2. Patofisiologi
Anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe 1.
Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Pajanan dengan antigen akan mengaktifkan sel Th2 yang
merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi Imunoglobulin
E (IgE) alergen spesifik. IgE mempunyai kecenderungan yang kuat untuk melekat
pada sel Mast dan basofil yang memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE (Fce-R1).
Pada pajanan yang kedua dengan alergen akan menimbulkan ikatan silang (crosslinking) antara antigen dan IgE spesifik yang diikat oleh sel Mast. Ikatan ini akan
menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel dan menyebabkan penurunan kadar
adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular yang menimbulkan degranulasi sel
Mast. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran mediator farmakologis aktif (amin
vasoaktif) dari sel Mast dan Basofil yakni histamin, heparin, leukotrin, ECF
(Eosinophil Cemotacting Factor) dan berbagai sitokin seperti interleukin dan TNF-.
Pelepasan mediator amin vasoaktif melalui degranulasi sel Mast tersebut dapat
menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan
vasodilatasi, serta kerusakan jaringan dan anafilaksis. Pelepasan amin vasoaktif ke
dalam sirkulasi darah dapat menyebabkan vasodilatasi luas di seluruh tubuh dan
peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kehilangan plasma dalam
sirkulasi dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat menyebabkan pasien jatuh dalam
keadaan syok yang mengancam jiwa karena perfusi dan oksigenasi jaringan menjadi
tidak adekuat.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil
darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Pemeriksaan
lain
yang
lebih
bermakna
yaitu
IgE
spesifik
dengan
4. Penatalaksanaan
Anafilaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang medis.
Pendekatan yang sistematis dalam menangani anafilaksis sangatlah penting.
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan
suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus
segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Berikut adalah
pendekatan sistematis dalam tatalaksana anafilaksis menurut WAO (Word Allergy
Organization), 2011 :
1. Menilai kondisi pasien dengan cepat
2. Jika memungkinkan, menyingkirkan pajanan alergen dari tubuh pasien (melepas
IV line dari obat yang dimasukkan, menghentikan injeksi obat)
3. Menilai Airway, Breathing, Circulation, Status Kesadaran, kondisi kulit dan
mengestimasi berat badan pasien
4. Memanggil bantuan
5. Secara simultan, melakukan injeksi epinefrin 1:1000 secara intramuskular pada
paha bagian mid-anterolateral dengan dosis 0,01 mg/kgBB. (maksimum dosis
dewasa 0,5 mg, anak 0,3 mg). Catat waktu injeksi dan jika perlu bisa diulang
lakukan CPR
8. Jika pasien sudah stabil, lakukan monitoring tekanan darah, denyut nadi,
respiratory rate dan oksigenasi pasien.
5. Komplikasi
Reaksi anafilaksis dapat menyebabkan terjadinya acute respiratory distress dan
circulatory collapse. Obstruksi pada pada saluran pernapasan bagian atas dapat
disebabkan oleh edema laring dan pharing. Pada saluran pernapasan bagian bawah
disebabkan oleh bronkospasme dengan kontraksi dari otot-otot pernapasan,
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Henti jantung mungkin
disebabkan karena terhentinya pernafasan. Efek langsung dari mediator kimia pada
blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen
sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
BHP:
Beneficence: Dokter mampu mendiagnosis pasien dengan reaksi anafilaktik dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lain.
Autonomy: Informed consent diberikan kepada pasien, dan mencakup penjelasan
mengenai penyakit pasien yang berhubungan dengan reaksi imun terhadap obat dan
bagaimana sebaiknya pasien dihindarkan dengan faktor pencetus timbulnya reaksi
anafilaktik.
Nonmaleficence: Dokter mampu menghindarkan pasien dari komplikasi yang dapat
terjadi melalui penatalaksanaan yang adekuat sesuai rekomendasi WAO.
Justice: Dokter memberikan pelayanan kesehatan secara proporsional sesuai dengan
penyakit pasien, dan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, serta budaya pasien.
Daftar Pustaka
1. Mescher, A. L.Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas. Jakarta: ECG, 2011
2. Martini, F. H, Nath, J. L. Fundamental of Anatomy & Physiology 8th Ed.
USA: Pearson, 2009
3. Setiati, Siti dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Universitas
Indonesia. 2014; Bab 43 Kegawatdaruratan Medik, hal 4130.
4. Simons, Estelle. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment
and Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal, 2011
http://www.waojournal.org/content/4/2/13
Cited
on
24