skema
pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan uang pengganti hak.
1) Jika pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003; uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal
156 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003; dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
2) Jika pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar dua kali sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat
(2); Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali
sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003; dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

b. Jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dari penutupan perusahaan yang
disebabkan oleh perusahaan mengalami kerugian selama dua tahun secara terus-menerus,
atau keadaan memaksa (force majeur), maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (3) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003; dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat
(4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Anda mungkin juga menyukai